Anda di halaman 1dari 15

PENGGUNAAN SISTEM GANDOK DALAM

PERTANAHAN MASYARAKAT BANTUL

Dibuat untuk memenuhi tugas Hukum Adat


Oleh :
DISMAS LUKITO ORNASTO
15/377603/HK/20335
2016

LATAR BELAKANG

Penjajahan era kolonial Belanda memiliki berbagai dampak yang sangat signifikan
terhadap perkembangan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Konsentrasi
pembangunan yang berpusat di Jawa oleh kolonial Belanda menyebabkan masyarakatnya dapat
dikatakan lebih maju daripada masyarakat di daerah yang lain. Kemajuan dalam hal
pembangunan berdampak pada beberapa hal, salah satunya adalah mengenai tanah. Berbagai
aturan diberlakukan oleh Belanda mengenai pungutan pajak terhadap tanah. Pergantian berbagai
aspek sistem tanah dari sistem Belanda hingga sistem Jepang memang memiliki perbedaan yang
cukup signifikan. Namun dalam sebagian masyarakat khususnya masyarakat Jawa masih
menggunakan sistem yang digunakan oleh Belanda.

Sistem suatu pertanahan memegang peranan penting dalam masyarakatnya. Sebagai


contoh adalah masyarakat di Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta yang dahulu menggunakan
sistem letter C bentukan colonial Belanda. Dalam perkembangannya, perubahan sistem
pertanahan atau yang dikenal dengan agraria dari sistem Belanda ke sistem pertanahan Indonesia
melalui Undang-Undang Pokok Agraria menyebabkan berbagai permasalahan pertanahan. Salah
satu dari berbagai permasalahan perubahan sistem tersebut adalah penggunaan sistem gandok
yang ramai digunakan oleh masyarakat Jawa khususnya di daerah Wates, Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Penulis,
Dismas Lukito Ornasto
PERMASALAHAN, TUJUAN, DAN MANFAAT

PERMASALAHAN

1. Apa yang dimaksud dengan sistem gandok ?


2. Bagaimana dasar dan alasan dari penggunaan sistem gandok ?
3. Bagaimana penggunaan sistem gandok dalam masyarakat Wates saat ini ?

TUJUAN

1. Untuk menjadi pembelajaran mengenai definisi dari sistem gandok serta penerapannya
terhadap masyarakat adat sekitar
2. Untuk mengetahui dasar serta alasan penggunaan sistem gandok yang ramai-ramai
digunakan oleh masyarakat daerah sekitar
3. Untuk mengetahui bagaimana asal usul, pengaruh, serta dampak terhadap digunakannya
sistem gandok yang ada di masyarakat Wates.

MANFAAT

1. Masyarakat dapat menjadi paham mengenai sistem pertanahan yang ada pada saat era
kolonialisme Belanda serta penerapannya dalam masyarakat.
2. Dapat menjadi suatu pembelajaran akan dasar serta alasan penggunaan sistem gandok di
dalam masyarakat
3. Mengetahui berbagai aspek yang signifikan terhadap pengguaan sistem gandok di dalam
masyarakat Wates.
PEMBAHASAN

1. Sistem Gandok

Sistem gandok pada dasarnya merupakan suatu sistem pembagian warisan dimana ahli
waris menitipkan namanya kepada salah satu ahli waris yang bertempat tinggal di dekat tanah
waris pada suatu surat kepemilikan tanah.1 Sistem gandok sering digunakan oleh ahli waris yang
tidak bertempat tinggal dekat dengan suatu tanah warisan. Penggunaan sistem gandok dalam
refrensi lain disebutkan selain untuk menitipkan nama ahli waris juga banyak digunakan untuk
menghindari pajak tanah yang mahal pada saat penjajahan Belanda. 2

Sistem gandok merupakan sebuah sistem yang tidak memiliki legitimasi hukum yang
jelas. Hal ini berarti sistem tersebut tidak bersifat mengikat seluruh masyarakat, karena
masyarakat tidak memiliki kewajiban untuk menggunakan sistem gandok. Sistem gandok
muncul akibat kebiasaan dalam masyarakat akibat kebutuhan. Kebutuhan dalam hal ini
disebabkan karena pada saat sebelum adanya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria),
pemerintah terlebih dahulu ingin mendata kepemilikan suatu tanah. Dalam prakteknya untuk
memudahkan suatu pendataan terhadap kepemilikan tanah, pada saat itu masyarakat
menggunakan sistem gandok. Sistem gandok yang intisarinya adalah menitipkan nama bukti
kepemilikan tanah inilah yang digunakan oleh masyarakat untuk memudahkan pendataan
terhadap kepemilikan suatu tanah.

