Download-Fullpapers-07 KONFLIK WADUK SEPAT Adhi Murti PDF
Download-Fullpapers-07 KONFLIK WADUK SEPAT Adhi Murti PDF
Abstract
This article describes cases of land acquisition in the Sepat Reservoirs reap the conflict between PT Ciputra
Surya Tbk. with the residents of the Perdukuhan Sepat Kulon, Surabaya in 2008-2012. This research is focused
on the background of the conflict which include the history and causes of conflict, as well as the pattern of open
and covert resistance carried out by the local community. This study uses qualitative methods, with observations
and interviews. These cases occur due to differences in the views of the developer and local citizens to the status
of land reservoirs, namely the ‘de jure’ and ‘de facto’. The cause of this conflict include environmental issues,
historical value, as well as social welfare. The form of covert resistance is with the attitude of cynical, vigilant,
suspicious of outsiders, and others. While the form of open resistance by unjukrasa, hearing to the DPRD
Surabaya, tree planting, and so on.
P
embangunan di kota Surabaya secara umum terutama di kawasan Surabaya Barat,
dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Kondisi ini
menyebabkan kawasan Surabaya Barat banyak diincar oleh para penanam modal
atau pengembang untuk mengembangkan daerah tersebut. Para pengembang terutama yang
berasal dari kalangan swasta kemudian mendatangi warga dan mengupayakan pembebasan
lahan untuk mewujudkan proyek-proyek pembangunan mereka, dalam rangka mendulang
keuntungan yang sebesar-besarnya. Sayangnya fenomena pengembangan daerah ini ternyata
masih menuai banyak penentangan yang berasal dari masyarakat, terutama dari warga
setempat. Penolakan ini mayoritas bersumber pada permasalahan hak atas tanah, sehingga
beberapa dari proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh pengembang masih menyisakan
banyak kasus yang sampai sekarang tidak terselesaikan.
Menilik dari sejarah pertanahan di Indonesia, kebijakan pertanahan legal formal di
Indonesia dimulai dari pemerintahan Hindia Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal
Raffles. Pada tahun 1811 sampai 1816, dikeluarkan kebijakan yang disebut dengan domain
theory, yang menyebutkan bahwa semua tanah di negeri Hindia Belanda adalah milik raja
atau pemerintah. Gubernur Jenderal Raffles mengadakan penarikan pajak bumi yang dikenal
sebagai landrente, yaitu petani wajib membayar pajak sebesar 2/5 dari hasil tanahnya yag
kemudian mempengaruhi terbitnya kebijakan Cultuurstelsel atau tanam paksa pada tahun
1830 oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch (Radjagukguk, 1979: 6 dalam Rohman, 2004:
1). Tahun 1890, kebijakan Cultuurstelsel mulai dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda
yang mengubah kebijakan agrarisnya menjadi lebih berkonsentrasi kepada kehadiran modal
swasta (Radjagukguk, 1979: 6 dalam Rohman, 2004: 2). Kebijakan melalui Undang-Undang
Agraria ini disebut dengan Agrarische Wet yang memberikan legitimasi kepada negara
sebagai penguasa tanah-tanah terlantar yang tidak atau belum tergarap. Kebijakan ini juga
dikenal dengan sebutan woeste gronden, yaitu membuat negara memiliki kewenangan untuk
melepaskan hak penguasaannya atas tanah terlantar, kemudian memberikannya pada
penguasa perkebunan dalam jangka waktu 75 tahun. Selain itu Undang-Undang Agrarische
Wet ini juga menerapkan azas domain verklaring, yaitu suatu prinsip yang menyatakan
bahwa semua tanah yang tidak terbukti ada pemiliknya atau tanah terlantar adalah domain
atau milik negara (Arafat dan Puryadi, 2002: 58).
Kebijakan pertanahan pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda tersebut
menjadi landasan bagi Undang-Undang Pokok Agraria yang dikenal sebagai UU No. 5/1960
(Fauzi, 1997: 87). Undang-Undang tersebut berisi peraturan yang juga berazazkan domain
verklaring menurut Agrarische Wet, yaitu negara berhak berkuasa atas tanah yang tidak
terbukti ada pemiliknya sehingga tanah-tanah tersebut dapat diakui menjadi milik pemerintah
(Fauzi, 1997: 87). Peraturan ini rupanya menjadi akar permasalahan dari konflik-konflik hak
atas tanah yang terjadi di kemudian hari. Permasalahan yang seringkali muncul adalah
konflik hak atas tanah antara rakyat melawan pemilik modal dan negara, atau pemilik modal
yang didukung oleh negara (Fauzi, 1997: 87). Dalam kasus ini yang berkonflik bukanlah
rakyat dengan rakyat, melainkan rakyat versus pemodal besar atau rakyat versus pemerintah,
termasuk BUMN di dalamnya (Kinasih, dkk., 2009: 6).
