Anda di halaman 1dari 89

JKM

Jurnal Kesehatan Malang

Susunan Redaksi
Pelindung : Direktur RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Penasehat : Wakil Direktur Pendidikan dan Pengembangan Profesi
Kepala Bidang Pendidikan dan Penelitian
Ketua Penyunting : Nur Samsu
Wakil Ketua Penyunting : Susanthy Djajalaksana
Sekretaris : Auragustini Ritavipa Djamaris
Penyunting Pelaksana : Ali Haedar
Cholid Tri Tjahyono
Dwi Indriani Lestari
Edi Handoko
Edi Mustamsir
Hani Susianti
Krisni Soebandijah
Purwoko Sugeng H.
Sinta Murlistyarini
Sri Endah Noviani
Tatit Nurseta
Yuyun Yueniwati P.
Pelaksana Tata Usaha : Hermawan Yuniarto
Sari
Winda Lestari

Sekretariat
Bidang Pendidikan dan Penelitian RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 2 Malang 65111
Tel. (0341) 362101, Fax (0341) 369384
Email : jkmrssa@gmail.com
ISSN 2502-2342

JKM
Jurnal Kesehatan Malang

Daftar Isi

NUR SAMSU
EDITORIAL ............................................................................................................................................... 379

PUDJI RAHAJU, AHMAD DIAN WAHYUDIONO, FARAH AYU NISWANA


HUBUNGAN ANTARA EKSPRESI Β-CATENIN DENGAN MEKANISME METASTASIS YANG BERKONTRIBUSI
PADA RESISTENSI KEMOTERAPI NEOADJUVAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING WHO TIPE III
LMP 1 POSITIF ......................................................................................................................................... 381

HENDRO SOESANTO, H. M. DWIJO MURDIYO


PROFIL PENDERITA BENDA ASING DI ESOFAGUS YANG MENJALANI ESOFAGOSKOPI KAKU DI RSUD
DR. SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE 1 JANUARI 2014 – 31 DESEMBER 2015 .................................... 399

DHANIEL ABDI WICAKSANA, RUS SUHERYANTO, IRIANA MAHARANI


PERAN DECTIN-1 PADA RINOSINUSITIS KRONIS JAMUR ........................................................................ 407

ROSIDAH INAYATI, NAWANGSASI L , AMBAR SRI SUSILOWATI, RULIANA


ANALISIS PENGARUH DIMENSI KUALITAS LAYANAN GIZI TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN
DI RUANG RAWAT INAP KLAS I RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG ..................................................... 418

DHELYA WIDASMARA, INNEKE YULIAN


KUSTA TIPE MULTI BASILER RELAPS DAN ERITEMA NODOSUM LEPROSUM YANG DIINDUKSI OLEH
KEHAMILAN PADA WANITA USIA 33 TAHUN ........................................................................................ 438

RATIH RENATA, SUSANTHY DJAJALAKSANA


ASTHMA - COPD OVERLAP SYNDROME (ACOS) .................................................................................... 450

Jurnal Kesehatan Malang diterbitkan oleh RSUD Dr Saiful Anwar Malang dan didistribusikan untuk
Seluruh insan yang berkecimpung pada bidang kesehatan. Artikel-artikel kesehatan pada Jurnal Kesehatan
Malang ditulis oleh para ahli dibidangnya. Informasi, kritik dan saran lebih lanjut dapat melalui email :
jkmrssa@gmail.com
JKM
Jurnal Kesehatan Malang

Pedoman Penulisan Naskah Jurnal Kesehatan Malang (JKM) RSUD Dr. Saiful Anwar
Penulisan Naskah
Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia menggunakan program Microsoft Word dengan huruf Calibri
ukuran 11 pt dan spasinya 1,5 spasi. Naskah dicetak di atas kertas A4, lima belas halaman, rangkap dua dan
satu soft copy dalam bentuk CD dikirim ke redaksi jurnal disertai surat pengantar dan pernyataan
persetujuan dari semua penulis yang ditandatangani oleh penulis utama.

Sistematika Penulisan
Judul
Ditulis dengan jelas dan menarik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dengan huruf Calibri 11 pt
tebal (Bold), maksimal dua belas kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Nama Penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar, huruf Calibri 10 pt miring (italic), apabila lebih dari dua penulis, hanya tiga
nama penulis saja yang dicantumkan di bawah judul, nama penulis yang lain ditulis dalam catatan kaki.
Institusi asal penulis dapat dicantumkan di bawah nama penulis.

Abstrak dan Kata Kunci


Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam satu paragraf dengan ringkas dan jelas,
terdiri dari: untuk penelitian 200-250 kata, tinjauan pustaka atau laporan kasus maksimal 150 kata dan
diketik menggunakan huruf Calibri ukuran 11 pt dengan spasi tunggal. Memuat secara ringkas gambaran
umum dari masalah yang di bahas di dalam artikel. Kata kunci ditulis di bawah abstrak dengan 3-5 kata.

Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, permasalahan yang akan dibahas dan tujuan penulisan.

Metode
Berisi desain, metode penelitian dan analisis statistik yang ditulis secara ringkas, jelas beserta rujukannya.
Hasil
Penggunaan tabel, gambar, grafik atau foto hasil penelitian maksimal enam buah dan diberi judul singkat di
bawahnya dengan mengunakan huruf Calibri 11 pt tebal (bold). Keterangan tabel, gambar, grafik atau foto
ditulis di bawah, huruf Calibri 10 pt dengan spasi tunggal. Hasil yang sudah jelas dan dapat dibaca dengan
mudah dalam tabel tidak perlu diulang dalam teks.

Diskusi
Untuk penelitian, berisi pembahasan tentang hasil penelitian, temuan baru yang ditonjolkan dan
mengaitkan dengan temuan, teori dan pendapat sebelumnya, sedangkan untuk laporan kasus, berisi
pembahasan tentang temuan kasus tersebut yang dikaitkan dengan teori dan pendapat sebelumnya.
Simpulan untuk penelitian, ringkasan untuk laporan kasus dan tinjauan pustaka ditulis di paragraf terakhir,
dalam bentuk narasi satu paragraf ringkas dan jelas.

Daftar Pustaka
Daftar pustaka ditulis menurut sistem Vancouver, jika penulis lebih dari enam selanjutnya ditulis et al.
Jumlah rujukan minimal sepuluh buah, sesuai dengan yang dikutip dalam artikel dan berjangka waktu
maksimal sepuluh tahun terakhir dan lebih dari 80% dari semua rujukan.

Mitra Bestari

Universitas Negeri Malang, Universitas Islam Malang, Universitas Muhammadiyah Malang


Editorial

Salam JKM,

Alhamdulillah, atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya redaksi Jurnal Kesehatan Malang dapat
menerbitkan Edisi Volume 3 Nomor 1, Januari – April 2018. Majalah kita ini dapat terbit atas dukungan
semua pihak, terutama praktisi kesehatan dilingkungan RS Dr Saiful Anwar Malang – FKUB yang dengan
sukarela menyumbangkan karya ilmiahnya. Untuk terbitan-terbitan yang berikutnya, kami akan dan selalu
berusaha untuk lebih memperluas jangkauan, dan semakin membuka diri terhadap artikel ilmiah dari luar
RS dr Saiful Anwar Malang – FKUB sehingga keberadaan kami semakin dikenal luas dan artikel-artikel yang
disajikan akan semakin lengkap dan berkualitas.
Pada edisi terbitan kali ini, sebagaimana edisi-edisi sebelumnya, kali ini JKM menyajikan topik-topik
penelitian yang menarik tentang peran B-catenin pada karsinoma nasofaring, benda asing esofagus di RSSA,
peran dectin pada rinosinusitis jamur, analisa kepuasan pelanggan terhadap layanan gizi di RSSA. Artikel
pertama oleh Pudji Rahaju dkk tentang “hubungan antara ekspresi β-catenin dengan mekanisme metastasis
yang berkontribusi pada resistensi kemoterapi neoadjuvan penderita karsinoma nasofaring WHO TIPE III
LMP 1 positif.” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi β–catenin dengan
mekanisme metastasis yang berkontribusi pada resistensi kemoterapi neoadjuvan pada penderita KNF
WHO III LMP 1 positif. Menggunakan metode observasional analitik dengan mengevaluasi ekspresi β-
catenin sebelum dan setelah kemoterapi neoadjuvan regimen cisplatin dan 5-FU. Di nilai perubahan nodul
(N) dan metastasis (M). Disimpulkan terdapat peningkatan ekspresi β–catenin di inti sel setelah kemoterapi
neoadjuvan. Tetapi secara statistik ekspresi β–catenin di inti sel tidak berhubungan secara bermakna
dengan stadium klinis. Selanjutnya Hendro Soesanto melaporkan “Profil Penderita Benda Asing Di Esofagus
Yang Menjalani Esofagoskopi Kaku”. Tujuannya adalah untuk mengetahui profil penderita benda asing
esofagus yang dilakukan tindakan esofagoskopi kaku. Dengan melihat data rekam medis penderita benda
asing esofagus yang dilakukan esofagoskopi kaku di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 2014 –
31 Desember 2015. Didapatkan hasil angka kejadian tertinggi pada usia 0-10 tahun (34,1%). Benda asing
terbanyak berupa koin (22%) dan daging (22%) dengan faktor risiko terbanyak adalah penggunaan gigi
palsu (17,1%). Penelitian berikutnya yang juga dari bagian THT, Dhaniel Abdi Wicaksana melaporkan
tentang “Peran Dectin-1 Pada Rinosinusitis Kronis Jamur”. Penelitian ini didasari oleh kesulitan untuk
menentukan infeksi dan penatalaksanaan rinosinusitis kronis jamur, sehinga dipikirkan mencari metode lain
yang tidak invasif. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar dectin-1 jaringan
sinus dan serum darah yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk terapi target bagi penderita rinosinusitis
kronis jamur. Penelitian cross sectional ini melibatkan 20 subyek penelitian yang telah dilakukan
pengambilan darah dan pembedahan sinus maksilaris untuk pengambilan jaringan mukosa dan dilanjutkan
identifikasi jamur pada mukosa sinus dengan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Didapatkan
hasil rerata dectin-1 mukosa sinus maksilaris adalah 1279 ± 383,302 pg/mL, sedangkan pada darah 1233 ±
556,045 pg/mL (p = 0,783). Sehingga disimpulkan dectin-1 serum darah dapat dimanfaatkan sebagai
penentuan prognosis penderita infeksi jamur tanpa memerlukan tindakan invasif. Judul penelitian terakhir
pada edisi ini adalah “Analisis Pengaruh Dimensi Kualitas Layanan Gizi Terhadap Kepuasan Pelanggan Di
Ruang Rawat Inap Klas I RSUD” oleh Rosidah Inayati dkk. Penelitian ini dilandasi oleh belum ada data
tentang kepuasan pelanggan terhadap layanan gizi di RS dr Saiful Anwar. Dengan metode observasional
dengan pengambilan sampel secara purposive sampling pada pasien rawat inap di IRNA I dengan kriteria
inklusi sudah dewasa dan dirawat lebih dari 2 x 24 jam, dalam keadaan sadar dan mampu wawancara dan
menulis, mendapat terapi diet dengan konsistensi Makanan Biasa atau Lunak. Pasien dilakukan wawancara
dan mengisi kuesioner yang diberikan peneliti. Didapatkan hasil variabel kualitas layanan yang yang terdiri
dari bukti langsung, keandalan, daya tanggap, Jaminan dan empati secara bersamaan berpengaruh

379
signifikan terhadap kepuasan pelanggan. Jadi kualitas layanan di Instalasi Gizi RSUD Dr Saiful Anwar
berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan dan pengaruh yang paling dominan adalah jaminan makanan.
Berikutnya adalah sebuah laporan kasus yang menarik yang ditulis oleh Dhelya Widasmara dari
bagian Kulit Kelamin, yaitu “kusta tipe multi basiler relaps dan eritema nodosum leprosum yang diinduksi
oleh kehamilan pada wanita usia 33 tahun”. Sebagaimana telah diketahui, bahwa eritema nodosum
leprosum dapat dipicu oleh berbagai macam keadaan seperti stres, baik fisik maupun psikologis, infeksi,
trauma, pembedahan, dan juga kehamilan. Pada kesempatan ini dilaporkan seorang wanita suku Madura
usia 33 tahun dengan kehamilan trimester pertama telah selesai pengobatan MDT-MB 4 tahun yang lalu.
Berdasarkan pmeriksaan fisik, laboratorium, pengecatan BTA dan histopatologi pasien didiagnosis dengan
lepra tipe MB relaps dengan disabilitas tingkat 2, dan eritema nodosum leprosum berat. Pasien diterapi
MDT MB tanpa dapsone, metilprednisolone 16 mg/hari selama 1 minggu kemudian di tappering off. Follow
up setelah 3 minggu menunjukkan perbaikan pada lesi kulit, nyeri pada sendi dan keadaan umum pasien.
Makalah yang terakhir adalah tulisan menarik mengenai “Asthma- Copd Overlap Syndrome (ACOS)”
ditulis oleh Ratih Renata dari bagian Paru. Tinjauan pustaka ini didasari oleh sulitnya untuk menegakkan
diagnosis Asma dan PPOK pada kondisi tertentu, terutama pada perokok dan usia tua. Beberapa pasien
dapat mengeluhkan gejala sebagaimana asma dan PPOK secara bersamaan, kondisi ini disebut ACOS
(Asthma-COPD overlap Syndrome). ACOS atau Asthma-COPD overlap Syndrome adalah penyakit yang
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang menetap dengan beberapa tanda yang terdapat pada asma
bronkial dan PPOK. ACOS dapat ditegakkan dengan mencari fenotipe dari asma dan PPOK yang ditandai
dengan gejala asma dan PPOK, sering mengalami eksaserbasi, mengalami penurunan kualitas hidup,
mengalami penurunan fungsi paru lebih cepat, tingkat mortalitas yang lebih tinggi, dan penggunaan
fasilitas kesehatan yang lebih banyak dibandingkan dengan pasien dengan asma atau PPOK saja.

Demikianlah, pada akhirnya pada edisi kali ini kami masih dan tetap terus mengharapkan dukungan dan
saran-saran perbaikan untuk penerbitan berikutnya dari semua pihak, sehingga majalah kita ini akan
semakin dapat memberikan manfaat sesuai tujuan dan motto kami yaitu menyebarluaskan ilmu kesehatan
untuk meningkatkan kualitas kehidupan.

Selamat membaca

380
Laporan Penelitian

HUBUNGAN ANTARA EKSPRESI Β-CATENIN DENGAN MEKANISME METASTASIS YANG BERKONTRIBUSI


PADA RESISTENSI KEMOTERAPI NEOADJUVAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING WHO TIPE III LMP 1
POSITIF

Pudji Rahaju, Ahmad Dian Wahyudiono, Farah Ayu Niswana


Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar
Malang

ABSTRAK
Pendahuluan: β-catenin adalah komponen penting dari jalur sinyal Wnt, yang berperan sebagai onkogen di
berbagai kanker pada manusia. Semakin tinggi ekspresi β-catenin menunjukkan stadium lanjut dan
prognosis yang buruk. Selain perannya dalam pertumbuhan dan adhesi sel, diaktifkankannya β–catenin
terkait dengan sel punca kanker yang berkontribusi terhadap pertumbuhan kanker, kekambuhan dan
resistensi kemoterapi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi β–
catenin dengan mekanisme metastasis yang berkontribusi pada resistensi kemoterapi neoadjuvan pada
penderita KNF WHO III LMP 1 positif. Metode: Penelitian observasional analitik ini mengevaluasi ekspresi β-
catenin sebelum dan setelah kemoterapi neoadjuvan. Pemeriksaan ekspresi β-catenin menggunakan
imunohistokimia. Kemoterapi neoadjuvan adalah induksi kemoterapi sebelum radioterapi dengan regimen
cisplatin dan 5-FU. Perubahan nilai nodul (N) dan metastasis (M) adalah parameter klinis dari resistensi
kemoterapi neoadjuvan yang diperiksa. Hasil: Uji t-test berpasangan menunjukkan perbedaan signifikan
ekspresi β-catenin di inti sel sebelum dan setelah kemoterapi neoadjuvan (p=0,005). Hasil uji korelasi
Spearman menunjukkan korelasi yang kuat (r=-0,525) antara peningkatan ekspresi β-catenin di inti sel
dengan rendahnya stadium klinis, walau demikian, korelasi ini tidak signifikan (p=0,147). Hasil uji korelasi
Pearson menunjukkan korelasi negatif (r=0,469) yang berarti peningkatan ekspresi β-catenin berhubungan
dengan penurunan volume KGB, walau demikian, korelasi ini tidak signifikan (p=0,203). Kesimpulan:
Terdapat peningkatan ekspresi β–catenin di inti sel setelah kemoterapi neoadjuvan. Ekspresi β–catenin di
inti sel tidak berhubungan secara bermakna dengan stadium klinis. Peningkatan ekspresi β–catenin tidak
berhubungan secara bermakna dengan perubahan nilai N dan M pada penderita KNF WHO III LMP 1 positif.

Kata kunci: karsinoma nasofaring, β–catenin, kemoterapi neoadjuvan, resistensi

ABSTRACT
Background: β-catenin is the main component in the canonical Wnt signaling pathway which was described
as an oncogenic cause in any human cancers. The higher β-catenin expression, the worse cancer stage and
prognosis. Besides its role in the cell growth and adhesion, β-catenin/the canonical Wnt signaling pathway
activation associated with cancer stem cells which contributes to cancer growth, recurrence and resistance
to chemotherapy. Purpose: This study aims to know the relationship between β-catenin expression with
metastasis mechanism, which contributes in neoadjuvant chemotherapy resistance in NPC WHO type III
patients LMP 1 positive. Method: This analytic observational study evaluated β-catenin expression before
and after neoadjuvant chemotherapy in NPC WHO type III patients LMP 1 positive. β-catenin expression
assessed by immunohistochemistry examination. Neoadjuvant chemotherapy is induction chemotherapy
before radiotherapy (given to patients who received delayed radiotherapy in dr. Saiful Anwar hospital
Malang) with cisplatin and 5 FU regiment. Changes in the nodal (N) and metastasis (M) value was the
clinical parameters of neoadjuvant chemotherapy resistance which was examined. Result: The result of
paired T-test showed a significant difference between β-catenin expression in the nucleus before and after
chemotherapy (p=0,005). Spearman correlation test showed strong correlation (r=- 0,525) between the
increase of nucleus β-catenin expression related to the low of NPC clinical staging. However, this
correlation was not statistically significant (p=0,147). Pearson correlation test result showed a negative
correlation (r=0,469), which means the higher nucleus β-catenin expression changes correlate with the
decrease of lymph node volume changes. Nevertheless, this correlation was not significant (p=0,203).
Conclusion: There was an increase of β–catenin expression in nucleus after neoadjuvant chemotherapy. β–
381
catenin expression in nucleus was not significantly related to clinical staging before neoadjuvant
chemotherapy. The changes of β–catenin expression was not significantly associated with the changes of N
and M value in NPC WHO type III patients LMP 1 positive.

Keywords: nasopharyngeal carcinoma, β–catenin, neoadjuvant chemotherapy, resistance

Korespondensi:
dr. Pudji Rahaju, SpTHT-KL

Vol 3, No. 1, Jan - Apr 2018

382
PENDAHULUAN leher lainnya. Mayoritas kematian KNF
Kanker merupakan suatu penyakit yang berhubungan dengan metastasis tumor
ditandai oleh pertumbuhan sel yang tidak dibandingkan tumor primer. Namun, mekanisme
terkendali, invasi jaringan lokal, dan migrasi sel ke molekular invasi dan metastasis KNF masih belum
tempat yang jauh, atau disebut dengan sepenuhnya dimengerti.2
metastasis. Menurut data Badan Kesehatan Dunia KNF merupakan salah satu keganasan yang
(WHO) pada tahun 2005, diperkirakan 7,6 juta paling radiosensitif, dan radioterapi merupakan
orang di dunia meninggal akibat kanker. terapi definitif. Pasien KNF stadium lanjut yang
Karsinoma nasofaring (KNF) menempati urutan hanya diterapi dengan radiasi, angka harapan
keempat kanker tersering di Indonesia setelah hidup 5 tahun kurang dari 25%, dan pada pasien
kanker leher rahim, payudara, dan kulit.1 KNF yang telah mengalami metastasis ke limfonodi
merupakan kasus tumor ganas tersering di regio regional, maka angka tersebut turun sampai 1-2%.
kepala dan leher. Angka kejadian KNF di Indonesia Uji mengenai kemoterapi neoadjuvan diikuti oleh
1
sekitar 6,2/100.000 populasi pertahun. Di RSUD radioterapi telah melaporkan angka harapan hidup
Dr. Saiful Anwar Malang di dapatkan data kasus secara keseluruhan sangat baik dan toksisitasnya
baru KNF sebesar 72 penderita pada tahun 2012 dapat diterima. 2, 3
dan 69 penderita pada tahun 2013. Walaupun begitu, tetap didapatkan
Penderita KNF sering mengalami satu atau kendala dalam meningkatkan keberhasilan terapi
lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala hidung, dan meningkatkan survival rate penderita KNF
telinga, keterlibatan saraf kranial dan pembesaran dikarenakan tingginya resiko kekambuhan dan
kelenjar limfe leher. Lebih dari 40% dari seluruh resisten terhadap kemoterapi yang diberikan.
kasus KNF, keluhan adanya tumor di leher yang Dikatakan resistensi bila sel kanker tidak memiliki
paling sering dijumpai dan yang mendorong respon sempurna atau terjadi kekambuhan.
penderita untuk datang berobat. Metastasis jauh Penyebab sel KNF yang resisten ini tidak diketahui.
dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen Hal ini dapat berkaitan dengan adanya
terutama ditemukan di tulang, paru, hepar dan sekelompok sel yang mempunyai daya tahan
kelenjar getah bening supraklavikular. Metastasis hidup terhadap pengobatan tertentu dan mulai
sejauh ini menunjukkan prognosis yang sangat berproliferasi lagi sesuai sifat immortal yang
buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 dimiliki. Salah satu hipotesis yang ada adalah
tahun setelah diagnosis ditegakkan. Tanda dan adanya sel punca kanker KNF.4 Ketidakefektifan
gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik, dan terapi kanker saat ini diduga karena terapi yang
nasofaring merupakan area yang sulit untuk ada hanya menargetkan pada sel kanker dan
diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosis saat bukan pada sel punca kanker sehingga walaupun
stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala jaringan kanker sudah berhasil dimatikan

383
semaksimal mungkin, jaringan kanker masih saja dalam penatalaksanaan KNF di RSSA. Karena
terus tumbuh.5 Perangai pertumbuhan sel kanker ketersediaan alat yang tidak sebanding dengan
yang unik tersebut juga ditentukan oleh aktivitas jumlah pasien sehingga menyebabkan
gen yang dapat mengatur perbaikan DNA.6 penumpukan pasien yang akhirnya membuat
Protein β-catenin adalah komponen jadwal terapi menjadi tertunda. Terapi yang
penting dari jalur sinyal Wnt tipe kanonik, tertunda tersebut dapat membuat progesivitas
merupakan onkogen di berbagai kanker pada penyakit meningkat. Dari beberapa literatur
manusia.7 Dimana β-catenin merupakan mediator didapatkan kemoterapi neoadjuvan sebelum
penting pada sinyal Wnt. Jika sinyal Wnt radioterapi dilaporkan memiliki angka harapan
teraktivasi, maka akan terjadi penghambatan hidup secara keseluruhan sangat baik dan bisa
GSK3B dan menyebabkan β- catenin tidak menjadi radiosensitizer.1
terfosforilasi dan mengalami translokasi ke dalam Pada satu diskusi panel para pakar THT di
inti sel dan berinteraksi dengan faktor transkripsi Brunei Darussalam dikatakan pemberian
TCF/LEF. Selanjutnya berakibat pada kemoterapi neoadjuvan memang dapat
8, 9
pembaharuan sel kanker yang tidak terkontrol. meningkatkan kontrol tumor, tetapi tidak
Didapatkan disregulasi E-cadherin dan memberi keuntungan survival secara signifikan,
fungsi β-catenin dalam adhesi sel pada KNF dan malah menimbulkan efek toksik yang berat.
10
dikorelasikan dengan kejadian metastasis, sesuai Kerugian pemberian kemoterapi neoadjuvan
7 11
yang diteliti oleh Yip, dkk., dan Song, dkk. antara lain tumor terus tumbuh makin membesar
12 13
Penelitian oleh Xu, dkk., Lin, dkk., Fung, dkk., (oleh karena tumor tidak responsif terhadap
pada kanker nasofaring, didapatkan ekspresi kemoterapi yang diberikan), status penampilan
berlebih dari β–catenin/jalur sinyal Wnt akan menurun akibat timbulnya efek samping yang
meningkatkan kelangsungan hidup sel kanker dan berat dan tertundanya terapi yang seharusnya
invasi sel kanker tersebut.13, 14
Semakin tinggi dapat dilakukan lebih awal. Bahkan pada tumor
ekspresi β-catenin menunjukkan stadium lanjut yang tumbuh progresif, tindakan pembedahan
dan prognosis yang buruk. Selain perannya dalam yang kemudian dilakukan tidak dapat radikal.1
pertumbuhan dan adhesi sel, diaktifkankannya β– Salah satu mekanisme ketidakefektifan
catenin/jalur sinyal Wnt tipe kanonik terkait kemoterapi adanya peran β-catenin yang
dengan sel-sel punca kanker yang berkontribusi mengaktivasi gen dalam hal resistensi kemoterapi
terhadap pertumbuhan kanker, kekambuhan dan dan sel punca kanker, yang didukung oleh
resistensi terhadap kemoterapi. 14, 15 beberapa data penelitian molekuler. Pada
Penatalaksanaan KNF di RSUD Dr. Saiful penelitian oleh Rosa, et al. didapatkan
Anwar (RSSA) Malang masih didapatkan beberapa peningkatan β-catenin setelah diberikan
kendala. Radioterapi merupakan terapi utama kemoterapi neoadjuvan pada kanker payudara.16

384
Pada penelitian lain ditemukan bahwa β- dilakukan pemeriksaan β– catenin dari jaringan
catenin/LEF-1 berikatan dengan promoter dari biopsi nasofaring dengan pemeriksaan
Mre11. Peningkatan ekspresi dari Mre11, imunohistokimia serta dilihat keberadaannya di
mempunyai peran penting pada perbaikan DNA membran sel, sitoplasma dan inti sel; nilai nodul
dan kejadian kemoresistensi. Selain itu, terdapat (N) dan metastasis (M) sebelum dan setelah
pula MDR1, gen lain yang diaktivasi oleh β- kemoterapi neoadjuvan.
catenin, gen ini menyandi P- gp untuk Penelitian dilakukan di RSUD dr. Saiful
meningkatkan efflux atau pengeluran obat Anwar Malang dan dilaksanakan mulai bulan April
kemoterapi dari sel kanker yang berlanjut pada sampai dengan November 2015. Sampel penelitian
kemoresistensi.17 adalah penderita KNF baru WHO tipe III dan LMP 1
Keterkaitan adanya β-catenin yang dapat positif di poliklinik THT RSUD dr. Saiful Anwar
menimbulkan resistensi kemoterapi neoadjuvan Malang dan memenuhi kriteria inklusi, dengan
pada KNF dimungkinkan menjadi salah satu faktor kriteria sudah ada metastasis yang belum
yang menyebabkan tatalaksanaan KNF yang belum mendapat terapi radiokemoterapi dan atau yang
efektif, sehingga survival rate rendah, tingkat direncanakan kemoterapi sebelum radioterapi,
rekurensi tinggi, serta angka metastasis setelah dan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian.
terapi juga tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka Sesuai perhitungan sampel didapatkan 9 pasien.
penting dilakukan penelitian mengenai hubungan Jaringan hasil biopsi difiksasi dengan
β-catenin dengan mekanisme metastasis yang formalin kemudian disimpan dalam blok parafin.
berkontribusi pada resistensi kemoterapi Kurang lebih dua sampai lima potong jaringan
neoadjuvan penderita KNF. dengan tebal 5-6 μm diletakkan di
Penelitian ini bertujuan mengetahui deck glass dan dikeringkan pada suhu 37o
hubungan antara ekspresi β–catenin dengan C selama satu malam, kemudian dicuci untuk
mekanisme metastasis yang berkontribusi pada menghilangkan residu parafin dengan
resistensi kemoterapi neaodjuvan penderita KNF menggunakan xylene dua kali selama 30 menit
WHO III LMP 1 positif. pada suhu 37o C, dilanjutkan dengan dehidrasi
menggunakan larutan etanol 70%, 80%, dan 90%.
METODE Sebelum pengecatan, deck glass dicuci
Rancangan penelitian yang digunakan menggunakan buffer PBS. Pengecatan masing-
adalah observasional analitik dengan pendekatan masing sediaan sampel menggunakan antibodi β–
cohort. Penderita KNF WHO tipe III LMP 1 positif catenin. Ekspresi β–catenin dinilai pada
baru yang telah dijadwalkan radioterapi, diberikan sitoplasma, inti sel, dan membran sel. Ekspresi
induksi kemoterapi neoadjuvan dengan β–Catenin di sitoplasma dinilai secara
cisplatin/5-FU selama 3 siklus. Selanjutnya semikuantitatif berdasarkan intensitas pewarnaan

385
dan proporsi sel tumor yang positif (terpulas Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian
Karakteristik Umum n %
coklat). Di bawah mikroskop dengan pembesaran
Jenis kelamin
400, lapang pandang dipilih secara acak di empat Laki-laki 6 66.67
tempat (100 sel per lapang pandang). Ekspresi β– Perempuan 3 33.33
Kelompok Usia
Catenin di sitoplasma disajikan dalam 3 kategori; Dewasa awal (26-35 tahun) 0 0.00
rendah jika sel yang terkekspresi <33%, sedang jika Dewasa akhir (36-45 tahun) 3 33.33
Lansia awal (46-55 tahun) 5 55.56
sel yang terkekspresi antara 33-66%, dan kuat jika Lansia akhir (56-65 tahun) 1 11.11
sel yang terkekspresi >66%. Ekpresi β– Catenin di Status sosioekonomi
Pendidikan
inti sel diperiksa secara kuantitatif dengan
Rendah 9 100
menggunakan software immunoratio dan Tinggi 0 0
dinyatakan dalam persen (%).Ekspresi β– Catenin Pekerjaan
Tidak bekerja 1 11.11
di membran sel dinilai secara semi kuantitatif Bekerja 8 88.89
menggunakan software immunoMembrane. Status ekonomi
Rendah 8 88.89
Ekspresi β–Catenin di membran sel disajikan
Tinggi 1 11.11
dalam 3 kategori; 0/1+, 2+ dan 3+.
Karakteristik klinis subyek penelitian ini
HASIL meliputi keluhan utama, riwayat keluarga dan
Karakteristik umum subyek penelitian kebiasaan, pemeriksaan fisik THT, dan stadium
meliputi jenis kelamin, kelompok usia, dan status KNF berdasarkan AJCC/UICC tahun 2010 (Tabel
sosioekonomi (pendidikan, pekerjaan, dan status 5.2). Semua subyek penelitian memiliki keluhan
ekonomi) tercantum dalam tabel utama benjolan di leher. Riwayat kanker pada
5.1. Perbandingan jumlah laki-laki dan keluarga tidak didapatkan pada semua subyek
perempuan adalah 1:2. Subyek penelitian penelitian. Pemeriksaan fisik THT didapatkan 100%
terbanyak adalah kelompok usia lansia awal (46-55 subyek memiliki benjolan di leher, 88,89% subyek
tahun) sebesar 55,56%. Semua subyek penelitian memiliki kelainan pada nasofaring (permukaan
memiliki status pendidikan yang rendah (tidak nasofaring tidak rata, massa di nasofaring), 33,33%
bersekolah – lulus SMP). Lebih banyak subyek subyek memiliki parese saraf kranial, dan 22,22%
penelitian yang bekerja (88,89%) daripada tidak didapatkan retrakasi dan tampak suram pada
bekerja (11,11%). Lebih banyak subyek penelitian gendang telinga. Stadium KNF subyek penelitian
yang memiliki status ekonomi rendah (penghasilan berdasarkan AJCC/UICC tahun 2010 paling banyak
di bawah UMK) sebesar 88,89%. adalah stadium IV B (77,78%), dan diikuti stadium
III dan IV A (masing-masing 11,11%).

