Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

“PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERSAINGAN CURANG”


Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis yang diampu oleh :
Dr. Nina Nurani, S.H., M.Si

Oleh kelompok 5 :
Adinda Triana S.P C10180060
Annisah C10180057
Anisa Qori N C10180061
Aqilah Salsabil C10180074
Rizwulan Sari C10180055
Salma Faisha N C10180058

S1 AKUNTANSI B

STIE EKUITAS

Jl. P.H.H. Mustofa No. 31 Bandung 40124 Jawa Barat, Indonesia


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................ 4
2.1 Perlindungan Konsumen ................................................................................................... 4
2.1.1 Pengertian dan Pengaturan Perlindungan.................................................................................. 4
2.1.2 Pencantuman Klausula Baku Dalam Perjanjian ........................................................................ 5
2.1.3 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ................................................................... 7
2.1.4 Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ........................................................................... 9
2.1.5 Penegakan Hukum Konsumen ................................................................................................ 12
2.2 Anti Monopoli Dan Persaingan Curang .......................................................................... 17
2.2.1 Pengertian Monopoli dan Persaingan Curang ......................................................................... 17
2.2.2 Ruang Lingkup Aturan Anti Monopoli ................................................................................... 18
2.2.3 Perjanjian yang Dilarang......................................................................................................... 19
2.2.4 Kegiatan yang Dilarang .......................................................................................................... 22
2.2.5 Posisi Dominan yang Dilarang ............................................................................................... 24
2.2.6 Hal-Hal yang Dikecualikan ..................................................................................................... 24
2.2.7 Komisi Pengawas Persaingan Utama ...................................................................................... 25
2.2.8 Alat-Alat Bukti Pemerikasaan Komisi .................................................................................... 25
2.2.9 Sanksi Bagi Pelanggaran ......................................................................................................... 25
BAB III KASUS .............................................................................................................................. 27
3.1 “AQUA Vs Le Minerale” ................................................................................................... 27
BAB IV KAJIAN KASUS ............................................................................................................... 30
BAB V PENUTUP .......................................................................................................................... 39
5.1 KESIMPULAN ............................................................................................................... 39
5.2 SARAN DAN REKOMENDASI.................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 41

ii
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“ PERLINDUNGAN KONSUMEN dan PERSAINGAN CURANG ”.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini. Semoga Allah senantiasa meridhoi usaha kita.Amin.

Bandung, 17 April 2019

Penyusun

ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


A. Perlindungan Konsumen

Di Indonesia saat ini perlindungan konsumen mendapat perhatian yang cukup baik
karena menyangkut aturan untuk menciptakan kesejahteraan. Dengan adanya
keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen dapatmenciptakan rakyat yang
sejahtera dan makmur. Negeri-negeri yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah
menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat unifikasi, industrialisasi, dan negara
kesejahteraan. Pada tingkat yang pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana
mencapai integritas politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Tingkat
kedua perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirya pada
tingkat ketiga tugas negara yang utama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif
industrialisasi, membetulkan kesalahan-kesalahan pada tahap sebelumnya dengan
menekankan kesejahteraan masyarakat.

Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini


tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat.
Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas.
Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. Hak konsumen
yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi
dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk
barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik melalui
promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung.

Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan,


konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang
dikonsumsinya. Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar bagaimana
memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut pada kesadaran
semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang
pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus
menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman
untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang
sesuai. Pemerintah menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta peraturan-
peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari
pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya
peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik.

Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen


yang direncanakan adalah untuk meningakatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan
secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan
usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Yang perlu disadari oleh konsumen adalah

1
mereka mempunyai hak yang dilindungi oleh undang-undang perlindungan konsumen
sehingga dapat melakukan sasial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan
pemerintah. Dengan lahirnya undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen diharapkan upaya perlindungan konsumen di indonesia dapat lebih
diperhatikan.

B. Anti Monopoli dan Persaingan Curang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu negara besar di Asia
Tenggara dan juga negara Indonesia merupakan negara berkembang di kawasan Asia
Tenggara yang memiliki tingkat populasi penduduk yang tinggi sehingga perekonomian
di Indonesia harus selalu baik guna dapat meningkatkan taraf hidup penduduknya.
Semakin banyaknya bermunculan pelaku-pelaku bisnis baru maka dipastikan makin
ketatnya persaingan diantara pelaku bisnis tersebut, sehingga diharapkan terjadinya
pembangunan dalam bidang ekonomi yang mengarah terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Sejak dahulu juga masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat senang dan
mudah gotong-royong Terkadang tindakan bersaing atau berkompetisi secara tidak sehat
tidak memiliki tempat di masyarakat kita suka bergotong-royong. Namun pada
kenyataannya, pada era globalisasi dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi membuat semakin banyak pelaku usaha berlomba-lomba meningkatkan taraf
hidup masing-masing, semakin banyak timbul persaingan usaha yang tidak sehat. Salah
satu hal yang terjadi mengenai timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat contohnya
para pengusaha yang dekat dengan atau memiliki koneksi dengan elit kekuasaan
memiliki kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kesenjangan
sosial. Munculnya sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung dengan
semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan
perekonomian menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing secara sehat.

Melihat kondisi tersebut diatas, kita dituntut untuk mencermati dan menata
kembali kegiatan usaha di Indonesia yang sudah tidak sesuai dengan cita-cita dan tujuan
perekonomian Indonesia yaitu yang tertera dalam Undang-undang no.5 tahun 1999 yaitu
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, agar dunia
usaha dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan benar sehingga terciptanya iklim
persaingan yang sehat sehingga terhindar dari bentuk praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan konsumen ?


2. Bagaimana pengaturan dalam perlindungan konsumen ?
3. Apa saja hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha ?
4. Apa saja perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dan bagaimana penegakan
hukum konsumen ?
5. Apa yang dimaksud dengan monopoli dan persaingan curang ?
6. Apa saja ruang lingkup monopoli ?
7. Bagaimana bentuk perjanjian, kegiatan, posisi dominan yang dilarang ?
8. Apa saja hal-hal yang dikecualikan ?
9. Bagaimana pengawasan dari para komisi persaingan usaha dan apa saja alat-alat
bukti pemeriksaan komisi ?
10. Apa sanski bagi pelanggaran ?

2
1.3 Tujuan

1. Bentuk pemenuhan tugas dari dosen.


2. Memahami materi tentang perlindungan konsumen.
3. Memahami materi tentang monopoli dan persaingan curang.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perlindungan Konsumen

2.1.1 Pengertian dan Pengaturan Perlindungan


KonsumenIstilah “konsumen” berasal dari bahasa Belanda “konsument,” bahasa
Inggris “consumer”. Yang berarti “pemakai”. Dengan demikian konsumen adalah
“pengguna akhir” (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “produsen” atau pelaku usaha adalah setiap
perorangan atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hokum negara Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatanusaha dalam
berbagai kegiatan ekonomi.
Dari Pasal 3 “Directive”, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
“produsen” adalah :
a. Pihak pembuat suatu produk akhir atau bagian komponennya berupa produk-
produk manufaktur.
b. Produsen dari tiap bahan mentah apapun,atau
c. Tiap orang, yang dengan membubuhkan nama, merek dagang ataupun ciri
pembeda lainnya pada suatu produk adalah mewakili dirinya sendiri sebagai
produsen barang atau produk tersebut.
d. Setiap orang yang mengimpor suatu produk ke dalam lingkungan Economic
Community , apakah untuk dijual, disewakan, dikontrakan, atau bentuk distribusi
lain di dalam perdagangan bisnisnya sebagai produsen dan harus bertanggung
jawab sebagai produsen.

Pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia yang memiliki instrumen hukum


integratif dan komprehenshif terdapat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perindungan Konsumen. Pemberlakuan UU ini dimaksudkan menjadi
landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan perlindungan konsumen swadaya
masyarakat unutk melakukan upaya pemberdayaan konsumen dan melindungi
kepentingan konsumen serta mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong
lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang berkualitas
dengan memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Oleh
karena itu UU Perlindungan Konsumen tersebut memiliki asas sebaia berikut:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelanggaraan perlindungan konsumen harus memeberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan pada konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil

4
ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada kosumen jasa dalam pengunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar banyak pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran
perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.

Sedangkan yang merupakan tujuan dari perlindungan konsumen yang diatur dalam
UU No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran , kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri .
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
akses negatif pemakaian barang dan jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Meciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.

2.1.2 Pencantuman Klausula Baku Dalam Perjanjian


Saat ini, hampir disetiap perjanjian seorang konsumen dihadapkan pada kenyataan
hadirnya “standard contracts”, yaitu suatu perjanjian yang telah dibuat secara sepihak
sebelum ditandatangani perjanjian. Biasanya hal tersebut dilakukan oleh pihak penjual
atau pemberi jasa. Syarat-syarat tersebut berlaku bagi siapapun yang mengikatkan diri
dalam perjanjian atas dasar prinsip “take it or leave it”, tanpa suatu perlindungan
sebelumnya.

Dengan demikian, isi atau klausula perjanjian telah dibakukan atau dituangkan
terlebih dahulu secara sepihka oleh pengusaha yang dituangkan dalam bentuk formulir
(blanko). Konsumen tinggal membubuhkan tandatangan saja, apabila bersedia
menerima aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha, tidak memberikan
kesempatan kepada konsumen untuk membicarakan lebih lanjut klausa yang dimajukan
pihak pengusaha. Klausula baku tersebut mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Hal diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif.

Saat seperti ini, kedudukan konsumen sangat lemah, sehingga menerima saja aturan
dan syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak pengusaha, karena jika tidak demikian
tidak akan memperoleh barang dan/atau jasa dari pengusahanya. Ini menunjukan ketidak

5
seimbangan antara pengusaha dan konsumen didalam membuat perjanjian. Padahal
menurut Pasal 1338 KUH Perdata, setiap orang diberi kebebasan untuk membuat
perjanjian dengan siapapun juga. Asas tersebut tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya
dengan adanya perjanjian klausula baku.

Asas kebebasan berkontrak ini tidak lagi tampil dalam bentuk seutuhnya. Di Negara-
negara yang menganut system hukum Common Law, banyak dilakukan intervensi
terhadap asas kebebasan berkontrak , baik melalui perundang-undangan maupun
putusan-putusan hakim. Kecenderungan untuk melakukan intervensi dan retrikasi makin
lama makin menguat. Sedangkan Negara yang menganut system Civil Law, perundang-
undangan di bidang Consumer’s Protection justru tidak begitu banyak jumlahnya.

