Anda di halaman 1dari 13

#SAVEKOMODO

Kris Beda Somerpes

Catatan Pembuka

Rabu pagi, 8 Agustus 2018, ratusan aktivis masyarakat sipil dan pelaku pariwisata
Manggarai Barat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata
Manggarai Barat turun ke jalan. Yel-yel protes dikumandangkan. “Taman Nasional
Komodo, lahan konservasi bukan investasi” sebagian yang lain beteriak “cabut,
cabut, cabut izinnya sekarang juga” yang lain “lawan, lawan investor”. Suara-suara
itu terus memadati jalanan kota, mendesak DPRD, Bupati dan KLHK melalui Balai
Taman Nasinal Komodo BTNK) untuk segera membatalkan realisasi proyek
pembangunan sarana wisata alam yang dilakukan PT. Segara Komodo Lestari di Loh
Buaya Pulau Rinca dan PT. Komodo Wildlife Ecotourism di Loh Liang Pulau
Komodo dan Pulau Padar.

Gelombang protes tidak hanya berhenti di situ, walau pada ketika itu, Kepala Balai
Taman Nasional Komodo, Budhy Kurniawan secara lisan memberikan pernyataan
bahwa pembangunan usaha jasa pariwisata alam di dalam kawasan TNK dihentikan
untuk sementara waktu. Para aktivis masyarakat sipil dan para pelaku pariwisata
terus tebarkan protes. Ragam seruan dan aksi dimainkan, menebar protes dalam
berbagai alat gerakan, sampai akhirnya berhenti di 17 hari kemudian, persisnya pada
Rabu, 22 Agustus 2018. Bongkar. Bersama para aktivis masyarakat sipil dan pelaku
pariwisata Formapp, pihak BTNK akhirnya membongkar pagar seng yang dibangun
PT Segara Komodo Lestari di puncak pulau Rinca Taman Nasional Komodo.

Riwayat 17 hari aksi bertagar #savekomodo adalah jantung catatan panjang ini. Saya
mencoba untuk menghadirkan kembali memoria gerakan kolektif tersebut dalam
dan melalui catatan ini diniatkan untuk dua hal, pertama, sekedar sebagai sebuah
catatan dokumentasi, dan kedua adalah sebagai dokumen analisis dan refleksi
lanjutan.

Riwayat Masuknya Investor dalam Kawasan Taman Nasional Komodo

Hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tanggal 12 Pebruari 2010


tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya dan Taman Wisata ALam, dan Peraturan Menteri Kehutanan
nomor P.48/Menhut-II/2010 tanggal 8 Desember 2010 tentang pengusahaan
pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata ALam merupakan titik awal yang membuka ruang bagi pihak swasta
masuk dan menguasai titik-titik strategis dalam kawasan Suaka Margasatwa, Taman

1 | #S a v e k o m o d o
Nasional, Taman Hutan Raya Kawasan melalui pintu masuk Ijin Pengusahaan
Pariwisata Alam (IPPA).

Berdalih IPPA, pihak swasta pun dengan mudah masuk, salah satunya ke dalam
Kawasan Taman Nasional Komodo, di Kabupaten Manggarai Barat Flores Nusa
Tenggara Timur. Seperti fakta yang terjadi hari ini, terdapat tiga perusahaan yang
sedang dan akan menguasai titik-titik strategis dalam kawasan yang terdiri atas 146
buah pulau itu, yakni PT. Segara Komodo Lestari, PT. Komodo Wildlife Ecotourism
dan PT. Karang Permai Propertindo.

1) Tentang Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA)

Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA)[1] atau izin usaha yang diberikan untuk
mengusahakan kegiatan pariwisata alam di areal suaka margasatwa, taman nasional,
taman hutan raya dan taman wisata alam. Perihal ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah No.36/2010 dan Peraturan Menteri Kehutanan No.48/Menhut-
II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, serta Peraturan Menteri
Kehutanan No.4/Menhhut-II/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor 48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di
Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

IPPA dibagi menjadi 2 jenis yaitu ijin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam
(IUPJWA) dan Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA). Ijin Usaha
Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) adalah izin usaha yang diberikan untuk
penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan pariwisata alam. Di dalamnya mencakup:
Usaha jasa informasi pariwisata; Usaha jasa pramuwisata; Usaha jasa transportasi;
Usaha jasa perjalanan wisata; Usaha jasa cinderamata; dan Usaha jasa makanan dan
minuman. IUPJWA dapat diajukan oleh dan diberikan kepada perorangan (jangka
waktu usaha 2 tahun dan dapat diperpanjang) dan atau BUMN/BUMD/BUMS atau
Koperasi (jangka waktu usaha 5 tahun dan dapat diperpanjang)

Sementara Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) adalah izin usaha
yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana serta pelayanannya yang
diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam. IUPSWA terdiri dari:Usaha sarana
wisata tirta; Usaha sarana akomodasi; Usaha sarana transportasi; Usaha sarana
wisata petualangan; Usaha sarana olahraga minat khusus. IUPSWA diberikan untuk
jangka waktu 55 tahun, dan dapat diajukan oleh dan diberikan kepada:
BUMN/BUMD/BUMS dan atau Koperasi.

