Se-SulSel
JUDUL KARYA TULIS
KEARIFAN LOKAL PINISI SEBAGAI WARISAN BUDAYA MARITIM
NUSANTARA DALAM UPAYA PEMBENTUKAN NILAI-NILAI
KARAKTER BANGSA
Disusun oleh :
Ainul Fajri (140933)
Ahmad Kurniawan (140931)
Andi Nurul Qalbi (140941)
i
HALAMAN PENGESAHAN
Mengetahui,
Kepala Sekolah
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Ainul Fajri
140933
iii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Sebagai refleksi rasa kehambaan yang tulus dari lubuk hati yang terdalam
seorang insan manusia yang kecil, terucap ungkapan puja dan puji ke hadirat sang
kreator Allah Swt, yang telah memberikan kelebihan akal kepada manusia
seunggal karunia terbesar di samping karunia lainnya yang tak mampu ternilai dan
terdeteksi keseluruhannya oleh mesin teknologi secanggih apapun juga.
Kemudian shalawat dan salam senantiasa penulis sanjungkan kepangkuan seorang
pemuda yang telah membawa manusia dari alam kegelapan ke alam yang kaya
dengan ilmu pengetahuan, sebagai pelita dan penerang di tengah kegelapan,
Dialah Nabi besar Muhammad Saw.
Untuk ucapan penulis selanjutnya secara jujur harus saya katakan bahwa
kata yang ada terlalu miskin bahkan tak cukup untuk menggambarkan perasaan
saya sesungguhnya terhadap orang-orang yang telah begitu banyak memberikan
bantuan dan pengorbanan baik secara moril maupun materil hingga dengan izin-
Nya proposal ini bisa terwujudkan.
Dengan senantiasa mengharapkan rahmat dan ridho Allah Swt. Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Kepala Sekolah SMAN 12 Bulukumba, Drs. Syamsurijal, M. Si. yang
telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya.
2. Bapak pembimbing Sufri Asmin, S.Si., S.Pd., M.Si. telah meluangkan
waktunya tanpa mengenal lelah dalam memberikan bimbingan dan bantuan
dalam penyusunan karya ini.
3. Bapak dan Ibu guru SMAN 12 Bulukumba yang telah memberikan bekal
ilmu pengetahuan selama proses pembelajaran.
4. Kedua Orang Tua tercinta, penulis ucapkan terima kasih yang tak henti-
hentinya atas doa dan dukungannya selama ini.
Penulis sadari untuk semua pengorbanan yang diberikan tak mungkin bisa
terbalas hanya dengan selembar kata pengantar ini.
iv
Akhir kata yang bisa penulis lakukan hanyalah memohon doa, semoga
jerih payah yang diberikan kepada penulis mendapat balasan pahala yang berlipat
ganda dihadapan Sang Pencipta, Allah Swt.
Amin ya Rabbul Alamin.
Bulukumba, 21 Maret 2016
Penyusun
v
DAFTAR ISI
vi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………………...…. 18
B. Saran ………………………………………………………………………...…18
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..………......... 19
BIODATA PESERTA ……………………………………...……………………... 20
LAMPIRAN ……………………………………………………...……………….. 21
vii
ABSTRAK
Ainul Fajri, Ahmad Kurniawan, Andi Nurul Qalbi. 2016. Keraifan Lokal
Pinisi sebagai Warisan Budaya Maritim Nusantara dalam Upaya Pembentukan
Nilai-Nilai Karakter Bangsa.
Kata kunci: Kearifan lokal, Perahu pinisi, Budaya Maritim, Karakter bangsa.
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan
dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan
adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang
menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada. Sebagai negara
yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia sepantasnya memiliki
strategi maritim yang baik. Kekuatan inilah yang merupakan potensi besar untuk
memajukan perekonomian Indonesia.
Sebagai Negara kepulauan, Indonesia merupakan Negara yang memiliki
potensi bahari yang sangat melimpah. Sudah sejak dahulu pelayaran dan
perdagangan berkembang dengan menggunakan berbagai macam alat transportasi
tradisional, salah satu alat transportasi yang digunakan adalah perahu Pinisi. Pinisi
merupakan kapal layar tradisional yang dibuat oleh komunitas orang konjo-bugis
Makassar dari Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.
