Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH MANAJEMEN PASIEN SAFETY

MANAJEMEN OBAT

KELAS 2B

OLEH KELOMPOK 12 :

RAFIQA AGUSTINA NIM : 1714401D357

RISTI ISLAMIATI NIM : 1714401D358

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR

AKADEMI KEPERAWATAN

SAMPIT

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat serta
hidayah-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “MANAJEMEN
OBAT” dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pasien Safety.

Dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan mengingat
keterbatasan kemampuan kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sebagai masukan bagi kami.

Akhir kata kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
kami sebagai penulis pada khususnya. Atas segala perhatiannya kami mengucapkan banyak terima
kasih.

Sampit, September 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................... 1


1.2 RUMUSAN MASALAH........................................................................... 2
1.3 TUJUAN .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3

2.1 PENGELOMPOKAN OBAT ................................................................... 3


2.2 PENYIMPANAN OBAT ....................................................................... 11
2.3 PENGGUNAAN OBAT ........................................................................ 15
2.4 PENGELOLAAN OBAT-OBAT IMERGENSI .................................... 19

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 21

3.1 KESIMPULAN ...................................................................................... 21


3.2 SARAN................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 22


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Fungsi utama kegiatan farmasi di rumah sakit adalah menyediakan obat bagi pasien,
baik rawat jalan maupun rawat inap. Aspek penting dari fungsi ini adalah upaya menilai
efektivitas dan keamanan obat yang diberikan serta interaksinya dengan modulasi
pengobatan yang lainnya. Dalam hal ini sistem informasi yang baik akan amat membantu
baik dalam penyediaan obat, pemberian obat dalam sistem unit dose, komunikasi antara
dokter perawat dan petugas farmasi, mengurangi kerja rutin keadministrasian yang
menyita waktu maupun dalam menyajikan data-data statistik yang akan amat berguna.
Di sebagian besar negara, manajemen obat masih dilakukan secara tradisonal.
Artinya, tersedia lemari obat di bangsal yang selalu diisi oleh petugas farmasi sesuai
permintaan perawat yang bekerja di bangsal itu. Hal ini menyebabkan tingginya angka
pemberian obat (10 – 25%), desentralisasi suplai, buruknya kontrol inventori, manajemen
obat tidak di tangan petugas farmasi yang kualisifikasinya lebih baik, pengawasan
pemberian obat tidak efektif, dan tidak ada penanganan ahli farmasi klinik. Dengan cara
tradisional ini, maka stok bisa mencapai 50 sampai 90 hari, yaitu 50% di gudang farmasi
sentral dan 50% di bangsal – bangsal.
Penelitian menunjukkan bahwa kerugian akibat kesalahan pemberian obat sehingga
menimbulkan efek samping dalam berbagai bentuknya pada satu rumah sakit dengan 800
tempat tidur adalah sekitar US$ 6 juta per tahunnya. Secara keseluruhan untuk seluruh
Amerika Serikat, angka ini adalah US$ 136 miliar per tahunnya.
Karena itu diperkenalkan system unit dose yang prinsipnya adalah :
1) Resep diserahkan kepada petugas farmasi.
2) Petugas farmasi mempersiapkan obat untuk setiap pasien untuk satu kali makan
obat.
3) Petugas bangsal menerima obat untuk masing-masing pasien pada jadwal waktu
yang ditentukan.
4) Perawat membagi obat kepada pasien yang telah disiapkan oleh petugas farmasi.
Sistem ini ternyata memberikan berbagai keuntungan, seperti turunnya biaya
penanganan, peningkatan keamanan pemberian obat, lebih mudah dilakukan perhitungan
biaya per pasien dan kuantifikasi dalam Diagnosis Releated Group (DRG), penurunan
yang bermakna dari angka kesalahan pemberian obat, peningkatan efisiensi rumah sakit
secara keseluruhan, integrasi tim farmasi dalam tim klinik serta kemampuan untuk
menilai aspek farmakoterapi pada pasien (Aditama, 2006 : 103).
Obat harus digunakan oleh orang yang mempunyai keahlian, pengetahuan dan akurasi
karena jika tidak, obat-obat tersebut menjadi sebuah bahan yang berbahaya bagi
konsumennya. Tujuan dari manajemen obat adalah agar obat dapat digunakan secara
bijaksana dan mencegah penggunaan yang berlebihan dari yang dibutuhkan oleh pasien.
Di bawah ini adalah beberapa alasan mengapa diperlukan manajemen obat yang baik:
a) Obat merupakan bagian penting dari pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Konsekuensinya, ketersediaannya atau ketidakadaanya akan berkontribusi pada
efek baik positif maupun negatif pada kesehatan.
b) Pengaturan obat yang buruk, terlebih dalam lembaga pelayanankesehatan
masyarakat negara berkembang adalah masalah yang sangat penting. Diperlukan
perbaikan manajemen, agar institusi dapatmenghemat biaya dan meningkatkan
akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
c) Permasalahan obat bukan hanya tanggung jawab petugas farmasi saja.Obat-obat
tidak disimpan di lemari pendingin (refrigerator), sehingga banyak vaksin dan
obat yang tidak efektif lagi

1.2 RUMUSAN MASALAH


1) Bagaimana pengelompokan obat?
2) Bagaimana penyimpanan obat?
3) Bagaimana penggunaan obat?
4) Bagaimana pengelolaan obat-obat emergensi?
1.3 TUJUAN
1) Untuk mengetahui tentang pengelompokan obat.
2) Untuk mengetahui tentang penyimpanan obat.
3) Untuk mengetahui tentang penggunaan obat.
4) Untuk mengetahui tentang pengelolaan obat-obat emergensi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGELOMPOKAN OBAT


Penggolongan obat menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 917/Menkes/Per/X/1993 yang kini telah diperbaiki dengan Permenkes RI
Nomor 949/Menkes/Per/ VI/2000 penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi. Penggolongan obat ini terdiri atas : Obat Bebas, Obat
Bebas Terbatas, Obat Keras, Obat Wajib Apotek, Psikotropika dan Narkotika.
a. Obat Bebas
Peraturan daerah Tingkat II tangerang yakni Perda Nomor 12 Tahun 1994 tentang izin Pedagang
Eceran Obat memuat pengertian obat bebas atau dapat disebut juga obat OTC (Over The Counter)
adalah obat yang dapat dijual bebas kepada umum tanpa resep dokter, tidak termasuk dalam daftar
narkotika,psikotropika, obat keras, obat bebas terbatas dan sudah terdaftar di Depkes RI. Di
buku ISO ada tanda atau tulisan B.
Contoh : Minyak Kayu Putih, Tablet Parasetamol, tablet Vitamin C, B Compleks, E dan Obat
Batuk Hitam, Oralit, Ibuprofen 200 mg. Penandaan obat bebas diatur berdasarkan SK Menkes RI
Nomor 2380/A/SK/VI/1983 tentang tanda khusus untuk untuk obat bebas dan untuk obat bebas
terbatas. Tanda khusus untuk obat bebas yaitu “bulatan berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam”,
seperti terlihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Penandaan Obat Bebas


Contoh obat bebas :
1. Parasetamol (Analgesik, Antipiretik)
2. Asetosal (Analgesik, Antipiretik)
3. Asam asetilsalisilat (Analgesik, Antipiretik)
4. Metampiron (Analgesik, Antipiretik)
5. Piperazin heksahidrat (Anti mikroba)
6. Kinin sulfat heptahidrat ( Anti malaria)
7. Asiklovir (Anti virus)
8. Asam folat (Anti anemia)
9. Fe gluconat (Anti anemia)
10. Povidone iodine (Antiseptik & Desinfektan )
b. Obat Bebas Terbatas
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan obat-obatan kedalam daftar
obat “W” dalam bahasa Belanda adalah singkatan dari kata (Waarschuwing = Peringatan)
memberikan pengertian obat bebas terbatasadalah obat keras yang dapat diserahkan kepada pemakainya tanpa
resep dokter, bilapenyerahannya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Obat tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan asli dari pabriknya atau pembuatnya.
2. Pada penyerahannya oleh pembuat atau penjual harus mencantumkan tanda peringatan.
Di buku ISO ditandai dengan tulisan T. Tanda peringatan tersebut berwarna hitam,
berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut :

Gambar 2. Peringatan Obat Bebas Terbatas


Penandaannya diatur berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RINo.2380/A/SK/VI/83
tanda khusus untuk obat bebas terbatas berupa “Lingkaran berwarna biru dengan garis
tepi berwarna hitam”, seperti pada gambar berikut:

Gambar 3. Penandaan Obat Bebas Terbatas


Sebagai contoh peringatannya :
1. P No. I : Awas Obat Keras, Bacalah Aturan Pemakaiannya
• Dulcolax tablet
• Acetaminofen = >600 mg/tab atau >40 mg/ml (kep Menkes no.66227/73)
• SG tablet.
2. P No. 2 : Awas Obat Keras, Hanya Untuk Kumur , Jangan Ditelan
• Gargarisma khan
• Betadin gargarisma
3. P No. 3 : Awas Obat Keras Hanya Untuk Bagian Luar Badan
• Anthistamin pemakain luar , misal dalam bentuk cream, caladin, caladril.
• Lasonil
• Liquor burowl
4. P No. 4 : Awas Obat Keras Hanya Untuk Dibakar
• Dalam bentuk rokok dan sebuk untuk penyakit asma yang mengandung
scopolamin.
5. P No.5 : Awas Obat Keras Tidak Boleh Ditelan
• Dulcolax Suppos
• Amonia 10 % ke bawah
6. P No. 6 : Awas Obat Keras Wasir Jangan Ditelan
• Varemoidc.
Contoh obat golongan obat bebas terbatas
1. Ibuprofen (Analgesik & Antipiretik )
2. Propifenazon (Analgesik & Antipiretik )
3. Efedrin HCL ( Anti Asma )
4. Teofilin (Anti Asma)
5. Salbutamol ( Anti Asma)
6. Dekstrometorfan Hbr ( Antitusif )
7. Difenhidramin (Antitusif)
8. Asetaminofen ( Anti influenza )
9. Tetrasiklin hidroklorida ( Anti bakteri )
10. Kloramfenikol (Anti bakteri)
c. Obat Keras
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan/memasukkan obat-obatan
kedalam daftar obat keras, memberikan pengertian obat keras adalah obat-obat yang
ditetapkan sebagai berikut :
1) Semua obat yang pada bungkus luarnya oleh si pembuat disebutkan bahwa obat itu
hanya boleh diserahkan dengan resep dokter.
2) Semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk
dipergunakan secara parenteral.
3) Semua obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah
dinyatakan secara tertulis bahwa obat baru itu tidak membahayakan kesehatan manusia.
Contoh : Andrenalinum, Antibiotika, Antihistaminika, dan lain-lain.

Adapun penandaannya diatur berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI


No.02396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda khusus Obat Keras daftar “G” adalah
singkatan dari (Gevarlijk) adalah “Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi
berwarna hitam dengan hurup K yang menyentuh garis tepi” yang artinya berbahaya.
Berbahaya disini dimaksudkan jika pemakaiannya tidak berdasarkan “Harus dengan Resep
Dokter” karena dikhawatirkan dapat memperparah penyakit, meracuni tubuh, bahkan
menyebabkan kematian. Seperti yang terlihat pada gambar berikut :

Gambar 4. Penandaan Obat Keras


Umumnya yang termasuk golongan obat ini, yakni:
• Obat generik
• Obat Wajib Apotek (OWA)
• Antibiotik, seperti penisilin, tetrasiklin, sefalosporin, ampisilin, dan sebagainya
• Obat – obatan yang mengandung hormon, seperti obat penenang, obat diabetes, dan
lainnya.
• Psikotropika
Contoh obat – obat golongan keras :
1) Asam mefenamat ( Analgesik )
2) Tramadol HCL ( Analgesik )
3) Piroksikam ( Antirematik )
4) Diclopenac Na ( Antirematik )
5) Amoksisilin (Antimikroba)
6) Ampisilin Trihidrat (Antimikroba)
7) Siprofloksasin (Antimikroba)
8) Kaptopril (Anti hipertensi)
9) Bisoprolol (Antihipertensi)
10) Ranitidine ( Antasida)
d. Obat Wajib Apotek
Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker di apotek
tanpa resep dokter. Menurut keputusan menteri kesehatan RI
Nomor347/Menkes/SK/VIII/1990 yang telah diperbaharui Mentri Kesehatan
Nomor924/Menkes/Per/X/1993 dikeluarkan dengan pertimbangan sebagai berikut :
1) Pertimbangan utama untuk obat wajib apotek ini sama dengan pertimbangan obat yang
diserahkan tanpa resep dokter, yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat
dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan, dengan
meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional.
2) Pertimbangan yang kedua untuk meningkatkatkan peran apoteker di apotek
dalam pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi serta pelayanan obat kepada
masyarakat.
3) Pertimbangan ketiga untuk peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan
untuk pengobatan sendiri. Obat yang termasuk kedalam obat wajib apotek
misalnya : obat saluran cerna (antasida), ranitidine, clindamicin cream dan lain-lain.

Berdasarkan keputusan Menkes No. 347/menkes/SK/VII/1990 tentang obat wajib


Apotek (OWA 1) No. I, dan keputusan Menkes : 924/93 (OWA 2) maka menurut cara
memperolehnya, obat keras terbagi 2 :
1. Harus dengan resep dokter ( G1)
1) Untuk semua injeksi
2) Antibiotika dan virus
3) Obat-obat jantung
4) Obat-obat psikotropika.
2. Disarankan oleh apoteker di apotek
• pil kb
• analgetik-antipiretik ( antalgin, asam mefenamat)
• antihistamin dan obat asma
• Psikotropika Kombinasi
• Obat Keras tertentu

Menurut UU No. 49/1949 pasal 3 ayat 2, Apoteker hanya dapat menjual obat
keras kepada :
1) pasien dengan resep dokter untuk obat yang bukan OWA
2) apoteker
3) dokter/dokter gigi
4) dokter hewan

Yang berhak memiliki serta menyimpan obat daftar G dalam jumlah yang patut
disangka bahwa obat tersebut tidak akan digunakan sendiri adalah:
1) PBF (pedagang besar farmasi)
2) APA (apoteker pengelola apotik)
3) Dokter yang berizin (dr,drg)
4) Dokter hewan (dalam batas haknya)

OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola
Apotek(APA) kepada pasien. Walaupun APA boleh memberikan obat keras,
namun adapersayaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA.
1. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien
(nama,alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
2. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan
kepadapasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang termasuk OWA, dan
hanya boleh diberikan 1 tube.
3. Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi, kontra-
indikasi, cara pemakaian, cara penyimpanan dan efek samping obat yang mungkin
timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut timbul.

Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masyarakat, maka obat-obat
yang digolongkan dalam OWA adalah obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang
diderita pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat alergi kulit (salep
hidrokotison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), antialergi sistemik (CTM), obat
KB hormonal.
e. Obat Psikotropika
Pengertian psikotropika menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Contoh :
• Lisergida
• Amphetamin
• Codein
• Diazepam
• Nitrazepam
• Fenobarbital

Untuk Psikotropika penandaan yang dipergunakan sama dengan penandaan untuk obat
keras, hal ini karena sebelum diundangkannya UU RI No. 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika, maka obat-obat psikotropika termasuk obat keras, hanya saja karena
efeknya dapat mengakibatkan sidroma ketergantungan sehingga dulu disebut Obat Keras
Tertentu.
Sehingga untuk Psikotropika penandaannya “lingkaran bulat berwarna
merah,dengan huruf K berwarna hitam yang menyentuh garis tepi yang berwarna
hitam”.

Tanda Obat Psikotropika


Berdasarkan UU RI No. 5 Tahun 1997, psikotropika dibagi kedalam empat macam golangan,
antara lain :
1. Psikotropika golongan I : yaitu psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan
pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat. Psikotropika yang
termasuk golongan I terdiri dari 26 macam, mulai dari psilobina, etisiklidina,
tenosiklidina, brolamfetamin, dsb.
2. Psikotropika golongan II : yaitu psikotropika yang berkhasiat terapi tetapi dapat
menimbulkan ketergantungan. Psikotropika golongan II ini terdiri dari 14 macam, mulai
dari deksanfetamin, amfetamin, metamfetamin, levamfetamin, dsb.
3. Psikotropika golongan III : yaitu psikotropika dengan efek ketergantungannya
sedang dari kelompok hipnotik sedatif. Psikotropika yang termasuk golongan III terdiri
dari 9 macam, mulai dari Amobarbital, Buprenorphine, Butalbital, Cathine,
Cyclobarbital, Flunitrazepam, Glutethimide, Pentazocine, dan Pentobarbital.
4. Psikotropika golongan IV : yaitu psikotropika yang efek ketergantungannya ringan.
Psikotropika pada golongan ini terdiri dari 60 macam, mulai dari diazepam,
bromazepam, allobarbital, nitrazepam, dsb.
f. Obat Golongan Narkotika
Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baiksintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahankesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
dibedakankedalam golongan I, II dan III. Contoh :
• Tanaman Papaver Somniferum
• Tanaman Koka
• Tanaman ganja
• Heroina
• Morfina
• Ovium
• Kodeina
Obat narkotika ditandai dengan “lingkaran warna putih ada palang merah
ditengah-tengahnya” dan termasuk daftar O (Opiat). Untuk memperolehnya harus
denganresep dokter dan apotik wajib melaporkan jumlah dan macamnya. Peresepan tidak
boleh diulang dan ada tanda tangan dokter penulis resep. Di buku ISO ditandai dengan N.

Penandaan Obat Narkotika


Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009, Golongan narkotika dibagi menjadi tiga , yaitu:
1. Narkotika Golongan I
Golongan I terdiri atas narkotika yang hanya digunakan dalam kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan, tidak dapat dipakai dalam terapi, dan memiliki potensi
yang sangat tinggi guna menimbulkan ketergantungan. Contoh Narkotika Golongan I
misalnya, opium mentah, tanaman ganja, tanaman Papaver Somniferum L, maupun
heroina.
2. Narkotika Golongan II
Narkotika yang termasuk golongan II ialah narkotika yang dapat dipakai dalam terapi
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ditambah dapat digunakan sebagai pilihan
terakhir dalam pengobatan namun memiliki berpotensi tinggi menyebabkan
ketergantungan.
Contohnya yakni opium, tebakon, morfina, tebaina, ataupun peptidina.
3. Narkotika Golongan III
Narkotika Golongan III ini terdiri dari narkotika yang dapat berguna dalam tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan, dipakai untuk terapi, serta berkhasiat dalam
pengobatan dan memiliki potensi yang ringan untuk menimbulkan efek ketergantungan.
Narkotika yang termasuk dari golongan III, antara lain nikokodina, kodeina, maupun
nikodikodina.

2.2 PENYIMPANAN OBAT


Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan
caramenempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian
sertagangguan dari fisik yang dapat merusak mutu obat.Tujuan penyimpanan obat-obatan
adalah untuk:
a) Untuk memelihara mutu obat
b) Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
c) Menjaga kelangsungan persediaan
d) Memudahkan pencarian dan pengawasan
Kegiatan penyimpanan obat meliputi :
a) Pengaturan Tata Ruang
Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan
pengawasan obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan baik. Faktor –
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang gudang adalah sebagai berikut:
a) Kemudahan bergerak
Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata sebagai berikut:
• Gudang menggunakan sistem satu lantai jangan menggunakan sekat – sekat
karena akan membatasi pengaturan ruangan. Jika digunakan sekat, perhatikan
posisi dinding dan pintu untuk mempermudah gerakan.
• Berdasarkan arah arus penerimaan dan pengeluaran obat, ruang gudang dapat
ditata berdasarkan sistem : Arus garis, lurus Arus, U dan Arus L.
b) Sirkulasi udara yang baik
Salah satu faktor penting dalam merancang gudang adalah adanya sirkulasi udara
yang cukup didalam ruangan gudang. Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan umur
hidup dari obat sekaligus bermanfaat dalam memperpanjang dan memperbaiki kondisi
kerja. Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya akan menjadi mahal
untuk ruang gudang yang luas. Alternatif lain adalah menggunakan kipas angin.
Apabila kipas angin belum cukup maka perlu ventilasi melalui atap.
c) Kondisi penyimpanan khusus
Vaksin memerlukan “cold chain” khusus dan harus dilindungi dari kemungkinan
putusnya arus listrik.
• Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu
terkunci.
• Bahan – bahan mudah terbakar seperti alkohol dan eter harus disimpan dalam
ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bangunan khusus terpisah dari gudang
induk.
d) Pencegahan kebakaran
Perlu dihindari adanya penumpukan bahan – bahan yang mudah terbakar seperti
dus, kartun dan lain – lain. Alat pemadam kebakaran harus dipasang pada tempat
yang mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup.
b) Penyusunan Stok Obat
Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis, apabila tidak memungkinkan obat
yang sejenis dapat dikelompokkan menjadi satu. Untuk memudahkan pengendalian stok
maka dilakukan langkah – langkah berikut:
a) Gunakan prinsip FIFO (First In First Out) dalam penyusunan obat yaitu obat yang
masa kadaluarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih
awal sebab umumnya obat yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih
awal dan umumnya relatif lebih tua dan masa kadaluarsanya mungkin lebih awal.
b) Susun obat dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan teratur.
c) Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika.
d) Simpan obat yang dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara, cahaya dan kontaminasi
bakteri pada tempat yang sesuai.
e) Simpan obat dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan obat dalam dengan obat –
obatan untuk pemakaian luar.
f) Cantukamkan nama masing – masing obat pada rak dengan rapi.
g) Apabila persediaan obat cukup banyak, maka biarkan obat tetap dalam box masing –
masing, ambil seperlunya.
h) Obat – obatan yang mempunyai batas waktu pemakaian perlu dilakukan rotasi stok
agar obat tersebut tidak selalu berada di belakang sehingga obat dapat dimanfaatkan
sebelum masa kadaluarsa habis.
c) Pencatatan dan Kartu Stok
Fungsi :
a) Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, hilang,
rusak atau kadaluarsa).
b) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1 (satu) jenis obat
yang berasal dari 1 (satu) sumber anggaran.
c) Tiap baris data hanya diperuntukkan mencatat 1 (satu) kejadian mutasi obat.
d) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan pengadaan