386
Tabel 2. Karakteristik Klinis Subyek Penelitian
Karakteristik Klinis n %
Keluhan utama
Benjolan di leher 9 100.00
Keluhan hidung: mimisan, 0 0.00
hidungbuntu (A)
Keluhan telinga: grebek-grebek / 0 0.00
dengung / penurunan pendengaran
Riwayat kanker pada keluarga 0 0.00
Riwayat kebiasaan
Konsumsi ikan asin 7 77.78
Merokok 5 55.56
Konsumsi alkohol 0 0.00 (B)
Paparan industri: debu kayu, 0 0.00 Gambar 1. Ekspresi β–Catenin di inti sel (terpulas
formaldehid coklat) dengan software immunoRatio; (A) sebelum
Pemeriksaanfisik kemoterapi neoadjuvan ekspresi β–Catenin 33,6% dan
Kelainan di nasofaring: permukaan 8 88.89 (B) setelah kemoterapi neoadjuvan 60,2%
nasofaring tidak rata, massa di
nasofaring Ekspresi β–Catenin di sitoplasma
Benjolan di leher 9 100
didapatkan semua sampel terekspresi kuat baik
Retraksi pada gendang telinga 2 22.22
Parese saraf kranial 3 33.33 sebelum maupun setelah kemoterapi neoadjuvan,
Stadium sehingga tidak dapat dilakukan uji beda. Ekspresi
I 0 0.00
II 0 0.00 β–Catenin di membran sel didapatkan bahwa pada
III 1 11.11 pemeriksaan sebelum kemoterapi ada satu dari 9
IV A 1 11.11
IV B 7 77.78 subyek penelitian yang menunjukkan nilai ekspresi
IV C 0 0.00 β-catenin sebesar 2+, sementara yang lainnya
memiliki nilai 3+. Ketika dilakukan pemeriksaan
Rerata ekspresi β-catenin di inti sel
kembali setelah kemoterapi, didapatkan semua
sebelum kemoterapi adalah 39,79 (±11,02) dan
subyek penelitian menunjukkan ekspresi β-
rerata setelah kemoterapi lebih tinggi yaitu
catenin sebesar 3+. Hasil analisis perbedaan
sebesar 55,84 (±11,96). Hasil uji beda
ekspresi β-catenin di membran sel sebelum dan
menggunakan uji t-test berpasangan menunjukkan
setelah kemoterapi menggunakan Wilcoxon test
perbedaan ekspresi β-catenin sebelum dan setelah
didapatkan tidak ditemukan perbedaan yang
kemoterapi yang signifikan (p=0,005).
bermakna (p=0,317).
Hasil uji korelasi Spearman untuk analisa
hubungan ekspresi β-catenin di inti sel sebelum
kemoterapi dan stadium klinis KNF menunjukkan
bahwa koefisien korelasi r=- 0,525. Artinya,
terdapat korelasi yang kuat antara kedua variable
dengan arah korelasi negatif. Peningkatan nilai

387
ekspresi β-catenin berhubungan dengan Tabel 3 Hasil analisis deskriptif ekspresi β-catenin di inti
sel dan volume KGB sebelum dan setelah kemoterapi
penurunan stadium klinis KNF. Walaupun
demikian, korelasi ini secara statistik tidak β-catenin inti sel Volume KGB

signifikan (p=0,147). sebelum setelah sebelum setelah

Resistensi kemoterapi pada penelitian ini Rerata 39,79 55,84 293,38 110,38
yang dinilai adalah perubahan nilai N dari volume Simpang 11,02 11,96 310,63 186,01
baku
KGB colli dan perubahan nilai M(metastasis). Pada
Median 37,87 51,88 159,51 8,1840
saat sebelum kemoterapi semua subyek tidak
Peru
meningkat Menurun
menunjukkan adanya proses metastase jauh (M0), bahan
namun setelah kemoterapi ada satu subyek yang
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan
menunjukkan adanya metastase jauh (M1).
adanya korelasi negatif antara persentase
Ekspresi β-catenin di inti sel sebelum dan setelah
perubahan volume KGB dan persentase
kemoterapi neoadjuvan didapatkan peningkatan
perubahan ekspresi β-catenin di inti sel dengan
pada semua sampel. Dengan rata- rata perubahan
nilai koefisien sebesar 0,469 (korelasi sedang).
sebesar 41,9%. Pada pasien yang mengalami
Artinya, peningkatan ekspresi β-catenin
metastasis setelah kemoterapi neoadjuvan
berhubungan dengan penurunan volume KGB
didapatkan perubahan ekspresi tertinggi yaitu
(semakin kecil respon terapi). Walaupun demikian,
sebesar 89%.
korelasi ini tidak signifikan (p=0,203).
Volume KGB sebelum kemoterapi
Hasil uji Eta menunjukkan tidak ada
didapatkan rerata sebesar 293,38 (±310,63), rerata
hubungan yang bermakna antara perubahan
volume KGB setelah kemoterapi sebesar 110,38
ekspresi β-catenin di inti sel dan perubahan status
(±186,01). Hasil uji beda menggunakan Wilcoxon
metastase jauh (p=1.000). Hasil uji Eta juga
test didapatkan adanya perbedaan yang signifikan
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
pada volume KGB sebelum dan setelah
antara perubahan ekspresi β- catenin di membran
kemoterapi (p=0,008). Volume KGB setelah
sel dengan perubahan volume KGB (p=0,212).
kemoterapi lebih kecil daripada sebelum
Hasil uji koefisien kontingensi menunjukkan tidak
kemoterapi. Dua dari 9 subyek penelitian tidak
ada hubungan yang bermakna antara perubahan
didapatkan massa sama sekali setelah kemoterapi.
ekspresi β- catenin di membran sel dan perubahan
Bila dihitung perubahan volume KGB sebelum dan
status metastase jauh (p=0,708).
setelah kemoterapi didapatkan bahwa terjadi
penurunan volume KGB dengan rerata 80% (±22%)
DISKUSI
setelah dilakukan kemoterapi.
Perbandingan jumlah laki-laki dan
perempuan pada penelitian ini adalah 1:2.
Brennan juga melaporkan KNF terjadi lebih sering

388
pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio penyebab utama kanker nasofaring, virus dapat
pria-wanita 2-3:1.3 Subyek penelitian terbanyak masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal tanpa
adalah kelompok usia lansia awal (46-55 tahun) menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu
sebesar 55,56%. Menurut penelitian retrospektif yang lama, dibutuhkan mediator untuk
yang dilakukan di Medan, usia rata-rata penderita mengaktifkan virus tersebut. Beberapa mediator
KNF adalah kelompok usia 45-55 tahun. Menurut yang berpengaruh terhadap timbulnya kanker
Munir meningkatnya angka kasus kejadian KNF nasofaring adalah: faktor lain seperti genetik
terjadi pada usia 40 sampai 50 tahun, tetapi dapat (keturunan/ras), sering kontak dengan bahan
juga terjadi pada anak-anak dan usia remaja.1 karsinogenik, konsumsi ikan asin atau makanan
Semua subyek penelitian memiliki status yang diawetkan dan didalamnya terdapat
pendidikan yang rendah (100%). Lebih banyak nitrosamin, keadaan sosial ekonomi yang rendah,
subyek penelitian yang memiliki status ekonomi radang kronis daerah nasofaring.19
rendah (88,89%). Christanti, melaporkan dari 108 Dari pemeriksaan fisik THT didapatkan
penderita KNF didapatkan 72% berpendidikan 100% subyek memiliki benjolan di leher. Tidak
rendah serta pada tingkat sosioekonomi rendah. semua benjolan leher menandakan penyakit ini.
Tingkat pendidikan dan sosioekonomi rendah Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher,
berdampak pada keterlambatan diagnosis dan 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri.
penatalaksanaan sehingga berakibat prognosa Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak
18
penyakit menjadi lebih buruk. dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh
Semua keluhan utama subyek penelitian pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang terus,
adalah benjolan di leher (100%). Dikarenakan menembus kelenjar dan mengenai otot di
tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot
menyebabkan subyek penelitian datang terlambat dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala
untuk berobat, dimana untuk benjolan di leher yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher
merupakan salah satu tanda penyebaran kanker merupakan gejala utama yang mendorong pasien
ke KGB sekitar. Selain itu untuk gejala awal KNF ini datang ke dokter.19
menyerupai gejala penyakit yang lain, yang sering Stadium KNF berdasarkan AJCC/UICC
diabaikan oleh penderita sehingga penderita tidak tahun 2010 paling banyak adalah stadium IV B
segera berobat.18 Tidak didapatkan subyek (77,78%), dan diikuti stadium III dan IV A (masing-
penelitian dengan riwayat kanker pada keluarga. masing 11,11%). Penderita KNF umumnya (60 –
Didapatkan faktor resiko merokok (55,56) dan 90%) datang berobat di klinik sudah stadium lanjut
konsumsi ikan asin (77,78). Sampai sekarang dengan gejala penyebaran di luar nasofaring.
etiologi kanker nasofaring belum jelas, virus Tumor primer di nasofaring sudah T3 atau T4
Epstein-Barr (EBV) dinyatakan sebagai penyebab jarang dengan T1 atau T2.18 Pada penelitian ini

389
didapatkan peningkatan ekspresi β-catenin di inti dalam inti sel akan mengaktifkan transkripsi gen-
sel setelah dilakukan kemoterapi neoadjuvan, dan gen untuk proliferasi, angiogenesis,
dengan uji t berpasangan didapatkan perbedaan invasi/metastasis, transformasi keganasan, bahkan
yang signifikan antara sebelum dan setelah resistensi terapi.20
kemoterapi. Diharapkan dengan pemberian Pada suatu penelitian pada tumor stroma
kemoterapi dapat menghambat proses keganasan endometrium dikatakan bahwa cyclin D1 dan
yang terjadi, sehingga tingkat ekspresi akan MMP-7 adalah target gen penting yang diaktivasi
menurun. Adanya peningkatan tingkat ekspresi ini oleh β-catenin. Cyclin D1 diketahui menstimulasi
dimungkinkan adanya beberapa hal, yaitu faktor siklus sel yang mengarah pada fenotip sel punca
resistensi terhadap obat kemoterapi dan pada kanker. Sedangkan MMP-7 mendegradasi matriks
stadium lanjut (III dan IV) dimana kemungkinan ekstraseluler yang berperan dalam invasi dan
terjadi metastasis sehingga angka keberhasilan metastasis. Pada tipe histopatologi yang lebih
terapinya rendah. Aktivasi β-catenin di jalur Wnt ganas didapatkan peningkatan ekspresi dari cyclin
merupakan penyokong progesifisitas dan D1 dan MMP-7.21
metastasis kanker dan dapat mengakibatkan Penelitian oleh Cui, et al. pada kanker
resistensi terhadap agen kemoterapi. pankreas terjadi kemoresistensi dikarenakan
Pada umumnya, di saat tidak diaktivasinya adanya angiogenesis, sel punca kanker, disregulasi
jalur Wnt, β-catenin berada di sitoplasma dekat siklus sel dan apoptosis, serta dugaan keberadaan
dengan membran sel dan berikatan dengan E- serta aktivitas transkripsi β-catenin juga berkaitan
cadherin dan α-catenin sebagai komponen adhesi dengan resistensi terhadap gemcitabine. Menurut
sel. Normal juga didapatkan β-catenin dalam Maher, et al. dengan menghambat β-catenin
jumlah kecil di sitoplasma dan tidak hidup lama dapat meningkatkan sitotoksisitas kemoterapi
karena segera dikenali oleh kompleks protein pada kanker kolon, payudara, dan prostat. Pada
destruksi untuk didegradasi. Ketika jalur sinyal penelitian lain ditemukan bahwa β- catenin/LEF-1
Wnt diaktifkan, GSK-3β sebagai salah satu dari yang berikatan dengan promoter dari Mre11.
kompleks protein destruksi inaktif sehingga β- Peningkatan ekspresi dari Mre11, mempunyai
catenin tidak didegradasi dan terakumulasi di peran penting pada perbaikan DNA dan kejadian
sitoplasma. Pada akhirnya β-catenin tersebut akan kemoresistensi. Selain itu, terdapat pula MDR1,
mengalami translokasi ke dalam inti sel. gen lain yang diaktivasi oleh β-catenin, gen ini
Mekanisme bagaimana β-catenin bisa menyandi P- gp untuk meningkatkan efflux atau
bertranslokasi ke dalam inti sel masih belum jelas pengeluran agen kemoterapi dari sel kanker yang
dipahami, akan tetapi dikatakan β-catenin berlanjut pada kemoresistensi. 17
berinterkasi dengan komponen kompleks di Pada KNF, ditemukan penekanan pada
permukaan inti sel. Selanjutnya, β-catenin di WIF1 oleh aktivasi JNK karena LMP1,

390
sehingga sinyal jalur Wnt diaktifkan. mencit tersebut dan tidak didapatkan
Penelitian oleh Galera-Ruiz, et al.,22 pada 7 pertumbuhan tumor setelah itu. Hal ini dapat
kontrol non KNF didapatkan 35% kasus mendukung penghambat β-catenin dapat
mengekspresikan terekspresi di membran sel dan digunakan sebagai pilihan terapi.17
sitoplasma, dan semua penderita KNF Pada kultur sel KNF dibanding
mengekspresikan β-catenin di membran sel dan nasofaringitis, penelitian dilakukan oleh Song, et
sitoplasma, tapi tidak terekspresi di inti sel. al.,11 didapatkan ekspresi β-catenin sebesar
Sedang pada penelitian Zheng et al.,23 didapatkan 76,9%; ketika dilakukan penekanan β-catenin
ekspresi β-catenin di inti sel pada 5 kasus. Pada mengakibatkan penurunan dari gen yang diaktivasi
penelitian lain yang dilakukan pada kanker di oleh β-catenin seperti MMP2, MMP9, cyclin D1
esofagus, payudara, tiroid, lambung, dan kanker and c-Myc. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kepala leher lainnya didapatkan pula ekspresi penekanan β-catenin secara signifikan dapat
abnormal dari β-catenin, yang mana berkaitan menurunkan pertumbuhan sel tumor, migrasi dan
dengan prognosa yang buruk, stadium yang lebih invasi, serta menginduksi apoptosis pada kultur sel
lanjut, survival yang buruk, dan lebih progresif. KNF. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
Ada satu penelitian yang hampir sama bahwa β-catenin berperan penting dalam
16
dengan penelitian ini oleh Rosa, et al., mengukur patogenesis KNF, sehingga menjadikan β- catenin
ekspresi β-catenin sebelum dan setelah sebagai target terapi mungkin menjadi strategi
kemoterapi neoadjuvan pada kanker payudara, baru untuk terapi KNF.
dan tidak didapatkan perbedaan yang signifikan, Kemoterapi neoadjuvan dikatakan dapat
akan tetapi tidak menutup kemungkinan tidak ada menginduksi perubahan ekspresi β- catenin di inti
pengaruh β-catenin dalam kejadian resistensi sel, seperti penelitian Gomez- Millan, et al. pada
kemoterapi, yang menurut beberapa penelitian kanker rektum didapatkan peningkatan ekspresi β-
dapat dijadikan target untuk mendapatkan hasil catenin setelah neoadjuvan kemoterapi,
terapi yang efektif dan survival yang lebih baik. pemeriksaan β- catenin ulang dilakukan 22 bulan
Pertama kali didemonstrasikan oleh Kim, et al., setelah pasien operasi. Ekspresi β-catenin yang
tentang penghambatan spesifik terhadap β- meningkat berkaitan dengan survival yang buruk
catenin yang dapat mengembalikan sifat sel dibandingkan dengan ekspresi β-catenin yang
kanker menjadi sel normal, dari hal tersebut menurun setelah terapi. Disimpulkan pada
menjadi dasar bahwa β-catenin dapat dijadikan penelitian ini bahwa kemoterapi neoadjuvan
target terapi. Penelitian lain pada kanker sebelum operasi meningkatkan ekspresi β-catenin
payudara, menggunakan molekul PKF118-310 inti sel yang berkorelasi dengan survival yang
secara invitro pada kultur sel kanker mencit, buruk dan resiko kekambuhan.24
selanjutanya ditransplantasikan secara invivo pada Pada penelitian ini, pada sampel telah

391
didapatkan metastasis ke KGB leher dan semua β-catenin yang tinggi pada sitoplasma berkorelasi
pasien mengekspresikan β-catenin baik di dalam dengan kejadian metastasis.
sitoplasma, inti sel, maupun membran sel. Analisis Penelitian oleh Kurihara, et al.,21
hubungan ekspresi β- catenin di inti sel sebelum didapatkan ekspresi β-catenin pada inti sel
kemoterapi dan stadium klinis KNF secara statistik bersamaan dengan overekspresi dari cyclin D1
tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang berkaitan dengan derajat sarkoma
KNF oleh Galera- Ruiz, et al.,22 dilakukan endometrium high grade. Pada penelitian lain
pemeriksaan β-catenin pada 25 orang (18 KNF dan disebutkan bahwa cyclin D1 dan MMP-7 adalah
7 kontrol), didapatkan ekspresi β-catenin di target gen dari β-catenin. Cyclin D1 berperan
membran dan sitoplasma pada semua sampel KNF dalam siklus sel dan proliferasi terkait sel punca
dan dianalisis tidak ada korelasi dengan stadium kanker, sedangkan MMP-7 berperan dalam invasi
klinis. Hal ini bisa diakibatkan karena tidak hanya dan metastasis.
β-catenin yang berperan dalam invasi dan Pada penelitian ini resistensi kemoterapi dinilai
25
metastasis, seperti yang dikemukakan Li,et al., dari perubahan nilai nodul (volume KGB) serta
karena mutasi pada β- catenin jarang pada KNF perubahan metastasis. Perubahan β-catenin
dan bukan faktor yang utama dalam invasi dan didapatkan peningkatan pada semua sampel.
metastasis. Berbeda dengan penelitian yang Sampel β-catenin diambil dari jaringan nasofaring.
23
dilakukan oleh Zheng, et al., didapatkan ekspresi Penelitian oleh Zheng, et al.,23 pada pasien KNF
abnormal dari β-catenin pada KNF, dan berkorelasi dilakukan pemeriksaan ekspresi β-catenin pada
dengan stadium klinis dan survival yang buruk, tumor primer dan KGB, didapatkan perbedaan
yang meyakinkan bahwa β- catenin bisa antara ekspresi β-catenin pada tumor primer dan
diaplikasikan untuk menentukan prognosa dari KGB leher, dimana terdapat penurunan ekspresi β-
KNF. catenin pada KGB lehernya dibanding tumor
Pada beberapa kanker lain, β-catenin primernya, hal ini mendukung invasi dan
banyak berperan dalam adhesi sel dan jalur sinyal penyebaran sel kanker ke tempat sekunder. Selain
Wnt. Penelitian oleh Chen, et al.,26 pada kanker itu pada 2 sampel didapatkan ekspresi β-catenin
prostat didapatkan ekspresi β-catenin yang tinggi pada inti sel pada KGB leher, akan tetapi tidak
pada 77% pasien yang mempunyai metastasis ke didapatkan pada tumor primernya, hal ini
KGB leher dan 85% metastasis ke tulang. Pada disebabkan aktivasi protoonkogen yang dapat
penelitian pada osteosarkoma oleh Bongiovanni, mengacaukan distribusi β-catenin di dalam sel.
et al.,27 didapatkan ekspresi β-catenin pada Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya
membran sel sebanyak 65%, pada sitoplasma korelasi negatif, artinya semakin besar perubahan
sebanyak 100%, dan ekspresi pada inti sel ekspresi β-catenin di inti sel berhubungan dengan
sebanyak 47%. Dan dari tes Fisher’s exact, ekspresi semakin kecil perubahan volume KGB, untuk

392
hubungannya tidak signifikan, begitu juga untuk sinyal PI3K/Akt/FOXO3a.
analisa perubahan ekspresi β-catenin di membran Studi oleh Thompson dan Kurzrock
sel dengan perubahan volume KGB. Seharusnya menyatakan setidaknya terdapat empat jalur
diharapkan dengan pemberian kemoterapi akan sinyaling dalam siklus sel, yaitu NF-kB, JNK,
menurunkan ekspresi β-catenin seperti p38/MAPK, dan JAK/STAT yang dipengaruhi oleh
penurunan volume KGB nya, akan tetapi pada LMP1. Interaksi LMP1 juga menyebabkan
penelitian ini malah sebaliknya. Hal ini overekspresi protein BCL-2 dan A20, yang
dimungkinkan karena keberadaan sel punca melindungi sel terinfeksi dari apoptosis yang
kanker. Seperti pada beberapa penelitian lain dimediasi p53. Apoptosis berperan dalam
menunjukkan kemoradioterapi seringkali tumorigenesis dan terlibat pada reseptor
membunuh sel tumor, tetapi tidak untuk sel ekstrinsik dan intrinsik jalur mitokondria.Cisplatin
punca kanker yang cenderung resisten pada agen mengakibatkan kematian sel dengan cara
kemoradioterapi. Hal ini diungkapkan oleh Noda, berinteraksi dengan DNA yang membentuk suatu
28
et al., yang melakukan penelitian invitro pada produk DNA yang berujung pada aktivasi apoptosis
hepatoseluler karsinoma, didapatkan aktivasi dari reseptor ekstrinsik dan intrinsik. Cisplatin
dari jalur sinyal Wnt/β-catenin oleh penghambat dapat mempengaruhi ketidakstabilan membrane
GSK3 yang menginduksi kemoresistensi terhadap melalui aktivasi Fas-L. Disregulasi Fas-L ini yang
IFN-a/5- fluorouracil. Pada penelitian ini, ekspresi berperan dalan kemoresistensi pada beberapa
profil gen dan jalur sinyal Wnt/β-catenin kanker. 29, 30
teridentifikasi signifikan. Jalur sinyal Wnt/β- Penelitian yang dilakukan oleh
catenin berperan penting dalam perkembangan Marliyawati, dkk.,31 didapatkan respon positif
beberapa keganasan. kelenjar limfe leher setelah pemberian kemoterapi
Menurut Yang, et al.,29 30% pasien KNF neoadjuvan sebanyak tiga kali, walau tidak sebesar
dengan EBV positif menunjukkan kejadian respon jika diberikan lebih dari tiga kali. Jumlah
resistensi terhadap cisplatin, akan tetapi siklus berhubungan secara bermakna terhadap
bagaimana patomekanisme nya masih belum jelas. respon terapi pada tumor primer nasofaring
LMP 1 berkontribusi melalui aktivasi beberapa (p=0,021), namun didapatkan tidak bermakna
jalur sinyal, dan berkaitan dengan prognosa yang pada kelenjar limfe leher. Hal ini menunjukkan
lebih buruk. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tetap diperlukan pemberian radioterapi
infeksi EBV menginduksi ekspresi miRNA termasuk dalam rangkaian penatalaksanaan terapi KNF
microRNA-21 sebagai biomarker untuk untuk mengatasi penyebaran sel tumor ke kelenjar
kemoresistensi. Pada penelitian ini, kadar miR-21 limfe leher.31
yang tinggi ditemukan kultur sel dengan EBV dan Analisis hubungan perubahan ekspresi β-
LMP 1 positif melaui mekanisme modulasi jalur catenin di inti dan membran sel dengan

393
perubahan metastase tidak signifikan. Hal tersebut pada ketidaksesuaian perbaikan dan perbaikan
dikarenakan hanya ada satu pasien yang eksisi nukelotida, serta peningkatan kemampuan
mengalami metastasis setelah kemoterapi untuk bereplikasi; dan kegagalan apoptosis melalui
neoadjuvan, dan dari data ekspresi β-catenin peningkatan jalur kaskade MAPK dan jalur sinyal
didapatkan ekspresi yang tertinggi, hal ini diduga PI3-K/Akt, disfungsi gen supresi tumor dan
berkaitan dengan fenotip serta komponen onkogen (c-Fos, c-Jun) dan perubahan pada
biomolekuler sel kanker yang lebih agresif ekspresi protein pro dan anti-apoptosis (seperti
dibanding dengan tipe sel yang kebanyakan. Salah Bcl-2, kaspase, IAPs).37
satu protein yang mungkin diproduksi adalah β- Terapi utama pada KNF adalah radioterapi.
catenin, yang mana apabila terakumulasi dapat Keterbatasan jumlah dan jenis alat radiasi di RSUD
menyebabkan perkembangan sel kanker menjadi Dr. Saiful Anwar Malang menyebabkan jadwal
agresif melalui banyak jalur yaitu β-catenin dapat penyinaran menjadi lambat. Jenis Cobalt 60
berikatan dengan c-Myc dan cyclin D1 sehingga sel mempunyai kelemahan antara lain daya tembus
kanker bertransformasi dan berproliferasi. Ikatan yang dangkal dan lapangan penyinaran yang luas
β-catenin dengan IL8 dapat menyebabkan sehingga efek samping ke jaringan sehat sekitar
angiogenesis. Ikatannya dengan keluarga Ras yang menjadi lebih besar. Pemberian kemoterapi
berfungsi sebagai supresor tumor, menyebabkan neoadjuvan diharapkan menjadi pilihan terapi
pertumbuhan mitosis yang abnormal, serta yang terbaik. Seperti dikatakan pada beberapa
berikatan dengan E-cadherin yang memicu penelitian bahwa kombinasi obat kemoterapi
13, 32-36
kejadian metastasis. dikatakan lebih unggul dibanding obat tunggal
Penggunaan cisplatin sebagai agen oleh karena titik tangkap yang berbeda pada siklus
kemoterapi memiliki beberapa keterbatasan sel sehingga dapat meningkatkan kemampuan
dikarenakan adanya kejadian resistensi sel kanker eradikasi sel tumor. Selain itu dosis untuk masing-
terhadap obat, baik karena faktor instrinsik masing jenis obat dapat dikurangi sehingga
maupun didapat Beberapa mekanisme molekular menurunkan efek toksis yang ditimbulkan.31
yang berperan pada kejadian resistensi terhadap Meskipun respon tumor cukup bagus, uji
cisplatin antara lain berkurangnya akumulasi coba terkontrol secara acak tidak menunjukkan
platinum intrasel oleh karena penurunan perbaikan yang konsisten dalam kelangsungan
penyerapan obat dan peningkatan pengeluaran hidup pasien yang menerima kemoterapi
obat, berkurangnya bioavailibilitas platinum dibandingkan dengan pasien yang menerima
dikarenakan peningkatan aktivitas detoksifikasi pengobatan radioterapi saja. Pada populasi ini
dari fase II (peningkatan kadar GSH dan enzim pasien memiliki status penampilan yang buruk,
terkait, serta kadar metallothionein), peningkatan dan menambah efek toksisitas. Penelitian pada
kemampuan perbaikan DNA melalui perubahan hewan menunjukkan bahwa beberapa jenis