Pinisi adalah warisan budaya yang telah menjadi kebanggaan nasional
yang telah sukses malakukan pelayaran yang bersejarah. Pinisi nusantara berhasil
tampil di Expo 1986 di Vancouver Canada, hal ini membuktikan zketangguhan
Pinisi tidak dapat diragukan lagi dalam mengarungi samudera yang luas.
Penduduk luar negeri pun terkagum-kagum dan ikut mengakui kehebatan karya
anak bangsa dari kecamatan Bonto Bahari kabupaten Bulukumba provinsi
Sulawesi Selatan. Kesuksesan tersebut membuat nama Indonesia melambung
tinggi di mata dunia di bidang maritim.
Perahu Pinisi yang merupakan perahu kayu besar terakhir yang diproduksi
di seluruh dunia. Perahu Pinisi merupakan evolusi dari bentuk perahu kayu di
Sulawesi Selatan sebelum akhirnya menjadi bentuk yang demikian pada akhir
abad ke-19. Pinisi dikenal sebagai salah satu jenis perahu yang paling popular
dengan tinggi perahu yang berkisar antara 35-50 m dan panjang 40-60 m.
Perahu pinisi sudah sejak dulu menjadi aset pendapatan masyarakat Bonto
Bahari. Pengetahuan dan keterampilan pembuatan Pinisi tidak memiliki bahan
1
tertulis, sehingga hal tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu kearifan lokal
yang dimiliki panrita lopi. Keahlian masyarakat dalam membuat perahu pinisi
diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Perahu ini memiliki
dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yang umumnya digunakan untuk
pengangkutan barang antar pulau.
Di sisi lain, Pinisi tidak hanya dilihat dari sosoknya sebagai alat
transportasi semata, tetapi juga merupakan suatu karya budaya yang telah
mencapai puncak kesempurnaan, yang merupakan warisan budaya maritim
Nusantara. Dalam proses pembuatan perahu pinisi tidak lepas dari tradisi dan
nilai-nilai budaya yang dianut sejak dahulu sampai sekarang, tradisi tersebut
masih dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sebelum mereka menganut agama islam,
mereka menganut kepercayaan animisme yang menempatkan kesetiaan yang
tinggi pada leluhur.
Kepercayaan mereka kepada kekuatan roh dan alam gaib, sampai sekarang
masih berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari, walaupun kini mereka
telah menganut agama islam. Hal ini tampak jelas dalam kegiatan ritual mereka
dalam proses pembuatan perahu pinisi. Mulai dari penebangan pohon sampai
peluncuran perahu semuanya memiliki ritual-ritual tertentu yang mengandung
makna-makna simbolik. Makna-makna yang terkandung dalam proses pembuatan
perahu Pinisi dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan yang dapat
menjadi pembentuk karakter bangsa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti berinisiatif untuk
melakukan penelitian dengan judul “Kearifan Lokal Pinisi sebagai Warisan
Budaya Maritim Nusantara dalam Upaya Pembentukan Nilai-nilai Karakter
Bangsa”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang akan diteliti, maka penulis menarik rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa saja nilai-nilai budaya yang dapat membentuk karakter bangsa dalam
pembuatan perahu pinisi sebagai warisan budaya maritim nusantara?
2
2. Bagaimana peran pemerintah dalam menerapkan nilai-nilai karakter bangsa
dalam kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis setelah melakukan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui nilai-nilai budaya yang dapat membentuk karakter bangsa
dalam pembuatan perahu pinisi sebagai warisan budaya maritim nusantara.
2. Untuk mengetahui bagaiamana peran pemerintah dalam menerapkan nilai-
nilai karakter bangsa dalam kehidupan sehari-hari.
D. Batasan Masalah
Adapun karakter bangsa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
Religious, kerja sama, gotong royong, disiplin, tekun, saling menghargai,
kesabaran, ketelitian, kepemimpinan, adil, dan kecerdasaan.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk menggali wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai kebudayaan
sebagai salah satu peninggalan sejarah yang perlu diketahui dan dilestarikan.
2. Secara ilmiah hasil penelitian ini bermanfaat memberikan masukan kepada
pemerintah dan memperkaya khasanah pengembangan ilmu pengetahuan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan
setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau
kecerdasan setempat “local genious”.
Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah
kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal
merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang
ada. Kearifan lokal berbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk
budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat
universal.
