Anda di halaman 1dari 6

Karangan non ilmiah (fiksi)

Cara Mengakhiri Sebuah Makan Malam


Cerpen Afrizal Malna ( Jawa Pos Maret)

Musim dingin untuknya sama dengan ikan yang bersembunyi dalam lukisan –lukisan Gerhard Richter,
seorang pelukis Jerman yang sering melintas dalam pikirannya, setiap musim dingin datang.
Menciptakan banyak warna untuk menyembunyikannya kembali dalam sapuan besar warna lain.
Warna-warna yang seakan-akan diciptakan untuk melawan atau memberi cahaya hangat atas warna
putih kelabu dari musim dingin.

Jurg, tukang pos yang banyak mengoleksi foto-foto Paus itu, berusaha membenamkan tubuhnya dalam
udara hangat dari mesin pemanas kereta. Ia menggerakkan jari tangannya yang terbungkus sarung
tangan tebal dari wol. Diluar jendela kereta, salju kian mengubah peta. Menciptakan posisi yang
membingungkan untuk melihat arah, untuk tahu dimana dirinya berada diantara wajah kota yang
hampir berbalut warna putih salju.

Ia keluar kereta dengan langkah tergopoh-gopoh. Tubuhnya bergerak cepat meninggalkan Bahnhof Platz
agar tidak merasa ada angin dari musim dingin yang menguntitnya. Jurg terus melangkah melewati
Neuengasse di Bem. Melintasi berbagai pertokohan dan kafe yang menjanjikan rasa hangat yang lain.
Rasa hangat dari mata uang Frank Swiss. Seorang pengamen memainkan musim dari botol-botol kaca,
toples, dan gelas-gelas wine. Suaranya seperti ikut menggerakkan trem-trem kota yang melintas dengan
bentangan kabel-kabel listrik diatasnya. Lonceng gereja terdengar dari Gereja Moenster di
Moenstergasse. Suaranya seperti gema masa lalu dari ruang-ruang gotik.

Di depan Sehlachtaus Theater Berm, setelah memasuki Rathauagasse, ia berhenti. Membetulkan letak
kerah mantel panjangnya. Mengibaskan butir-butir salju dari bahu mantelnya. Jurg mengeluarkan
sebatang rokok putih dan membakarnya, Asap rokok mulai memenuhi paru-parunya, membangkitkan
ingatan-ingatan lama tentang berbagai alamat yang dilaluinya untuk mengantar surat berbagai negara.
Ia berdiri di depan pintu gedung teater itu. Bangunan tua yang tidak berubah. Mengingatkannya pada
sebuah pertunjukan yang telah berakhir 21 tahun yang lalu: Migration Aus Dem Wohnzimmer, 24-25
Mei 1993.

“21 Tahun?” desahnya sambil mengembuskan napas dari mulutnya untuk bisa merasakan sisa-sisa rasa
hangat dari tubuhnya. Dalam tasnya masih tersimpan catalog pertunjukkan itu. Istrinya menemukan
catalog itu dalam perjalannanya ke Solo, di rumah Halim HD, temannya dari Indonesia. Katalog dengan
grafis hitam putih. Gambar sisir, gelas, dan pesawat telepon. Ia mengeluarkan catalog, melihat isinya.
Dua actor dalam pertunjukan itu telah meninggal. Jurg kembali mengembuskan napasnya, seperti ada
lorong menuju ke dunia lain terbentang dalam tenggorokannya

Pertunjukan dari 21 tahun yang lalu itu seperti masih terus berlangsung tanpa penonton, tanpa tiket.
Pertunjukan dari musim dingin yang selalu meninggalkan rasa tersesat, di manapun ia berada.
Pertunjukan dari sepeda-sepeda yang membeku, diparkir tidak jauh dari gedung teater itu. Cahaya
lampu kota rasanya ikut membeku. Ia seperti bisa menggemgam cahaya yang membeku itu. Tak ada
penonton, tak ada tiket, bahkan tak ada panggung. Lelaki itu berusaha manyakini dirinya kembali
tentang pertunjukan yang masih terus berlangsung itu, setelah 21 tahun berakhir.

“Jurg,” tiba-tiba seorang perempuan memanggil namanya.

“Kanthi!” sambut lelaki itu.

Mereka berdua berpelukan. Ia melihat tangannya melingkar di bahu perempuan itu, seperti bukan lagi
bagian dari tubuhnya. Jurg menarik tangannya dari bahu Kanthi.

“Kamu seperti tidak pernah berubah setelah 21 tahun yang lalu,” kata Kanthi kepada Jurg.

“Kamu juga, seperti gedung teater ini, tidak pernah berubah,”jawab Jurg.

Kanthi memandangi gedung teater itu, seperti kamar mayat untuk waktu. Terpaku di tengah banyak
ingatan yang berhamburan bersama udara dingin. Jurg menarik tangannya

“Bagaimana penyakitmu?” Tanya Jurg.

