Anda di halaman 1dari 117

MK.

Hidrologi John Frans

BAB I
SIKLUS HIDROLOGI

A. Pendahuluan
Ceritakan proses terjadinya hujan !

Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan
neraca air.

Tujuan yang ingin dicapai (TIK) setelah mengikuti materi ini adalah mahasiswa akan dapat :
a. Menjelaskan pengertian hidrologi dengan benar
b. Menjelaskan dan menggambar siklus hidrologi dengan baik dan benar.
c. Menjelaskan tentang sifat-sifat air dengan benar.
d. Menjelaskan hubungan antara sirkulasi air dan neraca air dengan baik.

B. Penyajian
1.1. Pengertian Hidrologi
Hidrologi termasuk salah satu cabang ilmu geografi (ilmu bumi) dan sudah mulai
dikembangkan oleh para filsuf kuno, antara lain dari Yunani, Romawi, Cina dan Mesir. Dimana
air dianggap sebagai bagian dari unsur utama bersama-sama dengan bumi, udara dan api.
Secara harafiah “hidrologi” berasal dari bahasa Yunani, yakni “hydro” dan “loge”. Hydro
berarti sesuatu yang berhubungan dengan air dan loge berarti pengetahuan. Jadi hidrologi
adalah ilmu pengetahuan yang secara khusus mempelajari tentang kejadian, perputaran dan
penyebaran air di atmosfir dan permukaan bumi serta di bawah permukaan bumi. Secara luas
hidrologi meliputi pula berbagai bentuk air, termasuk transformasi antara keadaan cair, padat,
dan gas dalam atmosfir, di atas dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air
laut yang merupakan sumber dan penyimpan air yang mengaktifkan kehidupan di planet bumi
ini.
Ruang lingkup hidrologi mencakup :
1. pengukuran, mencatat, dan publikasi data dasar.
2. deskripsi propertis, fenomena, dan distribusi air di daratan.
3. analisa data untuk mengembangkan teori-teori pokok yang ada pada hidrologi.
4. aplikasi teori-teori hidrologi untuk memecahkan masalah praktis.

1
MK. Hidrologi John Frans

Hidrologi bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, tetapi ada hubungan dengan ilmu lain, seperti
meteorologi, klimatologi, geologi, agronomi kehutanan, ilmu tanah, dan hidrolika.
Menurut The International Association of Scientific Hydrology, hidrologi dapat dibagi menjadi:
1. Potamologi (Potamology), khusus mempelajari aliran permukaan (surface streams)
2. Limnologi (Limnology), khusus mempelajari air danau
3. Geohidrologi (Geohydrology), khusus mempelajari air yang ada di bawah permukaan
tanah (mempelajari air tanah = groundwater)
4. Kriologi (Cryology), khusus mempelajari es dan salju
5. Hidrometeorologi (Hydrometeorology), khusus mempelajari problema-problema yang
ada diantara hidrologi dan meteorologi.

Model Sederhana Siklus Hidrologi

2
MK. Hidrologi John Frans

1.2. Siklus Hidrologi


a). Penguapan
Proses perubahan air menjadi uap air disebut penguapan. Penguapan memerlukan energi
panas, misalnya api kompor. Penguapan di alam (penguapan air laut dan air yang ada di
daratan) terjadi dengan bantuan energi panas dari sinar matahari.
Pada penguapan air laut, garam yang terkandung dalam air laut tidak ikut diuapkan (tetap
tertinggal di laut). Jika uap air laut diembunkan akan diperoleh air tawar yang relatif murni.

b). Tingkat Penguapan


Tingkat penguapan bergantung pada dua faktor yang berbeda, yaitu:
• Suhu udara
• Besar kandungan uap air yang terdapat di udara.
Semakin tinggi suhu udara, semakin banyak uap air diserap oleh udara. Semakin kecil
persentase uap air di udara, semakin banyak uap air dapat diserap udara.
Suhu udara di padang pasir pada siang hari cukup tinggi, maka apa bila terdapat air permukaan
akan terjadi penguapan yang tinggi.

c). Bentuk Penguapan


Penguapan air dapat terjadi melalui tumbuhan maupun permukaan bumi. Penguapan air melalui
tumbuhan disebut transpirasi.
Dengan demikian terdapat dua bentuk penguapan air yang berbeda di alam:
• Penguapan di permukaan bumi (dari lautan, daratan).
• Penguapan melalui tumbuhan (disebut transpirasi).

Gambar 1.1. Proses Penguapan

3
MK. Hidrologi John Frans

1.2. Tingkat Penguapan

Gambar 1.3. Bentuk Penguapan

d). Kondensasi Uap Air


Kondensasi merupakan proses kebalikan dari penguapan. Kondensasi uap air berarti proses
perubahan uap air menjadi air (proses pengembunan).
Di udara, kondensasi uap air terjadi jika:
• Udara yang sudah jenuh uap air ditambah uap air atau zat lain
• Suhu udara yang jenuh uap air turun
Uap air yang mengembun di udara membentuk tetes-tetes air yang sangat kecil dan dapat
dilihat sebagai awan di langit.

4
MK. Hidrologi John Frans

e. Transportasi oleh Angin


Udara yang mengandung uap air atau awan dapat terbawa angin ke tempat lain. Oleh karena itu
angin memiliki peran penting dalam menentukan daerah dimana hujan akan terjadi.

f). Hujan
Tetes-tetes air hasil kondensasi terlalu kecil untuk dapat jatuh ke bumi, tetes-tetes air yang
sangat kecil ini mungkin akan menguap kembali.
Dengan bantuan transportasi angin, maka dapat diperkirakan bahwa sampai satu juta tetes-
tetes air yang sangat kecil tadi akan bertumpuk dan membentuk satu tetes air yang lebih besar.
Tetes-tetes air besar inilah yang dapat jatuh sampai ke permukaan bumi sebagai tetesan hujan.
Di daerah iklim sedang dengan ketinggian tertentu, kristal-kristal es bertumpuk dengan tetes-
tetes air yang sangat kecil tadi dan membentuk satu gumpalan es. Gumpalan es ini akan
meleleh pada waktu jatuh dan sampai ke bumi sebagai tetesan hujan.
Hujan lebih banyak terjadi di daerah pegunungan dibandingkan dengan dataran rendah, karena
suhu udara jenuh uap air, akan mengalami penurunan suhu setelah dibawa oleh angin dari
dataran rendah ke pegunungan.
Besarnya curah hujan di pegunungan ditambah dengan pepohonan yang lebat menyebabkan
ketersediaan air bersih di pegunungan relatif banyak.

Gambar 1.4. Transportasi oleh Angin

5
MK. Hidrologi John Frans

Gambar 1.5. Peristiwa Kondensasi

Gambar 1.6. Air Hujan

g). Peresapan Air


Air hujan yang jatuh ke tanah tidak seluruhnya langsung mengalir sebagai air permukaan, tetapi
ada yang terserap oleh tanah. Peresapan air ke dalam tanah pada umumnya terjadi melalui dua
tahapan, yaitu infiltrasi dan perkolasi (gambar 2.10). Infiltrasi adalah gerakan air menembus
permukaan tanah masuk ke dalam tanah. Perkolasi adalah proses penyaringan air melalui pori-
pori halus tanah sehingga air bisa meresap ke dalam tanah.
Kedalaman air yang masuk ke tanah bergantung dari beberapa faktor, yaitu: jumlah air hujan,
porositas tanah, jumlah tumbuh-tumbuhan serta lapisan yang tidak dapat ditembus oleh air. Air
yang tertahan oleh lapisan kedap air (misalnya batu) membentuk air tanah. Air tersebut dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Di daerah perkotaan yang padat penduduknya peresapan air kecil sekali, karena sebagian
besar lahan tanah tertutup/dilapis aspal atau dibeton dan perumahan dibangun dimana-mana,
sehingga luas tanah terbuka semakin sempit sehingga semakin sedikit pula dapat menyerap air.
Seharusnya beberapa tempat di kota dibiarkan terbuka sebagai tanah resapan air hujan.

6
MK. Hidrologi John Frans

h). Sumber-sumber Air di Alam


Terbentuknya sumber - sumber air di alam mengalami serangkaian proses. Air hujan jatuh ke
tanah kemudian meresap ke dalam tanah. Sampai di kedalaman tertentu, air tersebut tertahan
oleh lapisan batu-batuan (lapisan kedap air), yang membendung air sehingga tidak terus
meresap ke bawah. Dari celah-celah bebatuan tersebut dapat kita temukan sumber air yang
jernih dan tidak tercemar.

h.1). Air Permukaan


Air permukaan adalah air yang menggenang atau mengalir di permukaan tanah, misalnya
danau, sungai dan rawa-rawa.
Sungai merupakan pengumpulan dari tiga jenis limpasan, yaitu: limpasan permukaan, limpasan
di bawah permukaan dan limpasan air tanah, yang akhirnya akan kembali ke laut.