Sistem gandok melekat erat dengan sebuah tanda bukti kepemilikan tanah sebelum
dikenal sertifikat yaitu Leter C atau Girik. Leter C merupakan produk hukum peninggalan
kolonialisme Belanda. Leter C menurut masyarakat dapat berisi mengenai luas dan kelas tanah
serta nomor persil, mengenai nama pemilik, dan mengenai jumlah pajak. 3 Sedangkan menurut R.
Soeprapto, menyatakan isi buku Leter C adalah daftar tanah, nama pemilik dengan nomor urut,

1
Diakses dari http://regional.kompas.com/read/2010/08/05/18473127/Sistem.Gandok.Picu.Sengketa.Lahan-14
pada tanggal 19 November 2016
2
Ibid,.
3
Edi Suparyono, “Kutipan Buku Letter C sebagai Alat Bukti Untuk Memperoleh Hak Atas Tanah di Kecamatan Duren
Sawit, Jakarta Timur”, Universitas Diponegoro Semarang, 2008, hlm. 27
dan besarnya pajak.4 Perdebatan mengenai legalitas Leter C masih menjadi sebuah polemik di
masyarakat. Hal ini juga yang merambat mengenai permasalahan sistem gandok ini dimana
apabila Leter C tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti yang kuat maka legalitas sistem gandok
semakin kabur. Seperti dikatakan oleh Efendi Perangin mengenai Leter C apakah merupakan alat
bukti yang kuat, beliau berpendapat bahwa kalau sebidang tanah belum bersertifikat, maka yang
ada mungkin hanya surat pajak (girik, Petuk D, Leter C, tanpa pembayaran IPEDA). Mahkamah
Agung dalam beberapa keputusannya telah menyatakan bahwa surat pajak, bukan bukti
pemilikan hak atas tanah. Surat pajak tanah hanyalah pemberitahuan bahwa yang membayar atau
wajib pajak adalah orang yang namanya tercantum dalam pajak.5

Sistem gandok merupakan suatu sistem pinjam nama yang dimaksudkan karena pemilik
tanah di tempat tersebut sedang atau berdomisili di luar kota.6 Pada saat tersebut pemerintah
daerah sedang berupaya melakukan survei terhadap kepemilikan tanah di daerah Wates berkaitan
dengan perpajakan tanah dan bangunan. Sistem gandok secara perlahan muncul untuk
memudahkan kerja pemerintah daerah dalam mencatat data pertanahan untuk keperluan
pencatatatn Pajak Bumi dan Bangunan. Penggunaan sistem gandok mengacu pada adanya Leter
C atau girik yang digunakan sebagai tanda pembayaran pajak.

