Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH:

KETERSEDIAAN AIR PERMUKAAN DAN KEBUTUHAN AIR


PADA WILAYAH SUNGAI DI PULAU JAWA

Albertus Endry Putranto


NIM : 1705190008
.....................
NIM : 170.....................

MAGISTER TEKNIK ELEKTRO


UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
2018
PENDAHULUAN

Air merupakan sumberdaya alam yang strategis dan vital bagi kehidupan
manusia dan pembangunan, serta keberadaannya tidak dapat digantikan oleh materi

lainnya. Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan, baik dalam
lingkup atmosfir, litosfir, dan biosfir. Hampir semua kebutuhan hidup manusia

membutuhkan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga (domestik), pertanian,


industri, dan kegiatan ekonomi lainnya. Pasokan air untuk mendukung berjalannya

pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu dijamin kesinambungannya,


terutama yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitasnya sesuai dengan yang

dibutuhkan.
Ketersediaan air relatif tetap walau bervariasi menurut ruang dan waktu, sedang

kebutuhan air cenderung terus meningkat mengikuti peningkatan jumlah penduduk


serta taraf hidup sebagai hasil pembangunan. Keadaan ini diperkirakan telah

menimbulkan ketimpangan di berbagai daerah yang menyangkut pasokan dan


kebutuhan air. Saat ini satu dari empat orang di dunia kekurangan air minum dan

satu dari tiga orang tidak mendapat sarana sanitasi yang layak (Bouwer, 2000).
Menjelang tahun 2025, sekitar 2,7 milyar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia

akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat yang parah (Dinar, 1998).
Pulau Jawa dengan luas 7 persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya

memiliki potensi air tawar 4,5 persen dari total nasional. Namun demikian penduduk
di pulau Jawa mencapai sekitar 59 persen dari total penduduk Indonesia. Jelas,

kondisi tersebut menggambarkan bahwa potensi kelangkaan air yang sangat besar
akan terjadi di Jawa dengan daya dukung sumber daya air yang telah mencapai titik

kritis.
Hal ini terlihat dari data keseimbangan air tahun 2003 dimana dari total

kebutuhan air di Pulau Jawa dan Bali sebesar 38,4 miliar meter kubik pada musim
kemarau, hanya dapat dipenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau hanya sekitar 66

persen. Defisit ini diperkirakan akan semakin tinggi pada tahun 2030, dimana jumlah
penduduk dan aktifitas perekonomian meningkat secara signifikan. Diperkirakan
pada tahun 2030 total potensinya tinggal 1.200 m3/kapita/tahun, dimana hanya 35%

dari potensi alami tersebut yang layak secara ekonomis untuk dikelola. Maka potensi
aktualnya tinggal 400 m3/kapita/tahun. Potensi ini jauh di bawah standar angka

minimum yang ditetapkan PBB yaitu sebesar 1.100 m3/kapita/tahun (Nugroho, 2002,
2007).

Iklim P. Jawa berdasarkan data iklim dari Badan Meteologi dan Geofisika berada
pada tipe iklim A sampai F (Schmidt & Ferguson,1951) dengan curah hujan rata-rata

tahunan berkisar antara 1000-5000 mm/th. Iklim A dan B terutama terdapat di


Propinsi Jawa Barat, C dan D di Jawa Tengah, sedangkan E dan F terutama di Jawa

Timur.
Wilayah bagian utara P. Jawa berupa dataran rendah yang luas, memanjang dari

Serang di bagian barat sampai ujung timur, umumnya mempunyai sungai-sungai


lebar dan panjang (sampai 50 km) yang bermuara ke Laut Jawa. Sedangkan di bagian

tengah P. Jawa terdapat deretan gunung dan pegunungan yang merupakan tempat
hulu-hulu sungai utama. Di antara wilayah dataran rendah dan pegunungan/gunung

terdapat daerah peralihan yang berupa dataran dan lembah (kaki bukit). Di bagian
selatan terdapat wilayah yang topografinya bervariasi dari dataran rendah,

pegunungan dan wilayah patahan-patahan. Di wilayah bagian selatan ini terdapat


sungai-sungai besar yang bermuara ke Samudera Hindia tetapi tidak sebanyak dan

sepanjang sungai-sungai di bagian utara (panjang sungai umumnya antara 20-40


km).

Daerah Aliran Sungai (DAS) di P. Jawa umumnya pendek (30-70 km), sempit dan
curam (banyak berjurang), luasnya rata-rata kurang dari 250 km2. Di antara DAS-DAS

tersebut terdapat 24 DAS yang mempunyai luas lebih dari 250 km2 termasuk di
dalamnya 7 DAS kritis yang mempunyai luas lebih dari 3000 km2 dan 2 DAS

mempunyai luas lebih dari 10.000 km2 (DAS Brantas 11.050 km2 dan DAS Solo
15.400 km2).