Gambar 1.7. Infiltrasi dan Perkolasi

7
MK. Hidrologi John Frans

Gambar 1.8. Proses Terbentuknya Sumber-sumber Air di Alam

Gambar 1.9. Air Permukaan

1.3. Daur Hidrologi


Siklus air atau daur hidrologi adalah pola sirkulasi air dalam ekosistem.
Gerakan air laut ke udara, kemudian jatuh ke permukaan tanah, dan akhirnya mengalir
ke laut lagi disebut “Siklus Hidrologi” (CD. Soemarto, 1999) . Siklus ini dapat dilukiskan secara
skematik seperti terlihat pada Gambar 1.10 dan 1.11.
Proses-proses dalam Siklus Air, adalah sebagai berikut:
a. Penguapan, yaitu proses perubahan air menjadi uap air dengan bantuan energi panas dari
sinar matahari
b. Transpirasi, yaitu proses penguapan air yang terjadi melalui tumbuhan
c. Kondensasi, yaitu proses perubahan uap air menjadi tetes-tetes air yang sangat kecil
(pengembunan)

8
MK. Hidrologi John Frans

d. Transportasi, yaitu proses pengangkutan awan/uap air oleh angin menuju ke daerah
tertentu yang akan kejatuhan hujan
e. Hujan, yaitu proses jatuhnya tetes-tetes air “besar” (tumpukan tetes-tetes air kecil hasil
kondensasi) sampai ke permukaan bumi
f. Infiltrasi, yaitu gerakan air hujan menembus permukaan tanah kemudian masuk ke dalam
tanah (Peresapan)
g. Perkolasi, yaitu proses penyaringan air melalui pori-pori halus tanah sehingga air dapat
meresap dalam tanah (Peresapan)
h. Aliran Air Dalam Tanah, yaitu air hujan yang meresap ke dalam tanah dan mengalir di atas
lapisan kedap air sampai muncul kembali di permukaan tanah sebagai mata air, atau
mengalir hingga ke laut.
i. Aliran Air Permukaan, yaitu air hujan yang tidak meresap ke dalam tanah melainkan
menggenang atau mengalir di permukaan tanah.

Evaporasi dari
air permukaan

Limpasan Permukaan
Awan
Transpirasi

Hujan

Evaporasi
Evaporasi dari daratan
dari laut
Permukaan phreatik
(muka air tanah)

Aliran Air Tanah

Gambar 1.10. Siklus Hidrologi

9
MK. Hidrologi John Frans

Gambar 1.11. Siklus Air

10
MK. Hidrologi John Frans

Siklus hidrologi merupakan suatu sistim yang tertutup, dalam arti bahwa pergerakan air
pada sistim tersebut selalu tetap berada di dalam sistimnya. Siklus hidrologi terdiri dari enam
sub sistim yaitu :
a. air di atmosfir
b. aliran permukaan
c. aliran bawah permukaan
d. aliran air tanah
e. aliran sungai/saluran terbuka
f. air di lautan dan air genangan
Air di lautan dan genangan (danau, rawa, waduk), oleh karena adanya radiasi matahari
maka air tersebut akan menguap ke dalam atmosfir. Uap air akan berubah menjadi hujan
karena proses pendinginan (kondensasi). Sebagian air hujan yang jatuh di permukaan bumi
akan menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan sebagian meresap ke dalam tanah menjadi
aliran bawah permukaan melalui proses infiltrasi dan perkolasi, selebihnya akan berkumpul di
dalam jaringan alur (sungai alam atau buatan) menjadi aliran sungai atau saluran terbuka dan
mengalir kembali ke laut. Sebagian air hujan yang tertahan oleh tumbuh-tumbuhan dan
sebagian lagi yang jatuh langsung ke dalam laut dan danau akan menguap kembali ke atmosfir.
Sebagian dari air bawah permukaan kembali ke atmosfir melalui proses penguapan dan
transpirasi oleh tanaman dan sebagian lagi menjadi aliran air tanah melalui proses perkolasi,
dan mengalir ke lautan.

1.4. Sifat-Sifat Air


Air berubah ke dalam tiga bentuk/sifat menurut waktu dan tempat, yakni air sebagai
bahan padat, air sebagai cairan dan air sebagai uap seperti gas. Umumnya benda menjadi kecil
jika suhu menjadi rendah. Tetapi air mempunyai volume yang minimum pada suhu 4° C. Lebih
rendah dari 4°C, volume air itu menjadi agak besar. Pada pembekuan, volume es menjadi 1/11
kali lebih besar dari volume air semula.
Mengingat es mengambang di permukaan air (karena es lebih ringan dari air), maka
keseimbangan antara air dan es dapat dipertahankan oleh pembekuan dan pencairan. Jika es
lebih berat dari air, maka es itu akan tenggelam ke dasar laut atau danau dan makin lama makin
menumpuk yang akhirnya akan menutupi seluruh dunia.

11
MK. Hidrologi John Frans

1.5. Siklus dan Neraca Air


Proses sirkulasi air pada Gambar 1.2 merupakan hubungan antara aliran ke dalam
(inflow) dan aliran ke luar (outflow) pada suatu daerah dalam periode waktu tertentu. Hal ini
dapat dikatakan atau disebut dengan “neraca air”.
Hubungan Keseimbangan ini adalah sebagai berikut :
P = D + E + G + M ............................................................................... (1.1)
Dimana :
P = Presipitasi
D = Debit
E = Evaporasi
G = Penambahan (supply) air ke tanah
M = Penambahan kadar kelembababan tanah

Presipitasi

Evaporasi
(penguapan)
Air Permukaan
Limpasan

Presipitasi Air Keluar


Uap Air Curah Hujan Perkolasi

Perkolasi Kelembababan Tanah


dan Air Tanah
Evaporasi
(penguapan)

Presipitasi

Gambar 1.2. Sirkulasi Air

12
MK. Hidrologi John Frans

Pengenalan Istilah-istilah Hidrologi


a. Presipitasi
Hujan (presipitasi) merupakan masukan utama dari daur hidrologi dalam DAS. Dampak kegiatan
pembangunan terhadap proses hidrologi sangat dipengaruhi intensitas, lama berlangsungnya,
dan lokasi hujan. Karena itu perencana dan pengelola DAS harus memperhitungkan pola
presipitasi dan sebaran geografinya.

b. Intersepsi
Hujan yang jatuh di atas tegakan pohon sebagian akan melekat pada tajuk daun maupun
batang, bagian ini disebut tampungan/simpanan intersepsi yang akhirnya segera menguap.
Besar kecilnya intersepsi dipengaruhi oleh sifat hujan (terutama intensitas hujan dan lama
hujan), kecepatan angin, jenis pohon (kerapatan tajuk dan bentuk tajuk). Simpanan intersepsi
pada hutan pinus di Italia utara sekitar 30% dari hujan (Allewijn, 1990). Intersepsi tidak hanya
terjadi pada tajuk daun bagian atas saja, intersepsi juga terjadi pada seresah di bawah pohon.
Intersepsi akan mengurangi hujan yang menjadi run off.

c. Throughfall, Crown drip, Steamflow


Hujan yang jatuh di atas hutan ada sebagian yang dapat jatuh langsung di lantai hutan melalui
sela-sela tajuk, bagian hujan ini disebut throughfall. Simpanan intersepsi ada batasnya,
kelebihannya akan segera tetes sebagai crown drip. Steamflow adalah aliran air hujan yang
lewat batang, besar kecilnya stemflow dipengaruhi oleh struktur batang dan kekasaran kulit
batang pohon.

d. Infiltrasi dan Perkolasi


Proses berlangsungnya air masuk ke permukaan tanah kita kenal dengan infiltrasi, sedang
perkolasi adalah proses bergeraknya air melalui profil tanah karena tenaga gravitasi. Laju
infiltrasi dipengaruhi tekstur dan struktur, kelengasan tanah, kadar materi tersuspensi dalam air
juga waktu.

e. Kelengasan Tanah
Kelengasan tanah menyatakan jumlah air yang tersimpan di antara pori-pori tanah. Kelengasan
tanah sangat dinamis, hal ini disebabkan oleh penguapan melalui permukaan tanah, transpirasi,

13
MK. Hidrologi John Frans

dan perkolasi. Pada saat kelengasan tanah dalam keadaan kondisi tinggi, infiltrasi air hujan
lebih kecil daripada saat kelengasan tanah rendah. Kemampuan tanah menyimpan air
tergantung dari porositas tanah.

f. Simpanan Permukaan (Surface Storage)


Simpanan permukaan ini terjadi pada depresi-depresi pada permukaan tanah, pada perakaran
pepohonan atau di belakang pohon-pohon yang tumbang. Simpanan permukaan menghambat
atau menunda bagian hujan ini mencapai limpasan permukaan dan memberi kesempatan bagi
air untuk melakukan infiltrasi dan evaporasi.

g. Runoff Runoff
Adalah bagian curahan hujan (curah hujan dikurangi evapotranspirasi dan kehilangan air
lainnya) yang mengalir dalam air sungai karena gaya gravitasi; airnya berasal dari permukaan
maupun dari subpermukaan (sub surface). Runoff dapat dinyatakan sebagai tebal runoff, debit
aliran (river discharge) dan volume runoff.
Komponen Runoff

C. Penutup

Soal-Soal :

1. Jelaskan pengertian dari hidrologi !


2. Jelaskan tentang siklus hidrologi !
3. Jelaskan pengertian dari :
a. Kondensasi
b. Transpirasi
4. Sebutkan enam sub system dari siklus hidrologi!
5. Jelaskan hubungan antara sirkulasi air dan neraca air !

