Anda di halaman 1dari 29

CASE REPORT

FARINGITIS AKUT

Disusun oleh:

Himawan Widyatmiko

1765050050

Pembimbing:

dr. Lina Marlina, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

PERIODE 10 DESEMBER 2018 – 19 JANUARI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

Faringitis adalah suatu keadaan inflamasi pada faring yang dapat disebabkan oleh
infeksi maupun non infeksi.1 Pada infeksi saluran pernapasan akut bagian atas (ISPA) yang
seringkali dijumpai sebagai alasan pasien datang berobat, faringitis selain melibatkan faring
(orofaring, nasofaring, hipofaring) biasanya juga melibatkan bagian lainnya yakni tonsil dan /
atau adenoid. Oleh karena itu sumber lain menyebutkan definisi faringitis sebagai suatu infeksi
atau iritasi dari faring dan / atau tonsil.2 Miikroorganisme penyebab faringitis sebagian besar
adalah virus (40-60%) dan bakteri (5-40%).1 Virus penyebab faringitis antara lain rhinovirus,
influenza dan parainfluenza virus, coxachievirus, cytomegalovirus, adenovirus, human
metapneumovirus, Syncytial virus (RSV), dan Epstein Barr Virus (EBV); sedangkan etiologi
lainnya yaitu Streptococcus β haemoliticus grup A, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia spp.,
dan Mycoplasma pneumonia.3 Secara global, faringitis merupakan penyebab utama seseorang
absen bekerja atau sekolah. ISPA sendiri berdasar hasil penelitian didapatkan prevalensinya
tahun 2007 di Indonesia adalah 25,5% (rentang 17,5% - 41,4%). Dari data epidemiologi,
faringitis menyerang semua ras dan jenis kelamin, lebih sering menyerang anak-anak
dibanding orang dewasa. Etiologi viral lebih banyak terjadi dibanding bakteri.3,4
Penyebab faringitis sebagian besar adalah virus, namun dalam keseharian, para praktisi
medis di Indonesia kebanyakan memberikan antibiotik pada pasien yang datang dengan gejala
faringitis. Disini kita sebagai dokter bisa saja melakukan tindakan yang “tidak ada gunanya”
karena prinsip penyakit dengan etiologi virus adalah self limiting disease dan terapi yang
diperlukan hanya istirahat dan peningkatan daya tahan tubuh saja, bila perlu diberikan terapi
simtomatik, tidak diperlukan antibiotik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. ANATOMI FARING


II.1.1 Lokasi dan Deskripsi Faring
Faring merupakan ruang utama traktus respiratorius dan traktus digestivus, terletak di
belakang cavum nasi, mulut dan laring. Bentuknya mirip corong dengan bagian atasnya yang
lebar terletak di bawah kranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai
oesophagus setinggi vertebra cervicalis VI. Faring mempunyai dinding musculomembranosa
yang tidak sempurna di bagian depan. Disini, jaringan musculomembranosa diganti oleh
apertura nasalis posterior, isthmus faucium (muara ke dalam rongga mulut), dan aditus
larynges.6

Gambar 2.1 Pharynx 7


Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm, dibentuk oleh selaput
lender, fascia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fascia bukofaringeal. Dinding
bagian samping dan belakang terdiri dari otot, karenanya ruangan dapat melebar (dilatasi) atau
menutup bila otot berkontraksi.

Berdasarkan letaknya, faring dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan


laringofaring (hipofaring). Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-
batas dari nasofaring adalah :

a. Batas atas : basis cranii


b. Batas bawah : palatum mole
3
c. Batas depan : rongga hidung
d. Batas belakang : vertebra servicalis

Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa stuktur
penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang
disebut fossa Rosenmuller, kantong Ranthke ─invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri─, torus tubarius ─refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba eustachius─,
koana, foramen jugulare yang dilalui oleh N.Glossopharingeus, N.Vagus, dan N.Asesorius.
Nasofaring tidak dapat tertutup sama sekali walaupun ukurannya dapat berubah-ubah. Melalui
aposisi palatum mole dan dinding belakang faring, nasofaring dapat dipisahkan secara
sempurna dari orofaring, gerakan ini terjadi sewaktu menelan, sehingga dalam keadaan normal
tidak mungkin bahan makanan masuk ke dalam nasofaring.

Orofaring disebut juga mesofaring karena terletak diantara nasofaring dan


laringofaring. Batas-batas orofaring :
a. Batas atas : palatum mole
b. Batas bawah : tepi atas epiglottis
c. Batas depan : rongga mulut
d. Batas belakang : vertebra cervicalis
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa
tonsil, arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum..
Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring dengan batas-batas
:
a. Batas atas : epiglottis
b. Batas depan : kartilago krikoidea
c. Batas depan : laring
d. Batas belakang : vertebra servicalis.