Berdasarkan laporan ReppProT (1989), lebih dari 70% areal daratan P. Jawa telah
menjadi areal pemukiman dan budidaya. Penggunaan lahan terluas adalah untuk
budidaya lahan basah, menyusul perkebunan/tanaman keras, pemukiman, semak

belukar dan hutan. Hutan tanaman termasuk dalam kategori kawasan


perkebunan/tanaman keras, sedangkan yang dimaksud dengan hutan adalah hutan-

hutan yang terdapat di gunung-gunung berupa vegetasi alami (hutan lindung).


Menurut Perum Perhutani (1995) luas kawasan hutan tetap di P. Jawa dan Madura

adalah 3.054.134 ha, yang terbagi menjadi 1.938.816 ha hutan produksi, 608.367 ha
hutan lindung, 420.800 hutan wisata suaka alam dan 86.151 ha hutan cadangan.

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka bertambah pula


kebutuhan akan air untuk berbagai keperluan, antara lain untuk memenuhi

kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian, perkotaan, industri, energi, wisata, olah raga,
dan pemeliharaan lingkungan. Sementara itu air yang tersedia jumlahnya tetap,

bahkan ada yang kualitasnya berkurang karena tercemar. Fenomena ini membuat
munculnya konflik kepentingan akan air, baik antar sektor, antar wilayah administrasi,

dan hulu-hilir dalam satu sungai. Indikator untuk melihat seberapa besar kebutuhan
air dibandingkan dengan jumlah air yang tersedia adalah neraca air.

Studi ini hanya memperhitungkan ketersediaan air permukaan tanpa


memperhatikan ketersediaan dan penggunaan air tanah, serta tidak

memperhitungkan keluar masuknya aliran air maya. Padahal dalam kenyataannya


sebagian besar penduduk menggunakan air sumur untuk pemenuhan air baku, serta

di kota-kota besar pemenuhan air minum dipenuhi oleh air kemasan yang berasal
dari luar wilayah. Sehingga hasil studi ini hanya memberikan indikasi tingkat

kerawanan ketersediaan air setiap wilayah sungai di indonesia.


Komponen-komponen yang paling berpengaruh untuk menghitung neraca air

adalah kebutuhan air irigasi dan kebutuhan air untuk RKI (rumah tangga, perkotaan,
industri dan perikanan), mengacu pada Rencana Tata Ruang wilayah pada daerah

studi bahwa pengembangan kota akan diarahkan pada perkembangan beberapa


sektor tersebut.

Dengan demikian hendaknya dilakukan suatu perencanaan yang tepat agar


kebutuhan air dapat terpenuhi. Khusus kebutuhan air untuk irigasi diperlukan
pengkajian dan perencanaan unit kebutuhan airnya secara cermat dan teliti, hal ini

penting dilakukan karena kebutuhan air untuk irigasi merupakan komponen yang
paling tinggi kebutuhan airnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Perkiraan Kebutuhan Air di P. Jawa

Pulau jawa merupakan daerah dengan penduduk terpadat di Indonesia, yaitu


sekitar 800 orang per km2. Tingginya kepadatan perduduk tersebut cenderung

menyebabkan tingginya kebutuhan lahan pemukiman, pertanian dan sekaligus


kebutuhan air. Menurut Albernithy (1997), jumlah penggunaan air sangat

dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan jumlah penduduk. Berdasarkan data


jumlah penduduk dan tingkat pendapatan penduduk dari tahun ke tahun dapat

dilihat bahwa kebutuhan air bersih di Pulau jawa cenderung terus meningkat, seperti
ditunjukkan dalam Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Kebutuhan air dari tahun-ketahun

Pendekatan lain dalam menghitung kebutuhan air adalah dengan cara

memerinci lebih detail semua kebutuhan air yang terdiri dari kebutuhan air domestik,
non domestik, kebutuhan air untuk industri, kebutuhan air untuk pemeliharaan

sungai, kebutuhan air untuk peternakan, kebutuhan air untuk perikanan, dan
kebutuhan air untuk irigasi. Berdasarkan pendekatan ini, kebutuhan air di P. Jawa dan

Madura adalah seperti terlihat dalam Tabel 1. Kananto dkk (1998).

Tabel 1. Kebutuhan air di Pulau Jawa – Madura


Tahun Kebutuhan Air (juta m3/thn)
1995 59982.14
2000 59972.29
2005 60340.40
2010 60827.76
2015 59573.29
2020 60295.45
Sumber : Kananto dkk (1998)

Perkiraan Ketersediaan Air di P. Jawa

Di Pulau Jawa, hujan rata-rata bervariasi antara 1500-5000 mm/th dengan rata-
rata 2.650 mm/thn. Sedangkan perkiraan air hilang (evapotranspirasi) sebesar 1200

mm/th dengan demikian curah hujan efektif di P. Jawa per tahun sebesar 1.450 mm
atau setara dengan 186,2 milyar/th (Perum Perhutani, 1992). Menurut hasil studi

yang dilakukan oleh Kananto dkk. (1998), jumlah total tahunan air yang tersedia
adalah 142,3 milyar m3/tahun.