14
MK. Hidrologi John Frans

Daftar Pustaka
Soemarto,C.D.,1999, Hidrologi Teknik , Erlangga, Jakarta
Sosrodarsono, 2003, Hidrologi untuk Pengairan, Departemen pekerjaan Umum dan Tenaga
Listrik.

Daftar Istilah

Hidrologi
Siklus hidrologi
Presipitasi
Atmosfir
Kondensasi
Inflow
Outflow
Neraca Air
Debit
Evaporasi
Evapotranspirasi

15
MK. Hidrologi John Frans

BAB II
ELEMEN-ELEMEN METEOROLOGI

A. Pendahuluan
Pada bab ini akan dipelajari tentang pengertian dari presipitasi, proses terjadinya presipitasi,
cara pengamatan/pengukuran curah hujan serta proses terjadinya dan pengamatan/pengukuran
pada evaporasi dan evapotranspirasi.

Tujuan yang ingin dicapai (TIK) setelah mengikuti materi ini adalah mahasiswa akan dapat :

a. Menjelaskan pengertian presipitasi dengan benar.


b. Menyebutkan dan menjelaskan cara pengukuran curah hujan dengan baik.
c. Menerangkan pengertian evaporasi dengan benar.
d. Menyebutkan dan menjelaskan cara pengukuran evaporasi dengan baik.
e. Menghitung besarnya evaporasi berdasarkan contoh soal dengan benar.
f. Menerangkan pengertian evapotranspirasi dengan benar.
g. Menyebutkan dan menjelaskan cara pengukuran evapotraspirasi dengan baik.

B. Penyajian
2.1. Presipitasi
Presipitasi adalah nama umum dari uap yang mengkondensasi dan jatuh ke tanah
berupa salju, hujan, hujan es dan lain-lain. Presipitasi yang ada di bumi ini berupa :
a. Hujan , merupakan bentuk yang paling penting.
b. Embun, merupakan hasil kondensasi di permukaan tanah atau tumbuh-tumbuhan dan
kondesasi di dalam tanah.
c. Kondensasi, di atas lapisan es terjadi jika ada massa udara panas yang bergerak di atas
lapisan es.
d. Kabut, pada saat terjadi kabut, partikel-partikel air diendapkan di atas permukaan tanah
dan tumbuh-tumbuhan.
e. Salju dan es.
Salah satu bentuk presipitasi yang terpenting di Indonesia adalah hujan. Maka
pembahasan mengenai presipitasi ini selanjutnya hanya dibatasi pada hujan saja. Ada 5 buah
unsur yang ditinjau, yaitu :

15
MK. Hidrologi John Frans

a. Intensitas I, adalah laju curah hujan = tinggi per satuan waktu, misalnya mm/menit,
mm/jam, mm/hari.
b. Lama waktu atau durasi t, adalah lamanya curah hujan terjadi dalam menit atau jam.
c. Tinggi hujan d, adalah banyaknya atau jumlah hujan yang dinyatakan dalam ketebalan
air di atas permukaan datar, dalam mm.
d. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian terjadinya hujan, biasanya dinyatakan dengan
waktu ulang (return period) T.
e. Luas, adalah luas geografis curah hujan A, dalam km2.
Hubungan antara intensitas, durasi dan tinggi hujan dinyatakan sebagai berikut :
i
d= ∫i dt = ∑ i Δt (2.1)
0

Intensitas rata-rata i dirumuskan sebagai berikut :


− d
i= (2.2)
t

2.2.1. Alat Ukur


Sistem pengukuran di lapangan seringkali sulit dilakukan secara manual oleh manusia. Untuk
keperluan ini maka dibutuhkan suatu instrumentasi yang reliable untuk jangka waktu cukup lama
dengan melakukan pengukuran berulangulang secara periodik. Pengukuran parameter -
parameter yang berlainan dalam satu waktu bersamaan memerlukan suatu integrasi dari
keseluruhan sistem pengukuran kedalam suatu data kolektor. Pada sistem yang lebih luas data
ini harus digabungkan pada suatu sistem data base terpusat. Dengan sistem ini maka dapat
dihasilkan interpretasi untuk decision support system yang menyeluruh tentang data cuaca.
Implementasinya antara lain : menentukan pola cocok tanam sistem pengairan pada pertanian;
monitoring sistem irigasi dan bendungan; pemantauan muka air tanah perkotaan; pengendalian
banjir dan bencana; dan lain sebagainya.
Beberapa pengukuran parameter hidrologi antara lain :
1. Water level
2. Water flow

Beberapa pengukuran parameter klimatologi antara lain :


1. Precipitation
2. Evaporation

16
MK. Hidrologi John Frans

3. Air flow
4. Moist & Temperature
5. Radiation

1. Water level
Pengukuran ketinggian permukaan air digunakan antara lain pada sungai, danau, laut dan
permukaan air tanah. Metoda yang digunakan antara lain :

1.1 Shaft encoder


Ketinggian permukaan air diukur menggunakan pelampung yang digantung dengan tali dan
pemberat.

17
MK. Hidrologi John Frans

1.2 Depth Level


Ketinggian permukaan air diukur menggunakan sensor tekanan dengan asumsi hukum
Archimides, bahwa tekanan di bawah permukaan air (p) akan sebanding dengan kedalaman (h)
dari permukaan air (p = ρ g h) dengan ρ adalah berat jenis air.

2. Water flow
Pengukuran kecepatan aliran air digunakan untuk mengukur besarnya debet air yang mengalir
pada suatu aliran air. Metoda yang digunakan antara lain :

2.1 Propeller
Kecepatan aliran air diukur menggunakan baling-baling (propeller) yang dikonversikan menjadi
kecepatan putaran.

18
MK. Hidrologi John Frans

2.2 Wing pressure


Kecepatan aliran air diukur menggunakan sayap (wing) yang menyerupai bentuk sayap pada
pesawat terbang. Semakin cepat aliran fluida yang lewat melalui sayap, maka semakin kuat
tekanan ke atas yang dikenakan pada sayap ini. Sehingga kecepatan aliran dikonversikan
langsung oleh sensor tekanan.

19
MK. Hidrologi John Frans

2.3 Flow pressure


Aliran air diarahkan oleh selinder berupa corong (guide).
Setelah aliran cukup constant dan rata (luminer), maka
kemudian aliran air ini dikonversikan oleh presure meter
dengan luas permukaan yang telah ditentukan.

3. Precipitation
Pengukuran curah hujan digunakan untuk mengetahui besarnya kapasitas atau volume
penyediaan sumber air hujan selama kurun waktu tertentu. Metoda yang digunakan antara lain:
3.1 Water drop
Kapasitas curah hujan diukur menggunakan penghitungan tetesan air. Sebelum tetesan air
dihitung, air hujan ini ditampung dalam suatu container dengan standar collecting surface.
Dibawah container ini terdapat water dropper sehingga besarnya tetesan air bisa dijaga tetap
konstan.

3.2 Tipping bucket


Kapasitas curah hujan diukur menggunakan penghitungan jumlah tumpahan pada
penampung berayun (tipping bucket). Pada alat ini terdapat dua wadah yang diisi
bergantian. Setiap kali wadah terisi penuh maka alat ini akan tumpah pada satu sisinya.

20
MK. Hidrologi John Frans

3.3 Collector chamber


Kapasitas curah hujan diukur menggunakan penghitungan jumlah pengurasan volume air
yang ditampung pada wadah (chamber) dengan volume tertentu. Setiap wadah tersebut
terisi penuh, air akan dibuang secara otomatis oleh gaya berat air pada penguras
(flusher).

