Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Glaukoma berasal dari kata yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna pada pupil penderita glaukoma. Kelainan mata
glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf
optik dan menciutnya lapang pandang (Ilyas dan Yulianti, 2017).
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan terbanyak kedua di dunia setelah
katarak. Pada tahun 2013, prevalensi kebutaan di Indonesia pada usia 55-64 tahun
sebesar 1,1%, usia 65-74 tahun sebesar 3,5% dan usia 75 tahun ke atas sebesar
8,4% (Chaidir et al., 2016). Dari hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007,
responden yang pernah didiagnosis glaukoma oleh tenaga kesehatan sebesar
0,46%, Sumatera Selatan berada pada urutan ke-8 untuk kasus glaukoma di
Indonesia dengan prevalesi 0,72% (Kemenkes RI, 2015). Klasifikasi glaukoma
menurut vaughen ada 4 yaitu; glaukoma primer, glaukoma kongenital, glaukoma
sekunder dan glaukoma absolut (Ilyas dan Yulianti, 2017).
Glaukoma sekunder ialah peningkatan tekanan intraokular yang disebabkan
oleh kelainan mata atau kelainan diluar mata yang menghambat aquos out flow
(Arnia, 2015). Glaukoma sekunder akibat kelainan lensa, dibagi menjadi 2, yaitu
fakolitik dan fakomorfik.
Glaukoma sekunder dapat terjadi karena banyak hal, salah satunya katarak
senilis. Glaukoma dan katarak dapat ditemukan beriringan pada orang berusia
lanjut yaitu sekitar 40 tahun ke atas (Lauretta et al., 2016).
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi ( penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa ataupun terjadi
akibat keduanya (Ilyas dan Yulianti, 2017) . Katarak ditandai dengan adanya
lensa mata yang berangsur-angsur menjadi buram yang pada akhirnya dapat

1
menyebabkan kebutaan total. Penyakit katarak terutama disebabkan oleh proses
degenerasi yang berkaitan dengan usia. Katarak kini masih menjadi penyakit
paling dominan pada mata dan merupakan penyebab utama dari kebutaan di
seluruh dunia. Paling sedikit 50% dari semua kebutaan disebabkan oleh katarak,
dan 90% diantaranya terdapat di negara berkembang tidak terkecuali di
Indonesia(Awopi, Wahyuni dan Sulasmini, 2016)
Mengetahui bahwa katarak dan glaukoma merupakan penyebab tertinggi
dari kebutaan di Indonesia dan juga keduanya merupakan penyakit yang dapat
berkaitan, peneliti ingin mengetahui angka kejadian glaukoma fakomorfik pada
pasien katarak senilis di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah berapa angka kejadian glaukoma fakomorfik pada pasien
katarak senilis di RSMP ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui angka kejadian glaukoma fakomorfik pada pasien
katarak senilis di RSMP.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jumlah angka penderita katarak senilis yang
menderita glaukoma fakomorfik di RSMP.
2. Untuk mengetahui hubungan antara glaukoma fakomorfik dengan
katarak senilis

2
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Menambah pengalaman dan wawasan, serta bahan dalam penerapan
ilmu metode penelitian.
2. Meningkatkan pengetahuan pembaca dan penulis tentang angka
kejadian penyakit glaukoma akibat katarak senilis.
3. Meningkatkan pengetahuan pembaca dan penulis mengenai penyakit
katarak dan glaukoma.