Salah satu contoh kasus seperti yang dikemukakan di atas adalah konflik yang terjadi
di wilayah Surabaya Barat, yaitu konflik di Waduk Sepat Kelurahan Lidah Kulon Surabaya.
Kasus ini adalah konflik antara pengembang PT. Ciputra Surya Tbk. atau yang biasa disebut
dengan Citraland, dengan masyarakat setempat yang tinggal di daerah sekitar waduk, yaitu
warga Perdukuhan Sepat RW III dan RW V Kelurahan Lidah Kulon Surabaya. Masyarakat
setempat mengklaim bahwa waduk seluas 6,675 hektar yang ada di daerah itu adalah milik
mereka dan tidak bisa diganggu gugat oleh pengembang Citraland. Namun menurut status
tanah yang tercatat di BPN (Badan Pertanahan Nasional) Surabaya, waduk tersebut telah sah
menjadi milik pengembang Citraland dalam GS no. 109/S/1991 dalam registrasi no. 0335754.
Status tanah ini diperoleh dari proses tukar guling antara Pemkot Surabaya dengan
pengembang Citraland. Pemkot Surabaya telah meruislag lahan di Waduk Sepat Kelurahan
Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri yang dianggap sebagai milik negara dengan lahan di
Kelurahan Pakal, Kecamatan Pakal yang saat ini dipergunakan sebagai Surabaya Sport
disebut juga dengan Gelora Bung Tomo (GBT). Pemkot membutuhkan lahan yang berada di
kawasan Benowo, Kecamatan Pakal, yang berdiri atas kepemilikan pengembang Citraland
untuk kepentingan pembangunan stadion tersebut. Oleh karena itu Pemkot mengganti lahan
milik pengembang Citraland dengan cara meruislag-nya dengan lahan yang berada di empat
lokasi lain, salah satunya yaitu lahan di Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri,
berupa Waduk Sepat yang kini dipermasalahkan oleh warga setempat. (http://surabaya.detik.
com/read/2011/07/28/172123/1691710/466/warga-siap-pertahankan-sejarah-kampung-sepat-
lidah-kulon diakses pada 12 Maret 2012).
Status kepemilikan waduk oleh Pemkot sebetulnya tidak lepas dari pergantian sistem
Kepala Desa menjadi Kelurahan sejak masa kemerdekaan Indonesia. Sistem Desa yang
berganti dengan sistem Kelurahan menjadi lebih administratif sehingga tanah-tanah yang
tidak ada klaim pemiliknya seperti Waduk Sepat pun diakui sebagai milik negara. Status
lahan ini menjadi landasan bagi Pemkot untuk menukarnya dengan lahan milik pengembang,
sehingga secara de jure status Waduk Sepat saat ini memang telah menjadi milik PT.
Citraland. Status lahan ini masih dipertanyakan oleh warga Perdukuhan Sepat sebab dari dulu
Waduk Sepat tidak pernah beralih fungsi menjadi tanah eks ganjaran atau tanah pekarangan
sebagaimana yang tertulis dalam bukti-bukti kepemilikan Pemkot. Selain itu juga terdapat
kejanggalan dalam bukti-bukti tersebut, misalnya dalam sertifikat Hak Guna Bangunan
(HGB) yang dimiliki Citraland waduk tertulis sebagai tanah pekarangan dan dalam SK
Walikota Nomor 188.45/366/436.1.2/2008 waduk tertulis sebagai bekas waduk. Masyarakat
setempat khususnya warga Perdukuhan Sepat RW III dan RW V lebih melihat penguasaan
waduk secara de facto, sebab berdasarkan sejarah waduk telah ada sejak berpuluh-puluh
tahun lamanya dan dibuat sendiri dengan swadaya warga. Waduk disebut-sebut bukanlah
peninggalan pemerintah jajahan Hindia Belanda, dan hasil pengelolaan waduk juga tidak
pernah dipergunakan untuk menggaji perangkat desa selayaknya fungsi tanah ganjaran pada
umumnya.