21
MK. Hidrologi John Frans

4.1 Evaporation pan


Kapasitas penguapan air diukur menggunakan penghitungan laju pengurangan volume air
dalam suatu bak (pan) standar akibat pemanasan global. Volume dan berat jenis air
dikonversikan oleh sensor ketinggian air untuk mengukur volume yang simultan dengan sensor
berat untuk mengukur berat air di dalam bak standar.

4.2 Blotting paper


Kapasitas penguapan air diukur menggunakan penghitungan laju pengurangan volume air dalam
suatu gelas ukur yang diletakan diatas kertas serap (absorbent paper). Luas kertas serap yang digunakan
berfungsi sebagai media penguapan.

5. Wind Speed & Direction


Pengukuran kecepatan dan arah angin digunakan untuk mengetahui probabilitas
klimatologi aliran kalor dan curah hujan. Metoda yang digunakan antara lain :

22
MK. Hidrologi John Frans

5.1 Flap & Propeller


Kecepatan aliran udara (angin) diukur menggunakan baling-baling (propeller), sedangkan arah
angin diukur menggunakan sirip pengarah (flap).

5.2 Ultrasonic array


Kecepatan aliran udara (angin) diukur menggunakan sensor tekanan yang sensitif
terhadap aliran udara. Sensor ini menggunakan piezzo keramic sebagai sensor ultra
sonic. Empat buah sensor disusun secara aray dalam empat arah. Masing-masing arah
akan membentuk suatu vektor kecepatan.

23
MK. Hidrologi John Frans

6. Humidity & Temperature


Pengukuran suhu dan kelembaban udara digunakan untuk mengetahui probabilitas klimatologi
aliran kalor dan curah hujan. Metoda yang digunakan antara lain :

6.1 Thermistor & Capacitive


Suhu diukur menggunakan thermistor PT-100, yang memiliki respon cukup linear dalam jangka
pengukuran temperatur udara. Kelembaban diukur oleh sepasang keping logam sebagai
kapasitor yang dikonversikan oleh frekuensi pada suatu tangki osilator. Sensor-sensor ini
ditempatkan dalam sirip pelindung untuk mengeliminasi pengaruh atau ganguan cuaca dan
radiasi yang mempengaruhi sistem pengukuran

6.2 Integrated Chip


Suhu dan kelembaban diukur menggunakan sensor yang sudah standard dan dengan ketelitian yang
cukup baik. Sensor ini sudah diproduksi dalam suatu chip dengan data keluaran berupa digital. Sehingga
pengukuran selanjutnya dapat dilakukan secara elektronik.

24
MK. Hidrologi John Frans

7. Radiation
Pemantauan aktifitas penyinaran matahari digunakan untuk mengetahui pengaruh terhadap
cuaca yang berdampak secara umum. Metoda yang digunakan antara lain :

7.1 Photo Sensitive


Intensitas cahaya diukur menggunakan sensor resistif atau semikonduktor peka cahaya.
Permukaan luar sensor dilapisi kaca lengkung untuk pelindung air, debu dan ganguan kotoran.

25
MK. Hidrologi John Frans

7.2 Thermocouples
Radiasi panas diukur menggunakan thermocouple. Bagian atas digunakan untuk mengukur
radiasi global, sedangkan bagian bawah digunakan untuk mengukur radiasi pantul dari tanah.
Selain beberapa parameter pengukuran pada komponen air dan udara, seperti telah disebutkan
di atas, maka pada tanah pun dapat dilakukan beberapa pengukuran antara lain : Soil
temperature, Saturation Potential, Resistivity, Thermal Coductivity dan sebagainya dapat
ditambahkan sebagai data pelengkap pada sistem pengukuran global.

8. Data acquisition & Transmission


Pengukuran beberapa parameter meteorologi, hidrology, klimatologi dan sebagainya dilakukan
oleh masing-masing sensor dengan menggunakan microcontroller sehingga data langsung
diubah menjadi data digital dengan standar komunikasi RS-485. Data ini dikirimkan menuju data
recorder (logger) melalui media kabel (wire) atau bahkan modem radio, tergantung jarak sensor
terhadap data recorder.

26
MK. Hidrologi John Frans

Seluruh instrumen pengukuran menggunakan power suplay dari battery 12V atau dapat pula
dengan bantuan sollar panel sebagai alat pengisi daya. Rekaman data pada data recorder
disimpan dalam memory card (MMC) atau dapat pula diambil melalui pheripheral USB sebagai
alat komunikasi yang cukup umum dipakai saat ini.

Secara optional, fasilitas pengambilan data dapat pula dilakukan secara telemetri. Cara ini
dilakukan dengan menggunakan sarana telepon (fix phone atau sellular) apabila di daerah titik
pengamatan sudah memiliki jaringan telepon. Jaringan telepon sellular yang digunakan
biasanya adalah jaringan GSM atau bahkan CDMA dan GPRS.

27
MK. Hidrologi John Frans

Selain untuk mendapatkan informasi data pengukuran, fasilitas ini pun digunakan untuk
memeriksa keadaan seluruh sistem pengukuran, yaitu untuk memonitor availability masing-
masing unit pengukuran. Contoh sederhana adalah mengetahui kondisi setiap battery, kabel,
dan sebagainya.
Penggunaan telemetri melalui telepon sellular ataupun fix phone (PSTN) dapat digunakan
secara simultan atau bergantian, tergantung cakupan jaringan yang tersedia di lokasi tempat
pengukuran.

2.1.1. Pengukuran Curah Hujan


Dalam praktek kita mengenal 2 macam alat untuk mengukur curah hujan yaitu penakar
hujan dan pencatat hujan.

28
MK. Hidrologi John Frans

a. Penakar hujan
1) Penakar hujan biasa
Penempatan alat ukur ini pada tempat terbuka yang tidak dipengaruhi oleh
pohon-pohon atau gedung-gedung. Gambar 2.1 memperlihatkan alat ukur curah
hujan biasa, yang pada bagian atas alat ini dipasang 20 cm lebih tinggi dari
permukaan tanah yang sekelilingnya ditanami rumput. Alat ini terdiri dari tabung,
corong penangkap hujan (diameter bukaan 20 cm), pengukur dan gelas ukur.

corong

penampung

keran

gelas ukur
Gambar 2.1. Alat penakar hujan biasa

Air hujan masuk melalui corong penangkap dan masuk ke dalam gelas ukur yang
diletakkan di dalam tabung untuk menerima air hujan yang meluap. Ketelitian
dalam pembacaan 1/10 mm. Pembacaan dilakukan 1 x 24 jam dan hasil
pembacaan dicatat sebagai curah hujan terdahulu. Curah hujan kurang dari 0,1
mm dicatat 0,00 mm dan untuk membedakan tidak ada curah hujan, daftar curah
hujan ditandai dengan (-).

2) Penakar hujan rata tanah


Alat penakar hujan rata tanah, dibuat dengan tujuan penangkapan maksimum
seperti pada Gambar 2.2. Di sekitar alat penakar harus diberi grill dan brush.
Grill adalah semacam sarang terbuat dari logam yang gunanya untuk mencegah
tumbuhnya rumput atau tanaman penganggu. Sedangkan brush adalah lapisan
lunak yang terbuat dari pasir atau sintel, berupa bubukan sisa pembakaran batu
bara, gunanya untuk mencegah percikan (cipratan) air agar tidak masuk ke
dalam penakar. Luas penakar A dibuat sama luas dengan permukaan corong
biasa. Jenis ini berhasil baik digunakan sebagai pembanding terhadap penakar
biasa.

29
MK. Hidrologi John Frans

brush
grill
corong

penampung

Gambar 2.2. Penakar hujan rata tanah

b. Pencatat hujan
1) Pencatat jungkit (tipping bucket)
Pencatat jungkit dibagi dalam 2 ruangan yang diatur sedemikian rupa jika satu
terisi kemudian menjungkit dan menjadi kosong, lalu menyebabkan ruangan
lainnya berada di posisi yang akan diisi oleh corong. Setiap jungkit menunjukkan
suatu tinggi hujan d. Pencatatannya secara otomatis dan bertahap.

corong

sumbu
Gambar 2.3. Pencatat Jungkit

2) Pencatat pelampung
Curah hujan yang tertangkap corong (1) tertumpah ke dalam penanmpung (2).
Dengan terisinya penampung maka penampung (3) akan terangkat. Pelampung
dihubungkan dengan alat penulis yang dapat membuat grafik pada drum
pencatat yang diputar dengan pertolongan pegas jam (4). Jika pencatatannya
mencapai d = 10 m, air dalam penampung akan tersedot keluar oleh sifon (5),
sehingga penampung menjadi kosong yang sekaligus membawa alat penulis
turun ke posisi nol.

