Anda di halaman 1dari 5

Nama: Hendrik Septiadi

NPM: 11161191
Kelas : 3FA4

Alergi dan Pseudoalergi


Seorang perempuan 30 tahun dibawa ke klinik dengan keluhan luka infeksi dan nyeri pada
bagian pahanya. Riwayat penyakit pasien : hipertensi terkontrol dengan lisinopril,
insomnia diterapi dengan OTC. Sebelum mendapat antibiotik, pasien menyampaikan
riwayat alerginya. Pasien alergi dengan penisilin, vankomisin, clindamisin dan kodein.
Pasien menyampaikan riwayat reaksi alerginya(terlampir di bawah)
Tugas anda adalah: tuliskan 3 point analisis kasus alergi pasien:
a. Apakah reaksi yang dialami pasien termasuk jenis alergi atau efek samping obat?
b.Apakah obat tersebut masih dapat diberikan atau tidak?
c. Jelaskan jawaban anda jika obat tersebut masih bisa diberikan dan bagaimana usulan
cara pemberiannya. Jika tidak bisa diberikan jelaskan alasannya dan apa usulan terapi
penggantinya?

Vankomisin : saat menerima obat untuk infeksi luka beberapa tahun lalu, pasien mengalami
pemerahan dan bintik merah di bagian atas tubuhnya (sekitar leher dan bahu) yang
menghilang beberapa jam kemudian namun muncul kembali ketika obat diberikan dalam
infus. Namun dengan kecepatan infus obat lebih lambat pada dosis berikutnya, bintik
merah tidak muncul.
JAWAB :
 Bukan alergi, karena bitnik merah yang terjadi adalah efek samping dari obat
vankomisin
 Ya masih bisa digunakan
 Tetapi cara pemberiannya dengan kecepatan infus yang lambat utuk menghindari
kemerahan kulit yang membuat pasien tidak nyaman.
Penisilin : saat remaja menerima penisilin untuk radang tenggorokan, mengalami kesulitan
bernafas dan mendapat injeksi epinefrin dari dokternya.
JAWAB :
 pasien mengalami reaksi alergi karena (sebutin ciri2 alergi)
 Obat penisilin pada kondisi pasien tersebut sudah benar2 tidak boleh digunakan
 maka dari itu rekomendasi pemilihan obat golongan beta lactam lain yaitu
sefalosporin
 dari kasus tersebut terjadi pseudoalergi yang disebabkan oleh obat penisilin
sehingga akan terjadi anafilaksis menyebabkan otot polos bronkus menyempit dan
mengakibatkan sulit bernafas
untuk mengatasi alergi anafilaksis digunakan obat ephineprin yang bekerja
meredakan alergi dengan melemaskan otot polos yang menyebabkan penyempitan
di saluran pernafasan

Klindamisin : beberapa tahun lalu pasien mendapat resep sirup klindamisin. Pasien
melaporkan rasa obat yang tidak enak menyebabkan pasien muntah. Pasien menyimpulkan
dia alergi terhadap klindamisin.
JAWAB :
 hal tersebut bukan merupakan ciri dari reaksi alergi
 kindamisin dikontraindikasikan sebagai obat hipersensitivitas. Muntah yang terjadi
diakibatkan dari rasa yang tidak enak (pahit) dari obat bukan karena reaksi alergi
 beri sediaan bentuk lain jgn sirup

Kodein : pasien menerima resep asetaminofen/kodein tahun lalu. Nyerinya berkurang.


Namun, pasien mengalami konstipasi dan harus minum laksatif seminggu.
JAWAB :
• Konstipasi bukan merupakan ciri reaksi alergi dari penggunaan asetaminofen/kodein
• kodein merupakan golongan analgesic opioid (diuretic) yang memiliki efek samping
mentebabkan konstipasi (susah BAB). Dalam pengobatannya dilakukan kombinasi dengan
obat laksativ untuk melancarkan BAB atau bisa digunakan NSID sebagai antinyeri apabila
rentan sakitnya tidak terlalu berat
• Jika kodein digunakan untuk penahan rasa nyerinya maka perlu penambahan obat
laksatifnya

