Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada manusia
atau binatang sebagai perawatan atau pengobatan bahkan pencegahan
terhadap berbagai gangguan yang terjadi di dalam tubuh. Beberapa faktor
yang mempengaruhi reaksi pengobatan diantaranya absorpsi obat,
distribusi obat dalam tubuh, metabolism obat, dan ekskresi.
Obat memiliki dua efek yakni efek terapeutik dan efek samping.
Efek terapeutik obat memiliki kesesuaian terhadap efek yang diharapkan
sesuai dengan kandungan obatnya seperti paliatif (berefek untuk
mengurangi gejala), kuratif (memiliki efek pengobatan), suportif
(menaikkan fungsi atau respon tubuh), subtitutif (sebagai pengganti), efek
kemoterapi (berefek untuk mematikan atau menghambat), restorative
(berefek pada memulihkan fungsi tubuh yang sehat). Efek samping
merupakan dampak yang tidak diharapkan, tidak bisa diramal, dan bahkan
kemungkinan dapat membahayakan seperti adanya alergi, penyakit
iatrogenic, kegagalan dalam pengobatan, dan lain-lain.
Pemberian obat kepada pasien dapat dilakukan melalui beberapa
cara diantaranya : oral, parenteral, rectal, vaginal, kulit, mata, telinga, dan
hidung. Dengan menggunakan prinsip enam tepat dalam pengobatan yakni
tepat pasien, obat, dosis, rute, waktu, dan dokumentasi.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah pemberian obat melalui pernafasan?
2. Bagaimanakah pemberian obat melalui anus?
3. Bagaimanakah pemberian obat melalui uretra/vagina, saluran kencing?

1
C. Tujuan
1. Untuk menjelasakan bagaimanakah pemberian obat melalui
pernafasan?
2. Untuk menjelaskan bagaimanakah pemberian obat melalui anus?
3. Untuk mejelaskan bagaimanakah pemberian obat melalui
uretra/vagina, saluran kencing?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemberian Obat Melalui Pernafasan


1. Pengertian

Sistem pernafasan memiliki fungsi yang sangat vital,


terutama fungsi pernafasan yang bertanggung menyediakan
oksigen bagi tubuh dan membuang karbon dioksida, disamping
fungsi penting lainnya. Sistem pernafasan terdiri dari saluran nafas
dan parenkim paru (yang terdiri dari jutaan alveolus), dimana
untuk menjalankan fungsi dengan baik, kondisi dari kedua
komponen tersebut harus dalam batas normal. Saluran nafas
maupun alveolus dapat mengalami gangguan seperti kolaps pada
beberapa penyakit seperti pada penyakit paru obstruktif yaitu asma
dan PPOK.
Asma adalah suatu penyakit obstruksi jalan nafas yang
reversible dengan dikarakteristikan oleh hiperaktivitas bronkus,
bronkokonstriksi, dan inflamasi saluran nafas kronik. Sementara
PPOK adalah suatu penyakit yang ditandai gejala pernafasan dan
hambatan aliran udara persisten karena adanya abnormalitas
saluran nafas dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh
paparan partikel atau gas berbahaya/polusi yang signifikan.
Regimen obat yang digunakan untuk terapi dari penyakit
tersebut,secara umum berupa bronkodilator untuk melebarkan
saluran nafas, dan anti inflamasi untuk meredakan proses inflames
yang terjadi.
Selain itu juga ada beberapa regimen obat lainnya.
Pemberian terapi disesuaikan dengan berat ringannya gejala dan
frekuensi serta beratnya serangan. Terapi dari penyakit tersebut
kini telah dikembangkan cara pemberiannya melalui inhalasi atau
disebut sebagai terapi inhalasi. Terapi inhalasi merupakan suatu