30
MK. Hidrologi John Frans

Keterangan :
1 = corong
2 = penampung 3
3 = pelampung
4 = drum pencatat 4
5 = sifon 5
2

Gambar 2.4. Pencatat pelampung

2.2. Evaporasi
Penguapan (evaporation) adalah proses perubahan dari molekul air dalam bentuk zat
cair ke dalam bentuk gas. Evaporasi sangat mempengaruhi debit sungai, besarnya kapasitas
waduk, besarnya kapasitas pompa untuk irigasi, penggunaan konsumtif untuk tanaman dan lain-
lain.
Besarnya faktor meteorologi yang mempengaruhi besarnya evaporasi adalah :
a. Radiasi matahari, perubahan dari keadaan cair menjadi gas ini memerlukan energi
berupa panas laten untuk evaporasi.
b. Angin, jika air menguap ke atmosfir maka lapisan batas antara permukaan tanah dan
udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses penguapan berhenti. Agar proses
tersebut dapat berjalan terus, lapisan jenuh harus diganti dengan udara kering yang
terjadi jika ada angin.
c. Kelembaban relatif, jika kelembaban relatif naik maka kemampuan udara untuk
menyerap air akan berkurang sehingga laju evaporasinya menurun.
d. Suhu, jika suhu udara dan tanah cukup tinggi maka proses evaporasi berjalan lebih
cepat.

31
MK. Hidrologi John Frans

2.2.1. Pengukuran Evaporasi


Ada beberapa alat ukur yang bisa digunakan antara lain :
a. Atmometer
Atmometer adalah alat standar untuk mengukur evaporasi dari permukaan basah. Alat
ini digunakan untuk tujuan-tujuan klimatologis guna mengetahui kemampuan mongering
udara. Permukaan basah diberikan oleh benda berpori yang dibasahi air, yang
ditempatkan dalam suatu wadah. Ada beberapa jenis atmometer yaitu :
1) Atmometer Piche
2) Atmometer Livingstone
3) Atmometer Black Bellani
b. Panci penguapan
Panci evaporasi dibuat untuk meniru kondisi evaporasi permukaan air bebas. Panci
evaporasi dapat dipasang dengan posisi sebagai berikut :
1) di atas permukaan tanah
2) ditanam dalam tanah
3) mengambang di atas air
c. Mengukur radiasi matahari
Kebanyakan stasiun pencatat meteorologi dilengkapi dengan radiometer untuk
mengukur gelombang pendek radiasi yang masuk dari matahari/angkasa dan radiasi
netto yang dipantulkan. Radiasi netto ini sangat penting untuk studi tentang evaporasi.
d. Mengukur kecepatan angin
Kecepatan angin diukur dengan anemometer, sedangkan arah angin dengan kipas.

2.2.2. Penghitungan Evaporasi


Rumus empiris “Penman” untuk menghitung evaporasi :
V
E = 0,35(ea − ed )(1 + ) (2.3)
100
keterangan :
E = evaporasi (mm/hari)
ea = tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata harian (mm/Hg)
ed = tekanan uap sebenarnya (mm/Hg)
V = kecepatan angin pada ketinggian 2 m di atas permukaan tanah (mile/hari)

32
MK. Hidrologi John Frans

Tabel 2.1. Tabel tekanan uap jenuh


0°C p(mm/Hg)
-60 0,0008
-40 0,096
-20 0,783
-10 1,964
-1 4,220
0 (air+es+uap) 4,580
10 9,21
20 17,55
30 31,86
40 55,40
50 92,6
60 149,6
80 355,4
100 760,0 (1 atm)
110 1074
125 1740
200 11650
250 29770
300 64300
350 123710

Contoh :
Suhu bola kering 30°C, suhu bola basah 26°C, kelembaban relatif 68% dan kecepatan
angin 1 m/dt.

Penyelesaian :
Suhu bola kering 30°C, dari Tabel 2.1 diperoleh tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata
harian, ea = 31,86 mm/Hg.
Tekanan uap sebenarnya, ed = 31,86 mm/Hg x 68% = 21,65 mm/Hg.
Kecepatan angin = {1 m/dt x 24 jam x 60 menit x 60 detik}/1600 m/mile = 54 mile/hari
Diperoleh besarnya evaporasi “E” :
V
E = 0,35(ea − ed )(1 + )
100
54
E = 0,35(31,86 − 21,65)(1 + ) = 5mm / hari
100

33
MK. Hidrologi John Frans

2.3. Evapotranspirasi
Evapotranspirasi (evapotranspiration) adalah penguapan yang terjadi dari permukaan
lahan yang tertutup dengan tumbuhan. Jumlah kadar air yang hilang dari tanah oleh
evapotranspirasi tergantung pada :
a. persediaan air yang cukup (hujan dan lain-lain)
b. faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban dan lain-lain.
c. tipe dan cara kultivasi tumbuh-tumbuhan tersebut.

2.3.1. Penghitungan Evapotranspirasi


Ada beberapa metode yang dipakai untuk menghitung besarnya evapotranspirasi atau
memperkirakan besarnya evapotranspirasi, antara lain :
a. Cara Blaney – Criddle yang dirubah :
K .P(45,7.t + 813)
U= (2.4)
100
keterangan :
K = Kt x Kc
Kt = 0,0311t + 0,240
U = banyaknya evapotranspirasi bulanan (mm)
t = suhu udara rata-rata bulanan (°C)
Kc = koefisien tanaman bulanan
P = persentase jam siang bulanan dalam setahun (%)
b. Cara Thornthwaite
e = c. ta (2.5)
keterangan :
e = evapotranspirasi potensial bulanan (cm/bulan)
c dan a= koefisien yang tergantung dari tempat
t = suhu udara rata-rata bulanan (°C)
a = 0,000000675 I3 – 0,0000771 I2 + 0,01792 I + 0,49239 (2.6)
1, 514
12
⎛t⎞
I = ∑⎜ ⎟ (2.7)
i =1 ⎝ 5 ⎠

I adalah jumlah 12 bulan dari suhu udara rata-rata bulanan dibagi 5.

34
MK. Hidrologi John Frans

C. Penutup

Soal – Soal :
1. Jelaskan pengertian dari presipitasi !
2. Sebut dan jelaskan cara pengukuran curah hujan !
3. Jelaskan pengertian evaporasi dan evapotranspirasi !
4. jelaskan cara pengukuran/pengamatan evaporasi dengan panci evaporasi !
5. Diketahui suhu bola kering 20°C, tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata 17,55, suhu bola
basah 27°C, kelembaban relatif 64% dan kecepatan angin 1 m/dt. Hitung besarnya
evaporasi !

Daftar Pustaka

Soemarto,C.D.,1999, Hidrologi Teknik , Erlangga, Jakarta

Sosrodarsono, 2003, Hidrologi untuk Pengairan, Departemen pekerjaan Umum dan Tenaga
Listrik.

Daftar Istilah

Meteorologi
Uap
Gas
Frekuensi
Grill
Brush
Sifon
Transpirasi
Kelembaban

35
MK. Hidrologi JFK

BAB III. INFILTRASI DAN PERKOLASI

A. Pendahuluan
Pada bab ini akan dipelajari tentang pengertian infiltrasi dan perkolasi serta cara pengukuran
kapasitas infiltrasi.

Tujuan yang ingin dicapai (TIK) setelah mengikuti materi ini adalah mahasiswa akan dapat :
a. Menjelaskan pengertian infiltrasi dan perkolasi dengan benar.
b. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi daya infiltrasi dengan benar.
c. Menentukan kapasitas infiltrasi dengan benar.

B. Penyajian
3.1. Pengertian Infiltrasi dan Perkolasi
Infiltrasi adalah perpindahan air dari atas ke dalam permukaan tanah. Kebalikan dari
infiltrasi adalah rembesan (seepage).
Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari zona tidak jenuh, yang terletak di antara permukaan
tanah sampai ke permukaan air tanah (zona jenuh). Daya infiltrasi f adalah laju infiltrasi
maksimum yang dimungkinkan, yang ditentukan oleh kondisi permukaan, termasuk lapisan atas
tanah. Besarnya daya infiltrasi f dinyatakan dalam mm/jam atau mm/hari. Daya perkolasi p
adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan, yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi
tanah dalam zona tidak jenuh, yang terletak di antara permukaan tanah dengan permukaan air
tanah.
Untuk memperjelas arti fp dan pp diperlihatkan pada Gambar 3.1. dan Gambar 3.2. di
bawah ini.

kerikil Tanah liat

Tanah liat
kerikil

Muka air tanah Muka air tanah

Gambar 3.1. Gambar 3.2.

