Anda di halaman 1dari 39

Nama Bengawan Solo pernah dipopulerkan oleh Gesang (alm) dalam lagu keroncong “Bengawan Solo”

yang dibuat pada tahun 1940. Namun kondisi Sungai Bengawan Solo sekarang tidak seindah apa yang
diceritakan di dalam lagu tersebut.

Mata airmu dari Solo

Bengawan Sala adalah sebuah sungai terbesar dan terpanjang di Pulau Jawa. Dua buah kata yang
artinya Bengawan = sungai besar , Solo [bhs. Jawa, ejaan klasik] yang seharusnya ditulis Sala, nama
sebuah desa di wilayah eks Karesidenan Surakarta.

Pemberian nama sungai Sala [Solo] menggunakan nama desa yang terkenal pada zaman kerajaan
Pajang, yaitu desa Sala. Yang kelak menjadi pusat kerajaan baru yaitu Surakarta.

Mengapa tidak menggunakan nama mata airnya ? ini berbeda dengan Sungai Serayu yang mata airnya di
pegunungan Dieng, memang ada sebuah dusun bernama Serayu, juga airnya mengalir sampai jauh dan
akhirnya ke laut selatan.

Terkurung gunung seribu

Mata air ini berasal dari lereng gunung seribu [pegunungan Sèwu] yang terletak di sebelah tenggara
wilayah eks Karesidenan Surakarta. Dari mata air tersebut mengalir ke arah barat daya dan menjadi
batas antara wilayah Kabupaten Pacitandengan Kabupaten Wonogiri.

Kemudian sungai tadi membelok ke barat memasuki wilayah Kabupaten Wonogiri, setelah sampai di
desa Kakap sungainya mengalir ke arah utara, dan ketika sampai di sebelah selatan kota Wonogiri,
menjadi lebih besar karena adanya tumpahan air kali Keduwang yang sumbernya dari Gunung Lawu.

Setelah melewati kota Wonogiri aliran sungai ini menuju ke arah barat laut, dan mendapatkan
tumpahan air kali Dengkeng yang mata airnya dari Gunung Merapi. Kemudian membelok ke arah timur
laut. Setelah masuk di wilayah kota Surakarta mendapatkan tumpahan air Kali Pepe yang mata airnya
dari Gunung Merbabu.

Kini Sungai Sala sudah menjadi lebih besar dan mengalir masih ke arah timur laut dan menerima
tumpahan air Kali Kedungbang yang sumber airnya dari Gunung Lawu.

Setelah sampai di sebelah utara Kota Sragen yaitu di desa Sukawati, sungai Sala berkelok ke timur
sampai di perbatasan wilayah Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Sragen, mendapatkan tumpahan kali
Kedungbanteng, yang mata airnya juga dari Gunung Lawu.
Air mengalir sampai jauh

Kemudian dari Ngawi sungai Sala ini mengalir ke arah timur bertemu dengan Kali Gentong atau kini
terkenal dengan nama Sungai Madiun. Dari situlah Sungai Sala menjadi lebih besar, karena semua sungai
dari Wilayah Panaraga, Madiun, Magetan dan Ngawi masuk ke Bengawan Madiun semua.

Dari kota Ngawi bengawan Sala mengalir ke arah utara memasuki wilayah kabupaten Rembang, diantara
Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojanegara, terus ke utara sampai di wilayah Cepu mendapatkan
tambahan dari Kali Batokan yang sumbernya dari mata air Gunung Gamping sebelah utara kota Blora.

Dari situ Bengawan Sala airnya berkelok-kelok ke arah timur masuk wilayah Kabupaten Bojanegara,
setelah sampai di distrik Padangan, mendapat tambahan dari kali Gandongan, yang mata airnya dari
Gunung Pandan. Dari kecamatan Malo aliran sungainya berkelok ke timur lurus, sampai di kota
Bojanegara bertemu dengan kali Kening yang bersumber dari mata air Gunung Gamping wilayah
Rembang sebelah tenggara .

Akhirnya ke laut

Kemudian terus mengalir ke arah timur dan menjadi perbatasan antara Kabupaten Bojanegara dengan
Kabupaten Tuban. Setelah sampai di kecamatan Kapas, Bengawan Sala mendapatkan tambahan dari Kali
Pacal, yang mata airnya dari Gunung Pandan. Setelah sampai di kawedanan Pelem membelok ke utara
sampai di kawedanan Rengel dan belok ke timur sampai di Babad Kabupaten Lamongan. Dari Babad
mengalir ke arah timur dan menjadi batas kabupaten Tubandengan Kabupaten Gresik. Kemudian
Bengawan Sala memasuki Kabupaten Gresik, dan masih berkelok-kelok ke arah timur sampai di kota
Sedayu dan sampailah ke laut Jawa, di sebelah utara selat Madura

Itu perahu riwayatmu dulu

Bengawan Sala dahulu mulai dari Ngawi sampai ke Cepu, para pedagang selalu menggunakan jasa
angkutan air yakni perahu. Memang pada zaman itu Cepu pasarnya terkenal paling besar. Menjadi pusat
perdagangan yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Para pedagang dari pesisir utara jika akan menjual barang dagangannya ke wilayah Jawa timur bagian
utara mengambil jurusan Cepu-Gresik, kalau yang akan memasarkan ke selatan melalui jalur Cepu-
Ngawi. Dari Ngawi bisa ke barat ke pusat kerajaan di Surakarta, atau ke Madiun-Magetan-Pacitan.
Mungkin pula Ngawi-Mojokerta.

Bengawan Solo di Bojanegara [foto. dok.pri]

Ada pula perahu yang mengambil jurusan Cepu ke Kalitidu, Bojanegara, Babad, Sidayu hingga Gresik.
Perjalanan air ini karena pada masa itu [ sebelum tahun 1900 M] belum dibangun rel kereta api jurusan
Gundih –Surabaya.

Sehingga tidak aneh jika pada waktu itu angkutan air justru mendominasi transportasi di sepanjang
Bengawan Sala, tidak hanya puluhan perahu, tetapi konon sampai ratusan perahu yang memenuhi Kali
besar itu.

Kecuali transportasi air untuk melancarkan roda ekonomi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada
waktu itu, aliran Bengawan Sala juga dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkut
kayu-kayu jati dari wilayah hutan Cepu.

Kayu jati yang ditebang itu, dipotong-potong yang selanjutnya digandeng menjadi rakit, dan digered
dengan perahu.

Sumber ;

1. Lagu bengawan Solo, Gesang

2. Cariyosipun Banawi Solo, KRAA. Reksa Kusuma, 1916

------

Sungai bengawan solo merupakan sungai terpanjang yang berada di pulau jawa , sungai ini memiiki
panjang kurang lebihnya 548,53 km yang mengaliri dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kabupaten yang dilalui meliputi tiga bagian yaitu, wilayah Administratif Hulu ( Wonogiri, karanganyar,
ponorogo, boyolali, sragen, dan klaten), Wilayah Administratif tengah (Sukoharjo, solo, ngawi, madiun,
magetan, blora, cepu), wilayah administratif hilir ( bojonegoro, tuban, lamongan, dan gresik).

di wisata bengawan solo ini sobat bisa menyaksikan peninggalan bangkai kuno yang tenggelam di sungai
tersebut sekitar 300tahun yang lau, konon, kapal yang memiliki panjang 40meter dan lebar kurang lebih
8meter tersebut merupakan kapal milik saudagar dari cina yang tenggelam saat berlayar meuju ngawi.
Sungai bengawan solo ini juga juga memiliki tradisi yang di laksanakan pada setiap tahunnya
yaitu Tradisi Larung Getek Joko Tingkir yang bertujuan untuk untuk mengenang perjalan joko tingkir saat
mengarungi sungai tersebut.

Bengawan Solo pada tahun 1860-an (litografiberdasarkan lukisan oleh Abraham Salm)

Bengawan Solo adalah sungaiterpanjang di Pulau Jawa, Indonesiadengan dua hulu sungai yaitu dari
daerah Pegunungan Sewu, Wonogiri dan Ponorogo, selanjutnya bermuara di daerah Gresik. "Bengawan"
dalam bahasa Jawa berarti "sungai yang besar". Pada masa lalu, sungai ini pernah
dinamakan Wuluyu, Wulayu, dan Semanggi (dieja Semangy dalam naskah bahasa Belanda abad ke-17)

Sungai ini panjangnya sekitar 548,53 km dan mengaliri dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kabupaten yang dilalui meliputi tiga bagian yaitu:

Wilayah Administratif Hulu

Sunting

1. Wonogiri, Hulu utama pertama (Daerah Tangkapan Air Gajah Mungkur)


2. Karanganyar
3. Ponorogo, Hulu utama kedua (Daerah Tangkapan Air Kali Madiun)
4. Boyolali,
5. Sragen,
6. Klaten

Wilayah Administratif Tengah

Sunting

1. Sukoharjo,
2. Solo,
3. Ngawi,
4. Madiun,
5. Magetan,
6. Blora,
7. Cepu

Wilayah Administratif Hilir


Sunting

1. Bojonegoro,
2. Tuban,
3. Lamongan, dan
4. Gresik

----

Di daerah perbatasan Blora – Tuban – Bojonegoro, sekarang masuk wilayah antara Kedewan dan Senori
Tuban ditemukan 47 kuburan batu. Mereka diyakini sebagai sekelompok orang yang disebut Kalang yang
hidupnya di tengah lebatnya hutan dan berlindung di gua-gua. Dan kemungkinan mereka termasuk dari
rumpun Malaya-Polynesian awal yang hidup pada masa megalitikum suatu zaman yang menghasilkan
bangunan-bangunan batu besar yang berkembang setelah zaman kehidupan bercocok tanam meluas.

Menurut pendapat lain, dilihat dari temuan perkakas dari logam di tempat tinggalnya seperti pisau
dapur, kapak tebang dan lain-lain. Orang Kalang adalah sekelompok pekerja/kuli; seperti kuli kayu, dan
kuli batu.

----

------

November 2012 warga Dusun Bandung, Desa Kalangan, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro,
mendapat berkah tiban. Mereka menemukan bangkai kapal di dasar Sungai Bengawan Solo yang
melintas di dusun itu. Bahkan, warga berhasil mengangkat serpihan lambung kapal tersebut. Bentuknya
seperti daun pintu rumah dari baja. Menurut Kaslan, untuk ukuran Kali Bengawan Solo, bangkai kapal
tersebut tergolong cukup besar. Panjangnya diperkirakan 25 meter dan lebar mencapai 8 meter.

Terlebih, tak jauh dari penemuan bangkai kapal itu, terdapat benteng Van den Bosch atau yang disebut
warga Benteng Pendem. Benteng Belanda itu terletak di titik pertemuan Bengawan Solo dan Bengawan
Madiun di Ngawi. "Kami yakin (bangkai kapal) itu peninggalan Belanda setelah menghubungkan dengan
Benteng Pendem," katanya.
artefak (peninggalan sejarah) zaman penjajahan tersebut masih bisa disaksikan di Desa Kalangan,
Bojonegoro. Di sana terdapat sumur-sumur tua peninggalan Belanda yang tinggal fondasi-fondasinya

Menurut catatan, penemuan bangkai kapal di Bengawan Solo tidak hanya kali ini. Dua tahun lalu,
misalnya, ditemukan bangkai kapal di aliran Bengawan Solo di Kecamatan Ngraho dan Kecamatan Malo.
Dua kapal tersebut diduga berasal dari tahun 1300-an. Kapal-kapal tersebut diidentifikasi berasal dari
luar (Nusantara). Salah satunya dari kerajaan di Bangkok, Thailand.

----

Perburuan emas di perairan Bengawan Solo di Bojonegoro, Jawa Timur, yang dilakukan warga asal
Ngawi

Muspika Kecamatan Kalitidu sempat mengeluarkan larangan warga di luar Bojonegoro, mencari harta
emas di perairan Bengawan Solo di Desa Ngraho, Kecamatan Kalitidu.

Meski ada larangan, sebagian warga asal Ngawi, masih tetap melakukan perburuan emas di perairan
Bengawan Solo, dengan berpindah ke Desa Sudu, Kecamatan Kalitidu

Dalam sejarah yang ada wilayah setempat di Desa Sudu, merupakan lokasi ajang peperangan Ario
Penangsang di jaman kerajaan Jipang Panolan

Baik warga asal Ngawi dan di wilayah setempat berhasil memperoleh sejumlah perhiasan emas, dalam
bentuk butiran, serpihan, dan cuping emas. "Mereka memiliki peta yang diperkirakan menyimpan benda
berharga itu," kata Camat Kalitidu, Nurul Aizah.

Untuk menuju ke lokasi kraca'an ini juga cukup mudah. Jika dari arah Kecamatan Padangan, anda harus
berbelok menuju jalan ke Kabupaten Ngawi. Jika sudah sampai di perempatan Desa Tinggang, kemudian
menuju ke arah barat atau menuju ke Desa Payama. Jika sudah di desa Payaman anda bisa bertanya
kepada warga sekitar, di mana lokasi air kraca'an. Anda akan langsung di arahkan menuju surga kecil
yang cantik ini.

Daerah kraca'an merupakan perbatasan yang memotong wilayah Bojonegoro dengan Kabupaten Blora
Jawa Tengah. Aliran air sungai kraca'an ini memisahkan Desa Payaman dengan Desa Ngloram,
Kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah.
"Air sungai yang surut membuat palung di tengah sungai ini muncul dan membentuk aliran air layaknya
air terjun Niagara," ujar salah satu warga sekitar, Muhadi, pada BANGSAONLINE.com.

Dahulu kala Sungai Bengawan Solo mengalir tenang dari hulunya di wilayah utara hingga bermuara di
Pantai Sadeng yang kini berada di Kabupaten Gunung Kidul. Namun, empat juta tahun yang silam,
sebuah proses geologi terjadi. Lempeng Australia menghujam ke bawah Pulau Jawa, menyebabkan
dataran Pulau Jawa perlahan terangkat. Arus sungai akhirnya tak bisa melawan hingga akhirnya aliran
pun berbalik ke utara. Jalur semula akhirnya tinggal jejak yang perlahan mengering karena tak ada lagi
air yang mengalirinya. Wilayah ini menjadi kaya akan bukit-bukit kapur yang menurut beberapa
penelitian, semula merupakan karang-karang yang berada di bawah permukaan laut.

Kini, bekas aliran sungai yang populer lewat lagu keroncong berjudul Bengawan Solo ciptaan Gesang itu
menjadi objek wisata menarik. Tak ketinggalan Pantai Sadeng yang menjadi muaranya, selain menjadi
objek wisata juga menjadi salah satu pelabuhan perikanan besar di Yogyakarta. Keduanya menjadi jejak
geologi yang berharga. Beberapa waktu lalu, sempat diadakan paket wisata menyusuri jalur Bengawan
Solo Purba hingga muaranya.

Baru-baru ini sebuah kapal di ketemukan di Bojonegoro diperkirakan pada 1810'

di dasar sungai Bengawan Solo, tepatnya di Desa Ngeraho, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro,
Jawa Timur, akhirnya bisa diangkat oleh warga ke tepi sungai.

dalam perahu tersebut warga menemukan beberapa uang logam bertuliskan huruf China yang diduga
terdapat kandungan emas yang dibuat pada tahun 1810 Masehi. Perahu yang terbuat dari besi dengan
panjang sekitar 22 meter dan lebar lima meter ini terlihat berkarat dan sebagian sudah rusak. Di duga
perahu ini merupakan peninggalan era kerajaan Majapahit.

Louis Napoleon sebagai penguasa negeri Belanda pada saat itu, mengangkat Herman Williem Daendels
tahun 1808sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda . Tugas utama Daendels adalah mempertahankan
Pulau Jawa dari ancaman Inggris dan mengatur Pemeerintahan di Indonesia , dikenal sebagai
mpenguasa yang disiplin dan Keras sehingga mendapatkan sebutan " Marsekal Besi" atau Jenderal
Guntur

Bahkan ternyata seratus tahun yang lalu, sungai terpanjang di Pulau Jawa itu juga pernah dikisahkan
dalam sebuah buku berjudul “Tjariosipoen Benawi Sala”. Buku itu ditulis dalam aksara Jawa dan
diceritakan dalam bahasa Jawa. Pengarangnya adalah Raden Adipati Arya (RAA) Reksakusuma, Bupati
Bojonegoro (sekarang masuk wilayah Jawa Timur). Buku dicetak di Batavia (sekarang: Jakarta) pada
tahun 1916 oleh percetakan NV Uitgevers Mij Papyrus HM van Dorp & Co.

Buku ini setebal 54 halaman termasuk halaman judul. Isi buku cukup unik, yaitu mengisahkan tentang
aliran Sungai Bengawan Solo dari hulu ke hilir, manfaat, bahaya, serta kisah-kisah mitos di sepanjang
aliran, terutama di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Dikisahkan bahwa aliran sungai ini berhulu di daerah
Wonogiri dan berhilir di daerah Surabaya Jawa Timur. Sungai itu melewati beberapa kabupaten di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, serta bertemu dengan beberapa sungai lainnya, seperti Sungai Dengkeng,
Sungai Kedung Bang, dan Sungai Madiun.