Proses perizinan Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam diatur dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.1/2015 tentang Perubahan
Peraturan Menteri Lingkunagn Hidup dan Kehutanan Nomor P.97/Menhut-
2 | #S a v e k o m o d o
II/2014 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan dan Non Perizinan
di Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Peraturan
Menteri tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan No. P.7/2015 tentang Petunjuk Teknis Pemberian Perizinan dan Non
Perizinan di Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

2) Ippa Dalam Kawasan Taman Nasional Komodo (Tnk)

Sebagaimana sudah disinggung di depan. Setelah diterbitkannya PP Nomor 36 tahun


2010 tanggal 12 Pebruari 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata ALam, dan
Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.48/Menhut-II/2010 tanggal 8 Desember
2010 tentang pengusahaan pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya dan Taman Wisata ALam, banyak yang kemudian melirik Taman
Nasional Komodo dan persekongkolan tingkat tinggi pun dimulai antara politisi
pengusaha dan pejabat.

Riwayat persekongkolan itu dimulai sejak tahun 2011. Seperti diketahui, tahun 2011
Taman Nasional Komodo mulai melakukan proses review atas peta zonasi yang
dibuat tahun 2001. Pada 24 Februari 2012 zonasi hasil review final dan disahkan
melalui keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
nomor SK.21/IV-SET/2012.

Zonazi perubahan ternyata mengalami perubahan signifikan. Perubahan tersebut


adalah adanya penambahan zona pemanfaatan wisata daratan seperti: Pulau Padar
dan Tatawa. Pada peta zonasi lama yang terbit di tahun 2001 titik tersebut masuk
dalam zona rimba. Pada peta zonasi 2012 keduanya masuk dalam zona pemanfaatan
wisata daratan.

Setelah review zonasi, Kementerian Ligkungan Hidup dan Kehutan melalui Balai
Taman Nasional Komodo melakukan desain tapak. Desain tapak adalah pembagian
ruang pengelolaan pariwisata alam yang diperuntukkan bagi ruang usaha dan ruang
publik. Taman nasional komodo kemudian menyusun desain tapak pengelolaan
pariwisata alam.

Desain tapak tersebut kemudian disyahkan melalui keputusan Direktur Pemanfaatan


Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung melalui SK Nomor:
3 | #S a v e k o m o d o
SK.34/PJLKKHL-3/2012 tanggal 14 September 2012 tentang Pengesahan Desain
Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam Taman Nasional Komodo.

Hasil penting dari desain tapak tersebut adalah Zona Pemanfaatan wisata bahari
semua jadi ruang publik. Zona pemanfaatan wisata daratan Loh Buaya dibagi
menjadi 55.6 ha untuk ruang usaha dan 73.9 untuk publik, Loh Liang dibagi
menjadi 154.6 ruang publik dan seluas 214.7 untuk ruang usaha, Pulau Padar dibagi
menjadi 28.9 ha untuk ruang publik, dan 275 ha untuk ruang usaha) dan di pulau
Tatawa dibagi menjadi 14.5 ha untuk ruang publik dan 6.5ha untuk ruang usaha.

Persis setelah desain tapak ini disahkan, tercatat ada 7 perusahaan yang mengajukan
ijin usaha penyediaan sarana wisata alam dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT. Komodo Wildlife Ecotourism, PT. Kirana
Satya Abadi, PT. Perdana Surya Dinamika, PT. Sinar Cahaya Kemuliaan, PT. Segara
Komodo Lestari, PT. Inti Selaras Abadi, dan PT. Karang Permai Propertindo.

Dari tujuh perusahaan di atas, empat perusahaan dinyatakan gugur karena tidak
memiliki kelengkapan dokumen, satu perusahaan sedang dalam proses perizinan
definit yakni PT. Karang Permai Propertindo (KPP). PT. KPP baru mengantongi ijin
prinsip belum ijin definitive seperti KWE dan SKL. Izin prinsip keluarkan melalui
SK Badan Koordinasi Penanaman Modal RI No.47/1/PP-UPSWA/PMDN/2015
tertanggal 7 Agustus 2015 degan lokasi usaha di Pulau Komodo seluas 45 Ha dan di
Pulau Tatawa seluas 4,2 Ha.

