Anda di halaman 1dari 6

Definisi dan Tingkatan 

DienPosted by ummukhansa on October 1, 2007

Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan

A. Definisi Tingkatan Dien

Dien adalah keta’atan. Dien juga disebut millah, dilihat dari segi keta’atan dan kepatuhan kepada syari’at.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)

Sedangkan tingkatan dien itu adalah:

1. Islam
Menurut bahasa, Islam berarti masuk dalam kedamaian. Sedangkan menurut syara’ Islam berarti pasrah kepada Allah, bertauhid
dan tunduk kepadaNya, ta’at dan membebaskan diri dari syirik dan para pengikutnya.

2. Iman
Menurut bahasa, iman berarti membenarkan disertai percaya dan amanah. Sedangkan menurut syara’, berarti pernyataan dengan
lisan, keyakinan dalam hati dan perbuatan dengan anggota badan.

3. Ihsan
Menurut bahasa, ihsan berarti berbuat kebaikan, yakni segala sesuatu yang menyenangkan dan terpuji.
Dan kata-kata ihsan mempunyai dua sisi:
Pertama, Memberikan kebaikan kepada orang lain.
Kedua, Memperbaiki perbuatannya dengan menyempurnakan dan membaikkannya.

Sedangkan ihsan menurut syara’ adalah sebagaimana yang di-jelaskan oleh baginda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dalam
sabdanya: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak bisa melihatNya maka sesungguhnya
Dia melihatmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Umar)

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: “Ihsan itu mengandung kesempurnaan ikhlas kepada Allah dan perbuatan baik yang dicintai oleh
Allah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 112)

Agama Islam mencakup ketiga istilah ini, yaitu: Islam, iman dan ihsan. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jibril ketika
datang kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam di hadapan para sahabatnya dan bertanya tentang Islam, kemudian tentang iman
dan ihsan. Lalu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menjelaskan setiap dari pertanyaan tersebut. Kemudian beliau bersabda:
“Inilah Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan dien kalian.” Jadi Rasulullah menjadikan dien itu adalah Islam, iman dan
ihsan. Maka jelaslah agama kita ini mencakup ketiga-tiganya. Dengan demikian Islam mempunyai tiga tingkatan: Pertama ada-
lah Islam, kedua iman dan ketiga adalah ihsan.* (Lihat Majmu’ Fatawa, 8/10 dan 622 )

B. Keumuman dan Kekhususan dari Ketiga Tingkatan Tersebut

Islam dan iman apabila disebut salah satunya secara terpisah maka yang lain termasuk di dalamnya. Tidak ada perbedaan antara
keduanya ketika itu. Tetapi jika disebut keduanya secara bersamaan, maka masing-masing mempunyai pengertian sendiri-sendiri,
sebagaimana yang ada dalam hadits Jibril.

Di mana Islam ditafsiri dengan amalan-amalan lahiriah atau amalan-amalan badan seperti shalat dan zakat. Sedangkan iman
ditafsiri dengan amalan-amalan hati atau amalan-amalan batin seperti membenarkan dengan lisan, percaya dan ma’rifat kepada
Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya dan seterusnya.

Adapun keumuman dan kekhususan antara ketiganya ini telah dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah sebagai berikut: “Ihsan itu
lebih umum dari sisi dirinya sendiri dan lebih khusus dari segi orang-orangnya daripada iman. Iman itu lebih umum dari segi
dirinya sendiri dan lebih khusus dari segi orang-orangnya daripada Islam. Ihsan mencakup iman, dan iman mencakup Islam. Para
muhsinin lebih khusus daripada mukminin, dan para mukmin lebih khusus dari para muslimin.” (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/10 )
Oleh karena itu para ulama muhaqqiq mengatakan, “Setiap mukmin adalah muslim, karena sesungguhnya siapa yang telah
mewujudkan iman dan ia tertancap di dalam sanubarinya maka dia pasti melaksanakan amalan-amalan Islam sebagaimana yang
telah disabda-kan baginda Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam :
“Ingatalah sesungguhnya di dalam jasad itu terdapat segumpal darah, jika ia baik maka menjadi baiklah jasad itu semuanya, dan
jika ia rusak maka rusaklah jasad itu semuanya. Ingatlah, dia itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan tidak setiap muslim itu mukmin, karena bisa jadi imannya sangat lemah, sehingga tidak bisa mewujudkan iman dengan
bentuk yang sempurna, tetapi ia tetap menjalankan amalan-amalan Islam, maka menjadilah ia seorang muslim, bukan mukmin
yang sempurna imannya. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Orang-orang Arab Badwi itu berkata: ‘Kami telah
beriman’. Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum beriman, tetapi kata-kanlah: ‘Kami telah tunduk’, …” (Al-Hujurat: 14)