II.1.2 Histologi Faring


Epitel yang membatasi nasofaring merupakan epitel bertingkat silindris bersilia atau
epitel berlapis gepeng yang terdapat pada daerah yang mengalami pergesekan yaitu tepi
belakang palatum mole dan dinding belakang faring tempat kedua permukaan tersebut
mengalami kontak langsung sewaktu menelan. Daerah-daerah lainnya mempunyai jenis epitel
seperti saluran napas disertai dengan sel goblet. Lamina propria di daerah ini mengandung
banyak jaringan elastin, terutama di bagian luar yang berhubungan dengan otot rangka di
faring. Suatu submukosa hanya terdapat di bagian lateral nasofaring. Di dalam lamina propria

4
terdapat kelenjar, terutama kelenjar mukosa. Namun dapat pula dijumpai kelenjar serosa dan
kelenjar campuran.
Jaringan limfatik banyak dijumpai di seluruh bagian faring dan folikel-folikel limfatik
yang sebenarnya terdapat di bagian belakang nasofaring (adenoid atau tonsila faringeal), di
bagian lateral pada masing-masing sisi tempat peralihan rongga mulut dan orofaring (tonsila
palatina) dan pada akar lidah (tonsila lingua). Kumpulan jaringan limfoid di sebelah lateral
bagian nasofaring di sekitar muara saluran faringotimpani (Eustachii) seringkali cukup besar
hingga mendapat sebutan “tonsila tuba”.

II.1.3 Otot-otot Faring


Otot-otot pharynx terdiri atas m.constrictor pharyng superior, medius dan inferior,
yang serabut-serabutnya berjalan hampir melingkar, dan m.stylopharyngeus serta
m.salphingopharyngeus yang serabut-serabutnya berjalan dengan arah hampir longitudinal.
Kontraksi otot-otot konstriktor secara berturut-turut mendorong bolus ke bawah masuk
dalam oesophagus. Serabut-serabut paling bawah m.constrictor pharyng inferior kadang-
kadang disebut m.cricopharyngeus. Otot ini diyakini melakukan efek sphincter pada ujung
bawah faring, yang mencegah masuknya udara ke dalam oesophagus selama gerakan menelan.

Gambar 2.2 Otot-otot pharynx (tampak belakang)

II.1.4. Persarafan faring


Terdiri dari persarafan motorik dan sensorik. Persarafan motorik berasal dari pars
cranialis nervus accessories, yang berjalan melalui cabang nervus vagus menuju ke plexus

5
pharyngeus, dan mempersarafi semua otot faring, kecuali m.stylopharyngeus yang dipersarafi
oleh nervus glossopharyngeus.
Persarafan sensorik mukosa nasofaring terutama berasal dari nervus maxillaris.
Membrana mukosa orofaring terutama dipersarafi oleh nervus glossopharyngeus. Membrana
mukosa di sekitar aditus laryngeus dipersarafi oleh nervus ramus laryngeus internus nervus
vagus.6

Gambar 2.3. Persarafan faring.8


II.1.5. Pendarahan faring
Suplai arteri faring berasal dari cabang-cabang arteri pharyngea ascendens, arteri
palatine ascendens, arteri facialis, arteri maxillaries, dan arteri lingualis.
Sedangkan aliran vena bermuara ke plexus venosus pharyngeus, yang kemudian bermuara ke
vena jugularis interna.6

Gambar 2.4 Arteri pada Faring

6
II.1.6. Aliran Limfatik Faring
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yakni superior, media dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar
getah bening servikalis profunda superior. Saluran limfa media mengalirkan ke kelenjar getah
bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikalis profunda superior, sedangkan saluran limfa
inferior mengalirkan ke kelenjar getah bening servikalis profunda inferior.1,6

II.2. DEFINISI FARINGITIS


Faringitis adalah peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh infeksi
maupun non-infeksi.1 Faringitis adalah infeksi atau iritasi yang terjadi di faring dan / atau
tonsil.2 Faringitis adalah peradangan pada mukosa dan struktur yang menyusun tenggorokan.9