Menurut Rahyono,(2009) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia
yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman
masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui
pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-
nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu
sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat
tersebut.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakan pada level lokal
di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan
kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan
budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah
sedemikian menyatu dengan system kepercayaan, norma, dan budaya serta
diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
4
B. Perahu Pinisi
Pinisi adalah warisan budaya yang telah menjadi kebanggaan
nasionalisme. Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang
berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari
desa Bira kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Pinisi sebenarnya
merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan
tujuh buah layar, yaitu tiga diujung depan, dua didepan, dan dua dibelakang,
umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau. (Muhannis, 2011).
Kapal yang istimewa ini dibuat oleh tangan-tangan ahli tanpa
menggunakan bantuan peralatan modern. Seluruh bagian kapalnya terbuat dari
kayu dan dirangkai tanpa menggunakan paku. Meskipun demikian, Kapal Pinisi
telah membuktikan keistimewaannya dengan menaklukkan samudera-samudera
dan menjelajah negara-negara di dunia. Walaupun terbuat dari kayu, kapal ini
mampu bertahan dari terjangan ombak dan badai di lautan lepas. Kapal Pinisi
adalah satu-satunya kapal kayu besar dari sejarah lampau yang masih diproduksi
sampai sekarang.
Selain itu pada saat suksesnya pinisi nusantara yang bersejarah berhasil
tampil di Expo 1986 di Vancoucer Canada, yang membuktikan bahwa
ketangguhan pinisi tidak dapat diragukan lagi dalam mengarungi samudra yang
luas. Bahkan penduduk luar negeri pun terkagum-kagum dan ikut mengakui
kehebatan karya anak bangsa dari kecamatan Bonto Bahari Kabupaten
Bulukumba, provinsi Sulawesi Selatan ini. (Saenong, 2013)
Walaupun karya ini karya anak pedesaan namun keahlian membuat pinisi
merupakan budaya kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang
pembuatanya dan dilestarikan keberadaannya agar tetap terjaga. Pinisi dibuat dari
serpihan-serpihan papan dengan peralatan yang sederhana atau tradisional seperti
kapak, gergaji, bingkung (cangkul), palu kayu, pahat, gergaji besar, bor, ketam,
bassi (pisau), singkolo, parang, klaim (Catok), dan saku’ (palu kayu besar) dengan
ditambah ritual-ritual tertentu. Keberadaannya pun banyak mengandung makna,
simbol dan filosofi. Beberapa waktu belakangan, karya ini telah menjadi karya
yang spektakuler dengan ciri khas tertentu yaitu dua tiang dan tujuh layar, namun
perahu jenis ini sudah kurang dijumpai.
5
Menurut Usman Pelly (1975) dalam bukunya Ara dengan perahu bugisnya
mengatakan bahwa pinisi adalah model layar yang tujuh helai yang berbeda
dengan model perahu Bugis lainnya. Ketujuh layar merupakan ciri utma perahu
tersebut, tiga layar di depan berbentuk segitiga terpasang antara anjong dengan
tiang depan. Ketiga layar yang paling depan disebut coccoro pantara, di tengah
disebut coccoro tangnga, dan yang ketiga disebut tarengke.
Pada dua tiang utama terdapat dua layar besar berbentuk trapesium, layar
tengah yang melekat pada tiang depan disebut sombala bakka dan di belakang
disebut sombala riboko, sedangkan dua buah layar yang berbentuk segitiga berda
dipuncak kedua tiang disebut tampasere. Selanjutnya tujuh layar tersebut
merupakan simbol tujuh ayat yang terdapat dalam surah Al-Fatihah serta tujuh
lapis langit, dan dua buahtiang layar disimbolkan sebagai dua kalimat syahadat,
tiga potong lunas (kalabiseang) dan dua buah linggi (sotting) merupkan simbol
lima rukun islam dan shalat lima waktu.
C. Budaya Maritim
Budaya maritim terbentuk dari dua buah kata, yakni budaya dan maritim.
Budaya memiliki artian, “keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
yang dijadikan milik dirinya melalui proses belajar”. Budaya ini juga menjadi
nilai-nilai tertentu yang dianut oleh suatu kolektif, sehingga sesuatu dapat
dianggap sebagai sebuah budaya apabila disepakati bersama dan dijalankan
bersama-sama oleh sekelompok orang. Sedangkan kata maritim merupakan kata
serapan dari bahasa inggris yaitu maritime, oleh Oxford Advenced Learner’s for
Dictionaries (2010).
