Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Perkembangan pesat pada teknologi terapi inhalasi telah memberikan


manfaat yang besar bagi pasien yang menderita penyakit saluran pernapasan, tidak
hanya pasien yang menderita penyakit asma tetapi juga pasien bronchitis kronis,
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), bronkiektasis, dan sistik fibrosis.

Penghantaran obat melalui paru-paru merupakan rute yang potensial untuk


menghantarkan obat secara local ke paru-paru dan juga secara sistemik. Obat-obat
yang dihantarkan mencakup rentang terapi yang sangat luas meliputi antibiotik,
antibodi, peptida, protein, dan oligonukleida Inhalasi adalah proses pengobatan
dengan cara menghirup obat agar dapat langsung masuk menuju paru-paru
sebagai organ sasaran. Sementara itu, nebulisasi adalah suatu cara yang dilakukan
untuk mengubah larutan atau suspensi obat menjadi uap agar dapat dihirup
melalui hidung dengan cara bernapas sebagaimana lazimnya. Pengubahan bentuk
ini dilakukan dengan menggunakan alat nebulizer.

Ada tiga jenis sistem penghantaran obat secara inhalasi yaitu Nebulizer,
MDI (metered dose inhaler) dan DPI (dry powder inhaler). Nebulizer berupa obat
yang dilarutkan atau disuspensikan ke dalam pelarut yang polar, umumnya air dan
diubah menjadi bentuk gas atau aerosol. Aerosol adalah dispersi suatu obat berupa
cairan atau zat padat dalam suatu gas. Nebulizer mengaerosolisasi larutan obat
dalam air atau suspensi obat dalam air. Alat yang digunakan dapat berupa jet
nebulizer atau ultrasonic nebulizer.

Inhaler dan nebulizer merupakan jenis sediaan farmasi dengan cara


penggunaan yang khusus, keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh ketepatan
cara penggunaannya. Pasien yang menggunakan nebulizer harus dilatih secara
hati-hati mengenai cara penggunaannya, karena mereka mungkin akan tergantung
alat tersebut. Percobaan terapi dengan nebulizer perlu dilakukan 3-4 minggu
untuk menilai manfaat yang didapatkan secara signifikan dan untuk dinyatakan
bermanfaat, terapi ini normalnya harus dapat memberikan perbaikan sedikitnya
15% dari nilai sebelum terapi (Cates et al., 2002). Nebulizer dapat digunakan pada

1
semua usia, dan untuk beberapa tingkat keparahan penyakit tertentu (Geller,
2005).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wibowo (2011) tentang


penggunaan inhaler pada pasien asma rawat jalan RSUD Dr. Moewardi Surakarta
hasilnya menunjukkan bahwa masih ditemukannya pasien yang melakukan
kesalahan dalam teknik penggunaan inhaler. Pengaruh pelatihan tentang
penggunaan inhaler terhadap ketepatan peragaan penggunaan inhaler, terdapat
21,3% pasien yang sudah mendapatkan pelatihan masih menggunakan inhaler
mereka dengan salah. Pasien sulit mempelajari cara penggunaan alat terapi
inhalasi hanya dengan membaca brosur atau aturan pakai yang ada dikemasan
saja, maka hal yang terpenting dalam penggunaan alat terapi inhalasi adalah
mendemonstrasikan/memperagakan secara langsung kepada pasien mengenai
teknik penggunaannya (Sundaru dan Sukamto, 2006). Oleh karena itu, diperlukan
pengetahuan tentang teknik penggunaan alat terapi inhalasi yang tentunya
membutuhkan pelatihan yang mempunyai sifat kelanjutan, sehingga penggunaan
alat terapi inhalasi dapat lebih dipahami dan diperlukan juga evaluasi yang
berulang kali untuk memantau cara penggunaan inhalasi yang benar terhadap
pasien.