Setelah itu, buku ini mengisahkan manfaat Sungai Bengawan Solo (tertulis: Benawi Sala), antara lain
untuk hilir mudik perahu (tertulis: baita lan gethek) perdagangan yang banyak dijumpai di sepanjang
wilayah Cepu, Ngawi hingga Bojonegoro. Bahkan dalam sejarah, sungai ini sering dilalui perahu Kerajaan
Kasunanan Surakarta hingga ke Surabaya dan sebaliknya. Di pinggir sungai banyak dijumpai pasar-pasar
besar di sepanjang wilayah Bojonegoro hingga wilayah Babad, Sidayu, dan Gresik. Manfaat lain, pasir
pinggir sungai bisa digunakan untuk menguruk halaman rumah agar tidak becek, lumpurnya bagus untuk
rabuk, dan juga berkaitan dengan penambangan pasir dan batu kerikil.

Di sisi lain, dijabarkan bahayanya Sungai Bengawan Solo, antara lain setiap musim penghujan
mendatangkan banjir (tertulis: bena). Bahkan hingga sekarang, luberan air Sungai Bengawan Solo terus
terjadi dan menghantui kawasan pemukiman di sepanjang pinggir Bengawan Solo, terutama di daerah
Solo hingga ke hilirnya. Jadi banjir Sungai Bengawan Solo sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

Kemudian diuraikan beberapa tempat di aliran Sungai Bengawan Solo yang rawan dan angker, karena
memang kondisi sungai maupun kisah cerita yang berkembang di masyarakat Jawa kala itu. Beberapa
tempat di sepanjang Sungai Bengawan Solo yang rawan dan angker itu di antaranya adalah: wilayah
Kerek, Kedung Maya, Guwa Sentana, Pasar Sore, Tinggang, Bengawan Getas, Kedung Wer Pitu, Sobrah
Penganten, Kedung Waleyan, Kedung Srungga, Pepundhen Tulung, dan Makam Buyut Kencana.
Kebanyakan wilayah yang rawan dan angker itu di wilayah Bojonegoro. Begitu tulis buku ini.

Satu kisah yang berkaitan dengan rawan dan keangkeran Sungai Bengawan Solo berada di wilayah
Bengawan Pasar Sore. Tempat itu berada di sisi utara Dusun Jipang, Panolan, Kabupaten Blora. Menurut
cerita masyarakat setempat, Sungai Bengawan Solo di dekat tempat itu sangat rawan dilalui perahu,
karena di dasar sungai banyak terdapat batu besar dan sangat terjal, salah satunya disebut batu Gong.
Kemudian di sekitarnya membentuk cekungan, sehingga rawan dilalui perahu. Menurut kepercayaan
setempat, batu itu dulu milik Arya Penangsang, penguasa wilayah Jipang.

-----
Dalam literatur kolonial Belanda, Bojonegoro selalu digambarkan sebagai salah satu daerah termiskin
dan paling terbelakang di Jawa. Tanahnya tandus dan hampir tidak ada irigasi……lahan pertanian
Bojonegoro berkualitas buruk…daerah yang subur di dekat Bengawan Solo juga sering menjadi sia-sia
terkena banjir selama musim hujan. (CLM Penders (1984), Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic
Poverty in North-east Java-Indonesia)

Kota Bojonegoro adalah kota peradaban yang dilalui sungai terpanjang di Jawa, Bengawan Solo. Hampir
sebagian hewan purba mendiami bantaran Bengawan Solo. Hingga kini fosil hewan purba di Bojonegoro
berlimpah di sepanjang Bengawan Solo. Bengawan Solo pada masa lalu bukan hanya sebagai jalan
transportasi saja tapi juga sebagai pusat peradaban.

Bojonegoro pada awalnya bernama Rajekwesi. Pusat pemerintahan pertama adalah Jipang, yakni
mencakup Cepu dan Padangan. Lokasinya di sepanjang Bengawan Solo bagian barat Bojonegoro.

Bengawan Solo yang menghantarkan para pedagang dari Tiongkok, Kerajaan Demak, dan Majapahit
berdagang dengan orang Bojonegoro.

Bengawan Solo juga yang menghantarkan Sasradilaga menyerang Rajekwesi yang dikuasai Belanda. Lalu
Belanda dipukul mundur. Terjadi genjatan senjata. Belanda akhirnya mengganti nama Rajekwesi dengan
nama Bojonegoro. Kekalahan yang memalukan Belanda lalu membuat Belanda mengganti nama
Rajekwesi menjadi Bojonegoro.

Lalu mengapa Belanda tertarik menguasai Bojonegoro? Jawabnya karena Bojonegoro memiliki sumber
daya alam melimpah. Bojonegoro memiliki minyak, jati, tembakau, dan lahan yang subur saat itu.
Kesuburan lahan itu disebabkan adanya Bengawan Solo, dan kecocokan lahan ditanami tanaman yang
produktif dan diminati pasar Eropa saat itu, seperti jati dan tembakau.

Meski berlimpah sumber daya alam, masyarakat Bojonegoro masa lalu masih terjerat kemiskinan,
pemerintahan yang tidak berpihak rakyat. Akibatnya, hingga 2007 Bojonegoro adalah kabupaten
termiskin nomer 3 di Jawa Timur. Bahkan CLM Penders dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942: A Story
of Endemic Poverty in North East Java Indonesia menyebutkan bahwa kemiskinan Bojonegoro sudah
sangat mewabah. Tanah yang gersang dan sulit ditanami tumbuhan, tanaman di bantaran Bengawan
Solo yang diterjang banjir.

Penders mengilustrasikan bahwa kemiskinan di Bojonegoro pada 1900-1940 seperti kemiskinan oleh
warga Rangkasbitung di Lebak dalam buku Max Havelaar karya Multatuli. Dimana-mana rakyat miskin.

Bahkan saat zaman pembangunan orde baru, Bojonegoro nyaris tak tersentuh pembangunan yang
berarti. Rakyat masih miskin, infrastruktur jalan yang rusak dari mulai poros kabupaten hingga desa dan
lingkungan. Kelas sekolah banyak yang rusak.

Pertanyaan mendasar sesungguhnya adalah, darimana sebenarya akar kemiskinan di Bojonegoro? Saya
teringat catatan CLM Panders dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in
North East Java Indonesia. Dalam versi Indonesia yang diterjemahkan secara pribadi oleh Albard Khan,
buku itu berjudul Bojonegoro 1900-1942 Kisah Kemiskinan Endemik Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur.

Kemiskinan seperti telah menjadi bagian dari sejarah Bojonegoro. Dari dulu tanah Bojonegoro dikenal
tandus karena mengandur kapur. Bukan hanya itu, persoalan banjir ternyata bukan hanya dalam dekade
terakhir ini saja. Namun, sudah ada sejak akhir abad 18 dan diawal abad 19.

Ironisnya, Penders dalam salah satu bab dalam buku itu menyebut kondisi Bojonegoro seperti di Lebak
kedua, Jawa Barat. Jika Anda pernah membaca buku Max Havelaar karya Multatuli atawa Douwes
Dekker maka Anda tahu cerita kemiskinan yang dialami Saijah dan Adinda di Rangkasbitung Kabupaten
Lebak. Miskin, terlantar dan dieksploitasi oleh VOC.

Namun, Bojonegoro agak beruntung dibandingkan Rangkasbitung, tanah yang tandus karena berkapur
masih menjadi berkah bagi masyarakat. Lahan yang keras itu ternyata cocok untuk palawija seperti
jagung dan tembakau. Dalam catatan Penders, tanaman tembakau yang menjadi andalan Bojonegoro
diperkirakan telah ada sejak abad 16. Tanaman itu dibawa oleh Portugis saat ke Indonesia.

Dalam catatan Penders menyebutkan, pemerintahan kolonial Belanda telah melakukan berbagai upaya
untuk mengentaskan masyarakat Bojonegoro dari jerat kemiskinan. Namun, pemerintah Belanda
mengakui belum mampu menyejahterahkan rakyat Bojonegoro. Penyebabnya sederhana, mental
birokrat yang bobrok dan kepicikan kaum pribumi. Kekayaan alam sebelum ditemukan minyak pada
zaman kolonial yang melimpah, seperti hutan jati dan tembakau ternyata belum mampu mengangkat
derajat kesejahteraan rakyat Bojonegoro. Bahkan, rakyat terjerat dalam belitan renternir Belanda dan
pribumi kaya saat itu.

*****

Saya tidak tahu alasan persis Penders mengkaji kemiskinan Bojonegoro. Mengapa Penders tidak
mengkaji Lamongan atau Tuban? Mengapa Bojonegoro? Hingga tuntas saya membaca catatan Penders,
saya tak menemukan alasan baik secara sosiologis maupun kultural mengkaji Bojonegoro. Hanya di kata
pengantar buku itu, Penders menyebutkan bahwa arsip yang berkaitan Bojonegoro di Departemen
Tanah Jajahan Belanda jumlahnya sangat melimpah. Artinya, sebagai sebuah kajian keilmuan semata,
arsip dan data sangat memadai sebagai bahan tulisan.

Dan harus diakui catatan-catatan Penders tentang Bojonegoro sangat detail. Dia mengaku tak pernah
ke Bojonegoro. Catatan yang ditulis berdasarkan arsip dan surat kawat para pejabat Belanda di
Indonesia dengan pemerintahan Belanda.

Ada sejumlah penyebab Bojonegoro mengalami kemiskinan yang hebat saat itu, diantaranya minimnya
irigasi, diskriminasi pendidikan, dan terjerat utang yang menumpuk kepada renternir. Namun, bagi saya,
Penders juga harus menambahi penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan. Ada diskriminasi kelas,
antara priyayi dan rakyat jelata.

Penerapan kebijakan Politik Etis oleh Belanda sempat menyelamatkan Bojonegoro. Di bidang
pertanian, Belanda membuat irigasi dengan membangun waduk Pacal pada 30 Agustus 1927 yang
menelan biaya hingga 1,2 juta gulden. Di bidang pendidikan yang berhak menikmati pendidikan adalah
anak-anak priyayi dan orang kaya. Sedangkan anak orang miskin dilarang sekolah.

Disisi lain Belanda juga mengenalkan sistem pembayaran berupa uang kepada rakyat Bojonegoro.
Bukan hanya mengenalkan, Belanda juga meminjamkan uang melalui bank. Banyak rakyat tergiur
meminjam uang di bank. Penders mencatat, Belanda memberikan pinjaman benih padi kepada rakyat di
Baureno senilai 13 ribu gulden. Tapi, pinjaman itu terancam tak dapat dikembalikan karena kondisi
cuaca yang tak menentu.

Belanda akhirnya memberi pekerjaan kepada warga Baureno agar dapat mengembalikan pinjaman.
Yakni, mengangkuti batu dari Gunung Pegat (lintasan Pegunungan Kendeng di Bojonegoro) untuk
membangun jalan. Jika tak keliru , Gunung Pegat berada di jalur Babat-Jombang. Hingga sekarang sisa-
sisa peninggalan Belanda masih ada di Gunung Pegat yang membujur hingga Desa Gunungsari
Bojonegoro.

Rakyat yang rata-rata petani terjerat utang karena bunga bank sangat tinggi. Penyebabnya, hasil dari
pertanian impas bahkan kurang dari hasil pertanian yang diperoleh. Bukan hanya itu pejabat kolonial
dan administratur bank juga banyak yang korup. Sehingga makin mencekik rakyat Bojonegoro yang
meminjam uang kepada bank.

***

Dalam kesempatan perbincangan dengan saya, Bupati Bojonegoro Suyoto mengaku dirinya berkaca dari
buku Penders itu untuk mengambil kebijakan politik kesejahteraan rakyat Bojonegoro. Bentuk
kemiskinan pada zaman kolonial yang dialami rakyat Bojonegoro seperti dalam catatan Penders tak jauh
berbeda dengan terjadi saat ini. Beruntung kebijakan Belanda saat itu masih ada yang berpihak kepada
rakyat. Yakni, dengan membangun waduk Pacal. Pertanian Bojonegoro pun hingga kini terselamatkan.

Belanda juga membangun transportasi kereta api. Beruntungnya Bojonegoro termasuk stasiun besar.
Jadi sebagai stasiun utama. Jalur KA inilah digunakan untuk mengangkut jati, tembakau dan hasil
perkebunan lainnya ke Semarang. Dari Semarang lalu dikirim ke Eropa.

Bukan hanya itu, mengentaskan kemiskinan juga bukan soal memberikan pancing dan kail. Tapi, bagi
saya, adalah memperbaiki mental. Dari mental peminta menjadi pendaki. Untuk itu butuh revolusi
kebudayaan. Ujungnya adalah menjadikan warga ini bermental pemberi. Dalam bahasa agama, adalah
sedekah. Semakin banyak kita memberi maka semakin banyak kita akan menerima.

Namun, lagi-lagi urusan revolusi kebudayaan bukan hanya fisik, tapi mental. Karena kegagalan kolonial
Belanda saat itu bukan karena kebijakan yang buruk tapi mental birokrat, legislator serta priyayi yang
buruk dan korup. Kalau mental peminta baik birokrat, legislator maupun rakyatnya ini masih belum
berkurang maka revolusi kebudayaan pun tinggal papan nama.

Penanganan kemiskinan bukan sekadar slogan dan retorika serta angka saja. Namun, butuh langkah
kongkret yang langsung dirasakan masyarakat. Dan jauh lebih penting adalah menciptakan birokrat yang
bersih dan benar-benar melayani rakyat.
Nah, kembali ke Bojonegoro, satu abad setelah tragedi kemiskinan ada 1900-1942, kini Bojonegoro
memiliki visi besar. Yakni menjadi lumbung pangan dan energi negeri. Visi Bojonegoro ini menjadi sangat
menarik. Mengapa? Karena visi ini jika berhasil maka Bojonegoro yang sangat miskin akan menjelma
menjadi masyarakat yang sejahtera dalam waktu yang tak lama.

A. Bojonegoro Masa Pra Sejarah

1. Masa Satu Juta Tahun Lalu

Bagaimana wajah Bojonegoro satu juta tahun lalu? Bojonegoro satu juta tahun lalu adalah lautan dalam.
Buktinya, banyak ditemukan hewan yang hidup di laut. Salah satunya adalah molusca. Fosil molusca
banyak ditemukan di Desa Soko Kecamatan Temayang. Jarak antara Desa Temayang dengan Bojonegoro
sekitar 30 Km. Lokasi desanya bukan di tengah kota tapi di pelosok, masuk hutan.

Bukan hanya fosil molusca saja yang membuktikan Bojonegoro pada masa lalu adalah molusca, tapi juga
banyak peninggalan pra sejarah hingga kolonialisme Belanda yang banyak ditemukan di Desa Soko ini.

Menuju Desa Soko diperlukan stamina yang cukup kuat. Desa ini terletak sekitar 20 Km dari Kecamatan
Temayang. Arahnya, jika Temayang di pertigaan Desa Pajeng Kecamatan Gondang belok ke kiri. Dari
pertigaan Desa Pajeng itu, jaraknya masih sekitar 8 Km. Sekitar 5 Km telah dipaving. Sisanya belum
dipaving. Namun, sisanya jalan berbatu (makadam) dan harus pandai-pandai mencari jalan yang bagus.
Bukan hanya itu, kondisi jalan juga masih naik turun yang cukup tajam sehingga perlu hati-hati yang
ekstra. Perkampungan pertama yang ditemui adalah Desa Pajeng, selebihnya adalah hutan jati dan non-
jati jika ke Desa Soko.

Sesampai di Desa Soko, suasana purba cukup terasa. Belasan batu menyerupai lumping diletakkan di
depan Kantor Desa Soko. Batu yang cukup besar itu berdiameter 1 meter. Tingginya sekitar 0,5 meter.
Ditengahnya berlubang. Ada yang masih utuh dan ada yang patah. Ada yang berukuran kecil. Batu
menyerupai lumping itu ditemukan sejumlah warga desa setempat dari sawah dan sekitar perumahan
mereka. Diperkirakan jumlahnya masih lebih banyak lagi yang masih tertimbun di persawahan desa
setempat. Batu menyerupai lumpang itu diperkirakan peninggalan zaman Majapahit.

Ada dua kemungkinan, batu itu merupakan alat untuk menumbuk padi dan beras pada zaman kerajaan
Majapahit. Selain itu, batuan itu merupakan tempat sesaji warga desa setempat yang diletakkan di
persawahan desa setempat. Batuan tersebut diduga tempat sesajen zaman Majapahit. Sesaji itu untuk
persembahan Dewi Sri.