36
MK. Hidrologi JFK

Gambar 3.1. akan menghasilkan daya infiltrasi yang besar, tetapi daya perkolasinya
kecil, karena lapisan atasnya terdiri dari lapisan kerikil yang mempunyai permeabilitas tinggi dan
lapisan bawahnya terdiri dari lapisan tanah liat yang relatif kedap air. Sedangkan Gambar 3.2.
akan menghasilkan daya infiltrasi yang kecil tetapi daya perkolasinya tinggi, karena lapisan
atasnya terdiri dari lapisan kedap air dan lapisan bawahnya tiris.

3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi


Faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah :
a. Dalamnya genangan di atas permukaan tanah dan tebal lapisan yang jenuh
b. Kelembaban tanah
c. Pemampatan oleh curah hujan
d. Penyumbatan oleh bahan-bahan yang halus
e. Pemampatan oleh orang dan hewan
f. Struktur tanah
g. Tumbuh-tumbuhan
h. Udara yang terdapat dalam tanah

3.3. Penentuan Kapasitas Infiltrasi


Untuk penentuan kapasitas infiltrasi dapat digunakan cara dengan menggunakan alat
ukur infiltrasi dan cara dengan menggunakan analisa dari hidrograf. Cara yang pertama adalah
cara mengukur laju infiltrasi. Air dituangkan pada suatu bidang pengujian yang kecil dengan
menggunakan alat ukur infiltrasi. Cara ini hanya cocok untuk pengujian perbandingan yang
dilaksanakan dengan membatasi beberapa buah factor yang mempengaruhi kapasitas
infiltrasi.Untuk cara kedua, jika terdapat data yang teliti mengenai variasi intensitas curah hujan
dan data yang kontinu dari limpasan yang terjadi, maka kapasitas infiltrasi dapat diperoleh
dengan ketelitian yang cukup tinggi. Dengan kapasitas infiltrasi yang diperoleh ini, maka
hidrograf dari dari limpasan yang disebabkan oleh suatu curah hujan yang terjadi pada kondisi
yang sama dalam daerah pengaliran itu dapat ditentukan dengan ketelitian yang baik.
Di sini diperlihatkan modifikasi cara perhitungan kurva f dalam daerah pengaliran yang
kecil antara 1 sampai 10 ha yang disarankan oleh Dr. W.W. Horner dan Dr. L.L. Loyd.

37
MK. Hidrologi JFK

Tabel 3.1. Data Curah Hujan


Waktu Jam Curah Hujan Intensitas Curah
(menit) (mm) Hujan (mm/jam)
5.43 - 5.48 5 1.3 15.7
5.48 – 5.50 2 1.8 53.6
5.50 – 5.55 5 4.8 57.7
5.55 – 5.57 2 2.0 60.5
5.57 – 6.00 3 0.5 10.4
6.00 – 6.06 6 4.3 42.7
6.06 – 6.12 6 1.8 17.8
6.12 – 6.38 26 - -
Waktu Jam Curah Hujan Intensitas Curah
(menit) (mm) Hujan (mm/jam)
6.38 – 6.44 6 5.2 52.1
6.44 – 6.50 6 1.5 15.0
6.50 – 7.00 10 0.8 4.8
Sumber : Sosrodarsono, Hidrologi,2003

Tabel 3.2. Data Pengukuran Debit


Waktu Debit Catatan Waktu Debit Catatan
(m3/dt) (m3/dt)
5.55 0.00 Permulaan debit 6.29 0.001
.57 .015 .35 .001
.58 .033 .40 - Akhir debit
6.01 .062 Debit puncak .43 - Permulaan debit
.03 .043 .44 .003
.05 .029 .46 .035
.06 .024 .47 .076
.07 .031 .49 .085 Puncak debit
.08 .042 .51 .067
.10 .058 Debit puncak .54 .051
.12 .051 .57 .029
.13 .036 7.00 .020
.16 .023 .04 .010
.20 .007 .09 .005
.24 .003 .14 .001
Sumber : Sosrodarsono, Hidrologi,2003

38
MK. Hidrologi JFK

Contoh Soal Pengukuran Infiltrasi :


Percobaan infiltrasi dilakukan dari sebuah plot dengan ukuran 4 m x 12,5 m. Setelah tercapai
keseimbangan ternyata run-off telah konstan sebesar 0,5 liter/dtk. Intensitas hujan buatan 50
mm/jam.
Pertanyaan :
a. Berapakah run-off dalam mm/jam
b. Berapakah fc (ultimate infiltration capacity) dalam mm/jam
c. Berapakah detensi permukaan apabila run-off setelah hujan berhenti sebagai berikut
Waktu (menit) Run-off (ltr/dtk)
0 0,50
5 0,25
10 0,13
15 0,05
20 0,00

Asumsi : dapat dimisalkan bahwa perbandingan antara run-off dan infiltrasi sesudah hujan
berhenti = pada saat hujan berhenti.

Penyelesaian
Intensitas hujan buatan = 50 mm/jam
Luas plot = 4 x 12,5 = 50 m2
Debit hujan yang jatuh di atas plot = 50.10-3 m/jam x 50 m2
= 2,5 m3/jam
= 0,6944 ltr/dt
Setelah balance(seimbang) run-off = 0,5 ltr/dt
Maka :
0,50
a. Run-off = x 50 mm/jam = 36 mm mm/jam
0,6944
b. Kapasitas infiltrasi = fc
= intensitas – runoff
= 50 – 36 = 14 mm/jam
= 0,1944 ltr/dtk

39
MK. Hidrologi JFK

c. Detensi permukaan = jumlah runoff setelah hujan berhenti + jumlah infiltrasi setelah
hujan berhenti
= ketinggian air pada plot setelah balance

Kurva Detensi Permukaan

0.8
0.7
0.6
fc (lt/dt)

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20 25 30
t (menit)

Gambar 3.4. Kurva hubungan antara kapasitas infiltrasi dengan waktu

Detensi permukaan = luas curve runoff + luas curve infiltrasi


Perhitungan luas dilakukan dengan pendekatan saja, yaitu tiap bagian dianggap trapezium.
(0,5 + 0,1944) + (0,25 + 0,0972)
Luas I = x(5 − 0).60 = 156,24 liter
2
(0,25 + 0,0972) + (0,13 + 0,0505)
Luas II = x(10 − 5).60 = 79,16 liter
2
(0,13 + 0,0505) + (0,05 + 0,0194)
Luas III = x(15 − 10).60 = 37,49 liter
2
(0,05 + 0,0194) + 0
Luas IV = x(2 − 15).60 = 10,41 liter
2
Luas total curve = 283,3 liter = 0,2833 m3
0,2833
Detensi permukaan = = 0,0057 m = 5,7 mm
50

40
MK. Hidrologi JFK

C. Penutup

Soal-Soal
1. Jelaskan pengertian dari infiltrasi dan perkolasi !
2. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi daya infiltrasi !
3. Percobaan infiltrasi dilakukan dari sebuah plot dengan ukuran 5 m x 25 m. Setelah tercapai
keseimbangan ternyata run-off telah konstan sebesar 0,7 liter/dtk. Intensitas hujan buatan
60 mm/jam.
Pertanyaan :
a. Berapakah run-off dalam mm/jam
b. Berapakah fc (ultimate infiltration capacity) dalam mm/jam
c. Berapakah detensi permukaan apabila run-off setelah hujan berhenti sebagai berikut
Waktu (menit) Run-off (ltr/dtk)
0 0,40
5 0,20
10 0,10
15 0,05
20 0,00

Daftar Pustaka

Soemarto,C.D.,1999, Hidrologi Teknik , Erlangga, Jakarta

Sosrodarsono, 2003, Hidrologi untuk Pengairan, Departemen pekerjaan Umum dan Tenaga
Listrik.

Daftar Istilah

Zona
Laju
Hidrograf
Kurva

41
MK. Hidrologi JFK

Run-off

42
MK. Hidrologi JFK

BAB IV
CURAH HUJAN

A. Pendahuluan
Untuk memperdalam materi pada bab ini, diharapkan mahasiswa untuk mencari data curah
hujan dari beberapa stasiun pengamatan curah hujan yang ada di Nusa Tenggara Timur pada
Kantor Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Data-data tersebut diolah dan diselesaikan untuk proses belajar mengajar pada bab ini.

Hubungan antara materi pada bab ini dengan bab-bab terdahulu, khususnya bab II adalah data-
data curah hujan yang telah dicatat oleh alat ukur curah hujan diolah untuk rancang bangun.

Tujuan yang ingin dicapai (TIK) setelah mengikuti materi ini adalah mahasiswa akan dapat :
a. Menjelaskan macam-macam distribusi curah hujan dengan benar.
b. Menghitung curah hujan wilayah berdasarkan contoh soal dengan benar.
c. Menghitung intensitas curah hujan berdasarkan contoh soal dengan benar.
d. Menghitung konsistensi data curah hujan tahunan berdasarkan contoh soal dengan benar
e. Menghitung frekuensi curah hujan berdasarkan contoh soal dengan benar.

