Anda di halaman 1dari 9

Yudha Pratama 11150210000014

BSA 7A

EKRANISASI CERPEN “JENDELA RARA” KARYA ASMA NADIA KE DALAM


FILM “RUMAH TANPA JENDELA” SUTRADARA ADITYA GUMAY

A. PENDAHULUAN
Sastra memiliki berbagai bentuk dari mulai puisi, drama, novel hingga cerpen. Sebagai
sebuah karya sastra, cerpen merupakan salah satu bentuk karya sastra yang digemari para penikmat
sastra karena bacaannya yang ringan dan biasanya bisa habis dibaca dalam sekali duduk karena
jumlah halamannya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan novel.
Cerpen merupakan bentuk karya sastra yang berupa cerita yang relative pendek,
sebagaimana yang dikemukakand H.B Jassin dalam bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya,
mengemukakan bahwa cerita pendek ialah cerita yang pendek (1977: 69). Jassin lebih jauh
mengungkapkan bahwa tentang cerita pendek ini orang boleh bertengkar, tetapi cerita yang seratus
halaman panjangnya sudah tentu tidak disebut cerita pendek dan memang tidak ada cerita pendek
yang demikian panjang. Sebagai tambahan Sumardjo dan Saini di dalam buku mereka Apresiasi
Kesusastraan juga memberikan berpengertian mengenai cerpen yaitu bahwa cerita pendek (atau
disingkat cerpen) adalah cerita yang pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang pendek
orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah sebuah cerpen (1986: 36).
Salah satu cerpen yang populer dikalangan masyarakat Indonesia adalah cerpen berjudul
Rumah Tanpa Jendela yang dikarang oleh Asma Nadia. Cerpen ini menceritakan tokoh Rara yang
masih kanak-kanak berada didalam keluarga yang amat miskin, Ia mengingnkan sebuah jendela
bertengger dirumahnya yang amat sempit dan secara logika orang dewasa tiadk mungkin
memasang jendela di dalam rumah yang berdempetan tepat di kolong jalan tol.
Rangkaian cerita yang disuguhkan oleh Asma Nadia dalam cerpennya amat menarik dan penuh
dengan konflik yang kompleks, sehingga menarik untuk di filmkan.
Film diakui memiliki pengaruh yang kuat dan lebih peka terhadap budaya masyarakat
daripada sebuah monografi yang dibuat oleh para sejarahwan (Isnaniah, 2015:24). Cerita asli
maksudnya film tersebut lahir dari buah pikiran penulisnya, sedangkan cerita adaptasi yakni
sebuah film bersumber dari media lain yang kemudian dibuat menjadi sebuah film (Ade, 2009:42).

1
Elizabeth Lutters (2004: 46-47) menjelaskan, bahwa ide cerita dalam film dapat berasal dari
penulis skenario itu sendiri, dari novel/roman/cerita bergambar/cerita pendek, film yang sudah ada,
maupun dari ide cerita orang lain (produser). Dalam tuisaan ini akan membahas bagaimana sebuah
film dihasilkan dari mengadaptasi media lain dalam hal ini yaitu karya sastra. Film yang diadaptasi
dari sebuah karya sastra yang merupakan alih wahana melalui proses ekranisasi yaitu dengan
memvisualisasikan kata-kata yang terdapat dalam karya sastra yang hasilnya memungkinkan
adanya penambahan cerita, pengurangan maupun improvisasi cerita. Pada dasarnya, “Ekranisasi
merupakan mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan
dan mengubah imaji linguistik menjadi imaji visual”1.