Sebaran hujan menurut tempat tidak merata, yaitu tinggi di pantai selatan dan
semakin rendah ke arah utara dan dari ujung barat ke arah timur juga semakin

menurun jumlah hujannya. Berdasarkan waktu, distribusi hujanpun tidak merata,


dimana lebih dari 80% dari seluruh hujan turun dalam periode Desember sampai

bulan Mei dan sisanya sebesar 20% turun pada bulan Agustus hingga bulan
Nopember. Penyebaran ketersediaan air di P. Jawa dalam satu tahun disajikan dalam

Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Ketersediaan air di Pulau Jawa (m3/det)


Bulan Rata-rata Tahun Kering
Januari 9.346 4.166
Februari 10.177 4.536
Maret 10.019 4.466
April 8.382 3.736
Mei 5.902 2.630
Juni 3.155 1.388
Juli 2.233 995
Agustus 1.555 693
September 1.752 781
Oktober 2.629 1.172
Nopember 5.195 2.316
Desember 7.428 3.311
Neraca Air di Pulau Jawa
Penyusunan neraca air di suatu tempat dan pada suatu tempat dimaksudkan

untuk mengetahui jumlah netto dari air yang diperoleh sehingga dapat diupayakan
pemanfaatannya sebaik mungkin (I Gede.2009).

Menurut Mather (1978) istilah neraca air mempunyai beberapa arti yang
berbeda tergantung dari skala ruang dan waktu :

• Skala makro : neraca air dapat digunakan dalam pengertian yang sama seperti
siklus hidrologi, neraca global tahunan dari air di lautan, atmosfer dan bumi pada

semua fase;
• Skala meso : neraca air dari suatu wilayah atau suatu drainase basin utama;

• Skala mikro : neraca air yang diselidiki dari lapangan bervegetasi, tegakan hutan
atau kejadian individu pohon.

Neraca air merupakan perimbangan antara masukan (input) dan keluaran


(output) air di suatu tempat pada suatu saat/ periode tertentu. Dalam perhitungan

digunakan satuan tinggi air (mm, atau cm). Satuan waktu yang digunakan dapat
dipilih satuan harian, mingguan, dekad (10 harian), bulanan ataupun tahunan sesuai

dengan keperluan(I Gede.2009).


Berdasarkan angka-angka perkiraan ketersediaan dan kebutuhan air tersebut

di atas, jumlah total tahunan air yang tersedia di P. Jawa masih lebih besar dari
kebutuhan air (Gambar 2). Dengan kata lain, P. Jawa masih surplus air ditinjau dari

volume air tahunan. Meskipun jumlah air surplus tersebut cenderung semakin
berkurang. Oleh karena itu dimasa mendatang dengan semakin meningkatnya

penduduk dan pembangunan di Pulau jawa maka ketersediaan air akan menjadi
masalah. Pada saat sekarangpun kalau kita lihat neraca air bulanan, dibeberapa

tempat di Pulau jawa banyak mengalami defisit air, karena distribusi hujan bulanan
tidak merata sepanjang tahun sehingga pada bulan-bulan tertentu di P. Jawa secara
keseluruhan akan mengalami defisit (Gambar 3.)
Gambar 2. Ketersediaan air di Pulau Jawa dari tahun ke tahun

Gambar 3. Keseimbangan air bulanan di P. Jawa tahun 2020 dengan dan tanpa

peningkatan efisiensi Irigasi

Peranan Sungai Terhadap Tata Air


Ketersediaan air dalam pengertian sumberdaya air pada dasarnya berasal dari

air hujan (atmosferik), air permukaan dan air tanah. Hujan yang jatuh di atas
permukaan pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Wilayah Sungai (WS)

sebagian akan menguap kembali sesuai dengan proses iklimnya, sebagian akan
mengalir melalui permukaan dan sub permukaan masuk ke dalam saluran, sungai

atau danau dan sebagian lagi akan meresap jatuh ke tanah sebagai pengisian
kembali (recharge) pada kandungan air tanah yang ada (Anonim, 2006) Secara

keseluruhan jumlah air diplanet bumi ini relatif tetap dari masa ke masa (Suripin,
2002). Ketersediaan air yang merupakan bagian dari fenomena alam, sering sulit

untuk diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini karena ketersediaan air
mengandung unsur variabilitas ruang (spatial variability) dan variabilitas waktu

(temporal variability) yang sangat tinggi.

Gambar 4. Distribusi curah hujan di Pulau Jawa

Sebagian besar air sungai di Jawa (Gambar 5.) sudah dalam status Kelas III atau
bahkan Kelas IV. Hilir Sungai Ciliwung (wilayah Jakarta), air sungai telah jauh

melampaui standar Kelas IV. Kombinasi limbah domestik yang tidak diolah,
pembuangan limbah padat, dan limbah industri telah menyebabkan krisis kesehatan

masyarakat yang besar.