distribusi dan sebagai pembanding terhadap keadaan fisik obat dalam tempat
penyimpanannya.
Kegiatan yang harus dilakukan :
a) Kartu stok diletakkan bersamaan / berdekatan dengan obat bersangkutan.
b) Pencatatan dilakukan secara rutin dari hari ke hari.
c) Setiap terjadi mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak/kadaluarsa)
langsung dicatat dalam kartu stok.
d) Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan pada setiap akhir bulan.
Informasi yang didapat :
a) Jumlah obat yang tersedia (sisa stok)
b) Jumlah obat yang diterima
c) Jumlah obat yang keluar
d) Jumlah obat yang hilang/rusak/kadaluarsa
Manfaat informasi yang didapat :
a) Untuk mengetahui dengan cepat jumlah persediaan obat.
b) Penyusunan laporan.
c) Perencanaan pengadaan dan distribusi
d) Pengendalian persediaan
e) Untuk pertanggungjawaban bagi petugas penyimpanan dan penyaluran
f) Sebagai alat bantu kontrol bagi Kepala Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan / Bendaharawan Obat
Petunjuk pengisian :
a) Petugas penyimpanan dan penyaluran mencatat segala penerimaan dan pengeluaran
obat di Kartu Stok (formulir I) sesuai dengan apa yang tercantum didalam dokumen,
Dokumen Bukti Mutasi Barang (DBMB), atau dokumen lain yang sejenis.
b) Obat disusun menurut ketentuan – ketentuan berikut :
1. Obat dalam jumlah besar (bulk) disimpan diatas pallet atau diganjal kayu secara
rapi, teratur dengan memperhatikan tanda – tanda khusus (tidak boleh terbalik,
berat, bulat, segi empat dan lain – lain)
2. Penyimpanan antara kelompok/jenis satu dengan yang lain harus jelas sehingga
memudahkan pengeluaran dan perhitungan
3. Penyimpanan bersusun dapat dilaksanakan dengan adanya forklift untuk obat –
obat berat
4. Obat – obat dalam jumlah kecil dan mahal harganya disimpan dalam lemari
terkunci dipegang oleh petugas penyimpanan dan penyaluran.
5. Satu jenis obat disimpan dalam satu lokasi (rak, lemari dan lain – lain)
6. Obat dan alat kesehatan yang mempunyai sifat khusus disimpan dalam tempat
khusus. Contoh: eter, film dan lain – lain
c) Obat – obat disimpan menurut sistem FIFO (First In First Out)
d) Kartu stok memuat nama obat, satuan, asal (sumber) dan diletakkan bersama obat
pada lokasi penyimpanan
e) Bagian judul pada kartu stok diisi dengan: Nama obat, Kemasan, Isi kemasan, Nama
sumber dana atau dari mana asalnya obat
f) Kolom – kolom pada kartu stok diisi sebagai berikut: Tanggal penerimaan atau
pengeluaran, Nomor dokumen penerimaan atau pengeluaran, Sumber asal obat atau
kepada siapa obat dikirim, No. Batch/no. Lot, Tanggal kadaluarsa, Jumlah
penerimaan, Jumlah pengeluaran, Sisa stok, Paraf petugas yang mengerjakan.
d) Pengamatan Mutu Obat
Mutu obat yang disimpan di gudang dapat mengalami perubahan baik karena faktor
fisik maupun kimiawi. Perubahan mutu obat dapat diamati secara visual. Jika dari
pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan cara
organoleptik, harus dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium.
Tanda – tanda perubahan mutu obat :
a) Tablet
• Terjadinya perubahan warna, bau atau rasa
• Kerusakan berupa noda, berbintik – bintik, lubang, sumbing, pecah, retak dan atau
terdapat benda asing, jadi bubuk dan lembab
• Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat
b) Kapsul
• Perubahan warna isi kapsul
• Kapsul terbuka, kosong, rusak atau melekat satu dengan yang lainnya
c) Tablet salut
• Pecah – pecah, terjadi perubahan warna
• Basah dan lengket satu dengan yang lainnya
• Kaleng atau botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik
d) Cairan
• Menjadi keruh atau timbul endapan
• Konsistensi berubah
• Warna atau rasa berubah
• Botol – botol plastik rusak atau bocor
e) Salep
• Warna berubah
• Pot atau tube rusak atau bocor
• Bau berubah
f) Injeksi
• Kebocoran wadah (vial, ampul)
• Terdapat partikel asing pada serbuk injeksi
• Larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada endapan
• Warna larutan berubah