Saat ini dengan lahirnya UU No. 8 Tahun 1999, pecantuman klausula baku dalam
dokumen atau perjanjian dibatasi guna menempatkan kedudukan konsumen setara
berkontrak. Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang mencantumkan klausala baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
b. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen.
d. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak pembayaran kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang diblei oleh konsumen.
e. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha secara
langsung atau tidak langsung untuk melakukan segala tindakan hukum sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
f. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
g. Memberi hak kepada pelaku usaha yang untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
h. Menyatakan tunduknya konsumen terhadap aturan baru, tambahan, lanjutan dan
atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.
i. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku
usaha pada dokumen ata perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
di atas dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu pelaku usaha diwajibkan untuk
menyesuaikan klausula baku ynag dibuatnya yang bertentangan dengan undang-
undang.

Dengan demikian sejak adanya Undang-undang No. 8 Tahun 1999, maka tidak
boleh ada lagi klausula baku dalam perjanjian yang merugikan konsumen. Bagi para
hakim sudah selayaknya membatalkan perjanjian yang memuat klausula baku yang

6
merugikan konsumennya, konsumen terpaksa menyetujui klausula perjanjian yang
telah ditetapkan sepihak oleh pengusaha. Saat konsumen dalam kedudukan posisi yang
lemah dibandingkan dengan pengusaha.

2.1.3 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Terdapat 4 (empat) hak dasar konsumen yang sudah berlaku secara universal, yaitu
sebagai berikut :
1. Hak atas keamanan dan kesehatan.
2. Hak atas informasi yang jujur.
3. Hak pilih.
4. Hak untuk didengar.

Selain dari 4 (empat) hak dasar seperti tersebut di atas, dalam literatur hukum
terkadang keempat hak dasar tersebut digandeng dengan hak untuk mendapat
lingkungan hidup yang bersih sehingga kelima-limanya disebut dengan “Panca Hak
Konsumen”.

Di samping itu, perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen selain 4


(empat) hak dasar seperti tersebut di atas, menambahkan beberapa hak lagi bagi
konsumen yang disebut sebagai “Hak Tambahan” bagi konsumen, yaitu sebagai
berikut:
1. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa konsumen.
2. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
3. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
4. Hak untuk mendapatkan kompensasi yang layak atas pelanggaran haknya.
5. Hak-hak yang diatur dalam berbagai perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang


berlaku adalah sebagai berikut:
1. Membaca dan mengikuti petunjuk, informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum tentang sengketa konsumen secara patut.

Kemudian, yang menjadi hak pelaku usaha adalah sebagia berikut:


1. Menerima pembayaran sesuai kesepakatan.
2. Mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan konsumen yang tidak beritikad
baik.
3. Melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelasaian sengketa konsumen.
4. Merehabilitasi nama baik apabila ternyata daam penyelesaian sengketa
konsumen, ternyata kerugian konsumen bukan disebabkan oleh barang dari
pelaku usaha tersebut.
5. Hak-hak lain yang diatur dalam berbagai perundang-undangan.

7
Sedangkan yang menjadi kewajiban sekaligus yang tanggung jawab pelaku usaha
adalah:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benara, jelas dan jujur tentang kondisi dan
pengunaan barang dan jasa.
3. Memberlakukan dan melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak
diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang/jasa sesuai standar mutu yang berlaku.
5. Memberi kesempatan yang masuk akal kepada konsumen untuk menguji atau
mencoba barang/jasa tertentu, serta memberikan garansi atas barang yang
diperdagangkan.
6. Memberikan ganti rugi manakala terjadi kerugian bagi konsumen dalam
hubungan dengan penggunaan barang/jasa.
7. Memberikan ganti rugi manakala terjadi kerugian bagi konsumen jika ternyata
barang/jasa tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
8. Menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purna jual oleh produsen minimal
unutk jangka waktu 1 (satu) tahun.
9. Memberikan jaminan atau garansi atas barang yang diproduksinya.

Dengan demikian setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang
dihasilkannya atau diperdagangkannya. Tanggung jawab pelaku usaha dinamakan
tanggung gugat produk (“product (s) liability”.”product (en) aansprakelijkheid”, atau
“produduzenten-haftung”. Tanggung gugat produk ini timbul dikarenakan kerugian
yang dialami konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa disebabkan
karena kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan/jaminan, atau kesalahan pelaku usaha yang ingkar janji atau melakukan
perbuatan melawan hukum.

Pasal 19 UU No.8 Tahun 1999 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha
terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Menurut pasal tersebut, pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas:
* Kerusakan;
* Pencemaran;
* Kerusakan dan kerugian konsumen;
* Pencemaran dan kerugian konsumen;
* Kerugian konsumen;

Akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkannya atau diperdagangkan.

Bentuk ganti rugi dapat berupa:


 Pengembalian uang
 Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara lainnya.
 Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tanggung jawab pelaku usaha dalam memberikan ganti rugi di atas, tidak berlaku

8
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan
kesalahan konsumen. Ini kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha.

Peradilan pidana kasus konsumen menganut system beban pembuktian terbalik


Pasal 22 UU No. 8 Tahun 1999 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada atau
tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (4). Pasal 20 dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelau usaha tanpa
menutup kemungkinan bagi jaksa unutk melakukan pembuktian.

Jika pelaku usaha menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka menurut Pasal 23 UU No. 8 Tahun
1999 dapat digugat melalui Badan Peneyelasaian Sengketa Konsumen atau
mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

2.1.4 Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Untuk melindungi pihak konsumen dari ketidakadilan, perundang-undagan


memberikan larangan-larangan tertentu kepada pelaku usaha dalam hubungan
dengan kegiatannya sebagai pelaku usaha. Larangan-larangan tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut:
1. Larangan yang berhubungan dengan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
2. Larangan yang berhubungan dengan promosi/iklan yang menyesatkan.
3. Larangan dalam hubungan dengan penjualan barang secara obral atau lelang
yang menyesatkan.
4. Larangan yang berhubungan dengan wajtu dan jumlah yang tidak diinginkan.
5. Larangan terhadap tawaran dengan iming-iming hadiah.
6. Larangan terhadap tawaran dengan paksaan.
7. Larangan terhadap tawaran dalam hubungan dengan pembelian melalui pesanan.
8. Larangan yang berhubungan dengan pelaku usaha periklanan.
9. Larangan yang berhubungan dengan klausula baku.

Berikut ini penjelasannya bagi masing-masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:

1) Larangan yang berhubungan dengan barang dan atau jasa yang diperdagangkan

Oleh perundang-undangan yang berlaku, kepada produsen atau pelaku usaha


dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan atau jasa wajib
menarik dari peredaran barang:
a. Yang tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan.
b. Yang tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih (netto) dan jumlah dalam
hitungan seperti tercantum dalam label.
c. Yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran dan timbangan.
d. Yang tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran seperti tertera dalam label.
e. Yang tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau pengunaan tertentu sebagaimana tertera dalam label.

9
f. Yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket atau
iklan atau promosi penjualan.
g. Yang tidak mencantumkan kadaluwarsa atas barang tertentu.
h. Yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal jika dalam label
dicantumkan kata “halal”.
i. Yang tidak memasang label atau memuat penjelasan tentang barang
tersebut.
j. Yang tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia.
k. Yang memperdagangkan barang yang rusak, cacat tercemar atau barang
bekas tanpa pemberian informasi yang lengkap.
l. Yang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat,
tercemar atau bekas tanpa pemeberian informasi yang lengkap.

2) Larangan yang berhubungan dengan promosi/iklan yang menyesatkan

Dalam hal ini, pelaku usaha oleh prundang-undangan dilarang untuk


menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tariff suatau barang atau jasa.
b. Kegunaan suatu barang atau jasa.
c. Kondisi, tanggunan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau
jasa.
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
e. Bahaya pengunaan suatu barang atau jasa.

Selain itu, pelaku usaha juga dilarang menawarkan, mempromosikan,


mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-
olah:
a. barang tersebut telah memenuhi potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, sejarah atau guna tertentu.
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.
c. Barang dan atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-
ciri kerja atau aksesori tertentu.
d. Barang dan atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi.
e. Barang dan atau jasa tersebut tersedia.
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan atau jasa
lain.
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya,
tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan lengkap.

1
0
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

3) Larangan yang berhubungan dengan penjualan barang secara obral atau lelang
yang menyesatkan

Dalam hubungan dengan penjualan barang secara obral atau lelang, pelaku
usaha dilarang menyesatkan konsumen dengan jalan sebagai berikut:
a. Menyesatkan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tersebut.
b. Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah tidak
mengandung cacat yang tersembunyi.
c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan, untuk menjual
barang yang lain.
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan atau jumlah yang
cukup dengan maksud untuk menjual barang yang lain
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu dan atau jumlah yang
cukup dengan maksud untuk menjual jasa yang lain.
f. Menaikkan harga atau tariff barang dan atau jasa sebelum melakukan
obral.

4) Larangan yang berhubungan dengan waktu dan jumlah yang tidak diinginkan

Pelaku usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan atau


mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tariff khusus dalam
waktu dan jumlah tertentu, manakala pelaku usaha tersebut tidak bermaksud
untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,
dipromosikan, atau diiklankan.

5) Larangan terhadap tawaran dengan iming-iming hadiah

Pelaku usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan atau


mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemeberian
suatu hadiah berupa barang dan atau jasa secara cuma-cuma dengan maksud
tidak memberikannya, atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikan.

Juga, pelaku usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan, atau


mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa
pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemeberian hadiah berupa barang
dan atau jasa lain.
Disamping itu, pelaku usaha dilarang menawarkan barang dan atau jasa
dengan memberikan hadiah melalui undian, jika:
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang
diperjanjikan.
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa.
c. Memberikan hadiah yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
d. Menggantikan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang

1
1
diperjanjikan.

6) Larangan terhadap tawaran dengan paksaan

Dalam menawarkan barang dan atau jasa, pelaku usaha dilarang untuk
melakukannya dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan
gangguan, baik fisik maupun psikis dari konsumen.

7) Larangan terhadap tawaran dalam hubungan dengan pembelian melalui pesanan

Dalam hubungan dengan pembelian barang melalui pesanan dilarang:


1. Untuk tidak menepati pesanan dan atau kesepakatan waktu penyelesaian
sesuai dengan yang dijanjikan.
2. Tidak menenpati janji atas suatu pelayanan dana taau prestasi.