Gambar 5. Status Kualitas Air Sungai di P.Jawa


METODE STUDI

Penelitian ini bersifat deskriptif – kuantitatif dan kualitatif yang menekankan


pada penggambaran dan pemahaman fenomena yang kompleks pada hubungan

antar faktor yang berpengaruh. Penelitian ini tidak menghitung keseimbangan air
secara langsung, namun berdasarkan berbagai studi literatur yang ada. Sebab hingga

saat ini sudah pernah dilakukan perhitungan keseimbangan air untuk P.Jawa dengan
berbagai metode sesuai dengan tujuannya. Data dan informasi berdasarkan studi

literatur diharapkan dapat saling menutupi kelemahan dan melengkapi


data/informasi yang dibutuhkan serta menangkap realitas masalah menjadi lebih

diandalkan. Dengan studi literatur akan diketahui sampai dimana terdapat


kesimpulan dan generalisasi yang telah pernah dibuat sehingga situasi yang

diperlukan dapat diperoleh (Sitorus, 1989; Nazir, 1999).


Berdasarkan hasil penelusuran literatur yang ada maka diperlukan adanya

validasi data dan informasi agar dapat saling menutupi kelemahan dan melengkapi
data/informasi yang dibutuhkan sehingga dapat menangkap realitas masalah

menjadi lebih valid. Validasi dalam analisis keseimbangan air didasarkan pada
keseimbangan air yang merupakan suatu gambaran umum mengenai kondisi

ketersediaan air dan pemanfaatannya di suatu daerah.

Perhitungan Ketersediaan Air


Ketersediaan air permukaan di wilayah sungai ini dihitung berdasarkan data

debit aliran sungai pada pos duga air yang terukur di lapangan, Data debit aliran
sungai yang digunakan hanya data yang telah dipublikasikan secara resmi dalam

Buku Publikasi Pusat Litbang Sumber Daya Air, Badan Litbang Pekerjaan Umum,
Kementerian Pekerjaan Umum. Untuk setiap wilayah sungai di Indonesia dihitung

nilai ketersediaan air permukaan, yang dinyatakan sebagai tinggi aliran bulanan
rata-rata, dan andalan Q80%, sehingga dengan mengalikan tinggi aliran dengan

luas daerah tangkapan airnya, pada titik lokasi manapun juga di Indonesia, dapat
diperkirakan jumlah ketersediaan airnya.
Metode Perhitungan
Untuk memperoleh ketersediaan air permukaan di wilayah sungai, metode

yang digunakan adalah dengan dasar debit aliran sungai yang diukur pada pos duga
air, dikonversikan menjadi nilai ketersediaan wilayah sungai, melalui rangkaian

prosedur sebagai berikut:


1. Pengumpulan dan penyaringan data debit aliran sungai bulanan

2. Perhitungan debit rata-rata dan debit andalan Q80% pada pos duga air
3. Perhitungan debit rata-rata dan debit andalan Q80% pada Daerah Aliran

Sungai
4. Perhitungan debit rata-rata dan debit andalan Q80% pada Wilayah Sungai

Perhitungan Kebutuhan Air

Pada buku ini kebutuhan air yang dihitung meliputi kebutuhan air rumah-
tangga, perkotaan dan industri (RKI), irigasi, dan kebutuhan air untuk aliran

pemeliharaan sungai.

Kebutuhan Air Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri


Besarnya nilai kebutuhan air bersih untuk rumah tangga tergantung dari

kategori kota berdasarkan jumlah penduduk yang dinyatakan dalam satuan


Liter/Orang/Hari (L/O/H) sebagaimana pada tabel berikut.

Tabel 3. Kebutuhan air rumah-tangga

No Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Kebutuhan Air (L/O/H)


1 Semi Urban (Ibu 3000-20000
Kota/desa) 60-90
2 Kota Kecil 20000-100000 90-110
3 Kota Sedang 100000-500000 100-125
4 Kota Besar 500000-1000000 120-150
5 Metropolitan >1000000 150-200

Kebutuhan air perkotaan mencakup aspek komersial dan sosial seperti:


toko, gudang, bengkel, sekolah, rumah sakit, hotel dan sebagainya yang
diasumsikan antara 15% sampai dengan 30% dari total air pemakaian air bersih

rumah tangga. Dalam buku ini diasumsikan sebesar 30% dari kebutuhan air bersih
rumah tangga.

Kebutuhan air industri pada suatu wilayah sungai memerlukan studi yang
khusus dilaksanakan untuk hal tersebut. Dalam buku ini besarnya kebutuhan air

industri pada setiap wilayah sungai digunakan besaran yang diperoleh


berdasarkan hasil studi-studi terdahulu.

Kebutuhan Air Irigasi

Kebutuhan air irigasi dihitung berdasarkan Pedoman Perencanaan Irigasi


KP01 (Ditjen Pengairan,1985), dengan menggunakan data luas lahan irigasi, jadwal

tanam, evapotranspirasi acuan, curah hujan efektif, jenis tanah, dan efisiensi
saluran irigasi. Data luas irigasi yang digunakan dalam perhitungan merupakan

data yang didapatkan dari setiap wilayah sungai di Indonesia, yang kemudian
dibandingkan dengan data luas irigasi berdasarkan pada Keputusan Menteri

Pekerjaan Umum Tahun 2007 mengenai status daerah irigasi. Hasil perhitungan
kebutuhan air irigasi yang digunakan yaitu berupa nilai DR (diversion requirement)

yaitu kebutuhan air di pintu pengambilan.