3
terapi melalui sistem pernafasan yang ditujukan untuk membantu
mengembalikan atau memperbaiki fungsi pernafasan pada berbagai
kondisi, penyakit, ataupun cidera. Terapi ini telah lama
dikembangkan dan kini sudah diterima secara luas sebagai salah
satu terapi yang berkaitan dengan penyakit-penyakit seperti asma
dan PPOK, selain pemberian dengan cara peroral, injeksi
intramuskular, dan intravena.
Tentunya tidak semua obat dapat diberikan melalui
inhalasi. Adapun beberapa obat yang termasuk ke dalam terapi
inhalasi adalah bronkodilator, antiinflamasi seperti kortikosteroid,
mukolitik, serta proteolitik. Dimana pemberian obat secara inhalasi
menggunakan teknik atau perangkat yang khusus.
Inhalasi adalah alat pengobatan dengan cara memberi obat
untuk dihirup agar dapat langsung masuk menuju paru-paru
sebagai organ sasaran obatnya. Inhalasi adalah pengobatan dengan
cara memberikan obat dalam bentuk uap kepada si sakit langsung
melalui alat pernapasannya (hidung ke paru-paru).
Inhalasi memberikan pengiriman obat yang cepat melewati
permukaan luas dari saluran nafas dan epitel paru-paru, yang
menghasilkan efek hampir sama cepatnya dengan efek yang di
hasilkan oleh pemberian obat secara intravena. Cara pemberian ini
di gunakan untuk obat-obat berupa gas (misalnya, beberapa obat
anestetik) atau obat yang dapat di dispersi dalam suatu eorosol.
Rute tersebut terutama efektif dan menyenangkan untuk penderita-
penderita dengan keluhan-keluhan pernafasan (misalnya, Asma
atau penyakit paru obstruktif kronis) karena obat yang di berikan
langsung ketempat kerjanya efek samping sistemik minimal.
Obat diberikan dengan inhalasi akan terdispersi melalui
aerosol semprot, asap atau bubuk sehingga dapat masuk ke saluran
nafas. Jaringan alverokapiler menyerap obat dengan cepat. Inhaler
dosisi terukur (metered-dose inhaler/MDI) dan inhaler bubuk

4
kering (Dry Power Inhaler/DPI) biasanya memiliki efek local
seperti dilate bronkus. Namun, beberapa obat dapat menyebabkan
efek sistemik yang serius.
Yang menerima obat melalui inhalasi biasanya memiliki
penyakit pernafasan kronis seperti asma kronis, emfisema, atau
bronchitis masing-masing masalah pernafasan memerlukan obat
inhalasi yang berbeda. Sebagai contoh, klien dengan asma biasanya
menerima obat antiimfamasi karena asma merupakan penyakit
imflamasi sementara klien dengan penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) menerima brokoladilator karena biasanya mereka
memiliki masalah dengan bronkokostriks. Beberapa inhaler
mengandung kombinasi dari obat “darurat” dan “perbaikan” .
Karena klien bergantung pada obat inhalasi untuk mengontrol
penyakitnya, maka mereka perlu mengetahui mengenai obat
tersebut dan bagaimana cara menggunakannya dengan aman.
Kelebihan dari pemberian obat dengan cara inhalasi adalah
absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar obat dapat terkontrol,
terhindar dari efek lintas pertama dan dapat diberikan langsung
kepada bronkus / saluran nafas. Untuk obat yang diberikan dengan
cara inhalasi dalam bentuk gas atau uap yang akan diabsorpsi
dengan cepat melalui alveoli paru-paru serta membran mukosa
pada saluran pernapasan.

2. Keuntungan terapi inhalasi


a. Onset kerja lebih cepat dibandingkan obat oral
b. Dosis yang diberikan kecil
c. Obat langsung menuju paru-paru, sehingga paparan sistemik
minimal.
d. Efek samping sistemik lebih jarang dan lebih ringan
dibandingkan obat yang diberikan secara sistemik.