Dua perusahaan sudah dinyatakan definitif adalah PT. Komodo Wildlife Ecotourism
(KWE) melalui SK Menteri Kehutanan No.796/Menhut-II/2014 tanggal 23
September 2014 dengan lokasi di Pulau Komodo: 151,94 Ha, Pulau Padar: 274,13
Ha. Dan PT. Segara Komodo Lestari melalui SK Kemenhut No.
5.557/Menhut/II/2013 tanggal 9 September 2013 dan SK Kepala Badan Koordinasi
dan Penanaman Modal No: 7/1/iupswa/pmdn/2015 tertanggal 17 Desember 2015
dengan lokasi Lokasi Pulau Rinca: 22,1 Ha.

Realisasi Usaha Sarana Wisata Alam Perusahaan Swasta Di TNK

Sampai dengan Juli 2018 kedua perusahaan di atas sudah melakukan aktivitas
kongkret dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

PT. Segara Komodo Lestari sudah merealisasikan proyeknya di Loh Buaya Pulau
Rinca. Lahan seluas 2,21 Ha sudah dipatok, papan proyek sudah dipasang dan sudah
dipagari seng. Ragam material bangunan sudah berada di lokasi seperti semen dan
batu.

4 | #S a v e k o m o d o
Namun demikian, proses sosialisasi dan konsultasi publik tidak pernah dilakukan
secara transparan dan terbuka. Seorang warga di Kampung Rinca memberikan
kesaksian bahwa pernah sekali terjadi proses sosialisasi, yakni pada bulan
September 2014. Namun proses sosialisasi tersebut tidak melibatkan seluruh elemen
masyarakat, dan kepada masyarakat hanya diberikan waktu dua hari untuk
memberikan rekomendasi alternatif [2]. Dan rekomendasi itu tidak dapat dipenuhi
warga kampung Rinca karena selain waktu yang singkat dan juga keseharian warga
yang mayoritas nelayan sulit melakukan musyawarah secara rutin.

Sementara itu PT. KWE sampai sejauh ini baru melakukan satu kali sosialisasi, yakni
pada 29 Juli 2018 di pulau Papagarang. Peserta yang hadir ketika itu selain warga
kampung Papagarang juga terdapat warga dari kampung Komodo. Jumlah peserta
kurang lebih 40 orang dan mayoritas adalah ibu-ibu. Terkait realisasi proyek fisik
yang dilakukan oleh PT. KWE baru terjadi pada 2017, namun dalam kerjasama
dengan Kemenhut dan PT. PLN Persero. Dimana pada ketika PT. KWE bersama
pemerintah melakukan kerjasama pembangunan rumah Pembangkit Listrik Tenaga
Hybrid PT PLN (Persero) di Pulau Komodo di atas lahan seluas ±2.240 m². Lahan
tersebut adalah lahan PT. KWE. Bahkan pada ketika itu, tepatnya tanggal 12 Juni
2017 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Kerjasama antara Kepala Balai
TN Komodo atas nama Direktur Jenderal KSDAE dengan General Manajer PT PLN
(Persero) Wilayah NTT di Hotel La Prima, Labuan Bajo, Kab. Manggarai Barat, NTT.

1) Melanggar Regulasi, Memanfaatkan Momen

Realisasi proyek usaha sarana wisata alam yang dilakukan kedua perusahaan: PT.
Segara Komodo Lestari maupun PT. Komodo Wildlife Ecotorusim terindikasi
melanggar prosedur hukum khususnya melanggar Pasal 21, ayat 2 huruf (a) dan
huruf (g), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, Dan Taman Wisata Alam.

Di sana dijelaskan, huruf (a) bahwa pemegang izin usaha penyediaan sarana wisata
alam wajib (untuk) melakukan kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam sesuai
dengan izin yang diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah izin diterbitkan. Huruf
(g) bahwa: pemegang izin usaha penyediaan sarana wisata alam wajib (untuk)
merealisasikan kegiatan pembangunan sarana wisata alam paling lambat 6 (enam)
bulan setelah izin usaha penyediaan sarana wisata alam diterbitkan.

Fakta yang terjadi bahwa kedua perusahaan sudah melalui proses perizinan yang
dimulai sejak 2013 dan definitif pada 2015, tetapi baru terealisasi di 2018.
Pertanyaannya mengapa kemudian kedua perusahaan tersebut tetap merealisasikan
proyeknya.