B. Penyajian
4.1. Distribusi Curah Hujan
4.1.1. Distribusi Curah Hujan secara Geografis
Faktor-faktor yang menentukan besarnya curah hujan rata-rata tahunan di suatu tempat :
- garis lintang
- posisi dan luas daerah
- jarak dari pantai
- suhu laut
- efek geografis
- altitude/ketinggian
Latitude berhubungan dengan sirkulasi atmosfer. Di equator terdapat tekanan rendah
sedangkan radiasi matahari memanasi udara secara intensif yang menyebabkan udara
mengembang dan naik ke atas. Angin yang mengandung lembab panas bertemu di
suatu daerah dan mengakibatkan terjadinya hujan.

27
MK. Hidrologi JFK

a. ± 30° arah utara dan selatan, terdapat tekanan tinggi yang menyebabkan udara
kering dan panas menurun sehingga curah hujannya rendah,
b. ± 35° - 65° arah utara dan selatan, udara dingin kering dari kutub menimbulkan hujan
tipe frontal dan menyebabkan hujan lebat,
c. ± 65° ke kutub, angin kutub kering bertambah banyak sehingga menyebabkan
berkurangnya hujan.

4.1.2. Distribusi Curah Hujan menurut Waktu


Jatuhnya hujan terjadi menurut suatu pola dan suatu siklus tertentu. Terkadang
mengalami penyimpangan pada pola itu tetapi kembali lagi pada pola yang teratur. Data
curah hujan yang tersedia umumnya tidak cukup panjang untuk menyatakan fluktuasi-
fluktuasi jangka panjang sedang variasi-variasi jangka pendek adalah demikian tak
teratur sehingga terdapat banyak siklus. Dengan adanya variasi-variasi ini dikenal
adanya variasi musiman. Distribusi hujan menurut variasi musiman ini bisa terjadi “hujan
konfektif, hujan orografik dan hujan cyclonic”.
a. Hujan konfektif adalah hujan yang disebabkan oleh naiknya udara panas ke tempat
yang lebih dingin.
b. Hujan orografik adalah hujan yang disebabkan oleh naiknya udara karena ada
rintangan berupa pegunungan.
c. Hujan cyclonic adalah hujan yang disebabkan oleh naiknya udara yang terpusatkan
di suatu daerah dengan tekanan rendah.
Hujan yang terjadi di Indonesia sebagian besar adalah type hujan konfektif.

4.1.3. Distribusi Curah Hujan Wilayah/Daerah (regional distribution)


Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan
rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang
bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah
hujan wilayah/daerah dan dinyatakan dalam mm. Cara-cara perhitungan curah hujan
daerah dari pengamatan curah hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut :
a. Cara rata-rata aljabar
Cara ini dipakai pada daerah yang datar dan banyak stasiun curah hujannya, dengan
anggapan bahwa di daerah tersebut sifat curah hujannya adalah seragam (uniform).

28
MK. Hidrologi JFK

Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di dalam dan di
sekitar daerah yang bersangkutan.
− 1
R= ( R1 + R2 + R3 + ...... + Rn ) (4.1.)
n
Keterangan :

R = curah hujan daerah (mm)
n = jumlah titik-titik (pos) pengamatan
R1, R2, R3…..Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)
Keuntungan : cara ini lebih obyektif
Contoh : Hitunglah curah hujan rata-rata dengam metode rata-rata aljabar.

453 Stasiun penakar hujan

476
572
585
675
659

757 745

Gambar 4.1. Rata-rata Aljabar


Penyelesaian :
1
R = (757 + 745 + 675 + 659 + 572 + 585 + 476 + 453)
8
R = 615,25 mm

b. Cara Thiessen
Jika titik-titik pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata, maka cara
perhitungan curah hujan rata-rata itu dilakukan dengan memperhitungkan daerah
pengaruh tiap titik pengamatan. Cara ini cocok untuk menentukan curah hujan rata-
rata apabila stasiun atau pos pengamatan tidak banyak.
− A1R1 + A2 R2 + ..... + An Rn
R= (4.2)
A1 + A2 + ..... + An

29
MK. Hidrologi JFK


R = curah hujan daerah (mm)
n = jumlah titik-titik (pos) pengamatan
R1, R2, R3…..Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)
A1, A2,….,An = bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan
Keuntungan : hasil lebih teliti dari cara rata-rata aljabar
Kerugian : jika terjadi kekurangan pengamatan pada salah satu titik pengamatan
maka harus ditentukan kembali jaringan segitiga.
Cara untuk menentukan bagian atau luasan daerah A1, A2, An :
• Hubungkan tiap titik pengamatan dengan garis lurus yang akan membentuk
segitiga dan menutupi seluruh daerah.
• Daerah tersebut dibagi dengan polygon-polygon yang diperoleh dengan
menggambar garis tegak lurus pada tiap sisi segitiga. Luas polygon tersebut
diukur dengan planimeter.

Contoh : Hitunglah curah hujan rata-rata dengam metode Thiessen

453
476

572
585
675 659

745
757

Gambar 4.2. Thiessen Polygon

30
MK. Hidrologi JFK

Penyelesaian ditabulasikan dalam tabel :


Curah hujan Luas *) % luas Curah hujan
(mm) (ha) tertimbang (mm)
453 20 14,92 67,59
476 18 13,43 63,93
572 10 7,46 42,67
585 17 12,69 74,24
659 14 10,45 68,87
675 12 8,96 60,48
745 23 17,16 127,84
755 20 14,93 112,72
Jumlah 134 100 618,34
*
) angka perkiraan hitungan
Jadi curah hujan rata-rata metode Thiessen = 618,34 mm

c. Cara garis Isohiet


Peta isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan (interval) 10 – 20 mm
berdasarkan data curah hujan pada titik-titik pengamatan di dalam dan di sekitar
daerah yang dimaksud. Luas bagian daerah antara dua garis isohyet yang
berdekatan diukur dengan planimeter. Metode ini cocok untuk menentukan curah
hujan rata-rata, apabila daerahnya pegunungan atau daerah berbukit-bukit. Metode
perhitungannya adalah jumlah perkalian curah hujan rata-rata diantara garis Isohyet
dengan luas antara kedua garis Isohyet tersebut, dibagi luas total.
Secara sistematis dapat ditulis :
A1 ( R1 + R2 ) A ( R2 + R3 ) A ( Rn + Rn +1 )
R= + 2 + ...... + n (4.3)
∑A 2 ∑A 2 ∑A 2
Keterangan :

R = curah hujan rata-rata daerah (mm)


A1, A2, An = luas bagian antara garis-garis Isohyet
R1, R2, Rn = curah hujan rata-rata pada bagian A1,A2,…An

31
MK. Hidrologi JFK

Contoh : Hitunglah curah hujan rata-rata dengan metode Isohyet

400

500 Isohyet dalam mm


447
453

600
542
558

700

625
675
800

745 755

Gambar 4.3. Peta Isohyet

Penyelesaian ditabulasikan dalam tabel:


Isohyet Curah Hujan Luas *) % Luas Curah hujan
(mm) (ha) rata-rata (mm)
800 850 10 7,46 63,41
700 750 21 15,67 117,53
600 650 29 21,64 140,66
500 550 35 26,12 143,66
400 450 32 23,88 107,46
<400 350 7 5,23 18,31
Jumlah 134 100 591,03
*
) angka perkiraan hitungan
jadi hujan rata-rata metode Isohyet = 591,03 mm

32
MK. Hidrologi JFK

a. Peta topografi Data hujan harian semua


b. Data lokasi semua stasiun stasiun hujan pada dan
hujan pada dan disekitar disekitar DAS
DAS

Peta DAS Koreksi data hujan :


a. Test konsistensi
(double-mass curve)
Pilih stasiun hujan yang b. Mengisi data yang hilang
memungkinkan untuk dipakai ( inserved square distance )

a. Poligon Thiessen
Data terkoreksi
b. Bobot poligon Thiessen
masing-masing sta

Dicari jaringan stasiun hujan yang


representatif dengan cara Kagan

Biasanya hasil
a. Poligon Thiessen jarang dipakai
b. Bobot poligon Thiessen
masing-masing sta

Hujan rata-rata DAS (cara Thiessen)

Pemilihan Data

Annual Series Annual Exc.Series Partial Series

Anal. Frk. Hujan

Hujan Rencana

33
MK. Hidrologi JFK

Flowchart 4.1. Hujan Rencana

4.1.4. Distribusi Curah Hujan dalam suatu Jangka Waktu Tertentu


Distribusi curah hujan berbeda-beda sesuai dengan jumlah waktu yang ditinjau yakni
curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan harian dan curah hujan perjam.
Harga atau nilai-nilai yang diperoleh dari curah hujan sesuai dengan waktu tersebut di
atas dapat digunakan untuk menentukan prospek bangunan yang berhubungan dengan
air.