II.3. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI FARINGITIS


Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, virus (40-60%), bakteri
(5-40%). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis yang paling banyak
terindefintikasi dengan Rhinovirus (±20%) dan Coronavirus (±5%). Selain itu ada juga
Influenza virus, Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1&2, Coxasckie
virus, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr virus (EBV).1
Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya disebabkan oleh grup S.pyogens
dengan 5-15% penyebab faringitis pad orang dewasa. Group A Streptococcus (GABHS)
merupakan penyebab faringitis yang utama pada anak-anak berusia 5-15 tahun, namun jarang
ditemukan pada anak berusia < 3 tahun.1 Pada pasien dewasa GABHS terlibat dalam 10%
kasus.12 Bakteri penyebab faringitis lainnya (< 1 %) antara lain Neissseria gonorrhoe,
Corynebacterium diphteriae, Corynebacterium ulcerans, Yersini enterolitica, Mycobacterium
tuberculosis, dan Treponema pallidum.1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Terrance P. Murphy, et al, faringitis sebagian
besar diakibatkan oleh viral sebagai patogen, dengan 90% pada dewasa dan 70% pada anak.
GABHS lebih umum menyebabkan faringitis pada anak (15% - 30%) daripada dewasa (5% -
10%).11
Penelitian yang dilakukan di Indonesia dalam menemukan etiologi ISPA didapatkan
penyebab bakterial adalah Staphilococcus albus 10.7%, Streptococcus alpha 10,7%,
Staphilococcus aureus 3,6%, dan Pseudo diphteri 3,6%. Dari hasil isolasi virus dan tes serologi
ditemukan virus campak (paramyxovirus) 14,5%, Myxovirus 7,1%, dan influenza A 0,04%.12
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis.
Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh,
7
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, ventilasi rumah yang
kurang baik untuk mengurangi polusi asap dapur, terpapar asap rokok, alergi.12

Table 1. Etiologi Faringitis Akut10

II.4. KLASIFIKASI FARINGITIS


Berdasarkan perjalanan penyakitnya, faringitis dibagi menjadi faringitis akut dan
faringitis kronik. Masing-masing memiliki etiologi dan faktor predisposisi sendiri dalam
patogenesisnya.1

II.4.1. Faringitis Akut


II.4.1.1. Faringitis Viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan
faringitis. Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorokan, dan sulit menelan menjadi gejala
klinis yang timbul. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.
Virus influenza, coxsachievirus, dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.
Coxachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.

8
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala
konjungtivitis terutama pada anak. EBV menyebabkan
faringitis yang disertai eksudat pada faring yang
banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa diseluruh
tubuh terutama retrocervical dan hepatosplenomegali.
Faringitis yang disebabkan HIV menimbulkan keluhan
nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam.
Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat
eksudat, dan pasien tampak lemah.
Gambar 2.5 Faringitis Viral

II.4.1.2. Faringitis Bakterial


Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-
kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi dan
jarang disertai dengan batuk. Pada pemeriksaan
tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan
faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar,
kenyal, dan nyeri pada penekanan.
Gambar 2.6 Faringitis Streptococcal

II.4.1.3. Faringitis Fungal


Pasien dengan faringitis fungal akan datang
dengan keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan.
Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
mukosa faring lainnya tampak hiperemis. Organisme
penyebab biasanya adalah Candida sp.

II.4.2. Faringitis Kronik Gambar 2.7 Faringitis Fungal


Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis
kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring adalah rhinitis kronik, sinusitis,
iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan
debu. Faktor lainnya sebagai penyebab faringitis kronisk adalah pasien yang bernapas melalui
mulut karena hidungnya tersumbat.

9
II.4.2.1. Faringitis Kronik Hiperplastik
Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering, gatal, dan akhirnya batuk dengan sekret.
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring. Tampak
kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan akan
tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular.1

II.4.2.2. Faringitis Kronik Atrofi


Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dnegan rhinitis atrofi. Pada rhinitis
atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring. Pasien umumnya mengeluhkan tenggorokan kering dan
tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.1

II.5. PATOFISIOLOGI FARINGITIS


Penularan terjadi melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila
epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radangan
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian
edema dan sekresi meningkat. Eksudat awalnya serosa tetapi menjadi menebal dan kemudian
cenderung menjadi kering dan melekat pada dinding faring. Bentuk sumbatan yang berwarna
kuning, putih, dan abu-abu terdapat di dalam folikel jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel
limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior.11
Bakteri Streptococcus pyogens memiliki sifat penularan yang tinggi dengan droplet
yang berasal dari pasien faringitis. Droplet ini dikeluarkan melalui batuk dan bersin. Jika
bakteri hinggap pada sel sehat, bakteri ini akan bermultiplikasi dan mensekresikan toksin.
Toksin menyebabkan kerusakan pada sel hidup dan inflamasi pada orofaring dan tonsil.
Kerusakan jaringan ini ditandai dengan adanya tampakan kemerahan pada faring. Periode
inkubasi hingga gejala muncul yaitu sekitar 24-72 jam. Bakteri ini memiliku protein M, faktor
virulensi yang cukup kuat karena dapat mencegah fagositosis bakteri, dan terdapat pula kapsul
asam hialuronat yang memperkuat kemampuan bakteri untuk menginvasi jaringan. Beberapa
strain dari S.pyogens menghasilkan eksotoksin eritrogenik (multiple exotoxins dan 2 hemolisin
–Streptolisin S dan Streptolisin O) yang menyebabkan bercak kemerahan pada kulit leher,
dada, dan lengan. Bercak tersebut terjadi sebagai akibat dari kumpulan darah pada pembuluh
darah yang rusak akibat pengaruh toksin.14