Majapahit memilih lokasi ini sebagai tempat lokasi singgah sebab di desa ini ada mata air. Mata air itu
letaknnya ditengah sawah yang dikelilingi hutan. Airnya sangat jernih dan tak pernah habis meski di
musim kemarau.

Selain, batuan berbentuk lumpang yang ditemukan. Desa ini juga kaya peninggalan purba peninggalan
sekitar jutaan tahun lalu, seperti batuan karang. Padahal batuan karang itu hanya ditemukan di daerah
sekitar laut. Tapi di Desa Pajang batuan karang ini berserakan sangat banyak. Jika beruntung, maka akan
ditemukan fosil purba baik itu udang besar (lobster) maupun fosil daun yang telah menyatu dengan
batuan karang. Desa Soko diperkirakan pada satu juta atahun lalu lautan.

Batuan karang itu digunakan sebagai pembatas tanah atau rumah oleh warga desa setempat. Batuan
karang itu, juga digunakan oleh warga desa setempat pinggir rumah mereka.

Di Desa Soko Kecamatan Temayang bukan hanya peninggalan pra sejarah dan Majapahit, namun juga
peninggalan kolonialisme Belanda. Buktinya, ditengah hutan di lereng pegunungan Kendeng ditemukan
bekas bangunan yang sudah roboh. Bangunan itu diduga adalah bekas perumahan Belanda. Dugaan lain
adalah bekas waduk yang dibangun Belanda.

Kekayaan sejarah bukan hanya peninggalan para sejarah dan Majapahit. Tak jauh dari balai Desa Soko,
terdapat makam Dampo Awang. Dia merupakan salah satu panglima perang dari pasukan Cheng Ho. Di
samping balai desa juga ada rumah dalang khusus untuk ruwatan, Mbah Soekijah. Dalang tanpa gamelan
ini sangat langka. Dia harus menjalani puasa 40 hari sebelum pentas dalang.

Peninggalan sejarah bukan hanya ditemukan di perkampungan Desa Soko saja. Namun ditemukan juga
di tengah hutan Desa Soko yang berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk. Jumlah penduduk Desa Soko
2.470 jiwa, 783 KK, sedangkan luasnya sekitar 3.900 meter persegi.

Desa Soko berbatasan dengan Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk. Dulu, Kecamatan Ngluyu masuk
wilayah Bojonegoro. Namun, pada tahun 1900 oleh Kasultanan Jogjakarta kedua wilayah dipisah.
Wilayah Ngluyu masuk Nganjuk, sedangkan Soko masuk Temayang (Bojonegoro). Kedua wilayah itu
hanya dipisahkan dengan pegunungan Kendeng. Akibat pemisahan itu, salah satu makam Bupati
Bojonegoro KRTM Sostrodiningrat saat ini berada di Dusun Cabean Desa Sugihwaras Kecamatan Ngluyu.

Untuk ke pegunungan Kendeng, perjalanannya tak mudah. Lokasi gua dan peninggalan kolonialisme itu
ke arah timur dari perkampungan Desa Soko. Jalan pertama kami susuri adalah jalan tegalan sawah.
Kami harus hati-hati melewatinya karena menggunakan motor. Setelah sawah, kami melewati hutan
semak belukar. Sekitar 1 Km, kami tiba di jalan agak lebar sekitar 2 meter. Ada bekas ban. Berarti jalan
tersebut dilewati kendaraan roda empat. Tapi kondisi jalannya rusak parah. Kami hanya melewati sisi
tengahnya saja, karena kanan kiri cekungan dalam dan tak mungkin dilewati roda doa. Sekitar 2 Km,
melintas jalan tersebut, kami berhenti. Sebab, jalan yang akan kami lewati, jalannya sangat jelek. Motor
tak mungkin bisa melewatinya. Motor dikunci dan tinggal begitu saja di tengah hutan yang cukup lebat.
Perjalanan kami lanjutkan jalan kaki. Dalam perjalanan, penunjuk jalan, Nur Salim bercerita, sepanjang
perjalanan kami melewati hutan, dulu banyak ditemukan kuburan orang Majapahit. Di dalam kuburan
itu, banyak ditemukan monte (perhiasan orang Majapahit yang dibawa mati). Cara menemukan kuburan
Majapahit itu mudah, biasanya dipermukaan tanah ada kreweng (pecahan genteng). Monte itu lalu
dijual oleh warga setempat.

Sekitar 1 Km berjalan, akhirnya kami berhenti. Lalu kami masuk ke hutan. Nur Salim didepan kami
membabat ilalang dan semak belukar. Sekitar satu jam mencari, kami tak menemukan bekas bangunan
tersebut. Akhirnya, kami istirahat. Dan Nur Salim mencari bangunan bersama Suheri. Bangunan itu
akhirya ditemukan, tapi sudah roboh. Tak ada yang yang tersisa dari bangunannya tersebut. Panjang
bangunan yang roboh itu sekitar 30 meter. Hanya terlihat permukaanya saja. Lokasinya, oleh warga
setempat dinamakan, Sendang Mbeji. ‘’Kalau melihat bangunannya sudah ada semennya, maka ini
diperkirakan bekas bangunan Belanda,’’kata sejarawan lokal, Harry Nugroho.

Warga setempat, Sumardi mengaku belum pernah mendengar cerita tentang bangunan di tengah hutan
tersebut. Begitu pula, sekdes Soko Jauhari juga belum pernah mendengar cerita tentang bangunan
tersebut. ‘’Tapi sendang Mbeji pada zaman dulu dikeramatkan oleh warga setempat,’’kata Sekdes Soko
Jauhari.

Tak jauh dari Sendang Mbeji, membentang pegunungan Kendeng yang berbatasan langsung dengan
Kecamatan Ngluyu. Di pegunungan Kendeng yang masuk wilayah Desa Soko ditemukan sedikitnya 9 gua.
Dua gua yang terbesar adalah Gua Gogor dan Gua Gondel. Di Gua Gondel pernah ditemukan mahkota
yang diduga milik raja. Mahkota itu berlapiskan emas. Namun, mahkota itu akhirnya raib dicuri orang.

Potensi Desa Soko yang kaya dengan sejarah sudah seharusnya dikelola baik oleh pemerintah. Salah
satnya, menjadikan Desa Soko ini sebagai wisata sejarah.

Bukti lain Bojonegoro pada satu juta tahun lalu adalah lautan adalah penemuan Fosil Ikan Paus di
Kecamatan Temayang Bojonegoro. Diperkirakan usia 3 juta tahun lalu. Fosil ikan paus ini ditemukan kali
pertama di di Indonesia Fosil ikan paus ditemukan di Kali Jono Desa Buntalan Kecamatan Temayang.

Banjir ternyata tak selamanya menjadi musibah. Bagi Supangat, seorang anggota TNI berpangkat serda
di Kecamatan Temayang, banjir adalah berkah. Ditemukan pada 4 April 2012, Saat itu, Supangat sedang
libur piket jaga di pos TNI Temayang. Dia ingin menyalurkan hobinya. Yakni mencari fosil.

Pagi yang cerah usai menyelesaikan pekerjaan rumah. Dia melangkah menuju Kali Jono yang tak jauh
dari rumahnya.

Air sungai sedang dangkal. Kaki telanjangnya lincah melewati rerumputan dan tanah lempung berpasir
menuju pinggir sungai.

Tanah di pinggir sungai itu masih terlihat basah dan ditimbun tanah yang berpasir. Tanah yang basah itu
adalah sisa banjir tumpahan air dari wilayah selatan.

Di bibir sungai, kakinya melangkah pelan turun ke sungai. Lalu dia menelusuri sungai. Pandangan
matanya terus mengarah ke bawah. Lalu disingkapnya, sampah daun. Matanya tertegun melihat bentuk
bebatuan yang tak lazim. Dia mencoba meraba bebatuan itu.

Dia yakin, itu bukan batu biasa. Itu fosil. Dugaannya tak meleset. Ternyata, bentuknya panjang. Lalu dia
mencoba dengan pelan mengambil bebatuan itu. Satu per satu akhirnya terangkat.

Setelah dilihat utuh, fosil itu seperti tulang punggung. Kalau tulang punggung berarti hewan vertebrata.
Bukan hanya itu saja, disamping fosil itu ada tulang samping yang menyambung dengan tulang
punggung atau belakang. Usahanya tak berhenti, dia lalu menelusuri sungai Buntalan lagi.

Tak jauh dari penemuan tulang belakang, dia menemukan fosil yang berbentuk seperti tulang leher
ikan.
Dia menyakini, fosil yang ditemukan adalah ikan besar. Sebab dari tulang yang ditemukan cukup besar,
yakni satu kepalan lebih tangan orang dewasa. Untuk sementara, dari hasil penemuan fosil ikan hiu ini,
panjangnya 2,3 meter. Diperkirakan masih lebih panjang lagi. Sebab, masih banyak fosil yang belum
ditemukan.

‘’Tak ada mimpi sebelumnya, tapi penemuan adalah hobi saja,’’kata Supangat. Fosil itu kini disimpan di
rumahnya di Desa Buntalan.

Temuan fosil itu akhirnya disampaikan kepada pengelola Museum 13, Harry Nugroho. Harry pun
melakukan penelitian.

Jenis batuan tempat penemuan fosil ikan paus adalah formasi lidah. Kedalaman dari permukaan sekitar
10 m-300 m. Ciri batuan lidah adalah terumbu dan batu gamping berlapis. Perkiraaan usia fosil itu
dilihat dari jenis batuannya adalah 3 juta-700 ribu tahun lalu. Sebelumnya di Sugihwaras juga pernah
ditemukan, tapi tak selengkap yang ditemukan di Temayang ini.

Peneliti Museum Geologi Bandung, Erick Setiyabudi mengapresiasi penemuan fosil ikan besar di
Bojonegoro. Fosil ikan paus ini merupakan kali pertama ditemukan di Indonesia.

Dugaan kuat, fosil ikan besar yang itu adalah paus. Sebab, ikan paus memiliki tulang belakang
(vertebrata). Sedangkan ikan besar seperti hiu tak memiliki tulang belakang. Tapi tulang rawan. Sehingga
ikan hiu akan hancur jika sudah matu lama. Berbeda dengan ikan paus. Merupakan jenis hewan mamalia
yang memiliki tulang belakang. Kalau ikan hiu tak memiliki tulang belakang, tapi tulang rawan.

Di Pulau Seram Papua juga pernah ditemukan ikan besar. Namun bukan jenis ikan paus. Yakni, lebih
mengarah ke jenis dynosaurus. Usianya 65 juta tahun. ‘’Kalau ikan paus yang di Bojonegoro itu satu-
satunya yang baru ditemukan di Indonesia,’’tegasnya.

Untuk memperkuat temuan fosil ikan besar di Bojonegoro, Erick akan akan mengkonsultasikan kepada
ahli ikan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Konsultasi tersebut untuk memperoleh
keterangan yang lebih detail tentang tulang dan jenis ikan.

Bupati Suyoto juga mengapresiasi temuan fosil ikan paus ini. Dia berharap bukti sejarah ini dapat
merangkai sejarah Bojonegoro di masa lalu. ‘’Karena itu perlu diamankan jangan sampai terjual ke pasar
gelap,’’tegasnya.

Di pasar gelap fosil, penemuan seperti tulang ikan paus purba ini dihargai sangat mahal. Diperkirakan
mencapai puluhan hingga ratusan juga rupiah. Karena itu, penemuan fosil ikan paus ini harus
diamankan. Pentingnya juga memberikan penghargaan dan apresiasi kepada penemunya.

Penemuan Fosil Tanduk Kerbau di Bengawan Solo

Fosil tanduk kerbau berukuran 1,7 meter itu diletakkan di atas bangku yang berada di dalam museum
mini SDN 2 Panjunan. Satu tanduk ditemukan utuh, satu tanduknya lagi telah patah. Tanduk itu
dipisahkan kepala kerbau yang tingga kerangka namun beberapa fosil gigi kerbau ditemukan masih
utuh. ‘’Fosil gigi kerbau sangat berguna untuk mengetahui umur fosil tanduk kerbau ini,’’kata penemu
fosil tanduk kerbau Dimun Suprapto.

Tanduk kerbau itu ditemukan pada 28 September 2013 di aliran Bengawan Solo. Tepatnya di sepanjang
aliran Kecamatan Malo. Dimun tak bersedia mengungkapkan titik lokasi penemuan tanduk kerbau
tersebut. Alasannya, dirinya tak ingin ada pencurian terhadap kekayaan sejarah dan prasejarah
Bojonegoro. ‘’Kalau diketahui titik lokasinya maka saya yakin akan banyak pencuri fosil yang
berdatangan ke Bojonegoro,’’ujar pria asli Kalitidu.

Penemuan ini berawal dari ketekunan Dimun bersama Suheri dan Hary Nugroho mencari fosil pra
sejarah di sepanjang Bengawan Solo. Saat musim kemarau seperti ini, air Bengawan Solo surut sehingga
mempermudah mencari fosil binatang purba di sepanjang aliran sungai terpanjang di Pulau Jawa ini.
‘’Tidak ada warga yang memberitahu kami terkait fosil tanduk kerbau tersebut, jadi murni kami mencari
sendiri,’’ujarnya.

Fosil kerbau dengan nama latin Bubalus Paleokarabau ini diperkirakan berusia 300 ribu-10 ribu tahun.
Karena dinilai cukup tua, penemuan fosil tanduk kerbau ini mendapatkan apresiasi para peneliti dari
Museum Geologi Bandung. Rencananya, para peneliti dari museum Geologi Bandung akan ke
Bojonegoro pada November mendatang untuk meneliti fosil tanduk kerbau tersebut.

Perkiraan usia fosil tanduk kerbau tersebut bakal ditentukan oleh hasil penelitian dari sejumlah kerangka
yang ditemukan dan tanah yang menempel di fosil tersebut. Bisa saja, fosil tanduk kerbau lebih tua
usianya. Sebab, usia Bengawan Solo diperkirakan mencapai 1 juta tahun lalu. Bengawan Solo pada masa
purba menjadi lokasi berkumpulnya binatang purba mencari air.

Bagi Dimun, penemuan fosil tanduk kerbau ini adalah temuan terbesarnya selama menjadi pencari
benda sejarah dan pra sejarah di Bojonegoro. Sebelumnya, ratusan fosil telah ditemukan Dimun, Suheri
dan Hary Nugroho, namun temuan yang agak utuh adalah fosil tanduk kerbau ini.

Dimun berencana menjual fosil tanduk kerbau ini. Dana penjualan fosil kerbau ini akan digunakan
sebagai operasional pencarian benda dan situs pra sejarah di Bojonegoro. Selama ini, dia mengaku harus
merogoh koceknya sendiri untuk mencari benda purbakala. Dukungan dari pemerintanpun dinilai sangat
minim. Karena itu, dirinya tak ragu untuk menjual fosil tanduk kerbau tersebut.

B. Bojonegoro Pada Masa Prasejarah

Orang Kalang

Makam orang Kalang membuktikan pada zaman megalitikum di Bojonegoro sudah ada aktivitas
manusia. Makam Kalang yang di Kasiman, Bojonegoro.

JFX Hoerry dalam buku Napak Tilas Wong Kalang Bojonegoro (2011) menyebutkan, belum ada bukti
orang Kalang diakui asli Bojonegoro. Namun, orang Kalang yang ada di Bojonegoro sudah ada sejak
zaman pra sejarah atau sejak Hindu dan Budha masuk ke Indonesia. Orang Kalang di Bojonegoro adalah
penyembah matahari. Hal itu dibuktikan dari makam tertua Kalang di Kidangan yang dikenal Wali
Kidangan di Desa Sukorejo Kecamatan Malo. Artinya, orang Kalang di Bojonegoro lebih tua dari orang
Kalang di Jogjakarta pada masa Raja Mataram I, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645).

Dosen Universitas Udayana Bali, Rochtri Agung Bawono dalam tulisannya Menelusuri Masyarakat Asli
Bojonegoro (2010) menyebutkan, makam orang Kalang di Bojonegoro diperkirakan pada 1460-1620.
Menurut Roctri, jika merujuk dari tahun tersebut maka orang Kalang di Bojonegoro ada pada masa
Hyang Purwawisesa dari Dinasti Girindrawardana yang berkuasa pada akhir Majapahit (1456-1466).
Padahal Bojonegoro baru lahir pada 1677. Artinya, sekitar 200 tahun sebelum Bojonegoro lahir, orang
Kalang sudah berdomisili di Bojonegoro. Dalam kajian CLM Panders dalam buku Bojonegoro 1900-
1942: A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia menyebutkan, orang Kalang adalah
asal usul dari komunitas Samin yang ada di Blora dan Bojonegoro.

Saya termasuk percaya bahwa orang Kalang bukan orang asli Bojonegoro. Namun setidaknya ada bukti
ilmiah orang Kalang adalah komunitas tertua yang ada di Bojonegoro.