Kerja kreatif memfilmkan atau mengadaptasi karya sastra ke film, di Indonesia, sudah dilakukan
sejak tahun 70-an.2 Sedangkan sejarah ekranisasi di Indonesia berkembang mulai tahun 1984.3 Sejak
tahun 1984 dengan munculnya sebuah film yang diangkat dari novel berjudul Roro Mendut karya
Y.B. Mangunwijaya. Hingga kini, di dunia perfilman Indonesia banyak sekali film-film populer
yang hadir dari alih wahana yaitu perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain4.
Dalam konteks alih wahana dari karya sastra ke film dikenalah istilah ekranisasi yaitu yaitu
mengadaptasi dan memvisualisasi sebuah karya sastra. Sebagai tambahan menurut Eneste
(1991:60), ekranisasi adalah pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel ke dalam bentuk film.
Pemindahan novel ke layar putih akan mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh karena
itu, dapat dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan.

Dalam pembuatan film diperlukan pembuatan skenario film yang dibuat sutradara bisa
melalui adaptasi baik itu cerpen, maupun novel. Film Rumah Tanpa Jendela yang disutradarai oleh
Aditya Gumay ini skenario filmnya dihasilkan melalu proses ekranisasi dari cerpen Jendela Rara
yang dikarang oleh Asma Nadia. Film ini pertama kali diputar di bioskop pada tanggal 27 Februari
2011. Awal pemunculannya mendapatkan sambutan menarik serta perhatian masyarakat. Film
Rumah Tanpa Jendela tidak memunculkan kontoversi, tidak seperti cerpennya, karena didalam

1
Pamusuk Eneste, “Novel dan Film” (Flores: Nusa Indah, 1997) h.67
2
Suseno: “Ekranisasi: Sarana Eksistensi dan Politisasi Sastra Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Seminar
Internasional Pengembangan Peran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter,
diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 28-29 September 2013
3
Pamusuk Eneste, “Novel dan Film” (Flores: Nusa Indah, 1997) h.7
4
Sapardi Djoko Damono, “Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2005), hal.96

2
cerpennya terdapat rangkaian peristiwa yang mengandung hal-hal yang sifatnya dewasa dan
mengandung hal-hal yang kontradiktif dikhawatirkan masyarakat termasuk anak-anak akan
terpengaruh oleh hal-hal yang terdapat dalam cerpen, sedangkan film ini di diputar untuk
dinakmati setiap kalangan dengan kategori semua umur, agar anak-anak bisa menontonnya.
Dalam proses ekranisasi memvisualisasikan bentuk linguistik yang berupa karya sastra ke dalam
bentuk visual yaitu film yang merupakan dua hal yang berbeda, tentunya terdapat penambahan,
pengurangan maupun improviassi cerita, ditambah lagi film Rumah Tanpa Jendela ini diadaptasi
dari cerpen Jendla Rara, dan cerpen merupakan bentuk karya sastra sastra yang tulisannya relatif
singkat dan dapat dibaca dengan sekali duduk seperti yang sudah dibahas diawal, tentunya jika
divisualisasikan ke dalam bentuk film akan terdapat banyak penambahan maupun improvisasi
yang dilakukan sutradara dalam pembuatan skenarionya yang tidak menghilangkan pokok cerita
yang terdapat dalam cerpen maka dalam tulisan ini akan membahas sejauh mana proses ekranisasi
Cerpen jendela Rara ke dalam Novel Rumah Tanpa Jendela.

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu
sebuah metode yang digunakan untuk mengolah data dengan tidak mengutamakan angka-angka,
tetapi menggunakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi yang sedang dikaji secara empiris
(Semi, 1990:23). Metode penelitian kualitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah, dengan peneliti adalah instrumen kunci, teknik pengambilan data dengan triangulasi
(gabungan), analisis data berupa induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2010:15). Dengan metode kualitatif maka
dalam penelitian ini akan mengambarkan data dan fakta yang telah dikumpulkan serta berkaitan
dengan objek kemudian dianalisis secara naratif dengan mengkaji struktur cerita dalam cerpen dan
sejauh mana proses ekranisasi cerpen tersebut kedalam filmnya. Yang menjadi objek penelitian
dalam penelitian ini adalah cerpen Jendela Rara karya Asma Nadia dan film Rumah tanpa Jendela
yang disutradarai oleh Aditya Gumay.