10
II.6. GEJALA KLINIS FARINGITIS
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti demam,
anorexia, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring hiperemis, tonsil membesar,
pinggir palatum mole hiperemis, kelenjar limfe pada rahang bawah teraba dan nyeri bila
ditekan, dan bila dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai peningkatan laju endap
darah dan leukosit.1

Gambar 2.8 Patofisiologi Faringitis

11
II.7. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari anamnesa yang cermat dan
dilakukan pemeriksaan suhu tubuh dan evaluasi tenggorokan, sinus, telinga, hidung, dan leher.
Pada faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil yang membesar dan
hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher.
Menegakkan diagnosis dengan mengetahui etiologi penyakit tersebut akan
menghasilkan terapi yang tepat. Dikarenakan sebagian besar etiologi faringitis adalah virus dan
bakteri dan kedua etiologi ini berbeda tatalaksanya, untuk itu perlu diperhatikan gejala yang
khas terjadi pada kedua hal tersebut, apakah kasus yang kita hadapi adalah viral pharyngitis
atau bacterial pharyngitis. Berikut perbedaan gejala dari keduanya :10,11

Faringitis Virus Faringitis Bakteri


90% pada dewasa dan 70% pada anak Sering pada usia 5-15 tahun dan jarang pada
< 3 tahun
Batuk dan coryza Tidak terdapat batuk (khususnya GABHS)
Inflamasi konjungtiva sklera (pink eye) Scarlet fever rash (timbul 24-48 jam setelah
gejala lain muncul, terkadang muncul
sebagai gejala pertama)
Suara serak (hoarseness) Nyeri menelan
Biasanya tidak ditemukan nanah di Sering ditemukan eksudat purulen di
tenggorokan, tetapi ulserasi faring (+) berupa tenggorokan, petechiae pada palatum, tonsil
lesi papulovesicular abu-abu keputihan membesar, red tonsils (+/-)
dengan dasar eritem lalu menjadi ulcer
Demam ringan atau tanpa demam Demam ringan sampai sedang (> 38oC)
Jumlah sel darah putih normal atau agak Jumlah sel darah putih meningkat ringan
meningkat sampai sedang
Tes apus tenggorokan memberikan hasil Tes apus tenggorokan memberikan hasil
negatif positif untuk strep throat
Pada biakan di laboratorium tidak tumbuh Bakteri tumbuh pada biakan di laboratorium
bakteri

12
Kecurigaan khususnya faringitis akibat GABHS dapat menggunakan patokan Kriteria Centor15 :

Gambar 2.10. Kriteria Centor

II.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang biasanya digunakan apabila ada kecurigaan faringitis bakterial
/ GABHS. Selain karena influenza dan new-onset HIV, viral pharyingitis hanya membutuhkan
perawatan suportif dan tidak memerlukan tes/pemeriksaan penunjang lebih lanjut.14
Pemeriksaan yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dan terapi yang tepat antara
lain :

a. Pemeriksaan darah lengkap

Dapat ditemukan adanya peningkatan leukosit.

13
b. Kultur bakteri dengan swab tenggorok
Standar diagnosis untuk faringitis GABHS adalah dengan kultur swab
tenggorok. Terkadangan dengan teknik sampling saliva dan mukosa bukal yang
benar untuk dilakukan kultur masih menghasilkan hasil yang negatif.19 Kultur
tenggorok 90 – 95% sensitif, dengan 5-10% false negative oleh karena itu perlu
dilakukan kultur kembali pada pasien yang sebelumnya sudah dikultur dengan hasil
negatif, namun gejala klinisnya masih belum teratasi saat kembali berobat.20
Sample diambil dengan swab faring dan regio peritonsil, dibiakkan pada plat agar
darah domba. Hasil membutuhkan waktu 24-72 jam.11
c. GABHS rapid antigen detection test (RADTs)
Kekurangan dari kultur spesimen swab tenggorok adalah keterlambatan
waktu dalam memperoleh hasil, oleh karena itu dikembangkan pemeriksaan RASTs
yang juga menggunakan spesimen swab tenggorok ini walaupun biayanya lebih
mahal , namun hasil dapat diperoleh lebih cepat. Pemeriksaan ini menggunakan
enzim atau ekstraksi asam dari swab tenggorok. Sensitifitas 80-90% spesifisitas
95%. 21
d. Enzyme linked immunoabdorbent assay (ELISA)
Sensitifitas antara 76-97% dan spesifisitas >95%.22