8) Larangan yang berhubungan dengan pelaku usaha periklanan

Dilarang pelaku usaha di bidang periklanan untuk:


1. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan
harga barang dan atau jasa, tariff jasa serta ketepatan waktu penerimaan
barang dan ataua jasa.
2. Mengelabui jaminan atau garansi terhadap barang dan atau jasa.
3. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dana
atau jasa.
4. Tidak memuat informasi mengeani risiko pemakaian barang dan atau jasa.
5. Mengeksploitasi kejadian dan atau seseorang tanpa izin yang berwenang
atau persetujuan yang bersangkutan.
6. Melanggar etika dan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2.1.5 Penegakan Hukum Konsumen

a. Konsekuensi Yuridisi terhadap Pelanggaran Perundang-Undangan tentang


Perlindungan Konsumen

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan perundang-undangan tentang


perlindungan konsumen berakibatkan terhadap kosnekuesni-konsekuensi
hukum sebagai berikut:
i. Kewajiban pelaku usaha/importir/penjual untuk menghentikan
kegiatannya atau menarik barangnya dari peredaran, dan/atau
ii. Memberikan ganti rugi kepada konsumen dalam waktu 7 (tujuh) hari
setelah transaksi dengan beban pembuktian di pihak pelaku
usaha/importir/penjual, dan/atau
iii. Tuntutan pidana kepada pelaku usaha/importer/penjual, dengan beban
pembuktian pada pelaku usaha/importir/penjual tersebut.

b. Badan perlindungan konsumen Nasional

Untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen, dibentuk Badan

1
2
Perlindungan konsumen Nasional yang berkedudukan di ibukota Negara,
dengan anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usuk menteri
setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Bila perlu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk
perwakilan di daerah tingkat propinsi.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas-tugas sebagai


berikut:
i. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
menyusun kebijaksanaan di bidang perlindungan nasional.
ii. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap perundang-undangan.
iii. Melakukan penelitian terhadap barang dan atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen.
iv. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
v. Memasyarakatkan prinsip perlindungan konsumen.
vi. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen.
vii. Melakukan survey yang menyangkut dengan kebutuhan konsumen.
viii. Bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.

1
3
c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi


syarat, diakui oleh pemerintah. Lemabaga ini mempunyai tugas-tugas sebagai
berikut:

i. Menyebarluaskan indormasi untuk meningkatkan kesadaran tentang


perlindungan konsumen.
ii. Memberi nasihat kepada konsumen yang memerlukannya.
iii. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen.
iv. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima
keluhan atau pengaduan dari konsumen.
v. Melakukan pengawasan bersama dengan pemerintah dan masyarakat
terhhadap jalannya perlindungan konsumen ini.

d. Badan Penyelesaian Sengketa Nasional

Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan di dalam pengadilan


(peradilan umum) maupun di luar pengadilan, berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa. Jadi pada pihak dapat memilih secara sukarela
penyelesaian sengketa konsumennya, bisa melalui pengadilan atau di luar
pengadilan. Menurut pasal 45 ayat (2) UU No.8 Tahun 1999 menyatakan
bahwa:
“ Penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan
penyelasaian damai oleh para pihak yang bersengketa yaitu tanpa melalui
pengadilan atau Badan penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak
bertentangan dengan undang-undang ini ”.

Dengan demikian, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melaui


cara-cara berikut:
 Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa (pelaku usaha
dan konsumen) tanpa melibatkan peradilan atau pihak ketiga yang
netral.
 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
 Penyelesaian di luar pengadilan melalui badan penyelesaian
Sengketa Konsumen.

Gugatan yang disengketakan dapat dilakukan oleh seorang konsumen yang


dirugikan atau gugatan kelompok (class action) yang dilakukan oleh;
 Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
 Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
 Pemerintah atau instansi terkait apabila menyangkut dengan
kerugian yang besar atau menyangkut korban yang banyak.
14
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang dibentuk oleh pemerintah di Daerah
Tingkat II. Putusan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan
bukti permulaan yang cukup bagi penyidik unutk melakukan penyidikan, dan
dapat dimintakan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di wilayah tempat
konusmen ynag bersangkutan.

Tugas dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sebagai berikut:


i. Menangani penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi,
konsolidasi dan arbitrase.
ii. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
iii. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
iv. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
v. Menerima pengaduan konsumen
vi. Melakukan penelitian dan pemeriksaan atas sengketa perlindungan
konsumen.
vii. Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran.
viii. Memanggil dan menghadirkan saksi-saksi.
ix. Meminta bantuan penyidik unutk menghadirkan pelaku udaha, saksi,
saksi ahli, atau pihak-pihak lainnya.
x. Mendapatkan, meneliti dana menilai alat bukti dokumen atau alat bukti
lain.
xi. Menetapkan ada atau tidaknya kerugian konsumen.
xii. Memberikan pemberitahuan putusan kepada pelaku usaha yang
bersangkutan.
xiii. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha, berupa ganti rugi
maksimum Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

e. Penerapan Sanksi-sanksi

Sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada konsumen adalah sebagai


berikut:

i. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dapat dijatuhkan oleh pengadilan (umum) setelah melalui
proses melalui pidana biasa, yaitu lewat proses penyidikan, penuntutan dan
pengadilan. Proses penyidikan dilakukan oleh Polisi Negara atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah. Sedangkan
yang melakukan proses penuntutan adalah badan penuntu umum (jaksa) dan
proses pengadilan dilakukan oleh badan peradilan umum yang berwenang.

Sanksi pidana berupa pidana pokok, yaitu:


• Penjara maksimum 5 (lima) tahun atau denda Rp.2.000.000.000,00 (dua
milyar rupiah) unutk perbuatan tertentu, atau
• Penajra maksimum 2 (dua) tahun atau denda Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) unutk perbuatan tertentu, atau
• Pidana penjara umum atau denda umum yang berlaku.

Di samping itu, terdapat juga pidana tambahan berupa:


• Perampasan barang tertenu.
• Pengumuman putusan hakim.
15
• Pembayaran ganti rugi.
• Penghentian kegiatan tertentu.
• Kewajiban penarikan barang dari peredaran.
• Pencabutan izin usaha.

ii. Sanski Perdata


Sanski perdata kepada pihak pelaku usaha yang telah merugikan konsumen
mungkin diberikan dalam bentuk kompensasi atau ganti rugi perdata, yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Perdata yang berwenang.

iii. Sanksi Administrasi


Selain itu, tersedia juga sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang
melanggar perundang-undangan yang berlaku, berupa:
1. Sanksi administrasi berupa ganti rugi dapat dijatuhkan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau pengadilan umum.
2. Sanksi administrasi lainnya yang dijatuhkan oleh pengadilan atau
pejabat pemerintah yang berwenang.

f. Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen

Pasal 29 UU No. 8 Tahun 1999 Tenatng Perlindungan Konsumen


menegaskan bhawa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen tersebut dilimpahkan dan
dilaksanakan oleh menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi bidang perdagangan dan/atau meneteri yang bertanggung jawab
secara teknis menurut bidang tugasnya. Menteri inilah yang melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan-penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen meliputi upaya unutk:
a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konsumen.
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan
kegiatan penelitian dana pengembangan di bidang perlindungan
konsumen.

Sedangkan menurut Pasal 30 UU No. 8 Tahun 1999, pengawasan terhadap


penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur serta penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan diselenggarakan oleh:
a. Pemerintah dilakasanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis
terkait.
b. Masyarakat, dan
c. Lembaga perlindungan konsumen masyarakat dilakukan terhadapa
barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian,
pengujian, dan/atau survei.

Apabila hasil pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan


konsumen swadaya masyarakat, ternyata meyinggung dari peraturan
16
perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri
dan/atau menteri teknis mengambil tindakan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Hasil penagawasan yang diselenggarakan masayarakat dan lembaga


perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada
masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. Ini
berarti hasil pengawasan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat tidak bersifat rahasia, seabb dapat disebarluaskan.
Peraturan pemerintah akan mengatur lebih lanjut ketentuan pelaksanaan tugas
pengawasan terhadap penyelenggaran perlindungan konsumen.

2.2 Anti Monopoli Dan Persaingan Curang

2.2.1 Pengertian Monopoli dan Persaingan Curang

Pengertian yuridis dari monopoli menurut Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 Undang-
undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah
suatu penguasaan atas produk dan atau pemasaran barang atau atas pengunaan jasa
tertentu oleh 1 (satu) pelaku usaha atau 1 (satu) kelompok pelaku usaha. Dengan
demikian, menurut Perundang-undangan tentang Anti Monopoli, dengan praktek
monopoli dimkasudkan adalah sebagai suatau pemusatan kekuatan ekonomi oleh 1
(satu) atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan
usaha secara tidak sehda dan dapat merugikan kepentingan umum.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan “persaingan curang” (persaingan tidak


sehat) dalam pasal satu undang-undang tersebut di atas adalah suatu persaingan antara
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa
yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.

Selanjutnya, istilah “pemusatan kegiatan ekonomi” diberikan arti oleh perundang-


undangan tersebut sebagai suatu penguasaan yang nyata atas suatu pasar oleh satua atau
lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang atau jasa. Istilah “posisi
dominan” yang dimaksudkan dalam pasal 1 tersebut di atas adalah suatau kedaan di
mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan
dalam kaitannya dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan akses pada pasokan atau penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang dan atau jasa.

Kemudian hukum mengartikan persekongkolan atau konspirasi (di pasar) sebagai


siatu bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha yang
lain dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagu kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol.

Monopoli harus dilarang dan diatur oleh hukum karena tindakan monopoli dapat

17
memberikan dampak negatif terhadap:
 Harga barang dan/atau jasa.
 Kualitas barang dan/atau jasa.
 Kuantitas barang dan/atau jasa.

Dalam melarang kegiatan yang mengakibatkan timbulnya monopoli, hukum


menggunakan 2 (dua) pendekatan sebagai berikut:
 Pendekatan Per Se, dan
 Pendekatan Rule of Reason.

Dengan pendekatan “Per Se” yang dimakusdkan adalah bahwa dengan hanya
melakukan tindakan yang dilarang, demi hukum tindakan tersebut dianggap
bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sementara yang dimaksud dengan
pendekatan Rule of Reason, yang dimaksudkan adalah bahwa dengan telah terbukti
dilakukannya tindakan tersebut saja, tidak otomatis tindakan tersebut sudah
bertentangan dengan hukum, tetapi harus dilihat dulu sejauh mana akibat dari tindakan
tersebut menimbulkan monopoli atau akan mengakibatkan kepada persaingan curang.

Larangan dan pengaturan tentang monopoli ini diataur dalam perundang-


undangan yang berkenaan dengan monopoli dan persaingan tidak sehat. Tujuan
pengaturannya adalah agar tercapai keadilan dan efisiensi di pasar dengan jalan
menghilangkan distorsi pasar sebagai berikut:
 Mencegah penguasaan pangsa pasar yang besar oleh seorang atau segelintir pelaku
pasar.
 Mencegah timbulnya hambatan terhadap entri dari pelaku pasar pendatang baru
(first entry barrier).
 Menghambat atau mencegah perkembangan pelaku pasar yang merupakan
pesaingnya.