Semestinya makam Kalang dan situs sejarah Rajekwesi lainnya yang harus dijaga dan dipelihara oleh
pemkab. Makam batuan Kalang itu bisa dijadikan sebagai lokasi wisata sejarah yang menarik.

Bojonegoro Pada Mulanya

Dari catatan bundelan Sejarah Bojonegoro: Bunga Rampai, Bojonegoro bermula dari perkampungan
yang tersebar di sejumlah titik. Kampung-kampung itu tersebar di Gadung Rahu yang saat ini disebut
Ngraho, Badender (Dander), Randu Gempol, Toja dan Adiluwih. Adalah Ki Ruhadi atau yang dikenal
Rakai Purnawikan yang menjadi salah satu kepala suku terkuat dari sejumlah perkampungan. Dia tinggal
di Randu Gempol. Nama itu lalu diubah menjadi Hurandu Purwo pada 1115.

Letaknya berada di Desa Plesungan Kecamatan Kapas. Ibukota kerajaannya di Kedaton di sekitar wilayah
Kecamatan Kapas. Kerajaan kecil Hurandu Purwo lalu lenyap. Pada saat kekuasaan Airlangga bertahta
di Kahuripan, wilayah kekuasaanya hingga barat. Saat itu berdiri kabupaten Rajekwesi. Pada masa
kerajaan Singasari (1222-1292), kerajaan Rajekwesi pecah menjadi tiga. Yakni Rajekwesi Wetan,
Bahuwerno (Baureno) dan Getasan Kenur (Kanor saat ini).

Pada zaman kerajaan Majapahit (1293-1309), tiga kabupaten itu dilebur menjadi satu dengan nama
Kabupaten Kahuripan. Sejumlah candi pada zaman Airlangga dan Majapahit dibangun di kabupaten
Kahuripan. Sayang, candi-candi itu dihancurkan saat kerajaan Demak berkuasa di tanah Jawa (1521).

Kabupaten Kahuripan pun ditelan zaman. Lalu pada 1523, muncul dua kabupaten yang berbasis Islam.
Yakni, Jipang Panolan dan Waru. Jipang Panolan dipimpin Raden Wirabaya dan bekas Senopati
Anggakusuma sebagai adipati Waru. Hingga kemudian Jipan Panolan menjadi wilayah kekuasaan
Kasultanan Yogyakarta.

Dari Bojonegorolah sesungguhnya mempunyai hubungan batin yang sangat erat dengan Kasultanan
Yogyakarta. Sebab, bupati Bojonegoro, R.T Sosrodingrat yang menikah dengan BRA Sosrodiningrat
menurunkan trah Hamengkubuwono ke IV hingga Hamengkubuwono ke X saat ini.
C. Di Bawah Kekuasaan Belanda

Masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels

Pada tahun 1795 dalam kerajaan Belanda terjadi perebutan kekuasaan oleh Perancis dengan jalan
kekerasan atau biasa dikenal dengan Coup’detat. Pada saat itu Raja Belanda yang bernama Willem III
melarikan diri ke Ingrris dan di negeri Belanda sendiri mereka membentuk suatu pemerintahan Republik
dengan nama Bataafsche Republik.

Republik ini bekerjasama dengan Prancis sedangkan Raja Belanda yang melarikan diri ke negeri Inggris
tadi membentuk pemerintahan sendiri dan bekerjasama dengan Inggris. Suatu keuntungan tersendiri
bagi setiap pihak karena pada saat itu Inggris dan Perancis sedang perang hebat.

Pada tahun 1801 hingga 1808 terjadilah pertentangan politik yang di sebabkan oleh pro-kontra terhadap
Perancis yang notabennya pada masa itu Belanda masih menjajah Indonesia. oleh karena itu
dibentuklah sistem perekonomian baru yaitu monopoli dan mode pemerintahan dagang dengan tetap
mempertahankan jenis modes VOC. Sistem ini dikemukakan oleh pimpinan Naderburg bekas Komisaris
Jenderal tahun 1791 hingga 1799. Hal ini di tentang olehVan Hogendorp bekas gezaghebber di Jawa
Timur, beliau memiliki pemikiran yang sangat liberal dimana sistem pemerintahan harus dipisahkan
dengan soal-soal ekonomi yang mana sistem rodi harus dihapuskan.

Setelah melalui pertemuan kedua belah pihak ditemukan jalan keluar dimana sistem pemerintahan
Belanda yang kolot masih tetap dipergunakan serta di imbangi dengan perubahan sistema yang bersifat
liberal. Dengan begitu berdampak besar bagi politik di Indonesia karena pada saat itu Belanda masih
menguasai Indonesia sedangkan Belanda berada pada kekuasaan Perancis.

Pada masa itu Indonesia dibawah ancaman Inggris yang pada saat itu menguasai pangkalan di India,
sehingga mengkhawatirkan Napoleon Bonaparte (raja Republik baatafsche)akan perebutan Indonesia
oleh Inggris. Dengan begitu Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Willem Daendels seorang ahli
hukum dan ahli militer untuk mengemban tanggung jawab memimpin pemerintahan di Indonesia.
Datang di Indonesia pada tanggal 14 Januari 1808 Gubernur Jendral Herman Willlem Daendels menjabat
sebagai Gubernur ke 36 di pulau Jawa.

Selama tiga tahun masa jabatannya di Indonesia sangatlah membekas bagi sejumlah masyarakat salah
satunya Bojonegoro, sistem pemerintahan yang fundaentil dia terapkan dengan tindakan-tindakan yang
cenderung kejam. Beberapa kekejaman Gubernur Daendels yang masih membekas di hati masyarakata
adalah ketika membuat pertahanan militer untuk menghindari serangan dari Inggris. Saat itu
Bojonegoro masih di bawah wilayah Rembang, sedangkan untuk mencari perlindungan Gubernur
Daendels membuat jalan besar yang membentang dari Anyer di Jawa Barat hingga Pantai Utara Pulau
Jawa kota Panarukan Jawa Timur. Di perkirakan jalan mencapai 1000km, cara pembuatan jalan ini
menggunakan sistem paksa atau kerja rodi.

Masyarakat yang berada di sekitar jalan yang di bangun di paksa untuk membangun jalan termasuk
rakyat Bojonegoro, mereka di paksa untuk membangun jalan serta pangkalan angkatan laut tanpa di
beri upah berupa uang dan makanan. Sehingga makanan yang mereka makan adalah pemberian dari
Sultan Yogyakarta. Disamping itu, kekejaman juga terjadi di bidang ekonomi keuangan dimana Gubernur
Daendels menerapkan sitem VOC bagi masyarakat Indonesia dan Eropa. Sedangkan pada masa itu
perekonomian di Indonesia sedang merosot sehingga timbullah perlawanan dari rakyat Indonesia.

Perlawanan di pimpin oleh Kesultanan Yokyakarta, yang mana beliau juga merupakan pimpinan dari
Blok politik yang anti Belanda. Pergolakan politik antara blok politik anti Belanda yang di pimpin oleh
Sultan Hamengku Buwono II dan blok politik pro Belanda yang di pimpin oleh Patih Danuredjo yang
dimenangkan oleh Sultan Hamengku Buwono II. Kemenangan ini sontak membuat Belanda khawatir
sehingga Gubernur Daendels menyusun beberapa tuntutan yang bukan-bukan untuk Kasultanan
Yogyakarta. Salah satu tuntutannya adalah menyerahkan orang-orang yang di anggap anti Belandaa
terutama Pangeran Raden Natakusumo serta menggerakkan kembali rakyat berusia dewasa sepanjang
jalur proyek lalu lintas di jalur Utara.

Oleh sebab itu rakyat Jipang (Bojonegoro) berlindung dibelakang blok anti Belanda karena merasa
keselamatan mereka terancam. Bupati Jipang Raden Ronggo Prawirodirdjo III itu sontak melakukan
perlawanan terhadap Belanda secara terus-menerus hingga akhir hayatnya. Dengan meninggalnya
Bupati Jipang justru membuat Gubernur Daendels menaruh perhatian lebih terhadap perekonomian di
Jipang (Bojonegoro). Sejak saat itu Gubernur Daendels memberikan tindakan-tindakan yang tegas dan
keras bagi masyarakat.Salah satu tindakan tegas Gubernur Daendels adalah dengan memberikan gaji
yang tetap kepada semua pegawai termasuk Bupati Jipang.

Tindakan keras pada waktu itu adalah dengan melarang mereka melakukan perdagangan sebagaimana
yang telah mereka lakukan sebelumnya. Akan tetapi larangan itu belum sepenuhnya bisa terapkan
karena belum adanya aturan yang mutlak oleh pegawai. Dengan adanya peraturan baru berarti telah
merubah peraturan lama dari sistem korp pegawai warisan dari VOC menjadi lebih modern. Sehingga
hal itu merubah pemikiran para petinggi daerah bahkan termasuk desa, dari yang bersifat feodal ke arah
yang modern. Hal itu di lakukan oleh Gubernur Daendels demi untuk mendapatkan perekonomian yang
lebih maju serta mensukseskan program pemerintahannya dengan sistem paksa.

Gubernur Daendels dikenal sebagai orang yang memiliki ambisi tinggi dalam memimpin suatu wilayah,
dengan sifatnya tersebut besar keinginannya untuk menerapkan sistem paksa dalam pembangunan
proyek jalannya yang di beri nama Jalan Raya Daendels. Dengan begitu roda perekonomian akan ikut
maju karena selain untuk pertahanan dari serangan Inggris di utara, jalan tersebut juga digunakan untuk
memperlancar jalannya perekonomian. Keinginan Gubernur Daendels nampaknya kurang berjalan
mulus karena Daendels cenderung menerapkan sistem kontradiktif pada sistem perekonomiannya.

Gubernur Daendels menghapuskan penyerangan wajib benang kapas dan nila yang banyak dihasilkan
oleh rakyat Jipang akan tetapi cenderung memaksa mereka untuk kerja paksa (rodi). Hal tersebut
membuat masyarakat Yogyakarta yang memang dekat dengan Jipang melakukan pemberontakan api
kepada Daendels. Akibat terjadinya pemberontakan membuat keadaan financial Daendels merosot jauh
dari masa Kompeni dulu, sehingga Gubernur Daendels menjual beberapa tanah yang luas kepada Cina.
Hal ini hampir membuat Jipang runtuh akibat politik tersebut, akan tetapi dapat terselamatkan oleh
kerajaan Inggris yang akhirnya menguasai Indonesia.
Masa Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles
Pemerintahan masa Daendels memberikan riwayat yang buruk terhadap pemerintahan selanjutnya,
salah satunya hubungan yang kurang baik dengan para petinggi Jawa khususnya Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Serta suasana administrasi pemerintahan yang kurang lancar dan kas negara yang semakin
kosong membuat Gubernur Janssens harus bekerja keras untuk memulihkan semua. Hubungan-
hubungan dengan negara asing pun kurang harmonis sehingga negara tidak akan mendapat bantuan
apapun dari Belanda.
Selama beberapa waktu belum ada tindakan apapun yang dilakukan oleh Janssens untuk memulihkan
semua dan bahkan pada saat itu Belanda menyerahkan diri karena tidak sanggup melakukan
perlawanan di desa Tuntang wilayah kabupaten Salatiga yang merupakan daerah kekuasaam Surakarta.
penyerahan ini biasa di sebut “Kapitulasi Tuntang” pada tahun 1811, sejak saat itu perekonomian
Indonesia berada pada jajahan perseroan dagang seperti VOC. East Indiant Company (EIC) merupakan
perseroan dagang inggris yang berpusat di India, yang kini menguasai perekonomian Indonesia.
Dengan dibekali ilmu yang diterapkannya di India membuat Raffles percaya untuk menerapkannya di
Indonesia, salah satunya Stelsel Tanah. Raffles berusaha menumbuhkan perdagangan bebas, sistem
tanaman bebas dan menghapuskan kontingenten serta rodi. Sistem rodi di hapuskan akan tetapi petani
pribumi di wajibkan membayar pajak kepada Inggris. Demi menjalankan sistem Stelsel Tanah Raffles
melakukan penelitian ke berbagai daerah di Jawa, sehingga mendapat gambaran untuk mengambil alih
pemungutan pajak yang dilakukan oleh para raja dari Yogyakarta dan Surakarta.
Mereka membebaskan raja dari kegiatan pemungutan pajak dan mengangkatnya menjadi pemimpin.
Dengan begitu perlahan pemerintah Inggris mampu merebut posisi para raja untuk pemungutan pajak
serta penyewaan lahan pertanian yang dulunya dilakukan oleh para raja dan penduduk sebagai penyewa
serta pengelola. Penduduk kini harus membayar pajak tanah kepada pemerintah bukan lagi upeti, yang
biasa dikenal dengan sebutan “landrente”. Kegiatan pemungutan pajak tersebut dilakukan atas dasar
seperti, penghapusan segala penyerahan hasil tanah secara paksa dan pembebasan penanaman serta
perdangangan. Sehigga petani memiliki hak pasti atas barang-barang yang dihasilkannya, pengawasan di
lakukan langsung oleh pemerintah. Berikut penarikan pajak tanah tidak lagi di lakukan oleh Bupati
ataupun raja demi menghindari penyelewengan. Menyewakan tanah secara langsung tanpa melalui
perantara.
Dasar-dasar tersebut merupakan dasar perekonomian liberal, dimana petani di berikan kebebasan
dalam menanam serta dagang sesuai dengan perjanjian dengan pemerintah. Sistem perekonomian
liberal adalah dimana petani diberikan kebebasan sehingga tidak ada lagi sistem organisasi yang
dilakukan petinggi-petinggi daerah setempat yang mana harus dipatuhi oleh rakyat. Perubahan sistem
ini semata-mata dilakukan bukan untuk kemakmuran rakyat melainkan trik dari Raffles agar
mendapatkan barang-barang untuk kemudian di pasarkan di pasar dunia. Penarikan pajak yang terkesan
tergesa-gesa menimbulkan terjadinya tekanan serta paksaan dari pemerintah. Hal itu dirasa berat oleh
rakyat karena mereka di paksa menyetor uang dalam jumlah yang besar sedang mereka terbiasa dengan
sistem kontingenten. Oleh sebab itu, ini menjadi kesempatan emas bagi Cina untuk mendapatkan
barang-barang dengan harga murah karena rakyat terdesak untuk menjual barang mereka.
Berbagai upaya dilakukan oleh Raffles demi merubah tatanan pemerintahan yang feodal menjadi
tatanan yang berkiblat Eropa. Raffles berusaha menggeser peranan Bupati serta petinggi daerah demi
menerapkan dasar-dasar Eropa. Hal itu tidak di sambut baik oleh Kasultanan Yogyakarta, Sultan
Hamengku Buwono II yang kembali menduduki kerajaan Yogyakarta setelah Daendels lengser. Sultan
Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari Gubernur Jendral Raffles
melakukan perlawanan yang sontak mendapat dukungan penuh dari masyarakat Jipang (Bojonegoro)
karena pada masa itu menjadi salah satu daerah kekuasaan Yogyakarta. Akan tetapi Inggris mampu
menundukkan Sultan Sepuh dan pada akhirnya Jipang (Bojonegoro) yang memiliki banyak lahan jati
jatuh ke tangan Inggris.
Sejak saat itu kayu jati merupakan salah satu hasil bumi yang di perdagangkan di pasar dunia oleh
Inggris. Setiap laki-laki yang tinggal di wilayah hutan kayu jati seperti di Malo, Kasiman dan Dander
banyak diperkerjakan sebagai penanam, penebang dan pengangkut ke tempat tujuan.
Sejak 1 April 1813 pemerintah Inggris mendirikan kantor yang disebut “Civil Communissioner”. Hal ini
terjadi atas perjanjian yang dilakukan oleh pihak Inggris dengan Sultan Hamengku Buwono III dengan
tujuan ingin membekuk kerajaan Yogyakarta. Sultan III harus melepaskan bea dari bandar-bandar dan
pasar dan akan di ganti kerugiannya oleh Inggris sebanyak 100 ribu pertahun. Menyerahkan keuntungan
daripenjualan sarang burung, madat dan kayu jati.
Pada masa kekuasaan pemerintah Inggris, Bupati Jipang (Bojonegoro) dijabat oleh Raden Prawirosentiko
yang merupakan keturunan dari Kasultanan Yogyakarta. Asas yang beliau terapkan berkiblat pada
Kerajaan yang mana Bupati berkewajiban menarik upeti dari masyarakat untuk diserahkan kepada
kerajaan untuk dibuat biaya perang. Akan tetapi beliau belum begitu banyak melakukan perintah dari
penguasa Inggris.