394
kemoterapi yang diberikan sebelum radioterapi yang kemudian dilakukan tidak dapat radikal.39
meningkatkan kemungkinan Dari penelitian-penelitian yang ada serta
metastasis jauh.38 hasil yang didapat pada penelitian, pemberian
Menurut suatu meta analisis kemoterapi kemoterapi neoadjuvan setidaknya dapat
neoadjuvan tidak terkait dengan kelangsungan dipertimbangkan baik buruknya terhadap pasien,
hidup yang relevan baik. Sesuai yang dilaporkan dimana masing-masing pasien memiliki karakter
oleh Prasad terhadap 86 penderita KNF stadium yang berbeda, sehingga respon masing-masing
lokoregional lanjut. Didapatkan 46 penderita pasien juga berbeda.
(56,8%) meninggal, dengan 5 year overall survival Kesimpulan dari penelitian ini adalah
sebesar 40%. Overall response rate 87,6%, 10 terdapat peningkatan ekspresi β–catenin di inti sel
penderita tak memberi respon terhadap setelah kemoterapi neoadjuvan pada penderita
kemoterapi dan meninggal. Sebanyak 40 penderita KNF WHO III LMP 1 positif. Ekspresi β–catenin di
(46,51%) mengalami kekambuhan tumor, dengan inti sel sebelum kemoterapi neoadjuvan tidak
perincian 24 penderita (60%) rekuren di nasofaring berhubungan secara bermakna dengan tingginya
atau leher, sedangkan 16 penderita (40%) lainnya stadium klinis sebelum kemoterapi neoadjuvan
dijumpai metastasis jauh. Diantara 40 penderita pada penderita KNF WHO III LMP 1 positif.
yang mengalami kekambuhan tumor pasca Peningkatan ekspresi β–catenin tidak
kemoterapi neoadjuvan, sebanyak 36 penderita berhubungan secara bermakna dengan
(90%) meninggal dengan median survival hanya 22 peningkatan nilai N dan M pada penderita KNF
1
bulan (range 9-61 bulan). WHO III LMP 1 positif.
Pada diskusi panel para pakar THT di
Brunei Darussalam dikatakan pemberian DAFTAR PUSTAKA
kemoterapi neoadjuvan memang dapat 1. Kentjono W. Perkembangan Terkini
meningkatkan kontrol tumor, tetapi tidak Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.
memberi keuntungan survival secara signifikan, Majalah Kedokteran Tropis Indonesia 2003;
malah menimbulkan efek toksik yang berat. 14(2):1-39.
Kerugian pemberian kemoterapi neoadjuvan 2. Ondrey F, Wright S. Neoplasma of the
antara lain tumor terus tumbuh makin membesar Nasopharynx. In: Snow J, Ballenger J, editors.
(oleh karena tumor tidak responsif terhadap Ballenger's Otorhinolaryngology Head and Neck
kemoterapi yang diberikan), status penampilan Surgery Pennsylvania: BC Decker; 2006.
menurun akibat timbulnya efek samping yang 3. Brennan B. Review Nasopharyngeal Carcinoma.
berat dan tertundanya terapi yang seharusnya Orphanet Journal of Rare Diseases. 2006; 1(23).
dapat dilakukan lebih awal. Bahkan pada tumor 4. Saifo MS, Rempinski DR, Rustum YM, Azrak RG.
yang tumbuh progresif, tindakan pembedahan Targeting the oncogenic protein beta-caten

395
into enhance chemotherapy outcome against Cancer Epidemiology. 2012; 36(2):116-121.
solid human cancers. Molecular Cancer. 2010; 12. Xu L, Jiang Y, Zheng J, Xie G, Li J, Shi L, et al.
9(310):1-11. Aberrant expression of β-catenin and E-
5. Luqmani YA. Mechanisms of Drug Resistance in cadherin is correlated with poor prognosis of
Cancer Chemotherapy. Med Princ Pract. 2005; nasopharyngeal cancer. Human Pathology.
14(1):35–48. 2013; 44(7):1357–1364.
6. Lun SW-M, Cheung ST, Cheung PFY, To K-F, 13. Funga LF, Loa AKF, Yuenb PW, Liua Y, Wanga
Choy K-W, Chow C, et al. CD44+ Cancer XH, Tsao SW. Differential gene expression in
Stem-Like Cells in EBV-Associated nasopharyngeal carcinoma cells. Life Sciences.
Nasopharyngeal Carcinoma. Plos One. 2012; 2000; 67(8):923–936.
7(12):1-14. 14. Lustig B, Behrens J. The Wnt signaling pathway
7. Yip WK, Seow HF. Activation of and its role in tumor development. J Cancer Res
phosphatidylinositol 3-kinase/Akt signaling by Clin Oncol. 2003; 129(4):199-221.
EGF downregulates membranous E-cadherin 15. Lina Y-C, Youa L, Xua Z, Hea B, Mikamia I, Thung
and β- catenin and enhances invasion in E. Wnt signaling activation and WIF-1 silencing
nasopharyngeal carcinoma cells. Cancer Lett. in nasopharyngeal cancer cell lines.
2012; 318(2):162-172. Biochemical and Biophysical Research
8. Shen D-Y, Zhang W, Zeng X, Liu C-Q. Inhibition Communications. 2006; 341(2):635–640.
of Wnt/b-catenin signaling downregulates P- 16. Rosa M, Han H, Ismail-Khan R, Allam-Nandyala
glycoprotein and reverses multi-drug resistance P, Bui M. Beta-catenin expression patterns in
of cholangiocarcinoma. Cancer Science. 2013; matched pre- and post-neoadjuvant
104(10):1303-1308. chemotherapy-resistant breast cancer. Ann Clin
9. Zhang Y, Liu B, Zhao Q, Hou T, Huang X. Nuclear Lb Sci. 2015; 45(1):10-16.
localizaiton of -catenin is associated with poor 17. Cui J, Jiang W, Wang S, Wang L, Xie K. Role of
survival and chemo-/radioresistance in human Wnt/B-catenin Signaling in Drug Resistance of
cervical squamous cell cancer Int J Clin Exp Pancreatic Cancer. Current Pharmaceutical
Pathol. 2014; 7(7):3908-3917. Design. 2012; 18:2464-2471.
10. Zhi L, Yi R, Su-Xia L. Association of E-Cadherin 18. Christanti J, Prasetyo A. Tingkat Ketahanan
and Beta Catenin with Metastasis in NPC. Hidup Penderita Kanker Nasofaring pada
Chinese MEdical Journal. 2004; 117(8):1232- Berbagai Modalitas Terapi M Med Indonesia.
1239. 2012; 46(2):138-146.
11. Song Y, Yang QX, Zhang F, Meng F, Li H, Dong Y, 19. Firdaus M, Prijadi J. Kemoterapi Neoadjuvan
et al. Suppression of nasopharyngeal carcinoma pada Karsinoma Nasofaring. Bagian Telinga
cell by targeting β-catenin signaling pathway. Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK

396
Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil β- catenin Production in Patients with
Padang. 2010:1-11. Advanced Metastatic Prostate Carcinoma.
20. Valenta T, Hausmann G, Basler K. The Many Cancer. 2004; 101(6):1345-1356.
Faces and Function of β-Catenin. the EMBO 27. Bongiovanni L, Mazzocchetti F, Malatesta D,
Journal. 2012; 31(12):2714-2736. Romanucci M, Ciccarelli A, Buracco P, et al.
21. Kurihara S, Oda Y, Ohishi Y, Kaneki E, Kobayashi Immunohistochemical investigation of cell cycle
H, Wake N, et al. Coincident expression of beta- and apoptosis regulators (survivin, β-catenin,
catenin and cyclin D1 in endometrial stromal p53, caspase 3) in canine appendicular
tumors and related high-grade sarcomas. osteosarcoma. BMC Vet Res. 2012; 8(78):1-11.
Modern Pathology. 2010; 23:225-234. 28. Noda T, Nagano H, Takemasa I, Yoshioka S,
22. Galera-Ruiz H, Gonzalez-Campora MJRR, Murakami M, Wada H, et al. Activation of
Carmona MdMMI, Moreno AM, Galera- Wnt/β- Catenin Signalling Pathway Induces
Davidson H. The cadherin–catenin complex in Chemoresistance to Interferon-a/5-fluorouracil
nasopharyngeal carcinoma. Eur Arch Combination Therapy for Hepatocelluler
Otorhinolaryngol. 2011; 268:1335–1341. Carcinoma. British Journal of Cancer. 2009;
23. Zheng Z, Pan J, Chu B. Downregulation and 100:1647-1658.
Abnormal Expression of E-Cadherin and Beta 29. Yang G, Huang T, Peng L, Yang C, Liu R. Epstein-
Catenin in NPC: Close Association with Barr Virus-Encoded LMP1 Upregulates
Advanced Disease Stage and Lymph Node MicroRNA-to Promote the Resistance of
Metastasis. Human Pathology. 1999; 30(4):458- Nasopharyngeal Carcinoma Cells to Cisplatin-
466. Induced Apoptosis by Supressing PDCD4 and
24. Gomez-Millan J, Perez L, Aroca I, Delgado Fas-L. Plos One. 2013; 8(10):1-15.
MdM, Luque VD, Román A, et al. Preoperative 30. Thompson M, Kurzrock R. Epstein-Barr Virus
chemoradiotherapy in rectal cancer induces and Cancer. Clinical Cancer Research. 2003;
changes in the expression of nuclear β-catenin: 10:803- 821.
prognostic significance. BMC Cancer. 2014; 31. Marliyawati D, Antono D, Yusmawan W.
14(192):1-10. Respon Neoadjuvant Chemotherapy Paltinum
25. Li J, Zhou B. Activation ov β-Catenin and Akt Based pada Penderita Karsinoma Nasofaring di
Pathways by Twist are Critical for the RSUP Dr. Kariadi Semarang. ORLI. 2013;
Maintanance of EMT Associated Cancer Stem 43(2):101-109.
Cell-like Characters BMC Cancer. 2011; 32. Abraham SC, Montgomery EA, Giardiello FM,
11(49):1-11. Wu T-T. Frequent β-Catenin Mutations in
26. Chen G, Shukeir N, Potti A, Sircar K, Aprikian A, Juvenile Nasopharyngeal Angiofibromas.
Goltzman D, et al. Up-Regulation of Wnt-1 and American Journal of Pathology. 2001;

397
158(3):1073-1078. Cancer. The Laryngoscope. 2000; 110:2074-
33. Fodde R, Brabletz T. Wnt/β-catenin signaling in 2080.
cancer stemness and malignant behavior.
Current Opinion in Cell Biology. 2007; 19:150-
158.
34. Horikawa T, Yang J, Kondo S, Yoshizaki T, Joab I,
Furukawa M, et al. Twist and Epithelial-
Mesenchymal Transition Are Induced by the
EBV Oncoprotein Latent Membrane Protein 1
and Are Associated with Metastatic
Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer Research
2007; 67:1970-1978.
35. Ji H, Wang J, Nika H, Hawke D, Keezer S, Ge Q,
et al. EGF-induced ERK activation promotes
CK2- mediated disassociation of -catenin from -
catenin and transactivation of β-catenin. Mol
Cell. 2009; 36(4):547-559.
36. Tulalamba W, Janvilisri T. Nasopharyngeal
Carcinoma Signaling Pathway: An Update on
Molecular Biomarkers. International Journal of
Cell Biology. 2012; 2012:1-10.
37. Brozovic A, Osmak M. Activation of Mitogen-
activated Protein Kinase by Cisplatin and Their
Role in Cisplatin-resistance Cancer Letter. 2007;
251:1- 16.
38. El-Weshi A, Khafaga Y, Allam A, Mosseri V,
Ibrahim E, El-Sera M, et al. Neoadjuvant
Chemotherapy Plus Conventional Radiotherapy
or Accelerated Hyperfractionation in Stage III
and IV Nasopharyngeal Carcinoma. Acta
Oncologica. 2001; 40:574-581.
39. Urba S, Wolf G, Bradford C, Thornton A,
Eisbruch A, Terrell J, et al. Neoadjuvant Therapy
for Organ Preservation in Head and Neck

398
Laporan Penelitian

PROFIL PENDERITA BENDA ASING DI ESOFAGUS YANG MENJALANI ESOFAGOSKOPI KAKU DI RSUD DR.
SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE 1 JANUARI 2014 – 31 DESEMBER 2015

Hendro Soesanto, H. M. Dwijo Murdiyo


Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher FKUB-RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRAK
Latar Belakang: Standar emas diagnosis benda asing esofagus adalah esofagoskopi yang sekaligus berperan
untuk penatalaksanaan. Seorang dokter THT diharapkan mampu memberikan edukasi untuk mencegah,
melakukan tatalaksana, dan mengatasi komplikasi benda asing esofagus. Tujuan: Mengetahui profil
penderita benda asing esofagus yang dilakukan tindakan esofagoskopi kaku. Metode: Penelitian
observasional deskriptif retrospektif dengan subyek penelitian rekam medis penderita benda asing
esofagus yang dilakukan esofagoskopi kaku di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 2014 – 31
Desember 2015. Hasil: Terdapat 41 subyek dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 5,8 : 1. Angka
kejadian tertinggi pada usia 0-10 tahun (34,1%). Benda asing terbanyak berupa koin (22%) dan daging
(22%). Faktor risiko terbanyak adalah penggunaan gigi palsu (17,1%). Letak terbanyak BAE adalah pada
penyempitan I dan di antara penyempitan I dan II (29,3%). Komplikasi terjadi pada 13 penderita (31,7%)
dengan 3 penderita mengalami komplikasi berat dan 1 penderita meninggal dunia. Kesimpulan: Angka
kejadian benda asing esofagus terbanyak pada usia 0-10 tahun. Komplikasi terjadi pada hampir sepertiga
kasus, dengan 3 di antaranya mengalami komplikasi berat dan 1 orang meninggal dunia.

Kata Kunci: Benda asing esofagus, esofagoskopi

ABSTRACT
Background: The gold standard diagnosis of oesophageal foreign body is an esophagoscopy that also serves
for management. An ENT doctor is expected to provide education to prevent, manage, and overcome
oesophageal foreign body complications. Objective: To know the profile of patients with oesophageal
foreign body by rigid esophagroscopy. Methods: Retrospective descriptive observational study with the
subjects of medical record study of oesophageal foreign body patients who performed rigid
esophagroscopy at RSUD Dr. Saiful Anwar Malang period January 1, 2014 - December 31, 2015. Results:
There are 41 subjects with male and female ratio 5.8: 1. The highest incidence rate at the age of 0-10 years
(34.1%). Most foreign bodies in the form of coins (22%) and meat (22%). The most risk factor was the use of
dentures (17.1%). The most prevalence of BAE is on narrowing I and between narrowing I and II (29.3%).
Complications occurred in 13 patients (31.7%) with 3 patients experiencing severe complications and 1
patient died. Conclusion: The highest number of occurrences of esophageal foreign bodies at the age of 0-
10 years. Complications occur in almost one-third of cases, with 3 of them having severe complications and
1 person dying.

Keywords: Foreign body esophagus, esophagoscopy

Korespondensi:
dr. Hendro Soesanto
Email : hendro086@gmail.com

Vol 3, No. 1, Jan - Apr 2018

399
PENDAHULUAN penelitian rekam medis penderita benda asing
Benda asing esofagus (BAE) dapat terjadi
esofagus yang dilakukan tindakan esofagoskopi
secara sengaja atau tidak disengaja. Menurut
kaku di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang periode 1
Yunker dan Friedman, 73% benda asing esofagus
Januari 2014 – 31 Desember 2015. Selanjutnya
terjadi pada usia kurang dari 3 tahun dan 84% kasus
ditelaah berdasarkan beberapa variabel dan
1
terjadi pada usia kurang dari 5 tahun. Pada tahun
hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
2011, American Association of Poison Control
Centers memperkirakan 1500 orang meninggal
HASIL PENELITIAN
setiap tahun karena komplikasi dari ingesti benda
Subyek penelitian berjumlah 41 kasus
asing, terbanyak anak-anak di bawah usia 5 tahun.2
dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 5,8 :
Standar emas diagnosis BAE adalah
1. Angka kejadian tertinggi terdapat pada rentang
esofagoskopi yang sekaligus berperan untuk
usia 4-10 tahun yaitu 10 orang (24,3%). Benda asing
penatalaksanaan. Penatalaksanaan BAE dengan
terbanyak berupa koin dan daging masing-masing 9
endoskopi relatif aman dengan kemungkinan
penderita (22%).
komplikasi sebesar 1%. Komplikasi pada kasus BAE
dapat terjadi karena benda itu sendiri atau pada
proses pengambilan.3 Meskipun angka kejadian
komplikasi relatif kecil, namun tidak jarang
memerlukan tindakan operatif untuk
penatalaksanaan komplikasi tersebut. Seorang
dokter THT diharapkan mampu memberikan
edukasi untuk mencegah, melakukan tatalaksana,
dan mengatasi komplikasi BAE.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan
data mengenai gambaran penderita BAE yang
dilakukan tindakan esofagoskopi kaku di RSUD Dr.
Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 2014 – 31
Desember 2015. Dengan adanya data dari hasil
penelitian ini diharapkan penangangan BAE dapat
dilaksanakan dengan lebih baik dan optimal,
khususnya di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian
observasional deskriptif retrospektif dengan subyek

400
Tabel 1. Jenis benda asing, usia dan jenis kelamin
Jenis Benda Asing Usia (Tahun) Jumlah
0-3 4-10 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 n (%)
Non makanan 18 (43,9%)
Koin 2 7 - - - - - 9 (22)
Pesawat plastik 1 - - - - - - 1 (2,4)
Gigi palsu tanpa kawat - - 1 1 1 - - 3 (7,3)
Gigi palsu dengan kawat - - 1 1 - - 2 (4,9)
Jarum pentul - - - 1 - - - 1 (2,4)
Kelereng - 1 - - - - - 1 (2,4)
Baterai silinder - 1 - - - - - 1 (2,4)
Makanan 21 (51,2%)
Bawang putih - - - - 1 - - 1 (2,4)
Daging - - - 1 1 3 4 9 (22)
Daging dengan tulang - - - 2 - 1 - 3 (7,3)
Babat - - - - - 1 - 1 (2,4)
Kikil - - - 2 - 1 1 4 (9,8)
Tulang rawan - - - - - 1 1 2 (4,9)
Kulit mangga 1 - - - - - - 1 (2,4)
Benda asing (-) - 1 - - 1 - - 2 (4,9)
Jumlah (%) 4 (9,8) 10 (24,3) 2 (4,9) 7 (17,1) 5 (12,2) 7 (17,1) 6 (14,6) 41 (100)
Laki-laki 4 9 2 5 3 7 5 35 (85,4)
Perempuan - 1 - 2 2 0 1 6 (14,6)
Jumlah (%) 4 (9,8) 10 (24,3) 2 (4,9) 7 (17,1) 5 (12,2) 7 (17,1) 6 (14,6) 41 (100)

Faktor risiko terbanyak adalah penggunaan Tabel 3. Kombinasi Gejala


Faktor Risiko Jumlah
gigi palsu pada 7 penderita (17,1%) (tabel 2). Gejala n %
yang paling banyak dialami adalah disfagia pada 26 Sulit/ tidak bisa makan dan minum 17 41,5
Sulit/ tidak bisa makan minum, rasa 1 2,4
penderita (63,4%) diikuti odinofagia pada 12 mengganjal
Sulit/ tidak bisa makan 3 7,3
penderita (29,3%) (tabel 3).
Sulit/ tidak bisa makan, nyeri telan 1 2,4
Tabel 2. Faktor Risiko Sulit/ tidak bisa makan, rasa 4 9,8
Faktor Risiko Jumlah mengganjal
n % Nyeri telan, rasa mengganjal 4 9,8
Gigi banyak yang tanggal, geraham (-) 5 12,2 Nyeri telan 6 14,6
Gigi palsu 6 14,6 Rasa mengganjal 1 2,4
Gigi palsu, stroke 1 2,4 Tidak mau makan minum, nyeri telan 1 2,4
Kebiasaan menggigit jarum 1 2,4 Tidak mau makan minum 1 2,4
Gangguan pertumbuhan 1 2,4 Keluhan (-) 2 4,9
Faktor risiko (-) 27 65,9 Jumlah 41 100
Jumlah 41 100 Hasil foto rontgen pada 18 penderita
(43,9%) menunjukkan gambaran radioopak, 17
penderita (41,5%) tidak menunjukkan gambaran
benda asing, dan 6 penderita (14,6%) menunjukkan
gambaran air trapping.

401
Tabel 4. Hasil Foto Radiologi
Foto Rontgen Temuan Benda Asing Jumlah Tabel 5. Letak benda Asing Esofagus
Saat Operasi
Letak Benda Asing (penyempitan) Jumlah
Ada Tidak
n %
ada
I 12 29,3
n % n % n %
I-II 12 29,3
Tidak tampak 16 39,1 1 2,4 17 41,5
II 5 12,2
benda asing
II-III 2 4,9
Air trapping 6 14,6 - - 6 14,6
III 2 4,9
Gambaran 17 41,5 1 2,4 18 43,9
III-IV 2 4,9
radioopak
IV 3 7,3
Jumlah 39 95,2 2 4,8 41 100
Posterior aritenoid 1 2,4
Letak BAE terbanyak pada penyempitan I BA tidak ada 2 4,9
Jumlah 41 100
dan di antara penyempitan I dan II, pada 12
penderita (29,3%). Komplikasi terjadi pada 13 Tabel 6. Jenis Benda Asing yang Menyebabkan
Komplikasi
penderita (31,7%) dengan 11 (26,8%) penderita
Jenis Benda Asing Jumlah (%)
berupa BAE tajam. Sebanyak 3 penderita (7,3%)
Tajam Pesawat plastik 1 (2,4)
menjalani perawatan lebih dari 7 hari. Sebanyak 3 Gigi palsu tanpa kawat 3 (7,3)
Gigi palsu dengan kawat 2 (4,9)
penderita (7,3%) menjalani perawatan lebih dari 7 Jarum pentul 1 (2,4)
Daging dengan tulang 3 (7,3)
hari.
Tulang ikan 1 (2,4)
Tumpul Daging 1 (2,4)
Kikil 1 (2,4)
Jumlah 13 (31,7)

Tabel 7. Komplikasi, Lama Perawatan, dan Hasil Tatalaksana Komplikasi

Komplikasi Lama perawatan (hari) Jumlah Hasil


1-3 4-7 >7 n (%) tatalaksana
komplikasi
Komplikasi (+) 13 (31,7)
Laserasi esofagus 4 3 - 7 (17,1) Sembuh
Laserasi esofagus, pneumonia, sepsis, - 1 - 1 (2,4) Meninggal
meninggal
Hiperemi dan edema esofagus 2 - - 2 (4,9) Sembuh
Laserasi esofagus, perforasi esofagus, - - 1 1 (2,4) Benda asing
pneumotoraks, efusi pleura, tetap di
pneumomediastinum, emfisema subkutis, mediastinum
supra ventrikular takikardi, migrasi benda asing
ke mediastinum
Laserasi, perdarahan, dan granulasi esofagus, - - 1 1 (2,4) Sembuh
perforasi esofagus, pneumonia, atelektasis,
emfisema subkutis, pneumomediastinum,
migrasi benda asing retroesofageal
Perforasi esofagus, fistula trakeoesofagus, - - 1 1 (2,4) Sembuh
pneumonia, sepsis
Komplikasi (-) 28 - - 28 (68,3)
Jumlah (%) 34 (82,9) 4 (9,8) 3 (7,3) 41 (100)