2.2.2 Ruang Lingkup Aturan Anti Monopoli

Ruang lingkup dari pengaturan anti monopoli adalah sebagai berikut:


1. Perjanjian yang dilarang, berupa:
• Oligopoli - Trust
• Penetapan harga - Oligopsoni
• Pembagian wilayah - Interegrasi vertikal
• Pemboikotan - Perjanjian tertutup
• Kartel - Perjanjian dengan pihak luar negeri

2. Kegiatan yang dialrang, yaitu sebagai berikut:


• Monopoli
• Monopsoni
• Penguasaan pangsa pasar
• Persekongkolan

3. Posisi dominan di pasar, yaitu posisi yang timbul dari kegiatan sebagai
18
berikut:
• Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang
bersaing.
• Pembebasan pasar dan pengembangan teknologi.
• Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar.
• Jabatan rangkap
• Pemilikan saham
• Merger, akusisi dan kososlidasi.

• Diskriminasi harga.
• Prosedur penegakan hukum.
• Badan penegakan hukum, yaitu komisi pengawas persaingan usaha.
• Sanksi administrasi, perdata dan pidana.
• Pengecualian-pengecualian.
• Pengiklanan merupakan bagian yang penting dari strategi pemasaran, oleh
karena itu dalam suatu perjanjian franchise untuk kebijaksanaan
pengiklanan ini biasanya ditetapkan secara terpusat oleh franchisor.

2.2.3 Perjanjian yang Dilarang

Sesuai dengan pengaturan perjanjian dalam KUH Perdata, maka hukum perdata
menyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah:
 Mempunyai kausa yang diperbolehkan.
 Tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
 Dilakuakn dengan itikad baik.
 Sesuai dengan asas-asas kepatuhan.
 Sesuai demham kebiasaan.

Berdasarkan beberapa prinsip perjanjian dalam hukum perdata tersebut, maka


perundang-undangan di bidang anti monopoli mengatur lebih jauh tentang perjanjian-
perjanjian yang dilarang, khususnya yang berkenaan dengan anti monopoli dan
persaingan tidak sehat.

Adapun perjanjian-perjanjian yang dilarang oleh perundang-undangan tentang anti


monopoli adalah sebagai berikut:

1. Oligopoli
Yang dimaksud oligopoly adalah penguasaan pangsa pasar yang besar yang
dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pelaku pasar. Perundang-undangan
di bidang anti monopoli melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lainnya untuk secara bersama-sama melakaukan penguasaan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal ini
pelaku usaha patut diduga telah melakuakan praktek oligopoly manakala secara
bersama-sama oleh 2 (dua) atau lebih pelaku usaha melakuakan penguasaan
19
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebesar lebih dari 75% (tujuh
puluh lima persen) dari pangsa pasar terhadap I (satu) jenis barang dan atau jasa
tertentu.

2. Penetapan Harga
Perjanjian untuk menetapkan harga anatar 1 (satu) pelaku usaha dengan
pelaku usaha sainagnnya juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu persaingan
tidak sehat, sehingga oleh hukum anti monopoli, perjanjian yang demikian
dilarang. Dalam hal ini hukum melarang kegiatan perjanjian yang menetapkan
harga sebagai berikut:
a. Penetapan harga yang sama diantara pelaku usaha (dengan pesaingnya),
kecuali:
 Perjanjian dalam ramgka usaha patungan atau
 Perjanjian yang didasarkan pada undang-undang.
b. Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang
sama.
c. Penetepan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha lain.
d. Peneteapan harga minimum harga jual kembali.

3. Pembagian Wilayah
Yang dimaksud dengan pembagian wilayah dalam hal ini adalah:
 Membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang
dan/atau jasa; dan
 Menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok
barang dan/atau jasa.
Tindakan pembagian wilayah tersebut jelas dapat menimbulkan praktek
monopoli dan persaingan tidak sehat. Karena itu, perjanjian untuk maksud tersebut
dilarang oleh hukum.

4. Pemboikotan
Perjanjian pemboikotan yang dilarang oleh hukum adalah perjanjian sebagai
berikut:
 Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha yang lain (pihak
ketiga) untuk melakukan hal yang sama.
 Perjanjian unutk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari
pelaku usaha lain (pihak ketiga).

5. Kartel
Yang dimaksud dengan kartel adalah suatu kerja sama diantara
produsen/pedagang yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan
harga, dan untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.
Perjanjian untuk melakukan kartel tersebut dapat membatasi persaingan,
sehingga dilarang oleh hukum. Perjanjian kartel yang dilaang tersebut adalah
perjanjian dengan pelaku usaha pesaing dengan tujuan untuk mempengaruhi
20
harga dengan tujuan untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi
dan pemasaran.

6. Trust
Trust adalah suatu kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan
atau memebentuk perusahaan yang lebih besar, tetapi dengan tetap
mempertahankan eksistensi dari masing-masing perusahaan anggota tersebut,
dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atsa barang dan
atau jasa. Hukum mealrang trust yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

7. Oligopsoni
Jika dengan tindakan oligopsoni, hanya 2 (dua) atau 3 (tiga) penjual saja
yang menguasai pasar tertentu, maka dengan istilah oligopsoni, pasar hanya
dikuasai oleh 2 (dua) atau 3 (tiga) pembeli saja. Perjanjian oligopsoni yang
dilarang oleh hukum adalah perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan barang dan/atau jasa dengan
tujuan agar dapat mengendalikan harga. Dalam hal oligopsoni ini adanya apa
yang dapat disebut dengan “presumsi monopsoni”, yaitu adanya dugaan hukum
(kecuali dapat dibuktikan sebaliknya) bahwa tindakan monopsoni telah terjadi
jika dengan perjanjian tersebut, pelaku usaha yang bersangkutan telah menguasai
lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar dari 1 (satu0 jenis produk
tertentu.

8. Integrasi Vertikal
Integrasi vertikal adalah penguasaan sengakaian proses produksi mulai dari
hulu sampai hilir, atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh
seorang pelaku usaha tertentu. Perjanjian yang bertujuan untuk menguasai
sejumlah produk yang termasuk ke dalam rangakaian produksi barang dan aatau
jasa tertentu dimana setiap rangkaian produksi tersebut merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam rangkaian langsung maupun tidak
langsung.

9. Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup adalah perjanjian yang dapat membatasi kebebasan
pelaku usaha tertentu untuk memilih sendiri pembeli, penjual atau pemasok.
Perjanjian tertutup yang dilarang adalh perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
klausulanya memuat salah satu diantara tindakan sebagai berikut:

- Penerima produk hanya akan meamsok kembali produk tersebut


kepada pihak tertentu lainnya.
- Penerima produk tidak akan meamsok kembali produk tersebut kepada
pihak tertentu.
- Penerima produk hanya akan meamsok kembali produk tersebut pada
tempat tertentu saja.
21
- Penerima produk tidak akan meamsok kembali produk tersebut pada
tempat tertentu saja.
- Penerima produk harus bersedia membeli produk lain dari pelaku
pemasok tersebut (tie in agreement atau tying agreement).
- Penerima produk diberikan potongan harga jika bersedia membeli
produk lain dari pelaku pemasok.
- Penerima produk diberikan potongan harga jika tidak membeli produk
dari pelaku pesaing dari pelaku pemasok.

10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri


Suatu perjanjian dengan pihak luar negeri tentu boleh-boleh saja dilakukan
dan hukum tidak mealrangnya. Akan tetapi, yang dilarang adalah apabila
perjanjian dengan pihak luar negeri tersebut memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat, yaitu melakukan perjanjian-perjanjian unutk melakukan hal-hal sebagai
berikut:
- Oligopoli.
- Penetapan harga.
- Pembagian wilayah.
- Pemboikotan.
- Kartel.
- Trust.
- Oligopsoni.
- Integrasi vertikal.
- Perjanjian tertutup.
- Monopoli.
- Monopsoni.
- Penguasaan pangsa pasar yang besar.
- Persengkongkolan yang dialrang.
- Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang
bersaing.
- Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi.
- Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar.
- Jabatan rangkap yang dilarang.
- Pemilikan saham yang dilarang.
- Merger, akusisi, dan konsoslidasi yang dilarang.

2.2.4 Kegiatan yang Dilarang

Disamping dilarangnya berbagai perjanjian yang dapat mengakibatkan timbulnya


monopoli dan persaingan curang, maka perlu perundang-undangan tentang anti
monopoli juga melarang kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut
adaah sebagai berikut:
• Monopoli
Praktek monopoli yang dilarang oleh hukum adalah pemusatan kegiatan
22
ekonomi oleh 1 (satu) atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dana tau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu, yang dapat
mengakibatkan terjadinya monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Di samping
itu, dalam perundang-undangan anti monopoli dikenal pula apa yang dapat disebut
sebagai “presumsi monopoli”. Maksudnya adalah bahwa ada asumsi (kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya), bahwa tindakan monopoli terlarang telah terjadi
manakala terpenuhi salah satu diantara hal-hal sebagai berikut:
a. Produk yang bersangkutan belum ada subtitusinya.
b. Pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha terhadap produk
yang sama.
c. Pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan
bersaing yang signifikan dalam pasar yang bersangkutan.
d. Satu pelaku usaha atau 1 (satu) kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari
50% (lima puluh persen) pangsa pasar dari 1 (satu) jenis produk tertentu.

• Monopsoni
Monopsoni adalah tindakan penguasaan pangsa pasar untuk membeli sesuatu
produk tertentu. Monopsoni yang dilarang adalah jika pelaku usaha:
- Sudah menguasai penerimaan pasokan tunggal.
- Sudah menjadi pembeli tunggal atas produk di pasar.
- Dapat menyebabkan timbulnya monopoli atau persaingan tidak sehat.

Di samping itu, dalam perundang-undangan anti monopoli dikenal pula


apa yang dapat disebut sebagai “presumsi monopsoni”. Maksudnya adalah bahwa
ada asumsi (kecuali dapat dibuktikan sebaliknya), bahwa tindakan monopsony
terlarang telah terjadi manakala 1 (satu) pelaku usaha atau 1 (satu) kelompok
pelaku usaha telah menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar
dari 1 (satu) jenis produk tertentu.

