Anda di halaman 1dari 11

ALIH WAHANA (EKRANISASI)

PERBANDINGAN NOVEL DAN FILM HUJAN BULAN JUNI

(Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah al-Adab al-Muqarran)

Dosen Pengampu :
Siti Amsariah, M.Ag

Disusun oleh:

Ramda Riana
11150210000012

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
ALIH WAHANA (EKRANISASI) NOVEL HUJAN BULAN JUNI
KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DENGAN FILM HUJAN
BULAN JUNI YANG DISUTRADARAI OLEH RENI NURCAHYO
HESTU SAPUTRA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekranisasi novel Hujan


Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang ditransformasikan ke dalam
film dengan judul yang sama karya sutradara Reni Nurcahyo Hestu Saputra.
Tolak ukur analisis ini meliputi ekranisasi berupa pengurangan/pemotongan
(latar, tokoh dan penokohan) novel dalam film, penambahan/perluasan (latar,
tokoh dan penokohan) dalam film dan perubahan bervariasi (latar, tokoh dan
penokohan) novel dan film. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif naratif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode
studi pustaka dan metode perbandingan, selanjutnya metode analisis data
menggunakan pendekatan struktural.
A. Pendahuluan
Dunia sastra meliputi prosa merupakan salah satu genre yang
memiliki bidang cakupan berupa karya fiksi. Fiksi merupakan sebuah cerita
rekaaan/rekayasa buatan yang memiliki fungsi memberitahukan kepada
pembaca tentang sebuah kejadian atau peristiwa yang bisa saja terjadi di
kehidupan nyata. Sifat dari karya sastra fiksi berbeda dengan karya sastra
nonfiksi, karya sastra nonfiksi bersifat faktual atau fakta yang terjadi,
sedangkan karya sastra fiksi bermula dari imajinasi pengarang yang
terkadang ceritanya diangkat dari kehidupan nyata Karya sastra fiksi
memiliki sebuah amanat yang terkandung dalam unsur-unsur cerita.
Salah satu bentuk karya sastra yang mengupas kehidupan manusia dan
masyarakat sekitarnya adalah novel. Novel merupakan bentuk karya sastra
fiksi yang bersifat kreatif imajinatif yang menceritakan persoalan kehidupan
manusia secara kompleks dengan berbagai konflik, sehingga pembaca
memperoleh pengalaman-pengalaman baru tentang kehidupan. Abrams
(dalam Nurgiyantoro, 1995:9) menyatakan bahwa kata novel berasal dari
bahasa Italia yaitu novella yang secara harfiah berarti sebuah barang baru
yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.
Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan
sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak
melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks
(Nurgiyantoro,1995:11).
Novel yang menarik perhatian pembaca biasanya menyuguhkan alur
cerita yang menarik pula. Muhardi dan Hasanuddin WS (1992:28)
menyatakan bahwa alur adalah hubungan antara suatu peristiwa atau
kelompok peristiwa dengan peristiwa lain dalam novel. Tanpa hubungan
sebab akibat suatu rentetan peristiwa maka tidaklah dapat disebut suatu alur.
Setiap perubahan tokoh, tindakan, tempat, dan waktu pada cerita dapat
menyebabkan munculnya peristiwa baru yang disebut episode cerita.
Menurut Ensiklopedi Sastra Indonesia, episode berasal dari istilah Inggris dan
Perancis, yaitu suatu lakuan pendek sebuah karya sastra yang merupakan
bagian integral dari alur utama, tetapi jelas batas-batasnya (bagian yang dapat
berdiri sendiri dalam deretan peristiwa suatu cerita).
Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara
kolektif sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata
kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan
selulosa, biasa dikenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara
harfiah film (sinema) adalah cinemathographie yang berasal dari “cinema”,
“tho” (berasal dari kata phytos artinya cahaya) dan “graphie” (berasal dari
graph artinya tulisan, gambar, citra). Jadi pengertiannya adalah melukis gerak
dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus
menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.
(http://bahasfilmbareng.blogspot.com/2008/04/ pengertian- film.html).
Bluestone (dalam Eneste, 1991:18) menyatakan, film merupakan
gabungan dari berbagai ragam kesenian, yaitu musik, seni rupa, drama, sastra
ditambah dengan unsur fotografi. Eneste (1991:60) menyatakan bahwa film
merupakan hasil kerja kolektif atau gotong royong. Baik dan tidaknya sebuah