Masa Commissaris Jendral


Revolusi Perancis yang terjadi pada tahun 1789 mendapat perlawanan keras utamanya dari negeri
Perancis. Masyarakat banyak yang menolak despotisme serta hak-hak istimewa yang di tekankan pada
masa itu. Penolakan dilakukan oleh kaum bangsawan serta petani yang menolak terhadap perbudakan
yang dilakukan oleh tuan tanah karena disana kaum borjuis juga ikut membayar pajak. Akibat dari
revolusi perancis ini benua Eropa dan susunan pemerintahannya rusak termasuk Belanda.
Penyusunan kembali sistem pemerintahan Eropa yang dilakukan oleh negara-negara pemenang di
buktikan dengan adanya perjanjian Chaumon pada 1 Maret 1814. Setelah runtuhnya Perancis sebagai
negara Revolusi membuat Inggris menduduki posisi tertinggi di benua Eropa. Hal itu membuat
kekhawatiran tersendiri untuk negara Inggris akan serangan dadakan yang akan dilakukan oleh negara
Perancis. Oleh karena itu, pemerintah Inggris memikirkan hal kemanusian dan perlindungan negara
dengan membangun kembali negara Belanda yang letaknya berada pada perbatasan Belanda Perancis
dengan tujuan sebagai perisai Inggris. Untuk mewujudkan tujuan tersebut negara Belanda harus
memiliki daerah jajahan sehingga pada tahun 1814 diadakan penyerahan derah jajahan Inggris yaitu
Indonesia kepada Belanda, ditandai dengan konvensi London. Yang berisi tentang penyerahan beberapa
daerah kekuasaan Inggris kepada Belanda yang diwakili oleh beberapa team. Team tersebut terdiri dari
pegawai pemerintah serta beberapa batalyon tentara Belanda yang akan di kerahkan untuk
menjalankan pemerintahan baru di Indonesia. Penyerahan daerah jajahan Indonesia dari tangan Inggris
kepada Belanda dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 1816. Pemerintahan yang baru ini bernama
“Nederlandsch Indie” atau Hindia Belanda.
Pemerintahan Hindia Belanda yang diterapkan di Indonesia tidak berjalan mulus karena mereka
kesulitan untuk mendapatkan kekuasaan kembali terutama di pulau Jawa. Dengan kembalinya
pemerintah atas kekuasaan Belanda maka muncul kembali penarikan pajak secara sewenang-wenang
seperti yang diterapkan zaman VOC dulu. Pemerintah Hindia-Belanda bekerja ekstra keras untuk mengisi
kekosongan kas negara, oleh sebab itu mereka menekankan pada semua rakyat untuk mengekspor
tanaman dagang mereka. Pada saat itu Jipang (Bojonegoro) ialah negara penghasil kayu jati terbesar
akan tetapi ekspor kayu jati kurang begitu berhasil karena kurangnya pengalaman petani. Sistem feodal
yang selama ini di terapkan di Indonesia belum mampu digeser oleh pemerintahan Gubernur Raffles.
Pemerintahan Hindia-Belanda mulai mendominasi Bojonegoro dimulai pada tahun 1830, akan tetapi
pemerintahannya tidak akan mampu mencampuri kehidupan masyarakat Bojonegoro sampai
keakarnya.
Awal tahun 1825 terjadi perang besar Diponegoro, pada masa itu keadaan pemerintahan di Jipang
(Bojonegoro) belum banyak di sisipi oleh kolonial karena masih dalam kepemipinan penguasa daerah
seperti Bupati Raden Tumenggung Sumonegoro. Perekonomianpun masih dalam bentuk barter (tukar-
menukar barang) bukan uang, oleh karena itu pemerintah pusat belum mampu mengkoordinir
keuangan negara sehingga para pejabat pemerintah di beri wewenang untuk menarik upeti dari
masyarakat. Dengan begitu akan membantu meningkatkan otonom daerah dari segi finansial.
Pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Van der Copellen tahun1819, bupati masih mempunyai
kekuasaan sebagai penguasa dan pejabat daerah sehingga rakyat mempunyai pemikiran untuk
membalas jasa mereka dengan memberikan upeti dan gaji berupa tanah. Hal tersebut sudah berusaha di
hapuskan oleh pemerintahan Hindia- Belanda untuk mengurangi kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh petinggi daerah serta memperkecil usaha tuan-tuan tanah. Akan tetapi harapan itu tidak dapat
tercapai dan justru terjadi beberapa pemberontakan oleh rakyat. Pada masa pemerintahannya
Gubernur Van der Copellen membentuk karesidenan dan kabupaten di pulau Jawa pada Januari 1819.

Pangeran Diponegoro

Putra dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati yang dikenal dengan Pangeran
Diponegoro. Adalah sosok yang taat beragama dan misticus, kegemarannya bertapa di gua-gua
membuatnya semakin bertambah kuat. Sosoknya yang sholeh sangat di hormati oleh penduduk sekitar.

Sebab khusus meledaknya peperangan adalah pada suatu hari banyak patok ditancapkan di lahan tanah
di Tegalrejo (daerah tempat tinggal Pangeran Diponegoro) yang mana dilakukan tanpa izin dari sang
pemilik. Pada saat itu Pangeran Diponegoro memerintahkan beberapa orangnya untuk mencabut patok
tersebut lalu Patih Danurejo IV menginginkan patok tersebut di pasang kembali karena takut kepada
Nahuys, Residen Yogyakarta. Dengan begitu terjadilah perselisihan kedua belah pihak, pada akhirnya
Nuhuys menunjuk Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro) untuk melunakkan hati
Pangeran Diponegoro agar mau menghadap Nahuys. Melihat hal itu seketika Pangeran Diponegoro
menolak akhirnya terjadi serangan mendadak oleh Belanda di Tegalrejo. Oleh sebab itu mulailah terjadi
peperangan, agresi yang dilakukan Belanda dengan membakar tempat tinggal Pangeran Diponegoro dan
memporak-porandakan penduduk. Dengan bantuan Pangeran Mangkubumi serta para prajurit termasuk
rakyat Jipang, Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan kepada Belanda. Dengan mengatur strategi
baru untuk penyerangan, Pangeran Diponegoro menyusun organisasi ketentaraan dan pimpinan perang
yang bermarkas di Selarong.

Peperangan yang berlangsung selama lima tahun itu mulai 20 Juni 1825 hingga 28 Maret 1830 telah
menelan banyak korban bagi prajurit Belanda. Teriakan perang melawan kolonialisme Belanda yang
disuarakan Pangeran Diponegoro disambut hangat oleh rakyat termasuk rakyat rajekwesi.

Sekian lama mereka merindukan sosok pahlawan seperti Pangeran Diponegoro yang mau melakukan
perlawanan akibat penindasan yang dilakukan oleh negara Asing. Hal ini membuat semua rakyat rela
secara lahir-batin segenap jiwa raga demi membela tanah air mereka dan untuk mengembalikan
kekuasaan atas kesultanan Yogyakarta.

Rajekwesi ialah nama suatu desa yang merupakan salah satu bagian dari Jipang. Desa tersebut masih
agraris dimana kehidupan rakyatnya bergantung pada hasil tanaman yang mereka produksi. Rajekwesi
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kahuripan dan berstatus sebagai “Daerah Persekutuan Desa”.
Bahkan pada masa kerajaan Mojopahit desa Rajekwesi mulai tak terdengar hingga datanglah kerajaan
Mataram yang membangkitkan desa Rajekwesi kembali. Sampai pada akhirnya rakyat Rajekwesi ikut
andil dalam peperangan Diponegoro.

Perang Diponegoro yang terjadi di sejumlah wilayah di daerah Jawa memaksa negara Belanda untuk
memperkuat perlindungan dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan serta memperkuat
kekuatan militer mereka. Hal itu pula yang dilakukan rakyat Jipang (Bojonegoro) yang pada masa itu
masih ikut wilayah Rajekwesi untuk mendukung Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Perlawanan
yang dilakukan rakyat Rajekwesi pada tanggal 20 November 1827 di pimpin oleh Raden Tumenggung
Aria Sasradilaga. Peperangan yang di pimpin beliau pecah dan pada akhirnya mampu merebut wilayah
Rembang dan Bowerna dari tangan Belanda.

Akibatnya Kekuasaan Belanda di wilayah Timur pun ikut terancam, pada akhir tahun 1827 seluruh
wilayah Rembang dan Rajekwesi tempur dalam api peperangan yang membuat negara Belanda
mengirimkan pasukan yang seharusnya bertahan di Jawa Tengah untuk membantu peperangan di
Timur. Perlawanan semakin sengit karena Tuban berhasil direbut oleh rakyat, mereka juga mampu
merebut beberapa senjata Belanda seperti meriam.

Rembang yang menjadi pusat pemerintahan Belanda pada masa itu menjadi sangat terancam oleh
serangan dari rakyat. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama dikarenakan rakyat yang mudah puas
dengan kemenangannya menjadi celah yang baik untuk Belanda menyusun strategi penyerangan.
Tanggal 26 Januari 1828 menjadi angin yang baik untuk Belanda karena mereka mampu memperbaiki
hubungan dengan Surabaya dan Semarang. Belanda semakin kokoh mendirikan benteng-benteng
pertahan di wilayah Jawa Timur-Jawa Tengah. Dengan dipimpin Kolonel Roest Belanda menyerang
Madiun dan Rembang, mereka mengincarpimpinan rakyat yaitu Tumenggung Sasradilaga dan Raden
Bagus. Akhirnya kedua pemimpin tersebut berhasil tertangkap dan kemudian menyerah kepada
Belanda.

Awal November 1825 adalah awal pemerintahan Nederland Indie di Kabupaten Jipang, pada masa itu di
dirikanlah Residen Rembang dan diadakan suatu sidang. Beberapa petinggi daerah seperti Kartodirdjo
dan Mangunnegoro menentang hasil sidang, mereka berambisi untuk menumpas habis seluruh peserta
sidang termasuk Raden Adipati Djojonegoro (Bupati Jipang) yang di sinyalir mendukung Hindia-Belanda.
Oleh sebab itu, Raden Sosrodilogo berusaha merebut kembali Rajekwesi sebagai pusat pengatur strategi
untuk perlawanan terhadap Belanda. Hal itu menambah coretan sejarah tentang perang Diponegoro,
karena pasukan Sosrodilogo yang berada dimana-mana telah siap melakukan perlawanan terhadap
Belanda. Pemerintahan Sosrodilogo dikenal dengan sebutan pemerintahan perang karena pada masa
kepemimpinannya lebih sering digunakan untuk berperang. Seperti yang dilakukan untuk merebut
kembali Rajekwesi yang membuat Belanda merasa sangat terancam.

Pada tanggal 2 Januari 1828 pasukan Belanda berhasil mengusir Sosrodilogo keluar kota lebih dari 2000
pasukan belanda dikerahkan di bawah pimpinan Van Griesheim. Karena pengusiran tersebut Sosrodilogo
memobilisir rakyat untuk melakukan perlawanan dari luar kota, Belanda pun melakukan serangan balik
dengan mendirikan benteng utama di desa “Pluntaran”. Pemerintah Belanda juga menginginkan supaya
Rajekwesi segera dipindahkan, namun semua itu tidak memadamkan niat Sosrodilogo untuk melakukan
perlawanan. Usaha yang dilakukan oleh Griesheim tidak membuahkan hasil karena kondisi ekonomi di
Rajekwesi tidak memungkinkan.

Selain itu Belanda juga menginginkan perubahan nama atas Rajekwesi untuk menghilangkan kenangan
rekyat tentang perlawanan kepada pemerintah. Beberapa usulan nama telah di terima oleh Road van
Indie, dan pada tanggal 25 September 1828 Rajekwesi resmi berganti dengan Bojonegoro yang
ditandatangani oleh Du Bus. Bodjonegara dalam bahasa kawi yang berarti kota/tempat memberi makan
sehingga pemerintahannya dapat bertahan dari pemberontak. Dengan demikian secara resmi Jipang dan
Rajekwesi telah berubah nama menjadi Bojonegoro, akan tetapi tetap pada karasidenan Rembang.