Mekanisme dari awal mulanya adanya sistem gandok berawal saat tahun 1960-an. Pada
saat dimana munculnya Undang-Undang Pokok Agraria merevolusi pertanahan yang ada di
Indonesia. Saat itu banyak tanah tak bertuan yang terdapat di daerah Wates. Tanah tak bertuan
dalam arti disini bukan berarti tanah itu tidak dimiliki oleh siapapun yang berarti dimiliki oleh
Negara. Tanah tak bertuan disini dimaksudkan tanah tersebut merupakan tanah warisan yang
pemiliknya tidak bertempat tinggal di daerah tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, untuk
memudahkan pengaturan terhadap tanah-tanah tersebut, pemerintah daerah menelusuri asal mula
dari kepemilikan tanah tersebut. Pada saat itu pemerintah daerah ingin agar tanah-tanah tersebut
menjadi terurus dan agar pengaturannya menjadi mudah maka pemilik tidak boleh berdomisili di
luar daerah lain. Maka pada saat itu banyak masyarakat yang menitipkan nama pemilik tanah ke
familinya yang berdomisili didekat tanah tersebut agar pengurusannya lebih mudah dan
4
R. Soeprapto, Undang-undang Pokok Agraria dalam Praktek, CV. Mitra Sari, Jakarta 1986
5
Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1986, hlm.
16-17
6
Wawancara dengan Ibu Anastasia Sri Subekti, merupakan salah satu pihak yang bersengketa dalam sistem gandok
di Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 21 November 2016
terjangkau. Meskipun nama tersebut dititipkan namun pada prakteknya pemilik asli yang
menitipkan nama pada familinya tidak menyerahkan atau menghibahkan tanah tersebut kepada
familinya. Hal ini dapat diartikan bahwa pemilik asli tanah tersebut tetap melakukan
kewajibannya yaitu membayar pajak.

Penitipan nama inilah yang dapat menjadi awal persengketaan yang berujung di
pengadilan. Pada dasarnya tentu keturunan dari orang yang dititipi nama berusaha menjadi ahli
waris dari tanah tersebut, sedangkan keturunan dari pemilik asli akan mengklaim itu sebagai
miliknya karena menganggap orang tua merekalah pemilik aslinya yang juga membayar pajak
setiap saat. Kelemahan dari sistem gandok salah satunya adalah tidak adanya bukti tertulis
penitipan nama. Namun juga dapat dipertimbangkan kembali karena sebenarnya penitipan nama
ini tidaklah benar adanya karena secara hukum tidak dapat dilegalkan. Sistem gandok ini bekerja
secara etika semata, karena secara hukum tidak memiliki alat bukti yang kuat. Terlebih Leter C
seperti yang disebutkan diatas tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat.

Perkembangan permasalahan ini belum menyedot perhatian masyarakat dikarenakan


beberapa hal yaitu : sistem gandok yang prakteknya terselubung dari hukum, tidak adanya
nomenklatur mengenai sistem gandok, serta wilayah lingkup sistem gandok yang sempit. Sistem
gandok prakteknya terselubung karena apabila kita melihat dari sejarah, salah satu manfaat dari
sistem gandok adalah menghindari pajak. Tidak berdomisili di suatu daerah tertentu dapat
diartikan bahwa pemilik asli bukan merupakan warga setempat, meskipun saat itu banyak
terdapat warga transmigran. Bukan merupakan warga setempat dapat diinterprestasikan sebagai
warga asing (bukan warga negara asing) yang dapat dikatakan lebih mampu. Hal ini apabila
mengacu pada peraturan sekarang maka pajak yang ada seharusnya dapat lebih besar. Dengan
adanya sistem gandok ini maka dapat diasumsikan untuk menghindari pajak yang tinggi oleh
pemerintah. Tidak adanya nomenklatur mengenai sistem gandok ini berkaca pada minimnya
sumber yang dapat diperoleh untuk meneliti sistem ini. Sistem gandok tumbuh dan berkembang
di masyarakat karena masyarakat dan pemerintah daerah pada saat itu menginginkan kemudahan
dalam mendata kepemilikan tanah di daerah tersebut. Selain itu dapat dikatakan wilayah sistem
gandok yang sempit ini karena masyarakat di daerah lain tidak banyak yang menerapkan sistem
ini. Peradilan masyarakat adat di berbagai daerah yang melakukan tugasnya dalam memutus
persengketaan mengenai adat di daerah-daerah. Hal ini dapat dikatakan berlainan di daerah
Wates dimana masyarakat tidak mempunyai suatu peradilan yang tegas. Dalam prakteknya
masyarakat lebih sering menggunakan peradilan konvensional untuk memutus mengenai sistem
gandok ini. Namun hal ini dirasa kurang adil karena secara hukum pemilik asli dapat lebih
mudah kalah dalam peradilan konvensional karena secara hukum tidak memiliki kekuatan
hukum apapun. Dalam hal ini hanya adat istiadat masyarakat yang dapat menjadi sebuah alat
bukti. Dalam pandangan hukum, apabila pemilik asli menitipkan nama pada familinya maka
secara hukum dapat dikatakan pemilik asli tersebut menghibahkan tanahnya kepada familinya.