3
C. PEMBAHASAN

1. Ekranisasi berupa perubahan struktural antara Cerpen dengan Film


• Dari segi judul terjadi perubahan pemakaian kosa kata dimana dalam film berjudul
Rumah Tanpa Jendela sedangkan pada crpennya berjudul Jendela Rara, pemakaian
kosa kata ini juga memiliki makna yang berbeda dimana “Rumah Tanpa Jendela”
berarti sebuah rumah yang tidak memiliki jendela atau tadap diartikan menjadi
rumah seadanya kumuh yang biasanya terletak diperkampungan atau di wilayah
kolong jembatan. Sedangkan frase “Jendela Rara” dalam judul cerpen berarti
jendela milik rara atau bisa juga diartikan jendela untuk Rara. Meskipun terdapat
perbedaan pemakaian kosa kata terkait judul antara cerpen dengan film namu
keduanya sama-sama membahas objek yang sama yaitu jendela.
• Tokoh-tokoh yang muncul dalam cerpen yaitu Rara sebagai toko utama, Asih,
Emak dan Bang Jun sedangkan dalam film tokoh utama yaitu Rara dan beberapa
tokoh yang berhubungan dengan Rara yaitu si Mbok, Raga , Aldo, dan nenek
Aisyah. Disini terdapat perbedaan dimana tokoh-tokoh yang terdapat di dalam film
lebih kompleks dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang terdapat di dalam cerpen.
• Berkaitan dengan perbedaan latar tempat antara cerpen dengan film, latar tempat
yang digunakan dalam cerpen lebih spesifik di dua tempat yaitu di rumah bawsah
kolong jembatan dekat dengan jalan tol ke bandara dan madrasah tempoat Rara
bersekolah, sedangkan didalam film, latar tempatnya lebih umum yaitu di Menteng,
Jakarta Pusat.
• Latar waktu yang terdapat di dalam cerpen ada dua waktu yaitu waktu sore hari
dan waktu malam hari sedangkan di dalam fim latar waktunya terjadi seharian
mulai dari pagi, siang, sore hinga waktu malam.
• Latar belakang sosial yang tergambar di dalam cerpen, mendeskripsikan keadaan
pendududuk yang hidup dibawah garis kemiskinana dan serba kekurangan, mereka
tinggalk di bawah jembatan dekat dengan jalan tol, para penduduk beserta anak-
anak mereka terpaksa mencari uang dengan menjadi pelacur, pengamen, penyemir
sepatu, pemulung dan penjual koran. Latar belakang sosial dalam film Rumah
Tanpa Jendela yaitu mayoritas masyarakat yang bekerja sebagai pemulung,
sedangkan anak-anak mereka bekerja menjadi pengamen dan ojek payung dan pada
4
film ini tergambar adanya ketimpangan sosial antara kalangan atas dengan
kalangan bawah. Dari latar belakang sosisl ini dapat dilihat adanya pengurangan
dalam film terkait cerita di dalam cerpen yang menunjukkan kepada pelacuran,
mabuk-mabukan dan sebagainya juga di dalam cerpen diceritakan bagaimana anak
dari emak yang meninggal karena korban keganasan lelaki bejat yang menganiaya
dan mensodominya. Namun tidak dipaparkan secara gamblang dalam film maupun
secara tersirat. Perbedaan lainnya yaitu seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
perbedaan status sosial nampak jelas didalam filmnya sedangkan di dalam cerpen
hanya tersirat dan tidak terlalu dimunculkan.
• Konflik yang terjadi didalam cerpen yang berkaitan antara manusia dengan
manusia yaitu adanya perselisihan antara Asih dengan Rara dimana keinginan Rara
yang menggebu-gebu untuk mendapatkan jendela di rumah mereka tidak disetujui
Asih yang sudah berusaha bekerja keras menjadi pelacur untuk menghidupi
kehidupan Rara dimana pandangan Asih sebagai kaka yang sudah dewasa
menyatakan bahwa membuat jendela itu hanya sia-sia lebih penting menggunakan
uang untuk makan sehari-hari, dan tidak akan masuk sinar matahari di rumah yang
tinggalnya di kolong jembatan, hal ini bertentangan dengan sang tokoh Rara yang
menginginkan dibuat jendela agar sinar matahari masuk ke dalam rumah mereka
dan dapat menghemat listrik, mengingat Rara adalah tokoh anak kecil yang belum
memahami situasi perkampungan rumahnya yang tidak memungkinkan membuat
jendela dan hanya sia-sia saja. Sedangkan konflik pada film menekankan pada
kesalahpahaman antar tokoh Rara dan Boim yang menimbulkan pertengkaran.
Konflik antara masyarakat dngan individunya dalam cerpen berkaitan dengan emak
dan ketua RT sedangkan di dalam film terjadi pada Raga dan Ibu-ibu setempat
dengan permasalahan sama yaitu Rara yang telah memberitahu teman-temannya
dadn mengajak mereka untuk membuat jendela di rumah-rumah mereka. Perbedaan
yang terjadi disini hanya terletak pada tokoh yang memainkan konflik ini.
Didalam cerpen juga terjadi konflik antara manusia dengan alam yaitu tokoh Emak
dengan hawa panas di musim kemarau dan konflik antara seseorang dengan kata
hatinya yang terjadi pada tokoh Emak dan Rara, sedangkan di dalam film tidak ada
yang menunjukakan indikasi kedalam konflik semacam ini.