1.4.2 Manfaat Praktis


1. Untuk menambah referensi perpustakaan dan sebagai bahan acuan yang
akan datang.
2. Meningkatkan kemampuan berfikir analitis dan sistematis dalam
mengidentifikasi permasalahan di kesehatan masyarakat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Katarak
Katarak merupakan penyakit mata yang ditandai dengan kekeruhan
lensa mata sehingga mengganggu proses masuknya cahaya ke mata.
Katarak dapat disebabkan karena terganggunya mekanisme kontrol
keseimbangan air dan elektrolit, karena denaturasi protein lensa atau
gabungan keduanya (Astari, 2018). Kekeruhan lensa pada penderita
katarak mengakibatkan lensa tidak transparan, sehingga pupil akan
berwarna putih atau abu-abu. Kekeruhan ini juga dapat ditemukan pada
berbagai lokalisasi di lensa seperti kortek dan nucleus (Ilyas dan Yulianti,
2017).
Berdasarkan usia, katarak dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu
katarak kongenital, katarak juvenil dan katarak senilis.
1. Katarak kongenital adalah karatak yang mulai terjadi sebelum
atau segera setelah lahir bayi berusia kurang dari satu tahun.
2. Katarak juvenil adalah kekeruhan lensa yang terjadi saat
penderita berusia lebih dari satu tahun. Biasanya katarak ini
terbentuk kurang dari usia 9 tahun.
3. Katarak senilis adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada
penderita usia lanjut, yaitu di atas 50 tahun (Ilyas dan Yulianti,
2017). Katarak senilis secara klinik dibagi menjadi 4 stadium
yaitu insipien, imatur, matur dan hipermatur
insipien imatur matur hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang

4
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka
mata
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopos
Penyulit - Glaukoma - Uveitis dan
glaukoma

2.1.2 Glaukoma
Glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan intraokuler, atrofi
papil saraf optik, dan menciutnya lapang pandang. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar
maupun karna berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut
bilik mata atau di celah pupil (Putri, 2018). Berdasarkan bentuknya,
glaukoma terdiri dari 2 bentuk yaitu glaukoma sudut terbuka dan
glaukoma sudut tertutup ( Ilyas dan Yulianti,2017). Klasifikasi vaughen
untuk glaukoma ada 4, yaitu;
1. Glaukoma Primer
Glaukoma dengan etiologi tidak pasti, dimana tidak
didapatkan kelainan yang merupakan penyebab glaukoma.
Berdasarkan ( Ilyas dan Yulianti,2017) glaukoma ini didapatkan
pada orang yang telah memiliki bawaan glaukoma seperti
susunan anatomi bilik mata yang menyempit atau kelainan
pertumbuhan pada sudut bilik mata. Glaukoma primer bersifat
bilateral yang tidak selalu simetris dengan sudut bilik mata
terbuka maupun tertutup, pengelompokan ini berguna untuk
penatalaksanaan dan penelitian.

5
2. Glaukoma Kongenital
Glaukoma kongenital merupakan jenis yang sangat langka.
Berdasarkan Vaughan (2015), glaukoma kongenital terbagi
menjadi3, yaitu; Glaukoma kongenital primer, Anomali
perkembangan iris dan komea dan Berbagai kelainan termasuk
arinidia, neurofibromatosis, Sindrom Struge-Weber, Sindrom
Lowe dan Rubella kongenital.
Glaukoma kongenital bermanifestasi sejak lahir pada 50%,
diagnosis pada 6 bulan pertama 70% dan pada akhir tahun
pertama 80%, Gejala paling dini dan paling sering adalah epifora.
Dapat dijumpai fotofobia dan pengurangan kilau komea, pupil
juga tidak berespon terhadap cahaya. Peningkatan tekanan
intraokular merupakan tanda kardinal dari glaukoma. Temuan-
temuan lanjut adalah peningkatan garis tengah komea (melebihi
11,5 mm dianggap bermakna), edema epitel, robekan membrane
descement, peningkatan kamera anterior (disertai penigkatan
generalisata segmen anterior mata), edema dan kekeruhan stroma
komea (Vaughan, 2015).
3. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder dapat terjadi karena beberapa penyebab,
salah satunya adalah akibat kelainan lensa. Glaukoma akibat
kelainan lensa bisa dalam bentuk fakolitik dan fakomorfik.
Glaukoma fakolitik adalah keadaan akut dari glaukoma sudut
terbuka yang terjadi akibat kebocoran lensa pada katarak matur
dan hipermatur. Glaukoma fakomorfik adalah glaukoma sudut
tertutup sekunder yang disebabkan oleh lensa intumesens .
Glaukoma ini dapat terjadi pada mata yang sebelumnya sudah
memiliki sudut terbuka atau yang memiliki sudut sempit atau
tertutup ( Sowka, 2006).

6
4. Glaukoma absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma
(sempit/terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat
tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut (Ilyas dan
Yulianti, 2017). Pada glaukoma absolut komea terlihat keruh,
bilik mata dangkal, papil atrofi dengan ekskavasi glaukomatosa,
mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit (Ilyas dan Yulianti,
2017). Sering mata dengan buta ini menyebabkan penyumbatan
pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa
neovaskularisasi pada iris, keadan ini menimbulkan rasa sakit
sekali akibat timbulnya glaukoma hemoragik (Ilyas dan Yulianti,
2017).