PENGERTIAN

Alat nebulizer dapat mengubah obat berbentuk larutan menjadi aerosol


secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau
gelombang ultrasonik. Aerosol merupakan suspensi berbentuk padat atau cair
dalam bentuk gas dengan tujuan untuk menghantarkan obat ke target organ
dengan efek samping minimal dan dengan keamanan dan efektifitas yang tinggi.
Partikel aerosol yang dihasilkan nebulizer berukuran antara 2-5 μ, sehingga dapat
langsung dihirup penderita dengan menggunakan mouthpiece atau masker.
Berbeda dengan alat MDI (Metered Dose Inhaler) dan DPI (Dry Powder Inhaler)
dimana alat dan obat merupakan satu kesatuan. Ada dua jenis nebulizer yang
umumnya sering digunakan:

2
1) Nebulizer jet : menggunakan jet gas terkompresi (udara atau oksigen)
untuk memecah larutan obat menjadi aerosol.
2) Nebulizer ultrasonik : menggunakan vibrasi ultrasonik yang dipicu secara
elektronik untuk memecah larutan obat menjadi aerosol.

Alat terapi inhalasi nebulizer harus terus dijaga kebersihannya untuk


menghindari pertumbuhan mikroba dan kemungkinan adanya infeksi. Sebaiknya
alat nebulizer dicuci setiap setiap selesai digunakan atau sedikitnya sekali sehari.
Instruksi dari pabrik pembuatnya harus diikuti secara benar untuk menghindari
kerusakan plastik pembungkusnya (Ikawati, 2007). Kelebihan terapi inhalasi
menggunakan nebulizer adalah tidak atau sedikit memerlukan koordinasi pasien,
hanya memerlukan pernapasan tidal, dan didalamnya terdapat campuran dari
beberapa jenis obat (misalnya salbutamol dan ipratropium bromida).
Kekurangannya adalah alat ini cukup besar sehingga kurang praktis, memerlukan
sumber listrik, dan relatif mahal (Rahajoe, 2008). Berikut cara penggunaan
nebulizer yaitu:

1) Selalu cuci tangan sebelum menyiapkan obat untuk penggunaan nebulizer


2) Membuka tutup tabung obat nebulizer, mengukur dosis obat dengan benar
3) Memasukkan obat ke dalam tabung nebulizer
4) Menghubungkan selang dari masker uap atau mouthpiece pada kompresor
nebulizer
5) Mengenakan masker uap atau mouthpiece ke mulut, dikatupkan bibir
hingga rapat
6) Menekan tombol on
7) Benapaslah dengan perlahan ketika menghirup uap yang keluar dan uap
dihirup sampai obat habis
8) Menekan tombol off

Nebulizer terdiri dari beberapa bagian yang terpisah yang terdiri dari
generator aerosol, alat bantu inhalasi (masker, mouthpiece) dan obatnya sendiri.
Masker dan mouthpiece pada nebulizer memiliki beberapa ukuran yang dapat
disesuaikan untuk penggunaanya pada anak-anak atau orang dewasa, sehingga

3
diharapkan jika menggunakan masker atau mouthpiece dengan ukuran yang tepat,
larutan obat yang melalui nebulizer berubah menjadi gas aerosol tersebut dapat
dihirup/dihisap dengan baik dan keberhasilan terapi yang didapatkan juga
dirasakan optimal.

TERAPI DENGAN INHALASI

a. Definisi

Terapi inhalasi adalah terapi dengan pemberian obat secara inhalasI


(hirupan) langsung masuk ke dalam saluran pernapasan. Terapi pemberian secara
inhalasi pada saat ini makin berkembang luas dan banyak digunakan pada
pengobatan penyakit-penyakit saluran pernapasan. Berbagai jenis obat seperti
antibiotik, mukolitik, anti inflamasi dan bronkodilator sering digunakan pada
terapi inhalasi. Obat asma inhalasi yang memungkinkan penghantaran obat
langsung ke paru-paru, dimana saja dan kapan saja akan memudahkan pasien
mengatasi keluhan sesak napas penderita (Rahajoe, 2008).