5
• Terkait dengan jalannya cerita pada cerpen disisni tokoh utama Rara merasa senang
dan puas karena telah bekerja keras dengan mengamen dan mengelap mobil di
perempatan lamu merah, mengumpulkan uang agar impiannya terwujud yaitu bisa
membuat jendela untuk rumahnya, rara mau bekerja lebih giat untuk mewujudkan
impiannya. Perbedaannya di dalam film tidak ada indikasi bahwa Rara giat bekerja
keras untuk impiannya namun di Film dikisahkan bagaimana Rara merasa senang
karena bapaknya akan membuatkan jendela untuknya dan ia mau bekerja serta
bersekolah. Dalam cerpen Rara takut dan sedih jika keinginannya tidak terwujud
sedangkan dalam novel Rara sedih memikirkan mbok dan bapaknya sakit dan takut
kehilangan keluarganya.

2. Ekranisasi berupa penambahan


• Jendela Rara” terdapat 5 tokoh, terdiri atas Rara, emak, bapak, Jun, dan Asih. mah
Tanpa Jendela yang sebagai hasil adaptasinya mendapatkan penambahan 26 tokoh,
terdiri atas, Aldo, Nenek Aisyah, Pak Syahri, Nyonya Ratna, Adam, Andini, Si
Mbok, Raga, Asih, ibu Alya, teman-teman Rara, Boim, Alfi, Ade, Rio, Deni, Siti,
Tarjo, Pak Mamat, teman bisnis Nyonya Ratna, Teddy, Michael, Eneng, tukang
foto keliling, pedagang asongan, dan orang gila. Para tokoh di film ditambah dan
lebih kompleks dibandingkan pada cerpennya.
• Dalam cerpen “Jendela Rara” terdapat 2 latar tempat dan 2 latar waktu. Latar waktu
yaitu waktu sore hari dan malam hari. Latar tempat dalam cerpen yaitu
perkampungan pemulung dan Madrasah Ibtidaiyah. Dalam film Rumah Tanpa
Jendela yang sebagai hasil adaptasinya mendapatkan penambahan 9 latar tempat
dan penambahan 2 latar waktu. Latar waktu yaitu waktu pagi hari, siang hari. Latar
tempat yaitu sekolah singgah, Bandara Soekarno-Hatta, rumah Pak Syahri, sanggar
lukis, sekolah Andini, gedung pesta, Rumah Sakit Ananda, rumah tua, dan villa.
• Perubahan bentuk jalan cerita yang terdapat dalam cerpen yang mengandung
kontoversi dengan jalan cerita yang ceria sesuai jalur cerita anak-anak dan untuk
semua kalangan.