Neraca Air
Neraca air dinyatakan dalam:

a) Indeks Pemakaian Air (IPA);


b) Indeks Ketersediaan Air per Kapita; dan

c) Neraca Surplus dan Defisit

Indeks Pemakaian Air


Indeks Pemakaian Air atau IPA dihitung berdasarkan rumus

IPA = Qkebutuhan / Qketersediaan


dengan :
IPA = Indeks Pemakaian Air

Qketersediaan = ketersediaan air


Qkebutuhan = kebutuhan air.

Tabel 4. Klasifikasi Indeks Pemakaian Air (IPA)

Indeks Pemakaian Air (IPA) Klasifikasi

Di bawah 25% Tidak kritis

Antara 25% dan 50% Kritis ringan

Antara 50% dan 100% Kritis sedang

Diatas 100% Kritis berat

Indeks Ketersediaan Air per Kapita

Seberapa besar jumlah air yang tersedia pada suatu wilayah sungai dibandingkan
dengan jumlah penduduk di dalam wilayah tersebut dinyatakan dengan indeks

ketersediaan air perkapita. Indeks ini telah lazim digunakan di berbagai negara,
antara lain oleh HR Wallingford (2003), Sullivan dkk. (2003), dan Mawardi (2008).

Tabel 5 menerangkan kondisi berdasarkan nilai indeks ketersediaan perkapita.


Perhitungan ketersediaan air per kapita, dengan membagi jumlah air yang tersedia,

dengan jumlah penduduk di wilayah sungai.

Tabel 5. Kondisi Kelangkaan Air

Neraca Surplus dan Defisit


Neraca surplus-defisit dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Neraca = Qketersediaan – Qkebutuhan
dengan :

Neraca = neraca air, Surplus jika hasil persamaan positif dan defisit apabila
hasil persamaan adalah negatif.

Qketersediaan = ketersediaan air


Qkebutuhan = kebutuhan air.

Neraca surplus defisit ini biasa disusun dalam satuan bulan atau tengah-bulan dalam
setahun.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebutuhan, Ketersediaan dan Penggunaan Air


Permintaan dan penggunaan air di Indonesia terkonsentrasi di Jawa di mana

kebanyakan orang tinggal, sebagian besar kegiatan komersial berlangsung, dan


sebagian besar beras dihasilkan. Pulau Jawa adalah satu-satunya pulau di Indonesia

yang merupakan pengimpor air virtual melalui perdagangannya dengan pulau-pulau


lain. Karena kelimpahan sumber daya air, permintaan yang sebenarnya masih jauh di

bawah sumber daya yang berpotensi tersedia di wilayah sungai.

Gambar 6. Permintaan Air yang ada di Jawa (m3/s)

DMI = permintaan domestik, kota dan industri, m3/d = meter kubik per detik.
Secara keseluruhan Pulau Jawa hanya memiliki air permukaan 4,4% dari

seluruh air permukaan di Indonesia yang jumlahnya hampir 3,6 trilyun meter-kubik
air per-tahun, atau setara dengan 124 ribu meter-kubik per-detik.
Perhitungan kebutuhan air menunjukkan bahwa di kebutuhan air terbesar
adalah kebutuhan air di pulau Jawa yaitu sebesar 2,079 m3/s. Kebutuhan air pulau

Jawa mencakup 12% kebutuhan air RKI (240 m3/s) dan 88% kebutuhan air irigasi
(1,838 m3/s). Grafik besar kebutuhan air tiap pulau di Indonesia disajikan pada

Gambar 7. Hasil yang berbeda diperoleh dari perhitungan kebutuhan air dengan
memasukkan kebutuhan air aliran pemeliharaan yaitu sebesar debit andalan 95%.

Secara jelas grafik kebutuhan air dengan memasukkan kebutuhan air aliran
pemeliharaan dalam perhitungan disajikan pada Gambar 8. Besaran kebutuhan air

untuk masing-masing pulau disajikan secara rinci pada Tabel 6.


Gambar 7. Grafik kebutuhan air pulau-pulau di Indonesia

Gambar 8. Grafik kebutuhan air pulau-pulau di Indonesia dengan aliran

pemeliharaan

Tabel 6. Kebutuhan Air Tahun 2010 pulau-pulau di Indonesia

Mengacu pada konsep pedoman neraca air, untuk pulau jawa berdasarkan

nilai IPA sudah memasuki zona “kritis sedang” karena nilai IPA yang sudah diatas
50%. Hasil yang cukup signifikan berbeda ditunjukkan dengan nilai IPA yang dihitung
berdasarkan kebutuhan air tanpa aliran pemeliharaan. Tanpa memasukkan

kebutuhan air aliran pemeliharaan kedalam perhitungan memberikan hasil bahwa


pulau Jawa yang masuk pada zona kritis, yaitu “kritis ringan” dengan hasil

perhitungan IPA antara 25% - 50%. Perbedaan yang signifikan ini dikarenakan
besarnya kebutuhan aliran pemeliharaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai dimana pada pasal 25
disebutkan bahwa perlindungan sungai dimaksudkan untuk menjaga ekosistem

sungai, mulai dari hulu hingga ke muara, dimana perlindungan aliran pemeliharaan
sungai dilakukan dengan debit andalan 95% (sembilan puluh lima persen).