2.1.3 Katarak Senilis dengan Glaukoma

Katarak senilis dapat menimbulkan beberapa komplikasi serius, salah


satunya adalah glaukoma sekunder. Pada katarak hipermatur( stadium
lanjut dari katarak senilis) terjadi penyumbatan trabekulum yang
disebabkan oleh protein lensa yang bocor dari kapsul lensa katarak
hipermatur. Pada katarak tersebut terjadi pencairan korteks lensa dan
pengerutan kapsul lensa, dan bilik mata depan menjadi dalam. Pada
keadaan ini dapat terjadi kebocoran material korteks ke luar kapsul
sehingga menyebabkan terjadinya proses inflamasi segmen anterior mata
yang berakibat terjadinya glaukoma akut (Sowka, 2006)
Keadaan inflamasi pada mata atau uveitis dapat menimbulkan
timbunan sel-sel radang dan eksudat protein dalam trabekulum
meshwork, sehingga menimbulkan hambatan mekanis parsial maupun
total pada aliran humor akuos dan selanjutnya akan meningkatkan
tekanan bola mata (American academy of ophthalmology, 2011).

7
2.2 Kerangka Teori

Katarak senilis

Penyumbatan trabekulum oleh protein


lensa yang bocor dari kapsul lensa

Inflamasi segmen
anterior mata

hambatan aliran
humor akuos

Glaukoma (fakolitik- fakomorfik)

8
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei


deskriptif,yaitu sebuah metode yang berusaha mendeskripsikan dan
menginterpretasikan masalah kesehatan serta yang terkait dengan kesehatan
sekelompok penduduk atau orang yang tinggal di dalam suatu komunitas tertentu
( Notoatmodjo,2012 ). Adapun pendekatan yang digunakan adalah Morbidity
Survey yaitu survei deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui kejadian dan
distribusi penyakit dalam masyarkat ataupun populasi. Survei ini dapat sekaligus
digunakan untuk mengetahui incidence atau prevalence suatu penyakit.
Rancangan penelitian ini digunakan untuk mengetahui angka kejadian dari
glaukoma fakomorfik pada pasien katarak senilis di RSMP.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini akan dilakukan pada mei 2019.

3.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Muhammadiyah


Palembang

9
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Target

Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien katarak senilis di


RSMP tahun 2018
3.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah semua pasien katarak


senilis yang mengalami glaukoma fakomorfik di RSMP

3.3.3 Sampel dan Besaran Sample


Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode
lemeshow. Dengan rumus perhitungan ;
2
𝑍 𝑝 (1 − 𝑝)
𝑛= 𝛼
𝑑²
Dimana :

n = Jumlah sampel

p = Proporsi yang aka


n dilihat , maksimal estimasi: 0,5

d = Alfa (0,05) atau sampling error

Z12α/2 = Score Z, pada kepercayaan 95%, maka nilai Z sekitar


1.96

Melalui rumus diatas, maka jumlah sampel yang diambil adalah


1.96².0,5 (1−0,5)
𝑛= 0,1²

n = 96,4 = 100

10
3.3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi pada penilitian ini adalah pasien yang telah didiagnosis
katarak senilis di RSMP
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis
katarak kongenital , katarak juvenile dan katarak karena diabetes
melitus

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Dependent

Variabel dependent pada penelitian ini adalah katarak senilis

3.4.2 Variabel Independent

Variabel independent pada penelitian ini adalah glaukoma fakomorfik

3.5 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Skala Hasil ukur


Operasional ukur

Glaukoma Suatu glaukoma Kuesioner Nominal 1.Glaukoma


fakomorfik sudut tertutup fakomorfik(+)
sekunder yang 2.Glaukoma
disebabkan oleh fakomofrik (-)
penutupan sudut
gaya mekanik lensa

11
terhadap diafragma
iris lensa ke anterior
dan oleh blockade
pupil karena lensa
Katarak Setiap kekeruhan Rekam medik Nominal 1.Katarak
senilis pada lensa mata senilis (+)
yang terjadi pada 2.Katarak
usia lanjut ( diatas senilis (-)
50 tahun)

