JAKARTA
2018
PENDAHULUAN
Air merupakan sumberdaya alam yang strategis dan vital bagi kehidupan
manusia dan pembangunan, serta keberadaannya tidak dapat digantikan oleh materi
lainnya. Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan, baik dalam
lingkup atmosfir, litosfir, dan biosfir. Hampir semua kebutuhan hidup manusia
dibutuhkan.
Ketersediaan air relatif tetap walau bervariasi menurut ruang dan waktu, sedang
satu dari tiga orang tidak mendapat sarana sanitasi yang layak (Bouwer, 2000).
Menjelang tahun 2025, sekitar 2,7 milyar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia
akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat yang parah (Dinar, 1998).
Pulau Jawa dengan luas 7 persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya
memiliki potensi air tawar 4,5 persen dari total nasional. Namun demikian penduduk
di pulau Jawa mencapai sekitar 59 persen dari total penduduk Indonesia. Jelas,
kondisi tersebut menggambarkan bahwa potensi kelangkaan air yang sangat besar
akan terjadi di Jawa dengan daya dukung sumber daya air yang telah mencapai titik
kritis.
Hal ini terlihat dari data keseimbangan air tahun 2003 dimana dari total
kebutuhan air di Pulau Jawa dan Bali sebesar 38,4 miliar meter kubik pada musim
kemarau, hanya dapat dipenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau hanya sekitar 66
persen. Defisit ini diperkirakan akan semakin tinggi pada tahun 2030, dimana jumlah
penduduk dan aktifitas perekonomian meningkat secara signifikan. Diperkirakan
pada tahun 2030 total potensinya tinggal 1.200 m3/kapita/tahun, dimana hanya 35%
dari potensi alami tersebut yang layak secara ekonomis untuk dikelola. Maka potensi
aktualnya tinggal 400 m3/kapita/tahun. Potensi ini jauh di bawah standar angka
minimum yang ditetapkan PBB yaitu sebesar 1.100 m3/kapita/tahun (Nugroho, 2002,
2007).
Iklim P. Jawa berdasarkan data iklim dari Badan Meteologi dan Geofisika berada
pada tipe iklim A sampai F (Schmidt & Ferguson,1951) dengan curah hujan rata-rata
Timur.
Wilayah bagian utara P. Jawa berupa dataran rendah yang luas, memanjang dari
tengah P. Jawa terdapat deretan gunung dan pegunungan yang merupakan tempat
hulu-hulu sungai utama. Di antara wilayah dataran rendah dan pegunungan/gunung
terdapat daerah peralihan yang berupa dataran dan lembah (kaki bukit). Di bagian
selatan terdapat wilayah yang topografinya bervariasi dari dataran rendah,
Daerah Aliran Sungai (DAS) di P. Jawa umumnya pendek (30-70 km), sempit dan
curam (banyak berjurang), luasnya rata-rata kurang dari 250 km2. Di antara DAS-DAS
tersebut terdapat 24 DAS yang mempunyai luas lebih dari 250 km2 termasuk di
dalamnya 7 DAS kritis yang mempunyai luas lebih dari 3000 km2 dan 2 DAS
mempunyai luas lebih dari 10.000 km2 (DAS Brantas 11.050 km2 dan DAS Solo
15.400 km2).
Berdasarkan laporan ReppProT (1989), lebih dari 70% areal daratan P. Jawa telah
menjadi areal pemukiman dan budidaya. Penggunaan lahan terluas adalah untuk
budidaya lahan basah, menyusul perkebunan/tanaman keras, pemukiman, semak
adalah 3.054.134 ha, yang terbagi menjadi 1.938.816 ha hutan produksi, 608.367 ha
hutan lindung, 420.800 hutan wisata suaka alam dan 86.151 ha hutan cadangan.
kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian, perkotaan, industri, energi, wisata, olah raga,
dan pemeliharaan lingkungan. Sementara itu air yang tersedia jumlahnya tetap,
bahkan ada yang kualitasnya berkurang karena tercemar. Fenomena ini membuat
munculnya konflik kepentingan akan air, baik antar sektor, antar wilayah administrasi,
dan hulu-hilir dalam satu sungai. Indikator untuk melihat seberapa besar kebutuhan
air dibandingkan dengan jumlah air yang tersedia adalah neraca air.