Tabel 7. memberikan ringkasan hasil Indeks Pemakaian Air menurut kepulauan


di Indonesia. Hasil perhitungan perwilayah sungai menunjukkan bahwa umumnya

wilayah sungai yang ada di pulau jawa sudah masuk pada zona kritis, baik itu kritis
ringan maupun sedang.

Peta indeks pemakaian air di pulau jawa diperjelas dengan menampilkan


proporsi penggunaan air didalamnya yang ditunjukkan pada Gambar 9. Wilayah

sungai yang masuk pada zona “kritis sedang” dengan nilai IPA antara 50% - 100%
adalah WS Welang Rejoso, WS Serayu Bogowonto, WS Pekalen Sampean, WS

Brantas, dan WS Bengawan Solo. Wilayah Sungai yang masuk pada zona “kritis
sedang” adalah WS Baru-Bajulmati, WS Bodri-Kuto, WS Bondoyudo-Bedadung, WS

Cidanau-Ciujung-Cidurian, WS Citarum, WS Cimanuk-Cisanggarung, WS Pemali-


Comal, WS Progo-Opak-Serang, dan WS Wiso-Gelis.
Gambar 9. Peta Indeks Pemakaian Air Pulau Jawa Tahun 2010

Melihat pulau Jawa yang merupakan pulau dengan populasi terbesar di

Indonesia memiliki indeks ketersediaan air perkapita sebesar 1,169. Mengacu pada
kondisi kelangkaan air yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa ternyata di

pulau Jawa sudah masuk pada kondisi “ada kelangkaan (stress)”.


Perhitungan indeks ketersediaan air perorang di pulau jawa menunjukkan

beberapa wilayah sungai sudah masuk pada kondisi “ada kelangkaan (scarcity)” yatu
WS Brantas, WS Serayu Bogowonto, WS Welang Rejoso dan WS Kep.Seribu. Wilayah

sungai yang masuk pada kondisi “Kelangkaan mutlak (absolute scarcity)” adalah WS
Ciliwung Cisadane. Kondisi ketersediaan air perorang disajikan dalam bentuk peta

pada Gambar 10.

Gambar 10. Peta Kebutuhan Air Per Orang Tahun 2010

Terlepas dari hasil perhitungan IPA dan indeks ketersediaan air perkapita yang
memberikan hasil bervariasi, jika dilihat dari hasil perhitungan neraca air dengan cara

mengurangkan ketersediaan air permukaan dengan kebutuhan airnya menunjukkan


bahwa pulau-pulau di Indonesia masih memiliki surplus akan air. Kesimpulan ini

diambil dengan melihat hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 7 dimana
perhitungan neraca air untuk kondisi tahun 2010 dengan atau tanpa aliran
pemeliharaan memberikan angka positif. Ini berarti bahwa ketersediaan air secara

total di masing-masing pulau masih lebih besar dari kebutuhan air di pulau tersebut.
Meskipun demikian pada umumnya wilayah sungai di Jawa pada musim

kemarau mengalami kekurangan air sebagaimana pada gambar berikut.

Gambar 11 Neraca air bulanan WS Cimanuk-Cisanggarung

Tabel 7. Neraca Air dan Indeks Pemakaian Air.

Tabel 8. Indeks Ketersediaan Air Perkapita.

Pertumbuhan populasi dan Permintaan Air Domestik, Kota, dan Industri


Prediksi populasi Statistik Indonesia (Tabel 9) menunjukkan pertumbuhan di

Jawa. Pertumbuhan perkotaan sangat tinggi di Jawa dan menunjukkan penurunan


tertinggi dalam populasi pedesaan (baik dalam jumlah absolut maupun persentase).

Tabel 9. Prediksi populasi pertumbuhan di P.Jawa

Perkiraan jumlah penduduk (dalam jumlah)

Gambar 12 menunjukkan perkiraan air permukaan per kapita per tahun di


Jawa. Dampak dari populasi yang sangat tinggi di Jawa. Sebagai perbandingan,

penggunaan perkotaan 200 liter per kapita per hari (l / c / d) sama dengan 73 m3/
kapita.

Gambar 12. Prediksi Air per Kapita yang tersedia di sungai Jawa 2035 (m3)

Permintaan Air Domestik


Permintaan air domestik (lihat Gambar 13) dihitung dengan asumsi bahwa

semua orang akan menggunakan air melalui sistem yang dikelola atau tidak dikelola.
Sistem yang tidak dikelola dapat mencakup air hujan, sumur gali, danau, atau sungai,

sumbernya biasanya tidak dirawat. Sistem yang dikelola adalah sistem perpipaan
yang dikelola oleh PDAM atau oleh masyarakat itu sendiri. Proyeksi permintaan air
ini dihitung dengan asumsi bahwa rata-rata permintaan per kapita di daerah

perkotaan adalah 120 l/c/d dan di daerah pedesaan adalah80 l/c/d.