b. Prinsip dasar terapi inhalasi

Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang tepat untuk penyakit system


respiratori adalah obat dapat mencapai organ target dengan menghasilkan partikel
aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru-paru dengan kerja yang cepat,
dosis kecil, efek samping yang minimal karena konsentrasi obat di dalam darah
sedikit atau rendah, mudah digunakan, dan efek terapeutik segera tercapai yang
ditunjukkan dengan adanya perbaikan klinis (Rahajoe, 2008). Agar mendapatkan
manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat
mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat inhalasi diberikan dalam
bentuk aerosol, yakni suspensi dalam bentuk gas (Yunus, 1995). Menurut
Suwondo (1991), keuntungan yang lebih nyata dari terapi inhalasi adalah efek
topikalnya yakni konsentrasi yang tinggi di paru-paru, dengan dosis obat yang
kecil 10% dari dosis oral dan efek sistemik yang minimal. Terapi inhalasi
dibandingkan terapi oral mempunyai dua kelemahan yaitu :

4
1) Jumlah obat yang mencapai paru-paru sulit dipastikan
2) Inhalasi obat ke dalam saluran napas dapat menjadi masalah koordinasi

Efektifitas terapi inhalasi tergantung pada jumlah obat yang mencapai


paru-paru untuk mencapai hasil yang optimal pasien harus dilatih untuk :

1) Ekshalasi sehabis-habisnya.
2) Bibir menutup/melingkari mouthpiece, tidak perlu terlalu rapat.
3) Semprotkan aerosol kurang lebih pada pertengahan inspirasi.
4) Teruskan inhalasi lambat-lambat dan sedalam mungkin.
5) Tahan napas dalam inspirasi penuh selama beberapa detik (bila mungkin
10 detik).

5
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ALAT TERAPI INHALASI

Cara penggunaan alat terapi inhalasi yang tepat tergantung pada tipe alat
terapi yang digunakan oleh pasien, pasien harus memahami tahap-tahap yang
tepat dalam menggunakan alat terapi inhalasi yang mereka gunakan
(NACA,2008). Berbagai jenis alat terapi inhalasi yang umumnya digunakan
seperti inhaler MDI (Metered Dose Inhaler), MDI (Metered Dose Inhaler) dengan
spacer, DPI (Dry Powder Inhaler), nebulizer jet maupun nebulizer ultrasonik
memiliki kelebihan dan kekurangan pada masing-masing alat terapi tersebut dapat

6
dilihat pada tabel 2 berikut:

7
OBAT-OBATAN

8
TERAPI INHALASI ASMA AKUT PADA ANAK

Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang paling sering dijumpai


pada anak. Kejadian asma meningkat dari tahun ke tahun baik di negara maju
maupun Negara berkembang. Peningkatan tersebut diduga karena pola hidup dan
faktor polusi lingkungan. Di Indonesia, diperkirakan 10% anak usia 6-12 tahun
menderita asma yang kemudian menurun menjadi 6,5 % pada usia 13-14 tahun.

Tujuan tatalaksana serangan asma adalah menghilangkan gejala sesegera


mungkin dan mengatasi hiperkarbia serta hipoksemia yang mungkin terjadi
sedangkan pada tatalaksana di luar serangan lebih mengutamakan pada kualitas
hidup yang tetap optimal.

Tatalaksana serangan asma akut berkembang pesat dengan penggunaan


terapi inhalasi sebagai penanganan awal, yang sebelumnya menggunakan obat
sistemik baik oral maupun injeksi.

Tatalaksana serangan asma bertujuan untuk menghilangkan gejala dan


hipoksemia sesegera mungkin. Untuk mengatasi hal tersebut maka yang paling
tepat adalah pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan terapi inhalasi adalah
obat langsung menuju sasaran, awitannya cepat, dosis minimal, dan efek samping
minimal. Pada serangan asma terjadi keadaan bronkokonstriksi sehingga
penanganan awal adalah pemberian bronkodilator, selain pemberian oksigen bila
terjadi hipoksemia. Bronkodilator yang digunakan adalah agonis beta-2 seperti
salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan lain lain. Bronkodilator tersebut harus
segera diberikan untuk menghindari dampak hipoksemia lama yang akan
mengakibatkan sekuele di kemudian hari.