Kasus waduk ini sebetulnya sudah ada sejak tahun 2004, ketika muncul peraturan
perundang-undangan baru yang memutuskan bahwa seluruh aset milik kampung akan
berubah status kepemilikan menjadi milik Pemkot. Sejak itu warga mulai mengantisipasin ya
dengan membuat panitia khusus untuk mengamankan aset-aset kampung, termasuk Waduk
Sepat. Saat itu sudah ada kekhawatiran bahwa waduk disebut merupakan salah satu aset yang
akan jatuh ke tangan pemerintah, namun isu tersebut tidak berkelanjutan. Pada tahun 2009
warga baru mengetahui untuk pertama kalinya kalau waduk telah beralih menjadi milik
pengembang Citraland melalui pihak Kelurahan Lidah Kulon. Di sini warga merasa kecewa
sebab proses tukar guling dilaksanakan tanpa melibatkan warga setempat baik dari perangkat
RT/RW dan tidak ada sosialisasi apa pun dari pihak Kelurahan, Kecamatan, Pemkot, maupun
pengembang yang membahas tentang ruislag waduk. Warga menyesalkan tidak ada inisiatif
dari pihak-pihak yang berkepentingan tersebut untuk mengajak warga berembug mengenai
status lahan dan warga sudah harus menerima kenyataan bahwa waduk sudah berganti
kepemilikan menjadi milik pengembang Citraland. Namun di sini belum ada tindakan
perlawanan dari warga sampai pemagaran pada tahun 2010 sebab mayoritas warga masih
takut dan belum terlalu mengerti tentang permasalahan waduk.
Kasus ini mulai mencuat ke permukaan dan mendapat perhatian dari masyarakat luas
ketika terjadi pembagian dana CSR 3 miliar oleh pengembang Citraland melalui panitia 16.
Panitia 16 adalah sebagian orang dari warga Perdukuhan Sepat sendiri yang mengklaim
mewakili warga untuk mengambil dana tersebut dan membentuk panitia yang disetujui oleh
Lurah Lidah Kulon dan Camat Lakarsantri, berjumlah sekitar 16 orang. Warga Perdukuhan
Sepat RW III dan RW V tidak mengakui panitia sebab proses pembentukannya terasa sangat
dipaksakan, tidak transparan, tidak melalui rapat Perdukuhan dan tidak melibatkan perangkat
RT serta RW. Pembagian ini menuai konflik sebab warga sudah curiga jika dana CSR itu ada
tendensinya dengan pelepasan waduk. Pernyataan dari pihak panitia 16, Kelurahan serta
Kecamatan membantah tuduhan warga bahwa pembagian dana CSR tidak ada hubungannya
dengan waduk. Namun pertemuan dengan pihak pengembang Citraland yang difasilitasi oleh
Komisi A DPRD Surabaya menjelaskan bahwa dana itu memang bukan dana CSR,
melainkan dana kompensasi waduk. Dengan demikian persoalan pembebasan lahan di
Waduk Sepat Lidah Kulon sebenarnya sudah beres apabila dilihat dari segi sertifikasi tanah
dan dana kompensasi 3 miliar yang telah dibagikan oleh pengembang kepada warga. Waduk
secara resmi telah menjadi milik pengembang Citraland, namun warga masih tidak
menyetujui pelepasan waduk itu karena merasa dibohongi oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Penyebab Konflik
Konflik waduk terus memanas setelah pengembang melakukan pemagaran kembali pada
pertengahan Juni 2011. Warga mulai mengadakan perlawanan secara frontal terhadap pekerja
Citraland secara terus-menerus. Sesungguhnya perwakilan dari pengembang Citraland telah
menuturkan bahwa waduk tidak akan digusur seluruhnya, dari 6,675 ha/m³, 6000 m³ tetap
menjadi telaga dan sisanya baru akan diurug sebagai perluasan perumahan Citraland.