2. Dasar dan Alasan Sistem Gandok

Sistem Gandok digunakan oleh masyarakat daerah Wates untuk memudahkan masyarakat
setempat dalam mendata kepemilikan tanah. Pemerintah daerah dapat diuntungkan dengan
adanya sistem ini. Pendataan mengenai sistem perpajakan yang pada saat itu belum diatur
dengan jelas dapat dipermudah dengan adanya sistem ini. Sehingga merupakan suatu hal yang
logis apabila sistem gandok ini diberlakukan. Kompleksitas peraturan pada saat itu tidak dapat
diperbandingkan dengan kompleksitasnya peraturan pada saat dahulu, dimana kepala desa tidak
memiliki wewenang sebebas dahulu. Saat ini wewenang kepala desa ruang lingkupnya dibatasi
oleh Undang-Undang melalui UU Desa sehingga fungsinya dibatasi, berbeda dibandingkan
sebelum adanya berbagai nomenklatur mengenai desa. Hal ini dapat menjadi salah satu dasar
adanya sistem gandok ini, karena pada saat dahulu kepala desa memiliki wewenang yang lebih
bebas dalam menentukan adanya sistem penitipan nama.

Awal mula penggunaan sistem gandok dapat dirujuk dari kata gandok itu sendiri yang
berarti seseorang yang menikah yang memiliki kamar keluarga sendiri diatas atap yang
bersamaan dengan keluarganya.7 Hal ini dapat diasumsikan bahwa gandok merupakan suatu
sistem yang bersifat kekeluargaan. Kekeluargaan disini dapat diartikan bahwa tidak
diperlukannya suatu bukti otentik antara pemilik asli suatu nama dengan seseorang yang
dititipkan namanya untuk menjadi acting dari pemilik asli. Sistem yang kekeluargaan ini
seharusnya juga diselesaikan secara kekeluargaan yang mengandalkan musyawarah, tetapi dalam
prakteknya tidak berhasil karena banyak persengketaan yang berakhir di pengadilan.

7
J.F. Holleman, Van Vallonhoven on Indonesian Adat Law, Springer, 1981, hlm. 157
Apabila dilihat dari struktur kepemilikan tanah, gandok dapat disamakan dengan kuli
setengah kenceng atau kuli kendo.8 Kuli setengah kenceng adalah anggota masyarakat yang
hanya memiliki tanah pekarangan dan tidak memiliki tanah sawah dan tanah tegalan. 9 Tanah
pekarangan merupakan tanah yang tidak dapat diolah karena merupakan latar dari tanah
seseorang. Tanah pekarangan bukan merupakan tanah produktif yang memiliki peranan penting
dalam pembangunan desa, berkaitan dengan sumber daya suatu desa. Berkaitan dengan fungsi
dari tanah inilah yang mendasari urgensi untuk melakukan sistem gandok. Apabila tanah tersebut
merupakan suatu tanah produktif yang menghasilkan maka terdapat perjanjian yang jelas untuk
menggarap tanah tersebut agar dapat menjadi produktif, termasuk dengan tidak digunakannya
sistem gandok. Sedangkan tanah pekarangan digunakanlah sistem gandok terhadap pemilik yang
tidak berdomisili di daerah tersebut.

Permasalahan sistem gandok tidak dapat dilihat dari sudut pandang yang sama, ruang
lingkup yang sama, serta dari berbagai cara yang sama pula. Terdapat permasalahan sistem
gandok yang berbeda jenisnya dikarenakan tidak adanya kesatuan atau tidak adanya bukti tertulis
dari sistem ini. Kesemuanya hanya berdasarkan kebiasaan masyarakat semata dalam
menggunakan sistem ini. Contoh kasus yang lain seperti dikutip dari harian kompas adalah
sebagai berikut10 :

Trah Kasan Ehar bersengkata memperebutkan lahan warisan seluas 4.500 meter
persegi. Kasan memiliki dua anak yakni Dulmanan dan Wongsodimejo. Keduanya telah
dibagi warisan dengan tetapi surat letter C-nya hanya satu atas nama Wongsodimejo.
Keturunan Wongsodimejo mengklaim seluruh tanah warisan menjadi milik keluarganya
sesuai dengan yang tercantum di letter C. Dalam adat Jawa dikenal sistem kuli gandok
dan kuli kenceng. Kuli gandok adalah lahan secara keseluruhan yang di atas namakan
satu orang, yakni anak laki-laki tertua, sementara kuli kenceng adalah pembagian dari
kuli gandok sesuai dengan jumlah anak.