Masa Penjajahan Hindia- Belanda


Setelah perang Diponegoro berakhir wilayah Bojonegoro langsung dikuasai dan di perintah oleh
pemerintah Hindia- Belanda. Pemerintahan yang di pimpni oleh C.F.T. Pranctorius menjadi babak baru
penjajahan terhadap Bojonegoro. Untuk memulihkan perekonomian Belanda serta mengembalikan kas
negara yang habis akibat perang menjadikan Belanda menerapkan mode perekonomian stelsel. Stelsel
adalah sistem perekonomian paksa yang diterapkan Belanda dengan pemerasan. Rakyat di paksa
menanam tanaman –tanaman yang telah ditentukan pemerintah yang hasilnya dapat di jual ke Eropa.
Salah satu bukti paksaan yang dilakukan Belanda antara lain, akan dibuat perjanjian antara rakyat
dengan Belanda tentang pemberian separuh tanah dan ladang mereka untuk Belanda.
Akan tetapi perjanjian itu mulai di ingkari karena Belanda hanya menginginkan tanah yang subur saja.
Belanda membebaskan pajak kepada petani akan tetapi hal itu justru memberatkan rakyat karena
hampir seluruh hasil tanaman mereka di minta pemerintah. Bojonegoro merupakan salah satu daerah
yang diwajibkan tanam paksa, salah satu tanamannya adalah tembakau dan kapas. Rakyat sudah
terbiasa menanam kedua tanaman tersebut untuk keperluan sendiri akan tetapi pada masa penjajahan
Belanda mereka di paksa menanam untuk diekspor ke luar. Hal itu banyak memberikan dampak positif
negatif bagi rakyat, dampak positifnya rakyat mampu memahami serta mempelajari tehnik dan cara
memelihara tembakau. Mereka juga mampu membedakan mana bibit yang unggul dan sifat –sifat
tanah. Dampak negatifnya banyak terjadi kemiskinan serta kemelaratan yang membawa kematian.
Bojonegoro merupakan salah satu daerah yang berdampak besar akibat kemiskinan. Hal ini memicu
reaksi rakyat dimana mereka bekerjasama dengan beberapa pihak seperti Humanis Belanda untuk
melakukan tantangan terhadap tanam paksa berdasarkan prinsip-prinsip ethika dan perikemanusiaan.
Pihak lain yang mendukung tantangan itu adalah Kaum Kapitalis Belanda, mereka berpendapat bahwa
sistem tanam paksa di Indonesia harus dihapuskan sehingga pemodal-pemodal bisa memberikan
pinjaman modal kepada rakyat dengan kejelasan status tanah. Reaksi Rakyat yang dilakukan masyarakat
Bojonegoro adalah dengan membakar salah satu kebun tembakau terbesar yang berada di Balen.
Mereka melakukan perlawanan kepada Belanda dengan membuat mereka rugi.
Pada awal abad 20an di Indonesia diwarnai dengan pemberontakan-oemberontakan, kerusuhan dan
kegaduhan yang dilakukan oleh masyarakat. Pemberontakan itu banyak diakukan oleh masyarakat
pedesaan untuk menjelaskan suatu pertentangan yang dilakukan oleh rakyat. Hal itu didominasi oleh
ajaran mesinitis dan pandangan yang bersifat revolusioner serta campur tangan negara Barat yang turut
merubah sistem sosial rakyat. Perubahan sistem ekonomi serta penerapan sistem ekonomi uang
semakin memperberat rakyat, hal ini membuat para petani melakukan pemberontakan.
Disamping itu di bidang politik, lembaga politik tradisional semakin terdesak posisinya oleh
pemerintahan kolonial. Dalam hal ini rakyat mempunyai cara tersendiri untuk menghadapinya salah
satunya gerakan sosial. Hal ini menjadi suatu ancaman bagi kolonial dikarenakan rakyat memperkuat
protes sosialnya dengan perasaan keagamaan yang berubah menjadi sistem politik yang mana kolonial
tidak memilikinya. Gerakan-gerakan rakyat itu sering disebut sebagai gangguan ataupun huru-hara oleh
kolonial dikarenakan sistem pertahanannya yang tidak terorganisir. Pergolakan itu tidak dimasukkan
sebagai peristiwa perang sebab mereka tidak mempunyai tujuan jelas di bidang pemerintahan dan
masyarakat.
Dapat dipastikan hampir setiap masyarakat mengenal pergolakan rakyat pada abad 20an, alasan pokok
yang mendasari pergolakan tersebut adalah karena keadaan dan peraturan yang tidak adil. Serta rasa
dendam kepada kolonial karena tidak memberi ruang yang bebas bagi kehidupan para pendukungnya.
Selain itu, masyarakat berharap akan datangnya ratu adil yang bersifat mesianistis dengan harapan
dapat menyelamatkan rakyat. Terdapat beberapa jenis gerakan sosial yang dilakukan rakyat, salah
satunya yang dilakukan masyarakat Bojonegoro adalah gerakan Samin. Munculnya gerakan ini oleh
rakyat Bojonegoro dikarenakan kemiskinan dan kemelaratan akibat sistem politik pintu terbuka (open
deur politic) pada tahun 1870. Politik ini mulai berlaku sejak munculnya undang-undang Agraria
(pertanahan) yang mana berisi pasal-pasal yang menguntungkan kolonial. Seperti, Gubernur Jendral
dapat menyewakan tanah menurut peraturan perundang-undangan dan dengan peraturan perundang-
undangan akan diberikan pula tanah dengan hak erfpacht paling lama 75tahun.
Pada saat yang sama pula Belanda mengeluarkan Agrarische Besluit yang mendukung kebijakan baru
tentang agraria tersebut. Pasal pertama yaitu apabila rakyat tidak dapat membuktikan kalau tanah yang
mereka miliki hak eigendom maka secara langsung tanah itu menjadi milik negara (Domien Verklaring).
Berikut adalah macam-macam definisi hak, hak eigendom ialah hak yang terkuat menurut sistem Barat.
Hak pakai ini bersifat turun-temurun dan apabila terpaksa dicabut oleh pemerintah maka pemerintah
wajib memberi ganti rugi yang sesuai. Hak erfpacht ialah hak untuk mempergunakan tanah milik orang
lain dengan kekuasaan yang penuh.
Pemilik modal biasanya memiliki kewajiban untuk membayar uang pacht kepada pemilik setiap
tahunnya. Hak opstal ialah hak untuk mendirikan rumah, bangunan dan tempat tanaman-tanaman
diatas tanah orang lain (pribumi). Dengan adanya tiga jenis pertanahan ini maka terdapatlah tanah milik
negara yang bebas. Artinya kebebasan itu sesuai dengan kehendak pemerintah, pemerintah dapat
melakukan penggusuran-penggusuran tempat penduduk demi kepentingan negara.
Penggusuran tanpa imbalan ganti rugi inilah yang menjadi penyebab kemiskinan penduduk. Padahal
secara teoritis telah ada peraturan negara yang melangan penduduk menjual tanah kepada asing.
Dampak dari pelaksanaan politik pintu terbuka ini menjadikan Indonesia menjadi negara pengambil
bekal hidup demi kehidupan asing.
Sejak 1870 berkembanglah imperialisme modern dimana tanah jajahan Indonesia hanya di ambil
kekayaannya saja, Indonesia menjadi negara pengambilan bahan mentah untuk pabrik-pabrik bangsa
Eropa dan menjadi pasar penjualan barang-barang hasil macam-macam industri bangsa Barat (Eropa).
Menjadi lahan penanaman modal asing, salah satuya Bojonegoro. Rakyat Bojonegoro menjadi buruh
di daerahnya sendiri, mereka di paksa bekerja kepada tuan Kapitalis yang menanam modal di
wilayahnya dengan imbalan upah yang sedikit. Rakyat diperas tenaganya dan dipaksa oleh swasta demi
kepentingannya.
Gerakan Samin adalah gerakan pemberontakan yang dilakukan khususnya oleh masyarakat Bojonegoro
yang berlokasi di Blora. Sistem pemberontakan ini bersifat mistik religius yang berhubungan dengan
keagamaan. Gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan tradisi lama yang mana tradisi tersebut telah
banyak berubah akibat campur tangan dari luar.
Membangun kembali sistem kolektif baik dari segi ekonomi maupun masyarakat. Ingin membebaskan
diri dari segala campur tangan kolonial, hal ini dijelaskan dalam buku teles. Menurut Soeparmo,
masyarakat Samin adalah mereka yang menghendaki hidup bebas dan merdeka seluas-luasnya tanpa
ada batas. Peradaban masyarakat Samin banyak terdapat di Tapelan kecamatan Ngraho. Perkembangan
masyarakat Samin terjadi sejak abad 1900, pada mulanya dipelopori oleh Soerosamin.
Masyarakat berpedoman pada ajaran-ajaran yang diajarkan Soerosamin yang pada dasarnya mereka
tidak sudi diperintah oleh orang lain. Mereka terkenal amat jujur dan tidak suka mengganggu pihak lain.
Mereka juga mempunyai tradisi dan aturan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya akan
tetapi mereka sangat menghargai apabila ada tamu dari orang luar. Perjuangan masyarakat Samin
sangatlah panjang dalam melawan pemerintahan Hindia Belanda, perlawanan itu mulai terjadi sejak
kelahiran SaminSurasentika tahun 1859. Sejak saat itu beliau berjuang keras menyebarkan ajaran Samin
untuk menolak pembayaran pajak, sehingga beliau dan beberapa pengikutnya dibuang oleh pasukan
kolonial. Penyebaran gerakan Samin tidak hanya dilakukan di wilayah Bojonegoro tetapi juga di Blora,
Rembang, Pati, Kudus dll.
Perubahan Ketatanegaraan Bojonegoro
Pada awalnya Bojonegoro, Rembang, Tuban, Blora menjadi wilayah karesidenan Rembang yang masuk
provinsi Jawa Tengah. Akan tetapi semua itu berubah ketika ada dua pemimpin dari pihak Belanda yang
ikut mengatur tatanan pemerintah pada 1826.
Pada tahun 1855 kelengkapan pemerintah di Bojonegoro sudah ada dan di bagi sesuai dengan kebijakan
pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan pemerintahan yang semakin sempurna dan banyaknya warga
asing yang tinggal di Bojonegoro. Dengan begitu makin banyak perusahaan negara maupun swasta,
sehingga menambah jumlah pekerja. Oleh karena itu perlulah dibentuk suatu tatanan pemerintah
hingga ketinggat terendah yang dinamai “Distrik”. Wilayah Distrik karesidenan Rembang ialah,
Bojonegoro, Rembang, Tuban dan Blora.
Bojonegoro merupakan daerah penghasil tembakau terbesar salah satu macamnya ialah tembakau
Havana. Karena proses produksi yang cepat maka diperlukan perhubungan yang cepat pula sehingga
dibuatlah jalan kereta api oleh Belanda yang berpusat diSemarang. Jalan kereta api dibuat guna untuk
memperlancar ekspor tembakau dari Bojonegoro. Sehubungan dengan dibukanya jalur kereta api di
Bojonegoro itu muncul jabatan baru yaitu “patih” sebagai sekertaris kabupaten.
Dengan kelengkapan perangkat pemerintah membuat wilayah Bojonegoro semakin ramai. Sehingga
penjajah saling berebut untuk menerapkan sistem eksploitasinya kepada tanah penduduk. Terdapat
dua partai yang menginginkan pahamnya di anut oleh rakyat diantaranya partai Konservatif dan Liberal.
Partai Konservatif menganggap tanah jajahan sebagai“perusahaan negara” dan partai Liberal
menganggap tanah jajahan sebagai “perusahaan swasta”. Partai Liberal menolak campur tangan
pemerintah guna untuk menjaga ketertiban umum untuk kelancaran roda ekonomi. Adapun tugas
pemerintah adalah melindungi rakyat jajahan dari masalah tanah, oleh karena itu dibuatlah undang-
undang agraria dan gula pada tahun 1870.
Berdasarkan dari undang-undang tersebut maka sistem tanam paksa tembakau di Bojonegoro di hapus
dan di ganti menjadi usaha swasta tahun 1866. Sejak saat itu pihak swasta Eropa mendapat peluang
banyak untuk memiliki tanah di wilayah Bojonegoro dengan sistem kontrak sewa tanah. Sejak tahun
1860an politik kolonial Belanda semakin mementingkan kesejahteraan rakyat sehingga mengakibatkan
sistem administrasi pemerintah semakin intensif.
Sekitar tahun 1870an perubahan di berbagai bidang terjadi, yang paling menyolok adalah urbanisasi
atau perpindahan masyarakat desa ke kota. Faktor yang mendasari perpindahan mereka adalah
berkurangnya tanam pertanian dan bertambahnya kemiskinan di desa. hal semacam itu menjadi alasan
kuat rakyat pindah ke kota, disamping itu perkembangan kehidupan di kota dengan adanya perusahaan-
perusahaan dan perkebunan yang menjamin kehidupan rakyatnya. Disisi lain alasan transportasi yang
lebih mudah juga menjadi alasan mereka melakukan urbanisasi.
Pada era perusahaan swasta maka diberlakukan administrasi sistem barat, pada saat itu Bupati
Bojonegoro adalah Raden Mas Tumenggung Tirtonoto II. Dalam membangun daerahnya beliau mulai
dari pembangunan prasarana irigatie (saluran dari pertanian) dan jalan lalu lintas. Pembangunan
tersebut berhubungan dengan adanya usaha perkebunan milik swasta yang mengharuskan mereka
membangun waduk demi kelancaran pertanian mereka. Disamping itu di bangun pula jalan raya klas dua
tingkat pedesaan dan jembatan-jembatan. Sarana tersebut di bangun hampir di semua wilayah distrik,
di usahakan pula pembangunan sosial khususnya lembaga pendidikan untuk masyarakat. Dengan di
bukanya jabatan-jabatan tinggi administrasi pemerintah kolonial bagi penduduk pribumi akan membuka
peluang bagi mereka untuk mendapat pelatihan dan pendidikan dari lembaga-lembaga pendidikan.
Salah satu perkembangan penting yang mencerminkan perhatian yang lebih dari pemerintah kolonial
Belanda terhadap pendidikan rakyat pribumi adalah dengan pengangkatan Inspektur pendidikan. Pada 1
Agustus 1872 di kabupaten Bojonegoro mulai didirikan sekolah “Inlandsche Scholen, direktur sekolah di
jabat oleh Raden Djojodimedjo serta pembantunya Abu Nodir dan Mustahal.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman produksi eksport berjalan kurang baik karena jatuhnya
harga kopi dan gula dipasar dunia. Padatahun 1891 harga tembakau di pasaran juga merosot pesat
sehingga membahayakan kelangsungan hidup perkebunan tembakau. Pada saat itu Bojonegoro di
bawah kepemimpinan bupati Raden Adipati Ariyo Reksokusumo.
Dalam kurun waktu itu pemerintah mulai mengusahakan proyek besar seperti pengeboran minyak
tanah. Tahun 1889 ditemukan adanya tambang minyak tanah di kawasan desa Kawengan “Banyu urip”,
Kasiman. Sejak saat itu pula di adakan pengeboran minyak dan hasil pengeboran minyak mentah
tersebut di kirim ke Cepu yang kebetulan merupakan pusat pertambangan minyak tanah. Proyek kedua
yang dilakukan pemerintah adalah Irigatie Solovalles merupakan proyek pemerintah yang
mengusahakan untuk pembuatan sungai baru sebagai pemecah bengawan Solo yang di pandang mulai
membahayakan daerah kota Bojonegoro. Karena bentuknya yang dangkal sehingga berakibat banjir.
Galian aliran baru ini diberi nama Bengawan Suwang, proyek ini bertujuan untuk mengendalikan banjir
dan untuk keperluan pertanian selama musim kemarau.
Secara prasarana wilayah Bojonegoro memang sudah mengalami kemakmuran tetapi kesejahteraan
rakyat tak ada perubahan. Bahkan menjelang tahun 1900an bahaya banjir semakin mengancam wilayah
tersebut. Menurut Gonggrijp seorang ekonom Belanda mengatakan penyebab tidak adanya peningkatan
kemakmuran masyarakat adalah dikarenakan krisis yang melanda perkebunan-perkebunan milik swasta
ataupun pemerintah sekitar tahun 1885. Hal ini yang membuat perkebunan-perkebunan melakukan
penghematan berupa penekanan upah dan sewa tanah sampai tingkat yang serendah mungkin.
Semua itu mudah untuk dilakukan sebab yang terkena tindakan penghematan adalah penduduk.
Masyarakat Jawa khususnya Bojonegoro menanggung beban finansial yang amat berat karena hasil
dana eksport tanaman tidak hanya di gunakan pemerintah Hindia Belanda untuk kemakmuran
penduduk Jawa akan tetapi untuk membiayai pemerintah daerah koloni di luar Jawa.

D. Bengawan Solo dan Riwayatnya


Hati bergetar saat mendengarkan alunan Bengawan Solo di Film The Sun Also Rises karya Jiang Wen.
Lagu itu diputar di akhir film. Saat si tokoh utama gantung diri di sebuah jembatan. Film berlatar
Revolusi Kebudayaan Tiongkok ini menjadikan Jiang Wen sebagai The Best Director Venice International
Film Festival pada 2007. Tepat pada tahun yang sama juga terjadi banjir besar akibat luapan Bengawan
Solo. Banjir besar dalam sejarah Bengawan Solo itu menelan kerugian yang tak sedikit.
Sebelumnya, sutradara favorot saya, Wong Kar Wai dalam film In The Mood for Love juga ada lagu
Bengawan Solo versi lirik berbahasa Inggris yang dinyanyikan dalam salah satu adegan film tersebut.
Sebagai lagu, lagu Bengawan Solo sudah mendunia. Di Jepang, Tiongkok, Malaysia dan sejumlah negara
lainnya, lagu ciptaan Gesang ini sudah sangat akrab.
Ada ungkapan bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengelola sungainya. Bojonegoro, Tuban
dan Lamongan sebenarnya beruntung berada di wilayah aliran Bengawan Solo. Sungai-sungai besar di
dunia mampu memberikan kehidupan yang layak bagi warganya.
Di Mesir, Sungai Nil menjadi ikon dan mampu menjadi kekuatan ekonomi bagi Mesir. Di Brasil ada
Sungai Amazon yang menjadi tulang punggung bagi jutaan warga di sepanjang Sungai Amazon yang
membentang belasan negara di Amerika Latin. Amazon juga menjadi tulang punggung bagi lingkungan
dunia serta flora dan fauna. Di Tiongkok ada Sungai Yangtze yang diubah menjadi kekuatan energi yang
luar biasa. Puluhan ribu megawatt energi listrik dihasilkan dari sungai Yangtze. Dan Bengawan Solo
menjadi tulang punggung ekonomi bagi ratusan ribu warga di sepanjang sungai terpanjang di Jawa ini.
Nah, apakah sungai Nil, Amazon dan Yangtze tak pernah banjir? Tentu saja banjir menjadi rutinitas di
musim hujan. Namun, pemerintah setempat mampu meminimalisir banjir. Bukan hanya meminimalir
tapi juga memaksimalkan menjadi potensi ekonomi, kebudayaan, dan energi.
Bengawan Solo kini sedang menggeliat lagi. Bagi warga di sepanjang Bengawan Solo, luapan air sudah
menjadi kebiasaan. Bahkan dalam local wisdom, ada kepercayaan yang diyakini warga, banjir akibat
luapan Bengawan Solo akan surut jika sudah meluap lima kali. Ini mungkin masih luapan ke 2-3 kali
Bengawan Solo. Setelah itu akan surut lagi. Mungkin kepercayaan warga sepanjang Bengawan Solo
hampir sama dengan warga di sekitar Gunung Merapi. Warga Merapi percaya, gunung bukan meletus
tapi sekedar ‘batuk’. ‘Batuk’ untuk mengeluarkan dahak yang kotor, setelah itu Merapi akan sehat lagi.
Kata ‘sehat’ bagi warga Merapi adalah lahan di sekitar Merapi akan subur kembali.
Warga baik di gunung berapi maupun sungai memiliki kekhasan tersendiri dalam menyikapi bencana.
Kepercayaan warga harus kita hormati. Namun, pemerintah juga harus melakukan upaya antisipasi
meminimalisir banjir. Sebab, banjir kali ini bukan hanya dari luapan Bengawan Solo. Tapi juga sejumlah
sungai yang meluap akibat tak mampu menampung air hujan.
Kita sebenarnya agak beruntung juga dijajah Belanda. Mengapa? Sebab Belanda adalah negara yang
penataan saluran air dan irigasinya terbaik di dunia. Saat ke Bojonegoro, Belanda membangun Waduk
Pacal untuk meningkatkan pertanian warga Bojonegoro. Bukan hanya itu, sebenarnya Waduk Pacal juga
diharapkan mampu menampung air dari sungai yang di bagian selatan Bojonegoro.
Belanda juga membangun Solo Valey. Yakni, sungai buatan yang digunakan untuk mengalirkan air dari
Bengawan Solo ke bagian selatan Bojonegoro. Belanda sadar, jika air Bengawan Solo tak dibagi ke
selatan, maka luapan air saat musim hujan akan menggenani kota Bojonegoro. Sayang niat Belanda
membangun Solo Valey terhenti. Belanda harus segera angkat kaki, setelah perjanjian Meja Bundar
disepakati antara Indonesia-Belanda dan Sekutu untuk mengakhiri penjajahan. Terhentinya
pembangunan Bengawan Solo akhirnya mengakibatkan Bojonegoro yang berada di cekungan Bengawan
Solo menjadi langganan banjir saat musim hujan.
Beberapa waktu lalu, ada niat dari pemkab Bojonegoro akan menghidupkan lagi Solo Valey. Sayang, niat
itu hingga kini pun kabur alias tak jelas kelanjutannya.
Berada di wilayah yang dikelilingi air menjadi resiko bagi Bojonegoro sebagai daerah yang dikepung air
juga. Namun, sebagai wilayah yang juga menjadi ladang minyak, menjadikan Bojonegoro saat musim
kemarau menjadi sangat kering dan gersang. Jika menyebut musim, maka gersang dan banjir adalah dua
kata yang identik dengan Bojonegoro.
Air sebenarnya adalah berkah. Sebab air adalah lambang kehidupan. Tak ada air maka tak ada
kehidupan. Jika air menjadi bah, maka bukan air yang keliru. Tapi perilaku kita yang harus ditata lagi.
Menata air adalah menata keberlanjutan kehidupan.