Meskipun demikian, warga tetap pada pendiriannya tidak mau melepas waduk dan menuntut
petani. Misalnya bagi mereka yang memiliki profesi lain, seperti para pedagang, karyawan,
atau yang lainnya. Banjir dapat mengakibatkan kemacetan, lumpuhnya transportasi, dan lain
sebagainya. Dampak lingkungan akibat ekspansi pengembang terhadap waduk ditakutkan
akan membawa efek domino yang berujung pada masalah-masalah sosial yang lain.
dalam sebuah organisasi yang khusus untuk menangani konflik waduk yang dinamakan
dengan Laskar Pembela Bumi Pertiwi (LPBP). Bentuk-bentuk perlawanan terbuka dari warga
sendiri lebih beragam, mulai dari aksi-aksi perundingan seperti mengadakan pertemuan
dengan panitia pembagian dana 3 miliar, Kelurahan, Kecamatan untuk mencegah pembagian
dana 3 miliar, menghadiri hearing yang diadakan oleh Komisi A dan Komisi B DPRD
Surabaya, hingga aksi-aksi frontal seperti menggelar aksi demonstrasi/unjuk rasa di berbagai
tempat seperti di Kelurahan, Grahadi dan Balai Kota Surabaya, perlawanan fisik ketika
terjadi pemagaran waduk, aksi damai dengan menyebarkan pamflet di traffic light pintu
masuk Citraland, mengadakan acara tumpengan dan panen bersama dengan Solidaritas
Darurat Nasional, sampai membuat Waduk Sepat sebagai obyek pariwisata.
Lidah Kulon. Selain itu pelepasan waduk juga dikhawatirkan akan menghilangkan tradisi-
tradisi asli masyarakat Perdukuhan Sepat, seperti sedekah bumi dan sedekah waduk.
Variasi-variasi semacam inilah yang hendaknya turut pula diperhatikan oleh masing-
masing pihak yang berkonflik, dalam memandang permasalahan tersebut dari segi hukum.
Pada kasus ini peneliti melihat bahwa pandangan pluralisme hukum menjadi sangat penting
dalam penyelesaian konflik, karena tergantung dari pranata hukum yang dipilih oleh masing-
masing pihak. Dalam situasi semacam ini, keadilan akan sulit dicapai apabila hanya melalui
sistem hukum nasional saja. Pihak-pihak yang bersangkutan hendaknya juga melihat variasi
atau keanekaragaman pandangan mengenai hukum yang terdapat di sekitar mereka, misalnya
seperti hukum adat yang dianut oleh masyarakat setempat. Apabila penyelesaian konflik tetap
menggunakan ketentuan hukum dari kelompok yang dominan, maka dalam pengambilan
keputusan keadilan hanya sampai pada keadilan hukum semata dan bukan keadilan nasional
(Nader and Todd, 1978: 37 dalam Irianto, 2000: 79-80)
Kesimpulan
Dari hasil temuan dan analisis dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan bahwa latar belakang konflik terjadi karena adanya perbedaan pandangan dari
pihak pengembang Citraland dan warga setempat terhadap status lahan waduk. Pengembang
melihat penguasaan lahan secara de jure melalui surat kepemilikan legal yang dikeluarkan
oleh pemerintah, yaitu sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) yang mereka miliki, sedangkan
masyarakat sekitar memandang penguasaan lahan secara de facto, berdasarkan nilai
sejarahnya bahwa waduk dibuat atas swadaya warga di masa lampau. Sementara penyebab
dari konflik ini sendiri dibagi menjadi tiga lingkup besar, yakni masalah lingkungan, ideologi
dan nilai sejarah, serta kesejahteraan sosial. Kemudian pla perlawanan yang digunakan
masyarakat setempat terhadap pengembang Citraland adalah perlawanan terselubung dan
terbuka. Bentuk dari perlawanan terselubung adalah dengan sikap sinis, waspada, curiga
terhadap orang luar, dan lain-lain. Sedangkan bentuk perlawanan terbuka yaitu dengan
unjukrasa, hearing ke DPRD Surabaya, penanaman pohon, dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Fauzi, Noer (1997), Petani dan Penguasa. Yogyakarta: KPA, Insist dan Pustaka Pelajar.
Irianto, Sulistyowati (2000), Pluralisme Hukum dan Masyarakat Saat Krisis dalam Hukum
dan Kemajemukan Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Irianto, Sulistyowati (2001), “Kesejahteraan Sosial dalam Sudut Pandang Pluralisme Hukum
(Suatu Tema Non-Sengketa dalam Perkembangan Terakhir Antropologi Hukum
Website:
http://surabaya.detik.com/read/2011/07/28/172123/1691710/466/warga-siap-pertahankan-
sejarah-kampung-sepat-lidah-kulon diakses pada 12 Maret 2012.