6
D. KESIMPULAN

Setelah dianalisis berdasarkan perubahan-perubahan yang ada baik dari segi tokoh,
penokohan, latar, alur, konflik yang ada karena proses ekranisasi film Rumah Tanpa Jendela yang
diangkat dari cerpen Jendela Rara, disini menunjjukan bahwa dalam film terdapat lebih banyak
penambahan terutama dari segi tokoh, latar, konflik dan alur cerita. Jumah tokoh yang terdapat
didalam cerpen relatif lebih sedikit dibandingkan yang terdapat di dalam film , latar tempat yang
hanya menggunakan dua tempat pada cerpen, berbeda dengan film nya yang menggunakan latar
tempat lebih umum yaitu daerah Menteng Jakarta. Kawasan Menteng terletak di Kawasan Jakarta
Pusat.

Penambahan latar waktu juga terjadi dimana pada cerpen hanya berlatarkan dua waktu
yaitu waktu sore hari dan waktu malam hari. Dalam film Rumah Tanpa Jendela, latar waktu yang
dipakai dalam penceritaan ada empat waktu yaitu waktu pagi hari, waktu siang hari, waktu sore
hari, dan waktu malam hari. Lartar sosial yang diangkat dalam film juga lebih
menunjukkankepadanya adanya kesenjangan sosial perbedaan strata antara golongan atas dengan
golongan bawah, masyarakat bekerja sebagai pemulung sedangkan anak-anak bekerja sebagai
pengamen dan ojek payung, sedangkan dalam cerpen latar sosialnya menunjukkan bagaimana
susahnya hidup di Jakarta dan mencari rezeki apa saja yang penting bisa untuk makan sehari-hari
seperti melacur, mengamen, dan sebagainya.

Perbedaan konflik antara cerpen dengan film yaitu koflik lebih banyak terjadi didalam
cerpen dibandingkan di film, alur cerita yang sifatnya kontradiktif yang ada di dalam cerpen tidak
dimunculkan di dalam film karena film ini di konsumsi untuk kalangan semua umur.

Berbagai perubahan terjadi dari proses alih wahana ini, yaitu dari cerpen Jendela Rara ke
dalam Film Rumah Tanpa Jendela dimana alur yang terjadi pada film lebih dramatik dan efektif
ceritanya, menghapus bagian-bagian kontradiktif di dalam cerpen dan menggantinya menjadi lebih
ceria dan sesuai untuk semua kalangan namun tidak sepenuhnya menghilangkan pokok gagasan
yang terdapat di dalam cerpen.

7
Daftar Rujukan

Djoko, Sapardi Damono. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional).
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Nusa Indah.

Irwansyah, Ade. 2009. Seandainya Saya Kritikus Film Pengantar Menulis Kritik Film.
Yogyakarta: CV. Homerian Pustaka.

Isnaniah, Siti. 2015. “Ketika Cinta Bertasbih Transformasi Novel ke Film” dalam Jurnal
Kawistara. Vol. 5, No. 1, April 2015.

Jassin. H, B, 1977. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.

Lutters, Elizabeth. 2004. Kunci Sukses Menulis Skenario. Jakarta:


PT. Grasindo.

Nadia, A. 2003. Cinta Tak Pernah Menari, Kumpulan Cerpen Remaja. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama

Semi, M. Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan dn R&D.
Bandung: Alfabeta.

Sumarjo, Yakub dan Saini K M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT.Gramedia Jakarta.

8
9

Anda mungkin juga menyukai