Kata maritim diartikan, “connecting to sea or near the sea”. Kata maritim
ini sendiri secara etimologis sebenarnya berasal dari bahasa latin yaitu maritimus
atau mare yang artinya adalah laut. Disini kita dapat katakana bahwa sebuah
susunan kata yang didalamnya terdapat kata maritim itu berhubungan dengan laut.
Atas hubungannya dengan laut, kata maritim akan merujuk pada suatu
aktivitas yang dilakukan di laut, seperti pelayaran yang tujuannya entah untuk
berdagang atau mencari ikan. Melalui masing-masing arti kata dari penyusun
“budaya maritim”, kita bisa mendapatkan makna sebenarnya dari “budaya
6
maritim” ini. Budaya merupakan keseluruhan gagasan manusia yang mampu
menghasilkan berbagai tindakan dan hasil karya. Bila kata “budaya” disandingkan
dengan kata “maritim” maka kata maritim menjadi penanda atas sebuah tempat
yang letaknya dekat dengan laut atau lebih sering kita kenal dengan pesisir.
Seperti yang sudah dibahas bahwa budaya merupakan milik kolektif karena
budaya menjadi sebuah nilai yang disepakati dan dijalani secara bersama-sama
oleh sekelompok orang.
D. Karakter Bangsa
Karakter adalah watak,tabiat,akhlak,atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internasilasi berbagai kebijakan (virtues) yang diyakini dan
diggunakan sebagai landasan untuk cara pandang,berpikir,bersikap,dan bertindak.
Kebijakan terdiri atas sejumlah nilai,moral, dan norma, seperti jujur,berani
bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
Pendidikan karakter terdiri dari beberapa unsur, diantaranya penanaman
karakter dengan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai dan
keteladanan yang diberikan pengajar dan lingkungan pendidikan karakter menurut
Kertajaya adalah cirri khas yang dimiliki suatu benda atau individu. Ciri khas
tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut,
serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak,
bersikap, berucap, dan merespon sesuatu Kertajaya.
Telah mengidentifikasikan 18 nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada
peserta didik yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional. Ke-18 nilai tersebut adalah religious, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli social, tanggung jawab.
7
BAB III
METODE PENULISAN
B. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan segala sesuatu yang mencakup
pendekatan yang digunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini akan
digunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang
berupa pengamatan langsung (observasi), wawancara dan studi literatur. Dengan
pendekatan ini diharapkan akan dapat membantu dalam mendapatkan variable-
variabel penelitian secara mendalam.
8
data primer misalnya dari berbagai jenis dokumen seperti buku, dan data yang
diperoleh dari internet.
E. Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan berupa pedoman wawancara, yang didukung
oleh perekam suara, alat tulis, buku catatan dan kamera. Pedoman wawancra yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara yang tidak terstruktur
secara ketat, dalam artian bahwa penulis dapat menetapkan sendiri atau mengatur
pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada para informan atau responden
dengan mempertimbangkan situasi yang terjadi pada saat wawancara berlangsung.
9
1. Observasi (observation)
Observasi adalah cara pengumpulan data dengan menggunakan
pengamatan langsung dengan tingkat ketelitian, mengamati dengan segenap
indera pengamatan mata untuk mencermati dan menenggapi gejala-gejala suatu
objek penelitian.
2. Wawancara (interview)
Teknik wawancara atau interview adalah teknik dimana peneliti
memperoleh data dan mengumpulkan data, keterangan melalui kontak langsung
dengan responden. Dalam penelitian ini akan digunakan teknik wawancara tidak
terstruktur. Maka dengan metode ini diharapkan dapat memperoleh informasi
yang akurat. Untuk memperoleh hasil yang maksimal peneliti melakukan
wawancara dengan beberapa narasumber yang diantaranya ahli sejarah pinisi,
penulis buku pinisi, serta beberapa panrita lopi.
3. Studi literatur
Teknik Studi literatur ini adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
oleh peneliti untuk mendukung atau memperkuat konsep-konsep yang dapat
dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian yang berhubungan dengan
masalah yang ada dilapangan. untuk memperoleh data yang besumber pada
bahan-bahan tertulis atau lainnya, seperti diantaranya sumber sejarah, dokumen,
arsip, foto-foto, film,buku, makalah, dan tulisan-tulisan dari internet yang
berhubungan dengan penelitian.