II.9. PENATALAKSANAAN

Pada viral pharyngitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup, dan
berkumur dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu, seperti paracetamol atau
ibuprofen, untuk membantu mengurangi rasaa tidak nyaman di tenggorokan. Antivirus
metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simplex dengan dosis 60-100
mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun
diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4 – 6 kali pemberian/hari.1 Antibiotik tidak diindikasikan
untuk faringitis jenis ini. Penggunaan antiseptik / antibacterial spray atau kumur tidak
direkomendasikan karena dapat menyebabkan resistensi.15
Pada faringitis akibat bakteri idealnya tunda pengobatan sambil menunggu konfirmasi
kultur, namun secara praktik terutama bila diduga penyebabnya Streptococcus grup A
berdasarkan kriteria Centor, maka pengobatan antibiotik secara empiris dapat diterapkan.
Diberikan antibiotik yaitu Penicilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau
amoxicilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500 mg
selama 6 – 10 hari atau eritromisisn 4x500 mg/hari. Antibiotik yang diberikan setelah ada

14
konfirmasi kultur biasanya akan mengurangi keparahan gejala, mengurangi gejala satu per satu,
mengurangi resiko transmisi (setelah 24 jam terapi). Untuk GABHS, pemberian antibiotik
dianjurkan selama 10 hari untuk mencegah terjadinya rheumatic fever akut.15
Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan menggunakan kaustik
faring dengan zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electrocauter). Pengobatan
simptomatis diberikan obat kumur, jika diberikan dapat diberikan obat batuk antitusif atau
ekspektoran. Penyakit pada hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik
atrofi pengobatannya ditujukan pada rhinitis atrofi dan untuk faringitis kronik atrofi hanya
ditambahkan dengan obat kumur dan pasien diminta untuk menjaga kebersihan mulut.1

II.10. KOMPLIKASI
Komplikasi umum faringitis terutama timbul pada faringitis bakterial, dengan
komplikasi berupa otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia. Kekambuhan biasanya
terjadi pada pasien dengan pengobatan yang tidak tuntas pada pengobatan dengan antibiotik,

15
atau adanya paparan baru. Pada faringitis akibat GABHS, kompikasi dapat berupa demam
rheumatic (3 – 5 minggu setelah ISPA), poststreptococcal glomerulonefritis, toxic shock
syndrom, dan komplikasi supuratif seperti abses peritonsil (Quincy), absen retrofaring, cervical
lymphadenitis, mastoiditis, sinusitis, otitis media, endokarditis, bakteremia, dan meningitis.15
Pasien dengan abses peritonsil dan parafaring hanya terjadi < 1% dari pasien menjalani
pengobatan dengan antibiotik, biasanya gejala semakin memburuk dan timbul hot potato voice,
deviasi uvula sampai palatum, dan tampak masa peritonsil yang berfluktuasi. Poststreptoccocal
glomerulonefritis diduga disebabkan oleh reaksi antara circulating antibody complexes yang
mengikat laminin, kolagen tipe IV yang berada di ginjal. Pada pasien kemudian akan
ditemukan hematuria, edema, dan peningkatan ASTO. Sampai saat ini belum ada bukti
antibiotik yang dapat mencegah komplikasi ini. Rheumatic fever terjadi dalam < 1 dari 100.000
kasus GABHS faringitis di US dan negara berkembang. Diduga terjadi karena adanya reaksi
silang antara antibodi antistreptococcal dan antigen sarkolema otot dan ginjal sehingga
menimbulkan kerusakan pada otot jantung dan katup (terutama mitral), jaringan ikat, sendi,
dan susunan saraf pusat. Komplikasi infeksi mononukleus meliputi ruptur lien, hepatitis,
Guillain Barre Syndrome, ensefalitis, anemia hemolitik, myocarditis, dan Ca nasofaring.

II.11. PROGNOSIS
Umumnya prognosis pasien dengan faringits adalah baik. Pasien dengan faringitis
biasanya sembuh dalam waktu 1 – 2 minggu.1