3.6 Cara Pengumpulan Data


1. Data Sekunder
Data sekunder diambil menggunakan rekam medik mengenai identitas pasien
di instalasi rekam medik Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang
terdiagnosis katarak senilis.
2. Data Primer
Data primer diambil dengan cara menyebarkan kuesioner kepada pasien
katarak senilis di RSMP untuk menanyakan ada atau tidaknya penyakit lain
contohnya diabetes mellitus, menanyakan beberapa gejala dari glaukoma
fakomorfik yang dialami oleh responden dan apakah responden sebelumnya
sudah pernah melakukan pemeriksaan intraokuler dan bagaimana hasilnya.
Sebelum mengisi kuesioner, responden akan diberikan informed concent
terlebih dahulu sebagai tanda kesediannya untuk menjadi sampel dalam
penelitian yang akan dilakukan.

12
3.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Tahap Pengolahan Data

Menurut Hidayat (2012) adapun cara pengolahan data ada beberapa


langkah yaitu :
a. Editing
Adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
b. Coding
Merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting
bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer.
c. Data Entry
Merupakan data yang telah diselesaikan di coding dan di editing
selanjutnya dimasukkan kedalam tabulasi.
d. Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah dientry
apakah ada kesalahan atau tidak.

3.7.2 Analisis Data


Untuk mengetahui angka kejadian glaukoma fakomorfik pada pasien
katarak senilis, data yang telah didapatkan disajikan dalam bentuk tabel
dengan mendeskripsikan angka kejadian glaukoma fakomorfik pada
pasien katarak senilis.

13
3.8 Alur Penelitian

Izin melakukan penelitian

Populasi terjangkau di
RSMP
Kriteria inklusi
dan eksklusi
Sampling desain dengan
metode lemeshow

Informed consent

Pengisian kuesioner

Pengumpulan, pengolahan
dan analisis data

Mendapatkan hasil penelitian dan


membuat kesimpulan

14
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. 2010-2011. Basic and Clinical Science Course


section 10. San Fransisco

Arnia (2015) ‘MANAGEMENT OF SECONDARY GLAUCOMA DUE TO


SENILE CATARACT IN 56 YEARS OLD MAN’, Jurnal Agromed Unila,
2(1), pp. 54–56.

Astari, P. (2018) ‘Katarak : Klasi kasi , Tatalaksana , dan Komplikasi Operasi’,


Cermin Dunia Kedokteran, 45(10), pp. 748–753.

Awopi, G., Wahyuni, T. D. and Sulasmini (2016) ‘Analisis Faktor-Faktor Yang


Mempengaruhi Kejadian Katarak Di Poliklinik Mata Puskesmas Dau
Kabupaten Malang’, Nursing News, 1, pp. 550–556.

Chaidir, Q. et al. (2016) ‘Pengaruh Tingkat Pengetahuan Penderita Glukoma’, 5(4),


pp. 1517–1525.

Hidayat, A.A., 2011. Metode Penelitian Kesehatan : Pradigma Kuantitatif. Kelapa


Pariwara : Surabaya

Ilyas S. 2017. Ilmu penyakit mata. Anatomi dan fisiologi mata. Edisi kelima . Jakarta:
FK UI.

Kemenkes. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI; 2015

Lauretta, M. et al. (2016) ‘Wanita 65 Tahun Dengan Glaukoma Sekunder et Causa


Katarak Senilis Hipermatur A 65 Years Old Woman with Secondary
Glaucoma et Causa Hypermature Senile Cataract’, 4, pp. 118–123.

15
Notoatmodjo,S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Putri, S. & T. (2018) ‘Karakteristik Penderita Glaukoma Primer Sudut Terbuka dan
Sudut Tertutup di Divisi Glaukoma di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar Periode 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2014’,
Directory Of Open Access Journal (DOAJ) Universitas Udayana.

Sowka J. 2006. Phacomorphic Glaucoma : Case and review. Optometry 2006;77:


586-9

Vaughan, Asbury. 2015. Oftalmologi umum. anatomi & embriologi mata: Glaukoma.
Edisi ke-17. Jakarta: EGC

16

Anda mungkin juga menyukai