2.3 PENGGUNAAN OBAT


Penggunaan obat yang rasional adalah pemilihan dan penggunaan obat
yang efektifitasnya terjamin serta aman, dengan mempertimbangkan masalah harga,
yaitu dengan harga yang paling menguntungkan dan sedapat mungkin terjangkau. Untuk
menjamin efektifitas dan keamanan, pemberian obat harus dilakukan secara rasional,
yang berarti perlu dilakukan diagnosis yang akurat, memilih obat yang tepat, serta
meresepkan obat tersebut dengan dosis, cara, interval serta lama pemberian yang tepat.
Pengobatan yang tidak rasional dapat menyebabkan :
• Pengobatan yang tidak aman
• Kambuhnya penyakit
• Masa sakit memanjang
• Membahayakan dan menimbulkan kekhawatiran pasien
• Membengkaknya biaya
PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL (Rational Drug Use)
Menurut WHO (1987 ), pemakaian obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria :
• Sesuai dengan indikasi penyakit
• Tersedia setiap saat dengan harga terjangkau
• Diberikan dengan dosis yang tepat
• Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat
• Lama pemberian yang tepat
• Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin dan aman
Pengertian rasional itu sendiri menurut WHO adalah :
• sesuai dengan keperluan klinik
• dosis sesuai dengan kebutuhan pasien
• diberikan dalam jangka yang sesuai
• dengan biaya termurah bagi pasien dan komunitasnya
Dalam konteks biomedis, P.O.R mempunyai kriteria :
• Tepat diagnosis
Contoh : Penyakit diare disertai lendir, darah serta gejala tenesmus diagnosis
amoehiasis →R / metronidazol.
• Tepat indikasi
Contoh → Infeksi Bakteri → antibiotic
Misal : Pada infeksi saluran nafas, adanya Sputummucapuralen atau banyi kurang
dari 2 bulan, dengankecepatan respirasi > 60 x/menit.
• Tepat pemilihan obat (khasiat, keamanan, mutu, biaya)
Contoh : Demam untuk kasus Infeksi dan inflamasi →Parasetamol (paling aman)
Sedangkan Asam mefenamat dan ibuprofen (anti inflamasi non steroid)→demam
yang terjadi akibat proses peradangan / inflamasi.
• Tepat dosis, cara dan lama pemberian
Tepat dosis, cara dan lama pemberian → pemberian dosis >>> untuk obat yang
bersifat narrow therapeuric margin (rentang terapi yang sempit (mis :
teofilin,digitalis, minoklosida) → berisiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis terlalu kecil tidak menjamin terapi yang diinginkan.
• Tepat penilaian terhadap kondisi pasien
• Tepat peracikan dan pemberian informasi
• Kepatuhan pasien
• Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut
• Penggunaan obat yang rasional memberi perhatian penting kepada pemberian
antibiotika, ada tidaknya poli-farmasi serta pemberian injeksi.
Penggunaan obat yang tidak rasional dikategorikan (ciri-ciri) :
1. Peresepan berlebih (over prescribing) yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak
diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan.
2. Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh virus).
3. Pemberian obat dengan dosis >> dari yang dianjurkan.
4. Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit
tersebut.
5. Peresepan kurang (under prescribing)Yaitu jika pemberian obat kurang dari
yangseharusnyadiperlukan, baik dosis, jumlah maupun lama pemberian. Contoh :
✓ Pemberian antibiotika obat selama 3 hari untuk ISPA Pneumonia
✓ Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare
6. Peresepan majemuk (multiple prescribing) yaitu jika memberikan beberapa obat
untuk suatu indikasi penyakit yang sama, pemberian lebih dari satu obat untuk
penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Contoh :
pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek, berisi :
✓ Amoksisilin
✓ Parasetamol
✓ GG
✓ Deksametasone
✓ CTM dan Luminal
7. Peresepan salah (incorrect prescribing) yaitu Pemberian obat untuk indikasi yang
keliru dengan resiko efek samping. Contoh :
✓ Pemberian antibiotic golongan kuinolon (mis: Siprofloksasin dan Ofloksasin)
untuk wanita hamil.
✓ Meresepkan Asam Mefenamat untuk demam pada anak < 2 tahun
Dampak Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
a) Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan
Menghambat upaya penurunan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Contoh :
Penyakit diare akut non spesifik umumnya mendapat antibiotik dan obat injeksi
sementara → pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) → kurang banyak dilakukan
resiko terjadinya dehidrasi pada anak → membahayakan keselamatan.
b) Dampak terhadap biaya pengobatan
• Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas
• Pemakaian obat sama sekali → tidak memerlukan terapi obat,
merupakanpemborosan dan membebani pasien.
• Peresepan obat mahal, ada murah → antibiotik. Contoh : ISPA non pneumonia →
antibiotic.
c) Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan.
• Resiko terjadinya penularan penyakit (misal : hepatitis danHIV) meningkat pada
penggunaan injeksi yang tidak legeartis (mis : 1 jarum suntik digunakan untuk
lebih dari 1 pasien)
• Resiko efek samping meningkat secara konsisten→banyaknya jenis obat
yangdiberikan pasien → nyata pada usia lanjut. Kelompok usia ini → 1 diantara 6
penderita.
d) Dampak terhadap mutu ketersediaan obat.
Terdapat 2 masalah utama :
• Seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal yang
terjadi → antibiotic telah dibagi rata kesemua pasien yang sebenarnya
tidak memerlukan.
• Dengan mengganti jenis antibiotik → tidak sembuh pasien (karena antibiotik
yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum anti bakteri untuk penyakit
tersebut (misal : Pneumonia→metronidazole) atau penyakit → parah →
meninggal.
e) Dampak psikosisial
Ketidakrasionalan pemberian obat → berpengaruh buruk bagi pasien. Pengaruh buruk
dapat berupa : Ketergantungan terhadap intervensi obat maupun persepsi yang
keliruterhadap pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai sehari-hari :
• Kebiasaan dokter/petugas kesehatan → injeksi → memuaskan pasien → dikaji
ulang → oral lebih aman dari injeksi. Resiko >> pemberian tidak legeartis
(menggunakan satu jarum secara berulang-ulang).
2.4 PENGELOLAAN OBAT-OBAT EMERGENSI
Menurut Permenkes nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit, pengelolaan obat emergensi harus menjamin beberapa hal sebagai berikut :
1. Jumlah dan jenis obat emergensi sesuai dengan standar/daftar obat emergensi yang
sudah ditetapkan rumah sakit
2. Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain
3. Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti
4. Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluarsa
5. Dilarang dipinjam untuk kebutuhan lain
Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pengelolaan obat emergensi
di antaranya adalah penentuan jenis serta jumlah sediaan emergensi, penyimpanan,
penggunaan, dan penggantian sediaan emergensi.
Rumah sakit sebaiknya menetapkan daftar obat emergensi yang sama untuk setiap
unit perawatan. Daftar tersebut dapat berisi nama obat, kekuatan sediaan, bentuk sediaan
dan jumlah. Alangkah baiknya juga disediakan daftar dosis untuk obat emergensi. Daftar
obat emergensi dapat ditempatkan/ditempel pada tempat penyimpanan obat emergensi
agar memudahkan dokter/perawat yang akan memakai obat tersebut.
Obat-obat emergensi tidak boleh dicampur dengan obat lain dan dapat disimpan pada
troli, kit, lemari, tas atau kotak obat emergensi sesuai dengan kebutuhan unit. Perbedaan
tempat penyimpanan tersebut menyesuaikan dengan isi dan kebutuhan unit tersebut :
1. Untuk troli bisa ditempatkan defibrilator