di kota-kota besar pemenuhan air minum dipenuhi oleh air kemasan yang berasal
dari luar wilayah. Sehingga hasil studi ini hanya memberikan indikasi tingkat
adalah kebutuhan air irigasi dan kebutuhan air untuk RKI (rumah tangga, perkotaan,
industri dan perikanan), mengacu pada Rencana Tata Ruang wilayah pada daerah
penting dilakukan karena kebutuhan air untuk irigasi merupakan komponen yang
paling tinggi kebutuhan airnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Perkiraan Kebutuhan Air di P. Jawa
dilihat bahwa kebutuhan air bersih di Pulau jawa cenderung terus meningkat, seperti
ditunjukkan dalam Gambar 1 berikut:
memerinci lebih detail semua kebutuhan air yang terdiri dari kebutuhan air domestik,
non domestik, kebutuhan air untuk industri, kebutuhan air untuk pemeliharaan
sungai, kebutuhan air untuk peternakan, kebutuhan air untuk perikanan, dan
kebutuhan air untuk irigasi. Berdasarkan pendekatan ini, kebutuhan air di P. Jawa dan
Di Pulau Jawa, hujan rata-rata bervariasi antara 1500-5000 mm/th dengan rata-
rata 2.650 mm/thn. Sedangkan perkiraan air hilang (evapotranspirasi) sebesar 1200
mm/th dengan demikian curah hujan efektif di P. Jawa per tahun sebesar 1.450 mm
atau setara dengan 186,2 milyar/th (Perum Perhutani, 1992). Menurut hasil studi
yang dilakukan oleh Kananto dkk. (1998), jumlah total tahunan air yang tersedia
adalah 142,3 milyar m3/tahun.
Sebaran hujan menurut tempat tidak merata, yaitu tinggi di pantai selatan dan
semakin rendah ke arah utara dan dari ujung barat ke arah timur juga semakin
bulan Mei dan sisanya sebesar 20% turun pada bulan Agustus hingga bulan
Nopember. Penyebaran ketersediaan air di P. Jawa dalam satu tahun disajikan dalam
Tabel 2 berikut:
untuk mengetahui jumlah netto dari air yang diperoleh sehingga dapat diupayakan
pemanfaatannya sebaik mungkin (I Gede.2009).
Menurut Mather (1978) istilah neraca air mempunyai beberapa arti yang
berbeda tergantung dari skala ruang dan waktu :
• Skala makro : neraca air dapat digunakan dalam pengertian yang sama seperti
siklus hidrologi, neraca global tahunan dari air di lautan, atmosfer dan bumi pada
semua fase;
• Skala meso : neraca air dari suatu wilayah atau suatu drainase basin utama;
• Skala mikro : neraca air yang diselidiki dari lapangan bervegetasi, tegakan hutan
atau kejadian individu pohon.
digunakan satuan tinggi air (mm, atau cm). Satuan waktu yang digunakan dapat
dipilih satuan harian, mingguan, dekad (10 harian), bulanan ataupun tahunan sesuai
di atas, jumlah total tahunan air yang tersedia di P. Jawa masih lebih besar dari
kebutuhan air (Gambar 2). Dengan kata lain, P. Jawa masih surplus air ditinjau dari
volume air tahunan. Meskipun jumlah air surplus tersebut cenderung semakin
berkurang. Oleh karena itu dimasa mendatang dengan semakin meningkatnya
penduduk dan pembangunan di Pulau jawa maka ketersediaan air akan menjadi
masalah. Pada saat sekarangpun kalau kita lihat neraca air bulanan, dibeberapa
tempat di Pulau jawa banyak mengalami defisit air, karena distribusi hujan bulanan
tidak merata sepanjang tahun sehingga pada bulan-bulan tertentu di P. Jawa secara
keseluruhan akan mengalami defisit (Gambar 3.)