Bagaimana kesimpulan kasus pasien, buatlah resume pengobatannya: a. berdasarkan


riwayat alergi pasien, apakah ada antiobiotik dalam kasus tersebut, masih dapat diberikan
kepada pasien dengan aman? b. apakah pasien dapat diberikan analgesik opiat untuk
mengatasi nyeri pada lukanya?
JAWAB :
 reaksi pada kasus tersebut yaitu anafilaksis dan urtikaria tipe 1 yang disebabkan
oleh obat-obat antibiotic yang menghasilkan respon imun IgE
 masih bisa diberikan dengan catatan diberikan juga antihistamin 1/antihistamin 2,
contohnya cetirizine ah1 atau loratadine ah2 yang dapat memblok histamine yang
pecah
kesimpulan : jika pasien mengalami infeksi maka terapi yang diberikan yaitu
antibiotic, tetapi jika antiiotik menyebabkan alergi maka pengobatannya didampingi
dengan obat antihistamin
untuk mengurangi rasa nyeri diberikan analgesic opioid.
Jika mengalami konstipasi pengobatan yang diberikan kombinasi dengan obat
laksatif.
Mekanisme reaksi Alergi / Pseudoalergi obat

Mekanisme Alergi/Pseudoalergi obat.


Jelaskan singkat mekanisme reaksi alergi / psuedoaergi obat golongan
Sulfonamide antibiotic
JAWAB :
Reaksi terhadap antibiotic sulfonamide, mulai dari yang ringan (paling umum)
hingga yang mengancam jiwa (jarang), terjadi pada 2% hingga 4% pasien yang
sehat, dengan angka setinggi 65%, pada pasien dengan sindrom imunodefisiensi
didapat (AIDS). Anafilaksis atau reaksi anakfilaktoid hampir selalu terjadi dalam
30 menit tetapi mungkin hingga 90 menit setelah pajanan, paling umum setelah
pemberian parenteral. Angioedema atau urtikaria yang terisolasi dapat terjadi dalam
beberapa menit hingga beberapa hari. Penyakit serum terjadu dalam 1-2 minggu.
Erupsi obat tetap (lesi) terjadi dalam setengah jam hingga 8 jam. Lesi ini sembuh
dalam 2 hingga 3 minggu setelah penghilangan obat. Kondisi yang lebih parah dari
sindrom Stavens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik cenderung terjadi 1
hingga 2 minggu setelah mulai terapi. Karena Trimethoprim jiroveci
sulfamethoxazole adalah obat pilihan untuk pasien dengan Pneumocystis jiroveci
pneumonia, desensitasi mungkin diperlukan. Riwayat sindrom Stavens johnson atau
nekrolisis epidermal toksik merupakan kontraindikasi absolut untuk prosedur
desensitititasi.

Jelaskan singkat mekanisme reaksi alergi / psuedoalergi obat golongan opiat


JAWAB:
Opiat (morfin, meperidine, kodein, hidrokodon, dan lainnya) merangsang pelepasan
sel mast secara langsung, menghasilkan pruritus dan urtikaria dengan mengi ringan
sesekali. Meskipun reaksi ini tidak alergi, banyak pasien menyatakan mereka
“alergi” terhadap satu atau lebih opiat. Pre – treatment dengan antihistamin dapat
mengurangi reaksi pseudo alergik yang jarang. Jika pernah, mengancam jiwa.
Menghindari obat degranulasi sel mast lainnya. Sementara pasien memerlukam
opiat juga mengurangi kemungkinan reaksi yang menakutkan dan tidak nyaman.
Oasien dapat menyatakan alergi jika mereka mengalami gangguan pencernaan, efek
samping yang umum pada opiat dengan paparan sebelumnya.

Jelaskan singkat mekanisme reaksi alergi / psuedoalergi obat golongan


Radiocontrast media
JAWAB:
Media radiocontrast dapat menyebabkan reaksi pseudoalergik langsung yang serius,
seperti urtikaria / angioedema, bronkospasme, syok dan kematian. Reaksi-reaksi ini
telah berkurang dengan diperkenalkannya produk osmolalitas nonionic yang lebih
rendah. Karena sebgian kecil pasien yang telah bereaksi sebelumnya terhadap media
radiocontrast akan berinteraksi jika diekspos ulang.