Pada keadaan tertentu pemberian bronkodilator jenis agonis beta-2 saja


kurang efektif sehingga perlu ditambahkan jenis bronkodilator lain seperti
ipratropium bromida atau golongan xanthine. Ipratropium bromida adalah suatu
antikolinergik yang merupakan antagonis kompetitif asetilkolin yang bekerja
dengan cara berikatan di reseptor kolinergik sehingga menghambat efek
asetilkolin. Reseptor kolinergik yang dihambat adalah reseptor di otot polos dan

9
kelenjar submukosa sehingga mencegah peningkatan konsentrasi cyclic guanosine
monophosphate (cyclic GMP) intraselular yang terjadi akibat interaksi asetilkolin
dengan reseptor muskarinik pada otot polos bronkus. Dengan demikian dapat
menghambat kontraksi otot polos dan mengurangi sekresi kelenjar submukosa
saluran napas.

Ipratropium bromida merupakan derivat atropin yang dikenal sebagai


kuartener amonium sintetik. Secara makroskopik ipratropium bromida adalah zat
Kristal putih, sangat larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol, tapi tidak
larut dalam pelarut lipofilik seperti eter, kloroform, dan flurokarbon.

Ipratropium bromida tidak menembus sawar darah otak dan mukosa


gastrointestinal sehingga efek sistemiknya minimal, yaitu di bawah 1%. Meskipun
ipratropium bromide mempunyai efek bronkodilator, tetapi efek bronkodilatasinya
Lebih lemah dan awitan kerjanya lebih lambat bila dibandingkan dengan agonis
beta-2. Ipratropium bromide mempunyai waktu paruh yang cukup panjang
dibandingkan dengan agonis beta-2 sehingga penambahan ipratropium bromida
memperpanjang masa kerja obat bronkodilator secara keseluruhan. Ipratropium
bromida sangat jarang digunakan sebagai bronkodilator secara tunggal. Dengan
penambahan kedua obat tersebut didapatkan awitan kerja yang cepat dan masa
kerja yang lama. Seperti umumnya obat bronkodilator, ipratropium bromida
mempunyai efek samping mulut kering, mual, tremor, dan iritasi mata. Keluhan
palpitasi dijumpai pada sebagian kecil pengguna ipratropium bromida. Meskipun
ipratropium bromida termasuk derivat atropin tetapi tidak dijumpai efek samping
retensi urin, gangguan penglihatan dan agitasi seperti pada atropin.

Serangan Asma Ringan

Dalam Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak (PNAA), pemberian


bronkodilator cukup dengan agonis beta2 saja karena penambahan obat lain tidak
menimbulkan perbedaan yang bermakna. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
yang dikemukakan Storr dan Lenny, yang menyatakan bahwa efektivitas
penggunaan terapi kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida tidak

10
berbeda dalam hal penurunan skor gejala, perbaikan uji fungsi paru, dan angka
perawatan di rawat inap dibandingkan dengan pemberian beta-agonis sendiri saja
pada serangan ringan. Dengan dasar tersebut direkomendasikan bahwa pada
serangan asma ringan tidak diperlukan penambahan ipratropium bromida.

Serangan Asma Sedang

Pada serangan asma sedang diberikan inhalasi agonis beta-2, steroid


sistemik, dan oksigen serta penggantian cairan bila diperlukan. Inhalasi yang
diberikan cukup agonis beta-2 saja dan tidak diperlukan penambahan ipratropium
bromida. Namun pada penelitian-penelitian terakhir, disebutkan adanya
keuntungan yang didapat pada penggunaan kombinasi agonis beta-2 dengan
ipratropium bromide pada serangan asma sedang.