2. Tas emergensi lebih mudah dibawa oleh petugas kesehatan untuk menjangkau lokasi
yang jauh dari tempat obat emergensi. Lokasi penyimpanan obat-obat tersebut harus
mudah diakses ketika dibutuhkannya dan tidak terhalang oleh barier fisik atau benda
lain. Selain itu perlu juga mempertimbangkan stabilitas obatnya yaitu pada suhu ruang
yang terkontrol.
3. Guna menjamin keamanan baik dari penyalahgunaan maupun dari pencurian, tempat
penyimpanan obat harus dikunci atau disegel dengan segel yang memiliki nomor
register yang berbeda-beda dan segel tersebut terbuat dari bahan sekali pakai, artinya
ketika segel dibuka, segel tersebut akan rusak sehingga tidak bisa dipakai lagi.
Penggunaan segel sekali pakai memiliki keuntungan sebagai indikator apakah obat
emergensi tersebut dalam keadaan utuh atau tidak.

Pencatatan dan pengendalian :


a) Setiap pemakaian obat emergency dicatat pada form pemakaian obat yang terdapat di
dalam troli/kit emergency sesuai dengan prosedur.
b) Instalasi Farmasi mengontrol kesesuaian dengan daftar dan kedaluwarsa obat
emergency secara berkala serta memastikan bahwa Obat disimpan secara benar.
c) Monitoring obat emergency dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian atas supervisi
Apoteker di ruangan.
Penghapusan :
Obat emergency yang 4 bulan sebelum kedaluwarsa harus ditarik oleh Instalasi
Farmasi dan dimasukkan ke dalam wadah obat ED yang selanjutnya dilakukan proses
penghapusan bersama dengan obat golongan lainnya sesuai dengan prosedur
penghapusan perbekalan farmasi yang kedaluwarsa.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Obat harus digunakan oleh orang yang mempunyai keahlian, pengetahuan dan
akurasi karena jika tidak, obat-obat tersebut menjadi sebuah bahan yang berbahaya bagi
konsumennya. Tujuan dari manajemen obat adalah agar obat dapat digunakan secara
bijaksana dan mencegah penggunaan yang berlebihan dari yang dibutuhkan oleh pasien.
Di bawah ini adalah beberapa alasan mengapa diperlukan manajemen obat yang baik:
a) Obat merupakan bagian penting dari pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Konsekuensinya, ketersediaannya atau ketidakadaanya akan berkontribusi pada efek
baik positif maupun negatif pada kesehatan.
b) Pengaturan obat yang buruk, terlebih dalam lembaga pelayanankesehatan
masyarakat negara berkembang adalah masalah yang sangat penting. Diperlukan
perbaikan manajemen, agar institusi dapatmenghemat biaya dan meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
c) Permasalahan obat bukan hanya tanggung jawab petugas farmasi saja.Obat-obat
tidak disimpan di lemari pendingin (refrigerator), sehingga banyak vaksin dan obat
yang tidak efektif lagi.

3.2 SARAN
Hendaknya mahasiswa dapat benar – benar memahami tentang isi yang terkandung
dalam manajemen obat, serta dapat melaksanakan tugas – tugas dengan penuh tanggung
jawab, dan selalu mengembangkan ilmunya.
DAFTAR PUSTAKA

https://tuxdoc.com/download/panduan-pengelolaan-obat-emergency_pdf

http://bidhuan.id/obat/43398/5-penggolongan-obat-obat-bebas-bebas-terbatas-keras-
psikotropika-narkotika-dan-contoh/

https://www.scribd.com/doc/81402680/penggolongan-obat

https://dokumen.tips/documents/makalah-penggunaan-obat-rasional-fix.html

http://rafikangker.blogspot.com/2015/10/manajemen-farmasi.html

Anda mungkin juga menyukai