Anda di halaman 1dari 10

Tinjauan Pustaka

Tindakan Profesionalisme Kedokteran

Gita Pupitasari
102011327
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
e-mail: gita_puspitasari64@yahoo.com

Pendahuluan
Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan.
Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala keluhan baik fisik maupun
mental bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak
akan menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa
dokter yang lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan
dilakukan dokter terhadapnya.
Di dalam dunia ini, kita sering menemukan masalah dalam menentukan apakah
perbuatan yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Apabila kita melakukan
sesuatu yang dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan
tidak etis atau tidak sesuai dengan etika. Di dalam dunia profesi, tentunya sangat dibutuhkan
etika itu. Di dalam dunia kedokteran kita mengenal istilah etika kedokteran
Dengan perkembangan zaman, cara berpikir masyarakat berubah. Masyarakat mulai
kritis terhadap hak-haknya. Mereka tidak begitu saja menerima pendapat dokter tentang
penyakitnya tetapi ingin mengetahui lebih jelas tentang rencana pengobatan, resiko yang
mungkin terjadi, alternatif pengobatan lain, prognosis dan sebagainya. Prinsip autonomy
berkembang di mana seseorang bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya terhadap
dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain.

1
Kasus Skenario 5
Dr. P adalah seorang doketer spesialis obgin yang berpengalaman. Beliau baru saja
akan menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit, ketika seorang wanita
datang dengan ditemani soerang ibunya untuk berobat. Namun ibunmya tersebut langsung
pergi lagi setelah berbicara dengan suster jaga alasan harus menjaga anak-anaknya yang lain.
Lalu pasien menceritakan keluhannya itu yaitu mengalami perdarahan pervaginam dan sangat
kesakitan. Dr.P kemudian melakukan pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien
mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi. Dr. P segera melakukan dilatasi dan
curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan kepada pasien apakah dia
bersedia diopname di RS sampai keadaannya benar-benar baik. Tidak lama kemudian Dr.Q
datang untuk menggantikan dr.P, yang langsung pulang tanpa berbicara kepada pasien.

Informed Consent

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.1

Dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas medis harus terlebih dahulu


memberikan informed consent kepada pasien. Informed consent berasal dari hak legal dan
etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban
etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan
untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.1

Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang


Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk
menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan
yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan
dilakukan.1

2
Ruang Lingkup Informed Consent

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan
medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab
orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.2

Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit
tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien
dalam pemberian inform consent adalah: 2

 Hak atas informasi


Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik
apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut
dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan
biaya pengobatan.
 Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan
oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia
berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent.
Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang
betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi
beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya.

Dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Persetujuan Tindakan Medik


dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien atau
keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan
beberapa hal, yaitu :2

a. Diagnosis
b. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate
of medical procedure)
c. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical
procedure)
d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko-risikonya (alternative
medical procedure and risk)
f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan

3
Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang berkaitan dengan pembiayaan. Penjelasan
seharusnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis itu sendiri, bukan
oleh orang lain, misalnya perawat. Penjelasan diberikan dengan bahasa dan kata-kata yang
dapat dipahami oleh pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan kematangannya, serta
situasi emosionalnya. Dokter harus berusaha mengecek apakah penjelasannya memang
dipahami dan diterima pasien. Jika belum, dokter harus mengulangi lagi uraiannya sampai
pasien memahami benar. Dokter tidak boleh berusaha mempengaruhi atau mengarahkan
pasien untuk menerima dan menyetujui tindakan medis yang sebenarnya diinginkan dokter.3

Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah
cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan
pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.Tujuan penjelasan yang lengkap
adalah agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri
(informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang
dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan
dokter yang merawatnya. 3
Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada
dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan
Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah
pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga
terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara
kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan,
segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. 3

Pasal 4 PerMenKes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan :4


1. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
2. Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.

4
3. Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.

Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat.
Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk tindakan medis
dengan risiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan
harus secara tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan
sebaiknya juga saksi dari pihak keluarga. 3

Tujuan informed Consent5


a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak diketahui
atau disadari pasien atau keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP.
Peristiwa tersebut bisa ”risk of treatment” ataupun ”error judgement”.

Bentuk Informed Consent6


1. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat
umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk
laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka. 6
2. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan
segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak
bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti
jantung.6
3. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan
melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal,
pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan
invasive. 6

Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling
penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah
tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak

5
boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam
keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor
585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan
emergency tidak diperlukan Informed consent.1
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum
diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut
setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan
tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan
adalah sebagai berikut : 1
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter
tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat
dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis
yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial
dengan yang dilakukan oleh dokter.