16
BAB III
KESIMPULAN

Faringitis adalah peradangan pada mukosa dinding faring dan / atau tonsil dan struktur
yang menyusun tenggorokan yang dapat disebabkan oleh infeksi maupun non-infeksi.1,2,9
Faringitis yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah viral pharyngitis dengan
penyebab terbanyak adalah respiratory viruses. Penyebab lainnya yang perlu diwaspadai
adalah Streptoccocus β haemoliticus Group A karena dapat menyebabkan komplikasi
multiorgan. Etiologi faringitis lainnya antara lain Coronavirus, Influenza virus, Parainfluenza
virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1&2, Coxasckie virus, cytomegalovirus, Epstein-
Barr virus (EBV), Neissseria gonorrhoe, Corynebacterium diphteriae, Corynebacterium
ulcerans, Yersini enterolitica, Mycobacterium tuberculosis, dan Treponema pallidum.1 Faktor
resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, ventilasi rumah yang kurang
baik untuk mengurangi polusi asap dapur, terpapar asap rokok, alergi.1
Dalam menegakkan diagnosis faringitis, untuk memantapkan terapi apa yang akan
diberikan, perlu membedakan gejala klinis yang ditampilkan khas untuk viral pharyngitis atau
bacterial pharyngitis. Ciri viral pharyngitis antara lain terjadi 90% pada dewasa dan 70% pada
anak, terdapat batuk dan coryza, inflamasi konjungtiva sklera (pink eye), suara serak
(hoarseness), biasanya tidak ditemukan nanah di tenggorokan, tetapi ulserasi faring (+) berupa
lesi papulovesicular abu-abu keputihan dengan dasar eritem lalu menjadi ulcer, terdapat
demam ringan atau tanpa demam, jumlah sel darah putih normal atau agak meningkat, kelenjar
getah bening normal atau sedikit membesar, tes apus tenggorokan memberikan hasil negatif,
pada biakan di laboratorium tidak tumbuh bakteri, dan bisa terdapat diare. Sedangkan bacterial
pharyngitis sering terjadi pada usia 5-15 tahun dan jarang pada < 3 tahun, tidak terdapat batuk
(GABHS), scarlet fever rash (timbul 24-48 jam setelah gejala lain muncul, terkadang muncul
sebagai gejala pertama), nyeri menelan (+), sering ditemukan eksudat purulen di tenggorokan,
petechiae pada palatum, tonsil membesar, red tonsils (+/-), demam ringan sampai sedang (>
38oC), jumlah sel darah putih meningkat ringan sampai sedang, pembengkakan ringan sampai
sedang pada KGB (anterior cervical nodes), tes apus tenggorokan memberikan hasil positif
untuk strep throat, bakteri tumbuh pada biakan di laboratorium, dan bisa ditemukan adanya
abdominal pain, mual dan/atau muntah. 10,11 Untuk kecurigaan terhadap faringitis GABHS,
dapat menggunakan kriteria Centor.15 Apabila didapatkan kecurigaan adanya infeksi GABHS,
maka diperlukan untuk melakukan pemeriksaan penunjang lanjutan untuk memastikan dan
fokus mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa
17
kultur swab tenggorok, RADTs, dan ELISA. Namun dikarenakan pemeriksaan penunjang ini
membutuhkan waktu dan biaya yang banyak, maka apabila kriteria Centor terpenuhi, maka
penatalaksanaan untuk GABHS pharyngitis boleh diterapkan.
Pengobatan viral pharyngitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup, dan
berkumur dengan air yang hangat, analgetika jika perlu, penggunaan antiseptik / antibacterial
spray atau kumur tidak direkomendasikan.15 Untuk bacterial pharyngitis, obat pilihan adalah
penicillin V, cefadroxil, dan amoxicillin. Untuk alergi penicillin dapat diberikan klindamisin,
amoxiclav, dan eritromisin.15,24

18
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. DH

Umur : 58 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SMA

Alamat : Cipinang

Suku : Batak

Agama : Islam

Tanggal pemeriksaan : 5 Desember 2018

2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 5 Desember 2018


di Poli THT RSU UKI.

a. Keluhan utama : nyeri tenggorok

b. Keluhan tambahan : batuk dan nyeri menelan

c. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke poli THT RSU UKI dengan keluhan sakit tenggorokan
sejak 3 hari yang lalu. Sakit tersebut dirasakan terus menerus dan dirasakan
mengganggu aktivitas sehari-hari terutama saat makan atau minum. Awalnya
pasien mengatakan bahwa pasien mengkonsumsi gorengan yang berlebihan 5
hari yang lalu, setelah itu pasien mulai mengeluh rasa tidak nyaman di
tenggorok dan batuk. Batuk yang dirasakan tidak berdahak dan terus menerus
sehingga membuat tenggorok pasien terasa sakit. Sakit tenggorokan membuat
pasien menjadi sulit menelan makanan dan minuman. Pasien sudah mencoba
minum OBH untuk mengurangi keluhan. Keluhan batuk sudah tidak dirasakan,
namun rasa sakit di tenggorok masih tetap ada. Keluhan lain seperti demam,

19
rasa terbakar di ulu hati, mual muntah, suara serak, sesak nafas dan sendawa
disangkal. Pasien tidak memiliki keluhan pada hidung dan telinga.

d. Riwayat penyakit dahulu : maag disangkal.

e. Riwayat penyakit keluarga : disangkal.

f. Riwayat Alergi : disangkal.

g. Riwayat kebiasaan pribadi : tidak merokok, sering makan goring-gorengan.

3. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pemeriksaan fisik pada tanggal 5 Desember 2018 di Poli


THT RSU UKI.