10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
royong, disiplin, tekun, saling menghargai, kesabaran, ketelitian, kepemimpinan,
adil, dan kecerdasaan.
1. Religious
Nilai regilius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan
upacara agar “penunggunya” tidak marah dan pindah ketempat lain, sehingga
segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin dalam
do’a ketika perahu akan diluncurkan ke laut “Bismillahir Rahmanir Rahim, Bulu-
bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku
sarang Nabi Haidir” yang artinya “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu
dari kekayuan dari Mukmanul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk
menjagamu”.
Jika nilai religious ini ditanamkan dalam diri masyarakat bisa menjadi
suatu hal yang dapat membentengi diri, karena nilai religious ini berkenaan
dengan agama, yang dapat dijadikan pedoman hidup dimana nilai tersebut
meliputi keimanan, ibadah, dan akhlak. Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan agama lain.
2. Kerja sama
Yaitu bagaimana Sawi, pemilik perahu dan Punggawa saling bekerjasama
untuk sama-sama meraih tujuan mereka yaitu menyelesaikan perahu pinisi yang
mereka buat dan apabila terjadi kesalah pahaman diantara mereka yang terlibat
dalam pembuatan perahu maka akan terjadi dampak negatif yang terjadi pada
perahu tersebut.
Terjalinnya kerja sama dalam segala bidang kehidupan dapat
mencerminkan eratnya hubungan masyarakat dalam mencapai cita-cita bangsa,
dan hubungan kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat dapat
diwujudkan dalam pembangunan nasional yang berjalan di Indonesia. Di samping
itu, untuk memajukan kehidupan masyarakat Indonesia dan untuk meningkatkan
kesejahteraan juga di butuhkan adanya kerja sama dengan Negara lain, baik yang
bersifat belateral, regional, maupun internasional dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya.
12
3. Gotong royong
Yaitu bagaimana orang yang terlibat dalam pembuatan perahu
mencerminkan karakter gotong royong, karena para pembuat perahu bersama-
sama bekerja agar dalam proses pembuatan perahu pinisi dapat berjalan dengan
lancar dan pinisi dapat diselesaikan tepat waktu.
4. Disiplin
Karakter yang tercermin dari para sawi ketika mereka bekerja yaitu datang
tepat waktu, karena para sawi biasanya bekerja mulai jam 6 pagi sampai
menjelang magrib. Mereka sangat menghargai waktu karena para sawi berhenti
bekerja pada saat mereka istirahat, makan dan melaksanakan ibadah (shalat).
Selain dari itu mereka pergunakan waktunya untuk bekerja.
5. Tekun
Karakter ini tercermin pada saat pembuat perahu dengan rajin, keras hati,
dan bersungguh-sungguh dalam membuat perahu agar perahu yang dihasilkan
memiliki kualitas yang baik dan perahu yang dihasilkan sesuai dengan harapan.
Jika karakter ini diterapkan dapat menjadikan seseorang menjadi rajin dan
bersungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu.
6. Saling menghargai
Pemilik perahu menghargai amanah dari panrita lopi apabila tidak adanya
sifat salaing menghargai diantara mereka misalnya Tragedi tenggelammnya
perahu pinisi Ammana Gappa merupakan sebuah contoh yang patut disimak.
Ketika perahu yang dibuat dengan konstrusksi khusus itu dinakodai oleh M.
Yunus (70 tahun-Alm.) dari Bira; betapa ganasnya terjangan ombak Samudra
Hindia, namun berhasil menembus dan selamat sampai di Madagaskar. Akan
tetapi dinakodai oleh pemilikya sendiri Michael Carr yang hanya menggunakan
otak/pengatahuan saja, terlebih lagi saaat beliau “memukul/meninju perahu”
terjadilah suatu pertentangan (seperti yang disebutkan diatas) yang paling
mendasar dalam tradisi pelayaran. Akibat dari “keangkuhanya” tersebut, berarti
keharmonisan yang diatas sudah hilang. Menurut keyakinan Punggawa maupun
pelaut Bugis-Makassar, mala petaka sudah siap menjemputnya dan ini telah
dialami oleh pinisi Ammana Gappa. Michael Carr sebagai penerima amanah lewat
perahunya tidak mampu menjaga keharmonisan dengan panrita lopi sebagai
13
pemberi amanah dan saksinya ialah perahu tenggelam ditelan ganasnya ombak
(Mimbar karya, Minggu III Desemrber 1991).