5 | #S a v e k o m o d o
Pertama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui
Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi, Dody Wahyu Karyanto
(PJLKH) dalam jumpa pers pengembangan wisata alam di Taman Nasional (TN)
Komodo di Media Center I Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, pada Kamis 9
Agustus 2018, mengatakan bahwa dalam prosesnya, pemberian izin kedua
perusahaan itu telah sesuai dengan aturan dan zonasi pemanfaatan wisata di areal
wisata. “Untuk itu pemerintah sebenarnya sudah menapis, mencegah dampaknya
dengan zonasi. Ditapis lagi dengan rencana pembangunan 25 tahun, ditapis lagi
dengan desain tapak, muncul lah areal usaha atau zona publik di zona itu,” ujar
Dody.

Dalam peta zonasi yang dirilis oleh pihak TN Komodo tahun 2012 silam, terdapat
sejumlah zona pemanfaatan wisata baik di Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau
Komodo. Pembangunannya pun hanya boleh memakai 10% dari total area
pemanfaatan usaha. “Jadi di zona pemanfataan itu ada areal usaha dan areal publik,
areal usaha itu diperuntukkan untuk yang izin, areal publik itu tidak boleh untuk
diberikan izin. Jadi kalau misalnya PT SKL itu dapat izin seluas 22 hektar dia hanya
boleh mengoperate pembangunan sarana prasarananya 10 persen, hanya 2 hektar,”
terang Dody.

Keluarnya proses perizinan membangun dari pihak Balai TN Komodo dan KLHK
sekaligus menjadi indikasi, bahwa semua sudah sesuai regulasi. “Makanya
kekhawatiran itu sudah dijawab dengan proses perizinan. Izin itu dimohon dimulai
tahun 2012 dan keluarnya 2015. Jadi prosesnya sangat panjang,” lanjutnya.

Kedua, atas dasar argumentasi di atas, Kemenhut kemudian mendesak kedua


perusahaan di atas untuk segera merealisasikan proyeknya di kawasan Taman
Nasional Komodo. Di hadapan massa aksi gerakan #savekomodo pada Senin, 6
Agustus 2018 di depan kantor Balai Taman Nasional Komodo, Budhy Kurniawan
mengakui bahwa realisasi proyek fisik PT. Segara Komodo Lestari di Loh Buaya dan
PT. Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar adalah karena desakan dari dalam
KLHK sendiri melalui kepala BTNK. “Bayangkan, izinnya sudah ada sejak 2015, tapi
nggak dingapa-ngapain. Jadi kami mendesak terus, desak terus untuk segera
bangun” akunya.

Ketiga, menjawab momentum kunjungan tamu-tamu tajir pada Oktober nanti.


Seperti diketahui sidang tahunan IMF-Word Bank yang akan digelar pada tanggal
8 sampai 14 Oktober 2018 di Bali merupakan arena promosi pariwisata NTT di
mata dunia. Sebanyak 22 ribu tamu utusan dari 189 negara akan datang ke
Pulau Bali, dan 15 ribu orang diantaranya akan melakukan tur wisata ke Taman
Nasional Komodo di Labuan Bajo, Manggarai Barat hingga ke Danau Kelimutu.
Menurut sumber yang diterima dari lingkaran dalam Pemerintah Kabupaten
Manggarai Barat menyebutkan bahwa realisasi proyek swasta dalam kawasan Taman

6 | #S a v e k o m o d o
Nasional tersebut sebenarnya gelombang lanjutan dari upaya untuk mempersiapkan
kehadiran tamu-tamu tersebut.

“Selama ini mereka tidak mau membangun itu karena mereka takut. Mereka ragu-
ragu, nah mereka baru dapatkan momentum kelihatannya IMF ini, kan sempat
diungkapkan (oleh PT. SKL) di sini waktu undang teman-teman. Pak, kami ini,
pekerjaan kami ini, menanti IMF, dalam hati saya bilang oh dia memanfaatkan
momentum ini, supaya ada kekuatan untuk ini, kami punya alasan ini, walau pun
secara normatif mereka tidak salah. Departemen Kehutanan itu yang kacau,
makanya kemarin itu demo saja, tapi jangan paksa kami untuk bilang tidak
karena kami nih tau sendiri, begitu ”

kekhawatiran publik atas realisasi proyek swasta dalam kawasan TNK

Terdapat ragam kekhawatiran publik yang muncul terkait realisasi proyek swasta di
dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Gerakan aksi massa #savekomodo yang
digelar pada Senin, 6 Agustus 2018 yang diinisiasi oleh Forum Masyarakat
Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp Mabar) merupakan awal dari
simpul konslidasi gagas dan aksi gerakan yang kemudian meluas direspon hingga
catatan ini dibuat. Bahkan respon penolakan dilakukan dengan alat kerja yang
beragam, yang kemudian digandakan secara masif dan luas oleh seluruh elemen
masyarakat. Menariknya bahwa dari ragam kekhwatiran ini juga muncul dari
internal Balai Taman Nasional Komodo sendiri.