Gambar 2. Ketersediaan air di Pulau Jawa dari tahun ke tahun
Gambar 3. Keseimbangan air bulanan di P. Jawa tahun 2020 dengan dan tanpa
air hujan (atmosferik), air permukaan dan air tanah. Hujan yang jatuh di atas
permukaan pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Wilayah Sungai (WS)
sebagian akan menguap kembali sesuai dengan proses iklimnya, sebagian akan
mengalir melalui permukaan dan sub permukaan masuk ke dalam saluran, sungai
atau danau dan sebagian lagi akan meresap jatuh ke tanah sebagai pengisian
kembali (recharge) pada kandungan air tanah yang ada (Anonim, 2006) Secara
keseluruhan jumlah air diplanet bumi ini relatif tetap dari masa ke masa (Suripin,
2002). Ketersediaan air yang merupakan bagian dari fenomena alam, sering sulit
untuk diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini karena ketersediaan air
mengandung unsur variabilitas ruang (spatial variability) dan variabilitas waktu
Sebagian besar air sungai di Jawa (Gambar 5.) sudah dalam status Kelas III atau
bahkan Kelas IV. Hilir Sungai Ciliwung (wilayah Jakarta), air sungai telah jauh
melampaui standar Kelas IV. Kombinasi limbah domestik yang tidak diolah,
pembuangan limbah padat, dan limbah industri telah menyebabkan krisis kesehatan
antar faktor yang berpengaruh. Penelitian ini tidak menghitung keseimbangan air
secara langsung, namun berdasarkan berbagai studi literatur yang ada. Sebab hingga
saat ini sudah pernah dilakukan perhitungan keseimbangan air untuk P.Jawa dengan
berbagai metode sesuai dengan tujuannya. Data dan informasi berdasarkan studi
validasi data dan informasi agar dapat saling menutupi kelemahan dan melengkapi
data/informasi yang dibutuhkan sehingga dapat menangkap realitas masalah
menjadi lebih valid. Validasi dalam analisis keseimbangan air didasarkan pada
keseimbangan air yang merupakan suatu gambaran umum mengenai kondisi
debit aliran sungai pada pos duga air yang terukur di lapangan, Data debit aliran
sungai yang digunakan hanya data yang telah dipublikasikan secara resmi dalam
Buku Publikasi Pusat Litbang Sumber Daya Air, Badan Litbang Pekerjaan Umum,
Kementerian Pekerjaan Umum. Untuk setiap wilayah sungai di Indonesia dihitung
nilai ketersediaan air permukaan, yang dinyatakan sebagai tinggi aliran bulanan
rata-rata, dan andalan Q80%, sehingga dengan mengalikan tinggi aliran dengan
luas daerah tangkapan airnya, pada titik lokasi manapun juga di Indonesia, dapat
diperkirakan jumlah ketersediaan airnya.
Metode Perhitungan
Untuk memperoleh ketersediaan air permukaan di wilayah sungai, metode
yang digunakan adalah dengan dasar debit aliran sungai yang diukur pada pos duga
air, dikonversikan menjadi nilai ketersediaan wilayah sungai, melalui rangkaian
2. Perhitungan debit rata-rata dan debit andalan Q80% pada pos duga air
3. Perhitungan debit rata-rata dan debit andalan Q80% pada Daerah Aliran
Sungai
4. Perhitungan debit rata-rata dan debit andalan Q80% pada Wilayah Sungai
Pada buku ini kebutuhan air yang dihitung meliputi kebutuhan air rumah-
tangga, perkotaan dan industri (RKI), irigasi, dan kebutuhan air untuk aliran
pemeliharaan sungai.
rumah tangga. Dalam buku ini diasumsikan sebesar 30% dari kebutuhan air bersih
rumah tangga.
Kebutuhan air industri pada suatu wilayah sungai memerlukan studi yang
khusus dilaksanakan untuk hal tersebut. Dalam buku ini besarnya kebutuhan air
tanam, evapotranspirasi acuan, curah hujan efektif, jenis tanah, dan efisiensi
saluran irigasi. Data luas irigasi yang digunakan dalam perhitungan merupakan
data yang didapatkan dari setiap wilayah sungai di Indonesia, yang kemudian
dibandingkan dengan data luas irigasi berdasarkan pada Keputusan Menteri
Pekerjaan Umum Tahun 2007 mengenai status daerah irigasi. Hasil perhitungan
kebutuhan air irigasi yang digunakan yaitu berupa nilai DR (diversion requirement)
Neraca Air
Neraca air dinyatakan dalam:
Seberapa besar jumlah air yang tersedia pada suatu wilayah sungai dibandingkan
dengan jumlah penduduk di dalam wilayah tersebut dinyatakan dengan indeks
ketersediaan air perkapita. Indeks ini telah lazim digunakan di berbagai negara,
antara lain oleh HR Wallingford (2003), Sullivan dkk. (2003), dan Mawardi (2008).
Neraca = neraca air, Surplus jika hasil persamaan positif dan defisit apabila
hasil persamaan adalah negatif.
Neraca surplus defisit ini biasa disusun dalam satuan bulan atau tengah-bulan dalam
setahun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
DMI = permintaan domestik, kota dan industri, m3/d = meter kubik per detik.
Secara keseluruhan Pulau Jawa hanya memiliki air permukaan 4,4% dari
seluruh air permukaan di Indonesia yang jumlahnya hampir 3,6 trilyun meter-kubik
air per-tahun, atau setara dengan 124 ribu meter-kubik per-detik.