• Penguasaan Pangsa Pasar


Monopoli dan atau persaingan tidak sehat dapat terjadi karena dilakukan
penguasaan pangsa pasar secara tidak fair, yaitu:
- Menolak pesaing.
- Menghalangi konsumen untuk berbisnis dengan pesaing.
- Membatasi peredaran produk.
- Diskirminasi pelaku usaha.
- Melakukan jual rugi atau jual dengan harga sangat rendah.
- Penetapan biaya secara curang.

• Persekongkolan
Monopoli dan atau persaingan curang juga dapat terjadi karena tindakan
persekongkolan dengan pihak lain berupa:
- Untuk mengatur pemenang tender.
- Untuk memperoleh rahasia perusahaan.
- Untuk menghambat pasokan produk.

23
2.2.5 Posisi Dominan yang Dilarang

Posisi dominan di pasar yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan


persaingan curang, karena itu diatur bahkan dilarang oleh perunang-undangan
tentang anti monopoli. Adapun posisi dominan yang dilarang tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan Posisi Dominan


Penayalahgunaan posisi dominan yang daoat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan curang dapat terjadi dalam hal-hal
sebagai berikut:
- Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang
bersaing.
- Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi.
- Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar.

2. Jabatan Rangkap
Jabatan rangkap yang dapat menimbulkan monopoli dan atau persaingan
curang adalah jabatan direksi atau komisaris di 2 (dua) perusahaan dimana:
- Kedua perusahaan tersebut berada dalam pasar yang sama.
- Kedua perusahaan tersebut memiliki keterikatan usaha yang erat.
- Kedua perusahaan tersebut secara bersama-sama dapat menguasai
pansa pasar.

3. Pemilikan Saham
Monopoli dan atau persaingan tidak sehat juga dapat terjadi manakala terjadi
kepemilikan saham (secara mayoritas) di 2 (dua) perusahaan sejenis dengan
bidang kehiatan yang sama di pasar yang sama., jika dengan kepemilikan saham
tersebut mengakibatkan:
- Satu pelaku usaha atau kelompok usaha menguasai lebih 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar, atau
- Dua atau lebih pelaku usaha atau kelompok usaha yang menguasai
lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar.

4. Merger, Akusisi dan Konsolidasi


Tindakan merger, akusisi dan konsolidasi juga rentan terhadap terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Karena itu, perundang-
undangan tentang anti monopoli melarang merger, akusisi dan konsolidasi yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan curang.

2.2.6 Hal-Hal yang Dikecualikan

Perundang-undangan di bidang anti monopoli mengecualikan beberapa hal


anatara lain:
 Terhadap hal tertentu, meskipun dapat mengakibatkan pemiliknya untuk
mendaftarkannya agar dapat diakui dan dilindungi hak-haknya oleh

24
hukum. Yaitu anatar lain perjanjian yang berkaitan dengan hak atas
kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merk, hak cipta, desain, produk
industry, dan lain-lain hak.
 Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang
tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan mereka.
 Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memeuat ketentuan
unutk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih
rendah dari harga yang telah diperjanjikan.
 Perjanjian kerjasama penelitian untuk perbaikan standar kehidupan
masyarakat luas.
 Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI.
 Perjanjian yang bertujuan unutk ekspor yang tdak menggangu kebutuhan
pasokan pasar dalam negeri atau pelaku usaha tergolong kecil, atau
kegiatan koperasi yang khusus bertujuan melayani anggota.

2.2.7 Komisi Pengawas Persaingan Utama

Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang tersebut di atas dibentuk Komisi


Pengawas Persaingan Usaha yang memiliki tugas antara lain:
 Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
 Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
 Melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan posisis dominan
yang kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

2.2.8 Alat-Alat Bukti Pemerikasaan Komisi

- Keterangan saksi.
- Keterangan ahli.
- Surat dan atau dokumen.
- Petunjuk.
- Keterangan pelaku usaha.

2.2.9 Sanksi Bagi Pelanggaran

Undang-undang menentukan berbagai sanksi bagi para pelanggaran yang dijatuhkan


oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha antara lain:
a. Tindakan Administratif terhadap pelaku usaha berupa pembatalan perjanjian dan
atau penetapan pembayaran ganti rugi dan atau pengenaan denda serendah-
rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
b. Tindakan Pidana berupa pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000,00
25
(seratus miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6
(enam) bulan dan sanksi-sanksi lainnya.
c. Tindakan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

26
BAB III
KASUS

3.1 “AQUA Vs Le Minerale”

Kasus ini berawal pada 1 September 2016, para pedagang ritel dan eceran wilayah
Jabodetabek melapor ke kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yaitu suatu
lembaga independen yang memiliki kewenangan besar meliputi kewenangan yang
dimiliki oleh lembaga peradilan untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha.1
Dengan mengaku dihalangi oleh pihak Terlapor2 I yaitu PT. Tirta Investama yang
merupakan produsen air minum dalam kemasan bermerek Aqua dan Terlapor II yaitu
PT. Balina Agung Perkasa yang merupakan salah satu distributor Aqua di wilayah
Jabodetabek, untuk menjual produk Le Mineral yang diproduksi PT. Tirta Fresindo Jaya
(Mayora Group).

Dibuktikan dengan adanya perjanjian ritel yang salah satu klausul perjanjian
menyebutkan, apabila pedagang menjual Le Mineral maka statusnya akan turun dari Star
Outlet3 menjadi Wholesaler4 (eceran).

Bukan hanya itu, pada laporan yang disampaikan para pedagang pun disebutkan
bahwasanya ada ancaman dari Terlapor I dan Terlapor II untuk tidak menjual produk air
minum dalam kemasan yang bermerek Le Mineral di toko yang menjual Aqua di wilayah
Jabodetebek. Hal ini membuat resah para pedagang ritel maupun eceran yang merasa
dijadikan korban dalam persaingan usaha yang tidak sehat antar air minum dalam
kemasan.

Pada 1 Oktober 2016 pihak PT. Tirta Fresindo Jaya melalui kuasa hukumnya
Suyanto Simalango Patria melayangkan somasi7 terhadap PT. Tirta Investama dan PT.
Balina Agung Perkasa. Somasi tersebut di muat dalam surat kabar (koran) regional
Jakarta. Hal ini dilakukan selain adanya aduan dari pedagang ritel dan eceran di wilayah
Karawang juga dikarenakan apabila dibiarkan berlarut-larut akan menyebabkan adanya
penurunaan penjualan Le Mineral. Lebih buruknya akan ada penutupan pabrik
pembuatan Le Mineral di wilayah Jabodetabek. Somasi yang dilakukan pihak PT. Tirta
Fresindo Jaya kepada Terlapor I dan Terlapor II kemudian ditanggapi oleh otoritas
persaingan usaha yaitu KPPU. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kemudian
melakukan proses lanjutan dalam menyelidiki somasi yang dilakukan oleh perusahaan
air minum Le Minerale yaitu PT. Tirta Fresindo Jaya terhadap pihak Aqua yaitu PT.
Tirta Investama dan PT. Balina Agung Perkasa.

Pada 7 Oktober 2016 PT. Tirta Fresindo Jaya memberikan keterangan kepada
KPPU, undangan tersebut ditandatangani oleh R. Frans Adiatma atas nama Plt. Deputi
Bidang Penegakkan Hukum Direktur Investigasi U.B Koordinator Satuan Tugas. Sesuai
dengan surat Pemberitahuan Klarifikasi Penelitian Inisiatif, pihak Le Minerale (TFJ)
bertemu degan tim investigasi KPPU.
Setelah KPPU menerima laporan dari para pedagang eceran wilayah Jabodetabek,
kemudian adanya langkah-langkah yang dilakukan pihak Terlapor I dan Terlapor 2 guna
27
menutupi kesalahan yang sudah dilakukan. Langkah-langkah yang dilakukan berupa
permintaan maaf dan janji-janji hadiah meski dirasa sudah terlambat oleh para pedagang.

Sesuai dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010
mengenai tata cara penangan perkara berdasarkan laporan Pelapor maka tahap
selanjutnya adalah klarifikasi. Setelah adanya klarifikasi maka Seketariat Komisi
merekomendasikan adanya penyelidikan. Penyelidikan dimaksudkan untuk menemukan
ada atau tidaknya bukti dugaan pelanggaran. Selanjutnya tahap pemberkasan dapat
dilangsungkan apabila ditemukannya bukti dugaan pelanggaran dan apabila laporan
hasil penyelidikan dinilai layak maka dapat dilakukan gelar laporan. Setelah
disetujuinya gelar laporan menjadi laporan dugaan pelanggaran maka berdasarkan
penetapan pemeriksaan pendahuluan Nomor 22/KPPU-I/2016 yang menetapkan
pembentukan majelis komisi melalui keputusan komisi Nomor 29/KPPU/Kep.3/V/2017
pada tanggal 2 Mei 2017.

Pada tanggal 9 Mei 2017 gelar perkara mulai bergulir, sidang pertama dengan
agenda pembacaan dan penyerahan salinan laporan dugaan pelanggaaran oleh
investigator.Kemudian sidang lanjutan yang digelar pada Senin, 10 Juli 2017 dengan
agenda sidang mendengar keterangan saksi dari pihak Le Mineral menghadirkan orang
yang telah diberikan kuasa oleh direktur PT. Inbisco Niagatama Semesta yaitu Carol
Mario Sampouw sebagai National Sales Manager. Pada sidang kali ini membahas tetang
akibat dari adanya perjanjian antara Terlapor I dan Terlapor II dengan toko ritel yang
menyebabkan penuruan penjual air minum dalam kemasaan yang bermerek Le Mineral.

Mario mengatakan adanya aduan dari Star Outlet (SO) ataupun pedagang grosir
menjadi awal ke khawatiran pertumbuhan kinerja perusahaannya akan terhambat,
sehingga melakukan survei acak di wilayah Jabodetabek terhadap 13 toko karena adanya
laporan dari Star Outlet (SO) daerah Karawang. Mario juga menjelaskan bahwa
kompetitor utama Le Mineral adalah Aqua, Nestle, Club, Ades dan Prima yang merujuk
pada data Nielsen. Survey AC Nielsen dalam periode Januari 2015 sampai dengan Mei
2017 pada produk kemasan 600 ML untuk wilayah Jakarta menunjukkan Aqua memiliki
pangsa pasar yang paling besar.