5
e. Terapi dengan obat inhalasi cenderung tidak menimbulkan
nyeri, dibandingan obat yang diberikan melalui injeksi, dan
lebih nyaman.
f. Rangsangan oral inhalasi dapat menggantikan kebiasaan
merokok

3. Kelemahan terapi inhalasi


a. Beberapa variabel (pola nafas yang benar, tatacara penggunaan
alat atau generator aerosol) dapat mempengaruhi deposisi paru
dan reproduktifitas dosis.
b. Dosis yang tepat sering tidak tercapai sehingga dapat terjadi
kekurangan atau sebaliknya.
c. Deposisi orofaringeal dapat menyebabkan absorbsi sistemik.
d. Iritasi orofaringeal menyebabkan penyumbatan, nausea,
vomitus, dan aerofagi.
e. Membutuhkan peralatan khusus dan mahal.
f. Kesulitan koordinasi antara gerakan tangan dan inhalasi
dengan pMDI yang dapat menurunkan keefektifan.
g. Ketersediaan berbagai macam jenis alat akan membingungkan
pasien dan klinisi.
h. Keterbatasan informasi tentang standarisasi teknik inhalasi
kepada klinisi akan mengurangi keefektifan.
i. Pemberian secara inhalasi lebih kompleks dibandingkan oral.

B. Pemberian Obat Melalui Anus


1. Pengertian
Pemberian Obat Anus/Rektum merupakan cara
memberikan obat dengan memasukkan obat melalui anus atau
rektum, dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik.
Tindakan pengobatan ini disebut pemberian obat suppositoria yang

6
bertujuan untuk mendapatkan efek terapi obat, menjadikan lunak
pada daerah feses dan merangsang buang air besar.
Contoh pemberian obat yang memiliki efek lokal seperti
obat dulcolac supositoria yang berfungsi secara lokal untuk
meningkatkan defekasi dan contoh efek sistemik pada obat
aminofilin suppositoria dengan berfungsi mendilatasi bronkus.
Pemberian obat supositoria ini diberikan tepat pada dinding rektal
yang melewati sfingter ani interna. Kontra indikasi pada pasien
yang mengalami pembedahan rektal.
Pemberian Obat yang dilakukan melalui anus atau rektum
dengan tujuan memberikan efek lokal dan sistemik. Tindakan
pengobatan ini disebut juga pemberian obat supositorium. Contoh
pemberian yang memiliki efek lokal seperti pada obat dulkolak
supositoria yang berfungsi secara lokal untuk meningkatkan
defekasi. Contoh efek sistemik adalah pemberian obat aminofilin
supositoria dengan fungsi mendilatasi bronkial. Pemberian obat
supositoria ini diberikan tepat pada dinding mukosa rektal yang
melewati sfingter anus interna. Kontra indikasi pada pasien yang
mengalami pembedahan rektal. Suppositoria adalah sediaan padat
dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui anus atau
rektum. Umumnya berbentuk torpedo dapat meleleh, melunak atau
melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai
pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat terapetik yang
bersifat local atau sistematik. (Farmakope Indonesia Edisi IV).
Suppositoria merupakan obat luar karena penggunaannya
tidak melewati mulut dan tidak menuju ke arah lambung, hanya
dimetabolisme dalam darah dan dinding usus. Salep (cream) adalah
sediaan yang digunakan untuk pemberian topikal ke area perianal.
Sebagian besar digunakan untuk terapi kondisi lokal pruritis
anorektal, inflamasi dan nyeri atau ketidaknyamanan akibat wasir.
Contohnya:

7
a. Astrigents (Zinc oxide)
b. Pelindung dan pelicin (cocoa butter dan lanolin)
c. Anestesi lokal (Pramoxine HCl)
d. Antipruritis serta agen antiinflamasi (Hidrokortisone)
Beberapa produk rectal cream, gel, dan ointment komersial
yaitu : ANUSOL ointment, TRONOLANE cream, ANALPRAM-
HC cream, dan DIASTAT Gel. Cair (larutan) Rektal adalah sediaan
rektal yang sangat sedikit digunakan, karena tidak menyenangkan
dan kepatuhan pasien rendah. Dalam banyak kasus, sediaan ini
digunakan untuk memasukkan media atau agen untuk rontgen
saluran pencernaan bagian bawah. Walaupun absorpsi obat dari
larutan lebih baik daripada dari suppositoria solid, tetapi
penggunaan jarang sekali. Contoh : ROWASA rectal suspension
enema (mesalamine), ASACOL rectal suspension enema
(mesalazine).
Rektal aerosol atau busa rektal aerosol disertai dengan
aplikator untuk memudahkan penggunaannya. Aplikator
dimasukkan ke dalam wadah berisi produk, serta terdapat alat
pengatur dosis obat aerosol. Aplikator dimasukkan ke dalam anus
dan obat dapat diberikan melalui rektal. Beberapa contoh rektal
aerosol : PROCTOFOAM HC (Hidrocortisone dan Pramoxine),
CORTIFOAM (Hidrocortisone).
Tujuannya memberikan efek lokal dan sistemik. Contoh:
efek local untuk melunakkan faeces dan merangsang/melancarkan
defekasi, efek sistemik untuk dilatasi bronkus.

2. Alat dan bahan serta prosedur kerja


a. Alat Dan Bahan :
1) Obat supositorium dalam tempatnya
2) Sarung tangan
3) Kain kasa

8
4) Vaselin/pelicin/pelumas
5) Kertas tisu

b. Prosedur Kerja :
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Cuci tangan
3) Gunakan sarung tangan
4) Buka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa
5) Olesi ujung obat supositorium dengan pelican
6) Minta pasien mengambil posisi tidur miring (sims) lalu
regangkan bokong dengan tangan kiri. Kemudian masukkan
supositoria dengan perlahan melalui anus, sfingter interna
dan mengenai dinding rektal kurang lebih 10 cm pada orang
dewasa, dan kurang lebih 5 cm untuk anak/bayi
7) Setelah selesai, tarik jari tangan dan bersihkan daerah
sekitar anal dengan tisu
8) Anjurkan klien untuk tetap berbaring telentang/miring
selama kurang lebih 15 menit
9) Kemudian lepaskan sarung tangan dan letakkan di bengkok
10) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
11) Catat prosedur dan respons pasien
Penyakit yang biasa terjadi pada rectum proktitis (radang
lapisan rektum) DEFINISI Proktitis adalah peradangan pada
lapisan rektum (mukosa rektum). Pada proktitis ulserativa, ulkus
(luka) muncul pada lapisan rektum yang meradang. Hal ini bisa
mengenai rektum bagian bawah selebar 2,5-10 cm. Beberapa
kasus sudah memberikan respon terhadap pengobatan; yang
lainnya menetap atau kambuh dan membutuhkan pengobatan
jangka panjang. Beberapa kasus akhirnya berkembang menjadi
kolitis ulserativa.

9
3. Penyebab,Gejala, Diagnosa dan Pengobatan
a. Penyebab
Proktitis memiliki beberapa penyebab :
1) Penyakit Crohn atau kolitis ulserativa
2) Penyakit menular seksual (gonore, sifilis, infeksi
Chlamydia trachomatis, herpessimpleks, infeksi
sitomegalovirus), terutama pada laki-laki homoseksual.
3) Bakteri spesifik seperti Salmonella
4) Penggunaan antibiotik tertentu yang merusak bakteri
usus normal dan memungkinkan bakteri lainnya tumbuh
5) Terapi penyinaran pada rektum atau di sekitar rektum.
6) Orang-orang dengan gangguan sistem kekebalan
memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya proktitis,
terutama pada infeksi yang disebabkan oleh virus
herpes simpleks atau sitomegalovirus.

b. Gejala
Proktitis terutama menyebabkan perdarahan yang tidak
nyeri atau pengeluaran lendir dari rektum. Jika penyebabnya
gonore, herpes simpleks atau sitomegalovirus, anus dan rektum
akan terasa sangat nyeri.

c. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
dengan proktoskop atau sigmoidoskop dan hasil pemeriksaan
dari contoh jaringan lapisan rectum, pemeriksaan laboratorium
bisa menemukan jenis kuman, jamur atau virus yang menjadi
penyebabnya, daerah lain dari usus juga bisa diperiksa dengan
menggunakan kolonoskop atau barium enema.