Perhitungan kebutuhan air menunjukkan bahwa di kebutuhan air terbesar
adalah kebutuhan air di pulau Jawa yaitu sebesar 2,079 m3/s. Kebutuhan air pulau
Jawa mencakup 12% kebutuhan air RKI (240 m3/s) dan 88% kebutuhan air irigasi
(1,838 m3/s). Grafik besar kebutuhan air tiap pulau di Indonesia disajikan pada
Gambar 7. Hasil yang berbeda diperoleh dari perhitungan kebutuhan air dengan
memasukkan kebutuhan air aliran pemeliharaan yaitu sebesar debit andalan 95%.
Secara jelas grafik kebutuhan air dengan memasukkan kebutuhan air aliran
pemeliharaan dalam perhitungan disajikan pada Gambar 8. Besaran kebutuhan air
pemeliharaan
Mengacu pada konsep pedoman neraca air, untuk pulau jawa berdasarkan
nilai IPA sudah memasuki zona “kritis sedang” karena nilai IPA yang sudah diatas
50%. Hasil yang cukup signifikan berbeda ditunjukkan dengan nilai IPA yang dihitung
berdasarkan kebutuhan air tanpa aliran pemeliharaan. Tanpa memasukkan
perhitungan IPA antara 25% - 50%. Perbedaan yang signifikan ini dikarenakan
besarnya kebutuhan aliran pemeliharaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai dimana pada pasal 25
disebutkan bahwa perlindungan sungai dimaksudkan untuk menjaga ekosistem
sungai, mulai dari hulu hingga ke muara, dimana perlindungan aliran pemeliharaan
sungai dilakukan dengan debit andalan 95% (sembilan puluh lima persen).
wilayah sungai yang ada di pulau jawa sudah masuk pada zona kritis, baik itu kritis
ringan maupun sedang.
sungai yang masuk pada zona “kritis sedang” dengan nilai IPA antara 50% - 100%
adalah WS Welang Rejoso, WS Serayu Bogowonto, WS Pekalen Sampean, WS
Brantas, dan WS Bengawan Solo. Wilayah Sungai yang masuk pada zona “kritis
sedang” adalah WS Baru-Bajulmati, WS Bodri-Kuto, WS Bondoyudo-Bedadung, WS
Indonesia memiliki indeks ketersediaan air perkapita sebesar 1,169. Mengacu pada
kondisi kelangkaan air yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa ternyata di
beberapa wilayah sungai sudah masuk pada kondisi “ada kelangkaan (scarcity)” yatu
WS Brantas, WS Serayu Bogowonto, WS Welang Rejoso dan WS Kep.Seribu. Wilayah
sungai yang masuk pada kondisi “Kelangkaan mutlak (absolute scarcity)” adalah WS
Ciliwung Cisadane. Kondisi ketersediaan air perorang disajikan dalam bentuk peta
Terlepas dari hasil perhitungan IPA dan indeks ketersediaan air perkapita yang
memberikan hasil bervariasi, jika dilihat dari hasil perhitungan neraca air dengan cara
diambil dengan melihat hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 7 dimana
perhitungan neraca air untuk kondisi tahun 2010 dengan atau tanpa aliran
pemeliharaan memberikan angka positif. Ini berarti bahwa ketersediaan air secara
total di masing-masing pulau masih lebih besar dari kebutuhan air di pulau tersebut.
Meskipun demikian pada umumnya wilayah sungai di Jawa pada musim
penggunaan perkotaan 200 liter per kapita per hari (l / c / d) sama dengan 73 m3/
kapita.
Gambar 12. Prediksi Air per Kapita yang tersedia di sungai Jawa 2035 (m3)
semua orang akan menggunakan air melalui sistem yang dikelola atau tidak dikelola.
Sistem yang tidak dikelola dapat mencakup air hujan, sumur gali, danau, atau sungai,
sumbernya biasanya tidak dirawat. Sistem yang dikelola adalah sistem perpipaan
yang dikelola oleh PDAM atau oleh masyarakat itu sendiri. Proyeksi permintaan air
ini dihitung dengan asumsi bahwa rata-rata permintaan per kapita di daerah
m3/s pada tahun 2015 menjadi 283 m3/dtk pada tahun 2030, sedangkan permintaan
pedesaan akan menurun dari 100 m3/detik menjadi 86 m3/dtk. Pertumbuhan
Penduduk
Bekasi dan Karawang, Jawa Barat, dan sisanya tersebar di daerah lain.
Kebutuhan air dari perkebunan dapat diperkirakan, tanpa menganalisa setiap
Evaluasi ini dirangkum dalam Tabel 11 Permintaan air industri saat ini
diperkirakan antara 513,468 dan 1,911,241 m3/hari. Kira-kira 73% dari penggunaan
air di Jawa. Permintaan air rata-rata adalah 443 MCM per tahun.