Mereka bukanlah orang munafik secara keseluruhan, demikian menurut yang paling benar dari dua penafsiran yang ada, yakni
perkataan Ibnu Abbas dan lainnya, tetapi iman mereka lemah. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “…
dan jika kamu ta’at kepada Allah dan RasulNya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; ..” (Al-Hujurat: 14)

Maksudnya tidaklah pahala mereka dikurangi berdasarkan iman yang ada pada diri mereka yang cukup sebagai syarat untuk
diterimanya amalam mereka dan diberi balasan pahala. Seandainya mereka tidak memiliki iman, tentu mereka tidak akan diberi
pahala apa-apa.*(Syarah Arba’in, Ibnu Rajab, hal. 25-26.)

Maka jelaslah bahwa dien itu bertingkat, dan sebagian tingkatan-nya lebih tinggi dari yang lain. Pertama adalah Islam, kemudian
naik lagi menjadi iman, dan yang paling tinggi adalah ihsan.

Makna Aqidah Dan Urgensinya Sebagai Landasan Agama

Posted by ummukhansa on November 14, 2007

Kitab Tauhid 1
oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan

Aqidah Secara Etimologi

Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Kalimat “Saya ber-i’tiqad begini” maksudnya: saya mengikat hati terhadap
hal tersebut.

Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar” berarti aqidahnya bebas
dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.

Aqidah Secara Syara’

Yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang
baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.

Syari’at terbagi menjadi dua: i’tiqadiyah dan amaliyah.

I’tiqadiyah adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti i’tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah
dan kewajiban beribadah kepadaNya, juga beri’tiqad terhadap rukun-rukun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok
agama). (1)

Sedangkan amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum-
hukum amaliyah. Bagian ini disebut far’iyah (cabang agama), karena ia dibangun di atas i’tiqadiyah. Benar dan rusaknya
amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i’tiqadiyah.

Maka aqidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah
Subhannahu wa Ta’ala:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110)
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan
(Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari
syirik).” (Az-Zumar: 2-3)

Ayat-ayat di atas dan yang senada, yang jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak diterima jika tidak bersih dari
syirik. Karena itulah perhatian Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang pertama kali adalah pelurusan aqidah. Dan hal pertama
yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain
Dia.

Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’, …” (An-Nahl: 36)

Dan setiap rasul selalu mengucapkan pada awal dakwahnya: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan bagimu
selainNya.” (Al-A’raf: 59, 65, 73, 85)

Pernyataan tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan seluruh rasul. Selama 13 tahun di Makkah -sesudah
bi’tsah- Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan aqidah, karena hal itu merupakan
landasan bangunan Islam. Para da’i dan para pelurus agama dalam setiap masa telah mengikuti jejak para rasul dalam berdakwah.
Sehingga mereka memulai dengan dakwah kepada tauhid dan pelurusan aqidah, setelah itu mereka mengajak kepada seluruh
perintah agama yang lain.

Dampak Maksiat Terhadap Iman

Posted by ummukhansa on November 14, 2007

Kitab Tauhid 2
oleh: Team Ahli Tauhid

Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu dalam bentuk meninggalkan perintah maupun melakukan suatu larangan. Sedangkan
iman, sebagaimana telah kita ketahui adalah 70 cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan “la ilaha illallah” dan yang terendah
adalah menyingkirkan gangguan di jalan.

Jadi cabang-cabang ini tidak bernilai atau berbobot sama, baik yang berupa mengerjakan (kebaikan) maupun me-ninggalkan
(larangan). Karena itu maksiat juga berbeda-beda. Dan maksiat berarti keluar dari ketaatan. Jika ia dilakukan karena ingkar atau
mendustakan maka ia bisa membatalkan iman.