10
d. Pengobatan
Antibiotik merupakan pengobatan terbaik untuk
proktitis yang disebabkan oleh infeksi kuman spesifik.Jika
proktitis disebabkan karena penggunaan antibiotik yang
merusak flora normal usus, bisa digunakan metronidazole atau
vancomycin untuk menghancurkan kuman yang merugikan. Bila
penyebabnya adalah terapi penyinaran atau tidak diketahui, bisa
diberikan kortikosteroid (misalnya hydrocortisone dan
mesalamine). Keduanya dapat diberikan sebagai enema (cairan
yang dimasukkan ke dalam usus/usus besar) atau sebagai
suppositoria (obat yang dimasukkan melalui dubur). Kortison
diberikan dalam bentuk busa yang dimasukan dengan bantuan
alat khusus.Sulfasalazine atau obat serupa bisa diberikan per-
oral (melalui mulut) dalam waktu bersamaan

C. Pemberian Obat Melalui Uretra/Vigina/Saluran Kencing


1. Pengertin dan tujuan
a. Pengertian
cara memberikan obat dengan memasukkan obat melalui
vagina.
b. Tujuan: mendapatkan efek terapi obat (mengurangi rasa nyeri,
terbakar, ketidaknyamanan) dan mengobati saluran vagina atau
serviks (infeksi, peradangan).

2. Sediaan dan cara


a. Sediaan: cream, jelly, foam, supositoria (contoh: nistatin
supositoria, albotil, tricostatis supositoria, neogiknosa
supositoria).

11
b. Cara: irigasi, mengoleskan, supositoria.

3. Indikasi dan kontra indikasi


a. Indikasi: klien dengan vagina yang kotor, radang, infeksi, dan
persiapan tindakan bedah jalan lahir (diberikan pada pasien
dengan hymen yang sudah tidak utuh, dan tidak kontak seksual
selama pengobatan).
b. Kontra indikasi: menstruasi, perdarahan, KPD, placenta previa,
partus preterm.

4. Alat dan bahan serta persiapan


a. Alat dan bahan
1) Obat dalam tempatnya
2) Bak instrument
3) Sarung tangan
4) Kain kasa
5) Kapas sublimat
6) Vaselin / jelly
7) Kertas tisyu
8) Kapas sublimat dalam tempatnya
9) Bengkok
10) Pengalas
11) Lampu sorot/ lampu leher angsa (gcoseneck)

b. Persiapan:
1) Mengindentifikasikan klien dengan tepat (klien, obat,
waktu, dosis, cara)
2) Menjelaskan kepada klien tujuan tindakan yang akan
dilakukan
3) Meminta klien untuk berkemih terlebih dahulu

12
4) Menjaga privasi: menutup jendela, korden, dan memasang
sampiran atau sketsel apabila diperlukan
5) Menganjurkan orang yang tidak berkepentingan untuk
keluar ruangan
6) Mengatur posisi klien berbaring, posisi dorsal recumbent
7) Menutup dengan selimut mandi dan ekpose hanya pada
area perineal saja

Gambar 1: posisi darsal recumbent

c. Prosedur:
1) Cuci tangan
2) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3) Gunakan sarung tangan
4) Siapkan obat yang akan digunakan: buka pembungkus obat
5) Bersihkan sekitar alat kelamin dengan kapas sublimat
6) Inspeksi kondisi genetalia eksterna dan saluran vagina
7) Apabila jenis obat suppositoria maka berikan pelumas pada
obat
8) Regangkan labia minora dengan tangan kiri dan masukkan
obat sepanjang dinding kanal vaginal posterior sampai 7,5-
10 cm
9) Setelah obat masuk, bersihkan daerah sekitar orifisium dan
labia dengan tisu

13
10) Anjurkan untuk tetap dalam posisi kurang lebih 10 menit
agar obat bereaksi.
11) Lepaskan sarung tangan
12) Cuci tangan
13) Kaji respon klien
14) Dokumentasi: catat identitas, waktu, obat, dosisi/jumlah,
dan cara pemberian
15) Catatan: apabila obat jenis krim, isi aplikator krim atau
ikuti petunjuk penggunaan krim yang ada di kemasan,
masukkan aplikator, dan lanjutkan sesuai langkah 8 s.d. 11.

14

Anda mungkin juga menyukai