Budidaya ikan air tawar, dalam hal ini adalah kolam, mempunyai pengertian
teknis yaitu suatu perairan buatan yang luasnya terbatas, sengaja dibuat manusia
dan mudah dikuasai. Mudah dikuasai dapat diartikan mudah diisi, dikeringkan, dan
mudah diatur menurut kehendak kita. Secara kuantitatif air yang diberikan harus
industri di wilayah Jawa dapat diproyeksikan untuk jangka waktu hingga 2030,
sebagaimana disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Proyeksi Permintaan Industri Air tahunan untuk Horizon waktu, 2013–2030
bertentangan. Populasi yang terus meningkat membutuhkan lebih banyak beras dan
tanaman lain untuk menjamin ketahanan pangannya, sementara, pada saat yang
sama, populasi yang semakin bertambah merambah lahan pertanian untuk ekspansi
perkotaan dan pembangunan ekonomi.
2030, sedangkan sawah beririgasi akan berkurang di daerah sebesar 13%. Karena
Jawa adalah penghasil beras yang paling efisien, menghasilkan sekitar 58% dari
produksi nasional, ini akan memiliki dampak yang signifikan terhadap ketahanan
pangan. Luas sawah irigasi di Jawa pada tahun 2011 adalah 2,5 juta ha dan sawah
nonirrigated adalah 0,8 juta ha. Pada 2030, area sawah irigasi akan berkurang
menjadi sekitar 2,1 juta ha.
domestik karena kawasan industri hampir selalu terletak di sekitar kota dan
bergantung pada sistem pasokan air di kota-kota.
industri; ternak; dan perikanan melebihi aliran sungai yang terjamin 80% dalam
bulan apa pun. Aliran yang tersedia dikoreksi untuk reservoir yang ada dan yang
Gambar 14. Daerah dengan kekurangan air di musim kemarau untuk tahun 2030
PENUTUP
Disimpulkan bahwa:
1) Neraca air tahunan semua wilayah sungai di Jawa masih dalam kondisi “surplus”,
artinya jumlah air tersedia masih lebih besar dari kebutuhan air;
2) Neraca air bulanan pada beberapa wilayah sungai di Jawa menunjukkan
sama, dari jumlah ketersediaan air per-tahun per-kapita, Jawa dalam kondisi “ada
tekanan”. Disarankan agar penerapan kebutuhan air untuk aliran pemeliharaan
4) Ketersediaan air pada Pulau Jawa untuk pemenuhan sektor domesik dan non
domestik berasal dari mata air yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum
perubahan yang signifikan dengan pergeseran 25,2 % untuk debit mata air dan
debit sungai yang diamati pada 21 daerah layanan dan diwakili 21 bendung pada
sungai 20 sungai orde 1 dan 20 sungai orde 2 mengalami debit air cukup dengan
keandalan 26,0 % mencapai 594.222,98 lt/dt, sedangkan debit air musim kering
a. Kebutuhan air domestik dan Non Domestik sebesar 50,93 lt/dt untuk saat ini,
68,34 lt/dt untuk 2 tahun mendatang, 87,09 lt/dt untuk 5 tahun mendatang,
111,96 lt/dt untuk 10 tahun mendatang dan sebesar 160,06 lt/dt untuk 20 tahun
mendatang.
b. Kebutuhan air irigasi total sebesar 37.836.04 lt/dt mengairi sawah seluas 29.344
ha.
c. Kebutuahan air Industri sebesar 4,96 lt/dt untuk saat ini, 4,74 lt/dt untuk 2 tahun
mendatang, 4,84 lt/dt untuk 5 tahun mendatang, 5,04 lt/dt untuk 10 tahun
mendatang dan sebesar 5,54 lt/dt untuk 20 tahun mendatang.
d. Kebutuhan air Perikanan sebesar 303,72 lt/dt untuk saat ini, 319,46 lt/dt untuk 2
tahun mendatang, 345,42 lt/dt untuk 5 tahun mendatang, 396,07 lt/dt untuk 10
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abernethy, C. L., 1997. Water Management in the 21st Century. Problems and
Challenges.D.C. Frankfurt.
Makalah pada Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan
Pembangunan. Jakarta.
Perum Perhutani, 1992. Pengaruh Hutan Terhadap Tata Air dan Tanah. Jakarta.
Perum Perhutani, 1995. Buku Saku Statistik Tahun 1990-1994. Jakarta.
RePPProT, 1989. Review of Phase I Result Java and Bali Vol. 1 (Main Report). Jakarta.