film akan sangat bergantung pada keharmonisan kerja unitunit yang ada di
dalamnya (produser, penulis skenario, sutradara, juru kamera, penata artistik,
perekam suara, para pemain, dan lain-lain). Oleh karena itu, film merupakan
medium audio visual, suarapun ikut mengambil peranan di dalamnya.
Sapardi Djoko Damono (dalam kuliah wawasan ilmu sosial dan
budaya) memiliki istilah alih wahana untuk membicarakan transformasi
karya sastra ini. Istilah ini hakikatnya memiliki cakupan yang lebih luas dari
ekranisasi. Ekranisasai merupakan perubahan ke atau menuju layar putih.
Sedangkan alih wahana seperti yang dijelaskan Sapardi bisa dari berbagai
jenis karya seni ke jenis karya seni lain. Akan tetapi, istilah ini tidak
bertentangan dengan makna dan konsep dasar yang dimiliki oleh ekranisasi
sebagai proses pengubahan dari satu wahana ke wahan lain.
Ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel ke
bentuk film. Eneste menyebutkan bahwa ekranisasi adalah suatu proses
pelayarputihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam
bentuk film. Eneste juga menyebutkan bahwa pemindahan dari novel ke layar
putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh
karena itu, ekranisasi juga bisa disebut sebagai proses perubahan bisa
mengalami penciutan, penambahan (perluasan), dan perubahan dengan
sejumlah variasi.
Eneste (1991:61—66) menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi
dalam ekranisasi adalah sebagai berikut:
1) Pengurangan
Salah satu langkah yang ditempuh dalam proses transformasi
karya sastra ke film adalah pengurangan. Pengurangan adalah
pengurangan atau pemotongan unsur cerita karya sastra dalam proses
transformasi. Eneste (1991:61) menyatakan bahwa pengurangan dapat
dilakukan terhadap unsur karya sastra seperti cerita, alur, tokoh, latar,
maupun suasana. Dengan adanya proses pengurangan atau pemotongan
maka tidak semua hal yang diungkapkan dalam novel akan dijumpai
pula dalam film. Dengan demikian akan terjadi pemotongan-
pemotongan atau penghilangan bagian di dalam karya sastra dalam
proses transformasi ke film.
Eneste (1991:61—62) menjelaskan bahwa pengurangan atau
pemotongan pada unsur cerita sastra dilakukan karena beberapa hal,
yaitu: (1) anggapan bahwa adegan maupun tokoh tertentu dalam karya
sastra tersebut tidak diperlukan atau tidak penting ditampilkan dalam
film. Selain itu, latar cerita dalam novel tidak mungkin dipindahkan
secara keseluruhan ke dalam film, karena film akan menjadi panjang
sekali. Oleh karena itu, latar yang ditampilkan dalam film hanya latar
yang memadai atau yang pentingpenting saja. Hal tersebut tentu saja
tidak lepas dari pertimbangan tujuan dan durasi waktu penayangan. (2)
Alasan mengganggu, yaitu adanya anggapan atau alasan sineas bahwa
menghadirkan unsur-unsur tersebut justru dapat mengganggu cerita di
dalam film. (3) Adanya keterbatasan teknis film atau medium film,
bahwa tidak semua bagian adegan atau cerita dalam karya sastra dapat
dihadirkan di dalam film. (4) Alasan penonton atau audience, hal ini
juga berkaitan dengan persoalan durasi waktu.
2) Penambahan
Penambahan (perluasan) adalah perubahan dalam proses
transformasi karya sastra ke bentuk film. Seperti halnya dalam kreasi
pengurangan, dalam proses ini juga bisa terjadi pada ranah cerita, alur,
penokohan, latar, maupun suasana. Penambahan yang dilakukan dalam
proses ekranisasi ini tentunya memiliki alasan. Eneste (1991:64)
menyatakan bahwa seorang sutradara mempunyai alasan tertentu
melakukan penambahan dalam filmnya karena penambahan itu penting
dari sudut filmis.
3) Perubahan Bervariasi
Perubahan bervariasi adalah hal ketiga yang memungkinkan
terjadi dalam proses transformasi dari karya sastra ke film. Menurut
Eneste (1991:65), ekranisasi memungkinkan terjadinya variasi-variasi
tertentu antara novel dan film. Variasi di sini bisa terjadi dalam ranah
ide cerita, gaya penceritaan, dan sebagainya. Terjadinya variasi dalam
transformasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media yang
digunakan, persoalan penonton, durasi waktu pemutaran. Eneste
(1991:67) menyatakan bahwa dalam mengekranisasi pembuat film
merasa perlu membuat variasivariasi dalam film, sehingga terkesan film
yang didasarkan atas novel itu tidak seasli novelnya.