Pada tanggal 26 Oktober 2017 Majelis Komisi melaksanakan sidang majelis Komisi
dengan agenda pemeriksaan Terlapor I. Pada sidang kali ini ditemukan bahwasannya
Terlapor I sebagai principal dan Terlapor II sebagai distributor memiliki kontrak atau
perjanjian distributor. Pada hari berikutnya tanggal 27 Oktober 2017, Majelis Komisi
melaksanakan sidang Majelis Komisi dengan agenda pemeriksaan alat bukti dan
dokumen serta dilanjutkan dengan pemeriksaan Terlapor II. Pada persidangan kali ini
ditemukan adanya perilaku yang dilarang oleh Terlapor I dan Terlapor II yang
berhubungan dengan perjanjian tertutup dan hubungan bisnis antara Terlapor I dan
Terlapor II bukanlah hubungan jual-beli putus karena adanya perjanjian khusus yaitu
perjanjian kerjasama adanya penempatan pegawai Terlapor I dalam kantor Terlapor II
yang memang jabatan sebagau KAE, DR, dan Sales Manager.

Setelah mendengar keterangan dari saksi-saksi pihak investigator, kemudian agenda


28
sidang selanjutnya adalah mendengar keterangan saksi pihak Terlapor I maupun
Terlapor II. PT. Tirta Investama melalui kuasa hukumnya Asep Ridwan dan Rikrik
Rizkiyana dari kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners menghadirkan tiga orang
saksi yang dua diantaranya merupakan distributor Aqua dan satunya merupakan Staf
Administrasi PT. Balina Agung Perkasa. Saksi-saksi tersebut dihadirkan dengan tujuan
untuk mengetahui apakah SO di bawah PT. Balina Agung Perkasa memenuhi target
penjualan dan membandingkan dengan distributor lainnya. Pada persidangan Staf
Administrasi PT. Balina Agung Perkasa menyebutkan bahwa SO yang ada di bawah
naungannya banyak yang tidak menembus target kinerja meski status tokonya tidak
diturunkan. Sedangkan PT. Balina Agung Perkasa selaku Terlapor II akan menghadirkan
sembilan orang saksi yang dua diantaranya adalah Supervisor PT. Balina Agung Perkasa
dan ketujuh saksi lainnya adalah SO di bawah naungannya.

Pada tanggal 19 September 2017 PT. Tirta Investama menganggap saksi yang
dihadirkan cukup yaitu dengan 3 orang saksi dari PT. Tirta Investama dan 9 orang saksi
dari PT. Balina Agung Perkasa. Pernyataan tersebut kemudian ditanggapi oleh salah satu
tim investigator KPPU yaitu Helmi Nurjamil, yang mengatakan hadir atau tidak
dihadirkannya saksi oleh Terlapor, diserahkan kepada Terlapor. Namun kewenangan itu
sepenuhnya berada di tangan Ketua Majelis Komisi yaitu Kurnia Syaranie.

Dalam persidangan ditemukan beberapa bukti-bukti. Salah satunya bukti


komunikasi yang dilakukan oleh pegawai PT. Tirta Investama yaitu Sulistyo Pramono
dalam kapasitasnya sebagai Key Account Executive (KAE) kepada Denny Lasut selaku
Senior Sales Manager pada 17 Mei 2016 dan kepada M. Luthfi selaku Depo PT. Tirta
Investama Karawang menggunakan email pribadi perusahaan. Sebelumnya, Tim
Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan bukti surat
elektronik (email) yang dilakukan oleh para karyawan PT. Tirta Investama dan PT.
Balina Agung Perkasa terkait degradasi Start Outlet dari PT. Tirta Investama, produsen
Aqua.

Pada tanggal 19 Desember 2017 pada sidang yang digelar oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), Ketua Majelis Komisi Kurnia Syaranie menyatakan kedua
terlapor yaitu PT. Tirta Investama dan PT. Balina Agung Perkasa terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 15 Ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.

Pihak Aqua (PT. Tirta Investama dan Balina Agung Perkasa) setelah menerima hasil
putusan, maka diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk menentukan langkah
selanjutnya mengajukan keberatan. Terhadap putusan itu Rikrik Rizkiyana sebagai
Kuasa Hukum Terlapor I yaitu PT. Tirta Investama menanggapi bahwa putusan ini tidak
jauh dari apa yang dituduhkn oleh pihak investigator dan majelis sepertinya tidak
mempertimbangkan argumentasi, data, dan fakta-fakta yang diajukan oleh pihak Aqua
selama persidangan.

29
BAB IV
KAJIAN KASUS

Berdasarkan paparan kasus di atas dapat dinyatakan bahwa PT. Tirta Investama dan
PT. Balina Agung Perkasa melakukan berbagai persaingan usaha yang tidak sehat
diantaranya yaitu melakukan perjanjian tertutup dan penguasaan suatu pasar.
1. Perjanjian Tertutup
Diantara larangan yang dilakukan pelaku usaha seperti yang ada dalam Undang-
Undang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah larangan untuk
mengadakan perjanjian-perjanjian tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan persaingan udaha tidak sehat. Perjanjian tertutup merupakan
salah satu perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.

Undang-Undang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 1 angka 7


menyebutkan definisi dari Perjanjian adalah perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dari definisi diatas dapat pula
disimpulkan bahwa unsur-unsur perjanjian menurut UndangUndang Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu:
a. Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan
b. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam
perjanjian
c. Perjanjian dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis
d. Tidak menyebut tujuan perjanjian

Salah satu perjanjian yang dapat mengakibatkan timbulnya persaingan tidak


sehat adalah Perjanjian Tertutup. Perjanjian Tertutup (exclusive agreement) adalah
perjanjian antar pelaku usaha selaku pembeli dan penjual untuk melakukan
kesepakatan secara eksklusif yang dapat berakibat menghalangi atau menghambat
pelaku usaha lain untuk melakukan kesepakatan yang sama.

Perjanjian tertutup juga dapat disebut sebagai excusive dealing yaitu suatu
perjanjian yang terjadi antara mereka yang berasa pada level yang berbeda pada
proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa. Ekslusif dealing ini
terdiri dari:
1. Exclusive Distribution Agreement
Exclusive Distribution Agreements yang dimaksud disini adalah opelaku usaha
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali
produk kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu. Hal ini dapat
menyebabkan berkurang atau hilangnya persaingan pada tingkat distributor yang
membawa implikasi kepada harga produk lebih mahal sehingga konsumen harus
mengeluarkan biaya lebih mahal. Oleh karena itu, Pasal 15 ayat (1) Undang-
undang No. 5 Tahun 1999 dirumuskan secara per se illegal, sehingga ketika
30
pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan tertentu, tanpa harus menunggu akibat dari perbuatan tersebut
langsung dapat dikenakan pasal ini. Namun, karena perjanjian tertutup selain
mempunyai dampak negatif juga mempunyai dampak yang positif maka
sebaiknya dalam menangani kasus memakai prinsip rule of reason.

2. Trying Agreement
Trying Agreement terjadi apabila suatu perusahaan mengadakan perjanjian
dengan pelaku usaha lainnya yang berada pada level yang berbeda dengan
mensyaratkan penjualan ataupun penyewaan suatu barang atau jasa hanya akan
dilakukan apabila pembeli atau penyewa tersebut juga akan membeli atau
menyewa barang lainnya. Beberapa tujuan dari Trying Agreement yang pertama
untuk mempersulit masuk pasar. Kedua, untuk meningkatkan penghasilan
dengan menggunakan kekuatan monopoli pada salah satu barang atau jasa.
Ketiga, menjaga kualitas barang. Oleh karena itu, Pasal 15 ayat (2) Undang-
undang No. 5 Tahun 1999 bersikap cukup keras.

3. Vertical Agreement on Discount


Vertical Agreement on Discount adalah apabila pelaku usaha ingin medapatkan
harga diskon untuk produk tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku
usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak
akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi
pesaing. Oleh karena itu, Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No. 5 Tahun 1999
dirumuskan secara per se illegal.

Dalam peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011


mengenai pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dijelaskan bahwa bentuk-bentuk perjanjian tertutup
yang dimaksud oleh Undang-Undang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
adalah:
a. Perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa hanya akan memasok
barang atau jasa tersebut kepada pihak tertentu atau tempat tertentu.
b. Perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
c. Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang atau jasa
yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang atau jasa
dari pelaku usaha pemasok.
a. Harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok
b. Tidak akan membeli barang atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha
lain yang menjadipesaing dari pelaku usaha pemasok.

Perjanjian Tertutup merupakan termasuk salah satu strategi yang digunakan


oleh pelaku usaha untuk dapat meningkatkan kekuatan pasar bahkan penguasaan
pasar yang dapat mengganggu persiangan usaha dan pada akhirnya akan merugikan
31
pelaku usaha pesaingnya serta merugikan konsumen. Pasal 15 dalam Undang-
Undang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat dijabarkan bentuk-
bentuk Perjanjian Tertutup yang dilarang meliputi:
a. Pasal 15 ayat (1) : Perjanjian yang memuat persyaratan bahwaa pihak yang
menerima barang hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang
yang dan jasa tersebut kepada pihak tertentu dan pada tempat tertentu.
(exclusive dealing distribution).
b. Pasal 15 ayat (2): Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan jasa lain
dari pelaku usaha pemasok (tying agreement).
c. Pasal 15 ayat (3) poin a : Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu
atas barang dan jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang
menerima barang dan jasa dari pelaku usaha pemasok harus bersedia membeli
barang dan jasa lain dari pelaku usaha pemasok (tying agreement dikaitkan
dengan pemotongan harga).
d. Pasal 15 ayat (3) poin b : Perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang
menerima barang dan jasa dari pelaku usaha pemasok tidak akan membeli
barang dan jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi
pesaing dari pelaku usaha pemasok (exclusive dealing dikaitkan dengan
potongan harga).
Latar belakang pelaku usaha membuat perjanjian tertutup :
1. Mengingkatkan kekuatan pasar (market power)
Pengertian dari kekuatan pasar atau market power adalah kemampuan pelaku
usaha untuk menetapkan harga melebihi biaya marjinal dari kegiatan produksi
yang dilakukan, sehingga keuntungan yang dinikmati adalah keuntungan di
atas level harga persaingan atau keuntungan normal. Melalui perjanjian
tertutup, maka akibat negatifnya adalah bahwa akses pelaku usaha lain untuk
melakukan hal yang sama menjadi terbatas, sehingga akan mengurangi
persaingan usaha langsung. Di samping itu perjanjian tertutup ini juga akan
menghambat pelaku usaha baru untuk memasuki pasar.
2. Meningkatkan efisiensi
Perjanjian eksklusif, yang merupakan kontrak jangka panjang yang eksklusif
antara produsen dan distributor sehingga secara positif akibatnya akan dapat
mengurangi biaya observasi, biaya transaksi, biaya monitoring sistem
distribusi.
3. Menjaga persaingan intrabrand
Pelaku usaha umumnya membiarkan persaingan antar produsen karena secara
teknis lebih sulit untuk membuat kartel antar produk. Di sisi lain untuk
menjaga sistem distribusi, dengan dibuatnya perjanjian tertutup secara positif
mereka meminimalkan persaingan antar distributor dengan melakukan
perjanjian tertutup. Dengan demikian dengan perjanjian tertutup ada peluang
untuk menambah kekuatan pasar, meskipun persaingan antar produk cukup
ketat.