Jelaskan singkat mekanisme reaksi alergi / psuedoalergi obat aspirin dan


golongan nonsteroidal-anti-inflamasi
JAWAB:
Tiga jenis reaksi terjadi: bronkospasme dengan rhinoconhunctivitas, urtikaria/
angioedema, dan anafilaksis. Pasien dengan riwayat urtikaria idiopatik kronis
cenderung melihat suar urtikaria jika diberikan aspirin atau cyclooxygenase (COX)-
1 yang menghambat NSID. Reaksi silng antar aspirin dengan COX-1 yang lebih
lama menghambat NSID ada pada pasien dengan AERD dan urtikaria idiopatik
kronis. Urtikaria adalah bentuk umum dari reaksi yang dimediasi IgE. Namun,
sebagian besar reaksi adalah hasil dari keanehan metabolic, seperti penyakit
pernafasan yang disebabkan oleh aspirin yang dapat menghasilkan bronkospasme
yang parah dan bahkan fatal. Kelas ini adalah yang kedua setelah b-lactam dalam
menyebabkan anafilaksis.

Jelaskan singkat mekanisme reaksi alergi/psuedoalergi obat golongan


antikonvulsan
JAWAB:
Anticonvulsan aromatic, terutama fenitolin, karbamazepin, fenobarbital dan
primidone serta beberapa agen yang lebih baru (lamotigin,oxcarbazepine,felbamate,
dan zonisamide) dapat menyebabkan sindrom yang mengancam jiwa dengan gejala
termasuk demam, ruam makulopopular, dan bukti keterlibatan organ sistemik.
Ruam mungkin ringan pada awalnya tetapi dapat berkembang menjadi dermatitis
eksfolatif, eritema multiforme, sindrom steven-johnson, atau nekrolisis epidermal
toksik.
Jelaskan sigkat mekanisme reaksi alergi / psuedoalergi obat golongan insulin
JAWAB:
Insulin adalah salah satu dari sedikit obat yang merupakan protein utuh dan dapat
menginduki sensitivitas IgE secara langsung. Ini dapat menyebabkan anafilaksis.
Reaksi yang merugikan terhadap insulin juga termasuk eritema pruritus, dan
indurasi, yang biasanya bersifat sementara dan mungkin terkait dengan tempat
injeksi. Untuk reaksi senstivitas pilihan pengobatan termasuk deksametason atau
desensitasi.

Jelaskan singkat mekanisme reaksi alergi / psuedoalergi obat golongan


antibiotic B-lactam
JAWAB:
Reaksi hipersensivitas dengan antibiotic B-lactam, terutama penisilin, dapat
mencakup salah satu dari tipe 1 hingga klasifikasi GellCoombs IV. Reaksi yang
paling umu adalah erupsi maculopapular dan urtikaria. Penisilin dan sepalosporin
keduanya memiliki cincin B-lactam yang bercabang dengan struktur cincin yang
mengandung s (penisilin: cincin tiazolidin, sefalosporin, cincin dihidrotiazine).
Tingkat cross-allergenicity tampaknya relative rendah, dengan perkiraan sekitar
4%. Cross-allergenicity lebih kecil kemungkinannya dengan yang baru

Jelaskan singkat mekanisme reaksi alergi / pseudoalergi obat golongan


kemoterapi kanker
JAWAB:
Reaksi hipersensitivitas telah terjadi pada semu agen kemoterapi. Reaksi paling
umum terjadi pada texanes, senyawa platinum, asparaginase, dan
epipodopyllotoxins. Reaksi berkisar dari ringan (flushing dan ruam) hingga parah
(dyspnea, bronkospasme, urtikaria dan hipotensi). Reaksi tipe 1 yang dimediasi IgE
adalah yang paling umum. Untuk mengurangi risiko, pasien secara rutin diberi
premedikasi dengan kortikosteroid dan antagonis reseptor H1 dan H2. Senyawa
platinum telah menghasilkan anemia, mungkin melalui mekanisme imunologi
sitotoksik.

Anda mungkin juga menyukai