Dalam contoh diatas terdapat perbedaan dari berbagai pembahasan yang dijelaskan
diatas. Perbedaan tersebut terdapat pada sebuah sistem dalam masyarakat Jawa yang

8
Diakses dari http://st298946.sitekno.com/article/88739/bedah-skl-5-dan-kisikisi-un-sosiologi--20112012.html,
pada tanggal 22 November 2016
9
Diakses dari http://tjiptosubadi.blogspot.co.id/2010/04/sosiologi-boro.html, pada tanggal 22 November 2016
10
Diakses dari akses yang sama seperti sumber yang tertera diatas yaitu
http://regional.kompas.com/read/2010/08/05/18473127/Sistem.Gandok.Picu.Sengketa.Lahan-14, pada tanggal 19
November 2016
membedakan tanah warisan berdasarkan anak tertua (kuli gandok) dan jumlah anak (kuli
kenceng). Pembagian tanah warisan tersebut yang sebenarnya dapat dijadikan dasar dari adanya
sistem gandok tersebut. Adanya sistem gandok tidak lepas dari warisan keluarga. Dalam sistem
gandok tidak dikenal dengan adanya pembelian tanah oleh suatu warga diluar masyarakat
setempat. Suatu kepemilikan tanah didapat tidak dengan membeli tanah tersebut, melainkan
mendapat tanah tersebut dari warisan. Hal ini mengakibatkan sistem gandok erat kaitannya
dengan sistem kekeluargaan seperti yang dijelaskan diatas. Tanah warisan tersebut karena sudah
dibagi – yang mana pembagiannya biasanya melalui testamen atau surat wasiat – terlebih dahulu
dapat mengurangi konflik antara keluarga berkaitan dengan sengketa tanah. Namun karena
adanya kebijakan pemerintah daerah yang mengakibatkan aplikasi sistem gandok, sengketa yang
muncul di kemudian hari adalah berkaitan dengan penitipan nama yang dianggap milik
seseorang yang namanya terdapat dalam Leter C, padahal nyata-nyatanya tidak berdasarkan
sistem gandok tersebut. Meruntut pada kuli gandok yang pembagiannya berdasarkan anak tertua,
dapat diasumsikan bahwa pembagian warisan tersebut sudah terbagi sebelumnya dan dapat
ditelusur di balai desa.11 Penitipan nama dilakukan tidak dengan sembarang menitipkan nama
kepada famili. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah : seseorang tersebut memiliki hubungan
darah dengan pemilik tanah, kecakapan mengenai hukum, dapat membaca dan menulis, dan
memiliki latar belakang yang dapat dipertanggungjawabkan.12 Memang masih terdapat hal-hal
lain yang dipertimbangkan pemilik asli untuk menitipkan tanahnya. Pertimbangan tersebut
kadangkala bersifat personal, sehingga hanya dapat dilihat kasus per kasus. Kesemua kriteria
tersebut merupakan hal yang relatif karena pertimbangan setiap pemilik asli berbeda, namun
kiranya hal-hal diatas dapat dijadikan dasar untuk menetapkan kriteria apa saja yang diperlukan
dalam menentukan bagaimana pemilik asli dapat menitipkan tanahnya. Kriteria tersebut juga
tidak dapat dibatasi oleh peraturan-peraturan yang lain, sebab kembali kepada asal mula sistem
gandok sendiri yaitu sistem ini muncul karena kebiasaan atau custom dari masyarakat sekitar.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem gandok ini ada dan muncul karena masyarakat itu
sendiri menghendakinya.