402
DISKUSI sempurna serta koordinasi elevasi laring dan
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa laki- penutupan glotis saat menelan kurang terkontrol.6, 7
laki lebih banyak dibanding perempuan dengan Benda asing esofagus terbanyak pada usia
perbandingan 5,8 : 1. Hussain, dkk serta Onotai dan dewasa adalah daging dan diikuti gigi palsu pada 9
Etawo melaporkan perbandingan laki-laki dan (22%) dan 5 (12,2%) penderita. Total BAE makanan
perempuan 1,6 : 1 dan 1,7:1.4, 5 Gilyoma dan Chalya pada dewasa ada 20 kasus (48,2%). Data ini sesuai
menyatakan bahwa penyebab kasus BAE pada laki- dengan hasil penelitian Hussain, dkk, serta Onotai
laki lebih banyak dibanding pada perempuan dan Etawo yang menyatakan bahwa BAE terbanyak
kemungkinan disebabkan lak-laki cenderung lebih pada orang dewasa adalah gigi palsu, daging, dan
6
aktif, terutama pada kasus anak-anak. Angka tulang.4, 5 Penyebab BAE pada orang dewasa antara
kejadian tertinggi kasus BAE yang dilaporkan oleh lain makan sambil berbicara atau tertawa, kurang
Hussain, dkk, serta Onotai dan Etawo yaitu pada berhati-hati saat makan, banyaknya gigi yang
usia 0 - 10 tahun berurutan sebesar 60,37%, dan tanggal, pemakaian gigi palsu, dan gangguan
4, 5
47,14%. Pada penelitian ini didapatkan 14 kasus mental.6 Pada penelitian ini, faktor risiko terbanyak
(34,1%) kejadian usia 0-10 tahun dengan benda adalah pemakaian gigi palsu pada 7 penderita
asing terbanyak berupa koin yaitu pada 9 penderita (17,1%), di mana 5 (12,2%) di antaranya menjadi
(22%). Hal ini sesuai dengan penelitian Gilyoma dan BAE. Gigi palsu yang tertelan bisa disebabkan
Chalya, serta Hussain, dkk, yang mendapatkan hasil karena makanan yang keras, mengunyah terlalu
BAE terbanyak pada anak-anak adalah koin. Selain cepat, serta ketidakpatuhan memeriksakan gigi
koin, BAE yang sering didapatkan pada anak-anak palsu ke dokter gigi.5 Pada penderita dengan gigi
adalah baterai, mainan, kelereng, dan bahan dari palsu terdapat 1 orang yang mengalami defisit
logam.4, 6 neurologis akibat stroke. Adanya penurunan refleks
Kejadian BAE pada anak dapat diakibatkan muntah menyebabkan pasien tidak menyadari
oleh sifat anak yang aktif dan kurangnya dirinya tertelan gigi palsu pada saat tidur.
pengawasan. Tidak jarang anak-anak bermain Didapatkan pula 2 kasus BAE daging ayam yang
dengan menjepit barang-barang atau mainan dialami oleh penderita yang sama yang
dengan bibir. Usia 1-3 tahun merupakan fase menggunakan gigi palsu. Selain itu, didapatkan
eksplorasi oral, di mana rasa ingin tahu anak yang faktor risiko tidak adanya gigi geraham pada 5
besar dan kemampuan anak membedakan benda penderita (12,2%). Akibatnya penderita kurang
yang dapat dimakan atau tidak belum sempurna. mampu menghaluskan bolus makanan. Hal ini
Selain itu, pada usia di bawah lima tahun, sebagian sesuai dengan temuan BAE kelima penderita yaitu
anak memiliki kebiasaan untuk memasukkan benda- berupa makanan.
benda pada lubang yang ada pada tubuh seperti Gejala terbanyak yang dialami oleh
hidung, telinga, dan mulut. Faktor fisiologis juga penderita BAE adalah sulit/ tidak bisa makan dan
berperan, misalnya gigi geraham belum tumbuh atau minum yang dialami oleh 26 penderita
(63,4%), diikuti gejala nyeri telan yang dialami oleh
403
12 penderita (29,3%). Hal ini sesuai dengan Hussain, esofagoskopi kaku. Pada kasus BAE non radioopak
dkk yang menyatakan bahwa gejala BAE yang paling atau benda-benda kecil, misalnya duri ikan, dapat
sering dikeluhkan adalah disfagia dan odinofagia.4 dipertimbangkan pemeriksaan radiologi dengan
Dari 41 penderita, ada 2 (4,9%) yang tidak barium swallow dan kapas. Benda asing yang
mengeluhkan gejala. Satu di antaranya adalah bersifat radiolusen bisa menunjukkan adanya
penderita BAE gigi palsu yang mengalami defisit gambaran air trapping.
neurologis akibat stroke, di mana penderita sudah Secara umum, BAE harus dikeluarkan dalam
tidak bisa makan dan minum sejak 2 hari sebelum waktu 24 jam. Semakin lama BA di dalam esofagus
tertelan gigi palsu. Keluarga baru menyadari bahwa semakin besar pula risiko komplikasi yang dapat
gigi palsu penderita tidak ada saat akan terjadi.2 Setiap BAE memiliki kesulitan yang
membersihkan rongga mulut pasien. Kasus lain berbeda-beda dalam proses ekstraksi. Dari 39
tanpa gejala adalah anak usia 3 tahun dengan BAE penderita dengan benda asing yang terlihat saat
koin. Hal ini dapat terjadi terkait dengan posisi dilakukan esofagoskopi kaku ada 3 BAE yang tidak
benda asing koin yang tersangkut pada posisi terekstraksi yaitu pesawat plastik, gigi palsu dengan
vertikal sehingga tidak menyebabkan sumbatan kawat, dan kelereng. Selain itu, ada 1 BAE yang
pada esofagus. terekstraksi sebagian yaitu gigi palsu dengan kawat.
Foto radiologi berperan penting dalam Adanya laserasi, edema, dan perdarahan esofagus,
diagnosis BAE, meskipun tidak semua BAE dapat serta kemungkinan BAE tajam tertancap pada
terlihat dari foto rontgen. Dari 17 penderita (43,9%) dinding esofagus membuat BAE sulit bahkan gagal
dengan gambaran radioopak didapatkan 1 diekstraksi. Ukuran BAE juga dapat mempengaruhi
penderita dengan gambaran koin yang tidak upaya ekstraksi BAE. Dari penelitian oleh Park, dkk
berhasil ditemukan benda asing saat dilakukan didapatkan hasil rata-rata ukuran benda asing yang
esofagoskopi kaku. Hal ini disebabkan BAE koin gagal diekstraksi (3,6 cm) umumnya lebih besar
telah masuk ke lambung pada saat akan dilakukan dibandingkan rata-rata ukuran benda asing yang
9
esofagoskopi atau saat dilakukan esofagoskopi di berhasil diekstraksi (2,7 cm). Untuk BAE kelereng
mana terjadi relaksasi otot esofagus akibat bisa digunakan dormia basket untuk ekstraksi.10
pengaruh obat anestesi.5 Foto rontgen awal Pada penelitian Nwaorgu, et al yang dikutip
dilakukan lebih dari 8 jam sebelum tindakan oleh Onotai dan Etawo, menyatakan bahwa BAE
esofagoskopi. Holinger menyatakan bahwa terbanyak ditemukan pada sfingter esofagus atas
sebagian besar BAE koin dapat masuk ke lambung dan juga pintu masuk esofagus di toraks.5 Hasil
secara spontan dalam 8-16 jam. Untuk itu, foto penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
polos sebaiknya diulang sebelum tindakan.8 Nwaorgu, et al di mana letak terbanyak
Pada 16 penderita (41,5%) yang tidak ditemukannya benda asing adalah pada
tampak gambaran benda asing, didapatkan 1 penyempitan I serta di antara penyempitan I dan II,
penderita dengan kecurigaan benda asing duri ikan yaitu masing-masing sebanyak 12 penderita
yang tidak ditemukan benda asing saat dilakukan (29,3%).
404
Komplikasi pada kasus BAE dapat terjadi mediastinum menjalani pembedahan median
karena benda asing itu sendiri atau pada proses sternotomi dan gastrostomi.
ekstraksi. Perlukaan esofagus lebih sering
disebabkan oleh tindakan esofagoskopi yang KESIMPULAN
dilakukan karena penggunaan instrumen dan teknik Pencegahan tertelannya benda asing ke
operasi yang tidak tepat, serta terlalu memaksakan dalam esofagus tergantung pada setiap individu itu
untuk ekstraksi benda asing. Pada penelitian ini sendiri. Diperlukan edukasi berkesinambungan pada
didapatkan komplikasi pada 13 penderita (31,7%), masyarakat untuk mencegah terjadinya kasus
dengan 11 (26,8%) di antaranya merupakan kasus benda asing esofagus.
BAE tajam, termasuk 3 penderita dengan perforasi
esofagus yang disertai dengan fistula DAFTAR PUSTAKA
trakeoesofageal, migrasi benda asing ke 1. Yunker WK, Friedman EM. Ingestion Injuries
mediastinum, dan ke retroesofageal. Athanassiadi, and Foreign Bodies in the Aerodigestive Tract.
dkk menyatakan bahwa risiko komplikasi akibat BAE In: Johnson JT, Rosen CA, editors. Bailey's Head
11
tajam adalah sekitar 35%. and Neck Surgery-Otolaryngology. 5th ed.
Adanya komplikasi berpengaruh terhadap Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
lama perawatan. Ada 7 penderita yang mengalami 2014. p. 1399-1407.
komplikasi menjalani perawatan lebih dari 3 hari. 2. Uyemura MC. Foreign body ingestion in
Tiga penderita dengan lama perawatan 4-7 hari children. Am Fam Physician. 2005; 72(2):287-
mendapatkan terapi medikamentosa dan 91.
pemasangan NGT. Satu penderita BAE gigi palsu 3. Chirica M, Champault A, Dray X, Sulpice L,
yang gagal terekstraksi dengan riwayat stroke Munoz-Bongrand N, Sarfati E, et al. Esophageal
menjalani perawatan selama 7 hari dengan perforations. J Visc Surg. 2010; 147(3):e117-28.
mendapatkan terapi medikamentosa saja DOI:10.1016/j.jviscsurg.2010.08.003.
dikarenakan keluarga pasien menolak untuk 4. Hussain G, Iqbal M, Ihsanullah, Hussain M, Ali
dilakukan tindakan apa pun selain pemberian obat- S. Esophageal Foreign Bodies: an Experience
obatan. Pasien meninggal dunia pada hari With Rigid esophagoscope. Gomal Journal of
perawatan ke 7 akibat kondisi sepsis. Tiga penderita Medical Science. 2010; 8:218-220.
dengan komplikasi perforasi esofagus yang masing 5. Onotai LO, Etawo US. The Challenges of Rigid
masing disertai dengan fistula trakeoesofageal, esophagoscopy in the management of
migrasi benda asing ke mediastinum, dan migrasi esophageal foreign bodies in Port Harcourt.
benda asing ke retroesofageal menjalani perawatan International Journal of Medicine and Medical
28 hari, 31 hari, dan 28 hari. Penderita dengan Sciences 2012; 2:107-113.
komplikasi migrasi benda asing ke retroesofageal 6. Gilyoma JM, Chalya PL. Endoscopic procedures
menjalani pembedahan gastrostomi. Penderita for removal of foreign bodies of the
dengan komplikasi migrasi benda asing ke aerodigestive tract: The Bugando Medical
405
Centre experience. BMC Ear, Nose and Throat
Disorders [journal article]. 2011; 11(1):1-5.
DOI:10.1186/1472-6815-11-2.
7. Eisen GM, Baron TH. Guideline Management of
Ingested Foreign Bodies and Food Impactions.
In: Gastrointestinal Endoscopy; 2011. p. 1085-
1091.
8. Holinger LD, Poznanovic SA. Foreign Bodies of
the Airway and Esophagus. In: Flint PW,
Haughey BH, Niparko JK, Richardson MA, Lund
VJ, Robbins KT, et al., editors. Cummings
Otolaryngology - Head and Neck Surgery: Head
and Neck Surgery, 3-Volume Set: Elsevier
Health Sciences; 2010. p. 2935-2943.
9. Park Y-K, Kim K-O, Yang J-H, Lee S-H, Jang B-I.
Factors Associated with Development of
Complications After Endoscopic Foreign Body
Removal. Saudi Journal of Gastroenterology :
Official Journal of the Saudi Gastroenterology
Association. 2013; 19(5):230-234.
DOI:10.4103/1319-3767.118136.
10. Soehendra N. Therapeutic Endoscopy: Color
Atlas of Operative Techniques for the
Gastrointestinal Tract. Thieme; 2005.
11. Athanassiadi K, Gerazounis M, Metaxas E,
Kalantzi N. Management of esophageal foreign
bodies: a retrospective review of 400 cases. Eur
J Cardiothorac Surg. 2002; 21(4):653-6.

406
Laporan Penelitian

PERAN DECTIN-1 PADA RINOSINUSITIS KRONIS JAMUR

Dhaniel Abdi Wicaksana, Rus Suheryanto, Iriana Maharani


Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala dan Leher FKUB-RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang

ABSTRAK
Latar Belakang: Rinosinusitis kronis jamur merupakan permasalahan kesehatan yang penting karena
dampak yang besar terkait penurunan kualitas hidup serta penanganan medis yang lebih sulit serta
prevalensinya yang cenderung meningkat. Saat ini terbuka peluang untuk dapat mengevaluasi prognosis
serta terapi target bagi penderita rinosinusitis kronis jamur dengan memanfaatkan dectin-1 yang
merupakan reseptor spesifik β-glucan yang merupakan komponen terbesar penyusun dinding sel jamur.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar dectin-1 jaringan sinus dan serum darah sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan evaluasi prognosis dan terapi target bagi penderita rinosinusitis kronis
jamur. Metode: Penelitian cross sectional ini melibatkan 20 subyek penelitian yang telah dilakukan
pengambilan darah dan pembedahan sinus maksilaris untuk pengambilan jaringan mukosa dan dilanjutkan
identifikasi jamur pada mukosa sinus dengan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Bila
didapatkan spesies jamur yang memiliki β-glucan, dilanjutkan dengan pemeriksaan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) untuk pengukuran kadar dectin-1. Hasil: Aspergillus flavus merupakan jamur
yang paling banyak ditemukan. Rerata dectin-1 mukosa sinus maksilaris adalah 1279,55 ± 383,302 pg/mL,
sedangkan pada darah 1233,55 ± 556,045 pg/mL. Selanjutnya berdasarkan uji t berpasangan didapatkan
nilai p = 0,783 yang menunjukkan dectin-1 dalam darah dapat menggambarkan kadar dectin-1 pada sinus
paranasal. Kesimpulan: Dectin-1 serum darah dapat dimanfaatkan sebagai penentuan prognosis penderita
infeksi jamur tanpa memerlukan tindakan invasif.

Kata kunci: Rinosinusitis kronis jamur, β-glucan, dectin-1

ABSTRACT
Background: Fungal chronic rhinosinusitis is a major health problem because of the large impacts
associated with declining quality of life and difficult medical treatment as well as the prevalence that tends
to increase. There is an opportunity to evaluate the prognosis as well as target therapy for chronic fungal
rhinosinusitis by utilizing dectin-1 which is a specific receptor of β-glucan, which is the largest component of
fungal cell wall. Purpose: To discover the correlation of dectin-1 level in paranasal sinus tissue and blood
serum as a potentially evaluation of prognosis and target therapy for patients with chronic fungal
rhinosinusitis. Methods: This was a cross sectional study which involved 20 subjects. Blood sampling and
maxillary sinus surgery were performed, then fungi identification in the sinus mucosa was done by
polymerase chain reaction PCR technique. If a fungi species with β-glucan was found, then the examination
was continued with the measurement of dectin-1 by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
technique in sinus and blood. Results: Aspergillus flavus is the most commonly found fungus. The mean
dectin-1 of maxillary sinus mucosa was 1279.55 ± 383,302 pg / mL, whereas in blood 1233.55 ± 556,045 pg
/ mL. Based on paired t test, there was no significant difference (p = 0,783) which showed dectin-1 in blood
can describe dectin-1 level in paranasal sinus. Conclusion: Dectin-1 blood serum can be used as a
determination of the prognosis of fungal infections without the need for invasive procedure.

Keywords: Fungal chronic rhinosinusitis, β-glucan, dectin-1


Korespondensi:
dr. Dhaniel Abdi Wicaksana
Email : dhanielabdi@gmail.com
Formatted: Font: Bold

Vol 3, No. 1, Jan - Apr 2018

407
Pendahuluan perhatian karena dinilai menyebabkan dampak yang
Rinosinusitis kronis merupakan peradangan besar baik terkait keluhan penderita yang berat,
pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang penurunan kualitas hidup serta penanganan medis
memiliki karakteristik berupa dua atau lebih gejala, yang lebih sulit bila dibandingkan dengan
6
salah satunya harus berupa hidung tersumbat / rinosinusitis kronis akibat penyebab lain.
obstruksi / kongesti atau sekret hidung (anterior / Tidak semua spesies jamur dapat ditemukan
posterior nasal drip), serta didapatkan temuan lain terkait pada kejadian rinosinusitis kronis. Beberapa
yang dapat berupa gejala nyeri / rasa tertekan pada spesies jamur yang dicurigai berperan dalam
daerah wajah atau berkurang / hilangnya fungsi rinosinusitis kronis, yaitu dari golongan Alternaria,
penghidu, atau pada pemeriksaan endoskopi Aspergillus, Candida, Penicillium, dan lain-lain.
ditemukan polip hidung dan atau sekret Keberagaman spesies yang terkait dengan infeksi
mukopurulen yang berasal dari meatus media dan jamur pada tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh
atau edema / obstruksi mukosa pada meatus media keadaan / lokasi geografis dari penderita, namun di
dan atau perubahan mukosa pada kompleks antara beberapa spesies tersebut, Candida dan
osteomeatal dan atau sinus dari pemeriksaan CT Aspergillus memperoleh perhatian yang lebih
Scan yang telah berlangsung ≥ 12 minggu tanpa karena merupakan jamur yang paling sering
resolusi gejala yang lengkap. Data dari poliklinik ditemukan sebagai patogen dan cukup sering
rinologi Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung menyebabkan kematian penderitanya.4 Penelitian
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher (IK THT-KL) Maharani et al.,5 menemukan Aspergillus flavus
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Saiful Anwar, pada 21 dari 29, sementara Candida spp. (C.
rinosinusitis kronis menempati peringkat ke-1 (28% albicans dan C. parapsilosis) pada 17 dari 29
kasus) dari jumlah kunjungan sepanjang tahun penderita rinosinusitis kronis yang menjalani irigasi
1-3
2016. sinus maksilaris.
Sejak tiga dekade terakhir, terlebih dengan Baik Candida spp., Aspergillus spp. serta
meningkatnya kasus acquired immunodeficiency beberapa spesies jamur lainnya memiliki kesamaan
syndrome (AIDS) serta meningkatnya jumlah yaitu memiliki β-glucan yang merupakan suatu
tranplantasi organ dan terapi kanker di dunia yang polimer glukosa atau polisakarida pada bagian
menyebabkan meningkatnya jumlah penderita dalam dinding sel beberapa spesies jamur yang
dengan penurunan fungsi sistem imun juga turut berperan dalam aktivasi leukosit, stimulasi respon
menyebabkan peningkatan prevalensi rinosinusitis fagositosis dan sitotoksis, serta produksi reactive
4 5
kronis karena jamur. Maharani et al., melaporkan oxygen species dan reactive nitrogen species pada
seluruh penderita rinosinusitis kronis di RSUD dr. tubuh pejamu.7, 8
Agar peran β-glucan sebagai
Saiful Anwar, Malang yang mengikuti penelitiannya, imunomodulator dapat dicapai, dibutuhkan peran
ditemukan jamur dengan pemeriksaan polymerase reseptor pada tubuh pejamu untuk dapat
chain reaction (PCR) dari sampel cairan bilasan sinus mengenali β-glucan, dan peran tersebut dijalankan
maksilaris. Rinosinusitis kronis jamur menjadi oleh dendritic-cell-associated C-type lectin-1 (dectin-
408
1) yang merupakan reseptor spesifik utama β- banyaknya pembahasan terkait dectin-1, khususnya
glucan. Sebagai komponen sistem imun inat, dectin- kemungkinan pemanfaatan sebagai penilaian
1 akan bersirkulasi secara sistemik dan dapat masuk prognosis penderita, maka peneliti tertarik untuk
ke jaringan mengikuti sel pembawanya. Induksi melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal
respon imun melalui aktivasi dectin-1 dengan tersebut. Diharapkan penelitian ini dapat
mengenali β-glucan merupakan fondasi yang memberikan tambahan pengetahuan dan dapat
penting untuk respon sistem imun adaptif, dan akan dimanfaatkan dalam mempermudah diagnosis
menyebabkan rekrutmen neutrofil dalam jumlah penderita rinosinusitis kronis akibat jamur di masa
besar untuk membantu eliminasi jamur pada yang akan datang, serta memberikan data dasar
jaringan. Dectin-1 dibutuhkan dalam jumlah cukup bagi penelitian selanjutnya.
untuk dapat memberikan efek protektif dengan
perantaraan sel T helper (Th)1 atau Th17 terhadap METODE
invasi jamur ke tubuh pejamu, dan menekan respon Penelitian ini merupakan penelitian analitik
alergi akibat dominasi Th2 yang cenderung observasional dengan pendekatan cross sectional
memberikan dampak negatif bagi tubuh pejamu. untuk mengetahui hubungan antara kadar dectin-1
Karena kemampuannya untuk memodulasi sistem jaringan sinus dan serum darah pada penderita
imun dan melawan jamur yang menginvasi tubuh rinosinusitis maksilaris kronis jamur di RSUD dr.
penjamu, stimulasi terhadap dectin-1 dapat Saiful Anwar, Malang. Penelitian akan dilakukan
dipertimbangkan untuk terapi target. Akan tetapi setelah didapatkan ethical clearence dan dilakukan
penelitian terkait β-glucan dan dectin-1 pada mulai bulan September 2016 hingga September
penderita rinosinusitis kronis, baik terkait kadar 2017. Berdasarkan perhitungan didapatkan besar
maupun respon sistem imun yang terjadi di jaringan sampel minimal sebanyak 20 orang. Pengambilan
sinus atau sistemik hingga saat ini jumlahnya sangat sampel pada penelitian ini menggunakan tehnik
terbatas. Penulis hanya mendapatkan sebuah consecutive sampling hingga besar sampel
literatur yang melaporkan kaitan dectin-1 dengan terpenuhi.
kejadian polip hidung dan belum didapatkannya Sampel penelitian adalah penderita
literatur mengenai β-glucan dan kaitannya terhadap rinosinusitis maksilaris kronis jamur dengan atau
4, 7-14
kejadian rinosinusitis kronis. tanpa polip hidung yang datang berobat ke
Stimulasi dectin-1 yang dapat memberikan efek poliklinik IK THT-KL RSUD dr. Saiful Anwar, Malang
protektif tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria
terapi target, dan karena peran dalam stimulasi inklusi pada penelitian ini adalah penderita berusia
sistem imun maka penilaian kadarnya dapat lebih dari atau sama dengan 18 tahun saat
dipertimbangkan sebagai penilaian prognosis dilakukannya penelitian, yang menjalani
penderita rinosinusitis kronis jamur. Namun karena pengobatan dengan pembedahan sinus paranasal
masih belum dipahaminya secara penuh dan pada pemeriksaan PCR didapatkan jamur yang
patofisiologi rinosinusitis kronis jamur dan belum memiliki β-glucan dan penderita bersedia untuk ikut
409
serta dalam penelitian dengan menandatangani identifikasi jamur yang memiliki β-glucan, meliputi
pernyataan bersedia ikut serta dalam penelitian Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Candida
setelah mendapatkan penjelasan. Penderita albicans, Candida parapsilosis, dan Cryptococcus
dieksklusikan bila saat diagnosis ditegakkan sedang neoformans. Pemeriksaan PCR menggunakan
menjalani pengobatan dengan anti jamur baik instrumen Jena Bioscience® DNA Preparation Kit,
sistemik maupun topikal selama ≥ 4 minggu, atau Intron Maxime® PCR Premix (master mix), DNA
dengan kortikosteroid sistemik selama ≥ 7 hari marker, IDT® Primer DNA. Baik pemeriksaan PCR
dengan dosis setara metilprednisolon 40 mg/hari dan ELISA dilakukan di Laboratorium Ilmu Faal FK
atau kortikosteroid topikal selama ≥ 1 bulan Universitas Brawijaya, Malang. Penderita yang tidak
dengan dosis setara flutikason propionat 400 memenuhi kriteria inklusi akan dieksklusikan dan
mcg/hari. tetap mendapat penanganan sesuai dengan
Penderita rinosinusitis maksilaris kronis yang panduan praktek klinis yang berlaku.
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta Semua data yang diperoleh akan diolah
bersedia mengikuti penelitian, sebagai bagian dari menggunakan program Statistical Package for the
pemeriksaan darah sebelum menjalani Social Sciences (SPSS) 23.0.0. Kadar rata-rata dectin-
pembedahan sinus maksilaris, dilakukan 1 dalam jaringan sinus maupun serum darah akan
pengambilan darah sebanyak 3 mL untuk dianalisis secara statistik deskriptif dan hasil akan
pemeriksaan ELISA dectin-1 dan disimpan dalam disajikan dalam bentuk tabel frekuensi distribusi.
tabung vacutainer dengan Data hubungan antara peningkatan kadar dectin-1
ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA). Penderita dari jaringan mukosa sinus maksilaris dengan serum
kemudian menjalani pembedahan dengan darah, pertama dilakukan uji normalitas untuk
anthrostomi anterior (punksi fossa kanina atau mengetahui apakah data tersebut berdistribusi
Caldwell Luc) yang dapat dengan pembiusan umum normal dengan menggunakan uji Shapiro Wilk ,
maupun lokal oleh dokter supervisor divisi rinologi dilanjutkan dengan analisa menggunakan uji T
Departemen IK THT-KL RSUD dr. Saiful Anwar / berpasangan jika memenuhi distribusi normal. Jika
Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Brawijaya. tidak memenuhi distribusi normal, maka akan
Pada pembedahan tersebut dilakukan pengambilan digunakan tes alternatifnya yaitu uji Wilcoxon.
spesimen jaringan mukosa sinus maksilaris, Perbedaan dikatakan bermakna apabila didapatkan
disimpan dalam wadah steril dan selama transpor p < 0,05.
spesimen dengan menggunakan kotak pendingin
yang untuk selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan HASIL
ELISA dectin-1. Pemeriksaan ELISA tersebut Pada periode penelitian, 24 penderita
menggunakan Finetest® Human Dectin-1 ELISA Kit. rinosinusitis maksilaris kronis dengan atau tanpa
Penderita akan ditetapkan menjadi subyek polip hidung menjalani pembedahan sinus
penelitian setelah spesimen yang diambil dengan maksilaris. Setelah dilakukan pemeriksaan PCR,
pembedahan kemudian diperiksa dengan PCR untuk kemudian ditetapkan 20 penderita rinosinusitis
410
maksilaris kronis jamur yang memenuhi kriteria spesies jamur seperti tercantum pada tabel 2. Hal
inklusi dan eksklusi untuk menjadi subyek tersebut menunjukkan bahwa mayoritas dari
penelitian. Identifikasi jamur merupakan proses kejadian rinosinusitis kronis jamur (70%) dalam
penting namun sulit dilakukan karena berbagai penelitian ini sebagai suatu kelainan yang
keterbatasan dari pemeriksaan penunjang yang disebabkan multifungal.
tersedia. PCR meskipun mahal dan sulit untuk Tabel 2. Distribusi jumlah spesies jamur tiap subyek
penelitian
dilakukan, merupakan pemeriksaan yang memiliki Subyek penelitian
Jumlah spesies n
sensitivitas dan spesifisitas paling tinggi %
dibandingkan pemeriksaan lain dalam membantu 4 2 10
3 3 15
identifikasi jamur. Pada penelitian ini, spesimen 2 9 45
mukosa sinus maksilaris diperiksa dengan PCR dan 1 6 30

dari lima spesies yang diidentifikasi, diperoleh


Dectin-1 sebagai reseptor spesifik dari β-
Aspergillus flavus merupakan jamur yang paling
glucan, akan mengalami peningkatan ekspresi bila
banyak ditemukan dalam penelitian ini (14 orang),
terstimulasi β-glucan. Dalam penelitian ini
diikuti Aspergillus fumigatus ditemukan pada 13
didapatkan rerata dectin-1 mukosa sinus maksilaris
orang, Candida albicans 10 orang, Cryptococcus
adalah 1279,55 ± 383,302 pg/mL, sedangkan pada
neoformans 3 orang dan Candida parapsilosis 2
darah 1233,55 ± 556,045 pg/mL. Data dectin-1 yang
orang seperti tercantum pada tabel 1.
telah didapatkan kemudian dilanjutkan uji
Tabel 1. Distribusi jamur dengan β-glucan
normalitas dengan uji Shapiro Wilk dan data
Subyek
Spesies penelitian dinyatakan memiliki distribusi normal baik untuk
n % dectin-1 mukosa (p = 0,094), dan dectin-1 darah (p =
Aspergillus flavus 14 70
Aspergillus fumigatus 13 65 0,282). Selanjutnya karena didapatkan distribusi ke-
Candida albicans 10 50 2 data normal dan variabel numerik, dapat
Cryptococcus neoformans 3 15
Candida parapsilosis 2 10 dilakukan uji t berpasangan untuk mengetahui
hubungan antara dectin-1 mukosa dan darah.
Berdasarkan jumlah spesies jamur yang Didapatkan perbedaan dectin-1 mukosa dengan
ditemukan pada subyek penelitian, didapatkan 45% darah tidak bermakna (p = 0,783) yang
subyek penelitian dengan dua spesies jamur yang menunjukkan bahwa kadar dectin-1 darah tidak
memiliki β-glucan, 30% dengan jamur tunggal, 15% berbeda bermakna atau dapat menggambarkan
dengan tiga spesies jamur, dan 10% dengan 4 kadar dectin-1 pada mukosa sinus paranasal.
Tabel 3. Kadar dan hubungan dectin-1 mukosa sinus maksilaris dengan serum darah

Rerata ± SD Median (Min-Maks) Uji Normalitas


Dectin-1 n p
(pg/mL) (pg/mL) p
Mukosa 20 1279,55 ± 383,302 1148 (716 - 1909) 0,094
0,783
Darah 20 1233,55 ± 556,045 1195 (161 - 2098) 0,282