Kanthi pernah beberapa kali dirawat di rumah sakit jiwa karena depresi. Ia seorang wartawan yang
pernah dikirim ke Kuwait tahun 1991 untuk meliput perang Teluk. Dalam waktu tidak sampai sebulan,
Kanthi kembali ke Bern. Setelah itu ia harus keluar masuk rumah sakit jiwa yang merawatnya. Sebuah
graffiti: “Amis raus! (pergi orang-orang Amerika!)”, di tembok Gereja St Marien sering menghantuinya.
Bagian dari protes atas campur tangan Amerika dalam Perang Teluk.

“Penyakitku mungkin sudah sembuh,” jawab Kanthi. “Tetapi orang disekelilingku…..kamu tahu tentang
itu, bukan? Aku sudah tidak ada, Jurg. Lupakanlah,” lanjut Kanthi sambil menggigit bibirnya di akhir
kalimat yang diucapkannya. Jurg mengangguk dan kembali memeluk Kanthi. “ Kamulah wartawan yang
memotret dari dalam, Kanthi,” bisik Jurg di telinganya.

Mereka melanjutkan perjalanan, melewati Zentrum Nord menuju ke apartemen Bot, tempat sahabat
mereka menetap. Bot mengundang mereka untuk makan malam. Bot seorang tukang. Tukang yang
keahliannya tidak terlalu jauh disekitar cat, hanya untuk mengecat dinding tembok tua dinding kayu.
Ketiganya bertemu di depan gedung teater yang sama, 21 tahun yang lalu. Waktu itu Jurg sedang
mengantar surat untuk seorang sutradara yang bekerja di gedung teater, Bot sedang mengecat salah
satu dinding teater yang sudah terlalu kumuh, dan Kanthi sedang bertugas meliput pertunjukan teater
yang sedang berlangsung di gedung itu.

“Apa yang kamu lakukan sekarang?” Tanya Jurg.

“Menulis novel yang pernah ditulis orang lain \? Jawab Kanthi.

Jurg terkejut. “Menulis novel!. Seakan-akan aku sendiri yang menulis novel itu,” Kanthi berusaha
menjelaskan dirinya. “Dan kamu, Jurg?”
“Aku, kau tahu, aku terus mengumpulkan foto-foto Paus dari berbagai zaman,”jawab Jurg. “Aku
masukkan foto-foto mereka ke dalam toples. Toples-toples itu tersusun rapi dalam rak-rak lemari
perpustakaanku.”

“Hebat!” celetuk Kanthi.

Didepan sebuah café mereka berhenti. Melihat salah seorang actor dari pertunjukan Migration Aus Dem
Wohnzimmer sedang memainkan sebuah adegan dari 21 tahun yang lalu itu. Aktor itu berdiri dengan
kostum seorang Paus yang membungkus tubuhnya. Kostum yang lebih mirip sebuah bangunan yang
berdiri dengan tubuhnya sebagai konstruksi utama untuk bangunan itu. Aktor itu mengucapkan salah
satu petikan dari puisi Vera Filler:

Dia orangnya yang belum pernah kamu lihat

Dimanapun kamu pergi

Atau, kalaupun dia ada di sini

Entah bagaimana saya merasa kehilangan dia juga

Aktor itu mengucapkan petikan puisi Vera Filler sambil menyeruput spaghetti di meja makannya. Jelujur-
jelujur spaghetti terus menyelinap masuk melewati bibirnya, seperti tidak pernah putus. Sebaliknya,
puisi Vera Filler keluar dari mulutnya, seperti mengelupasi rngkaian waktu yang menyelimuti dinding
kafe. Jurg merasa seperti ada sebuah alamat yang tiba-tiba mencekik lehernya, sebelum ia sampai di
alamat itu untuk mengantar sebuah surat. Surat untuk seseorang yang tidak pernah ada.

Kanthi menarik lengan Jurg untuk melanjutkan perjalanan. Mereka melintasi jembatan dengan Sungai
Aare mengalir di bawahnya. Sungai yang jernih seperti kolam renang itu, dengan arusnya yang deras,
permukaannya kini telah membeku.

Tinggi salju sudah hamper menyentuh bibir jendea apartemen Bot, ketika Kanthi dan Jurg sudah sampai
di tempat tinggalnya temannya ini. Apartemen kecil. Mereka duduk di sebuah meja memanjang dengan
taplak putih di atasnya. Sebuah makan malam yang berlangsung di ruang dapur Bot yang sederhana.
Berbagai jenis pisau untuk makan terletak di tengah meja dalam sebuah gelas. Hanya itu satu-satunya
yang bisa dilihat di ruang dapur itu. Selebihnya hanya peralatan dapur dan dinding tembok warna putih.

Bot menyambut keduanya dengan hangat. Berpelukan. Menepuk-nepuk bahu.

“Musim dingin yang menggetarkan,” kata Bot, seperti kepada dirinya sendiri.