3. Penggunaan Sistem Gandok saat ini

11
Ibid,.
12
Wawancara dengan Ibu Anastasia Sri Subekti, merupakan salah satu pihak yang bersengketa dalam sistem
gandok di Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 21 November 2016
Sistem gandok merupakan sebuah sistem yang tidak digunakan lagi saat ini. Dengan
adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur mengenai pendaftaran tanah, saat ini
masyarakat yang tidak berdomisili di suatu daerah tetap dapat memiliki surat bukti berupa
sertfikat suatu tanah. Dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juncto Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah) juncto Pasal 4 ayat 1
PP Pendaftaran Tanah, menentukan bahwa untuk memberikan kepastian dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan, kepada yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah. 13 Dalam penggalan
peraturan diatas disebutkan bahwa saat ini alat bukti yang kuat dan mengikat atas suatu tanah
adalah sertifikat. Lain halnya dengan sistem gandok yang menggunakan Leter C sebagai bukti.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem gandok saat ini sudah tidak digunakan oleh masyarakat.

Sebagai suatu sistem yang pernah digunakan oleh masyarakat, sistem gandok memiliki
berbagai permasalahan yang belum selesai hingga kini. Permasalahan itu berkaitan dengan
sengketa dimana suatu keturunan dari seseorang yang dititipkan padanya sebuah tanah
menganggap tanah tersebut adalah miliknya, dimana pada kenyataannya dalam sistem gandok
pemilik asli menitipkan tanah tersebut bukan menghibahkan tanah tersebut. Permasalahan-
permasalahan tersebut belum berakhir hingga kini, dikarenakan hilangnya rasa kekeluargaan
diantara keluarga-keluarga tersebut. Masing-masing pihak memiliki argumentasinya sendiri-
sendiri dimana tidak terdapat penyelesaian antara pihak-pihak yang bersengketa. Mengacu pada
sistem gandok jelas merupakan sebuah kebiasaan dalam masyarakat tersebut bahwa pemilik asli
yang berhak untuk mendapat sertifikat atas kepemilikan tanah.

Sengketa antara pihak pemilik asli dan pihak yang dititipkan kepadanya suatu tanah
dalam argumentasinya memiliki perbedaan. Pihak pemilik asli berargumen berdasarkan adat
suatu masyarakat yaitu sistem gandok, sedangkan pihak yang dititipkan kepadanya suatu tanah
memiliki argumen berdasarkan legalitas yaitu Leter C yang beratasnamakan pihak yang
dititipkan kepadanya suatu tanah. Apabila melihat kenyataan dengan adanya sistem gandok maka
pihak yang di menangkan adalah pihak pemilik asli. Namun, melihat kenyataan bahwa tidak
13
Diakses dari http://www.jurnalhukum.com/sertifikat-sebagai-tanda-bukti-hak-atas-tanah/, pada tanggal 22
November 2016
semua masyarakat menggunakan sistem ini dan tidak semua masyarakat memahami sistem ini
maka hanya pengadilan yang dapat memutuskan.

Permasalahan mengenai tidak semua masyarakat menggunakan dan mengerti sistem


gandok didasarkan bahwa masyarakat yang menggunakan sistem gandok adalah masyarakat
yang hijrah ke tempat lain atau bertransmigrasi dan memiliki tanah warisan. Suatu keluarga yang
tidak memiliki tanah warisan atau suatu keluarga yang tetap tinggal di daerah tersebut tentunya
tidak menggunakan sistem gandok dalam pertanahan mereka. Hal ini berarti sistem gandok tidak
terlalu diperhatikan sebagai sesuatu hal yang menjiwai masyarakat sekitar, yang berakibat
rendahnya sistem gandok sebagai pembuktian di pengadilan.
KESIMPULAN

Sistem gandok merupakan kebiasaan yang diterapkan oleh sebagian dari masyarakat di
daerah Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki tanah warisan namun tidak
berdomisili di daerah tersebut. Dalam sistem gandok memiliki dua pihak yaitu pihak pemilik asli
tanah tersebut dan pihak yang kepadanya dititipkan sebuah tanah. Kedua belah pihak biasanya
memiliki hubungan kekeleuargaan yang mana didasari kepercayaan satu sama lain. Dasar dari
adanya sistem gandok ini adalah karena Pemerintah Daerah Wates pada tahun 1960-an
mengadakan sebuah survei mengenai kepemilikan tanah berkaitan dengan pengenaan pajak
daerah tersebut.