A. Kekhawatiran Internal BTNK

Terkait dengan proses pengesahan desain tapak. Secara internal dalam tubuh Balai
Taman Nasional Komodo pun pernah terjadi perdebatan yang alot. Beberapa staff
dalam tubuh BTNK, dengan alasan konservasi dan keberlanjutan ekosistem dan
kehidupan satwa Komodo, menolak adanya interupsi ruang usaha dalam kawasan
TNK. Menurut mereka, harusnya habitat komodo semuanya menjadi ruang publik.
Kehadiran pihak swasta dengan mendirikan sarana wisata dalam kawasan TNK akan
sangat membahayakan Komodo itu sendiri.

Berdasarkan laporan internal BTNK dengan locus di Loh Liang dan Loh Buaya,
menyimpulkan bahwa aktivitas ekoturisme telah mempengaruhi ekologi biawak
komodo. Biawak komodo yang terpapar ekoturisme mengalami perubahan perilaku
dan struktur populasi yang didominasi jantan dewasa dan hal tersebut dapat
menurunkan kemampuan reproduksi melalui kompetisi dalam mencari pasangan.

Dari hasil studi dan amatan yang dilakukan sepanjang 2017 tersebut sangat
direkomendasikan untuk: 1) Menghentikan feeding, buangan sisa makanan dari kafe
atau sisa makanan petugas harus diatur secara ketat, 2) diversifikasi model
7 | #S a v e k o m o d o
ekoturisme dan mengurangi interaksi manusia dan komodo, 3) aktivitas ekowisata
baru dan infrastrukturnya dikembangkan di lokasi lain diluar habitat komodo.

Kekhawatiran yang muncul jika terdapat bangunan baru dalam ruang terbuka TNK
adalah apakah tidak akan malah menambah perubahan perilaku komodo yang
selama ini berusaha ditekan? Apakah perusahaan swasta akan punya mekanisme
pengolahan limbah makanan? atau malah akan membuat komodo ‘duduk manis’ dan
berkerumun di area bangunan usaha wisata?

Penelitian internal yang sama mengemukakan hal teknis yang lain. Secara
teknis home range komodo dewasa : 705 ha, pergerakan harian 573 m (max 1736 ha
dan 3135 m, pada musim kawin). Pertanyaannya adalah bagaimana jika sudah ada
bangunan, apakah tidak mengganggu home range dan pergerakan harian komodo?

Di Pulau Padar pada tahun 1990-an ditemukan puluhan satwa Komodo kemudian
menghilang. Masa ini menghilang ini sisebut kepunahan lokal. Namun pada 2014
komodo kembali ditemukan di pulau padar walau dengan jumlah yang lebih sedikit
(belum terindenfikasi). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana jika
terdapat bangunan perusahaan di Padar? Bagaimana bisa mendukung pemulihan
populasi komodo di pulau padar?

Terkait regulasi pun pihak internal BTNK mengakui ada indikasi pelanggaran.
Permohonan izin usaha yang diajukan kepada Kementerian Kehutanan,
sebebenarnya harus melalui pertimbangan teknis dari Kepala Balai Taman Nasional
dan Kepala Dinas Pariwisata Manggarai Barat. Namun fakta yang terjadi semua
perusahaan yang mengajukan proses izin tersebut mengabaikan pihak BTNK dan
mengangkangi peran Pemda Manggarai Barat.

B. Kekhawatiran Publik Secara Luas

Kekhawatiran publik meringkas dalam gerakan aksi dan protes


bertagar #savekomodo, stop tipu daya dan daya tipu atas nama konservasi dan
pembangunan pariwisata dalam kawasan Taman Nasional Komodo yang ditujukan
kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia ini
bukan lahir tanpa latar. Terdapat enam latar utama, mengapa protes dan gerakan
aksi ini diadakan.