411
DISKUSI fumigatus, Aspergillus flavus dan Candida
15, 16
Rinosinusitis kronis merupakan penyakit albicans. Setelah dilakukan pembedahan
dengan prevalensi yang tinggi dan hingga saat ini terhadap 20 penderita rinosinusitis maksilaris kronis
telah terdapat beberapa panduan untuk membantu yang dan dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR,
penegakan diagnosis, salah satunya adalah menurut diperoleh Aspergillus flavus merupakan jamur
European Position Paper on Rhinosinusitis and penyebab terbanyak (70% subyek penelitian). Hasil
Nasal Polyps (EP3OS). Berbagai panduan tersebut tersebut dapat berbeda dengan literatur yang
menggabungkan antara keluhan subyektif penderita disebabkan oleh faktor geografis, tingkat
dengan temuan klinis baik dari pemeriksaan fisik kelembapan udara dan iklim. Pada penelitian ini
1, 6
maupun pemeriksaan penunjang. Setelah dilakukan pengambilan sampel langsung dari sinus
diagnosis ditegakkan dan penderita telah mendapat maksilaris melalui antrostomi anterior agar dapat
tatalaksana sesuai dengan algoritma yang ada menghindari kontaminasi dari rongga hidung dan
namun tidak mampu untuk mengatasi rinosinusitis sampel disimpan pada tempat khusus yang steril.
kronis, perlu dicurigai bahwa penyebabnya adalah Penelitian ini mendapatkan bahwa 70% subyek
infeksi jamur dan untuk membuktikannya penelitian ditemukan jamur lebih dari satu spesies
dibutuhkan pemeriksaan lanjutan yang tidak jarang atau multifungal, hal tersebut sesuai dengan
bersifat invasif, sehingga penderita merasa tidak penelitian Suresh et al.,17 dan Maharani et al.,5 yang
nyaman dan enggan menjalaninya. Algoritma mendapat mayoritas subyek penelitian dengan
tatalaksana rinosinusitis kronis jamur sendiri hingga jumlah jamur lebih dari satu spesies. Rinosinusitis
saat ini belum tersedia, dan pembedahan masih sendiri selama ini telah diketahui sebagai kelainan
merupakan pilihan utama dimana sebagian besar multifaktor, yaitu kelainan yang penyebabnya lebih
penderita masih berusaha menghindarinya. dari satu.1 Namun tingginya kadar β-glucan pada
Rinosinusitis kronis jamur semakin menjadi penelitian ini tampaknya tidak dipengaruhi oleh
perhatian , terlebih semakin meningkatnya kejadian banyaknya spesies pada seorang penderita
infeksi jamur termasuk rinosinusitis jamur pada tiga rinosinusitis kronis jamur seperti pada subyek
1, 7
dekade terakhir. penelitian no. 20 yang hanya ditemukan Aspergillus
Spora jamur berukuran kecil dan mudah fumigatus pada pemeriksaan PCR, akan tetapi
terbawa oleh angin sehingga mudah ditemukan diperoleh kadar β-glucan paling tinggi dibanding
dimanapun dan terhirup oleh manusia, dan subyek penelitian lain. Kadar β-glucan pada
selanjutnya dapat terjadi kolonialisasi pada mukosa penelitian lebih berkaitan dengan densitas
hidung dan sinus paranasal. Tidak semua spesies transiluminasi dari hasil PCR yang menggambarkan
jamur menyebabkan rinosinusitis kronis karena kepadatan DNA dari suatu spesimen.
jamur bersifat oportunis. Beberapa spesies yang Pada penelitian ini, penentuan keterlibatan
menyebabkan kelainan pada manusia memiliki jamur menggunakan metode PCR yang merupakan
dinding sel yang disusun oleh β-glucan. Spesies metode paling sensitif yang tersedia saat ini
yang paling banyak dilaporkan adalah Aspergillus (mencapai lebih dari 90%), dibandingkan metode
412
lain seperti hibridisasi (sensitivitas sekitar 77%) dan 1233,55 ± 556,045 pg/mL pada serum darah. Hasil
kultur (sensitivitas sekitar 51%). Kelemahan dari uji t berpasangan untuk mengetahui hubungan
teknik ini adalah biaya pemeriksaan yang mahal, antara dectin-1 mukosa dan darah, didapatkan
teknik pemeriksaan yang sulit, tidak semua perbedaan dectin-1 mukosa dengan darah tidak
laboratorium dapat melakukan, serta belum bermakna (p = 0,783) yang menunjukkan bahwa
tersedia sistem pemeriksaan komersial untuk kadar dectin-1 darah tidak berbeda bermakna atau
diagnosis (hanya tersedia untuk kepentingan klinis). dapat menggambarkan kadar dectin-1 pada mukosa
Pengambilan sampel juga memiliki peran penting sinus paranasal, sehingga penentuan prognosis
dalam diagnosis karena dapat terjadinya penderita infeksi jamur ini dapat dengan
kontaminasi. Pada penelitian ini dilakukan memanfaatkan pemeriksaan darah tanpa
pengambilan sampel langsung dari sinus maksilaris memerlukan tindakan invasif, meskipun masih
melalui antrostomi anterior dengan pendekatan membutuhkan uji prognostik lebih lanjut.
punksi fossa kanina agar dapat menghindari Tidak disangkal lagi bahwa dectin-1 berperan
kontaminasi dari rongga hidung dan sampel penting dalam respon imun terhadap infeksi jamur
18, 19
disimpan pada tempat khusus yang steril. dan merupakan PRR utama untuk identifikasi jamur.
Dectin-1 merupakan PRR spesifik utama dalam Brown et al.,22 membuktikannya dengan jalan
pengenalan β-glucan yang dapat bekerja sebagai memblok reseptor-reseptor β-glucan dan melihat
reseptor tunggal atau bersama dengan PRR lainnya respon inflamasi yang terjadi setelah aktivasi
4
seperti TLR. Kadar normal dectin-1 dalam tubuh masing-masing reseptor secara bergantian.
manusia saat ini belum diketahui secara pasti Penelitian tersebut menunjukkan dectin-1
karena kadarnya yang berfluktuasi mengikuti merupakan reseptor utama dan imunomodulator
jumlah sel fagosit dan adanya stimulasi jamur pada terbesar sistem imun terhadap pengenalan β-
tubuh manusia, namun diperkirakan dalam keadaan glucan. Akan tetapi dectin-1 tidak selalu dalam
normal tanpa stimulasi adalah sebanyak 5% dari keadaan siap dan diekspresikan dalam jumlah yang
20 21
jumlah neutrofil. Ferwerda et al., melaporkan besar. Terdapat beberapa faktor yang
adanya mutasi, polimorfisme atau defisiensi dectin- mempengaruhi ekspresi dectin-1 pada fagosit.
1 pada neutrofil menyebabkan neutrofil tidak Faktor yang meningkatkan ekspresi dectin-1
mampu memberi proteksi terhadap infeksi jamur meliputi IL-4, IL-13, granulocyte-macrophage
dan menyebabkan infeksi jamur berulang pada colony-stimulating factor (GM-CSF), dan tentu saja
manusia. Keadaan tersebut menunjukkan peluang adanya infeksi jamur. IL-4 dan IL-13 selama ini
pemanfaatan evaluasi kadar dectin-1 sebagai salah dikaitkan dengan inflamasi Th2, namun ternyata
satu faktor penentuan prognosis penderita infeksi juga memiliki kemampuan untuk menstimulasi
jamur, khususnya dalam penelitian ini terkait aktivasi makrofag melalui jalur alternatif. Aktivasi
rinosinusitis kronis jamur. Pada penelitian ini sendiri makrofag tersebut akan memproduksi TNF-α dan
didapatkan rerata kadar dectin-1 pada mukosa sinus mencetuskan inflamasi Th1. GM-CSF memiliki
paranasal adalah 1279,55 ± 383,302 pg/mL dan kemampuan untuk aktivasi respon proinflamasi
413
melalui priming neutrofil dan makrofag terhadap Pada keadaan dimana jumlah patogen lebih
stimulasi mikroba, termasuk jamur sehingga dectin- banyak daripada sel efektor sistem imun tubuh atau
1 akan terekspresikan pada permukaan sel neutrofil pada keadaan produksi sitokin antiinflamasi, seperti
dan makrofag. Sementara yang menurunkan IL-10 sebagai produk metabolit respon imun inat
ekspresi dectin-1 diantaranya adalah IL-10 dan cukup banyak, memberikan negative feedback ke
pemakaian steroid. IL-10 suatu sitokin antiinflamasi sistem imun inat sehingga memungkinkan jamur
yang diproduksi oleh makrofag dan terkait Treg, untuk menginfiltrasi lebih dalam dan mencapai
memiliki peran sebagai negative feedback atau pembuluh darah, hingga dapat terjadi fungaemia.
regulator suatu respon proinflamasi. IL-10 tersebut Pada keadaan sistem imun inat ini tidak cukup kuat
diduga berperan mencegah kerusakan jaringan untuk menghadapi infeksi jamur, tubuh akan
tubuh akibat respon inflamasi berlebihan. mengaktivasi respon imun adaptif. Respon imun
Sedangkan pemakaian steroid dapat menekan adaptif ini dapat mengarah ke inflamasi Th1/Th17
respon proinflamasi, salah satunya dengan atau Th2. Aktivasi sel T tersebut selanjutnya akan
23-25
menekan produksi TNF-α. merekrut sel efektor dalam jumlah besar dari
Respon imun inat dan adaptif saling sirkulasi sistemik dan kemudian diakumulasi ke
berhubungan erat dalam usaha mengeliminasi lokasi infeksi. Sebagian dari sel tersebut juga akan
infeksi jamur, namun pada tahap awal respon imun mengikuti sirkulasi sistemik untuk mengidentifikasi
inat memegang peranan penting, khususnya oleh adanya patogen lain yang terbawa sirkulasi
neutrofil dan makrofag. Respon imun inat ini akan sistemik. Pada keadaan tersebut dapat terjadi
berusaha secara lokal di mukosa sinus paranasal peningkatan ekspresi dectin-1 pada sirkulasi
untuk mengatasi infeksi jamur. Sel-sel fagosit dapat sistemik meskipun secara umum proses tersebut
bekerja sebagai pengenal adanya patogen dan sel belum sepenuhnya dipahami, namun diduga
25, 26
efektor, sel-sel tersebut akan mengekspresikan memiliki peran sebagai immune surveilllance.
berbagai reseptor pada permukaan selnya untuk Selain itu, peningkatan ekspresi dectin-1 tidak
dapat mengenali adanya patogen (jamur), termasuk selalu berkaitan dengan keberhasilan mengeliminasi
dectin-1 dan sekaligus efektor untuk mengeliminasi jamur, namun terdapat keadaan dimana jumlah
patogen. Bukti peran sel sistem imun inat tampak neutrofil normal/meningkat akan tetapi tidak dapat
pada penderita neutropenia yang rentan mengatasi infeksi jamur, seperti pada rinosinusitis
mengalami kandidiasis mukosa. Kandidiasis sistemik jamur granulomatosa. Hal tersebut terjadi karena
sebagai penyebaran dari infeksi lokal jarang terjadi, kegagalan neutrofil membentuk ROS dan
dan terutama terjadi pada penderita yang tidak melakukan oxidative burst akibat kekurangan enzim
hanya mengalami neutropenia, namun juga disertai nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
defek sel T. Hal tersebut menunjukkan peran cell (NADPH)-oxidase. Proses ini sekaligus menekan
mediated immunity memegang peran utama dalam peran protektif respon sistem imun dalam
25, 26
pertahanan terhadap infeksi jamur. mengeliminasi mikroba dipengaruhi oleh dua faktor
lain, yaitu kualitas respon inflamasi (kemampuan
414
untuk fagositosis, pembentukan ROS dan lain-lain) DAFTAR PUSTAKA
selain juga kuantitas rekrutmen sel efektor ke lokasi 1. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C,
infeksi. Evaluasi kemampuan neutrofil untuk Alobid I, Baroody F, et al. European Position
membentuk ROS dapat dievaluasi dengan Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012.
pemeriksaan flowcytometry terhadap neutrofil Rhinology. 2012;50 (supplement 23):3-224.
menggunakan pewarnaan 2’7’- 2. Daines SM, Orlandi RR. Chronic Rhinosinusitis.
dihydrodiclorofluoroscein diacetate yang tidak Facial Plast Surg Clin N Am. 2012;20:1-10.
dilakukan pada penelitian ini. Peran aktivasi jalur 3. Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L. Laporan
dectin-1 yang berkorelasi terhadap rekrutmen Tahunan 2016 Departemen Ilmu Kesehatan
neutrofil seperti pada penelitian ini hingga akhirnya Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala dan
dapat mengaktifkan oxidative burst untuk eliminasi Leher Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar
jamur ini dapat dipertimbangkan untuk terapi Malang. Malang: Rumah Sakit Umum Daerah
target, khususnya pada penanganan infeksi jamur. Saiful Anwar Departemen Ilmu Kesehatan
27
Mattila et al., melakukan penelitian pada tikus T.H.T.K.L; 2017.
yang mengalami Aspergilosis invasif dan 4. Wüthrich M, Deepe GS, Jr., Klein B. Adaptive
memberikan adenovirus yang telah dimodifikasi Immunity to Fungi. Annu Rev Immunol.
untuk aktivasi dectin-1 dan diperoleh penurunan 2012;30:115-48.
angka kematian pada tikus tersebut. Saat ini juga 5. Maharani I, Suheryanto R, Retnoningsih E.
tengah dilakukan penelitian untuk menciptakan Airborne Fungi in Chronic Rhinosinusitis
vaksin dengan memanfaatkan aktivasi dectin-1 Patients Maxillary Sinus Lavage at Dr. Saiful
untuk mencegah infeksi jamur khususnya pada Anwar Hospital Malang. Bali Medical Journal.
penderita yang membutuhkan terapi 2016;5(2):18-24.
28
imunosupresan. 6. Adelson RT, Marple BF, Ryan MW. Fungal
Berdasarkan data yang ada maka dapat ditarik Rhinosinusitis. In: Johnson JT, Rosen CA,
kersimpulan bahwa pemeriksaan dectin-1 pada editors. Bailey's Head and Neck Surgery-
serum darah dapat menggambarkan kadar dectin-1 Otolaryngology. 5th ed. Baltimore: Lippincott
mukosa sinus paranasal. Hasil tersebut dapat Williams & Wilkins; 2014. p. 557-72.
dimanfaatkan dalam penentuan prognosis 7. Theel ES, Rollins LO, Baddour LM, Jespersen DJ,
penderita infeksi jamur dengan hanya Misner LJ, Iqbal S, et al. Detection of (1,3)-ß-D-
menggunakan pemeriksaan darah tanpa Glucan in Bronchoalveolar Lavage and Serum
memerlukan tindakan invasif dimana bila kadar Samples Collected from Immunocompromised
dectin-1 semakin tinggi prognosis akan semakin Hosts. Mycopathologia. 2013;175:33-41.
baik. Meskipun demikian masih dibutuhkan uji 8. Akramienė D, Kondrotas A, Didžiapetrienė J,
prognostik lebih lanjut. Kėvelaitis E. Effects of ß-glucans on the
Immune System. Medicina. 2007;43(8):597-
606.
415
9. Chai LYA, Netea MG, Vonk AG, Kullberg BJ. 17. Suresh S, Arumugam D, Zacharias G,
Fungal Strategies for Overcoming Host Innate Palaninathan S, Vishwanathan R, Venkatraman
Immune Response. Medical Mycology. V. Prevalence and Clinical Profile of Fungal
2009;47:227-36. Rhinosinusitis. Allergy Rhinol. 2016;7:e115-e20.
10. Gong J, Wang P, Qiu ZH, Chen QJ. Increased 18. Hebart H, Loeffler J, Einsele H. Molecular
Expression of Dectin-1 in Nasal Polyps. Diagnostics: Present and Future. In: Maertens
American Journal of Otolaryngology-Head and JA, Marr KA, editors. Diagnosis of Fungal
Neck Medicine and Surgery. 2013;34(3):183-87. Infections. New York: Informa Healthcare USA,
11. Gow NAR, van de Veerdonk FL, Brown AJP, Inc; 2007. p. 133-52.
Netea MG. Candida albicans Morphogenesis 19. Guarner J, Brandt ME. Histopathologic
and Host Defence: Discriminating Invasion Diagnosis of Fungal Infections in the 21st
From Colonization. Nature Reviews: Century. Clinical Microbiology Reviews.
Microbiology. 2012;10:112-22. 2011;24(2):247-80.
12. Hohl TM, Epps HLV, Rivera A, Morgan LA, Chen 20. Li D, Dong B, Tong Z, Wang Q, Liu W, Wang Y,
PL, Feldmesser M, et al. Aspergillus fumigatus et al. MBL-Mediated Opsonophagocytosis of
Triggers Inflammatory Responses by Stage- Candida albicans by Human Neutrophils Is
Specific ß-Glucan Display. PloS Pathogens. Coupled with Intracellular Dectin-1-Triggered
2005;1(3):232-40. ROS Production. PloS One. 2012;7(12):1-10.
13. Brown GD. Dectin-1: a Signalling Non-TLR 21. Ferwerda B, Ferwerda G, Plantinga TS,
Patern-Recognition Receptor. Nature Reviews: Willment JA, van Spriel AB, Venselaar H, et al.
Immunology. 2006;6:33-43. Human Dectin-1 Deficiency and
14. Goodridge HS, Reyes CN, Becker CA, Mucocutaneous Fungal Infections. N Engl J
Katsumoto TR, Ma J, Wolf AJ, et al. Activation Med. 2009;361(18):1760-67.
of the Innate Immune Receptor Dectin-1 Upon 22. Brown GD, Taylor PR, Reid DM, Willment JA,
Formation of a “Phagocytic Synapse”. Nature. Williams DL, Pomares LM, et al. Dectin-1 is a
2011;472:471-76. Major ß-glucan Receptor on Macrophages. J
15. Shetty A, Chavan K. Microbiology in Invasive Exp Med. 2002;196(3):407-12.
Fungal Sinusitis. In: Mankekar G, editor. 23. Willment JA, Lin HH, Reid DM, Taylor PR,
Invasive Fungal Rhinosinusitis. New Delhi: Williams DL, Wong SYC, et al. Dectin-1
Springer; 2014. p. 39-50. Expression and Function Are Enhanced on
16. Brewer JM, Marple BF. Fungal Disease in the Alternatively Activated and GM-CSF-Treated
Maxillary Sinus. In: Duncavage JA, Becker SS, Macrophages and Are Negatively Regulated by
editors. The Maxillary Sinus - Medical and IL-10, Dexamethasone, and Lipopolysaccharide.
Surgical Management. New York: Thieme The Journal of Immunology. 2003;171:4569–
Medical Publishers, Inc; 2011. p. 50-59. 73.

416
24. Marakalala MJ, Kerrigan AM, Brown GD.
Dectin-1: a Role in Antifungal Defense and
Consequences of Genetic Polymorphisms in
Humans. Mamm Genome. 2011;22:55-65.
25. Romani L. Cell Mediated Immunity to Fungi: a
Reassessment. Medical Mycology.
2008;46:515-29.
26. Fidel Jr PL. Candida albicans: From Commensal
to Pathogen. In: Tannock GW, editor. Medical
Importance of the Normal Microflora. Dunedin:
Springer; 1999. p. 441-76.
27. Mattila PE, Metz AE, Rapaka RR, Bauer LD,
Steele C. Dectin-1 Fc Targeting of Aspergillus
fumigatus Beta-Glucans Augments Innate
Defense against Invasive Pulmonary
Aspergillosis. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. 2008;52(3):1171-72.
28. Kennedy AD, Willment JA, Dorward DW,
Williams DL, Brown GD, DeLeo FR. Dectin-1
Promotes Fungicidal Activity of Human
Neutrophils. Eur J Immunol. 2006;37:467-78.

417
. Metode: merupakan penelitian observasional dengan
g pada pasien rawat inap di IRNA I dengan kriteria inklusi
dalam keadaan sadar dan mampu wawancara dan menulis,
anan Biasa atau Lunak. Pasien dilakukan wawancara dan
sil: variabel kualitas layanan yang yang terdiri dari bukti
dan empati secara bersamaan berpengaruh signifikan
ualitas layanan di Instalasi Gizi RSUD Dr Saiful Anwar
pengaruh yang paling dominan adalah jaminan makanan.

anan.

OF NUTRITIONAL SERVICE TO CUSTOMER SATISFACTION


ANWAR MALANG

portant element in providing better services, efficient and


and continuous measurement of customer satisfaction is
rvice improvement expected by the customer. So far, in the
s never done a study and analysis of customer satisfaction.
of service quality dimension to customer satisfaction of
ang with the aim to know the effect of quality dimension of
nd to determine dimension of service quality which
Method: an observational study with purposive sampling
riteria have grown and treated more than 2 x 24 hours,
diet therapy with consistency ordinary food or soft diet.
stionnaires provided by researchers. Result: service quality
, responsiveness, Guarantees and empathy simultaneously
n. Conclusion: service quality in Nutrition Installation RSUD
er satisfaction and the most dominant influence is food

Korespondensi:
Rosidah Inayati

Vol 3, No. 1, Jan - Apr 2018


dan meningkat pada saat ini, mutu atau kualitas layanan
faat pada bidang kesehatan sangatlah diperlukan oleh
apat setiap masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
kan hidupnya. Pihak rumah sakit perlu secara cermat
ini menentukan kebutuhan pelanggan sebagai upaya
jadi untuk memenuhi keinginan dan meningkatkan
kepuasan atas pelayanan yang diberikan, agar
ang pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang
ang diharapkan. Hal inilah yang disebut orientasi pada
bila pelanggan.
uatu Selama ini Instalasi Gizi RSUD Dr. Saiful Anwar
nan Malang telah berusaha semaksimal mungkin untuk
dak memberikan pelayanan yang baik kepada
bagi pelanggannya. Namun demikian masih sering
ditemukan adanya keluhan-keluhan yang
aran disampaikan oleh pelanggan. Hal tersebut akan
gan menimbulkan penilaian atau persepsi tersendiri
yal. bagi pelanggan terhadap mutu atau kualitas
gan layanan gizi dan pada akhirnya akan membawa
eka dampak bagi kelangsungan dan eksistensi .
beli Manajemen Instalasi Gizi RSUD Dr. Saiful
a, B, Anwar Malang belum melakukan penelitian
alah mengenai kualitas layanan dan kepuasan pelanggan
dak secara periodik dan kontiyu, agar perbaikan kualitas
419
kan populasi, perhitungan dalam penentuan besar
ang sampel adalah 30% x 250 = 75 sampel. Jadi besar
asan sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini sebanyak 75 sampel. Teknik pengambilan sampel
ung yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
erta purposive sampling. Hal ini dilakukan karena sample
aiful akan dipilih atas dasar kriteria tertentu.
dan
nan HASIL
SUD A. Gambaran Umum Responden
Responden penelitian adalah pasien rawat
inap klas I di RSU Dr. Saiful Anwar Malang yang
mendapat terapi diet oral dengan bentuk Makanan
gan Biasa atau Lunak. Penelitian dilakukan pada tanggal
aitu 4 Agustus 2014 s/d 10 September 2014. Jumlah
lani sampel pasien yang diambil dalam penelitian
alah sebanyak 75 pasien. Adapun gambaran umum
ut: responden dapat dilihat pada tabel berikut:

am,
mah

mpu
secara tepat. Teknis yang digunakan untuk uji
validitas adalah Korelasi Product Moment pada
tingkat α = 0,05 dengan cara mengkorelasikan skor
wa: masing-masing item dengan skor totalnya. Hasil
nyak pengukuran validitas disajikan pada tabel berikut
– 30 ini:
hun

i Validitas Butir Pertanyaan


em Koefisien Nilai rtabel Ket
nyaan Korelasi
0,702 0,2242 Valid
0,848 Valid
0,807 Valid
0,706 0,2242 Valid
0,853 Valid
0,714 Valid
0,813 0,2242 Valid
0,781 Valid
0,748 Valid
0,749 Valid
0,706 0,2242 Valid
0,788 Valid
0,723 Valid
0,777 Valid
0,671 Valid
0,697 Valid
0,780 0,2242 Valid
0,814 Valid
0,813 Valid
0,932 0,2242 Valid
0,889 Valid

421
Variabel Bukti Langsung menunjukkan
gan
kemampuan sarana dan prasarana fisik dari Instalasi
esar
Gizi RSU Dr. Saiful Anwar Malang dan penampilan
tung)
petugas adalah bukti nyata dan pelayanan yang
abel),
diberikan. Variabel Bukti Langsung diukur oleh tiga
pertanyaan uang mengukur tentang peralatan
makan yang digunakan, Presentasi atau tampilan
makanan/ hidangan dan penampilan petugas gizi.
Distribusi frekuensi jawaban responden
terhadap butir pertanyaan tentang persepsi pasien
tentang peralatan makan yang digunakan untuk
menghidangkan makanan dalam keadaan bersih
menunjukkan bahwa 56% dari 75 responden
menyatakan setuju dan 42,7% menyatakan sangat
abel
setuju dan 1,3% menyatakan cukup setuju. Nilai
g (r
Mean X1.1 sebesar 4,41 artinya pasien memiliki
men
persepsi bahwa paralatan makan yang digunakan
untuk menghidangkan makanan pasien dinilai baik.
Distribusi frekuensi jawaban responden
terhadap butir pertanyaan tentang presentasi atau
tem
tampilan makanan/ hidangan menarik
kan
menunjukkan bahwa 61,3% dari 75 responden
menyatakan setuju dan 18,7% menyatakan cukup
setuju, 18,7% menyatakan sangat setuju dan 1,3%
mendapatkan informasi dari ahli gizi tentang
ukur makanan yang baik dikonsumsi sesuai dengan
ean penyakit pasien menunjukkan bahwa 54,7% dari 75
ukti responden menyatakan setuju, 38,7% menyatakan
ang sangat setuju, 6,7% menyatakan cukup setuju. Nilai
Mean X2.1 sebesar 4,32 artinya pasien memiliki
persepsi bahwa informasi dari ahli gizi tentang
makanan yang baik dikonsumsi sesuai dengan
tem penyakit pasien dinilai baik.
kan Distribusi frekuensi jawaban responden
terhadap butir pertanyaan tentang Diet/Makanan
yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien
menunjukkan bahwa 54,7% dari 75 responden
menyatakan setuju, 30,7% menyatakan sangat
setuju, 13,3% menyatakan cukup setuju dan 1,3%
menyatakan tidak setuju. Nilai Mean X2.2 sebesar
4,15 artinya pasien memiliki persepsi bahwa
3
Diet/Makanan yang diberikan sesuai dengan
kondisi pasien dinilai baik.
nan Distribusi frekuensi jawaban responden

ngan terhadap butir pertanyaan waktu pembagian makan


sesuai dengan jadwal menunjukkan 52,0% dari 75
al
responden menyatakan setuju dan 41,3%
menyatakan sangat setuju, 5,3% menyatakan cukup
423
tem Distribusi frekuensi jawaban responden
kan terhadap butir pertanyaan tentang petugas gizi
bersedia memberikan penjelasan ulang tentang diet
pasien bila diperlukan menunjukkan bahwa 58,7%
dari 75 responden menyatakan setuju, 8%
% menyatakan cukup setuju, 32% menyatakan sangat
2,7 setuju, dan 1,3% menyatakan tidak setuju. Nilai
8,0
61,3 mean X3.2 sebesar 4,21 artinya pasien memiliki
28,0
persepsi bahwa petugas gizi bersedia memberikan
penjelasan ulang tentang diet pasien bila diperlukan

tang
dalam memberikan layanan dinilai baik.
Distribusi frekuensi jawaban responden
itan
terhadap butir pertanyaan tentang Petugas gizi
selalu bersedia menjawab pertanyaan/kesulitan
yang diajukan oleh pasien menunjukkan bahwa 42%
uan
dari 75 responden menyatakan setuju dan 30%
ang
menyatakan sangat setuju dan 3% menyatakan
gan
cukup setuju. Nilai mean X3.3 sebesar 4,36 artinya
daya
pasien memiliki persepsi bahwa petugas gizi selalu
ang
bersedia menjawab pertanyaan/kesulitan yang
masi
diajukan oleh pasien dinilai baik.
ang
Distribusi frekuensi jawaban responden
dan
terhadap butir pertanyaan petugas gizi mudah
dihubungi bila diperlukan pasien. menunjukkan
sangat sopan, petugas gizi mampu melaksanakan
masi
tugas dengan baik dan petugas gizi dapat menjaga
privacy/ rahasia pasien
Distribusi frekuensi jawaban responden
terhadap butir pertanyaan tentang makanan yang
tem
disajikan oleh Instalasi gizi aman dikonsumsi (tidak
kan
basi, bersih, tidak membahayakan kesehatan)
menunjukkan bahwa 49,3% dari 75 responden
menyatakan setuju dan 50,7% menyatakan sangat
setuju. Nilai mean X4.1 sebesar 4,51 artinya pasien
memiliki persepsi bahwa makanan yang disajikan
oleh Instalasi gizi aman dikonsumsi dinilai baik.
Distribusi frekuensi jawaban responden
,3
,7 terhadap butir pertanyaan tentang menu makanan
yang disajikan bervariasi menunjukkan bahwa
53,3% dari 75 responden menyatakan setuju dan
37,3% menyatakan sangat setuju, 5,3% menyatakan
cukup setuju dan 4% menyatakan tidak setuju. Nilai
mean X4.2 sebesar 4,24 artinya pasien memiliki

7 persepsi bahwa menu makanan yang disajikan


,3 bervariasi dinilai baik.
Distribusi frekuensi jawaban responden
terhadap butir pertanyaan tentang cita rasa
masakan yang disajikan enak menunjukkan bahwa

425
3 1 1,3 6 8 2 2,7
gizi 4 48 64 39 52 36 48
5 26 43,7 30 40 37 49,3
Rata-rata 4,33 4,32 4,47
Rata-rata X5 = 4,37
den
Keterangan:
gizi (X5.1) = Petugas gizi menerima dan mendengar keluhan
pasien (peduli).
baik (X5.2) = Petugas gizi memberikan layanan kepada pasien
den dengan tulus.
(X5.3) = Petugas memberikan perhatian
ngat
,7% Variabel Empati yaitu menunjukan
esar kemampuan instalasi gizi untuk memberikan
hwa layanan dengan kepedulian, ketulusan dan
gan perhatian pribadi untuk menerima dan mendengar
keluhan pelanggan. Variabel empati diukur oleh tiga
den pertanyaan yang mengukur tentang kepedulian
gizi Petugas Gizi, petugas layanan gizi dengan sepenuh
kan hati dan petugas gizi memberikan perhatian
tuju Distribusi frekuensi jawaban responden
,7% terhadap butir pertanyaan tentang petugas gizi
kan menerima dan mendengar keluhan pasien (peduli)
nya menunjukkan bahwa sebagian besar yakni 64% dari
apat 75 responden menyatakan setuju dan 34,7%
menyatakan sangat setuju dan 1,3% menyatakan
ukur tidak setuju. Nilai mean X5.1 sebesar 4,33 artinya
esar pasien memiliki persepsi bahwa petugas gizi
uan
Rata-rata Y= 4,18
den Keterangan:
(Y1) = Layanan yang diberikan sesuia dengan harapan
gizi (Y2) = Secara keseluruhan puas terhadap layanan
nya:
um, Variabel Kepuasan Pelanggan menunjukan

jika perasaan senang atau kecewa yang muncul dari

nya) pasien setelah membandingkan antara kesannya/

den persepsi terhadap hasil layanan dari harapannya

ngat atau kesesuaian dengan harapan. Variabel

Nilai kepuasan pelanggan diukur oleh dua pertanyaan

miliki yang mengukur tentang layanan yang diberikan

tian sesuia dengan harapan dan secara keseluruhan


puas terhadap layanan

ukur Distribusi frekuensi jawaban responden

esar terhadap butir pertanyaan tentang layanan yang

uan diberikan oleh Instalasi Gizi ke pasien sudah sesuia

gan dengan harapan pasien menunjukkan bahwa 52%

ntuk dari 75 responden menyatakan setuju, 16%

oleh menyatakan cukup setuju, 30,7% menyatakan


sangat setuju dan 1,3% menyatakan tidak setuju.
Nilai mean Y1 sebesar 4,12 artinya pasien memiliki

an. persepsi bahwa layanan yang diberikan oleh

tem Instalasi Gizi ke pasien sudah sesuia dengan

gan harapan dinilai baik.