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Komposmentis

Tanda-tanda vital :

•  Tekanan darah : 120/70 mmHg

•  RR : 20x/menit

•  Nadi : 92x/menit

•  Suhu : 36,7oC

20
Status Lokalis – Telinga:

Telinga Luar

Kanan Kiri

Normotia, Fistula (-), Normotia, Fistula (-),


Aurikula Hematoma (-), Nyeri Hematoma (-), Nyeri
Tarik (-) Tarik (-)

Normal; Fistel (-); Normal; Fistel (-


Auricula acc (-), );Auricula acc (-),
Preaurikuler
Sikatriks (-); Nyeri tekan Sikatriks (-); Nyeri
tragus (-) tekan tragus (-)

Normal; Pembesaran Normal; Pembesaran


Infraaurikuler kelenjar parotis (-). kelenjar parotis (-).
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Normal; Bengkak (-) Normal; Bengkak (-)


Retroaurikuler Sikatriks (-); Hematoma Sikatriks (-); Hematoma
(-); Nyeri Tekan (-) (-); Nyeri Tekan (-)

Kanan Kiri

Liang Telinga Lapang Lapang

Warna Epidermis Merah Muda Merah Muda

Sekret - -

Serumen - -

Kelainan Lain Tidak ditemukan Tidak ditemukan

21
Membran
Kanan Kiri
Timpani

Intak + +

Putih keabu-abuan Putih keabu-abuan


Warna
seperti mutiara seperti mutiara

Refleks Cahaya + +

Perforasi - -

Tidak ditemukan Tidak ditemukan


Kelainan Lain
kelainan kelainan

Uji Pendengaran

Kanan Kiri

Rinne Positif Positif

Weber Tidak ada lateralisasi

Sama dengan Sama dengan


Swabach
pemeriksa pemeriksa

Audiogram Normal (8,75 dB) Normal (11,25 dB)

Uji Tidak ada gangguan keseimbangan


Keseimbangan

22
Status Lokalis – Hidung :

Luar

Kanan Kiri

Normal; Simetris, Normal; Simetris,


Bentuk Luar Deviasi (-), Saddle Deviasi (-), Saddle
nose (-) nose (-)

Deformitas Tidak ditemukan Tidak ditemukan

Nyeri Tekan

- Dahi Tidak ada Tidak ada

- Pipi Tidak ada Tidak ada

Krepitasi Tidak ditemukan Tidak ditemukan

Dalam (Rinoskopi Anterior)

Kanan Kiri

Vestibulum Nasi Furunkel (-) Furunkel (-)

Kavum Nasi Lapang Lapang

Mukosa Merah muda Merah muda

Konka Media- Eutrofi; Licin Eutrofi; Licin

Konka Inferior Eutrofi; Licin Eutrofi; Licin

Meatus Nasi Sekret (-) Sekret (-)

Septum Deviasi Tidak ada Tidak ada

23
Sekret Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Tidak Tidak
Kelainan lain
ditemukan ditemukan

Transiluminasi Kanan Kiri

Sinus Maksilaris Terang Terang

Sinus Frontalis Terang Terang

Status Lokalis – Mulut, Tenggorok dan Leher :

Mulut Hasil Pemeriksaan

Gigi Molar III kanan-kiri bawah dicabut;


Gigi
Karies (-)

Gusi Merah muda, Gusi berdarah (-)

Lidah Coated tongue (-);

Kelainan Lain Tidak ditemukan

Faring Hasil Pemeriksaan

Uvula Ditengah; Merah muda

Arkus Faring Simetris; merah muda

Mukosa Hiperemis

24
Dinding Faring Granul (-)

Tonsil Hasil Pemeriksaan

Ukuran T1-T1

Mukosa Merah muda

Kripta Tidak melebar

Detritus, Perlekatan Tidak ada

Status Lokalis – Kelenjar Getah Bening


Hasil Pemeriksaan

Submentalis Tidak teraba pembesaran

Submandibularis Tidak teraba pembesaran

Colli Anterior Tidak teraba pembesaran

Colli Posterior Tidak teraba pembesaran

Supraclaviculae Tidak teraba pembesaran

Infraclaviculae Tidak teraba pembesaran

4. Diagnosis

Diagnosis Kerja:

Faringitis Akut et causa Viral

25
Diagnosis banding:

- Faringitis Bakteri
- Faringitis Jamur
- Laringopharyngeal Refkux

5. Penatalaksanaan

Non Medikametosa

 Istirahat yang cukup.


 Makan makanan yang lunak, dan perbanyak minum minuman yang hangat.
 Mengurangi konsumsi goreng-gorengan.
Medikamentosa