Sebagaimana Allah menceritakan tentang Fir’aun dengan firmanNya: “Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.” (An-
Nazi’at: 21)

Dan terkadang maksiat itu tidak sampai pada derajat tersebut sehingga tidak membuatnya keluar dari iman, tetapi memperburuk
dan mengurangi iman. Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, minum-minuman yang memabukkan
atau sejenisnya, tetapi tanpa meyakini kehalalannya, maka hilang rasa takut, khusyu’ dan cahaya dalam hatinya; sekalipun pokok
pembenaran dan iman tetap ada di hatinya.

Lalu jika ia bertaubat kepada Allah dan mela-kukan amal shalih maka kembalilah khasyyah dan cahaya itu ke dalam hatinya.
Apabila ia terus melakukan kemaksiatan maka bertambahlah kotoran dosa itu di dalam hatinya sampai menutupi serta
menguncinya -na’udzubillah!-. Maka ia tidak lagi mengenal yang baik dan tidak me-ngingkari kemungkaran.

Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam
bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa maka terbentuklah titik hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat,
meninggalkan dan beristighfar maka mengkilaplah hatinya. Dan jika menambah (dosa) maka bertambahlah (bintik hitamnya)
sampai menutupi hatinya. Itulah ‘rain’ yang disebut oleh Allah dalam Al-Quran: ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa
yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.’ (Al-Muthaffifin: 14, HR. Ahmad, II/297)
Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan pengaruh maksiat atas iman, yaitu bahwasanya iman itu seperti pohon besar
yang rindang. Maka akar-akarnya adalah tashdiq (kepercayaan) dan dengan akar itulah ia hidup, sedangkan cabang-cabangnya
adalah amal perbuatan. Dengan cabang itulah kelestarian dan hidupnya terjamin. Se-makin bertambah cabangnya maka semakin
bertambah dan sempurna pohon itu, dan jika berkurang maka buruklah pohon itu.

Lalu jika berkurang terus sampai tidak tersisa cabang maupun batangnya maka hilanglah nama pohon itu. Manakala akar-akar itu
tidak mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang bisa berdaun maka keringlah akar-akar itu dan hancurlah ia dalam
tanah. Begitu pula maksiat-maksiat dalam kaitannya dengan pohon iman, ia selalu membuat pengurangan dan aib dalam
kesempurnaan dan keindahannya, sesuai dengan besar dan kecilnya atau banyak dan sedikitnya kemaksiatan tersebut. Wallahu
a’lam!

Dampak Maksiat Terhadap Iman

Posted by ummukhansa on November 14, 2007

Kitab Tauhid 2
oleh: Team Ahli Tauhid

Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu dalam bentuk meninggalkan perintah maupun melakukan suatu larangan. Sedangkan
iman, sebagaimana telah kita ketahui adalah 70 cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan “la ilaha illallah” dan yang terendah
adalah menyingkirkan gangguan di jalan.

Jadi cabang-cabang ini tidak bernilai atau berbobot sama, baik yang berupa mengerjakan (kebaikan) maupun me-ninggalkan
(larangan). Karena itu maksiat juga berbeda-beda. Dan maksiat berarti keluar dari ketaatan. Jika ia dilakukan karena ingkar atau
mendustakan maka ia bisa membatalkan iman.

Sebagaimana Allah menceritakan tentang Fir’aun dengan firmanNya: “Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.” (An-
Nazi’at: 21)

Dan terkadang maksiat itu tidak sampai pada derajat tersebut sehingga tidak membuatnya keluar dari iman, tetapi memperburuk
dan mengurangi iman. Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, minum-minuman yang memabukkan
atau sejenisnya, tetapi tanpa meyakini kehalalannya, maka hilang rasa takut, khusyu’ dan cahaya dalam hatinya; sekalipun pokok
pembenaran dan iman tetap ada di hatinya.

Lalu jika ia bertaubat kepada Allah dan mela-kukan amal shalih maka kembalilah khasyyah dan cahaya itu ke dalam hatinya.
Apabila ia terus melakukan kemaksiatan maka bertambahlah kotoran dosa itu di dalam hatinya sampai menutupi serta
menguncinya -na’udzubillah!-. Maka ia tidak lagi mengenal yang baik dan tidak me-ngingkari kemungkaran.

Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam
bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa maka terbentuklah titik hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat,
meninggalkan dan beristighfar maka mengkilaplah hatinya. Dan jika menambah (dosa) maka bertambahlah (bintik hitamnya)
sampai menutupi hatinya. Itulah ‘rain’ yang disebut oleh Allah dalam Al-Quran: ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa
yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.’ (Al-Muthaffifin: 14, HR. Ahmad, II/297)

Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan pengaruh maksiat atas iman, yaitu bahwasanya iman itu seperti pohon besar
yang rindang. Maka akar-akarnya adalah tashdiq (kepercayaan) dan dengan akar itulah ia hidup, sedangkan cabang-cabangnya
adalah amal perbuatan. Dengan cabang itulah kelestarian dan hidupnya terjamin. Se-makin bertambah cabangnya maka semakin
bertambah dan sempurna pohon itu, dan jika berkurang maka buruklah pohon itu.

Lalu jika berkurang terus sampai tidak tersisa cabang maupun batangnya maka hilanglah nama pohon itu. Manakala akar-akar itu
tidak mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang bisa berdaun maka keringlah akar-akar itu dan hancurlah ia dalam
tanah. Begitu pula maksiat-maksiat dalam kaitannya dengan pohon iman, ia selalu membuat pengurangan dan aib dalam
kesempurnaan dan keindahannya, sesuai dengan besar dan kecilnya atau banyak dan sedikitnya kemaksiatan tersebut. Wallahu
a’lam!

Penyimpangan Aqidah Dan Cara-Cara Penanggulangannya


Submitted by admin on February 25, 2010 – 3:59 amNo Comment

Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena aqidah yang benar merupakan motivator utama
bagi amal yang bermanfaat. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan menjadi mangsa bagi persangkaan dan keragu-raguan yang
lama-kelamaan mungkin menumpuk dan menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan, sehingga
hidupnya terasa sempit lalu ia ingin terbebas dari kesempitan tersebut dengan menyudahi hidup, sekali pun dengan bunuh diri,
sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang telah kehilangan hidayah aqidah yang benar.

Masyarakat yang tidak dipimpin oleh aqidah yang benar merupakan masyarakat bahimi (hewani), tidak memiliki prinsip-prinsip
hidup bahagia, sekali pun mereka bergelimang materi tetapi terkadang justru sering menyeret mereka pada kehancuran,
sebagaimana yang kita lihat pada masyarakat jahiliyah.

Karena sesungguhnya kekayaan materi memerlukan taujih (pengarahan) dalam penggunaannya, dan tidak ada pemberi arahan
yang benar kecuali aqidah shahihah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.” (Al-Mu’minun: 51)

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): ‘Hai gunung-gunung dan burung-
burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud’, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang
besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.”
(Saba’: 10-11)

Maka kekuatan aqidah tidak boleh dipisahkan dari kekuatan madiyah (materi). Jika hal itu dilakukan dengan menyeleweng
kepada aqidah batil, maka kekuatan materi akan berubah menjadi sarana penghancur dan alat perusak, seperti yang terjadi di
negara-negara kafir yang memiliki materi, tetapi tidak memiliki aqidah shahihah.

Sebab-sebab penyimpangan dari aqidah shahihah yang harus kita ketahui yaitu:

1. Kebodohan terhadap aqidah shahihah, karena tidak mau (enggan) mempelajari dan mengajarkannya, atau karena
kurangnya perhatian terhadapnya. Sehingga tumbuh suatu generasi yang tidak mengenal aqidah shahihah dan juga
tidak mengetahui lawan atau kebalikannya.Akibatnya, mereka meyakini yang haq sebagai sesuatu yang batil dan yang
batil dianggap sebagai yang haq. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Umar Radhiallaahu anhu :
“Sesungguhnya ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu, manakala di dalam Islam terdapat orang yang tumbuh
tanpa mengenal kejahiliyahan.”
2. Ta’ashshub (fanatik) kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan nenek moyangnya, sekali pun hal itu batil, dan
mencampakkan apa yang menyalahinya, sekali pun hal itu benar. Sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu
wa Ta’ala: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah” mereka menjawab:
“(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
3. Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa
menyelidiki seberapa jauh kebenarannya. Sebagaimana yang terjadi pada golongan-golongan seperti Mu’tazilah,
Jahmiyah dan lainnya. Mereka bertaqlid kepada orang-orang sebelum mereka dari para imam sesat, sehingga mereka
juga sesat, jauh dari aqidah shahihah.
4. Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta mengangkat mereka di atas derajat yang
semestinya, sehingga meyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa
mendatangkan kemanfaatan maupun menolak kemudharatan.Juga menjadikan para wali itu sebagai perantara antara
Allah dan makhlukNya, sehingga sampai pada tingkat penyembahan para wali tersebut dan bukan menyembah Allah.
Mereka bertaqarrub kepada kuburan para wali itu dengan hewan qurban, nadzar, do’a, istighatsah dan meminta
pertolongan.Sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh Alaihissalam terhadap orang-orang shalih ketika mereka
berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.” [1] (Nuh: 23)Dan
demikianlah yang terjadi pada pengagung-pengagung kuburan di berbagai negeri sekarang ini.
5. Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat
Allah yang tertuang dalam KitabNya (ayat-ayat Qur’aniyah). Di samping itu, juga terbuai dengan hasil-hasil teknologi
dan kebudayaan, sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi manusia semata, sehingga mereka
mengagung-agungkan manusia serta menisbatkan seluruh kemajuan ini kepada jerih payah dan penemuan manusia
semata.Sebagaimana kesombongan Qarun yang mengatakan: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu
yang ada padaku.” (Al-Qashash: 78)Dan sebagaimana perkataan orang lain yang juga sombong: “Ini adalah hakku …”
(Fushshilat: 50)”Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. (Az-Zumar: 49)Mereka tidak
berpikir dan tidak pula melihat keagungan Tuhan yang telah menciptakan alam ini dan yang telah menimbun berbagai
macam keistimewaan di dalamnya. Juga yang telah menciptakan manusia lengkap dengan bekal keahlian dan
kemampuan guna menemukan keistimewaan-keistimewaan alam serta mengfungsikannya demi kepentingan
manusia.“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (Ash-Shaffat: 96)

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, …” (Al-
A’raf: 185)

“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan
dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya
bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendakNya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia
telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah
menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang
kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.”
(Ibrahim: 32-34)

Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari pengarahan yang benar (menurut Islam). Padahal baginda Rasulullah
telah bersabda: “Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang-tuanyalah yang (kemudian) membuatnya menjadi
Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)

Jadi, orangtua mempunyai peranan besar dalam meluruskan jalan hidup anak-anaknya. Enggannya media pendidikan dan media
informasi melaksanakan tugasnya. Kurikulum pendidikan kebanyakan tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap
pendidikan agama Islam, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali. Sedangkan media informasi, baik media cetak maupun
elektronik berubah menjadi sarana penghancur dan perusak, atau paling tidak hanya memfokuskan pada hal-hal yang bersifat
materi dan hiburan semata.

Tidak memperhatikan hal-hal yang dapat meluruskan moral dan menanamkan aqidah serta menangkis aliran-aliran sesat. Dari
sini, muncullah generasi yang telanjang tanpa senjata, yang tak berdaya di hadapan pasukan kekufuran yang lengkap
persenjataannya.

Cara menanggulangi penyimpangan di atas teringkas dalam point-point berikut ini:

1. Kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam untuk mengambil aqidah shahihah.
Sebagaimana para Salaf Shalih mengambil aqidah mereka dari keduanya. Tidak akan dapat memperbaiki akhir umat ini
kecuali apa yang telah memperbaiki umat pendahulunya. Juga dengan mengkaji aqidah golongan sesat dan mengenal
syubhat-syubhat mereka untuk kita bantah dan kita waspadai, karena siapa yang tidak mengenal keburukan, ia
dikhawatirkan terperosok ke dalamnya.
2. Memberi perhatian pada pengajaran aqidah shahihah, aqidah salaf, di berbagai jenjang pendidikan. Memberi jam
pelajaran yang cukup serta mengadakan evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini. Harus ditetapkan kitab-kitab
salaf yang bersih sebagai materi pelajaran. Sedangkan kitab-kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
3. Menyebar para da’i yang meluruskan aqidah umat Islam dengan mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan
menolak seluruh aqidah batil.

[1] Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr adalah nama berhala-berhala yang terbesar pada kabilah-kabilah kaum Nabi Nuh,
yang semula nama-nama orang shalih. (Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI. pen.).

Anda mungkin juga menyukai