32
Untuk dapat membuktikan bahwa perjanjian tertutup tersebut melanggar atau
tidak melanggar ketentuan Pasal 15, maka pembuktian harus dilakukan sesuai
dengan Tata Cara Penanganan Perkara sebagaimana diatur dalam Bab VII dari
Undang-Undang Monopoli dan Persaingan Usaha. Setelah dilaksanakannya Tata
Cara Penanganan Perkara terbukti secara cukup dan patut bahwa perjanjian tertutup
memenuhi kriteria di bawah ini, maka tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut,
perjanjian tertutup harus dinyatakan telah memenuhi kriteria pelanggaran Pasal 15:
1. Perjanjian tertutup yang dilakukan harus menutup volume perdagangan secara
substansi atau mempunyai potensi untuk melakukan hal tersebut. Berdasarkan
Pasal 4, ukuran yang digunakan adalah apabila akibat dilakukannya perjanjian
tertutup ini, pengusaha memiliki pangsa 10% atau lebih.
2. Perjanjian tertutup dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki kekuatan pasar,
dan kekuatan tersebut dapat semakin bertambah karena strategi perjanjian
tertutup yang dilakukan. Ukuran kekuatan pasar adalah sesuai dengan Pasal 4
yaitu memiliki pangsa pasar 10% atau lebih.
3. Dalam perjanjian tying, produk yang dikaitkan dalam suatu perjanjian harus
berbeda dari produk utamanya. 4. Pelaku usaha yang melakukan perjanjian tying
harus memiliki kekuatan pasar yang signifikan sehingga dapat memaksa
pembeli untuk membeli juga produk yang diikat. Ukuran kekuatan pasar adalah
sesuai dengan Pasal 4 yaitu memiliki pangsa pasar 10% atau lebih.

2. Penguasaan Pasar
Undang-undang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur
mengenai kegiatan yang dilarang dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan para
pelaku usaha, apabila kegiatan tersebut dilakukan dapat menyebabkan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Salah satu kegiatan tersebut ialah,
Penguasaan Pasar yang tercantum dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 21 Undang-
Undang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut Pasal 19-21
Undang-Undang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kegiatan penguasaan
pasar yang dilarang adalah yang meliputi:
1. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan (Pasal 19 huruf a)
2. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usah usaha pesaing untuk
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu (Pasal 19
huruf b)
3. Membatasi peredaran bahan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan (Pasal 19 huruf c)
4. Melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi
atau menetapkan harga yang rendah untuk mengingkirkan atau mematikan
usaha pesaing (Pasal 20)
5. Melakukan kecuranagan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya
yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 21)

33
Keingan semua pelaku usaha adalah menjadi penguasa pasar, karena akan
memiliki tingkat keuntungan yang mungkin lebih besar untuk diperoleh oleh pelaku
usaha. Tindakan maupun cara yang dilakukan pelaku usaha untuk mendapatkannya
tidak jarang akan bertentangan dengan hukum yang berlaku. Penguasaan Pasar
biasanya dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki market power di pasar.
Melalui penguasaan pasar maka dapat dipastikan keuntungan yang akan didapat
akan sangat besar. Untuk menguasai pasar, pelaku usaha bisa melakukan apa saja
termasuk kegiatan praktik curang yang merugikan pihak lain. Kegiatan penguasaan
pasar yang dilarang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Wujud
penguasaan pasar yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 dapat terjadi dalam
bentuk penjualan barang atau jasa dengan cara:
a. Jual rugi
b. Melalui praktek penetapan biaya produksi secara curang serta biaya lainnya
yang menjadi komponen harga barang
c. Perang harga maupun persaingan harga

Kegiatan penguasaan pasar yang dilarang adalah ketika penolakan atau


menghalang-halangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama. Menolak atau menghalang-halangi pelaku usaha tertentu dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Menolak pesaing (refusal to deal). Menolak atau menghalang-halangi pelaku
usaha tertentu (pesaing) dalam hal melakukan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan. Salah satu cara yang sering kali digunakan untuk menyingkirkan
pesaing adalah dengan menerapkan strategi refusal to deal.
2. Menghalangi konsumen. Yaitu menghalang-halangi pihak konsumen dari
pelaku usaha lain (pesaing) untuk tidak melakukan atau meneruskan hubungan
usaha dengan pihak usaha pesaing tersebut.
3. Pembatasan peredaran produk. Membatasi peredaran atau penjualan barang dan
jasa pada pasar yang bersangkutan.
4. Diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu pesaingnya.
5. Melakukan jual rugi (predatory pricing). Pemasokan produk dengan cara jual
rugi, yaitu dengan menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya karena tidak mampu lagi
bersaing.
6. Penetapan biaya sevara curang. Melakukan kecurangan atau memanipulasi
dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang merupakan
komponen harga produk sehingga lebih rendah daripada harga sebenarnya.

Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan pendapat hukum


sebagai berikut:
1. Apa fakta-fakta hukum yang dijadikan dasar dilakukannya perjanjian tertutup
oleh PT. Tirta Investama dan PT. Balina Agung Perkasa dengan PT. Fresindo
Jaya? Fakta Hukum adalah uraian mengenai hal-hal yang menyebabkan
timbulnya sengketa.
2. Fakta hukum adalah ada atau tidaknya aturan hukum baik tertulis maupun yang
34
tidak tertulis yang mengatur tentang fakta itu. Fakta hukum dapat didapat dengan
cara mengumpulkan bukti-bukti yang berkaitan dengan terjadinya sengketa
sebelum persidangan ataupun selama dalam proses persidangan berlangsung.
Dalam hukum acara perdata, hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa
pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan, berdasarkan pembuktian
yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya
dapat ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta. Fakta yang dinilai dan
diperhitungkan yang diajukan selama proses persidangan berlangsung. Dalam
kasus ini fakta-fakta hukum yang dapat ditemukan adalah:
1. Bukti Tulis
a. Diterimanya laporan mengenai adanya dugaan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat dalam produk Air Minum Dalam Kemasan
di wilayah Jabodetabek oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dari
para pedagang dan penjual.
b. Obyek dalam perkara ini merupakan produk Air Minum Dalam Kemasan
milik PT. Tirta Investama bermerek Aqua yang dipasarkan oleh PT.
Balina Agung Perkasa dengan produk Air Minum Dalam Kemasan PT.
Fresindo Jaya bermerek Le Mineral.
c. Akta pendirian yang menyatakan bahwa PT. Tirta Investama adalah
sebuah Badan Usaha Berbentuk Badan Hukum.
d. Akta pendirian yang menyatakan bahwa PT. Balina Agung Perkasa
adalah sebuah Badan Usaha Berbentuk Badan Hukum.
e. Form Sosialisasi Pelanggan Star Outlet yang disebarkan secara bersama-
sama maupun sendiri-sendiri oleh Terlapor I dan Terlapor II. Form
tersebut berisikan pelarangan penjualan produk Air Minum Dalam
Kemasan Le Mineral dan apabila ada yang melanggar akan menerima
konsekuensi penurunan harga.
f. Dokumen sistem distribusi produk Air Minum Dalam Kemasan air
mineral Terlapor I dan Terlapor II yang menggunakan dua pola distribusi
yaitu sendiri ke pasar melalui pasar modern melalui depo mandiri dan
menggunakan jasa distributor ke pasar umum.
g. Kotrak perjanjian distributor antara Terlapor I dan para distributornya
salah satunya Terlapor II.
h. Dokumen pricelist atau daftar harga referensi yang berisi Terlapor I
menetapkan harga jual produk kepada Terlapor II dengan adanya surat
penyesuaian harga baru Aqua yang dikirim oleh Terlapor I kepada
Terlapor II pada tanggal 21 Desember 2015.
i. Dokumen mengenai kategori pelanggan berdasarkan target penjualan
milik PT. Balina Agung Perkasa.
j. Dokumen Struktur Organisasi PT. Tirta Investama sales & distribution
yang menunjukan bahwa produk yang dipasarkan pada General Trade
berada di bawah tanggungjawab dari VP sales & distribution yaitu Budi
Stanislaus.
k. Dokumen Struktur Organisasi PT. Balina Agung Perkasa yang
menunjukan Presiden Direktur atau Direktur Utama membawahi
35
langsung Senior Sales Manager & Branch Manager atau Kepala Cabang
yang Presiden Direktur dijabat oleh Ferry Tjendikiawan dan Senior Sales
Manger dijabat oleh Denny Lasut dan Jabatan Chanel Develompment
Manager dijabat oleh Erir Ipama.

2. Bukti Saksi
a. Menurut keterangan saksi para pedagang wilayah Jabodetabek adanya
pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Tirta Invesatama dan PT. Balina
Agung Perkasa terhadap PT. Tirta Fresindo Jaya mengenai pelarangan
penjualan produk Air Minum Dalam Kemasan yaitu Le Mineral.
b. Menurut keterangan saksi Sulistyo Pramono selaku pihak Terlapor 1 yang
berkedudukan sebagai Key Account Executive (KAE) tentang adanya
penurunan status dari Star Outlet menjadi Wholesaler kepada toko Chun-
chun yang telah disepakati oleh Didin Sirajuddin dan Sulistyo Pramono
dikarenakan toko Chun-chun telah menjual produk kompetitor yaitu Le
Mineral.
c. Menurut keterangan para pedagang Star Outlet bahwa ada pengancaman
yang dilakukan oleh PT. Tirta Investama bersama dengan PT. Balina
Agung Perkasa terhadap penjual dengan mengancam akan menurunkan
tingkatan dari Star Outlet (SO) menjadi Wholesaler (WS).
d. Menurut keterangan saksi Yatim Agus Prasetyo adanya penandatangan
bukti dokumen yaitu Form Sosialisasi Pelanggan Star Outlet yang
dilakukan oleh Terlapor I dan Terlapor II secara bersamasama ataupun
sendiri-sendiri.
e. Menurut keterangan Terlapor I dan Terlapor II bukti elektronik yang
didapat bukanlah merupakan tindakan pribadi karena menggunakan
fasilitas perusahaan dan setiap dalam jangka waktu tertentu dilaporkan
kepada perusahaan.
f. Menurut keterangan saksi Terlapor I adanya orang PT. Tirta Investama
yang ditempatkan di PT. Balina Agung Perkasa tepatnya dalam area sales
manager, DR, dan KAE yang jumlahnya 10 orang.
g. Menurut keterangan Terlapor I adanya perjanjian antara PT. Tirta
Investama dengan PT. Balina Agung Perkasa yaitu perjanjian distributor.
h. Menurut keterangan saksi ahli yaitu ahli hukum Prahasto menjelaskan
bahwa PT. Tirta Investama dan PT. Balina Agung Perkasa tidak
melakukan jual beli putus dikarenakan adanya perjanjian distributor.
i. Menurut keterangan saksi ahli yaitu ahli hukum Siti Anisah menjelaskan
tentang jual beli putus.
j. Menurut keterangan saksi ahli yaitu ahli hukum bisnis Siti Nindyo
menjelaskan tentang perjanjian yang mengandung ciri perjanjian
keagenan.