7. Kesabaran
Disini Pemilik perahu harus sabar terhadap Punggawa apabila Pemilik
perahu yang marah dan mengumpat kepada punggawa merupakan pamali tertinggi
(pantangan yang paling mendasar dalam proses pembuatan perahu) yang tidak
dapat diobati. Dalam hal ini tidak tidak terdapat lagi keharmonisan anatara
pemilik perahu (penerima amanah) dengan punggawa (ibu perahu) dan tentu saja
sebagi “ibu dari perahu” tidak akan rela “anaknya” dipergunakan oleh orang lain
yang pernah melukai hatinya. Ada tiga kemungkinnan yang buruk yang terjadi
apabila kejadian tersebut diatas benar-benar terjadi yaitu perahu tidak dapat
didorong, cacat sampai dilaut atau hanya sekali berlayar lalu tenggelam.
8. Ketelitian
Ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kapak
atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu). Ketika karakter ini diterapkan
manusia dapat bersifat hati-hati, penuh perhitungan dalam berfikir dan bertindak,
serta tidak tergesa-gesa dan tidak ceroboh dalam melaksanakan pekerjaan. Sikap
ketelitian sangat dibutuhkan dalam mencapai hasil yang maksimal. Islam juga
mengajarkan kepada setiap muslim untuk bersikap teliti dalam setiap pekerjaan.
Allah tidak menyukai makhluknya yang bekerja dengan tergesa-gesa karena bisa
menimbulkan kesalahan dan kegagalan dalam mencapai suatu tujuan. Allah SWT
berfirman dalam Qs. Al-Anbiya’/21:37.
9. Kepemimpinan
Bagaimana seorang punggawa mampu memimpin para sawi agar dalam
proses pembuatan perahu dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan oleh sang pemilik perahu saat perahu telah siap untuk
berlayar.
10. Adil
Seorang punggawa harus mampu berlaku adil terhadap sawi misalnya
dalam pemberian upah kerena upah yang diberikan kepada sawi sesuai dengan
tingkatan kemampuan yang mereka miliki dan apabila Sawi merasa tidak diberi
14
upah yang cukup oleh punggawa maka mereka boleh protes terhadap punggawa
terhadap upah yang diberikan.
11. Kecerdasan
Ini tercermin pada seorang punggawa karena yang menjadi punggawa
harus cerdas dan mengetahui semua yang dikerjakan terhadap proses dalam
pembuatan perahu selain dari itu punggawa harus memiliki kemampuan lebih
yaitu menguasi mantra-mantra dalam ritual.
15
yang didalamnya terkandung banyak nilai-nilai karakter bangsa yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pinisi kini harusnya mampu kembali berlayar, tidak ditinggalkan begitu
saja. Seperti pesan nenek moyang kita dalam sebuah ungkapan lagu:
Ricaddi caddiku iji
Nakujannang rubantilang
Anjama lopi
Kasossoranna manggeku
Pasangngi pinangkakannu
Pauang anak ribokonu
Nakatutui
Sossorang kapanritanna
Artinya :
Sejak aku kecil
Telah menetap di bantilang
Mengerjakan perahu
Sebagai warisan orang tuaku
Teman sebayamu
Kabarkan pada generasimu
Agar dipelihara
Warisan keahliannya.
Apabila lirik lagu tersebut disimak maka dapat dipahami sebagai pesan
yang diamanatkan kepada generasi muda bahwa warisan sebagai ahli perahu
memang telah dimiliki sejak dahulu dan tetap melestarikan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Keahlian tersebut selanjutnya wajib dipelihara dan
diwariskan kepada anak dan keturunan mereka secara turun-temurun.
Jika para panrita ini tetap membuat perahu pinisi niscaya nilai-nilai yang
terkandung didalamnya tidak akan pernah punah. Peran masyarakat sangatlah
penting, tak ada masyarakat yang akan maju dengan melupakan budaya
bangsanya. Pinisi yang yang merupakan bekal di masa depan harusnya
dimanfaatkan sepotensial mungkin, masyarakat dapat menerapkan nilai-nilai
karakter yang terkandung dalam proses pembuatan pinisi sebagai pedoman hidup
16
sekaligus dijadikan sebagai alat untuk membuat pinisi tetap berlayar sampai
kapanpun. Pinisi kini, bukan hanya dikenalkan melalui gambar saja seperti yang
banyak kita saksikan, namun pengangkatan nama besar pinisi seharusnya lebih
menggali kembali unsur budaya dan nilai-nilai karakter yang masih sangat kental
didalamnya. Inilah yang harusnya kita eksplor misalnya pembuatan komik berisi
sejarah pinisi.