Permintaan domestik perkotaan diperkirakan akan meningkat dari sekitar 205

m3/s pada tahun 2015 menjadi 283 m3/dtk pada tahun 2030, sedangkan permintaan
pedesaan akan menurun dari 100 m3/detik menjadi 86 m3/dtk. Pertumbuhan

permintaan untuk sanitasi secara langsung berkaitan dengan pertumbuhan


penduduk.

Gambar 13. Prediksi Kebutuhan Air Domestik perkotaan dan perdesaan

Kebutuhan Air Rumah Tangga


Kebutuhan air rumah tangga adalah air yang diperlukan untuk rumah tangga,
biasanya diperoleh dari sumur dangkal, perpipaan, hidran umum.
Tabel 10. Standar Kebutuhan Air Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kota dan Jumlah

Penduduk

Jumlah Penduduk Jenis Kota Jumlah kebutuhan air


(1/Org/Hari)
>2.000.000 Metropolitan >210
1.000.000-2.000.000 Metropolitan 150-210
500.000-1.000.000 Besar 120-150
100.000-500.000 Besar 100-120
20.000-100.000 Sedang 90-100
3.000-20.000 Kecil 60-100

Sumber : Anonim, 2000

Kebutuhan air non domestik


1. Kota besar : (30 – 45) % x kebutuhan air domestik

2. Kota sedang : (20 – 30) % x kebutuhan air domestik


3. kota kecil : (10 – 20) % x kebutuhan air domestik

Kebutuhan Air Industri

P.Jawa memiliki 42 kawasan industri (Tabel 11). Permintaan untuk lahan


industri adalah sekitar 1.000 ha per tahun, dengan sekitar 600 ha permintaan lahan di

Bekasi dan Karawang, Jawa Barat, dan sisanya tersebar di daerah lain.
Kebutuhan air dari perkebunan dapat diperkirakan, tanpa menganalisa setiap

perusahaan independen, dengan menghitung ukuran perkebunan dan perkiraan


permintaan air atas / bawah untuk perkebunan di Indonesia.

Evaluasi ini dirangkum dalam Tabel 11 Permintaan air industri saat ini
diperkirakan antara 513,468 dan 1,911,241 m3/hari. Kira-kira 73% dari penggunaan

air di Jawa. Permintaan air rata-rata adalah 443 MCM per tahun.

Tabel 11. Estimasi kebutuhan Air untuk Industri di P.Jawa


Kebutuhan Air Perikanan

Budidaya ikan air tawar, dalam hal ini adalah kolam, mempunyai pengertian
teknis yaitu suatu perairan buatan yang luasnya terbatas, sengaja dibuat manusia

dan mudah dikuasai. Mudah dikuasai dapat diartikan mudah diisi, dikeringkan, dan
mudah diatur menurut kehendak kita. Secara kuantitatif air yang diberikan harus

mampu mengairi seluruh areal perkolaman, sehingga budidaya ikan tidak


tersendat-sendat dan kolam bisa dipergunakan sebagaimana mestinya. Debit air

yang baik untuk kolam tidak kurang dari 10 – 15 lt/dt/ha.

Permintaan Air Industri


Permintaan air industri dihitung berdasarkan data perkiraan yang disajikan

dalam Tabel 12.


Tabel 12. Permintaan Air Industri harian dan tahunan.

Mengingat bahwa perkembangan industri sejalan dengan produk domestik


bruto dalam pengembangan sektor industri, permintaan air rata-rata tahunan untuk

industri di wilayah Jawa dapat diproyeksikan untuk jangka waktu hingga 2030,
sebagaimana disajikan dalam Tabel 13.

Permintaan industri diperkirakan meningkat dua kali lipat dari sekitar 14


m3/dtk pada tahun 2013 menjadi 29 m3/dtk tahun 2030.

Tabel 13 Proyeksi Permintaan Industri Air tahunan untuk Horizon waktu, 2013–2030

Pengembangan Permintaan Air pertanian


Mengenai permintaan air pertanian, ada dua kecenderungan yang saling

bertentangan. Populasi yang terus meningkat membutuhkan lebih banyak beras dan
tanaman lain untuk menjamin ketahanan pangannya, sementara, pada saat yang

sama, populasi yang semakin bertambah merambah lahan pertanian untuk ekspansi
perkotaan dan pembangunan ekonomi.

Fenomena ini paling menonjol di Jawa.


Di Jawa, daerah perkotaan diprediksi akan meningkat sekitar 40% pada tahun

2030, sedangkan sawah beririgasi akan berkurang di daerah sebesar 13%. Karena
Jawa adalah penghasil beras yang paling efisien, menghasilkan sekitar 58% dari

produksi nasional, ini akan memiliki dampak yang signifikan terhadap ketahanan
pangan. Luas sawah irigasi di Jawa pada tahun 2011 adalah 2,5 juta ha dan sawah

nonirrigated adalah 0,8 juta ha. Pada 2030, area sawah irigasi akan berkurang
menjadi sekitar 2,1 juta ha.

Air digunakan dalam ekonomi produktif terutama di sektor pertanian, industri,


dan energi. Permintaan industri umumnya termasuk dalam penilaian permintaan

domestik karena kawasan industri hampir selalu terletak di sekitar kota dan
bergantung pada sistem pasokan air di kota-kota.

