TERAPI INHALASI
Pembimbing :
dr. Niwan Tristanto. M., Sp.P
Disusun Oleh:
Annisa Firdaus, S.Ked
Kiky Putri Anjany, S.Ked
Muhammad Teguh Hadinata, S.Ked
Reza Nur Said, S.Ked
Winda Nur Annisa, S.Ked
Assela Sanvina Arsita, S.Ked
BAB I
PENDAHULUAN
World Health Association (WHO) 2001 menyatakan bahwa lima penyakit paru
utama adalah merupakan penyebab 17,4% kematian di dunia. Laporan South East
Asia Medical Information Center (SEAMIC 2001) menunjukkan bahwa 5 penyakit
paru utama adalah bagian dari 10 penyebab kematian di Indonesia, yaitu penumonia,
tuberkulosis, bronkitis, emfisema, asma dan keganasan paru.
Terapi inhalasi merupakan salah satu jenis sediaan farmasi untuk penanganan
bagi pasien yang menderita penyakit saluran pernafasan. Terapi inhalasi adalah cara
pemberian obat dalam bentuk partikel aerosol melalui saluran nafas, baik saluran
nafas bagian atas maupun bagian bawah.
Terapi inhalasi memiliki berbagai keuntungan, salah satunya adalah obat ini
dihantarkan langsung ke dalam paru-paru sehingga mengurangi mukus dalam saluran
napas, peradangan dan penyempitan saluran napas secara cepat dan memiliki efek
sistemik yang lebih rendah. Beberapa diantara jenis terapi inhalasi adalah Meter Dose
Inhaler (MDI), MDI dengan spacer, Dry Powder Inhaler (DPI) dan nebulizer, namun
ketepatan cara pemakaian obat jenis ini sangat mempengaruhi keberhasilan terapi.
Beberapa jenis obat seperti mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering
digunakan pada terapi inhalasi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Terapi inhalasi adalah pemberian obat ke dalam saluran napas dengan cara
inhalasi atau pada definisi lainnya menyebutkan bahwa terapi inhalasi adalah cara
pengobatan dengan memberi obat untuk dihirup agar dapat langsung masuk menuju
paru-paru sebagai organ sasaran obatnya. Terapi inhalasi merupakan suatu cara
pengobatan dengan memberi obat dalam bentuk uap secara langsung pada alat
pernapasan menuju paru-paru. Terapi inhalasi dapat digunakan pada proses perawatan
penyakit saluran pernafasan yang akut maupun yang kronik, misalnya asma (penyakit
asma paling sering dijumpai pada anak-anak) dan pada saat bayi/anak terserang batuk
berlendir.
II.2 TUJUAN
Terapi inhalasi ditujukan untuk mengatasi bronkospasme, meng-encerkan
sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi. Terapi inhalasi
ini baik digunakan pada terapi jangka panjang untuk menghindari efek samping
sistemik yang ditimbulkan obat, terutama penggunaan kortikosteroid.
Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran napas
adalah obat dapat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol
berukuran optimal agar terdeposisi di paru, onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek
samping minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah
digunakan, serta efek terapeutik tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan
klinis.
Meskipun saluran napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks
batuk, bersin serta klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan
mengendapnya partikel obat sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi. Namun
dengan memperhatikan metode untuk menghasilkan aerosol serta cara
penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran partikel yang dihasilkan
3
dan jumlah obat yang mencapai berbagai tempat di saluran napas maka diharapkan
obat terdeposisi secara efektif.