427
sien test). Perhitungan statistik pada lampiran 5
ang diperoleh angka Durbin Watson sebesar 1,655 Nilai
tara DW diantara du = 1,49 dan 4-du = 2,23, Dengan
dari demikian ada korelasi, sehingga variabel tersebut
oleh tidak independen yang ditunjukkan dengan du <
dw < 4-dl ( 1,49 < 2.016 < 2,23). artinya tidak terjadi
autokorelasi.

guji L. Uji Heteroskedastisitas.


elasi Teknik yang digunakan untuk mengetahui
odel gejala heteroskedastisitas menggunakan
si di scatterplots atau grafik plot antara nilai prediksi
kan variabel terikat (ZPRED) dengan residualnya
ang (SRESID). Hasil grafik plot seperti pada gambar
lam dibawah ini:
ini
ntuk
dak

uan
resi,
Pada gambar diatas nampak bahwa sebaran data
abel
menyebar disekitar garis diagonal, dengan demikian
nya
data penelitian yang diperoleh dapat dinyatakan
odel
normal
data

sil Analisis Regresi Linier Berganda


thitung ttabel Sig. Keterangan

2,403 1,990 0,019 Significan


0,663 0,509 Tidak Significan
-0,096 0,924 Tidak Significan
2,027 0,047 Significan
1,992 0,050 Significan

429
Dr. signifikansi secara parsial terhadap variabel
elasi tergantung.
ntuk Pengujian secara parsial masing-masing
ruhi variabel bebas terhadap variabel tergantung
aiful dijelaskan satu per satu sebagai berikut:
1). Bukti Langsung (X1)
nda Hasil analisis diperoleh nilai probabilitas
ebut signifikan t sebesar 0,019 lebih kecil dari 0,05, nilai
ebas thitung sebesar 2,403 lebih besar dari ttabel sebesar
nya 1,990, berarti H0 ditolak dan Ha diterima, artinya
dari variabel Bukti Langsung (X1) berpengaruh signifikan
lam terhadap Kepuasan Pelanggan (Y).
2). Keandalan (X2)
kan Hasil analisis diperoleh nilai probabilitas
kan signifikan t sebesar 0,663 lebih besar dari 0,05, nilai
ukti thitung sebesar 0,663 lebih kecil dari ttabel sebesar
(X3), 1,960, berarti H0 diterima dan Ha ditolak, artinya
kan variabel Keandalan (X2) berpengaruh tidak signifikan
RSU terhadap Kepuasan Pelanggan (Y).
nan 3). Daya tanggap (X3)
kan Hasil analisis diperoleh nilai probabilitas
Ftabel signifikan t sebesar 0,096 lebih besar dari 0,05, nilai
000 thitung sebesar -0,096 lebih kecil dari ttabel sebesar
Ha 1,990, berarti H0 diterima dan Ha ditolak , artinya
esar Anwar Malang untuk memenuhi harapan kepuasan
nya pasien sebagai pelanggan eksternal atau pembeli
kan jasa RSU Dr. Saiful Anwar Malang. Menurut Payne
dalam yamit (2002:102-105) mengemukakan
abel tentang ServQual bahwa kualitas layanan dapat
ang dijelaskan melalui lima dimensi yaitu keandalan,
asan daya tanggap, jaminan, empati dan bukti langsung.
resi Penjelasan tentang pengaruh variabel-variabel
miliki kualitas layanan dapat dijelaskan dibawah ini:
sien 1. Variabel bukti langsung.
ebas Bukti langsung menjelaskan tentang
hwa kemampuan instalasi gizi dalam menunjukkan
apat eksistensinya kepada pihak eksternal. Yang
dimaksud adalah penampilan, kemampuan
sarana dan prasarana fisik serta keadaan
lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dan
apat pelayanan yang diberikan. Persepsi pasien
RSU terhadap peralatan makan yang digunakan
ukti untuk menghidangkan makanan dalam keadaan
dan bersih, dinilai baik oleh pasien. Presentasi atau
kan tampilan makanan/ hidangan menarik juga
war mendapat persepsi yang baik dari pasien.
499- Dalam menjalankan tugas, petugas gizi selalu
berpenampilan rapi juga mendukung kepuasan
431
puti: diperlukan pasien. Terbukti dengan nilai mean
atan X3 sebesar 4,21 yang mana kebanyakan dari
han responden menyatakan setuju dengan
gan kuesioner yang diajukan peneliti. Persepsi yang
gizi positif terhadap daya tanggap instalasi gizi
nan dalam memberi layanan ke pasien berdampak
akit terhadap kepuasan pasien. Variabel ini secara
ntuk simultan berpengaruh signifikan terhadap
dan kepuasan pelanggan sedangkan secara parsial
n ke berpengaruh tidak signifikan. Menurut penilaian
dan pasien, dampak yang paling kecil dari variabel
gian daya tanggap terhadap kepuasan pelanggan
kan, adalah Petugas gizi mudah untuk dihubungi bila
aruh diperlukan pasien.
gan 4. Variabel Jaminan.
dak Jaminan yang diberikan oleh instalasi gizi
pak berupa makanan yang disajikan aman
alan dikonsumsi, menu bervariasi dan rasa masakan
alah enak. Petugas gizi melaksanakan tugas dengan
gan baik dan sopan serta, mampu melaksanakan
tugas dengan baik serta dapat dapat menjaga
privacy (kerahasiaan) pasien. Terbukti dari hasil
analisis menunjukkan bahwa probabilitas
signifikansi variabel jaminan (X4) sebesar 0,047
nya jasa tersebut. Pada hakekatnya mempelajari
alasi perilaku pelanggan/konsumen, tidak lepas dari
gan mempelajari perilaku manusia itu sendiri, sehingga
ntuk sangat kompleks. Apa yang diberikan kepada
gan pelanggan agar dapat memenuhi keinginan,
n. kebutuhan, dan pada akhirnya dapat
memuaskannya, maka Instalasi Gizi harus dapat
gan mengetahui dan memahami dengan .baik apa yang
ang, sebenarnya diharapkan oleh pelanggan. Hal ini
ang sesuai dengan pendapat Sawitri dan Halim (2003),
gap, bahwa baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada
itas kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi
ting harapan pelanggan.
but. Baik tidaknya kualitas layanan yang diberikan
alim oleh Instalasi Gizi tergantung pada kemampuan
Instalasi Gizi dalam mengelola dan memenuhi
p 5 harapan pelanggan secara konsisten dan
Gizi berkesinambungan. Dengan memberikan pelayanan
atan yang berkualitas, maka diharapkan pelanggan
asan Instalasi Gizi merasa puas, dan kepuasan tersebut
nan, nantinya berujung pada loyalitas para pelanggan.
erta Variabel kualitas layanan Instalasi Gizi RSU Dr.
apat Saiful Anwar Malang, yang secara parsial
atan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan
433
tugas, petugas gizi selalu berpenampilan rapi.
ahui Menurut penilaian responden dalam
ang menjalankan tugas, petugas gizi selalu
rut- berpenampilan rapi dan ini merupakan dampak
ukti yang paling besar dari variabel bukti langsung
069; terhadap kepuasan pelanggan instalasi gizi,
erlu untuk itu perlu dipertahanan, sedangkan
utan dampak terkecil dari variabel bukti langsung
adalah tampilan makanan/ hidangan menarik.
upa Hal ini dapat digunakan oleh instalasi gizi
enu sebagai bahan pertimbangan untuk memberi
gizi masukan kepada managemen rumah sakit,
pan bahwa persepsi pasien terhadap fasilitas parkir
ien. rumah sakit juga berpengaruh terhadap
hwa kepuasan pelanggan.
(X4) 3. Empati yang diberikan oleh instalasi gizi dalam
pak bentuk kepedulian petugas gizi dalam
dap menerima dan mendengar keluhan pasien,
nan ketulusan petugas gizi dalam memberikan
man layanan kepada pasien serta memberi perhatian
dak kepada pasien mendapat persepsi yang baik
lam dari pasien, Terbukti dari nilai mean X5 sebesar
pan 4,89 dapat diartikan bahwa persepsi positif dari
dari pasien terhadap kemampuan Instalasi Gizi
kan. pasien perlu ditingkatkan lagi, karena
ling berdampak pada kepuasan pelanggan.
asan
ang KESIMPULAN
ndisi Dengan bertitik tolak pada tujuan penelitian,
dari yaitu untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh
ntuk dimensi kualitas layanan gizi terhadap kepuasan
gizi pelanggan RSU Dr. Saiful Anwar Malang dan untuk
suai menentukan dimensi kualitas pelayanan yang
sien dominan mempengaruhi kepuasan pelanggan RSU
4,32 Dr. Saiful Anwar Malang, maka berdasarkan analisis
suai data dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan
sien sebagai berikut:
1. Variabel yang menentukan kualitas pelayanan
gizi Instalasi Gizi RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
upa adalah:
enai a. Variabel Bukti Langsung meliputi peralatan
edia makan yang digunakan, Presentasi atau
diet tampilan makanan/ hidangan dan
lalu penampilan petugas gizi dari Instalasi Gizi
ang RSUD Dr. Saiful Anwar Malang adalah bukti
dah nyata dan pelayanan yang diberikan.
ien. b. Variabel Keandalan meliputi kemampuan
gap instalasi Gizi untuk memberikan pelayanan
435
uan jaminan. Sehubungan dengan hal tersebut,
war untuk kedepan instalasi gizi disarankan
aya memperbaiki standar bumbu sehingga persepsi
pasien meningkat atau menjadi lebih baik
ian, terhadap cita rasa makanan yang enak.
ugas 2. Mengingat nilai Adjusted R square sebesar 0,538,
han maka bagi peneliti lain yang hendak melakukan
asia penelitian tentang kepuasan pelanggan Instalasi
Gizi hendaknya mempertimbangkan kembali
itas terhadap variabel bebas pada penelitian ini,
ung, seperti: Kualitas Produk, Harga, Kemudahan dan
pati Factor Emosi.
kan
Gizi DAFTAR PUSTAKA
1. Amiroen S, dkk. 1991. Buku Pedoman Pelayanan
(X4) Gizi di Rumah Sakit, Depkes. Direktorat Rumah
sien sakit Khusus dan Swasta.
nan 2. Arikunto, Subarsini.1998. Manajemen Penelitian.
asan Jakarta: Rineka Cipta.
war 3. Irawan, H. 2004. 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan.
hwa Cetakan ke enam. Jakarta : PT Gramedia.
4. J. Supranto M.A. 1997. Pengukuran Tingkat
Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan Pangsa
Pasar. Jakarta : PT Renika Cipta.
san

men
pat.

dan
men.
asca

ntuk

nan
ang
Kota
ang
men

kan

437
Laporan Kasus

KUSTA TIPE MULTI BASILER RELAPS DAN ERITEMA NODOSUM LEPROSUM YANG DIINDUKSI OLEH
KEHAMILAN PADA WANITA USIA 33 TAHUN

Dhelya Widasmara, Inneke Yulian


Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRAK
Pendahuluan : Eritema nodosum leprosum dapat dipicu oleh berbagai macam keadaan seperti stres, baik
fisik maupun psikologis, infeksi, trauma, pembedahan, dan juga kehamilan. Laporan Kasus : Wanita suku
Madura usia 33 tahun dengan kehamilan trimester pertama terdapat benjolan kemerahan kemudian pecah
sejak 1 minggu. Pasien merasa nyeri, kaku sendi, demam, neuritis, riwayat mimisan dan pandangan kabur.
Pasien selesai pengobatan MDT-MB 4 tahun yang lalu. Pemeriksaan dermatologis terdapat nodul
eritematous, dan ulkus dasar nekrotik multiple, bentuk bulat diameter 0,5–2 cm teraba nyeri. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan anemia, leukositosis, peningkatan ureum, kreatinin, hipoalbumin, peningkatan
ESR, bakteriuria dan proteinuria +1. Pemeriksaan BTA menunjukkan BI +2, terdapat bakteri yang utuh.
Pemeriksaan histopatologis didapatkan reaksi pannikulitis dengan infiltrat limfosit dan neutrofil pada lemak
intralobuler subkutan. Pengecatan wide fite terdapat BTA. Pasien didiagnosis dengan lepra tipe MB relaps
dengan disabilitas tingkat 2, dan eritema nodosum leprosum berat. Pasien diterapi MDT MB tanpa
dapsone, metilprednisolone 16 mg/hari selama 1 minggu kemudian di tappering off. Follow up setelah 3
minggu menunjukkan perbaikan pada lesi kulit, nyeri pada sendi dan keadaan umum pasien. Diskusi :
Eritema nodosum leprosum dimediasi oleh kompleks imun timbul bila adanya peningkatan antigen dan
antibodi. Reaksi ENL dapat dimulai pada awal kehamilan dan puncaknya pada trisemester ketiga, dapat
berlanjut hingga laktasi. Pemberian kortikosteroid pada wanita hamil dengan lepra diperlukan bila
didapatkan reaksi lepra tipe 1 maupun tipe 2 terutama jika telah timbul gejala neuritis.

Kata kunci : eritema nodosum leprosum, kehamilan, kortikosteroid

RELAPSE MULTIBACILLARY LEPROSY AND SEVERE ERITEMA NODOSUM LEPROSUM INDUCED BY


PREGNANCY IN A 33-YEAR-OLD WOMAN

ABSTRACT
Introduction : Eritema nodosum leprosum is triggered by various types of physical and psycological stress,
infection, trauma, surgery, pregnancy and delivery. Case : A maduranese women in first trimester gravida
complaint redness bumps some of them rupture on her arms and her legs since one week. She felt stiffness
and joint pain, fever, neuritis and history nosebleeding and blurred vision. She was release from treatment
MDT-MB 4 years ago. Dermatological examination revealed erythematous nodules, necrotic ulcer, round to
oval shape, diameter 0,5-2 cm, tenderness. Laboratory examination showed anemia, leucocytosis,
increased ureum, creatinin, hipoalbumin, increase ESR urinalysis examination showed bacteriuria,
proteinuria +1. Acid fast bacilli staining showed BI +2, there was solid acid fast bacilli. Histopatological
examination showed dermis reaction panniculitis with lymphocyte and neutrophil in intralobular subcutan
fat. Wide fite staining revealed acid fast bacilli positive. Patient was diagnosed relaps multibacillary leprosy
with degree of disability grade 2, severe erythema nodosum leprosum. She was treated MDT MB regimen
without dapsone, metylprednisolone 16mg/day tappering off. Follow up after 3 weeks treatment showed
improvement in her lesion, joint pain, and general condition. Discussion : Type 2 reactions is immune
complex mediated occur if antigen and antibody excess. The first episodes type 2 reaction can begin early
in pregnancy and peak in third trimester, it may continue until lactation period. Corticosteroid need to be
given in pregnant women with leprosy if they develop reactions both type 1 and type 2 especially in the
presence of neuritis.

Keywords : eritema nodosum leprosum, pregnancy, kortikosteroid.

438
Korespondensi:
Dr. dr. Dhelya Widasmara, SpKK
Email : dhelya.widasmara@gmail.com

Vol 3, No. 1, Jan - Apr 2018

439
PENDAHULUAN oleh berbagai macam hal, seperti stress, baik fisik
Lepra dikenal sebagai penyakit Hansen maupun psikologis, adanya infeksi, trauma,
merupakan sebuah infeksi granulomatous yang kronis pembedahan, dan reaksi tuberculin yang kuat,
dan menginfeksi kulit dan saraf perifer yang kehamilan. ENL lebih sering timbul pada kehamilan di
disebabkan oleh Mycobacterium lepra yang bersifat trisemester akhir, dan kelahiran.10 Wanita dengan
obligat intraseluler.1,2,3,4,5 Insiden kasus baru diseluruh lepra baik pausi basiler atau multi basiler memiliki
dunia berkisar 250.000–500.000 pertahun. Gejala resiko untuk timbulnya neuritis selama kehamilan,
klinis dari penyakit ini disebabkan oleh perkembangan dengan fungsi saraf yang rusak sekitar 50% pada
bakteri ditubuh inang, respon imunitas dari inang wanita.5,12
yang menginduksi imunitas seluler terhadap Telah dilaporkan kasus relaps lepra tipe MB
bakteri.1,6 Bakteri M.leprae ini menyerang saraf dengan ENL berat pada wanita usia 33 tahun di
perifer sehingga menimbulkan kecacatan yang induksi oleh kehamilan.
disebabkan oleh reaksi tipe 1 dan tipe 2 yang selama
ini menjadi penyebab utama dari morbiditas. Reakti LAPORAN KASUS
kusta tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL) Seorang wanita dari suku Madura berusia 33
merupakan sebuah reaksi hipersesitivitas tipe III. Hal tahun dengan kehamilan trimester pertama datang ke
ini dapat timbul pada pasien dengan lepra dan kasus poliklinik dermatovenereologi dengan keluhan utama
lepra yang borderline, sering kali sebelum, selama, timbul benjolan kemerahan kemudian pecah di kaki
dan setelah pemberian multidrug therapy (MDT).7 dan tangannya sejak 1 minggu sebelumnya. Pasien
Kata reaksi digunakan untuk memberikan merasakan nyeri dan kaku pada sendi, demam, dan
gambaran dari gejala dan tanda inflamasi akut pada rasa terbakar pada tangan dan kaki. Pasien
5
lesi. Reaksi lepra dapat menyebabkan pada merasakan nyeri pada kaki dan sulit untuk berjalan.
8
kerusakan saraf yang parah bahkan deformitas. Benjolan merah ini sudah sering muncul dari dulu
Eritema nodosum leprosum (ENL) timbul pada 40– terutama di wajah, kaki, lengan, dan tangan sejak 15
50% total kasus dan 25–30% pada pasien dengan tipe bulan yang lalu. Benjolan ini semakin sering muncul
8,9,10
lepromatous atau borderline lepromatous. Reaksi pada kaki dan lengan sekitar 2 bulan yang lalu, sejak
ENL hampir tidak ditemukan perbedaan tingkat kehamilannya. Pasien memiliki riwayat mimisan
insiden bedasarkan jenis kelamin, tetapi lebih sering sekitar 7 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
terjadi pada wanita.11 pandangan kabur sejak 1 tahun yang lalu.
Gejala klinis dari ENL adalah nodul Enam tahun yang lalu pasien mengeluhkan
eritematous disertai indurasi pada kulit. Nodul ini munculnya bercak-bercak kemerahan yang tidak
lebih sering timbul ada kulit di ekstrimitas. ENL sering terasa pada wajah dan badannya. Jari kedua
disertai dengan demam, lemas, dan arthralgia. kanannya tampak bengkok 1 tahun setelah bercak
Inflamasi akut dapat timbul di mana saja bila terdapat tersebut muncul. Pasien mendapatkan terapi MDT
antigen bakteri. Gejala dapat timbul pada saraf, mata, MB selama 12 bulan. Sekitar 15 bulan yang lalu pasien
nodul limfe, sendiri, dan testis.8,10 ENL dapat dipicu mengeluhkan munculnya benjolan kemerahan yang

440
sakit pada tangan dan kakinya disertai dengan Dari pemeriksaan dermatologis ditunjukkan
demam pasien berobat ke puskesmas dan diberikan pada gambar 1.
prednison tablet. Benjolan kemerah tersebut hilang
timbul.

Gambar 1. Nodul eritematous, multiple, bentuk bulat, berbatas tegas, ukuran bervariasi.Beberapa
lesi tertutup dengan krusta kehitaman pada wajah dan lengan. Didapatkan juga madarosis, saddle
nose (A). Pada tangan, lengan didapatkan ulkus dengan dasar nekronik, bentuk bulat oval,
diameter 0,5 – 2 cm, tidak menggaung, sebagian tertutup krusta kehitaman dan skuama putih

Pasien tampak sakit sedang, dengan tekanan Pemeriksaan laboratorium menunjukkan


darah 90/70mmHg, nadi 104x/menit, kecepatan nafas Hemoglobin 7,50g/dl, leukosit 30.000 ul, penurunan
23x/menit dan temperature axila 37 ˚C. Dari kepala kadar MCV 80 fl, MCH 25 pg, MCHC 31,2, penurunan
dan leher ditemukan anemia pada konjungtiva, caries kadar besi 31 ug, penurunan kadar TIBC 229 ug,
dentis pada M1 dan M2 inferior dan superior. penurunan saturasi transferin 14%, kadar ferritin
Pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal. 1167 ng/ml, netrofilia 74,7%, lymfopenia 15,5% dan
Tidak ditemukan juga edema pada ekstrimitas. Pada monositosis 7,7%, fungsi liver dalam batas normal,
aksila dan inguinal kanan dan kiri didapatkan fungsi renal menunjukkan peningkatan kadar ureum
pembesaran kelenjar limfe multipel, solid dengan 50,20 mg/dl, kreatinin 1,55 mg/dl, penurunan kadar
diameter 1 cm, keras, immobile, dan melekat pada albumin 2,93 gr/dl. Kecepatan sedimentasi eritrosit
dasar. meningkat 86 mm/hour, serum elektrolit dalam batas
Pemeriksaan raba, suhu, dan nyeri normal normal, titer ASTO menunjukkan hasil yang negatif,
pada kedua kaki terdapat gangguan. Pasien pemeriksaan urinalisis menunjukkan bakteri
3
menunjukkan gejala neuritis pada beberapa bagian 730x10 ml, kadar nitrit yang positif, proteinuria +1,
saraf. Didapatkan penebalan pada saraf ulnaris, leukosite +3. Pemeriksaan kultur urine menunjukkan
medianus, radialis, peroneus komunis, dan tibialis bakteri Klebsiella oxytoca. Tes sensitivitas
posterior. Didapatkan juga penurunan kekuatan otot menunjukkan bakteri ini sensitif terhadap ceftriaxone,
dari jari kelima untuk melakukan abduksi. Terdapat levofloxacin, amoxicillin dan asam klavulanat,
claw hand pada jari kedua dan kelima tangan kiri dan nitrofurantoin. Kultur bakterial dari pus pada ulkus di
jari kedua pada tangan tangan. kakinya menunjukkan adanya aktivitas pertumbuhan
dari Staphylococcus aureus.
441
Pemeriksaan hapusan dari cuping telinga Follow up 3 minggu setelah pemberian terapi,
menunjukkan bakteri tahan asam dengan bakterial benjolan sudah berkurang, dan nyeri sendi dan luka
indeks positif 2. pada kaki dan lengannya telah membaik, tidak ada
Hasil biopsi pada benjolan dari lengan kanan demam, tetapi pasien tetap merasakan sensasi
yang menggunakan pengecatan hematoxylin-eosin terbakar pada kakinya. Dari pemeriksaan fisik dalam
menunjukkan lapisan dermis dengan reaksi batas normal. Dari tes kekuatan otot didapatkan
panniculitis, epidermis dalam batas normal, infiltrasi kelemahan pada otot-otot yang diinervasi oleh saraf
limfosit dan neutrofil pada lemak subkutan ulnaris. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
intralobuler. Pengecatan wide fite dari biopsi jaringan dalam batas normal. Dari pemeriksaan dermatologis
didapatkan bakteri tahan asam (Gambar 6). pada daerah lengan dan tangan menunjukkan adanya
Pasien dikonsulkan ke departemen obstetri patches hiperpigmentasi, berbatas tegas, memiliki
dan ginekologi untuk kehamilannya. Hasil ukuran yang bervariasi. Pada tungkai kaki, terdapat
pemeriksaan USG menunjukkan fetus intrauterine, patches hiperpigmentasi, nodul lunak rata, berbatas
tunggal hidup dengan BPD 2,58cm, usia kehamilan tegas, memiliki ukuran yang bervariasi. Pada region
sekitar 14 minggu 3 hari, dengan maturasi grade 1. kaki bagian bawah didapatkan ulkus dasar jaringan
Dari anamnesis, pemeriksan dermatologi, granulasi berwarna kemerahan, bentuk bulat,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan apusan kulit, dan memiliki ukuran yang bervariasi (Gambar 7).
pemeriksaan histopatologi, pasien didiagnosis dengan
lepra multibasiler relaps dengan disabilitas tingkat 2, DISKUSI
eritema nodosum leprosum berat, infeksi saluran Lepra merupakan penyakit infeksi kronis yang
kemih, hamil dengan usia kehamilan 12-14 minggu disebabkan oleh Mycobacterium lepra. Penyakit ini
dan pasien dirawat di rumah sakit. Pasien diterapi seringkali menyerang kulit dan saraf perifer. Penyakit
dengan menggunakan regimen MDT MB tanpa ini juga dapat menyerang otot, mata, tulang, dan
dapson. IVFD NS 90% 20 tetes per menit, testis, serta organ dalam lainnya. Lepra memiliki
metilprednisolone 8mg pada pagi dan siang hari gejala klinis yang sangat bervariasi.Tingkat serangan
selama 1 minggu yang kemudian ditaperring off, penyakit ini ditentukan bedasarkan status imunologis
paracetamol 3x500mg, kompre NS 2x sehari pada dari pasien itu sendiri, dan dipengaruhi oleh faktor
daerah luka ulkus dan lesi yang berkrusta, gentamisin genetik.13 Lepra merupakan permasalahan kesehatan
krim 2x sehari pada ulkus. Dari obstetrik dan masyarakat, yang sering timbul secara endemik, lebih
ginekologi, pasien didiagnosa dengan G2P1001A0 dari 250.000 kasus baru ditemukan pada tahun 2007,
gravida 12-14 minggu, dengan asimptomatis UTI, dan termasuk 40.000 di Brazil dan 140.000 di India.14
anemia hipokrom mikrositer dan azotemia. Pasien Lepra merupakan penyebab utama dari
diberikan transfusi PRC 2 labu per hari hingga kadar kecacatan fisik yang permanen. Mempengaruhi saraf
hemoglobin mencapai 10gr/dl, injeksi ceftriaxone perifer, maka dapat menyebabkan kelemahan pada
2x1gr, vialbumin 3x2tablet, sulfas ferosus 2x1 tablet, otot dan hilangnya sensasi pada tangan, kaki, dan
asam folat 1x400μg, roboransia 1x1 tablet. mata serta dapat menyebabkan ulkus dan deformitas.