Gambar 14 menyajikan cekungan sungai (untuk Jawa dibagi menjadi


subbasins) di mana 2030/2035 menuntut irigasi; penggunaan domestik, kota, dan

industri; ternak; dan perikanan melebihi aliran sungai yang terjamin 80% dalam
bulan apa pun. Aliran yang tersedia dikoreksi untuk reservoir yang ada dan yang

direncanakan. Kekurangan air terkonsentrasi di bagian timur Jawa.

Gambar 14. Daerah dengan kekurangan air di musim kemarau untuk tahun 2030
PENUTUP

Disimpulkan bahwa:
1) Neraca air tahunan semua wilayah sungai di Jawa masih dalam kondisi “surplus”,

artinya jumlah air tersedia masih lebih besar dari kebutuhan air;
2) Neraca air bulanan pada beberapa wilayah sungai di Jawa menunjukkan

kekurangan air pada musim kemarau;


3) Menurut Indeks Penggunaan Air (IPA), Jawa mengalami“kritis ringan”. Hal yang

sama, dari jumlah ketersediaan air per-tahun per-kapita, Jawa dalam kondisi “ada
tekanan”. Disarankan agar penerapan kebutuhan air untuk aliran pemeliharaan

sungai dilaksanakan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kebutuhan air


untuk penggunaan air lainnya. Upaya non-struktural berupa pengelolaan

kebutuhan air (demand management) perlu diimplementasikan untuk


meningkatkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya air.

4) Ketersediaan air pada Pulau Jawa untuk pemenuhan sektor domesik dan non
domestik berasal dari mata air yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum

pada enam bangunan penangkap dengan kapasitas total sebesar 44 lt/dt


.Berdasarkan data selama 10 tahun terakhir debit relatif tidak mengalami

perubahan yang signifikan dengan pergeseran 25,2 % untuk debit mata air dan
debit sungai yang diamati pada 21 daerah layanan dan diwakili 21 bendung pada

sungai 20 sungai orde 1 dan 20 sungai orde 2 mengalami debit air cukup dengan
keandalan 26,0 % mencapai 594.222,98 lt/dt, sedangkan debit air musim kering

dengan keandalan 97,3 % mencapai 85.6 lt/dt.


5) Kebutuhan air yang digunakan pada Pulau Jawa sebagai berikut :

a. Kebutuhan air domestik dan Non Domestik sebesar 50,93 lt/dt untuk saat ini,
68,34 lt/dt untuk 2 tahun mendatang, 87,09 lt/dt untuk 5 tahun mendatang,

111,96 lt/dt untuk 10 tahun mendatang dan sebesar 160,06 lt/dt untuk 20 tahun
mendatang.

b. Kebutuhan air irigasi total sebesar 37.836.04 lt/dt mengairi sawah seluas 29.344
ha.
c. Kebutuahan air Industri sebesar 4,96 lt/dt untuk saat ini, 4,74 lt/dt untuk 2 tahun

mendatang, 4,84 lt/dt untuk 5 tahun mendatang, 5,04 lt/dt untuk 10 tahun
mendatang dan sebesar 5,54 lt/dt untuk 20 tahun mendatang.

d. Kebutuhan air Perikanan sebesar 303,72 lt/dt untuk saat ini, 319,46 lt/dt untuk 2
tahun mendatang, 345,42 lt/dt untuk 5 tahun mendatang, 396,07 lt/dt untuk 10

tahun mendatang dan sebesar 535,17 lt/dt untuk 20 tahun mendatang.

Saran

1. Menggunakan kembali waduk lapangan yang selama ini sudah tidak


difungsikan
2. Menjaga kelestarian lahan hijau pada recharge area
3. Pembuatan sumur resapan dan penampung air hujan pada setiap pemukiman.

4. Pembuatan instalasi pengelolaan air hujan sehingga dapat mengurangi


penggunaan air baku.

DAFTAR PUSTAKA

Abernethy, C. L., 1997. Water Management in the 21st Century. Problems and
Challenges.D.C. Frankfurt.

BPS, 1995. DIY Dalam Angka Tahun 1994. Yogyakarta.


BPS, 1995. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 1994. Bandung.

BPS, 1995. Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 1994. Semarang.


BPS, 1995. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 1994. Surabaya.

Fakultas Kehutanan IPB, 1996. Pemantapan Pendayagunaan Sumberdaya Hutan Di


Pulau Jawa. Kerjasama Antara Perum Perhutani dengan Fakultas Kehutanan IPB.
Kananto, W. Hatmoko, dan Widayati, 1998. Konsumsi dan Produksi Air di Pulau Jawa.

Makalah pada Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan
Pembangunan. Jakarta.

Perum Perhutani, 1992. Pengaruh Hutan Terhadap Tata Air dan Tanah. Jakarta.
Perum Perhutani, 1995. Buku Saku Statistik Tahun 1990-1994. Jakarta.

RePPProT, 1989. Review of Phase I Result Java and Bali Vol. 1 (Main Report). Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai