TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batubara
Menurut Arif (2014), Batubara merupakan salah satu energi di dunia. Batubara adalah
campuran yang sangat kompleks dari zat kimia organik yang mengandung karbon,
oksigen, dan hidrogen dalam sebuah rantai karbon. Menurut undang-undang no.4 tahun
2009 tentang mineral dan batubara, batubara merupakan endapan senyawa organik
karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan dan bisa terbakar.
Pertambangan (mining) adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan bisnis yang berkaitan
dengan industri pertambangan mulai dari prosepeksi, eksplorasi, evaluasi, penambangan,
pengolahan, pemurnian sampai dengan pemasaran. Kegiatan pertambangan merupakan
suatu kegiatan yang unik karena berhubungan dengan endapan dibawah bumi yang
tersebar secara geologis-jenis, jumlah, kadar/kualitas, hingga karateristik lainnya (Arif,
2014).
Pada dasarnya metode penambangan batubara dibagi menjadi dua cara, yaitu metode
tambang terbuka dan metode tambang bawah tanah. Hampir semua tambang di Indonesia
menggunakan metode tambang terbuka karena cadangan batubara sebagian besar terdapat
di daerah rendah dengan topografi tidak terlalu landai, dengan lapisan penutup tidak
terlalu tebal dan kemiringan lapisan relative kecil.
Menurut Nurhakim (2002), yang dimaksud dengan tambang terbuka (surface mining)
adalah segala kegiatan penambangan yang dilakukan diatas atau relatif dekat permukaan
5
bumi dan tempat kerja itu berhubungan langsung dengan udara bebas. penambangan
terbuka adalah metode operasi penambangan permukaan yang sederhana dalam konsep
tetapi kompleks dalam kebutuhan biaya dan efisiensi. Penambangan terbuka harus
direncanakan dan dilaksanakan untuk menjaga biaya unit agar seminimal mungkin.
Dengan demikian rekayasa tembang terbuka sangat sulit direkayasa meskipun sederhana
dalam pengerjaanya. Ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan dalam
perencanaan awal:
1. Faktor alam dan geologi: kondisi geologi, jenis bahan galian, kondisi hidrologi,
topografi dan karakteristik bahan galian.
2. Faktor ekonomi: kadar, tonase, stripping ratio, kualitas yang diinginkan, biaya operasi,
biaya investasi, keuntungan yang diinginkan, tingkat produksi, dan kondisi pasar.
3. Faktor teknologi: peralatan, lereng pit, tinggi jenjang, grade jalan, pemilihan
transportasi dan pit limit.
Tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka tergantung pada letak dan
kemiringan serta banyaknya lapisan batubara dalam satu cadangan. Di samping itu
metode tambang terbuka dapat dibedakan juga dari cara pemakaian alat dan mesin yang
digunakan dalam penambangan (Sukandarrumidi, 2008).
a. Contour Mining
Tipe penambangan ini pada umumnya dilakukan pada endapan batubara yang terdapat di
pegunungan atau perbukitan. Penambangan batubara dimulai pada suatu singkapan
lapisan batubara dipermukaan atau croup line dan selanjutnya mengikuti garis kontur
sekeliling bukit atau pegunungan tersebut.
Lapisan batuan tanah penutup batubara dibuang kearah lereng bukit dan selanjutnya
batuan yang telah tersingkap diambil dan diangkut. Kegiatan penambangan berikutnya
dimulai lagi seperti tersebut diatas pada lapisan batubara yang lain sampai pada suatu
ketebalan lapisan penutup batubara yang menentukan batas limit ekonominya atau sampai
batas maksimal kedalam di mana peralatan tambang tersebut dapat bekerja.
6
Gambar 2.1 Contour Mining (Sukandarrmuidi, 2008)
c. Stripping Mining
Tipe penambangan terbuka yang diterapkan pada endapan batubara yang lapisanya datar
dekat permukaan tanah. Alat yang digunakan dapat berupa alat yang sifatnya mobil atau
alat pengangkat yang dapat membuang sendiri. Penambangan batubara khususnya di
7
Kalimantan akan dimulai dengan cara tambang terbuka yang memakai alat kerja bersifat
mobil.
Menurut Arif (1999), tahapan penting dalam studi kelayakan dan rencana kegiatan
penambangan adalah perencanaan tambang. Aspek perencanaan tambang berhubungan
dengan waktu, dan tidak berkaitan dengan masalah geometri, misal perhitungan
kebutuhan alat dan tenaga kerja, perkiraan biaya kapital dan biaya operasi. Dalam
perancangan tambang dibagi menjadi tugas-tugas sebagai berikut:
c. Penjadwalan produksi
Menambang bijih dan lapisan penutupnya (waste) diatas kertas, jenjang demi jenjang
mengikuti urutan pushback, dengan menggunakan tabulasi tonase dan kadar untuk tiap
pushback yang diperoleh. Pengaruh dari berbagai kadar batas (cut off grade) dan
8
berbagai tingkat produksi batubara dan waste dievaluasi dengan menggunakan kriteria
nilai waktu dari uang.
Dalam rangka membuka suatu tambang, haruslah didasarkan pada suatu rancangan yang
telah dibuat dan dikaji kelayakan teknis dan ekonomisnya. Pada upaya perancangan
tambang ini perlu digunakan data yang terkumpul selama tahap eksplorasi. Dengan dasar
Peta topografi yang memadai serta lokasi dan data bor yang cukup. Kemudian dengan
menerapkan kestabilan lereng tambang yang menjamin keselamatan tambang dapat
dihitung jumlah cadangan tertambang dan nilai nisbah kupasnya (Ambyo, 1999).
Menurut Hustrulid dan Kutcha (1998), beberapa parameter penentuan dimensi jenjang,
yaitu:
a. Jangkauan alat gali
b. Alat yang bekerja pada bench
c. Kedalaman alat bor yang digunakan
d. Pertimbangan jumlah cadangan
9
Geometri jenjang terdiri dari tinggi jenjang, sudut lereng jenjang tunggal, dan lebar dari
jenjang penangkap. Rancangan geometri jenjang ini biasanya dinyatakan dalam bentuk
ketiga aspek ini:
1. Tinggi Jenjang
2. Sudut Lereng Jenjang
3. Lebar Jenjang Penangkap
Komponen dasar pada Open Pit adalah jenjang. Bagian jenjang menurut (Hustrulid &
Kuchta, 1998) antara lain:
Jenjang Kerja (Working Bench) merupakan bagian dari jenjang yang berfungsi sebagai
tempat bekerja bagi peralatan tambang. Pada umumnya lebar safety bench adalah 2/3 dari
tinggi jenjang. Pada akhirmya umur tambang, lebar safety bench dikurangi menjadi
sekitar 1/3 dari tinggi jenjang.
Gambar 2.2 Working Bench dan Safety Bench (Hustrulid &Kuchta, 2013)
Jenjang penangkap merupakan jenjang yang berada di antara jenjang utama yang dibuat
guna menangkap material yang jatuh atau runtuh dari jenjang sebelumnya. Ukuran
jenjang ini biasanya relative kecil dari jenjang utamanya.
10
Gambar 2.3 Catch Bench (Hustrulid &Kuchta, 2013)
Pit Slope Geometry disebut juga geometri kemiringan dari front penambangan. Face
angle adalah sudut lereng jenjang tunggal.
Berikut ini adalah gambar yang memperlihatkan bagian-bagian jenjang:
11
a. Kemiringan, tinggi dan lebar tetap harus dibuat dengan baik dan aman untuk
keselamatan para pekerja agar terhindar dari material atau benda jatuh.
b. Tinggi jenjang (bench) untuk pekerjaan yang dilakukan pada lapisan yang
mengandung pasir, tanah liat, kerikil, dan material lepas lainnya harus:
c. Tidak boleh lebih dari 2,5 meter apabila dilakukan secara manual;
d. Tidak boleh lebih dari 6 meter apabila dilakukan secara mekanik dan
e. Tidak boleh lebih dari 20 meter apabila dilakukan dengan menggunakan clamshell,
dragline, bucket wheel excavator atau alat sejenis kecuali mendapat persetujuan
Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang.
f. Tinggi jenjang untuk pekerjaan yang dilakukan pada material kompak tidak boleh
lebih dari 6 meter, apabila dilakukan secara manual;
g. Dalam hal penggalian dilakukan sepenuhnya dengan alat mekanis yang dilengkapi
dengan kabin pengaman yang kuat, maka tinggi jenjang maksimum untuk semua
jenis material kompak 15 meter, kecuali mendapat persetujuan Kepala Pelaksana
Inspeksi Tambang.
h. Studi kemantapan lereng harus dibuat apabila: Tinggi jenjang keseluruhan pada
sistem penambangan berjenjang lebih dari 15 meter dan Tinggi setiap jenjang lebih
dari 15 meter.
i. Lebar lantai teras sekurang-kurangnya 1,5 kali tinggi jenjang atau disesuaikan
dengan alat-alat yang digunakan sehingga dapat bekerja dengan aman dan harus
dilengkapi dengan tanggul pengaman (safety berm) pada tebing yang terbuka dan
diperiksa pada setiap gilir kerja dari kemungkinan adanya rekahan atau tanda-tanda
tekanan atau tanda-tanda kelemahan lainnya.
Pada umumnya pola akses material tambang menjadi dua, yaitu: pengangkutan
overburden ke lokasi penimbunan (waste dump), dan pengangkutan batubara ke lokasi
pengolahan (crushing plan). Akses material ini memerlukan rancangan jalan angkut
tambang (ramp). Ada beberapa geometri yang harus diperhatikan dan dipenuhi untuk
menunjang kelancaran dalam operasi pengangkutan antara lain:
12
a. Lebar Jalan pada Jalan Lurus
Menurut Yanto (2005), Penentuan lebar jalan angkut minimum untuk jalan lurus
didasarkan pada Rule of Thumb yang dikemukakan Aasho Manual Rural High-way
Design adalah:
Gambar 2.5 Lebar Jalan Angkut Dua Jalur Pada Jalan Lurus (Yanto, 2005)
13
Gambar 2.6 Lebar Jalan Angkut Dua Lajur Pada Belokan (Yanto, 2005)
Lebar jalan angkut pada tikungan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
W = n ( U+Fa+Fb+Z) + C
C = Z = ½ (U=Fa+Fb)
c. Kemiringan Jalan
Menurut Yanto (2005), Kemiringan atau grade jalan merupakan salah satu faktor
penting yang harus diamati secara detail dalam suatu kajian terhadap kondisi jalan
tambang karena akan mempengaruhi kinerja alat angkut yang melaluinya.
Kemiringan jalan angkut biasanya dinyatakan dalam persen (%).
14
2.7 Tahapan Penambangan (Mine Sequence/Push Back)
15
2.7.1 Teori Strip, Panel, dan Blok
Teori strip, panel, dan blok dijumpai pada rancangan penambangan endapan batubara,
daerah penambangan dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, yaitu pit (tambang),
panel, strip, dan blok.
a. Pit
Penambangan dibagi menjadi beberapa pit untuk memudahkan pelaksanaan operasi
penambangan. Pembagian pit (tambang) terutama didasarkan pada pencapaian
target produksi dari bahan galian yang akan ditambang.
b. Panel
Masing-masing pit dibagi menjadi panel-panel yang melintang misalnya dari arah
barat ke timur. Lebar tiap panel umumnya adalah 100 m. Penomoran untuk panel
1 adalah P1, panel 2 adalah P2, dan seterusnya.
c. Strip
Setiap panel dibagi lagi menjadi strip-strip yang dibuat tegak lurus garis panel.
Lebar setiap strip adalah 100 m melintang dari arah selatan ke utara. Penomoran
untuk strip 1 adalah S1, strip 2 adalah S2, dan seterusnya pada masing-masing
panel.
d. Blok
Blok merupakan perpotongan antara panel dan strip. Bentuk akhir dari blok adalah
bujursangkar dengan ukuran 100 m x 100 m. Penomoran untuk blok adalah
16
gambungan dari panel dan strip. Contoh P10S10, berati P10 = Panel 10 dan S10 =
Strip 10.
Menurut Ambyo (1999), ada beberapa kriteria dari pentahapan penambangan (mine
sequence/pushback):
a. Harus cukup lebar agar peralatan tambang dapat bekerja baik. Untuk truck dan shovel
besar yang ada sekarang, lebar pushback minimum adalah 100-130 meter. Untuk
loader dan truck berukuran sedang 60 meter sudah cukup lebar. Jumlah shovel yang
diperkirakan akan bekerja bersama-sama pada sebuah pushback juga mempengaruhi
lebar minimum ini.
b. Tak kurang pentingnya untuk memperlihatkan paling tidak satu jalan angkut untuk
setiap pushback, untuk memperhitungkan jumlah material yang terlibat dan
memungkin akses keluar. Jalan angkut ini harus menunjukkan pula akses ke seluruh
permukaan kerja.
c. Perlu diperhatikan bahwa penambahan jalan pada suatu pushback akan mengurangi
lebar daerah kerja (sebanyak lebar jalan) dibawah lokasi jalan tersebut. Jika beberapa
jalan atau switchback akan memasukkan kesuatu pushback, lebar awal disebelah atas
harus ditambah untuk memberiruang ekstra.
d. Perlu diperhatikan pula bahwa tambang kita tidak akan pernah sama bentuknya
dengan rancangan tahap-tahap penambangan (phase design). Ini karena dalam
kenyataannya, beberapa pushback akan aktif pada waktu yang sama (dikerjakan
secara bersamaan).
e. Suatu patokan pengukuran jarak (template untuk lebar jalan, panjang segmen jalan
antar jenjang, jarak centerlines) yang sesederhana sangat berguna untuk perancangan
secara manual.
Menurut Sulistiyana (2010), Waste dump adalah suatu lokasi untuk pembuangan material
kadar rendah dan atau material bukan bijih yang harus digali dari pit untuk memperoleh
17
bijih (material kadar tinggi) dalam suatu operasi tambang terbuka. Daerah yang
diperlukan untuk waste dump pada umumnya berluasan 2-3 kali dari daerah
penambangan (pit). Material yang telah dibongkar (loose material) berkembang 30% -
45% dibangdingkan dengan material asli. Sudut kemiringan untuk suatu waste dump
umunya lebih landai dari pit. Material pada umumnya tidak dapat ditumpuk setinggi
kedalaman dari pit. Berikut akan dijelaskan mengenai teknik pengupaasan tanah penutup
dan jenis-jenis dump yang dapat diterapkan.
Menurut Sulistiyana (2010), rancangan waste dump sangat penting untuk perhitungan
keekonomian. Lokasi bentuk dari waste dump dan stockpile akan berpengaruh terhadap
jumlah gilir-kerja (shift) yang diperlukan, demikian pula biaya operasi dan jumlah truk
yang diperlukan. Pada umumnya luas daerah yang diperlukan untuk waste dump adalah
dua sampai tiga kali dari daerah penambangan (pit). Hal ini disebabkan oleh:
a. Material yang telah dibongkar (loose material) berkembang 30% – 45%
dibandingkan material insitu.
b. Sudut kemiringan untuk setiap dump umumnya lebih landai dari pit.
c. Material pada umumnya tidak dapat ditimbun setinggi kedalaman dari pit.
18
b. Terraced dump yaitu timbunan yang dirancang ke atas (dalam lift).
- Dapat diterapkan jika topografi tidak begitu curam pada lokasi timbunan.
- Timbunan dirancang dari bawah. Tinggi tiap lift biasanya 20-40 m.
- Lift-lift berikutnya terletak di belakang sudut keseluruhan (overall slope angle)
mendekati yang dibutuhkan untuk reklamasi.
Menurut Sulistiyana (2010), dalam pemilihan lokasi penimbunan ada beberapa faktor
yang berpengaruh, yaitu:
Nisbah pengupasan adalah perbandingan antara tonase waste yang harus dipindahkan
terghadap satu ton bijih yang ditambang. Haasil suatu perancangan pit akan menentukan
berapa tonase bijih dan waste yang dikandung pit itu. Salah satu cara menguraikan
efisiensi geometri dari operasi penambangan berdasarkan nisbah pengupasan. Nisbah
pengupasan menunjukkan antara volume/tonase tanah penutup dengan volume/tonase
19
batubara pada area yang akan ditambang. Rumusan umum yang sering digunakan untuk
menyatakan perbandingan itu (Hustrulid & Kuchta 1998) adalah:
Pengertian stripping ratio (SR) pada penambangan batubara adalah perbandingan volume
overburden yang harus dipindahkan (BCM) untuk setiap satu ton batubara yang
ditambang. Hasil suatu perancangan pit akan menetukan jumlah volume overburden dan
tonase batubara yang mengisi pit.
Selain pengertian stripping ratio diatas dikenal pula istilah Break Even Stripping Ratio
(BESR) yaitu dimana biaya yang dihasilkan dari penjualan batubara habis untuk biaya
operasi penambangan tersebut atau dengan kata lain, keuntungan yang diperoleh dari
kegiatan penambangan batubara impas dengan biaya penambangannya. Secara umum
BESR dapat dirumuskan:
𝑃𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛
𝐵𝐸𝑆𝑅 = ............................................................................................ (2.3)
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑆𝑡𝑟𝑖𝑝𝑝𝑖𝑛𝑔
20
2.9.2 Pit Limit
Penentuan batas penambangan (pit limit) ini diperlukan untuk memprediksikan suatu area
penambangan yang potensial untuk nantinya akan dikembangkan menjadi suatu lokasi pit
penambangan. Dengan mengetahui pit limit maka optimasi cadangan batubara dapat
dilakukan pada area yang terbatas, yaitu area yang telah dapat diprioritaskan sebagai nilai
ekonomis (Ahmad, 2017).
Untuk menentukan batas penambangan (pit limit) ini dilakukan dengan merekonstruksi
jenjang penambangan yang dimulai dari dasar endapan hingga batas ketinggian topografi
daerah setempat sesuai dengan rekomendasi dari data geotek untuk keadaan perlapisan
daerah penambangan. Untuk mendapatkan batas penambangan (pit limit) dilakukan
berulang-ulang hingga mendapatkan nisbah pengupasan (stripping ratio) yang
diinginkan.
21