Pertama, penguasaan (pengelolaan) pihak swasta atas titik-titik strategis dalam


kawasan Taman Nasional Komodo tidak membawa manfaat apa-apa terhadap
masyarakat dalam kawasan dan untuk Manggarai Barat dan Indonesia secara
umum. Masalah yang muncul justru terjadi tipu daya dan daya tipu dengan
melakukan pencaplokan sumber daya publik dan privatisasi (pengklaiman
perseorangan) atas lahan (pulau) dalam kawasan TNK.
8 | #S a v e k o m o d o
Pengalaman buruk pernah terjadi. Pada 2003 sampai dengan 2012 Taman Nasional
Komodo pernah dikelola oleh PT. Putri Naga Komodo. Dengan mengantongi SK
Kemenhut No. 195/Menhut – II/2004 tanggal 9 September 2003, PT Putri Naga
Komodo diberikan Ijin untuk Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) selama 30 tahun
terhitung sejak 2004 s/d 2034. PT. PNK merupakan joint-venture (perusahaan
kerjasama) antara PT. Jayatsa Putrindo, (kepunyaan seorang pengusaha bernama
Feisol Hasil yang juga pemilik Alam Kul-Kul) dan perusahaan lain yang
menyertainya adalah The Nature Conservancy (TNC).

Namun setelah 10 tahun beroperasi, perusahaan ini kemudian bubar tanpa ada
pertanggungjawaban publik yang jelas. Yang muncul ke publik justru konflik antara
perusahaan dan Departemen Keuangan terkait dana konservasi sejumlah 16 milyard
rupiah. Tidak hanya itu, pada Mei 2015 beredar luas berita yang menunjukkan
adanya pengklaiman atas pulau Mawan oleh Alam Kul Kul. Pulau Mawang adalah
salah satu pulau yang terletak dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

Kedua, kehadiran pihak swasta dalam pengelolaan kawasan strategis Taman


Nasional Komodo akan menambah beban penderitaan bagi masyarakat dalam
kawasan dan juga para pelaku usaha wisata lokal. Seperti diketahui izin usaha yang
diberikan kepada pihak swasta adalah izin usaha jasa dan sarana pariwisata alam,
dimana pihak swasta tidak hanya akan merealisasikan proyek fisik seperti
pengadaan artshop, villa dan menyediakan jasa pramuwisata tetapi juga akses
terhadap jalur-jalur wisata akan dikontrol secara ketat. Jika ini yang terjadi maka
ragam usaha masyarakat setempat seperti homestay, atau penginapan warga, usaha
ekonomi kreatif warga, kapal wisata dan naturalis guide akan tersingkir dengan
sendirinya.

Ketiga, realisasi proyek fisik seperti villa, homestay dan tempat publik fisik lainnya
dalam kawasan taman Nasional Komodo akan membawa dampak buruk pada
keberlanjutan kealamiahan kawasan Taman Nasional Komodo. Ruang hidup dan
penghidupan (habitat) satwa komodo dan hewan lainnya akan terganggu. Siklus dan
rantai eksosistem alamiah akan rusak. Suasana alam yang liar akan menjadi bising
dan tidak terelakkan akan menyebabkan polusi (tanah dan udara). Kawasan pulau
Padar, Pulau Rinca dan Pulau Komodo serta 146 pulau lainnya dalam kawasan
Taman Nasional Komodo dibentuk sejak tahun 1980 diniatkan untuk menjaga
keberlangsungan satwa dan habitat alamiah Komodo bukan untuk diinterupsi
dengan proyek-proyek investasi jangka pendek, menguntungkan segelintir orang dan
yang menggangu cita-cita konservasi berkelanjutan.

Keempat, minat wisatawan baik domestik maupun mancanegara akan menurun.


Sebab seperti diketahui berdasarkan kesaksian para pemandu wisata lokal di
Manggarai Barat, tujuan utama para wisatawan mengunjungi Taman Nasional
Komodo selain untuk menikmati keindahan alam bawah laut juga untuk menikmati

9 | #S a v e k o m o d o
keindahan alam daratan yang bebas dan liar, mendapatkan akses belajar untuk
penelitian lapangan (untuk tamu minat khusus), pun untuk mengalami secara lebih
dekat suasana alam liar dan bagiaman satwa komodo itu hidup di habitat aslinya.
Kehadiran banguan fisik seperti homestay, villa dan lain-lain dalam kawasan Taman
Nasional Komodo sudah barang tentu akan mengganggu akses, manfaat dan
kepemilikan para publik luas (baik wisatawan, peneliti baik domestik maupun
mancanegara) terhadap keindahan, kekayaan alam dan kealamiahan (habitat dan
ekosistem) kawasan Taman Nasional Komodo.