B. Sinopsis Novel Hujan Bulan Juni


Hujan Bulan Juni adalah sebuah novel yang menceritakan Sarwono,
lelaki keturunan jawa tulen, dengan Pingkan yang sejatinya mempunyai darah
Manado dari ayahnya dan darah jawa yang berasal dari ibunya. Sarwono
merupakan dosen Antropolog di sebuah universitas. Di sanalah ia bertemu
dengan Pingkan, adik sahabatnya sendiri yang bernama Toar. Pingkan juga
sebagai dosen muda Jepang di universitas yang sama. Karena sering bertemu
itulah mereka menjadi akrab. Mereka sama-sama tahu bahwa mereka saling
mencintai walau menunjukkannya dengan cara berbeda.
Cerita cinta mereka penuh dengan liku karena banyak perbedaan; latar
belakang, suku, dan agama. Bahkan orang tua Pingkan selalu menyudutkan
Pingkan agar tidak melanjutkan hubungannya dengan Sarwono dan
menjodohkan dengan lelaki bernama Katsuo yang juga menyukai Pingkan.
Karena Pingkan adalah orang yang pandai, ia dikirim oleh prodinya
untuk melanjutkan studi di Jepang. Sarwono merasa gamang. Terlebih saat ia
mendengar bahwa Katsuo, lelaki Jepang yang pernah dekat dengan Pingkan
akan menjadi dosen di Universitas Kyoto, kampus yang akan dimasuki oleh
Pingkan.
Di ending, diceritakan bahwa keadaan Sarwono tidak baik-baik saja.
Karena sering merokok dan ada flek di paru-parunya, ia pun memiliki
penyakit paru-paru basah. Dia harus menahan rindu kepada Pingkan sekaligus
melawan penyakitnya sendiri.

C. Ekranisasi Perbandingan Novel dan Film “Hujan Bulan Juni”


1. Pengurangan/penciutan

No Novel Film

Bagian awal dimulai dengan Pada bagian awal


menceritakan tentang kehidupan menampilkan secara sekilas
dan keseharian tokoh utama adengan akhir cerita dan
1. laki-laki (Sarwono) kemudian dilanjutkan dengan
pertemuan dan percakapan
antara tokoh utama laki-laki
(Sarwono) dan tokohutama
perempuan (Pingkan)
Latar tempat diawal cerita di Latar tempatnya di
2. lingkungan sekitar hotel di Perpustakaan Kampus
Bulaksumur, dekat kampus
UGM ke Malioboro
Pesan via e-mail dari Kaprodi Seketika Sarwono
mengenai tugasnya untuk memberitahukan langsung
3. melanjutkan perjalanan kepada Pingkan tentang
sosialisasinya ke Gorontalo keberangkatan mereka ke
Gorontalo
Adanya seorang asisten yang Tidak ada
4. ikut dalam perjalanan mereka
selama di Manado
Adengan Pingkan dan Sarwono Tidak ada
yang saling menyender di bahu
5. masing-masing sambil
mendengarkan musik Jazz-
Klasik
Pernyataan dan ungkapan kasih Ungkapan kasih sayang yang
6. sayang dijabarkan secara dilantunkan melalui puisinya
terperinci melalui hati dan
ketuhanan
Perbincangan antara Sarwono Hanya ada perbincangan
7. dengan Benny dan keluarganya antara Sarwono dan Benny di
Bandara
Perjalanan Sarwono keliling Tidak ada. Melainkan
Indonesia selama 6 minggu memperlihatkan keseharian
8. lamanya, dia pun mulai Pingkan selama di Jepang
merokok lagi hingga
mempengaruhi kondisi fisiknya
yang semakin melemah.