Beberapa penelitian mengenai penggunaan terapi kombinasi pada serangan


asma sedang mendapatkan hasil yang baik namun ada juga yang tidak bermakna.
Penelitian yang dilakukan oleh Schuch, mendapatkan hasil yang tidak berbeda
bermakna antara pemberian agonis beta-2 saja dengan penambahan ipratropium
bromida, baik dalam hal penurunan skor gejala, uji fungsi paru, maupun angka
kejadian perawatan. Penelitian lain oleh Kartiningsih mendapatkan bahwa
penambahan ipratropium bromide dibandingkan agonis beta-2 sendiri
memberikan hasil yang lebih baik dalam hal penurunan skor gejala, penurunan uji
fungsi paru, dan rerata saturasi oksigen. Hasil metaanalisis yang dilakukan
Rodrigo et al, mendapatkan bahwa pemberian ipratropium bersama agonis beta-2
dibandingkan agonis beta2 sendiri mempunyai hasil yang bermakna dalam hal
peningkatan uji fungsi paru: (FEV) yaitu sebesar 16,3% (IK 95% 8,2 sampai
24,5%) dan peningkatan PEFR sebesar 15% (IK 95% 5 sampai 24%) serta
penurunan angka perawatan di rumah sakit dengan RR 0,73 (IK 95% 0,63 sampai
0,85). Dengan demikian terlihat bahwa terdapat kecenderungan keberhasilan
penggunaan kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromide dibandingkan
agonis beta-2 sendiri pada serangan asma sedang.

11
Serangan Asma Berat

Pada tatalaksana serangan asma berat penggunaan agonis beta-2 bersama


ipratropium bromida menjadi keharusan karena mempunyai beberapa keuntungan.
Dengan penambahan ipratropium bromida pada inhalasi dengan agonis beta-2
mempunyai perbedaan yang cukup bermakna dalam hal peningkatan uji fungsi
paru, yaitu PEFR (peak expiratory flow rate) dan FEV1 (forced expiratory volume
in 1 second). Pada tahap awal (kurang dari 30 menit pasca inhalasi) terlihat tidak
ada perbedaan bermakna antara pemberian agonis beta-2 sendiri dengan
penambahan ipratropium bromida, tetapi setelah lebih dari 60 menit (1 jam)
terlihat adanya peningkatan uji fungsi paru secara bermakna baik PEFR maupun
FEV1.

Selain itu penambahan ipratropium bromida dapat memperbaiki obstruksi


saluran napas kecil yang dibuktikan dengan peningkatan FEF (forced expiratory
flow pada 25-75% vital capacity) setelah 60 menit pasca pemberian inhalasi. Pada
awal inhalasi tidak terdapat perbedaan uji fungsi paru FEF 25-75 antara agonis
beta-2 sendiri dengan penambahan ipratropium bromida tetapi setelah lebih dari
60 menit terlihat perbedaan secara bermakna. Penelitian meta-analisis
mendapatkan bahwa penggunaan agonis beta-2 bersama ipratropium bromida
dibandingkan agonis beta-2 sendiri meningkatkan uji fungsi paru (FEV1) sebesar
9,8% (IK 95% 6,5 sampai 13,1%) dan menurunkan angka perawatan di rumah
sakit dengan OR 0,62 (IK 95% 0,38 sampai 0,99). Tidak didapatkan perbedaan
efek samping antara keduanya baik tremor, nausea dan muntah.

Penatalaksanaan serangan asma berat sesuai standar harus dilakukan


bukan hanya pemberian kombinasi agonis beta-2 dan ipratropium bromida saja.
Penambahan terapi yang lain seperti pemberian oksigen, kortikosteroid sistemik,
aminofilin, dan suportif seperti penggantian cairan, koreksi asam basa dan
elektrolit harus diperhatikan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Richa Purnamasari, Arifah Sri Wahyuni. 2012. Evaluasi cara penggunaan Inhaler
dan Nebulizer pada pasien. Bab 1, Hal 3-4

Bambang Supriyatno. 2010. Terapi Kombinasi pada Serangan Asma Akut Anak.
Hal. 1-5

Alasen Sembiring Milala. 2013. Inhalasi sebuk kering sebagai Sistem


Penghantaran Obat Pulmonar. Hal 1-2

13

Anda mungkin juga menyukai