442
Deteksi awal dan terapi yang tepat merupakan salah serta produksi berlebih dari sitokin tumor nekrosis
satu tindakan preventif yang paling efektif untuk faktor. Selama era pemberian dapsone sebagai
mencegah disabilitas dan komplikasinya.13,14 Lepra monoterapi, prevalens terjadinya ENL berkisar 50%
merupakan penyakit sosial dan umumnya dan 30% diantaranya merupakan pasien dengan tipe
berhubungan dengan tingkat perekonomian yang LL dan BL. Prevalensi ini menurun sejak diterapkannya
rendah, pemukiman penduduk yang padat, kurangnya pemberian multidrug therapy pada lepra tipe
edukasi, kurangnya tingkat kebersihan diri sendiri, multibasiler (MB) setelah direkomendasikan oleh
ventilasi yang kurang efektif, tingkat kelembaban WHO (WHO – MB – MDT) selain itu disebabkan juga
yang sesuai bagi perkembangan bakteri.5,13 Pasien karena deteksi dini dan pengobatan lebih awal serta
wanita dari suku Madura berusia 33 tahun, yang lahir efek dari klofazimine, salah satu obat anti bakteri
dan besar pada daerah endemik di Madura, dengan utama, yang juga memiliki efek anti inflamasi.8,15
derajat kecacatan tingkat 2 pada tangannya. Pasien Frekuensi ENL pada pasien lepra sekitar 25%
menyatakan tangannya telah bengkok sejak sebelum pada pasien baru multibasiler di Brazil, sekitar 6-26%
pasien memperoleh terapi MDT MB dari puskesmas dari pasien lepra di Thailand daerah Timur Laut, 7-
sejak 4 tahun yang lalu. 15% di Ethiopia. Dua penelitian pada rumah sakit di
Respon dari sistem imun terhadap antigen India dan Nepal melaporkan angka insiden yang tinggi
dari bakteri lepra dapat menyebabkan timbulnya dari reaksi ENL, sekitar 28,6% pada pasien LL, tetapi
inflamasi pada kulit dan saraf yang dikenal sebagai hanya mencapai 7,5% pada kasus BL.8 Feuth et al
reaksi lepra. Reaksi lepra merupakan penyebab menyatakan 30% pasien didiagnosa dengan MHMB,
utama terjadinya kerusakan saraf dan disabilitas. Hal dapat terjadi reaksi ENL pada tahun pertama
ini terjadi pada 1 dari 3 orang yan menderita lepra. pemberian MDT.16
Ada dua tipe reaksi lepra yang dapat menyebabkan Gejala klinis dari reaksi tipe 2 dapat timbul
kerusakan saraf, reaksi tipe 1 atau reaksi balik spontan tetapi umumnya terjadi pada pasien yang
(reversal reaction) dan reaksi tiper 2 atau dikenal juga telah mendapatkan terapi untuk menurunkan indeks
5,8
dengan eritema nodosum leprosum (ENL). Eritema morfologi di bawah 5%. Reaksi ini umumnya timbul
nodosum leprosum (ENL) merupakan reaksi serius selama masa kehamilan dan masa laktasi, seringkali
yang sulit ditangani dan merupakan komplikasi berulang. Eritema nodosum leprosum timbul di kulit
terutama pada pasien lepra tipe lepromatous leprosy berupa nodul kemerahan disertai nyeri, yang terdapat
(LL) dan tipe borderline lepromatous (BL). Pasien pada dermis superifisial atau profundus. Nodul ini
dengan ENL sering mengalami demam, lemas, dan berbentuk kubah, permukaan mengkilat, dan lunak.
nodul terasa nyeri. Selain itu juga, reaksi inflamasi ini Lesi ini dapat disertai ulkus dengan pus kekuningan
juga dapat menyebabkan iritis, neuritis, myositis, yang tebal, mengandung hasil degenerasi dari basil
limfadenitis, artritis, dan orchitis.3,4,5,8 tahan asam yang bersifat steril bila dilakukan kultur.
Patofisiologis utama dari ENL adalah adanya Lesi umumnya didapatkan di wajah dan permukaan
deposit dari imun kompleks antigen antibody tetapi ekstrimitas bagian ekstensor tetapi tidak menutup
didapatkan juga disregulasi dari sel T dan makrofag kemungkinan dapat ditemukan di tempat lain.5,8

443
Lesi dapat bertahan selama beberapa hari Gromerulonefritis akut pada lepra sering kali
bahkan dapat muncul lesi baru lainnya. Lesi akan berhubungan dengan reaksi ENL. Hal ini disebabkan
mengering hingga berwarna keunguan, didapatkan tersimpannya kompleks imun dan antigen M.leprae.
pembesaran dan penebalan saraf perifer dan Pemeriksaan rutin pada urin bisa didapatkan
penebalan nodus limfe, penebalan otot, nyeri pada albuminuria hingga +1 pada kasus ENL. Pemeriksaan
sendi bahkan bengkak, dan bisa juga epistaksis mikroskopis terhadap sedimen urin setelah
maupun proteinuria. Demam, sakit kepala, dan sentrifugasi juga sering didapatkan sel eritrosit, sel
8
insomnia dapat timbul akibat rasa nyeri yang pus, sel epitel, dan cast granular. Dari pemeriksaan
timbul.5,8 Pada kasus ini, gambaran klinis berupa hematologi, didapatkan leukositosis bervariasi dari
nodul eritematous multiple, didapatkan pula ulkus 20.000-50.000/mm3. Laju sedimentasi eritrosit
dasar nekrotik, berbentuk bulat oval, diameter (erythrocyte sedimentation rate) juga mengalami
bervariasi dari 0,5-2 cm, berbatas tegas, sebagian peningkatan. Pemeriksaan laboratorium pada pasien
tertutup krusta kehitaman pada lengan dan kaki. menunjukkan anemia hipokrom mikrositer dengan Hb
Pasien juga mengeluhkan demam dan juga nyeri pada 7,50g/dl, leukositosis, peningkatan kadar ureum,
sendi. Pasien ini menunjukkan gejala klinis eritema kreatinin, hipoalbumin, peningkatan ESR, dari hasil
nodosum leprosum yang berat. urinalisis didapatkan bakteriuria dan proteinuria
Kerusakan saraf dapat terjadi pada reaksi tipe sebanyak +1.
2, tetapi membutuhkan waktu lebih lama ENL merupakan sebuah reaksi kompleks imun
8,17
dibandingkan dengan reaksi tipe. Pada ENL berat, (reaksi antigen–antibody yang melibatkan
saraf dapat membengkak, nyeri, menebal dan mati komplemen). Reaksi ENL ini sendiri merupakan
rasa. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf sebuah reaksi hipersensitivitas tipe 3 (bedasarkan
17
ulnaris hingga menyebabkan claw hand. Pada kasus klasifikasi Coombs dan Gell) atau fenomena Arthus.
ini kedua saraf ulnaris dan peroneal komunis Pada lokasi yang mengalami ENL dapat ditemukan
mengalami penebalan dan mati rasa. Sepertiga dari IgG, IgM, komplemen (C3d), antigen mycobacterium,
total kasus yang dilaporkan, ENL sering didahului IL-4, dan mRNA. IL-4 dikenal sebagai stimulator dari
dengan gejala rheumatoid. Gejala-gejala tersebut sel β dan dapat meningkatkan ekspresi HLA-DR
dapat berupa seperti pembengkakan pada sendi, maupun faktor pertumbuhan pada sel mast. Pada lesi
nyeri, rasa tebal, dan terbatasnya gerakan sendi. 5,8,10 ENL yang sangat khas dapat ditemukan adalah
Proses infiltrasi dan timbulnya nodul pada septum dominasi dari granulosit polimorfonuklear (PMN).8
nasal maupun konka nasalis inferior (turbinate Pasien dengan tipe LL memiliki titer antibody yang
inferior) dapat menyebabkan pembengkakan dan tinggi terhadap antigen M. leprae. Jumlah konsentrasi
kesulitan bernafas. Nodul ini yang seringkali dari antigen sebanding dengan jumlah antibody
menimbulkan nyeri dan menjadi sumber epistaksis. berkorelasi terhadap proses pembentukan kompleks
Pasien memiliki riwayat epistaksis sekitar 7 bulan imun yang pada akhirnya tersimpan pada jaringan.
yang lalu. Komplemen terfokuskan pada kompleks imun yang
terdapat pada jaringan dan melepaskan factor

444
leukotatik PMN. Polimorfonuklear memfagositosis menjadi lobuler maupun septal panniculitis.20
kompleks imun dan mengeluarkan enzim protelitik Makrofag pada lapisan dermis dapat mengandung
yang menyebabkan inflamasi dan nekrosis pada organisme yang terfragmentasi ataupun organisme
jaringan tersebut.5,8 granuler dengan warna pink pada pengecatan Wade
Selama episode ENL, kompleks imun yang 5,8,19,20
Fite. IL-6 yang berperan dalam menstimulasi
beredar juga disertai dengan komplemen C1q, IgG, produksi dari CRP sering kali akan diproduksi dalam
dan IgM. Jika kompleks imun ini terdeposit pada jumlah yang lebih besar bila dipengaruhi oleh
dinding vaskuler maka akan menimbulkan vaskulitis. 21
neutrofil. Pemeriksaan histopatologikal pada kasus
Pada kasus lain selanjutnya kompleks imun ini dapat ini menunjukkan adanya reaksi lobuler pannikulitis
terdeposit pada jaringan yang jauh dari lesi utama. pada lapisan dermis disertai adanya limfosit dan
Mekanisme ini yang dapat menyebabkan timbulnya neutrofil.
reaksi ENL pada bagian kulit lainnya yang awalnya Pengecatan bakteri tahan asam sering kali
tidak mengalami ENL. Selain itu, mekanisme ini juga digunakan menggunakan pengecatan Ziehl Nielseen.
yang menjadi dasar terjadinya nefritis bahkan dapat Sebuah organisme basil tahan asam akan tercat dan
menyebabkan atralgia dan neuritis. Pada reaksi tipe 2, berwarna merah terang setelah pengecatan dan
didapatkan juga peningkatan dari rasio CD4 banding metilen biru sering digunakan sebagai bahan
5,8
CD8 dan disertai penurunan dari jumlah CD8. Pada kontras.22 Pemeriksaan hapusan kulit menggunakan
lesi, sel plasma akan menstimulasi produksi dari IL-4 pengecatan Ziehl Nielseen pada pasien menunjukkan
untuk meningkatkan produksi dari antibodi. Adanya basil tahan asam berbatas tegas, bergranulasi, dan
peran dari kompleks imun dan komplemen pada terfragmentasi. Indeks bakterial pada pasien ini +2.
reaksi ENL dapat ditemukan juga pada darah perifer. Pengecatan Ziehl Nielseen dari pus pada ulkus di kaki
Sitokin yang paling banyak muncul pada reaksi ENL pasien menunjukkan basil tahan asam terfragmentasi.
adalah IL-4, IL-5, TNF-α dan INF-γ. Sitokin-sitokin ini Faktor resiko dari ENL adalah kehamilan dan
diketahui bersifat pirogen sehingga menyebabkan menyusui. Reaksi tipe 2 berhubungan dengan imun
8,18
peningkatan suhu dan cidera pada jaringan. kompleks sehingga kehamilan dan menyusui yang
Pemeriksaan histopatologi dari ENL memiliki didominasi oleh respon Th2 dapat menjadi faktor
karateristik khusus berupa didapatkannya fokus resiko utama. Episode pertama dari reaksi tipe 2
inflamasi akut yang saling tumpah tindih dengan dapat muncul pada kehamilan awal dan pada akhir
5,19
multibasiler kronis. Edema papila dermis, dengan trimester ketiga, hal ini dapat berulang pada masa
infiltrat neutrofil pada bagian dermal serta adanya menyusui. 23 Hal ini lebih sering pada pasien dengan
limfosit dan makrofag banyak ditemukan pada kasus BI ≥4, penyakit yang tidak ditangani, dan pada M.
ENL ringan. Fokus inflamasi dapat ditemukan jauh leprae yang telah resisten. Reaksi ini dapat
dari lesi utama kulit dan sering kali terdapat dalam bertambah berat dan berulang.23,24 Satu kasus
lokasi yang lebih dalam dari lapisan dermis. Vaskulitis dengan ENL yang disertai dengan bulosa annular
sering dapat ditemukan juga pada kasus ENL. Dapat pernah dilaporkan pada kehamilan yang dapat
mengenai lapisan subkutis dan dapat berkembang terkendali dengan penanganan dari infeksi traktus
445
urinaria. 25 Pada kasus ini didapatkan kasus ENL yang prednisone, kortison, dan deksametasone yang dapat
diinduksi oleh kehamilan, nodul eritematosa tampak melewati plasenta manusia sehingga dapat
semakin memberat sejak kehamilannya dan infeksi meningkatkan resiko (walaupun sedikit) dari bibir dan
traktus urinaria pada pasien ini dapat semakin mulut sumbing bila dipaparkan pada trisemester
memperberat ENL nya. pertama.8 Pada kasus ini, pasien awalnya diterapi
Duncan dan Pearson melalui penelitian kohort dengan natrium diklofenak 2x50 mg akan tetapi tidak
pada 76 wanita dengan MB yang disertai kehamilan mengalami perbaikan dan lesi kulit semakin banyak
dan laktasi, menunjukkan 38% dari total pasien dapat dan ulseratif kemudian pasien diberikan
26 metylprednisolon 16 mg perhari selama 1 minggu
menyebabkan ENL. Tingkat kekambuhan lepra pada
kehamilan dipengaruhi oleh penurunan dari CMI. Hal kemudian dititrasi dan MDT MB tanpa dapsone,
ini diperkirakan akan semakin sering terjadi bila pemantauan lanjutan selama 3 minggu kemudian
disertai dengan proses penurunan imunitas. Duncan menunjukkan adanya perbaikan pada lesi, ulkus
et al meneliti tingkat relaps pada 36% wanita hamil mengering, nodul menjadi lebih rata. Pasien tidak
dengan lepra tipe PB, 3-36 bulan setelah release from demam dan tidak mengalami nyeri sendi lagi.
18 Steroid berperan untuk menginhibisi inflamasi
treatment (RFT) Lyde melaporkan kasus
lepramatous yang relaps pada pasien yang hamil pada fase awal dan fase akhir. Steroid menurunkan

setelah menerima rifampisin dan dapsone selama 20 kemotaksis dari neutrophil dan menginhibisi enzyme

bulan, membuktikan adanya kemungkinan relaps sintetase prostaglandin. Respon cepat terhadap

pada kehamilan di era terapi MDT.8 Pada kehamilan prednisolone tampak pada beberapa kasus serangan

terjadi proses down regulation terhadap respon Th1 pertama dari reaksi kusta tipe 2.28 Efek samping
disertai dengan penurunan produksi dari IL-2, jangka panjang tersebut seperti hipertensi, diabetes,
terutama pada kehamilan trimester ketiga. Pada katarak, dan osteoporosis. Clofazimine telah terbukti
kehamilan akan mengalami penurunan dari reaksi efektif sebagai terapi ENL dan mengurangi
lepra tipe 1 dan peningkatan dari reaksi lepra tipe 2, penggunaan dari steroid. Tetapi dibutuhkan sekitar 4-
yang berhubungan dengan peningkatan deposit dari 6 minggu hingga efek klinis baru mulai tampak.
kompleks imun dan aktivasi komplemen.23 Clofazimine kurang berguna sebagai terapi awal dari
Kortikosteroid dan thalidomide sering digunakan ENL akut, tetapi berguna pada kasus ENL yang
sebagai terapi pada ENL jika tidak terdapat kronis.29 Thalidomide juga efektif sebagai terapi ENL
kontraindikasi dan juga clofazimine dapat digunakan dan direkomendasikan WHO untuk dilakukan
sebagai obat lini kedua.27 WHO merekomendasikan pengawasan yang ketat karena memiliki efek
penggunaan prednisolone untuk ENL yang berat teratogenik berat.30 Analgesik seperti parasetamol
dengan dosis yang sama.28 Kortikosteroid dibutuhkan dibutuhkan untuk kasus demam dan nyeri. Terapi
untuk diberikan pada wanita hamil dengan lepra bila obat – obatan lain pada ENL berupa terapi pulse
mereka menunjukkan adanya reaksi (baik tipe 1 betamethasone, terapi pulse dexamethasone dengan
maupun tipe 2) terutama bila didapatkan neuritis. azathioprine, azathioprine, pentoxifylline,
Kortikosteroid sistemik yang umum digunakan berupa siklosporine A, pertukaran plasma, methotrexate,
446
sikofosfamide, zinc, mikofenolate mofetil, inhibitor kehamilannya. Reaksi tipe 2 yang termediasi oleh
leukotriene, derifat dari thalidomide, dan infliximab.28 kompleks imun akan timbul bila adanya peningkatan
dari antigen dan antibodi dan kehamilan sendiri
RINGKASAN terdominasi dari respon Th2.
Telah dilaporkan sebuah kasus wanita usia 33
tahun dengan kehamilan trisemester pertama dengan DAFTAR PUSTAKA
reaksi ENL berat. Pasien telah menyelesaikan 1. Venkatesan Krishnamurhy, Deo Nirmala.
pengobatan MDT-MB 4 tahun yang lalu. Pemeriksaan Biochemical Aspects. In Kumar Hemanta et all
dermatologis menunjukkan gambaran nodul editor. IAL Textbooks Of Leprosy. India. 2010,
eritematous, multiple, berbentuk lingkaran dan oval, chapter 8 pages 88-99
didapatkan nyeri, dengan diameter 0,5 – 2 cm, 2. Lee J. Delphine, Rea Thomas H, Modlin Robert L,
didapatkan juga rasa tebal menyebar di tangan, Leprosy in Wolff Klaus, Goldsmith Lowell A, Katz
lengan, kaki, dan wajah. Pada tungkai dan lengan Stephen I, Gilchrest Barbara, Paller Amy S, Leffel
didapatkan ulkus dengan dasar nekrotik, berbentuk David J editor. Fitzpatrick’s Dermatology in
bulat dan oval, dengan diameter bervariasi dari 0,5 – General Medicine. 8th ed. New York. McGraw-Hill;
2 cm, tidak terindurasi, teraba nyeri, sebagian 2012,p 2253-63
tertutup krusta hitam. Terdapat gejala neuritis pada 3. Lockwood DNJ, Leprosy. In : Burns Tony,
beberapa saraf dan limfadenopati. Pemeriksaan Breathnach Stephen, Cox Neil, Griffiths
laboratorium menunjukkan adanya anemia, Cheistopher editor. Rook’s Textbook of
leukositosis, peningkatan ureum, kreatinin, dan Dermatology. London Willey Blackwell; 2010.
hipoalbumin, peningkatan ESR, pemeriksaan Chapter 32 hal 1469-88
urinalisis, didapatkan adanya bakteriuria dan 4. James D William, Berger Timothy G, et all, Leprosy
proteinuria +1. Pemeriksaan bakteri tahan asam in Andrews’ Disease Of The Skin Clinical
menggunakan teknik pewarnaan Ziehl Neelsen Dermatology. Saunder Elsevier. 2010. Tenth
menunjukkan adanya adanya bakteri tahan asam Edition p. 343-352
dengan BI +2. Pemeriksaan histopatologis 5. Bryceson Anthony , Pfaltzgraff Roy E. Leprosy.
menunjukkan reaksi demis lobular pannikulitis 1990 Third Edition hal. 5
disertai dengan limfosit dan neutrophil. Pasien 6. Palit Aparna, Ragunatha S. Biochemical Aspect. In
didiagnosis dengan MH MB relaps dengan derajat Kumar Hemanta et all editor. IAL Textbooks Of
kecacatan tingkat 2, dan ENL berat. Pasien diterapi Leprosy. India. 2010, chapter 8 pages 122-43
dengan menggunakan regimen MDT MB tanpa 7. Jopling WH, McDougall AC. Leprosy Reactions. In:
dapsone, metilprednisolone 16 mg perhari selama Jopling WH, McDougall AC, editors. Handbook of
seminggu dan ditappering off, paracetamol 3x500mg. Leprosy. 5th ed. New Delhi: 82, CBS Publishers and
Follow up setelah 3 minggu terapi menunjukkan Distributors Pvt. Ltd; 1996. pp. 82–91
perbaikan pada lesi kulit dan keadaan umumnya. 8. Kumar Hemanta Kar, Sharma Pankaj. Leprosy
Faktor resiko dari ENL pada pasien ini adalah Reaction. In Kumar Hemanta et all editor. IAL

447
Textbooks Of Leprosy. India. 2010, chapter 22 17.Ali MY, Mahmud R, Barman RC, Islam MMSU. A
pages 269-89 Case Report on Recurrent Lepra Reaction-Type 2.
9. James D William, Berger Timothy G, et all, Leprosy Faridpur Med.Coll. J.2012; 7 (2) :93-97
in Andrews’ Disease Of The Skin Clinical 18.Stefani M, Guerra GK, Sousa ALM, et al, Potential
Dermatology. Saunder Elsevier. 2010. Tenth Plasma Markers Type 1 and Type 2 Leprosy
Edition p. 343-52 Reaction : a preliminary reaction. BMC Infectious
10.Kumano Kimiko. Leprosy Reaction. In Makino Diseases 2009;9:75
Masano, Matsuoka Masanor, Goto Masamichi et 19.Elder, David E, Elder, David E.; Elenitsas, Rosalie;
all editor. Leprosy Science Working Towards Johnson, Bernett L.; Murphy, George F, Leprosy in
Dignity. Tokyo. Tokai University press. 2013, Lever's Histopathology of the Skin, 9th Edition,
Chapter 14. Pages 154-73 Lippincott Williams & Wilkins. 2005. Chapter 21.
11.Kumar B, Dogra S and Kaur I. Epidemiological 20.Weedon David, Leprosy in Skin Pathology, 3rd
Characteristic in Leprosy Reaction : 15 years edition. Livingstone. Elsevier; 2010 p 562-66
experience from North India. Int J Lepr Other 21.Sarita Sasidharanpillai, Muhammed K et all. A
Mycobact Dis.2004. 72 :125-33 Study On Histological Features Of Lepra Reactions
12.Khana Nenna. Leprosy and pregnancy. In Kumar In Patients Attending The Dermatology
Hemanta et all editor. IAL Textbooks Of Leprosy. Department Of The Government Medical College,
India. 2010, chapter 25 pages 313-23 Calicut, Kerala, India . Lepr Rev (2013) 84, 51–64
13.Thorat M Dhaval, Sharma Pankaj. Epidemiology. In 22.Ahmad Brown Jameel, Special Stains In
Kumar Hemanta et all editor. IAL Textbooks Of Dermatophatology Division Of Dermatopathology
Leprosy. India. 2010, chapter 2 pages 24-34 University Of Arkansas, For Medical Sciences. USA
14.Angela Maria, Cristina Tatiana et all. Delayed http://www.dako.com/28829_2010_conn14_speci
Diagnosis of Multibacillary Leprosy: A Report of al_stains_dermatopathology_brown_and_smoller.
Eight Cases. The Brazilian Journal of Infectious pdf diakses 13 Desember 13 2015
Diseases 2009;13(1):155-57 23.Lockwood DNJ, Sinha HH, Pregnancy and Leprosy :
15.Pocaterra Leonor, Jain Suman, Reddy Rajgopal et A Comprehensive literature review. Int J Lepr
all. Clinical Course of Erythema Nodosum 1999; 67: 6-12.
Leprosum: an 11-year cohort Study in Hyderabad, 24.Lyde CB. Pregnancy in patient with Hansen’s
India. J. Trop. Med. Hyg., 74(5), 2006, pp. 868–79. disease. Arch Dermatol 1997;133:623-27
16.Feuth M, Brandsma Wim, Faber W R et all. 25.Verma Rajest ,Vasudevan Biju, Pragasam Vijendran
Erythema Nodosum Leprosum In Nepal: A et all. Bullous Erythema Nodosum Leprosum
Retrospective Study Of Clinical Features And Manifesting In The Post Partum Period With
Response To Treatment With Prednisolone Or Unusual Features. Lepr rev (2015) 86, 96–101
Thalidomide. Lepr Rev (2008) 79, 254–269 26.Duncan ME, Pearson JMH, Ridley DS et al.
Pregnancy and Leprosy : the consequences of
alteration of CMI and Humoral Immunity During

448
Pregnacy and Lactation . Int J lepr 1982; 50 : 425-
35
27.Ramien Michele, Wong Alexander. Severe
Refractory Erythema Nodosum Leprosum
Successfully Treated with the Tumor Necrosis
Factor Inhibitor Etanercept. Clin Infect Dis. 2011;52
(5) : 133-35
28.Kumar Hemanta Kar, Sharma Pankaj. Management
of Leprosy Reaction. In Kumar Hemanta et all
editor. IAL Textbooks Of Leprosy. India. 2010,
chapter 30 pages 386-99
29.Pocaterra Leonor, Jain Suman, Reddy Rajgopal et
all. Clinical Course Of Erythema Nodosum
Leprosum: An 11-Year Cohort Study In Hyderabad,
India. Am. J. Trop. Med. Hyg. 74(5), 2006, pages.
868–79
30.Walker Stephen, Doni Shimelis, et all. The
Mortality Associated with Erythema Nodosum
Leprosum in Ethiopia: A Retrospective Hospital-
Based Study, Plos Negl Trop Dis, 13 Maret 2014 :
s32q8 (3)

449
Review Artikel

ASTHMA - COPD OVERLAP SYNDROME (ACOS)

Ratih Renata, Susanthy Djajalaksana


Departemen/SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRAK
Menegakkan diagnosis Asma dan PPOK dapat menjadi sangat sulit pada kondisi tertentu, terutama pada
perokok dan usia tua. Beberapa pasien dapat mengeluhkan gejala sebagaimana asma dan PPOK secara
bersamaan, kondisi ini disebut ACOS (Asthma-COPD overlap Syndrome). ACOS atau Asthma-COPD overlap
Syndrome adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang menetap dengan beberapa
tanda yang terdapat pada asma bronkial dan PPOK. ACOS dapat ditegakkan dengan mencari fenotipe dari asma
dan PPOK yang ditandai dengan gejala asma dan PPOK, sering mengalami eksaserbasi, mengalami penurunan
kualitas hidup, mengalami penurunan fungsi paru lebih cepat, tingkat mortalitas yang lebih tinggi, dan
penggunaan fasilitas kesehatan yang lebih banyak dibandingkan dengan pasien dengan asma atau PPOK saja.

Kata kunci : Asma, PPOK, ACOS, fenotipe

ASTHMA - COPD OVERLAP SYNDROME (ACOS)


ABSTRACT
Asthma and COPD diagnosis can be very difficult in certain conditions, especially in smokers and old age. Some
patients may complain of symptoms as well as asthma and COPD simultaneously, a condition called ACOS
(Asthma-COPD overlap syndrome). ACOS or Asthma-COPD overlap syndrome is a disease characterized by
persistent airflow limitation with some signs for bronchial asthma and COPD. ACOS can be diagnosed by
figuring out the phenotypes of asthma and COPD, and characterized by often experience exacerbations,
decreased quality of life, decreased lung function more quickly, higher of mortality rate, and the use of health
facilities were more than patients with asthma or COPD alone.

Keywords : asthma, COPD, ACOS, phenotypes

Korespondensi:
Dr. dr. Susanthy Djajalaksana, SpP(K)
Email: susanthydj@gmail.com

Vol 3, No. 1, Jan - Apr 2018

450
PENDAHULUAN kualitas hidup, mengalami penurunan fungsi paru
Membedakan Asma dengan PPOK dapat lebih cepat, tingkat mortalitas yang lebih tinggi, dan
menjadi sangat sulit pada kondisi tertentu, terutama penggunaan fasilitas kesehatan yang lebih banyak
pada perokok dan usia tua. Beberapa pasien dapat dibandingkan dengan pasien dengan asma atau PPOK
mengeluhkan gejala sebagaimana asma dan PPOK saja1,20.
secara bersamaan, kondisi ini disebut ACOS (Asthma- Faktor Resiko Asma Bronkial, PPOK, dan ACOS
COPD overlap Syndrome)1. Saat ini dikenal beberapa faktor risiko yang
Diperkirakan 15-25% diantara penderita paru terkait ACOS, antara lain2,4,5 :
obstruktif (Asma bronkial dan PPOK) didiagnosis 1. Usia : > 40 tahun; antara 50-65 tahun
sebagai ACOS. Pasien dengan ACOS memiliki faktor 2. Infeksi (rhinovirus, influenza, mycoplasma, Airway
risiko kombinasi yaitu merokok dan atopi, pada hyperresponsiveness/AHR)
umumnya berusia lebih muda diantara penderita 3. Merokok : > 10 bungkus pertahun. Secara
PPOK, dan mengalami eksaserbasi lebih sering dan patofisiologi dapat mengubah inflamasi saluran
lebih berat dibandingkan pasien dengan PPOK saja2. nafas kecil (small airways) menyebabkan
Menegakkan diagnosis ACOS sampai saat ini terjadinya remodeling terkait dengan asma
masih sangat terbatas sumbernya karena belum bronkial.
banyak penelitian yang mengakomodir kondisi yang 4. Alergen : terdapat riwayat atopi (genetik),
ada pada pasien ACOS. Namun saat ini Negara rhinosinusitis
Jepang, Spanyol, dan Kanada telah mengeluarkan 5. Defisiensi α1-anti-trypsin dapat meningkatkan
guideline terbaru yang memasukkan ACOS sebagai kecenderungan terjadinya asma bronkial
salah satu fenotip dalam PPOK dengan pendekatan 6. Polusi udara : paparan gas noxious
2
terapi yang khusus . Asma bronkial dan PPOK saat ini 7. Gangguan pertumbuhan paru
mempunyai heterogenitas karakteristik sehubungan
dengan presentasi klinis, fisiologis, pencitraan, respon Pathogenesis Asma Bronkial dan Kaitannya Dengan
terhadap terapi, penurunan fungsi paru serta ACOS
ketahanan hidup, yang diakomodir dalam pembagian Asma bronkial adalah suatu penyakit
3,20
fenotip . inflamasi kronis yang berhubungan dengan
hiperresponsif bronkus, yang berakibat pada
Definisi Acos hambatan aliran napas yang bervariasi disertai gejala
Asthma-COPD overlap Syndrome (ACOS) respiratoris yaitu batuk, mengi, dada terikat, dan
adalah serangkaian gejala berupa keterbatasan aliran sesak, setelah terpapar oleh alergen spesifik. Pada
udara yang menetap dengan beberapa tanda yang penelitian terakhir telah ditemukan istilah fenotip
terdapat pada asma bronkial dan PPOK. ACOS dapat asma yang menggambarkan beragam proses
ditegakkan dengan mencari fenotipe dari asma dan patofisiologi yang terjadi pada asma. Dikenal ada tiga
PPOK yang ditandai dengan gejala asma dan PPOK, jalur inflamasi pada asma yaitu : eosinofilik asma,
sering mengalami eksaserbasi, mengalami penurunan neutrofilik asma, dan granulositik asma. Perbedaan