Pada saat ini sistem gandok sudah tidak lagi digunakan dengan adanya bukti kepemilikan
tanah yang berupa sertifikat yang tidak dapat digandokkan karena telah memiliki bukti yang
kuat. Namun hingga saat ini masih banyak permasalahan yang timbul akibat adanya sistem
gandok. Salah satunya adalah berkaitan dengan sengketa tanah antara pihak pemilik asli tanah
dan pihak yang kepadanya dititipkan suatu tanah.
REKOMENDASI

Sistem gandok memiliki berbagai permasalahan yang belum selesai. Hingga kini
sebagian permasalahan dapat dikatakan hanya mengambang karena tidak bertemunya titik temu
antara kedua belah pihak. Masing-masing pihak memiliki dasar argumentasi yang berbeda,
dimana tidak ada kesatuan antara itu. Sengketa dapat selesai apabila dengan penyelesaian di
pengadilan. Namun apabila dicermati terhadap kedua belah pihak, masing-masing memiliki
dasar hukumnya. Pihak pemilik asli tanah mendasarkan pada hukum adat yaitu kebiasaan
masyarakat sekitar, sedangkan pihak yang kepadanya dititipkan tanah mendasarkan pada hukum
agraria (prinsip legalitas) dimana pihak yang berhak adalah pihak yang tertulis namanya di
sebuah surat tertulis.

Dalam kenyataannya seperti dalam pembahasan diatas, apabila merujuk pada sistem
gandok maka pihak yang hanya dititipkan akan tidak mendapat lahan tersebut. Sedangkan
apabila merujuk pada pengadilan, masih dapat mempertimbangkan adanya sistem gandok yang
ada dalam masyarakat. Menurut saya, hal yang terbaik adalah mengembalikan tanah tersebut
kepada pemilik aslinya tetapi terdapat seperbagian yang menjadi hak dari pihak yang kepadanya
dititipkan tanah tersebut. Bagian ini dapat disebut sebagai jasa untuk menitipkan nama.
DAFTAR PUSTAKA

J.F. Holleman. 1981. Van Vallonhoven on Indonesian Adat Law. Amsterdam : Springer.

Limbong, Bernhard. 2012. Hukum Agraria Nasional. Jakarta : Pustaka Margaretha.

Perangin, Effendi. 1986. 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.

R. Soeprapto. 1986. Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek. Jakarta : CV. Mitra Sari

Suparyono, Edi. 2008. Kutipan Buku Letter C sebagai Alat Bukti Untuk Memperoleh Hak Atas Tanah di
Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Universitas Diponegoro Semarang. hlm 27.
eprints.undip.ac.id/17220/1/EDY_SUPARYONO.pdf (Diakses 22 November 2016)

Hasil wawancara dengan Ibu Anastasia Sri Subekti, pada tanggal 21 November 2016

Saraswati Asmoro, Ero. "Bedah SKL Sosiologi." http://st298946.sitekno.com/article/88739/bedah-skl-5-


dan-kisikisi-un-sosiologi--20112012.html, (Diakses pada tanggal 22 November 2016)

Subadi, Tjipto. "Sosiologi Boro." http://tjiptosubadi.blogspot.co.id/2010/04/sosiologi-boro.html,


(Diakses pada tanggal 22 November 2016)

Tunardy, Wibowo. "Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah."


http://www.jurnalhukum.com/sertifikat-sebagai-tanda-bukti-hak-atas-tanah/, (Diakses pada tanggal 22
November 2016)

Wahono, Tri. "Sistem Gandok Picu Sengketa Lahan."


http://regional.kompas.com/read/2010/08/05/18473127/Sistem.Gandok.Picu.Sengketa.Lahan-14,
(Diakses pada tanggal 19 November 2016)

Anda mungkin juga menyukai