Gambar 1. Proses deposisi
Pada gambar menunjukkan mekanisme deposisi di jalan napas yaitu berupa
impaksi, sedimentasi dan difusi. Tetapi pada partikel berukuran 1-10µm, mekanisme
yang akan terjadi yaitu impaksi dan sedimentasi dengan bantuan gravitasi dan proses
difusi / brownian motion akan terjadi apabila ukuran partikel <1µm.Ukuran partikel
akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel menembus saluran napas. Partikel
berukuran < 1µm dapat sampai ke alveolus ataupun di keluarkan kembali dengan cara
ekshalasi, partikel berukuran 1-5µm akan berdeposit pada saluran bronkus, sedangkan
partikel yang berukuran >5µm akan berdeposit di orofaring. Keuntungan dari
mengetahui lokasi-lokasi deposisi pada berbagai jenis ukuran partikel adalah kita
dapat mengetahui seberapa besar ukuran partikel yang dibutuhkan untuk sampai ke
tempat tujuan. β2 reseptor lebih dominan pada bronkiolus dan alveoli, namun otot
pada saluran pernapasan sudah ada dari trakea hingga bronkiolus, sehingga dapat
disimpulkan ukuran partikel yang ideal pada pemberian β2 agonis adalah pada ukuran
1-5µm.
Indikasi penggunaan terapi inhalasi tidak hanya digunakan untuk terapi saja,
tapi juga dapat digunakan untuk uji diagnostik. Uji diagnostik terapi inhalasi dapat
digunakan untuk menguji bronkodilator dengan β2 agonis, uji provokasi bronkus
4
dengan metakolin, dan induksi sputum dengan NaCl 3%. Terapi inhalasi pada
pengobatan digunakan untuk bronkodilatasi, mukolitik, antiinflamasi mukosa
bronkus, antibiotik mukosa bronkus dan alveolus, anestesi lokal bronkus untuk
tindakan bronkoskopi.
Terapi inhalasi dapat digunakan untuk memberikan berbagai jenis obat dengan
alat-alat yang berbeda dan dengan sesuai indikasinya. Efek pada terapi inhalasi secara
umum sangat bergantung dengan beberapa faktor, seperti indikasi dan target area,
strategi pengobatan, dosis yang diberikan (kualitas aerosol, karakteristik alat inhaler,
kemampuan pasien menggunakan alat, manuver inspirasi), deposisi, tingkat
kepatuhan pada pengobatan.
5
Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan MDI adalah kurangnya
koordinasi, terlalu cepat inspirasi, tidak menahan napas selama 10 detik, tidak
mengocok canister sebelum digunakan, tidak berkumur-kumur setelah penggunaan
dan posisi MDI yang terbalik pada saat akan digunakan (NACA, 2008). Obat dalam
MDI yang dilarutkan dalam cairan pendorong (propelan), biasanya propelan yang
digunakan adalah chlorofluorocarbons (CFC) dan mungkin freon/asrchon. Propelan
mempunyai tekanan uap tinggi sehingga didalam tabung (canister) tetap berbentuk
cairan. Kecepatan aerosol rata-rata 30 m/detik atau 100 km/jam. Perlunya koordinasi
antara penekanan canister dan inspirasi napas pada pemakaian inhaler.
2. MDI (Metered Dose Inhaler) dengan ruang antara (spacer)
Ruang antara (spacer) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut,
sehingga kecepatan aerosol pada saat dihirup menjadi berkurang dan akan
menghasilkan partikel berukuran kecil yang masuk ke saluran respiratori yang kecil
(small airway). Selain itu, juga dapat mengurangi pengendapan di orofaring. Ruang
antara ini berupa tabung 80 ml dengan panjang 10-20 cm. Pada anak-anak dan orang
dewasa pemberian bronkodilator dengan MDI dengan spacer dapat memberikan efek
bronkodilatasi yang lebih baik. Kesalahan yang umum terjadi pada penggunaan MDI
dengan spacer adalah posisi inhaler yang salah, tidak menggocok inhaler, aktuasi
yang banyak tanpa menunggu atau mengocok alat pada saat diantara dosis, obat yang
berada dalam spacer tidak dihirup secara maksimal dan spacer yang tidak cocok
untuk pasien.
6
3. DPI (Dry Powder Inhaler)
Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan, sehingga mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan MDI. Menurut NACA, inhaler tipe ini berisi serbuk kering.