E. Tanaman Berharga di Bojonegoro


Tembakau
Kapan tembakau kali pertama ditanam di Bojonegoro? Jika dihitung mulai awal hingga tahun ini, usia
pertanian tembakau di Bojonegoro telah mencapai usia 178 tahun. Data itu saya baca di buku
Membunuh Indonesia (Konspirasi Global Penghancuran Kretek) yang diterbitkan pada 2011.
Lagi-lagi Belanda yang ikut ‘berjasa’ mewariskan tanaman tembakau di Bojonegoro. Tanam tembakau
kali pertama di Bojonegoro pada 1834. Sebelum tembakau ditanam di Bojonegoro, Belanda lebih dulu
menanam di wilayah Kedu Jawa Tengah pada 1832. Namun, Belanda mengalami kegagalan panen
tembakau di daerah Kedu. Kegagalan panen tembakau diakibatkan letusan gunung Merapi.
Di Bojonegoro, Belanda mulai mencoba menanam tembakau jenis Manilla dan Havana. Belanda memilih
Bojonegoro ditanami tembakau karena Dipilih Bojonegoro karena pada saat itu Bojonegoro masuk
dalam wilayah Karasidenan Rembang. Hampir semua wilayah Karasidenan Rembang dipaksa menanam
tembakau.
Sayang tembakau yang ditanam di Bojonegoro tak bertahan lama. Petani tembakau terus merugi.
Penyebabnya, kemarau yang panjang. Kekeringan yang dahsyat mengakibatkan tanaman tembakau
menjadi tak produktif. Tanam tembakau di Bojonegoro pun akhirnya gagal.
Kegagalan tak membuat Belanda surut. Belanda pun tak kekurangan akal. Dua tahun kemudian, pada
1936, muncullah kebijakan Tanam Paksa oleh Belanda. Salah satu tanaman yang wajib ditanam adalah
tembakau. Hasilnya, penanaman tembakau menyebar hampir ke seluruh wilayah Bojonegoro. Hasilnya
juga, Belanda untung besar dari jumlah ekspor tembakau yang selalu meningkat ke Eropa. Belanda
untung besar dari jualan tembakau di Eropa. Bumi Rajekwesi ini juga
Meski ada kebencian dari efek Tanam Paksa, justru pada tahun-tahun berikutnya rakyat Indonesia yang
diuntungkan dalam pola pertanian yang dikembangkan Belanda.
Di Bojonegoro misalnya, Belanda membangun banyak irigasi. Salah satunya Waduk Pacal dan sejumlah
waduk lainnya. Ada juga Solo Valley yang digadang-gadang akan mengalirkan air dari Bengawan Solo
untuk petanian wilayah bagian selatan Bojonegoro.
Tembakau yang diwariskan oleh Belanda hingga saat ini juga masih dinikmati oleh petani di Bojonegoro.
Meski harga tembakau saat ini naik turun, tapi tembakau telah meningkatkan kesejahteraan rakyat
Bojonegoro. Dari tembakaulah, Bojonegoro dikenal di nusantara. Bahkan hingga mancanegara. Hingga
kini, tembakaulah yang menghidupi sebagian besar dari penduduk di Bojonegoro.
Belanda jelas penjajah. Namun penjajahan Belanda juga banyak mewariskan banyak keuntungan bagi
rakyat Indonesia dan khususnya pertanian bagi Bojonegoro. Belanda memang mengeruk banyak dari
hasil bumi Indonesia. Namun, Belanda juga memiliki visi untuk mengembangkan pertanian. Visi itulah
yang hingga kini masih bisa dirasakan oleh rakyat Bojonegoro. Sebut saja, ada Waduk Pacal, sumur
minyak tradisional, jati, tembakau, saluran irigasi dan masih banyak lagi. Bahkan, Belanda juga
membangun pabrik tepung untuk roti di desa Gunungsari. Meski pabrik tepung di Desa Gunungsari
dihancurkan saat Jepang datang ke Indonesia.

Jati
Jati sebenarnya sudah lama tumbuh di Bojonegoro. Jauh sebelum Belanda datang ke Bojonegoro, pohon
jati sudah tumbuh di Bojonegoro. Jati kini menjadi tanaman khas bagi Bojonegoro. Hampir 40 persen
luas lahan di Bojonegoro ditanami jati.
Bahkan Belanda membangun rel hingga ke pelosok bagian selatan Bojonegoro untuk mengangkut kayu
jati. Kayu jati yang sudah berumur tua, ditebang lalu dibawa ke eropa melalui pelabuhan di Semarang.
Di Temayang masih banyak ditemukan rel-rel tua bekas KA yang dibangun oleh Belanda. Bahkan stasiun
besar Bojonegoro dibangun Belanda yang menghubungkan Bojonegoro dengan Semarang.
Pohon jati yang berasal dari Bojonegoro terkenal dengan kayu jati terbaik. Di sejumlah tempat, seperti
Universitas Leiden Belanda, kayu jati dari Bojonegoro menjadi penyangga penting bangunan. Bukan
hanya di Belanda, tapidi sejumlah negara lainnya, seperti Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, kayu jati
dari Bojonegoro merupakan kayu yang selalu diincar.
Karena itu, kayu jati asal Bojonegoro mulai dulu hingga kini menjadi kayu terbaik di dunia. Fungsi kayu
jati bermacam-macam. Mulai dari furniture hingga rumah.
Di Bojonegoro, masih banyak rumah warga yang dibangun dari kayu jati. Hasilnya, meski dibangun
selama puluhan hingga ratusan tahun, kayu jati tetap kuat dan bertahan lama.

Pukul 07.00, Senin Wage, 24 September 1945, ribuan rakyat Bojonegoro memadati alun-alun.
Karasidenan Bojonegoro diproklamirkan menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Proklamasi itu
dibacakan oleh Residen Bojonegoro RMTA Soeryo. Pernyataan bergabung dengan Negara Republik
Indonesia karena rakyat saat itu belum percaya jika Indonesia telah menyatakan proklamasi
kemerdekaan pada 17 Agustus.
Tak lama setelah menyatakan Karasidenan Bojonegoro bergabung dengan Negara Republik Indonesia,
12 Oktober 1945, RMTA Soeryo diangkat menjadi Gubernur Jawa Timur.

Siapa sebenarnya pemrakarsa bergabungnya karasidenan Bojonegoro dengan Negara Republika


Indonesia? Namanya Mr Boedisoesetyo, seorang anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) dari
Lamongan. Pada 2 September 1945, dia mendesak agar Karasidenan Bojonegoro segara diproklamirkan
untuk mendukung Negara Republik Indonesia. Desakan itu disetujui oleh RMTA Soeryo.

G. Tokoh Pergerakan di Bojonegoro

Samin

Namanya Matthijs Waterloo. Jabatannya, Residen Yogyakarta. Saya membaca kisah ini di buku Kuasa
Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 karya Peter Carey.

Saat itu yang memimpin Kesultanan Yogyakarya adalah Sultan Hamengkubuwono II. Pada pertengahan
April 1808 dia menulis kepada Gubernur Hindia Belanda yang baru bernama Herman Wilem Dandels
yang menggantikan Albertus Wiese.

Dalam surat itu, dia berharap Dandels menyerobot tanah di wilayah timur kekuasaan Yogyakarya.
Termasuk wilayah Jipang Panolan. Yakni, Blora, Padhangan, Rajegwesi dan Buwerno. Isi surat itu
sebenarnya adalah pemisahan yang jelas lahan yang dimiliki oleh Kesultanan Yogyakarta dan tanag
pemerintah Belanda.

Sederhana pertimbangannya, wilayah Jipang Panolan tumbuh jutaan kayu jati. Karena itu, jika Belanda
berhasil menyerobot wilayah Jipang Panolan maka jutaan kayu jati akan menjadi hak milik Belanda.

Dandels yang ditugasi oleh Kerajaan Belanda melindungi Jawa dari Inggris setuju dengan ide Waterloo.
Mengapa Jawa? Karena Jawa pada abad ke-17 merupakan daerah yang belum mampu direbut oleh
Inggris. Tiga wilayah Jipang Panolan. Yakni, Padhangan, Rajegwesi dan Buwerno akhirnya menjadi satu
nama, yakni Bojonegoro.

Setelah merebut tanah wilayah Jipang Panolan, Belanda lalu merebut jutaan hektar tanaman kayu jati di
wilayah Blora, Rembang, hingga Bojonegoro. Kayu-kayu jati itu dikirim oleh Belanda ke Eropa melalui
dermaga di Rembang. Dari sekian banyak kota di pesisir utara Jawa saat itu, Rembang termasuk yang
masih belum dikuasai Inggris. Bahkan untuk melancarkan upaya Belanda mengirim semua hasil bumi
Indonesia ke Eropa, Dandels yang dikenal bengis itu membangun jalan dari Anyer hingga Panarukan.

Kayu-kayu jati dari Bojoneororo dan Blora menjadi kebutuhan utama bagi bangsa Eropa. Revolusi
industri di Eropa sedang hangat-hangatnya. Kebutuhan kayu untuk bangunan rumah dan industri sangat
diminati di Eropa. Termasuk ke Belanda sendiri.
Selama puluhan tahun, Belanda menguras habis kayu jati dari Blora dan Bojonegoro. Tak ada
perlawanan dari rakyat. Rakyat tak berani melawan Belanda. Lalu sekitar awal-awal abad 18, muncul
benih perlawanan.

Namanya Raden Kohar atau biasa disebut Samin Surosentiko. Lahir pada 1859 di Klopoduwur Blora.
Samin mengajarkan ajaran yang bersumber dari kitab Jimah Kalimasada. Awalnya hanya dianggap
sebagai aliran kebatinan oleh Belanda. Namun, pada awal-awal 1900an. Samin menjadi sebuah
kekuatan baru terhadap perlawanan Belanda.

Kekayaan alam berupa kayu jati yang dikuras habis oleh Belanda membuat Samin geram. Namun,
kemarahan Samin tidak meledak menjadi kekuatan bersenjata. Samin memberi perintah kepada
pengikutnya agar tak membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Perintah ini dituruti oleh
pengikutnya.

Bagi Samin, kekayaan alam kayu jati ini adalah warisan dan milik sah anak cucu bangsa ini. Kayu jati tak
boleh menjadi milik asing.

Belanda was-was karena pengikut Samin bukan hanya segelintir orang saja. Namun, jumlah pengikut
Samin mencapai ribuan orang.

Belanda yang licik pun menggunakan akal busuknya. Samin dan sejumlah pengukutnya ditangkapi. Lalu
dibuang ke Padang, Sumatera Barat. Pada 1914, Samin pun meninggal dunia di Padang.

Meski dibuang di Padang. Semangat melawan Belanda tanpa kekerasan tetap diteruskan oleh pengikut
Samin. Mereka yang tak membayar pajak bukan hanya di Blora dan Bojonegoro saja. Para pengikut
Samin di Madiun hingga Pati pun menolak membayar pajak kepada Belanda. Belanda pun tak berkutik
dengan perjuangan para pengikut Samin tersebut.

Namun, sejarah berulang lagi. Blora dan Bojonegoro memiliki sumber minyak bumi yang jumlahnya
lumayan besar. Kini, diam dan tak membayar pajak seperti yang dilakukan Samin ternyata juga tak
menjadikan solusi. Karena tak membayar pajak, berarti tak taat kepada pemerintah. Apalagi jika
melawan kekuatan asing yang sangat besar, kita seperti bertarung melawan ruang hampa. Kita hanya
bisa teriak tapi tak didengarkan suara kita.

///////

Pada 1825, saat itu di Jipang yang beribukota di Padangan. Rakyat Jipang mengorganisir diri membentuk
kelompok-kelompok pasukan untuk mendukung sepenuhnya Pangeran Diponegoro melawan dan
mengusir Belanda dari tanah Jawa. Sikap patriotik rakyat Jipang ini didukung sepenuhnya oleh Pangeran
Diponegoro. Sikap heroisme rakyat Jipang lalu diapresiasi Pangeran Diponegoro. Diponegoro lalu
mengirim orang paling dekatnya, yakni Raden Tumenggung Sasradilaga. Sasradilaga yang menjadi tokoh
pembebasaan rakyat Jipang dari penindasan Belanda.
Rajekwesi yang saat itu dikuasai oleh Belanda berhasil dibebaskan oleh Sasradilaga. Sasradilaga akhirnya
menjadi Bupati Bojonegoro pada 1827-1828. Masjid Darussaalam di Kota Bojonegoro dibangun juga
berkat dari usaha Sasradilaga.

Takluknya Rajekwesi ditangan pasukan Sasradilaga membuat cemas Belanda. Lalu Belanda mengirim
2.000 pasukan ke Rajekwesi. Kota Rajekwesipun porak-poranda dibumihanguskan Belanda. Sasradilaga
dan pasukan lalu melanjutkan perang gerilya melawan Belanda.

Belandapun mengganti nama Rajekwesi menjadi Bojonegoro. Kotannya pun digeser ke utara, dekat
dengan Bengawan Solo. Menjadikan Bengawan Solo menjadi transportasi utama Rajekwesi-Babad-
Lamongan-Surabaya.

Ada perbedaan pandangan terkait nama Bojonegoro. AD Cornets de Greet dari Islandche Zaken
menyebut boojho dari bahasa Kawi yang berarti makan, dan negoro berarti tempat, pemerintah. Jadi
Boojhonegoro adalah tempat memberi makan yang sah.

Lalu ada pandangan lain yang menyebutkan, kata boodjo atau bodjo bermakna istri. Jadi Bojonegoro
bermakna istri yang setia kepad negoro. Jadi Bojonegoro adalah kesetiaan kepada negara. Yakni pusat
pemerintahan Belanda saat itu di Batavia. Jadi, nama Bojonegoro adalah pemberian Belanda. Bukan
berasal dari Bojanegara, yang menjadi salah satu nama lokasi dalam cerita Anglingdarma.

Mengapa Belanda mengubah Rajekwesi menjadi Bojonegoro? Karena perlawanan rakyat yang dipimpin
Sasradilaga membuat Belanda takluk. Satu-satunya perlawanan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran
Diponegoro dan berhasil menaklukkan Belanda adalah di Bojonegoro.

Karena itu, Belanda secara politis harus membuat kota baru untuk mengubur Rajekwesi. Nama
Rajekwesi perlu diganti, agar rakyat tak ingat kekalahan Belanda dari Sasradilaga.

Maka dibangunlah kota baru dan memindahkan lokasi Rajekwesi di tepi Bengawan Solo.
Pembaca yang budiman, jika sejarah ini sebagai teladan bagi generasi muda, nama Sasradilaga layak
sebagai tokoh ikon Bojonegoro. Sasradilaga terbukti mampu membebaskan Rajekwesi dari cengkeraman
Belanda. Sasradilaga juga menjadi insprasi rakyat melawan Belanda. Barangkali layak juga ada nama
Laskar Sasradilaga.

Kartosuwiryo

Ada banyak sebenarnya, tapi menurut saya ada dua orang yang cukup mempengaruhi pergerakan
nasional. Sebut saja tokoh pers nasional Tirto Adhi Soerjo yang lahir di Blora dan tumbuh di Bojonegoro.
Ada tokoh komunisme juga Mas Marco Kartodikromo yang lahir di Cepu. Dan Sekarmaji Maridjan
Kartosuwirjo, tokoh Negara Islam Indonesia (NII) yang lahir di Cepu dan tumbuh di Bojonegoro. Saya
mungkin luput menyebut sejumlah tokoh lainya,sehingga Anda berhak untuk menambah daftar tokoh
pergerakan nasional di Bojonegoro, Lamongan, Tuban dan Blora.

Tanah yang tandus seperti Blora dan Bojonegoro ternyata menjadi lahan tumbuh dan berkembangnya
sejumlah tokoh yang ikut mempengaruhi pergerakan nasional. Tirto Adhi Suryo ditulis lengkap oleh
Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan
Rumah Kaca. Juga ada tulisan biografi Tirto Adhi Suryo yang ditulis dalam Sang Pemula. Sedangkan
Kartosuwirjo yang mendirikan NII, biografinya dicatat dalam buku Darul Islam (Sebuah Pemberontakan)
karya Van Dijk dan Pemikiran Kartosuwirjo karya Al Chaidar.

Kartosuwirjo beruntung. Karena saat belajar kepada tokoh Sarekat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto di
Surabaya, dia satu pondokan dan satu pendidikan bersama presiden RI 1 Soekarno dan tokoh
komunisme Semaun.