451
patofisiologi ini dapat menjawab beberapa kesulitan menurunkan kejadian eksaserbasi asma. Hal ini
dalam mencapai asma terkontrol, karena memunculkan dugaan bahwa kolonisasi bakteri dan
menghasilkan pendekatan terapi yang berbeda6. infeksi saluran napas bagian bawah seperti H.
Pada pasien asma tipe eosinofilik, terjadi influenza dan H. parainfluenzae berkontribusi
inflamasi klasik yang melibatkan Th2 dan sitokin IL-13 terhadap patogenesis asma berat. Diketahui pula
mengaktifasi sel limfosit B untuk memproduksi Ig E, bahwa makrolid mempunyai efek imunomodulator,
yang kemudian jika berinteraksi dengan sel mast akan antiinflamasi, dan antibiotik6,16.
menghasilkan antihistamin dan eosinofil sebagai
penyebab asma. Pendekatan terapi pada tipe Patogenesa PPOK Dan Kaitannya Dengan ACOS
eosinofilik ini adalah pemberian anti Ig E Pada PPOK reaksi inflamasi diawali dengan
(omalizumab) selain terapi standart asma yaitu adanya paparan iritan berupa asap rokok, asap
ICS+LABA6. kendaraan bermotor, asap pembakaran kayu, polusi
Pada pasien asma tipe granulositik atau udara yang terus menerus, dan zat noxious lainnya
dikenal dengan asma eosinofilik nonalergik, selain mempengaruhi epitel saluran napas dan makrofag
jalur klasik Th2 yang menghasilkan peningkatan alveolar. Sel epitel secara langsung mengeluarkan
eosinofil, terjadi juga aktivasi epithelial-innate sitokin TGF-β mengaktifkan fibroblast dari vaskuler
lymphoid cells type 2 (ILC2s) yang menghasilkan dan perialveolar menyebabkan terjadinya proses
peningkatan IL-5 dan IL-13. Sehingga penambahan fibrosis terutama pada saluran napas kecil (small
terapi anti-IL-5 monoklonal antibodi (mepolizumab) airways)7.
anti-IL-13 mendapatkan tempat. Pasien pada Disamping itu, aktivasi makrofag
klasifikasi ini banyak ditemukan pada asma dewasa menyebabkan teraktivasinya juga monosit, neutrofil,
(adult asthma/late onset), atau komorbid rinosinusitis Th1, dan Tc1. Neutrofil akan mengeluarkan enzim
kronis dan nasal polyposis. Ciri khas terapinya adalah protease, neutrofil elastase, dan MMP-9,
berespon buruk terhadap topikal ICS, namun menyebabkan hipersekresi mukus, dan perusakan
berespon baik terhadap kostikosteroid sistemik dan dinding alveolar (emfisema)7.
anti IL-5 serta anti IL-13 selain terapi asma standard Pada PPOK fenotip persisten sistemik
6,16
yaitu ICS+LABA . inflamasi, terjadi peningkatan IL-6 dan kolonisasi
Tipe fenotip asma ketiga yaitu asma bakteri akibat perubahan mikrobiome tubuh kita.
neutrofilik adalah asma yang melibatkan zat-zat iritan Pemberian anti IL-6 monoklonal antibodi
seperti asap rokok, mikroba, dan polutan lain sebagai (tocilizumab) saat ini masih dalam penelitian efikasi
pencetus eksaserbasi asma. Merupakan salah satu dan keamanannya. Sedangkan perubahan
patogenesa yang terjadi pada ACOS. Melibatkan sel mikrobiome – komunitas campuran dari sel-sel
limfosit Th 17 sebagai penghasil sitokin IL-17 serta mikroba dan gen-gen yang dikandungnya,
granulosit/makrofag (GM-CSF) yang menarik neutrofil bersimbiosis mutualisme dengan organ manusia –
dari vaskular. Terapi anti-IL-17 monoklonal antibodi menjadi lebih patogen, sehingga terjadi proses infeksi
(brodalumab) dan macrolide (azithromycin) terbukti berulang. Pemberian makrolid menjadi pilihan

452
terapinya. Namun perlu diperhatikan penggunaannya reseptor Glukokortikoid (GR), peningkatan ekspresi
pada orang tua karena beresiko terhadap jantung (QT GRβ dibandingkan dengan GRα, peningkatan faktor
memanjang menyebabkan aritmia) dan pengurangan transkripsi gen sitokin proinflamasi (AP-1, JNK),
pendengaran6. penurunan Treg dalam mekanisme imunologi, dan
Pada PPOK fenotip autoimun emfisema penurunan HDAC9.
ditemukan peningkatan jumlah folikel limfoid Interleukin-2, IL-4 dan IL-13 yang
disekitar saluran napas kecil dan parenkim paru. menunjukkan peningkatan ekspresi pada biopsi
Terbentuk dari sel B dan sel plasma yang bronkial pasien asma resistens kortikosteroid akan
menghasilkan Ig A. Ig A secara alami berfungsi menginduksi penurunan afinitas GR dalam sel
menyerang virus dan bakteri, sehingga bersifat inflamasi misalnya sel limfosit-T dan monosit yang
protektif bagi saluran napas. Namun sel B juga mengakibatkan resisten lokal terhadap antiinflamasi
menghasilkan CD20, CD22, IL-6, BAFF (B-cell kortikosteroid. Kombinasi IL-2 dan IL-4 menginduksi
activating factor) yang bersifat autoantibodi terhadap resistens kortikosteroid in vitro melalui aktivasi p38
sel epitel, sehingga harus dihambat. Terapi untuk MAP kinase yang akan menimbulkan fosforilasi GR
melawan CD20 (rituximab), CD22 (epratuzumab), IL-6 dan menurunkan afinitas pengikatan kortikosteroid
(tocilizumab), dan BAFF (belimumab) saat ini dalam dan translokasi inti yang diinduksi kortikosteroid pada
6
proses penelitian well-design RCTs . GR. Inhibitor p38 MAP-kinase diduga dapat
8,9
mengurangi resistens kortikosteroid .
Patogenesa Lain Pada ACOS
Resisten Kortikosteroid pada Asma dan PPOK
Kortikosteroid secara umum menunjukkan
efektivitas yang baik dalam mengontrol asma maupun
penyakit inflamasi kronik lain. Namun sejumlah kecil
pasien asma tidak menunjukkan respons yang baik
meskipun telah mendapat kortikosteroid inhalasi
maupun oral dosis tinggi. Pasien asma berat
membutuhkan dosis kortikosteroid inhalasi yang lebih Gambar 1. Kombinasi IL-2 dan IL-4 atau IL-13 menginduksi
resistens kortikosteroid in vitro melalui aktivasi p38 MAP
besar dan kadang-kadang dosis rumatan
kinase, JNK (teraktivasi oleh TNF-α), dan ERK (teraktivasi
kortikosteroid oral untuk mengontrol gejala asma. oleh SEB) yang akan menimbulkan fosforilasi GR dan
menurunkan afinitas pengikatan kortikosteroid dan
Stres oksidatif dilaporkan meningkat pada pasien translokasi inti. JNK : c-Jun N-terminal kinase; ERK :
extracellular signal-regulated kinase; SEB : staphylococcal
asma berat dan selama eksaserbasi. Penurunan HDAC
enterotoxin B. Dikutip dari Barnes, 2013.
diduga menyebabkan penurunan respons pasien
tersebut terhadap kortikosteroid serta relatif tidak Kombinasi efek asma dan asap rokok ini mirip
beresponsnya pasien asma terhadap kortikosteroid8,9. dengan yang terjadi pada pasien PPOK yang
Barnes menjelaskan bahwa mekanisme menunjukkan penurunan ekspresi dan aktivitas
resistensi kortokosteroid melibatkan fosforilasi HDAC2 yang berkorelasi dengan beratnya kelainan

453
dalam paru, saluran napas dan makrofag cairan BAL. diagnosis ACOS, antara lain : Anamnesa, pemeriksaan
Asap rokok dan inflamasi pada paru pasien yang fisik, Pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan
merokok ataupun PPOK akan membentuk anion mencakup : Spirometri, BODE index, skala MRC, dan
superoksida dan nitrit monoksida yang berkombinasi skor CAT. Selain itu dapat dilakukan
membentuk peroksinitrit kemudian meninggalkan bodyplethysmography untuk mengukur kapasitas
residu tirosin (Tyr) yang akan menginaktifkan peran difusi CO2, dilengkapi dengan BGA serta pemeriksaan
katalitik HDAC2 serta menjadi penanda enzim untuk radiologis (chest x-ray dan HRCT)10.
ubiquitination (Ub) yang mengakibatkan destruksi Anamnesis
oleh proteasom. Menurunnya HDAC2 menyebabkan Berdasarkan anamnesis penderita ACOS akan
peningkatan asetilasi histon, amplifikasi inflamasi dan ditemukan keluhan atau gejala, sebagai berikut1 :
mencegah efek antiinflamasi kortikosteroid8,9. • Gejala respirasi berupa sesak nafas setelah
beraktifitas (exertional dyspnea) yang menetap,
namun dengan kondisi yang bervariasi. Batuk
berulang dengan atau tanpa disertai dahak.
• Terjadi umumnya pada usia > 40 tahun, namun
dapat ditemukan keluhan yang sama pada masa
kecil atau dewasa muda.
• Ditemukan riwayat alergi, terdiagnosis asthma,
atau adanya paparan terhadap zat noxious
Gambar 2. Mekanisme reduksi ekspresi HDAC2 pada pasien (rokok atau zat kimia pabrik maupun rumah
PPOK, asma berat, dan asma perokok. Dikutip dari Barnes,
2013 tangga)

Diagnosis ACOS
Berdasarkan pedoman terapi Spanyol untuk
PPOK (Guia Espanola de la EPOC/GesEPOC)
diperlukan beberapa pemeriksaan untuk menegakkan

454
Tabel 1. Karakteristik asma, PPOK, dan ACOS
Feature Asthma COPD ACOS
Age of Onset Usually childhood Usually < 40 years of Usually age ≥ 40 years,
onset but can age but may have had
commence at any age. symptoms in childhood
or early adulthood
Pattern of Respiratory Symptoms may vary Chronic usually Respiratory symptoms
Symptoms over time (day to day, continuous symptoms, including exertional
or over longer particularly during dyspnea are persistent
periods), often limiting excercise, with ‘better’ but variability may be
activity. Often and ‘worse’ days prominent
triggered by exercise,
emotions including
laughter, dust or
exposure to allergens
Lung function Current and/or FEV1 may be improved Airflow limitation not
historical variable by therapy, but post- fully reversible, but
airflow limitation, e.g. BD FEV1/FVC < 0.7 often with current or
BD reversibility, AHR persists historical variability
Lung function between May be normal Persistent airflow Peristent airflow
symptoms between symptoms limitation limitation
Past history of family Many patients have History of exposure to Frequently a history of
history allergies and a noxious particles and doctor-diagnosed
personal history of gases (mainly tobacco asthma (current or
asthma in childhood, smoking and biomass previous), allergies and
and/or family history fuels) a family history of
of asthma asthma, and/or a
history of noxious
exposures
Time course Often improves Generally, slowly Symptoms are partly
spontaneously or with progressive over years but significantly
treatment, but may despite treatment reduced by treatment.
result in fixed airflow Progression is usual
limitation and treatment needs
are high
Chest X-ray Usually normal Severe hyperinflation Similar to COPD
& other changes of
COPD
Exacerbations Exacerbations occur, Exacerbations can be Exacerbations may be
but the risk of reduced by treatment. more common than in
exacerbations can be If present, COPD but are reduced
considerably reduced comorbidities by treatment.
by treatment contribute to Comorbidities can
impairment contribute to
impairment
Airway inflammation Eosinophils and/or Neutrophils ± Eosinophils and/or
neutrophils eosinophils in sputum, neutrophils in sputum
lymphocytes in
airways, may have
systemic inflammation
(GINA, 2015)

455
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan fisik, terutama saat Pemeriksaan BAL (bronchoalveolar lavage)
eksaserbasi akan ditemukan hal yang hampir sama penderita terduga ACOS ditemukan sel inflamasi :
pada kondisi asma maupun PPOK yaitu pemanjangan eosinofil dan neutrofil, limfosit T CD4+ dan CD8+, IgE,
fase ekspirasi, penggunaan otot bantu napas, IL-4, IL-5, IL-13, IL-1β, IL-8, IL-6, TNF-α, eotaxin, dan
pelebaran iga, penurunan stem fremitus, hipersonor protease2.
pada perkusi dinding dada, ditemukan suara napas
berupa mengi atau terjadi penurunan suara napas11. DLCO (Kapasitas difusi CO)
DLCO dapat diukur dengan alat
bodyplethysmograph. Dengan pengukuran metode
Spirometri sekali napas yang dikoreksi dengan kadar
Spirometri merupakan suatu alat sederhana hemoglobin. Hasil yang menunjukkan < 80%
yang digunakan untuk mengukur volume udara dalam mengindikasikan adanya emfisema setelah
paru (faal paru). Alat ini juga dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis anemia dan fibrosis paru.
mengukur volume statik dan volume dinamik paru. Apabila hasil tersebut ditemukan pada pasien asthma,
Volume statik terdiri atas volume tidal (VT), volume diindikasikan sebagai penderita ACOS14.
cadangan inspirasi (VCI), volume cadangan ekspirasi
(VCE), volume residu (VR), kapasitas vital (KV), Radiologi
kapasitas vital paksa (KVP), kapasitas residu Secara Radiologis penderita ACOS dengan
fungsional (KRF) dan kapasitas paru total (KPT). pemeriksaan CXR dan CT-scan dapat ditemukan tanpa
Contoh volume dinamik adalah volume ekspirasi kelainan, terutama pada stadium dini. Namun pada
paksa detik pertama (VEP1) dan maximum voluntary stadium yang berat, ditemukan hiperinflasi,
ventilation (MVV). Nilai normal setiap volume atau penebalan dinding saluran napas, air trapping,
kapasitas paru dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, hiperlusen (emfisema), dan berupa gambaran infeksi,
12,18
tinggi badan, berat badan, ras dan bentuk tubuh . Interstitial lung disease, atau gagal jantung1.
Interpretasi untuk ACOS berdasarkan hasil
pemeriksaan Spirometri adalah1,18 : Penatalaksanaan ACOS
• Post Bronchodilator FEV1/FVC < 0,7 Prinsip penatalaksanaan pada ACOS adalah
• FEV1 ≥ 80% nilai prediksi, menggambarkan mengontrol serta menurunkan gejala, mencegah
derajat ACOS ringan eksaserbasi dan penurunan fungsi paru, dengan
• Peningkatan FEV1 Post Bronchodilator > 12% dan memulai terapi Asma dan pemberian Kortikosteroid
400 ml dari data dasar (tanda reversibilitas) Inhalasi (ICS) dalam mencegah eksaserbasi, dengan
rincian obat yang digunakan harus mempunyai syarat
sebagai berikut2 :
• Aman dan ditoleransi dengan baik

456
• Terjangkau dan tersedia neutrofil, remodeling sel epitel dengan
• Sesuai dengan bukti klinis antara risiko dan hiperplasia sel goblet, IgE, IL-13 dan IL-5
perburukan fungsi dari asma dan PPOK • Jalur inflamasi Th1 pada PPOK, yang melibatkan
• Penggunaan kontroler dan terapi rumatan dapat limfosit CD8+ dan CD4+, makrofag alveolar,
mengontrol gejala serta mencegah eksaserbasi neutrofil, eosinofil, remodeling sel epitel, IFN-γ
dan hospitalisasi • Hipersekresi mucus, hiperplasia sel Goblet
• Menunjukkan efek anti radang tanpa • Hipertrofi dan disfungsi otot polos
mengganggu sistem pertahanan host • Angiogenesis jalan napas
• Menunjukkan perbaikan bermakna dalam • Fibrosis jalan napas dan penebalan subepitelial
kualitas hidup (QoL) yang dapat diukur dengan membran basalis
alat survey yang tervalidasi (CAT atau ACT) • Emfisema paru
• Penggunaan terapi yang tidak lebih dari dua kali • Infeksi akut dan kronis, misalnya virus, bakteri,
sehari dengan alat yang efektif dan mudah dan kolonisasi jamur.
digunakan pasien. Berdasarkan pedoman terapi yang di
Morbiditas pada ACOS dapat diakibatkan oleh keluarkan oleh National Asthma Education and
batuk, mengi, produksi sputum, sesak karena Prevention Program-Expert Panel Report 3 (NAEPP-
aktifitas, penurunan fungsi paru, serta efek samping EPR 3) tahun 2007 dan Global Initiative for Asthma
terapi. Mortalitas ACOS disebabkan dari eksaserbasi (GINA) tahun 2015 untuk manajemen Asma Bronkial
yang berulang disertai komplikasi, yang terberat bersama dengan Global Initiative for Chronic
2
adalah gagal nafas . Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2015
untuk manajemen PPOK merekomendasikan terapi
Terapi Farmakologis ACOS dengan kombinasi antara lain2 :
Target terapi dan intervensi untuk pasien 1) Broad-spectrum drugs :
ACOS bertujuan untuk menghentikan proses i) Bronkodilator serta kombinasinya : SABA,
patobiologi yang mendasari penyakit Asma, PPOK, SAMA, LABA, dan LAMA
dan ACOS. Selain pada saluran nafas kecil (small ii) Tripel terapi : ICS + LABA + LAMA/ PDE-4
airway disease) dan disfungsi otot polos, target terapi inhibitor + LABA + LAMA dalam satu alat
juga mempertimbangkan adanya disfungsi mukosilier, iii) Kortikosteroid inhalasi : Triamincolone,
infeksi kronis, kondisi imunokompromais, dan Beclometasone, Budesonide, Ciclesonid,
emfisema paru. Target terapi yang berpeluang Mometasone, Fluticasone propionate
menghentikan proses patobiologi dan etiologi ACOS iv) Penghambat PDE4 : roflumilast
antara lain2 : v) Metilxantin : Teofilin
• Menghentikan kebiasaan merokok vi) Penghambat 5-Lypooxygenase : Zileuton
• Jalur inflamasi Th2 pada Asma bronkial, yang vii) Antibiotik : azithromycin, moxifloxacin
melibatkan limfosit CD4+, sel Mast, eosinofil, viii) Pengencer dahak (mucoregulator) :
Carbocisteine
457
ix) Statin pada PPOK telah digantikan oleh golongan LAMA
(Tiotropium) sebagai terapi tunggal2.
2) Narrow-spectrum drugs :
i) Reseptor antagonis Leukotrien : Montelukast, Long-acting Muscarinic antagonist
Zafirlukast, Pranlukast Tiotropium (LAMA) terbukti secara signifikan
ii) Anti IgE : omalizumab menghambat kejadian eksaserbasi, dan mengontrol
iii) Novel mediator antagonis : anti IL-5 gejala seperti sesak dan dapat meningkatkan toleransi
(mepolizumab, reslizumab), anti IL-13 latihan fisik pada PPOK. LAMA bekerja memblokade
(Lebrikizumab), anti IL-8 kerja reseptor muskarinik M3. Waktu paruhnya
iv) Penghambat NF-κB sangat panjang yaitu 36 jam dibandingkan dengan
v) Penghambat p38 MAPK SAMA dan SABA sekitar 26-30 menit. Aclinidium
vi) Antagonis reseptor CRTH2 mempunyai kelebihan memperbaiki gejala nocturnal2.
vii) Penghambat Metalloproteinase Inhaler baru dengan kombinasi LAMA + LABA,
misalnya : aclidinium + formoterol, umeclidinium +
Bronkodilator SABA dan SAMA vilanterol, tiotropium + olodaterol, akan menjadi
formularium untuk PPOK dan kemungkinan juga
Inhalasi SABA digunakan untuk gejala akut
untuk ACOS2.
sebagai terapi tunggal. Inhalasi SAMA seperti
ipratropium lebih umum digunakan untuk terapi
Kortikosteroid Inhalasi (ICS)
PPOK dibandingkan dengan asma. SAMA bekerja pada
ICS adalah terapi paling efektif sebagai anti
penghambatan reseptor muskarinik M1 dan M3 pada
inflamasi pada manajemen asma bronkial. Inhalasi
saluran napas. Kombinasi SABA + ICS lebih
dan sistemik kortikosteroid bekerja terutama pada
memberikan respon yang memuaskan. Syaraf
limfosit tipe Th2 dan merespon pencetus allergen
parasimpatis berperan lebih dominan pada pasien
serta infeksi virus. Kortikostreoid bekerja pada
asma yang merokok terhadap terjadinya
reseptor glukokortikoid pada sitoplasma
bronkospasme. Obat golongan LAMA seperti
membalikkan histon asetilasi yang berperan dalam
tiotropium bromide baru ditetapkan sebagai pilihan
proses transkripsi gen proinflamasi2.
terapi asma, namun telah lama menjadi terapi utama
ICS merupakan pengontrol asma.
PPOK2.
Triamcinolone merupakan ICS dengan potensi paling
lemah, sedangkan Fluticasone Furoate merupakan ICS
Long-acting β2 agonis
dengan potensi paling kuat. Penggunaannya untuk
Penggunaan inhalasi LABA seperti salmeterol
PPOK masih kontroversial. Namun oleh American
dan formoterol diharuskan kombinasi dengan
Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory
tambahan ICS karena tingginya resiko kematian
Society (ERS) merekomendasikan penambahan ICS
apabila digunakan tunggal, penggunaannya dalam
pada LABA atau LAMA jika FEV1 < 50% nilai prediksi
dosis tetap sebagai pengontrol asma. Penggunaan

458
atau jika pasien mengalami eksaserbasi akut pada GOLD/ACP/ACCP/ATS/ERS tetap merekomendasikan
setahun terakhir2. ICS untuk PPOK dalam bentuk kombinasi.
Penggunaannya untuk ACOS masih mendapat
tempat2.

Triple therapy
Pasien dengan penyakit obstruktif yang
mengalami eksaserbasi > 2 kali pertahun atau
mempunyai nilai FEV1 < 50% nilai prediktif dapat
diberikan kombinasi tiga jenis obat : ICS, LAMA, dan
LABA dalam alat yang terpisah. Meskipun masih
kontroversial penggunaannya,

Gambar 3.Target farmakoterapi pada ACOS. Sumber : Louie et al, 2013

Terapi spektrum sempit pada Asma dan ACOS 5-lipoxygenase inhibitors (5-LO inhibitors)
Antagonis reseptor Leukotriene (LTRA)
Kerja zileuton adalah menghambat LTB4,
Dalam sebuah penelitian penggunaan
LTC4, LTD4, dan LTE. Namun penggunaannya adalah
montelukast secara rutin sebagai terapi tambahan
pilihan setelah penggunaan ICS, LABA, dan LTRA telah
untuk ICS + LABA meningkatkan 80% pasien asma
diberikan2.
terkontrol. Penggunaannya untuk pasien PPOK hanya
apabila terindikasi sebagai ACOS2.
Methylxanthines
Teofilin tersedia dalam formula cepat dan
lepas lambat untuk pasien PPOK dan Asma Bronkial2.

459
Omalizumab KESIMPULAN
Omalizumab adalah golongan monoklonal Patogenesa ACOS merupakan perpaduan
antibody yang terikat pada IgE bebas di dalam darah, antara proses inflamasi yang terjadi pada Asma
bekerja dengan cara mencegah perlekatan IgE dengan bronkial dan PPOK. Prinsip penatalaksanaan ACOS
sel mast dan basofil. Indikasi pemberiannya adalah adalah mengontrol serta menurunkan gejala,
Asma Bronkial sedang sampai berat dengan total IgE mencegah eksaserbasi dan penurunan fungsi paru.
antara 30-700 IU/ml. Diawali dengan percobaan Morbiditas pada ACOS dapat diakibatkan oleh gejala
terapi selama 4-6 bulan, kemudian dievaluasi gejala batuk, mengi, produksi sputum, sesak karena
dan eksaserbasinya. Terapi dihentikan apabila tidak aktifitas, penurunan fungsi paru, serta efek samping
ada perbaikan secara klinis2. terapi. Mortalitas ACOS disebabkan dari eksaserbasi
yang berulang disertai komplikasinya, dan yang
Penghambat PDE4 terberat adalah gagal nafas.
Roflumilast adalah satu-satunya obat oral
untuk terapi PPOK dengan menurunkan resiko DAFTAR PUSTAKA
eksaserbasi. PDE4 mengkatalisasi cAMP intraselular. 1. Global Strategy for Asthma Management and
Akumulasi cAMP intraselular meningkatkan proses Prevention (GINA) 2015. Http :
inflamasi sel dan sitokin. Roflumilast menurunkan www.ginaasthma.org
eosinofil dan neutrofil dalam sputum sebesar 42% 2. Louie Samuel, Amir A Zeki, Michael Schivo,
dan 31%, menurunkan eksaserbasi (14,3%), dan Andrew L Chan, Ken Y Yoneda, Mark Avdalovic,
meningkatkan FEV1 pada pasien PPOK2. Brian M Morrissey and Timothy E Albertson,
2013. Asthma-chronic obstructive pulmonary
Terapi Non Farmakologis disease overlap syndrome (ACOS):
Berdasarkan pedoman terapi yang pharmacotherapeutic considerations. Expert Rev.
dikeluarkan oleh GINA dan GOLD, beberapa saran Clin. Pharmacol. 2013; 6(2), p 197-219.
1,13
terapi non farmakologis antara lain : 3. Han K.M., Agusti A., Carverley P.M., Celli B.R.,
• Terapi untuk faktor resiko yang dapat diubah, Fabbri L.M., Curtis J.L., et al. 2010. Chronic
termasuk menghentikan kebiasaan merokok Obstructive Pulmonary Disease Phenotypes: The
(smoking cessation) Future of COPD. Am J Respir Crit Care Med Vol
• Terapi untuk komorbid 182. pp 598–604.
• Penyesuaian terhadap aktivitas 4. Marco Contoli, MD, PhD, Simonetta Baraldo,

• Strategi terapi yang sesuai dengan ‘terapi PhD, Brunilda Marku, MD, et al., 2010. Fixed

mandiri/self-management airflow obstruction due to asthma or chronic

• Kontrol rutin obstructive pulmonary disease: 5-year follow-up.


J Allergy Clin Immunol 2010 Vol 125:4, p 830-
837.
5. Postma Dirkje S., Marjan Kerkhof, H. Marike

460
Boezen, and Gerard H. Koppelman, 2011. 2013. Http : www.klikparu.com
Asthma and Chronic Obstructive Pulmonary, 13. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease Common Genes, Common Environments Disease (GOLD) 2015. Http : www.goldcopd.org
?.
 Am J Respir Crit Care Med 2011; Vol 183. p 14. Milanese, F. Di Marco, A.G. Corsico, G. Rolla, B.
1588–1594. www.atsjournals.org Sposato, F. Chieco-Bianchi, M. T. Constantino, M.
6. Bruselle dan Bracke, 2014. Targeting Immune A. Crivellaro, G. Guarnieri, N. Scichilone, 2014.
Pathway for Therapy in Asthma and Chronic Asthma control in elderly asthmatics. An Italian
Obstructive Pulmonary Disease. Ann Am Thorac observational study. Respiratory Medicine 2014
Soc Vol 11, Supplement 5, pp S322-328 (108). P 1091-1099
7. Ambrosino Nicolino dan Pierluigi Paggiaro, 2012. 15. Antonis Papaiwannou, Paul Zarogoulidis,
The management of asthma and chronic Konstantinos Porpodis et al., 2014. Asthma-
obstructive pulmonary disease : current status chronic obstructive pulmonary disease overlap
and future perspectives. Expert Review syndrome (ACOS): current literature review. J
Respiratory Medicine 6(1) 2012, p 117-127. Thorac Dis 2014:6, p 146-151.
8. Rozaliyani Anna, Agus Dwi Susanto, Boedi 16. Barnes Peter, 2008. The cytokine network in
Swidarmoko, Faisal Yunus, 2011. Mekanisme asthma and chronic obstructive pulmonary
Resistens Kortikosteroid Pada Asma. Jurnal disease. Journal of Clinical Investigation
Respirologi Indonesia. Vol. 31, No. 4, Oktober November 2008; 118, 11; ProQuest, p 3546-
2011. Hal 210-223 3556. www.jci.org
9. Barnes Peter, FRS,FMedSci, 2013. Corticosteroid 17. Carolan Brendan dan E. Rand Sutherland, 2013.
resistance in patients with asthma and chronic Clinical phenotypes of chronic obstructive
pulmonary disease. Journal Allergy Clinical pulmonary disease and asthma: Recent
Immunology Volume 131, No. 3: 636-645. advances. J ALLERGY CLIN IMMUNOL March
10. Al-Kassimi Feisal, Abdullah A. Abba, Mohammed 2013 ; 131:3, p 627-634.
Al-Hajjaj, Esam Alhamad, Emad Raddaoui, Shaffi 18. Centurion Valentin, Frank Huang, Edward T
Ahamed Shaikh, 2011. Asthma Masquerading as Naureckas, Carlos Camargo, Jeffrey Charbeneau,
Chronic Obstructive Pulmonary Disease: A Study Min Joo, Valerie G Press, Jerry Krishnan, 2012.
of Smokers Fulfilling the GOLD Definition of Confirmatory spirometry for adults hospitalized
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. with a diagnosis of asthma or chronic obstructive
Respiration 2011;82: p19-27 pulmonary disease exacerbation. BMC
11. Antariksa Budhi, Susanthy Djajalaksana, Pulmonary Medicine 2012, 12;73.

Pradjnaparamita, Joko Riyadi, Faisal Yunus, www.biomedcentral.com.
Suradi, Dianiati Kusumo, Wiwien Heru Wiyono, 19. McDonald Vanessa, Isabel Higgins, dan Peter
2011. PPOK : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Gibson, 2012. Managing Older Patients with
PDPI Juli 2011. Coexistent Asthma and Chronic Obstructive
12. Subagyo Ahmad, 2013. Spirometri. 31 Januari Pulmonary Disease. Springer International

461
Publishing Switzerland 2012, 30:1-17
20. Miravitlles M., Calle M., Soler-Cataluna J.J. 2013.
Clinical Phenotypes of COPD: Identification,
Definition and Implications for Guidelines.
Archivos de Bronconeumologia. 48(3):86-98.

462

Anda mungkin juga menyukai