Pasien cukup melakukan hirupan yang cepat dan dalam untuk menarik obat dari
dalam alat ini. Zat aktifnya dalam bentuk serbuk kering yang akan tertarik masuk ke
paru-paru saat menarik napas (inspirasi). Kesalahan yang umum terjadi pada
penggunaan turbuhaler adalah tidak membuka tutup, tidak memutar searah jarum jam
atau berlawanan arah jarum jam, tidak menahan napas, dan pasien meniup turbuhaler
hingga basah. Selain itu, inspirasi yang kuat pada anak kecil (< 5 tahun) sulit
dilakukan, sehingga deposisi obat dalam sistem respiratori berkurang. Anak usia > 5
tahun, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah dilakukan, karena kurang
memerlukan koordinasi dibandingkan dengan MDI sehingga dengan cara ini deposisi
obat didalam paru lebih besar dan lebih konstan dibandingkan dengan MDI tanpa
spacer. Penggunaan inhaler jenis DPI (Dry Powder Inhaler) ini tidak memerlukan
spacer sebagai alat bantu, sehingga lebih praktis untuk pasien. Beberapa jenis inhaler
bubuk kering yang umumnya digunakan di Indonesia yaitu diskus, turbuhaler, dan
handihaler.
Mouthpiece
Pengatur dosis
Pemutar dosis
Pemutar
Gambar 3. DPI
7
B. Nebulizer
Nebulizer digunakan dengan cara menghirup dengan cara menghirup larutan obat
yang telah diubah menjadi bentuk kabut. Nebulizer sangat cocok digunakan untuk
anak-anak, usila dan mereka yang sedang mengalami serangan asma parah. Dua jenis
nebulizer berupa kompresor dan ultrasonic. Tidak ada kesulitan sama sekali dalam
menggunakan nebulizer, karena pasien cukup bernapas seperti biasa dan kabut obat
akan terhirup masuk ke dalam paru-paru. Satu dosis obat akan terhirup habis tidak
lebih dari 10 menit. Contoh produk yang bisa digunakan daengan nebulizer: Bisolvon
solution, Pulmicort respules, Ventolin nebulas. Anak-anak usia kurang dari 2 tahun
membutuhkan masker tambahan untuk dipasangkan ke nebulizer
Untuk memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas untuk mengobati
bronkospasme akut, produksi mucus yang berlebihan, batuk dan sesak napas dan
epiglottis
Alat nebulizer dapat mengubah obat berbentuk larutan menjadi aerosol secara
terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau
gelombang ultrasonik. Aerosol merupakan suspensi berbentuk padat atau cair dalam
bentuk gas dengan tujuan untuk menghantarkan obat ke target organ dengan efek
samping minimal dan dengan keamanan dan efektifitas yang tinggi. Partikel aerosol
yang dihasilkan nebulizer berukuran antara 2-5 μ, sehingga dapat langsung dihirup
penderita dengan menggunakan mouthpiece atau masker. Berbeda dengan alat MDI
(Metered Dose Inhaler) dan DPI (Dry Powder Inhaler) dimana alat dan obat
merupakan satu kesatuan.
8
Ada dua jenis nebulizer yang umumnya sering digunakan:
1) Nebulizer jet : menggunakan jet gas terkompresi (udara atau oksigen) untuk
memecah larutan obat menjadi aerosol.
2) Nebulizer ultrasonik : menggunakan vibrasi ultrasonik yang dipicu secara
elektronik untuk memecah larutan obat menjadi aerosol.
9
sampai 10 detik untuk 4 kali napas
Ketika sedang menahan Mengeluarkan inhaler dari Mengeluarkan inhaler dari
napas, keluarkan inhaler mulut mulut
dari mulut
Ekshalasi dengan pelan Ekshalasi dengan pelan dari Ekshalasi dengan pelan dari
dari mulut mulut mulut
Menutup kembali inhaler Menutup kembali inhaler Menutup kembali inhaler
Berkumur – kumur setelah Berkumur – kumur setelah Berkumur – kumur setelah
menggunakan inhaler menggunakan inhaler menggunakan inhaler
b. Nebulizer
Nebulizer terdiri dari beberapa bagian yang terpisah yang terdiri dari generator
aerosol, alat bantu inhalasi (masker, mouthpiece) dan obatnya sendiri. Masker dan
mouthpiece pada nebulizer memiliki beberapa ukuran yang dapat disesuaikan untuk
penggunaanya pada anak-anak atau orang dewasa, sehingga diharapkan jika
menggunakan masker atau mouthpiece dengan ukuran yang tepat, larutan obat yang
melalui nebulizer berubah menjadi gas aerosol tersebut dapat dihirup/dihisap dengan
baik dan keberhasilan terapi yang didapatkan juga dirasakan optimal.