Peran pemerintah tak kala pentingnya. Begitu banyak pemerintah
menjadikan Pinisi sebagai icon, sudah sepatutnya pinisi mendapatkan haknya
pula. Pengurusan hak paten terhadap pinisi harus dilakukan dengan serius.
Pegembangan potensi pariwisata dari Pinisi tentu terbilang sangat menjanjikan,
jika kita tahu bahwa pemesanan perahu Pinisi lebih banyak berasal dari
mancanegara untuk dijadikan sebagai transportasi wisata. Indonesia sebagai
Negara asal mampu lebih jeli memanfaatkan kesempatan dengan banyaknya
wisata laut di Indonesia. Kita dapat menggunakan pinisi sebagai penarik
pengunjung jika pemerintah Indonesia benar-benar serius menggalakkan wisata
bahari. Pemerintah juga dapat membangun museum pinisi sebagai salah satu
solusi efektif. Museum pinisi nantinya akan berisi macam-macam peralatan kerja,
jenis kayu yang digunakan, cara pembuatan, perubahan bentuk pinisi dari tahun ke
tahun, dan berbagai hal lainnya yang dapat dijadikan sebagai bahan, untuk dapat
terus menumbuhkan kebanggan dan pemantik inspirasi berkarya.
Jika pemerintah mencegah pinisi punah maka nilai-nilai karakter bangsa
yang terkandung didalamnya akan tetap terlestarikan tapi jika pemerintah tidak
lagi memperhatikan perahu pinisis maka yang terjadi ialah nilai-nilai karakter
bangsa yang ada akan hilang bersma nama pinisi. Dengan melakukan hal tersebut,
saya yakin pesona pinisi akan tetap terjaga. Lebih dari itu marilah kita bangga
sebagai pembuat perahu pinisi, tapi bangga pulalah sebagai pemilik dan pemakai
perahu pinisi.
17
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Nilai-nilai budaya yang dapat membentuk karakter bangsa dalam pembuatan
perahu pinisi yaitu: Religious, kerja sama, gotong royong, disiplin, tekun,
saling menghargai, kesabaran, ketelitian, kepemimpinan, adil, dan
kecerdasaan.
2. Peran pemerintah dalam menerapkan nilai-nilai karakter bangsa yaitu dengan
cara menurunkan keahlian membuat perahu pinisi serta meningkatkatkan
kesadaran masyarakat tentang banyaknya nilai-nilai karakter yang terkandung
dalam proses pembuatan pinisi yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup.
B. Saran
Adapun saran dari hasil penelitian kami adalah sebagai berikut:
1. Agar nilai-nilai budaya yang dapat membentuk karakter bangsa dalam
pembuatan perahu pinisi tetap dipelihara dan dijaga oleh masyarakat sehingga
nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak akan pernah pudar.
2. Agar karakter yang muncul dalam proses pembuatan perahu pinisi dapat
dijadikan sebagai pedoman yang dapat di aplikasikan dalam kehidupan
masyarakat.
3. Agar masyarakat dapat menerapkan nilai-nilai karakter bangsa yang
terkandung dalam proses pembuatan pinisi sebagai pedoman hidup
4. Diharapkan kepada peniliti selanjutnya agar melakukan penelitian lebih lanjut
dengan lebih baik.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
BIODATA PESERTA
Ketua :
Nama Lengkap : Ainul Fajri
Tempat, Tanggal lahir : Bulukumba, 18 Oktober 1999
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor HP : 082-395-897-927
Email : ainulfajri1999@gmail.com
Anggota 1 :
Nama Lengkap : Ahmad Kurniawan
Tempat, Tanggal lahir : Bulukumba, 05 Maret 2000
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor HP : 082-349-762-728
Email : kurniawana842@gmail.com
Anggota 2 :
Nama Lengkap : Andi Nurul Qalbi
Tempat, Tanggal lahir : Bulukumba, 05 Mei 1999
Jenis Kelamin : Perempuan
Nomor HP : 0823-951-146-99
Email : andinurulqalbi99@gmail.com
20
LAMPIRAN
21