2. Penambahan/perluasan (dalam Novel)


a) Adanya tokoh baru dari Jepang yang bernama Katsuo dalam film yang
berperan sebagai instruktur yang telah membantu Pingkan melanjutkan
studinya ke Jepang.
b) Pegawai kampus yang membantu urusan keberangkatan Sarwono dan
Pingkan ke Manado (dalam film) ternyata memiliki ketertarikan kepada
Sarwono.
c) Terkadang di setiap adengan dalam film disisipkan puisi Sapardi Djoko
Damono, misalnya puisi motivasi, kesepian, hujan bulan juni.
d) Pingkan mengunjungi sanak keluarga ayahnya yang tinggal di Manado
dan selaman dia merayakan pesta, tetapi di lain sisi Sarwono merasakan
kehampaan karena tak seorangpun dari keluarga Pingkan memulai
pembicaraan dengannya.
e) Seorang pria yang pak Tumbelaka sering menggoda Pingkan selama
proses sosialisasinya di Universitas Sam Ratulangi.
f) Ketika hendak melakukan perjalan ke Gorontalo, sepupu Pingkan,
Benny, mengantar mereka mengendarai mobil.
g) Penggambaran tentang karakter kemusliman Sarwono ditampakkan
dalam film melalui aktivitas shalat 5 waktunya.
h) Adengan dalam film ketika berada di Gorontalo lebih memfokuskan
pada kisah asmara Sarwono dan Pingkan. Berkembangnya perasaan
cinta diantara keduanya untuk menarik penonton terhanyut dalam kisah
mereka.
i) Pingkan yang kembali dari Jepang menyaksikan langsung kepergian
Sarwono yang dalam kondisi koma di Rumah Sakit hingga detik
terakhirnya.

3. Perubahan Bervariasi
a) Latar/setting
Latar pada novel lebih kompleks dan tidak digambarkan secara
terperinci pada setiap tempat kejadian atau peristiwa, sedangkan latar
pada film agak berbeda dengan novel dan bervarian sehingga
penggambaran imajinasi yang dilihat secara langsung agak meresap
ke dlam hati penonton. Begitupun dengan latar waktu pada novel
terkadang sedikit berbeda dengan latar filmnya.
b) Alur/plot
✓ Alur pada film tidak sesuai dengan alur pada novel karena puisi
yang seharusnya dibaca setelah kejadian seharusnya, telah
diungkapkan di adegan lain dalam film.
✓ Di bagian tengah novel banyak part/bagian kejadian yang tidak
ditampilkan dalam film. Dimana pada bagian tersebut
menceritakan kisah Sarwono selama ditinggal Pingkan ke Jepang,
tentang perecanaan pernikahan kakak Pingkan, Tour.
✓ Kisah dalam film memfokuskan pada kisah asmara antara
Sarwono dan Pingkan yang tak pernah hilang walaupun jasad dan
raga tidak bersama tetapi jiwa mereka terhubung di dunia
senyap/kedap suara, hanya ada mereka berdua, yaitu Surat Takdir
melalui puisi-puisinya.
✓ Alur yang digunakan ialah alur campuran (maju mundur).
c) Sudut pandang
Sudut pandang yang ada pada novel melibatkan banyak tokoh, akan
tetapi dalam film memfokuskan pada orang ketiga pelaku utama.
DAFTAR PUSTAKA

Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press.

Muhardi dan Hasanuddin WS. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP
Padang Press.

Dothy.2008.“PengertianFilm”.

http://bahasfilmbareng.blogspot.com/2008/04/pengertian-film.html.
(Diunduh 8 Januari 2019).

Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum.

Anda mungkin juga menyukai