Berikut adalah cara untuk penggunaan nebulizer :
Persiapan
o Tempatkan pasien pada posisi tegak/40-90 derajat yang memungkinkan
klien ventilasi dan pergerakan diafragma maksimal.
o Kaji suara napas, pulse rate, status respirasi, saturasi oksigen sebelum
medikasi diberikan.
o Kaji heart rate selama pengobatan, jika heart rate meningkat 20x per
menit, hentikan terapi nebulizer, pada pasien hamil, heart fetus harus
dikaji.
Prosedur
o Berikan oksigen suplemen, dengan flow rate disesuaikan menurut
kondisi/keadaan pasaien, pulse oxymetri/ hasil AGD. Inhalsi katekolamin
dapat merubah ventilasi-perfusi paru dan memperburuk hipoksemia untuk
periode singkat.
10
o Pasang nebulizer dan tube dan masukkan obat ke dalam nebulizer sesuai
program (obat- obat bronchodilator ada yang berupa cairan untuk
pengobatan hirup, cairan bronchodilator sebanyak 0,3-0,5 ml.
o Ditambahkan /dicampur sejumlah normal saline steril sebanyak 1 ml
sampai 1,5 ml ke nebulizer sesuai program.
o Hubungkan nebulizer ke sumber kompresi gas, berikan oksigen 6-8
liter/menit, sesuaikan flow rate oksigen sampai kabut yang keluar sedikit
tipis, jika terlalu kuat arusnya obat dapat terbuang sia-sia.
o Pandu pasien untuk mengikuti tehnik bernapas yang benar, lanjutkan terapi
sampai kabut tidak lagi produksi.
o Kaji ulang suara napas, pulse rate, saturasi oksigen dan respiratory rate.
II.6 KELEBIHAN dan KEKURANGAN TERAPI INHALASI
Penggunaan alat terapi inhalasi memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan
dan kekurangan alat terapi inhalasi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Kelebihan dan kekurangan alat terapi inhalasi
Alat Kelebihan Kekurangan
MDI 1. kecil, mudah dibawa 1. manuver sulit
2. lebih murah 2. deposisi orofaringeal besar
3. tidak perlu penyiapan obat 3. tidak semua obat ada dalam bentuk
ini
4. resiko kontaminasi minimal 4. sulit untuk dosis tinggi
MDI+spacer 1. koordinasi minimal 1. repot bagi sebagian pasien
2. deposisi orofaringeal minimal 2. lebih mahal daripada MDI
3. kurang praktis
DPI 1. koordinasi sedikit 1. perlu arus inspirasi kuat (>30L/menit)
2. tidak ada pelepasan freon 2. resiko deposisi orofaringeal
3. aktivasi dengan upaya napas 3. tidak semua obat ada dalam bentuk
ini
4. tidak perlu penyiapan 4. sulit untuk dosis tinggi
obat
5. resiko kontaminasi
minimal
Nebulizer jet 1. koordinasi minimal 1. mahal
2. dosis tinggi dapat diberikan 2. kemungkinan kontaminasi alat
3. tidak ada pelepasan freon 3. resiko, gangguan listrik dan
mekanik
4. tidak semua obat bisa
dinebulisasi
5. perlu kompresor, tidak praktis
dibawa
6. perlu menyiapkan cairan obat
7. perlu waktu lebih lama
Nebulizer 1. koordinasi minimal 1. mahal
Ultrasonik 2. dosis tinggi dapat diberikan 2. kemungkinan kontaminasi alat
3. tidak ada pelepasan freon 3. resiko, gangguan listrik dan mekanik
11
4. tidak berisik 4. tidak semua obat bisa dinebulisasi
5. waktu relatif singkat 5. ukuran besar, tidak praktis
dibawa
6. perlu menyiapkan cairan obat
7. perlu waktu lebih lama
12
Salbutamol sulfat 2 mg/5 ml Sirup Oral
13
Dosis untuk masing-masing individu pasien dapat berbeda, sehingga harus
dikonsultasikan lebih lanjut dengan dokter, dan jangan menghentikan penggunaan
kortikosteroid secara langsung, harus secara bertahap dengan pengurangan dosis.