 Analgetik

6. Resume

Ny. DH usia 58 tahun datang ke poli THT RSU UKI dengan keluhan sakit
tenggorokan sejak 3 hari yang lalu. Sakit tersebut dirasakan terus menerus dan dirasakan
mengganggu aktivitas sehari-hari terutama saat makan atau minum. Keluhan disertai
dengan rasa tidak nyaman di tenggorokan. Riwayat batuk (+) perbaikan. Riwayat makan
gorengan (+). Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan mukosa faring hiperemis.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorokan kepala leher. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.p.217-9.
2. Acerra JR. Ed: Dyne PL. Pharyngitis. Medscape. Updated on April 25th 2013. Availabe at:
http://emedicine.medscape.com/article/764304-overview. Accessed on: December 26th
2018.
3. Naghipour M, Cuevas LE, Bakhshinejad T, Mansour-Ghanaei F, Noursalehi S, Alavy
A, Dove W, Hart CA.J Trop Pediatr. 2007 Jun;53(3):179-84. Epub 2007 Feb 7.
Contribution of viruses, Chlamydia spp. and Mycoplasma pneumoniae
to acute respiratory infections in Iranian children. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17287243. Accesed December 26th 2018.
4. Esposito S, Blasi F, Bosis S, Droghetti R, Faelli N, Lastrico A,et al. 2004 Jul;53(Pt 7):645-
51. J Med Microbiol. Aetiology of acute pharyngitis: the role of atypical bacteria.
Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15184536. Accesed on December 27th
2018.
5. Chi H, Chiu NC, Li WC, Huang FY. 2003 Mar;36(1):26-30. J Microbiol Immunol Infect.
Etiology of acute pharyngitis in children: is antibiotic therapy needed?. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12741729. Accesed on December 27th 2018.
6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit buku kedokteran
EGC.Jakarta. 1997.
7. Head and neck cancer. Remedy’s health communities. Updated September 7th 2011.
Available at: www.oncologychannel.com/headneck/anatomy.shtml. Accessed on
December 28th 2018.
8. Snell, Richard. Anatomi Klinik. EGC. Jakarta : 2000
9. Gerber MA. Diagnosis and treatment of pharyngitis in children. Department of Pediatrics,
University of Cincinnati College of Medicine.
10. Bluestone CD, Sylvan ES, Kenna MA. Pediatric Otolaringology, Volume Two, 3rd Edition.
WB Saunders Company, Philadelphia, USA. Elsevier Inc. 2005.

27
11. Murphy TP, Harrison RV, Hammoud AJ, Yen G, Klein KC. Pharyngitis. Faculty group
practice quality management program university of Michigan. Taubman Medical Library.
May, 2013.
12. Lubis I, Majanis S, Mulyono W, Djoko Y, Noenoeng R. Etiologi infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) dan faktor lingkungan. Bul penelit kesehat 18 (2) 1990.
13. Centers for Disease Control and Prevention. Adult appropriate antibiotic use summary:
physician information sheet (adults). Updated June 25 June 2012. Available at:
http://www.cdc.gov/getsmart/campaign-materials/info-sheets/adult-appropsummary.html.
Accessed on: December 28th 2018.
14. Wilson A. Pharyngitis. In: Skolnik NS. Essential infectious disease topics for primary care.
2008. Humana Press.p.16.
15. Alberta medical association. Guideline for the diagnosis and management of acute
pharyngitis. Updated 2008.
16. Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM, Kaplan EL, Schwartz RH. Practice guidelines for
the diagnosis and management of group A streptococcal pharyngitis. Clin Infect Dis
2002;35:113– 25.
17. American Academy of Pediatrics Committee on Infectious Diseases. Red Book: report of
the Committee on Infectious Diseases. 26th edition. Elk Grove Village (IL)7 American
Academy of Pediatrics; 2003.
18. Snow V, Mottur-Pilson C, Cooper RJ, Hoffman JR. Principles of appropriate antibiotic use
of acute pharyngitis in adults. Ann Intern Med 2001;134:506–8.
19. Brien J, Bass J. Streptococcal pharyngitis: optimal site for throat culture. Clin Lab
Observations, 1985; 106: 781-783.
20. Crawford G, Brancato F, Holmes K. Streptococcal pharyngitis: diagnosis by Gram stain.
Annals of Internal Medicine, 1979; 90: 293-297.
21. Lieu TA, Fleisher GR, Schwartz JS. Clinical evaluation of a latex agglutination test for
streptococcal pharyngitis: performance and impact on treatment rates. Pediatr Infect Dis J
1988;7:847– 54.
22. Hayes CS, Williamson JR. Management of group A beta-hemolytic streptococcal
pharyngitis. American Family Physician. 2001;63 (8):1557–1564.

28
23. Vincent MT, Celestin N, Hussain AN. Pharyngitis. American Family Physician.
2004;69(6):1465–1470.
24. Cooper RJ, Hoffman JR, Bartlett JG, et al. Principles of appropriate antibiotic use for acute
pharyngitis in adults: background. Annals of Internal Medicine. 2001;134(6):509–517.
25. Merrill B, Kelsberg G, Jankowski TA, Danis P. What is the most effective diagnostic
evaluation of streptococcal pharyngitis? The Journal of Family Practice.
2004;53(9):734,737–738, 740.
26. Vincent MT, Celestin N, Hussain AN. Pharyngitis. American Family Physician.
2004;69(6):1465–1470.

29

Anda mungkin juga menyukai