Kelima, dalam tataran kebijakan dan regulasi, terkesan, Pemerintah Pusat melalui
Balai Taman Nasional Komodo dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat
tidak berpihak pada masyarakat dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Dalam
melalui instrumen hukum yang dibuat, pemerintah meloloskan dan membiarkan
pihak swasta untuk bukan hanya mengelola kawasan strategis tetapi juga merebut
ruang kepemilikan, akses, dan manfaat pembangunan pariwisata. Sementara di sisi
lain, ruang hidup dan penghidupan warga dibatasi dan dimarjinalisir. Dalam jeratan
kebijakan konservasi, warga dalam kawasan taman nasional komodo bukan hanya
dilarang untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang ada (mendirikan
sekolah, melaut dan membuka akses jalan), tetapi bahkan secara sistematis
menyingkirkan warga dalam kawasan itu sendiri.

Bahkan Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (FORMAPP)


dalam keterangan resmi yang dikeluarkan pada 5 Agustus 2017 dengan terang
berpendapat bahwa telah terjadi konspirasi antara penguasa dan pengusaha dalam
proses pemberian izin terhadap perusahaan yang mengelola kawasan Taman
Nasional Komodo. Perihal itu tercantum dalam 12 poin catatan Formapp. Salah satu
diantaranya adalah bahwa surat rekomendasi pemerintah daerah melalui Dinas
Pariwisata Manggarai Barat kepada PT. Segara Komodo Lestari bernomor
569/44/II/Bupati/2013 ternyata tanpa konsultasi dan bahkan tanpa sepengetahuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten manggarai Barat.

Keenam, alasan penolakan lain, yang sangat realistis dan mendesak adalah untuk
membendung sekaligus menghindari masuknya pihak swasta (investor) untuk
mengelola kawasan konservasi Taman Nasional Komodo. Sebab, jika mengizinkan
dua perusahaan swasta di atas mengelola kawasan strategis dalam kawasan Taman
Nasional Komodo bukan tidak mungkin pihak swasta lain akan berbondong-
bondong merebut akses dan manfaat pembangunan yang seharusnya diniatkan
untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum. Oleh karenanya kita harus
menentang keras rencana realisasi Proyek Usaha jasa dan sarana wisata alam yang
dilakukan oleh PT. Segara Komodo Lestari di Loh Buaya Pulau Rinca dan PT.
Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar dan Loh Liang Pulau Komodo.

Ragam Gerakan Aksi Protes #Savekomodo

10 | #S a v e k o m o d o
Riwayat aksi yang menyertakan poin-poin penolakan sebagaimana sudah disinggung
di depan dilancarkan dalam ragam gerakan aksi dengan basis utama pada diskusi
intensif kelompok inti yakni Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai
Barat yang diketuai Rafael Todawela. Tujuan ragam gerakan aksi tersebut adalah
membangun gerakan kolektif dengan mengkonsolidasi gerakan publik lintas elemen
secara lebih luas, mengemas dan menyebarluaskan issue bersama, dan memberi
tekanan sosial dan psikologis kepada pembuat kebijakan (negara).

Ragam gerakan aksi tersebut adalah pertama, demontrasi/aksi turun ke jalan dan
ancaman. Melalui dua aksi turun ke jalan, yakni pada Rabu 6 Agustus 2018 dan
Selasa, 21 Agustus 2018, massa aksi memberi tekanan publik khususnya kepada
pemerintah/negara untuk mengambil sikap terhadap polemik yang terjadi. Tidak
hanya itu, tekanan psikologispun dihadirkan yakni melalui ancaman pemboikan
bandara.

Kedua, audiensi, tatap muka dan dengar pendapat. Audiensi dilakukan sebanyak
enam kali sepanjang 17 hari gerakan aksi, yakni pada tanggal 6 Agustus 2018
bersama DPRD Manggarai Barat, Bupati Manggarai Barat dan KLHK melalui BTNK.
Selanjutnya mengunjungi masyarakat tiga desa dalam kawasan Taman Nasional
Komodo dan bersama Menteri LHKH di Jakarta, juga utusan KLHK di Labuan Bajo.
Ketiga, penggandaan kelompok/komunitas gerakan. Elemen-elemen dalam
Formapp Mabar menginisiasi membentuk komunitas gerakan pelapis yakni melalui
Komunitas Petani dan Nelayan Manggarai Barat yang melakukan aksi pada 21
Agustus 2018 dan komunitas cyber savekomodo.id Keempat, media massa dan
media sosial. Selain Formapp yang rutin memproduksi siaran perss, komunitas cyber
savekomodo.id juga gencar melakukan serangan udara melalui varian pamflet dan
poster serta infografik. Kelima, petisi. Elemen cyber Formaap juga selain
melakukan protes melalui media sosial juga menginterupsi change.org untuk
melakukan petisi.