Tjokroaminoto berhasil mendidik para muridnya menjadi tokoh nasional. Menariknya ketiga muridnya,
yakni Soekarno, Semaun dan Kartosuwirjo memilih jalan hidup ideologi yang berbeda-beda Namun
tujuannya sama, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari tiga tokoh itu, Soekarno dan Semaun
telah banyak jejak yang menelusurinya. Bahkan,keduanya memiliki banyak massa yang tak sedikit pada
zamannya hingga kini. Namun, bagaimana dengan tokoh NII Kartosuwirjo? Padahal, Kartosuwirjo dan
NII menginspirasi sebagian umat Islam mendirikan Daulah Islamiyah di Indonesia. Hingga ngebet-nya
mendirikan NII di Indonesia mereka pun kerap menempuh jalan kekerasan, seperti aksi bom bunuh diri.
Majalah Tempo edisi khusus Kemerdekaan yang menurunkan laporan tentang Kartosuwirjo. Siapa
sebenarnya Kartosuwirjo? Dia lahir di Cepu, Blora Jawa Tengah. Anak seorang mantri candu di Cepu.
Dari laporan Tempo berhasil menelusuri, Kartosuwirjo menempuh pendidikan elite khusus anak Belanda
Europeesche Lagere School di Bojonegoro. Kehidupan keluarga Kartosuwirjo sebenarnya bukan keluarga
yang relijius tapi justru cenderung abangan. Pamannya Mas Marco Kartodikromo adalah tokoh Sarekat
Islam yang cenderung merah. Sehingga Kartosuwirjo juga cenderung membaca buku-buku berhaluan
kiri. Namun dari catatan Tempo, saat menempuh pendidikan di Bojonegoro, Kartosuwirjo sempat
belajar agama kepada tokoh Muhammadiyah dan Partai Sarekat Islam Indonesia di Bojonegoro.
Namanya Notodiharjo.

///////
H. Sejarah Transportasi Utama di Bojonegoro

Buku Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe karya Oliver Johannes Raap. Buku tersebut dicetak sangat lux.
Kertasnya bagus dan setebal 208 halaman. Buku itu merupakan potret pekerja di Jawa pada masa 1890-
1940an. Buku tersebut sebenarnya adalah kumpulan foto dan kartu pos koleksi Oliver. Dia ternyata
sangat gigih mencari foto dan kartu pos kuno. Bukan hanya didapat dari berburu di kolektor di online
saja, tapi juga berburu hingga ke pasar loak. Butuh waktu hingga 8 tahun dia memburu foto dan kartu
pos kuno tersebut.

Oliver adalah orang Belanda. Sehari-hari adalah pedagang buku. Dia datang ke Indonesia pada saat
terjadi krisis moneter. Dia lalu belajar Bahasa Indonesia dan tentu saja belajar Bahasa Jawa. Dalam
keseharian dia minta dipanggil Mas Oli, bukan Meneer Oli.

Yang menarik dari buku karya Oliver tersebut adalah foto alat transportasi khas Jawa pada zaman dulu.
Yakni cikar atau dokar atau delman. Di foto itu ada seorang perempuan yang sedang menggendong alat
di depan cikar, lalu di cikar ada penarik pedatinya. Di belakang penarik pedati ada penumpang anak-
anak.

Cikar atau dokar adalah kendaraan khas Jawa zaman dulu. Saat ini cikar biasa digunakan untuk
mengangkut batang padi kering atau damen. Dan penarik cikar adalah sapi. Namun di koleksi foto Oliver
ditulis, cikar tersebut ditarik oleh kuda. Bedanya, cikar penutup ruang untuk penumpang lebih tinggi,
sedangkan dokar lebih rendah.

Saat ini cikar atau dokar masih banyak kita temui di pasar-pasar kecamatan. Sering jika saya pulang ke
Gunungsari, saya ajak anak-anak naik dokar dari Gunungsari ke Baureno.

Lalu, apa keistimewaan cikar dari Bojonegoro yang termuat dalam buku Oliver tersebut? Keistimewaan
cikar Bojonegoro adalah memiliki per. Fungsi per itu sebagai suspensi sehingga membuat nyaman
penumpang cikar. Bisa jadi karena sebagai alat transportasi satu-satunya maka pemilik cikarpun
memodifikasi agar para penumpang nyaman.

Sebelum museum Rajekwesi yang satu kompleks dengan kantor Dinas Pendidikan Bojonegoro
dibongkar, ada satu dokar atau cikar yang dipajang di museum tersebut. Cikar per khas Bojonegoro
adalah salah satu bukti sejarah dan budaya di Bojonegoro. Selayaknya cikar per tersebut mendapatkan
tempat yang layak, sebagai bukti Bojonegoro memiliki alat transportasi yang handal.

Pembaca yang budiman, saya sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh
Oliver patut mendapatkan apresiasi. Orang Belanda memang orang-orang hebat mendokumentasikan
arsip. Mereka rela untuk blusukan hanya untuk mengumpulkan kepingan-kepingan sejarah yang
berserakan. Lalu dikumpulkan, dijadikan buku dan menjadi kajian sejarah yang menarik.
Kita sebenarnya cukup beruntung dijajah oleh Belanda. Meski semua penjajahan adalah kriminalitas.
Namun Belanda juga mampu menyimpan arsip bangsa ini secara baik.

Semua aktivitas, kegiatan dan hal-hal sepele saat menjajah Indonesia dicatat baik oleh Belanda. Buku
CLM Panders Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North East Java Indonesia
sebenarnya adalah studi literatur saja. Penders tak pernah datang ke Bojonegoro. Namun, dia mampu
menulis detail tentang Bojonegoro. Seolah Penders menggali datanya dari sumber aslinya di
Bojonegoro. Ternyata data yang diperoleh Penders berasal dari kumpulan arsip yang masih tersimpan
rapi perpustakaan Universitas Leiden.

//////

Asal usul masyarakat Bojonegoro dari orang Kalang hingga Samin merupakan penyebar kedamaian.
Samin melawan Belanda dengan cara damai, yakni tidak membayar pajak tanpa melawan kekerasan.
Meski Samin Surosentiko ditahan dan dibuang ke luar Jawa. Samin tak pernah mengajarkan kepada para
pengikutnya melawan Belanda dengan kekerasan. Mengutip Rene Girard (Sindhunata,2008), kekerasan
seperti lingkaran setan, dia akan terus terjadi jika kekerasan dibalas kekerasan.

Karena itu, pendekatan yang komunikatif terhadap rakyat menjadi penting. Memahami dunia batin
rakyat bukan sekadar bicara jargon kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, juga menyapa batin rakyat.
Karena Jawa adalah dunia keseimbangan dan kedamaian yang berbahasa hati. Damai akan terwujud jika
saling berendah hati, saling memahami.

---------

Kompas Jawa Timur, Senin, 20 Sep 2010 – Tiga perahu yang diduga kuno ditemukan terpendam di dasar
Bengawan Solo, tepatnya di Desa Panjunan, Kecamatan Kalitidu, dan Kecamatan Malo, Bojonegoro.

“Kami masih belum bisa mengangkat tiga perahu di dasar Bengawan Solo yang diperkirakan kuno itu
karena terbentur dana,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro Djindan Muhdin di
Bojonegoro, Minggu (19/9).
Satu perahu yang terpendam tersebut ditemukan Dewan Purbakala Bojonegoro pada musim kemarau
ini, sedangkan dua perahu lain ditemukan penambang pasir di wilayah Kecamatan Malo. Diperkirakan
tiga perahu tersebut berusia ratusan tahun dilihat dari perkiraan panjang perahu.

Dari identifikasi awal yang bisa dilakukan, diperkirakan panjang perahu mencapai 30 meter dengan lebar
empat meter. Menurut dia, perahu tersebut lebih panjang dibandingkan dengan temuan perahu kuno
pada tahun 2006 di Desa Padang, Kecamatan Malo, yang diketahui berasal dari Thailand pada tahun
1312.

Perahu kuno tersebut berbeda dengan perahu sekarang yang biasa dimanfaatkan masyarakat di
Bengawan Solo yang panjangnya tidak lebih dari 10 meter. “Kalau sekarang ujung perahu tidak kelihatan
karena Bengawan Solo airnya sedang naik,” ujar Djindan.

Dia mengatakan belum bisa memastikan kemungkinan pada musim kemarau mendatang, tiga perahu
kuno temuan tersebut bisa diangkat. “Kalau memang ada dana kemungkinannya bisa saja temuan itu
langsung diangkat dari Bengawan Solo,” ucapnya. (ANTARA)

= = = = =v

Sungai sepanjang hampir 600 km, dengan 2200 anak sungai, ini melewati hampir 20 kota dan kabupaten
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sungai Bengawan Solo bermata air di daerah Wonogiri menuju
muaranya di Laut Jawa, dekat kota Gresik. Sungai ini telah mengukir sejarah peradaban sepanjang
alirannya, bahkan sepanjang usianya. Sungai ini telah lama menjadi sarana transportasi dan
perdagangan di pedalaman Jawa, mengingat dari seluruh pantai utara Jawa Tengah hingga Surabaya
hanya sungai Solo yang layak untuk dilayari sebagai sarana pengangkutan barang-barang konsumsi dan
niaga ke pedalaman.

Mata air ini berasal dari lereng gunung seribu [pegunungan Sewu] yang terletak di sebelah tenggara
wilayah eks Karesidenan Surakarta.

Dari mata air tersebut mengalir ke arah barat daya dan menjadi batas antara wilayah Kabupaten Pacitan
dengan Kabupaten Wonogiri.Kemudian sungai tadi membelok ke barat memasuki wilayah Kabupaten
Wonogiri, setelah sampai di desa Kakap sungainya mengalir ke arah utara, dan ketika sampai di sebelah
selatan kota Wonogiri, menjadi lebih besar karena adanya tumpahan air kali Keduwang yang sumbernya
dari Gunung Lawu.Setelah melewati kota Wonogiri aliran sungai ini menuju ke arah barat laut, dan
mendapatkan tumpahan air kali Dengkeng yang mata airnya dari Gunung Merapi.
Kemudian membelok ke arah timur laut. Setelah masuk di wilayah kota Surakarta mendapatkan
tumpahan air Kali Pepe yang mata airnya dari Gunung Merbabu.

Kini Sungai Sala sudah menjadi lebih besar dan mengalir masih ke arah timur laut dan menerima
tumpahan air Kali Kedungbang yang sumber airnya dari Gunung Lawu.Setelah sampai di sebelah utara
Kota Sragen yaitu di desa Sukawati, sungai Sala berkelok ke timur sampai di perbatasan wilayah
Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Sragen, mendapatkan tumpahan kali Kedungbanteng, yang mata
airnya juga dari Gunung Lawu.

Kemudian dari Ngawi sungai Sala ini mengalir ke arah timur bertemu dengan Kali Gentong atau kini
terkenal dengan nama Sungai Madiun. Dari situlah Sungai Sala menjadi lebih besar, karena semua sungai
dari Wilayah Panaraga, Madiun, Magetan dan Ngawi masuk ke Bengawan Madiun semua.

Dari kota Ngawi bengawan Sala mengalir ke arah utara memasuki wilayah kabupaten Rembang, diantara
Kabupaten Blora dan Kabupaten Bojanegara, terus ke utara sampai di wilayah Cepu mendapatkan
tambahan dari Kali Batokan yang sumbernya dari mata air Gunung Gamping sebelah utara kota Blora.

Dari situ Bengawan Sala airnya berkelok-kelok ke arah timur masuk wilayah Kabupaten Bojanegara,
setelah sampai di distrik Padangan, mendapat tambahan dari kali Gandongan, yang mata airnya dari
Gunung Pandan.

Dari kecamatan Malo aliran sungainya berkelok ke timur lurus, sampai di kota Bojanegara bertemu
dengan kali Kening yang bersumber dari mata air Gunung Gamping wilayah Rembang sebelah tenggara .

Kemudian terus mengalir ke arah timur dan menjadi perbatasan antara Kabupaten Bojanegara dengan
Kabupaten Tuban. Setelah sampai di kecamatan Kapas, Bengawan Sala mendapatkan tambahan dari Kali
Pacal, yang mata airnya dari Gunung Pandan.

Setelah sampai di kawedanan Pelem membelok ke utara sampai di kawedanan Rengel dan belok ke
timur sampai di Babad Kabupaten Lamongan. Dari Babad mengalir ke arah timur dan menjadi batas
kabupaten Tuban dengan Kabupaten Gresik.
Kemudian Bengawan Sala memasuki Kabupaten Gresik, dan masih berkelok-kelok ke arah timur sampai
di kota Sedayu dan sampailah ke laut Jawa, di sebelah utara selat Madura.

Bengawan Sala dahulu mulai dari Ngawi sampai ke Cepu, para pedagang selalu menggunakan jasa
angkutan air yakni perahu. Memang pada zaman itu Cepu pasarnya terkenal paling besar.

Menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Timur.Para pedagang dari
pesisir utara jika akan menjual barang dagangannya ke wilayah Jawa timur bagian utara mengambil
jurusan Cepu-Gresik, kalau yang akan memasarkan ke selatan melalui jalur Cepu- Ngawi. Dari Ngawi bisa
ke barat ke pusat kerajaan di Surakarta, atau ke Madiun- Magetan-Pacitan. Mungkin pula Ngawi-
Mojokerta.Ada pula perahu yang mengambil jurusan Cepu ke Kalitidu, Bojanegara, Babad, Sidayu hingga
Gresik.

Perjalanan air ini karena pada masa itu [ sebelum tahun 1900 M] belum dibangun rel kereta api jurusan
Gundih –Surabaya. Sehingga tidak aneh jika pada waktu itu angkutan air justru mendominasi
transportasi di sepanjang Bengawan Sala, tidak hanya puluhan perahu, tetapi konon sampai ratusan
perahu yang memenuhi Kali besar itu.

Kecuali transportasi air untuk melancarkan roda ekonomi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada
waktu itu, aliran Bengawan Sala juga dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkut
kayu-kayu jati dari wilayah hutan Cepu. Kayu jati yang ditebang itu, dipotong-potong yang selanjutnya
digandeng menjadi rakit, dan digered dengan perahu.

Salah satu kekayaan sumber daya alam berupa sungai bernama Sungai Bengawan Solo, nama besar dan
kepopulerannya di mancanegara merupakan tanggungjawab bangsa Indonesia. Sejarah telah
mengungkap arti penting Sungai Bengawan Solo bagi urat nadi pelayaran dan perdagangan pada saat itu
guna menunjang hidupnya perekonomian rakyat.

Sungai Bengawan Solo mengandung banyak sumber daya hayati di dalamnya. Memulai sejak dini dalam
mendayagunakannya adalah hal pokok dan penting terutama dalam menyeimbangkan tatanan alam dan
ritme kehidupan manusia.
Bengawan Sala adalah sebuah sungai terbesar dan terpanjang di Pulau Jawa. Dua buah kata yang
artinyaBengawan = sungai besar , Solo [bhs. Jawa, ejaan klasik] yang seharusnya ditulis Sala, nama
sebuah desa di wilayah eks Karesidenan Surakarta, dua hulu sungai yaitu dari daerah Pegunungan Kidul,
Wonogiri danPonorogo, selanjutnya bermuara di daerah Gresik.

Sungai ini panjangnya sekitar 548,53 km dan mengaliri dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sungai ini dikagumi masyarakat di seluruh dunia khususnya Jepang karena terinspirasi dari lagu
keroncong karangan Gesang berjudul sama, Bengawan Solo.

=====

ZAMAN SEBELUM KABUPATEN BERDIRI

Kehidupan pra sejarah Indonesia khususnya Pulau Jawa tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Bengawan
Solo, maka Bojonegoro yang dibelah oleh sungai Bengawan Solo mempunyai dua wilayah Utara dan
Selatan serta dua daerah Jipang Hulu(sekarang Jipangulu yang berada di bawah pemerintahan desa
Ngelo Kec. Margomulyo wilayah bagian barat kabupaten bojonegoro) dan Jipang Hilir dan dikelilingi
gunung Kendeng dan Gunung Pandan. Setiap makhluk hidup memerlukan air, begitu halnya dengan
manusia pra sejarah, mereka juga memerlukan air untuk hidup, dan air Bengawan Solo sanggup
mencukupi kebutuhan mereka akan air.

Maka oleh sebab itu dan lain hal Bengawan Solo dan daerah sekitar alirannnya menjadi tempat kubur
sebagian binatang dan manusia zaman pra sejarah. Fosil makhluk bertulang belakang ditemukan
penduduk Karangpoh – Jawik kecamatan Tambakrejo di hilir sungai Tinggang (1985), seperti halnyafosil-
fosil yang banyak ditemukan di daerah Trinil dan Sangiran Ngawi yang termasuik daerah aliran
Bengawan Solo.

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/51869#readmore

Anda mungkin juga menyukai