Bot menyambut mereka berdua dengan makan satu mangkuk mushrcom sup panas. Bau keju dari sup
terasa lembut mulai menggenangi ruang. Dan roti yang telah dimasak renyah. Bot melanjutkan dengan
mengeluarkan green salad. Semua hidangan Bot sendiri yang meracik dan memasaknya. Bau bumbu di
ruang makan itu ikut membuat lapisan lain dari rasa masakan yang mereka makan.
Bot tiba-tiba terdiam. Kanthi dan Jurg ikut terdiam, mengambil dua botol wine, putih dan merah.
Keduanya seperti menyimpan memori yang berbeda uttuk Jurg, yang saat itu terlihat sangat bahagia.
Wajah bahagia itu tiba-tiba tenggelam dalam tatapannya melihat kedua botol wine itu, seperti pasangan
abadi yang tak pernah terpisahkan.

“Aku selalu membuka dua wine sekaligs untuk sahabat-sahabatku,” ucap Bot.

Tatapan Jurg masih tak bergerak. Memori dari wine terus berlintasan, seperti mesin fotokopi di
kepalanya. Bot menyalakan CD player-nya. Lagu Royals dari Lorde terdengar seperti ritme tepukan-
tepukan serempat yang berlangsung dalam timbunan salju. Di Luar jendela timbunan salju mulai
menyentuh bingkai jendela putih di dinding dapur itu. Kanthi mengeluarkan kameranya, memotret
jendela putih itu dengan sosok kempulan berbagai jenis pisau makan di tengah meja, sebagai latar
depan yang fokusnya dibuat kabur.

Jurg membuka tasnya, mengeluarkan sebuah surat untuk seseorang yang tidak pernah ada. Tetapi
alamatnya ada. Alamatnya jelas. Dalam daftar kependudukan pemerintahan kota, nama itu juga tidak
pernah ada. Tetapi Jurg yakin bahwa orang itu sungguh-sungguh ada. Ia terus menyimpan surat itu.
Surat yang membuatnya seperti bisa memiliki harapan bisa bertemu dengan orang itu, suatu hari.

Bot dan Kanthi memandangi surat itu, surat yang ditujukan untuk seorang sutradara yang bekerja di
Schlachaus Theater Bern, 21 tahun yang lalu. Lalu Bot bercerita tentang seorang penyair yang selalu
berjalan. Hidupnya memang hanya untuk berjalan, hingga suatu hari orang menemukannya dalam
keadaan mati, di sebuah musim dingin. Mayatnya membeku di atas permukaan Sungai Aare yang juga
telah membeku. Tetapi ia juga justru seperti hidup dalam tubuh mayatnya sendiri.

Bot mengambil pisau, membuka amplop surat itu. Lalu mengeluarkannya. Semuanya tercengang, surat
itu ternyata kosong. Putih tak ada tulisan apapun. Kanthi memejamkan matanya. Ia kembali teringat
actor dengan kustum Paus yang membacakan puisi Vera Filler. Di café yang mereka lewati sebelum
samapai apertement Bot.

Dia orangnya yang belum pernah kamu lihat

Dimana pun kamu pergi

Atau kalau pun dia ada di sini

Entah bagaimana saya merasa kehilangan dia juga

Jurg menghembuskan napasnya melihat kenyataan itu. Menatap kertas kosong itu, seakan-akan tetap
ada tulisannya yang terkubur didalamnya. Dari wastafel terdengan Bot yang mulai mencuci piring dan
gelas bekas makan malam mereka. Semua percakapan berhenti, tergantikan suara air dan gesekan-
gesekan kecil dari peralatan makan yang sedang dicuci Bot. Knathi dan Jurg menghabiskan sisa wine.
Merayakan rasa kehilangan seorang yang tidak pernah ada dalam kehidupan mereka. Rasa kehilangan
itu terasa nyata. Kanthi mengambil surat yang hanya berisi kertas kosong itu.
“Aku akan mencoba menuliskan bagaimana kertas kosong ini harus ditulis kembali sebagai kertas
kosong,” katanya sambil berusaha memasukan surat itu ke dalam tasnya. Karena Kanthi tidak hati-hati,

Surat dalm surat itu terjatuh. Jurg merebut surat itu. Memasukkan kertas kosong itu ke mulutnya,
mengunyahnya dan menelannya.

Makan malam itu berakhir dengan perasaan yang sama dialami ketiga orang sahabat itu. Perasaan
bahwa makan malam itu tidak pernah terkjadi. *******

TUGAS PRIBADI

1. Setelah anda membaca karangan (fiksi) berupa cerpen, lalu anda telaah perparagraf dan tulis
hasil telaah saudara!
2. Buatlah karangan ilmiah bebas (non fiksi) lalu buatlah perbandingannya antara tulisan ilmiah
dan non ilmiah!
Dengan perbandingan : Segi bahasa, struktur bahasa dan isi/ alur

Anda mungkin juga menyukai