Varian gerakan aksi di atas dikendalikan oleh issue Taman Nasional Komodo, lahan
konservasi bukan investasi oleh karenanya Komodo harus dilindungi, konsep
pembangunan pariwisata yang berkelanjutan harus digagas, pelibatan masyarakat
lokal harus pula menjadi prioritas. Issue ini dikemas sedemikian rupa melalui alat
gerakan sehingga mampu menarik solidaritas publik bukan hanya Labuan Bajo
Manggarai Barat tetapi juga publik Indonesia dan dunia internasional.

Catatan Penutup

Ujung catatan ini sebenarnya hanya berisi tiga bacaan ringkas atas riwayat dan
polemik di atas. Ketiga bacaan sementara itu adalah sebagai berikut: Pertama,
menyorot ragam kebijakan dan regulasi yang dilahirkan pemerintah dalam hal ini
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak terbitnya PP No. 36

11 | #S a v e k o m o d o
tahun 2010 dan Permenhut No. P.48/Menhut-II/2010 sampai pada SK Nomor:
SK.34/PJLKKHL-3/2012 tanggal 14 September 2012 tentang Pengesahan Desain
Tapak Pengelolaan Pariwisata Alam Taman Nasional Komodo menunjukkan dengan
amat terang bahwa KLHK tidak memiliki itikad baik dalam menciptakan, menjaga,
serta mendorong system pengelolaan kawasan konservasi yang terpadu dan
berkelanjutan. Kecenderungan untuk melibatkan pihak swasta dalam dan melalui
ruang regulasi yang dengan sengaja dibuka di satu sisi dan kealpaan peran
masyarakat setempat untuk ditempatkan sebagai mitra strategis di sisi yang lain
menunjukkan dengan sangat jelas perihal itu.

Mengikuti alur riwayat perusahaan swasta memasuki kawasan Taman Nasional


Komodo melalui ruang-ruang kebijakan dan regulasi yang diberikan seperti sudah
sedang menelusuri jalan buntu dan bahkan sesat, yang kemudian melahirkan
pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang arah dan sasaran pembanguan yang
mesti. Bagaimana dan selanjutnya ke mana sebenarnya konservasi ini diarahkan.
Siapa yang mestinya menjadi agen konservasi. Kepada siapa pembangunan atas
nama konservasi ini kemudian dinikmati. Sampai akhirnya pada satu titik, menjadi
masuk akal jika publik kemudian bertanya dengan pertanyaan yang sangat
substansial, bagaimana KLHK membaca secara adil dan bertanggung jawab atas
Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.

Kedua, ragam latar penolakan publik terkait polemik pengelolaan kawasan Taman
Nasional Komodo sebenarnya merupakan gugatan warga negara atas kebijakan
KLHK yang sangat negara-sentris dan harfiah. Yang membaca kebutuhan sosial,
ekonomi, budaya dan politis warga negara melulu pragmatik. regulatif. Demokrasi
sebagai ruang negosiasi politis warga negara diabaikan. Warga negara sebagai subjek
pembangunan dipilah-pilah berdasarkan kelas-kelas sosial, ekonomi dan
pengetahuan. Di situlah titik api amarah publik memuncak. Publik kumandangkan
sikap dengan tagar dan hastag. Simbol-simbol perlawanan atas kebeperhikan yang
alpa, kesejahteraan yang timpang dan distrubusi keadilan yang disumbat
kepentingan.

Ketiga, polemik pengelolaan kawasan Taman Nasional Komodo menjadi ruang


belajar yang menarik sekaligus bijak baik untuk publik maupun lebih-lebih untuk
pemerintah dalam hal ini KLHK. Publik dengan tahu dan mau menjadikan medan
gerakan (yang dimungkinkan dalam demokrasi) sebagai ruang belajar
menyampaikan suara-suara poltis kritis di satu sisi dan sekaligus menempatkan
peran dan martabatnya sebagai warga negara yang semestinya di sisi yang lain. Dan
kepada pemerintah, mulai dari BTNK sampai KLHK (sudah seharusnya) menjadikan
polemik pengelolaan kawasan Taman Nasional Komodo sebagai momen strategis
untuk merevolusi mental baik psikis maupun politis. Menjadi peduli dan lebih
terlibat dan melibatkan diri.
12 | #S a v e k o m o d o
13 | #S a v e k o m o d o

Anda mungkin juga menyukai