II.9 EFEK SAMPING
Penggunaan terapi inhalasi dapat memberikan efek samping walaupun
kemungkinannya minim. Macam-macam efek samping yang dapat muncul seperti
palpitasi, retensi CO2, depresi SSP, bronkospasme, glaukoma, kontaminasi
mikroorganisme bila desinfeksi kurang, kerusakan partikel pada penggunaan jenis
nebulizer yang tidak sesuai.
II.10 KESIMPULAN
Terapi inhalasi merupakan pemberian obat dalam bentuk aerosol sehingga
dapat menghantarkan obat langsung masuk ke paru-paru dan menggapai target
sasaran yaitu mukosa dan ujung reseptor neuron di dalamnya. Obat yang diberikan
dengan cara ini dapat di absorbsi secara cepat dan memiliki efek sistemik lebih
rendah. Tujuan terapi inhalasi untuk keadaan serangan yang membutuhkan
pengobatan segera, misalanya untuk mengatasi bronkospasme, mengencerkan sputum,
menurunkan hiperaktivitas bronkus dan mengatasi infeksi. Indikasi terapi inhalasi ada
dua yaitu untuk diagnostik (induksi sputum dengan NaCl 3%, uji provokasi bronkus)
dan terapi (bronkodilatasi, mukolitik, antiinflamasi) . Tidadk ada kontraindikasi
mutalk dalam pemberian terapi inhalasi, namun harus hati-hati bila pasien memiliki
alergi terhadap obat-obatan yang digunakan dalam terapi inhalasi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi, yaitu
ukuran aprtikel, gravitasi, inersia, aktivitas kinetik, ketepatan pemakaian alat maupun
obat. Terapi inhalasi memiliki beberapa jenis yaitu Meter Dose Inhaler (MDI), MDI
dengan spacer, Dry Powder Inhaler (DPI), Nebulizer. Keuntungan dari penggunaan
terapi inhalasi adalah terapi ini lebih efektif, kerja lebih cepat pada organ target dan
membutuhkan dosis obat yang lebih kecil sehingga efek samping lebih sedikit.
Kerugiannya adalah bila penggunaan tidak tepat dapat mempengaruhi keberhasilan
terapi. Selain itu bila tidak dibawah pengawasan dokter mungkin dapat terjadi iritasi
pada mulut dan gangguan pernafasan. Efek samping terapi inhalasi terjadi bila
diberikan dalam jumlah besar dan tidak diawasi dengan baik, misalnya penyempitan
pada jalan nafas, iritasi dan infeksi pada jalan nafas.
14
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
3. Bia FJ, Brady JP, Brady LW, et al. Kamus Kedokteran Dorlan. Alih Bahasa:
Harjono RM, Hartono A, Japaries W, et al. Harjono RM, Oswari J, Ronardy
DH, et al, Ed. EGC. Jakarta. 1994; 1910.
4. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology).
Alih Bahasa: Andrianto P. Oswari J, Ed. EGC. Jakarta. 1995; 609-21.
5. Rasmin M, Rogayah R, Wihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elsina S.
Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan–Diagnostik dan Terapi.
Bagian Pulmonologi FKUI. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001; 59-64.
6. Setiawati A, Zunilda SB, Suyatna FD. Pengantar Farmakologi. Dalam:
Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, Ed.
Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta. 1995;
6.
15