Malpraktek Medik
Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan
kelalaian disini adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang
dengan sikap hati-hatu melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian
diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medik. 6
Menurut teori dan doktrin, sesuatu tindakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktik dokter dilihat dari 3
aspek/hal: 6

6
1. Intensional Professional Misconduct : Bahwa seorang dokter atau dokter gigi
dinyatakan bersalah/buruk berpraktik, bilamana dokter tersebut dalam berpraktik
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap standar-standar dan dilakukan dengan
sengaja. Misalnya seorang dokter atau dokter gigi sengaja membuat keterangan palsu
atau tidak sesuai dengan diagnosis ataupun memang sama sekali tidak melakukan
pemeriksaan. Seorang dokter membuka rahasia pasien dengan sengaja tanpa
persetujuan pasien ataupun tanpa permintaan penegak hukum sebagaimana diatur
dalam undang-undang. Seorang dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis
(illegal). 6
2. Negligence atau tidak sengaja (kelalaian) yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang
karena kelalaiannya (culpa) yang mana berakibat cacat atau meninggalnya pasien.
Seorang dokter atau dokter gigi lalai melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
sesuai dengan keilmuan kedokteran, maka hal ini masuk dalam kategori malpraktik,
namun juga hal ini sangat tergantung terhadap kelalaian yang mana saja yang dapat
dituntut atau dapat dihukum, hal ini tergantung oleh hakim yang dapat melihat jenis
kelalaian yang mana. Misalnya dokter sebelum melakukan tindakan medis seharusnya
melakukan sesuatu terlebih dahulu namun itu tidak dilakukan atau melakukan sesuatu
tapi tidak sempurna. 6
3. Lack of Skill yaitu seorang dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan medis
tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya. Misalnya, dokter
cardiofaskuler melakukan operasi tulang. 6

Informed Consent segi Hukum dan Etika

Dalam sejarahnya, informed consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan,
termasuk dalam ilmu kesehatan atau kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu
filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal
informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua
disiplin ilmu ini, keduanya dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi
sosial dan intelektual yang berbeda.7

Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam
kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada
pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat
dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan

7
atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah
menyebabkan cedera tersebut. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana
jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi
dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum
pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. 7

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum
berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan
berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan
medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana. 7

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah
melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya. 7

Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal
351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. 7

Dari segi filsafat etika, informed consent terutama menyangkut pilihan secara
otonomi dari pasien dan subyek penelitian. Secara sederhana kita bisa menyingkat kedua
pendekatan ini sebagai berikut: Pendekatan hukum datang dari teori pragmatis. Pasien
mempunyai hak untuk memberi izin atau menolak, akan tetapi fokusnya adalah pada dokter,
yang mempunyai kewajiban dan mempunyai risiko membayar ganti rugi apabila tidak

8
melaksanakan kewajibannya. Pendekatan filsafat moral atau etika datang dari prinsip
menghargai otonomi, dan fokusnya adalah pada pasien atau subyek, yang mempunyai hak
untuk membuat pilihan secara otonomi. Dengan demikian, kedua kerangka berfikir ini
sangatlah sederhana, akan tetapi ternyata sulit untuk diinterpretasikan dan diperbandingkan.
Terdapat banyak sekali beda pendapat mengenai hal ini. 7

Pemikiran etika mendasari diri pada prinsip, aturan, dan hak. Ada empat prinsip etika di
dalam informed concent : 7

1. Autonomy
Dalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat
setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat secara sukarela dan berdasarkan pemikiran
rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter menghargai otonomi pasien berarti
bahwa si pasien atau klien mempunyai kemampuan untuk berlaku atau bertindak
secara sadar dan intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh
yang bisa menghilangkan kebebasannya. 7
2. Non-maleficence
Di dalam prinsip ini, dokter tidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau
cedera pada pasien, baik akibat tindakan (commission) atau tidak dilakukannya
tindakan (omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan dianggap lalai apabila seseorang
memaparkan risiko atau cedera yang tidak layak (unreasonable) kepada orang lain.
Standar perawatan yang meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan hal
yang diinginkan masyarakat secara common sense. 7
3. Beneficence
Kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan, kebaikan, kegunaan,
benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positip mencegah dan
menghilangkan kecederaan dari pasien. 7
4. Justice
Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan hak
bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan
bagi pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak
terjangkau atau tidak dilindungi pihak asuransinya. 7
Kesimpulan
Setiap tenaga kesehatan mempunyai kode etik dalam pelaksanaan tugasnya. Setiap
pelanggaran etik yang dilakukan dapat dikenakan sanksi berupa tuntutan. Dan dalam setiap
tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan baik perawat, bidan maupun dokter harus
mencari tahu terlebih dahulu permasalahan yang terjadi sehingga kita sebagai tenaga

9
kesehatan tidak gegabah dalam melakukan tindakan yang akan di lakukan sehingga tidak
membuat kesalahan.
Pada kasus ini, diperlukan keahlian dan pengetahuan kita dalam memberitahukan
hasil dari pemeriksaan. Karna hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU
No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien
adalah hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar
informasi (informed consent). Jadi, informed consent merupakan implementasi dari kedua
hak pasien tersebut. Hak pasien tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dilindungi Undang-Undang.

Daftar Pustaka

1. Chang, William. Bioetika sebuah pengantar. Yogyakarta : Kanisius, 2009.h. 13-16.


2. J. Guwandi. Informed consent. Jakarta : FKUI, 2004.h. 135-7
3. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2001.h. 45-6.
4. Peraturan mentrikesehatan Republik Indonesia 290/MENKES/PER/III/2008.
5. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC;
2008 .h.160-1.
6. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 3. Jakarta: EGC;
1999 .h. 67-72.
7. Jacobalis,Samsi. Perkembangan ilmu kedokteran, etika medis, dan Bioetika. Jakarta :
Sagung Seto, 2005. Hal 228, 238-40.

10

Anda mungkin juga menyukai