36
3. Bukti Elektonik
Bahwa ditemukannya bukti komunikasi elektronik berupa e-mail antara
pegawai PT. Tirta Investama yang bernama Sulistyo Pramono berkapasitas sebagai
Key Account Executive (KAE) dengan pegawai PT. Balina Agung Perkasa yang
bernama Denny Lasut selaku Senior Sales Manager pada 17 Mei 2016 dan kepada
M. Luthfi selaku Depo PT. Tirta Investama Karawang mengenai degradasi status
Star Outlet menjadi Wholesaler.

4. Pengakuan
a. Menurut pengakuan Sulistyo Pramono selaku pihak Terlapor 1 yang
berkedudukan sebagai Key Account Executive (KAE) tentang adanya
penurunan status dari Star Outlet menjadi Wholesaler kepada toko Chun-chun
yang telah disepakati oleh Didin Sirajuddin dan Sulistyo Pramono dikarenakan
toko Chun-chun telah menjual produk kompetitor yaitu Le Mineral.
b. Menurut pengakuan Terlapor I adanya orang PT. Tirta Investama yang
ditempatkan di PT. Balina Agung Perkasa tepatnya dalam area sales manager,
DR, dan KAE yang jumlahnya 10 orang
c. Menurut pengakuan Terlapor I adanya perjanjian antara PT. Tirta Investama
dengan PT. Balina Agung Perkasa yaitu perjanjian distributor.

Apa fakta-fakta hukum yang dijadikan dasar dilakukannya penguasaan pasar oleh
PT. Tirta Investama dan PT. Balina Agung Perkasa dengan PT. Fresindo Jaya?
1. Bukti Tulis
 Diterimanya laporan mengenai adanya dugaan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat dalam produk Air Minum Dalam Kemasan di
wilayah Jabodetabek oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dari para
pedagang dan penjual.
 Obyek dalam perkara ini merupakan produk Air Minum Dalam Kemasan
milik PT. Tirta Investama bermerek Aqua yang dipasarkan oleh PT. Balina
Agung Perkasa dengan produk Air Minum Dalam Kemasan PT. Fresindo
Jaya bermerek Le Mineral.
 Akta pendirian yang menyatakan bahwa PT. Tirta Investama adalah sebuah
Badan Usaha Berbentuk Badan Hukum.
 Akta pendirian yang menyatakan bahwa PT. Balina Agung Perkasa adalah
sebuah Badan Usaha Berbentuk Badan Hukum.
 Data Survey AC Nielsen bersumber dari PT. Tirta Investama yang
dilaksanakan pada bulan Januari 2015 sampai dengan Mei 2017 dengan
produk SPS 600 ML untuk wilayah survey Jakarta, yang menunjukan bahwa
Aqua memiliki pangsa pasar yang paling besar dibandingkan dengan produk
lainnya.
 Data Survey AC Nielsen bersumber dari PT. Tirta Fresindo Jaya yang
dilaksanakan pada bulan Januari 2015 sampai dengan Desember 2016
dengan produk SPS 600 ML untuk wilayah survey Jakarta, yang
menunjukan bahwa Aqua memiliki pangsa pasar yang paling besar
dibandingkan dengan produk lainnya.
37
2. Bukti Saksi
a. Menurut keterangan Sunaryo selaku pemilik toko Sabar Subur, Werdana
Tanzil selaku pemilik toko Chandra, Yapet Elisur Taebenu selaku pemilik
toko Pulomas Jaya, Parasian Sihite selaku pemilik toko Berkah, Yatim Agus
Prasetyo selaku pemilik toko Chun-chun, Edi Sopati selaku pemilik toko
Nouval, Irwan selaku pemilik toko Sinar Jaya, Julie selaku pemilik toko
Yania, dan Handi selaku pemilik toko Sumber Jaya. Dari keterangan saksi
membuktikan bahwa Aqua merupakan produk paling banyak di jual dan
lebih cepat laku diandingkan produk lainnya.
b. Menurut keterangan PT. Tirta Fresindo Jaya dengan adanya perbuatan yang
dilakukan PT. Tirta Investama dengan PT. Balina Agung Perkasa menutup
kesempatan Le Mineral untuk bersaing secara sehat di pasar bersangkutan
sehingga merugikan pihak Le Mineral dikarenakan tidak tersedianya Le
Mineral di pasaran yang mengakibatkan adanya penurunan pendapatan
didukung oleh data survey.

Apakah fakta-fakta tersebut cukup sebagai dasar pertimbangan hukum bagi majelis
untuk memutus perkara?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pertimbangan adalah pendapat mengenai
baik dan buruk.Sedangkan hukum adalah undang-undang atau peraturan untuk
mengatur pergaulan hidup masyarakat.Pertimbangan hukum adalah pertimbangan
mengenai baik dan buruk sesuai dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku
yang dilakukan oleh hakim sebagai landasan untuk memutus perkara.

Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan.


Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari
hakim yang memeriksa perkara. Pertimbangan atau yang biasa disebut sebagai
considerans merupakan dasar putusan. Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi
2, yaitu pertimbangan tentang duduknya perkara atau peristiwanya dan
pertimbangan tentang hukumnya. Dalam proses perdata terdapat pembagian tugas
yang tetap antara pihak dan hakim: para pihak harus mengemukakan peristiwanya,
sedangkan soal hukum adalah urusan hakim.

Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah
fakta atau peristiwa dan bukan hukumnya. Peraturan hukum hanyalah alat
sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Karena ada
kemungkinan terjadi peristiwa yang meskipun sudah ada peraturan hukumnya,
justru lain penyelesaiannya. Di dalam peristiwa itu sendiri tersimpul hukumnya.

Dari fakta-fakta hukum yang didapat, dapat disimpulkanmpulkan bahwa fakta-


fakta hukum di atas dirasa cukup bagi majelis hakim dalam melakukan
pertimbangan hukum. Diharapkan fakta-fakta hukum yang ada dapat menguatkan
pertimbangan hakim untuk memutus perkara dan mengakhiri sengketa atau perkara
yang ada.

38
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan


hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang
layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen
kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-
hak serta kewajiban mereka.

Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum


dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-
fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para
produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan,
demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan
jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses produksi
yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU
yang telah dibuat oleh pemerintah.

Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta
harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba tanpa membahayakan
konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu
kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang-
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Adapun kegiatan yang dilarang dalam anti monopoli, diantaranya:
 Monopoli
 Monopsoni
 Penguasaan pasar
 Persengkongkolan
 Posisi dominan
 Jabatan rangkap
 Pemilikan saham
 Penggabungan
 Peleburan dan pengambilalihan.

Perjanjian yang dilarang dalam anti monopoli dan persaingan usaha, diantaranya:
oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni,
integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Komisi

39
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia
yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

5.2 SARAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan pendapat hukum di atas dapat disarankan sebagai berikut:

1. Disarankan untuk Pengadilan Negeri maupun KPPU dapat melakukan pengawasan


kepada PT. Tirta Investama dan PT. Balina Agung Perkasa supaya tidak mengulang
kembali pelanggaran yang dilakukan yaitu melakukan perjanjian tertutup yang
merupakan salah satu dari perjanjian terlarang dalam persaingan usaha serta dapat
melakukan bisnis dan aktivitasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau sesuai dengan persaingan usaha yang sehat.

2. Disarankan untuk Pengadilan Negeri maupun KPPU dapat melakukan pengawasan


kepada perusahaan yang memiliki market power untuk pencegahan melakukan
persaingan usaha tidak sehat. Pengawasan kepada PT. Tirta Investama dan PT.
Balina Agung Perkasa juga dapat dilakukan supaya tidak mengulang kembali
pelanggaran yang telah diperbuat yaitu melakukan kegiatan yang dilarang karena
mempunyai kekuatan penguasaan pasar. Kegiatan yang dilarang tersebut yaitu
menghalanghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan persaingan usaha secara
sehat sehingga kegiatan tersebut tergolong dalam kegiatan persaingan usaha tidak
sehat. Serta dilakukannya pengawasan agar PT. Tirta Investama dan PT. Balina
Agung Perkasa dapat melakukan bisnis dan aktivitasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau sesuai dengan persaingan usaha yang sehat.

Rekomendasi Hukum

1. Dapat direkomendasikan untuk Pengadilan Negeri yang menangani perkara, dapat


memutuskan PT. Tirta Investama dan PT. Balina Agung Perkasa bersalah karena
telah melakukan pelanggaran terhadap UndangUndang Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat tepatnya Pasal 15 Ayat (3) huruf b mengenai perjanjian tertutup
sesuai dengan yang telah diuraikan di atas. Dengan hukuman sesuai dengan yang
tertera dalam Pasal 47 Undang-undang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Namun hakim masih harus mengedepankan asas Audi Alteram Partem dalam
persidangan. Agar dapat menghasilkan putusan yang berkeadilan dan dapat
menyelesaikan sengketa dengan adanya putusan tersebut.

2. Dapat direkomendasikan untuk Pengadilan Negeri yang menangani perkara,


Pengadilan Negeri dapat memutuskan PT. Tirta Investama dan PT. Balina Agung
Perkasa bersalah karena telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tepatnya Pasal 19 huruf a dan b
mengenai penguasaan pasar dan persaingan usaha tidak sehat sesuai dengan yang
telah diuraikan di atas. Dengan hukuman sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 47
Undangundang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

40
DAFTAR PUSTAKA

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/6764/MIKKY%20FRIKA%20W%20_%2
014410164.pdf?sequence=1

https://gustingurahblog.wordpress.com/2017/06/04/anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/

https://silpiintansuseno7.wordpress.com/2017/07/06/makalah-perlindungan-konsumen/

Andi Fahmi Lubis, et.al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, GTZ, Jakarta,
2009, hlm.311.

http://kabar24.bisnis.com/read/20170711/16/670224/persaingan-usaha-tidak-sehat-asalmula-
kasus-aqua-vs.-le-minerale

41

Anda mungkin juga menyukai