4.2. Intensitas Curah Hujan


Intensitas curah hujan adalah rata-rata dari hujan yang lamanya sama dengan lama
waktu konsentrasi (tc) dengan masa ulang tertentu. Atau dapat dikatakan intensitas curah hujan
adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu dimana air tersebut
berkonsentrasi. Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan aliran dari titik terjauh ke
suatu tempat tertentu. Hubungan antara intensitas curah hujan dan lamanya hujan,
dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain :
1). Prof. Talbot (1881)
a
I= (4.4)
t +b
( I .t )( I 2 ) − ( I 2 .t )( I )
a=
N ( I 2 ) − ( I )( I )
(4.5)
( I )( I .t ) − N ( I 2 .t )
b=
N ( I 2 ) − ( I )( I )
2). Prof. Sherman (1905)
a
I=
tn
(log I )(log t ) 2 − (log t. log I )(log t )
log a = (4.6)
N (log t ) 2 − (log t )(log t )
(log I )(log t ) − N (log t. log I )
n=
N (log t ) 2 − (log t )(log t )

34
MK. Hidrologi JFK

3) Dr. Ishiguro (1953)


a
I=
t +b
( I t )( I 2 ) − ( I 2 . t )( I )
a= (4.7)
N ( I 2 ) − ( I )( I )
( I )( I t ) − N ( I 2 . t )
b=
N ( I 2 ) − ( I )( I )
4) Mononobe
R24 24 m
I= ( ) (4.8)
24 t
Keterangan :
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
t = lamanya curah hujan (menit) atau untuk Mononobe dalam (jam)
a,b,n,m = tetapan
R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

4.2.1. Cara perhitungan intensitas curah hujan


1) Perhitungan dengan cara kuadrat terkecil (least square)
Contoh soal :

Lamanya curah hujan 5 10 20 30 40 60 80 120


t (menit)
Intensitas curah 150 104 98.75 86.99 78.89 74.66 65.65 46.5
hujan I (mm/jam)

Penyelesaian :

Tabel 4.1. Perhitungan tiga jenis rumus intensitas curah hujan


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
2 2 2 2
No t I I.t I It log t log I logt. Log I (log t) t It I t
1 5 150 750.00 22500.00 112500.00 0.70 2.18 1.52 0.49 2.24 335.41 50311.53
2 10 104 1040.00 10816.00 108160.00 1.00 2.02 2.02 1.00 3.16 328.88 34203.20
3 20 98.75 1975.00 9751.56 195031.25 1.30 1.99 2.59 1.69 4.47 441.62 43610.31
4 30 86.99 2609.70 7567.26 227017.80 1.48 1.94 2.86 2.18 5.48 476.46 41447.59
5 40 78.89 3155.60 6223.63 248945.28 1.60 1.90 3.04 2.57 6.32 498.94 39361.71
6 60 74.66 4479.60 5574.12 334446.94 1.78 1.87 3.33 3.16 7.75 578.31 43176.91
7 80 65.65 5252.00 4309.92 344793.80 1.90 1.82 3.46 3.62 8.94 587.19 38549.12
8 120 46.5 5580.00 2162.25 259470.00 2.08 1.67 3.47 4.32 10.95 509.38 23686.26
jumlah 705.44 24841.90 68904.74 1830365.07 11.84 15.38 22.29 19.04 3756.21 314346.63

35
MK. Hidrologi JFK

[Jenis I-Talbot]
a
I=
t +b
24841.90 x 68904.74 − 1830365.07 x 705.44
a=
8 x 68904.74 − 705.44 x 705.44
a ≅ 7846.49
705.44 x 24841.90 − 8 x 1830365.07
b=
8 x 68904.74 − 705.44 x 705.44
b ≅ 53.77
[Jenis II-Sherman]
a
I=
tn
15.38 x 19.04 − 22.29 x 11.84
log a =
8 x 19.04 − 11.84 x 11.84
log a = 2.383
a ≅ 241,5
15.38 x 11.84 − 8 x 22.29
n=
8 x 19.04 − 11.84 x 11.84
n ≅ 0.31
[Jenis III-Ishiguro]
a
I=
t +b
3756.21 x 68904.74 − 314346.63 x 705.44
a=
8 x 68904.74 − 705.44 x 705.44
a ≅ 691.66
705.44 x 3756.21 − 8 x 314346.63
b=
8 x 68904.74 − 705.44 x 705.44
b ≅ 2.52
Subtitusikan ke dalam masing-masing persamaan menjadi :

36
MK. Hidrologi JFK

a 7846.49
I= = (i)
t + b t + 53.77
a 241.5
I= = 0.31 (ii)
tn t
a 691.66
I= = (iii)
t +b t + 2.52
Selanjutnya harus diadakan pemeeriksaan mengenai rumus yang paling cocok digunakan.
Harga-harga I dari rumus (i),(ii),(iii) yang didapat dengan menggantikan harga-harga t dalam
kolom 2 pada Tabel 4.2, tercantum dalam kolom 14, 16, 18 pada Tabel yang sama. Deviasi
antara harga-harga ini dengan data yang tercantum dalam kolom 3 tercantum berturut-turut
dalam kolom 15,17 dan 19 dalam Tabel yang sama. Demikian pula kurva-kurva yang
dihitung tercantum dalam Gambar 4.4.
Dengan menelaah deviasi rata-rata M(|α|)= α dan Gambar 4.4 dapat ditentukan bahwa untuk
keadaan ini, jenis II yakni I= a/tn memberikan hasil yang optimum sebagai rumus intensitas
curah hujan.
Tabel 4.2. Tabel perbandingan kecocokan rumus-rumus intensitas curah hujan

1 2 3 14 15 16 17 18 19
No t I I(1) α 1 I(2) α 2 I(3) α 3
1 5 150 133.51 -16.49 146.63 -3.37 145.43 -4.57
2 10 104 123.04 19.04 118.28 14.28 121.72 17.72
3 20 98.75 106.36 7.61 95.41 -3.34 98.92 0.17
4 30 86.99 93.67 6.68 84.14 -2.85 86.49 -0.50
5 40 78.89 83.68 4.79 76.96 -1.93 78.20 -0.69
6 60 74.66 68.97 -5.69 67.87 -6.79 67.37 -7.29
7 80 65.65 58.66 -6.99 62.08 -3.57 60.33 -5.32
8 120 46.5 45.15 -1.35 54.75 8.25 51.33 4.83
Σ(|α|) 68.64 27.87 31.43
M(|α|) 8.58 3.48 3.93
intensitas curah hujan (mm/jam)

160.00
140.00
120.00
100.00 I (1)
80.00 I (2)
60.00 I (3)
40.00
20.00
0.00
0 50 100 150
lamanya curah hujan t (menit)

37
MK. Hidrologi JFK

Gambar 4.4. Tiga jenis kurva intensitas curah hujan

2) Perhitungan dengan cara koefisien spesifik


Cara yang dikemukakan dalam least square memerlukan data pengamatan curah hujan
yang panjang dan sekurang-kurangnya untuk 8 jenis lamanya curah hujan. Disamping itu
kesemuanya harus dibaca dari kertas-kertas alat ukur otomatis. Mengingat hal ini
memerlukan waktu yang lama (dimana angka-angkanya harus dibaca dari kurva yang
tercatat), maka ketelitiannya akan berkurang.
Cara yang dikemukakan di bawah ini adalah cara untuk mendapatkan rumus intensitas
curah hujan berdasarkan 2 jenis data curah hujan (umpama curah hujan 60 menit dan 10
menit). Jika data curah hujan 60 menit dan 10 menit atau lain-lain itu ada, maka rumus
pendekatan intensitas curah hujan itu dapat dihitung dengan mudah dan mempunyai
ketelitian yang tinggi.
Rumus intensitas yang digunakan :
IN = βN . RN (4.9)
Keterangan :
I = rumus intensitas curah hujan (mm/jam)
β = koefisien spesifik
R = curah hujan 1 jam (mm) atau intensitas curah hujan 1 jam (mm/jam)
Notasi N = kemungkinan dalam N tahun
Harga βN dalam rumus (4.9) adalah sama seperti rumus (4.4), (4.6) dan (4.7) yang
dikemukakan pada cara least square. Rumus (4.9) dalam Jenis I, jenis II, dan jenis III
berturut-turut akan menjadi :
[Jenis I]
a'
I N = β N .R N = RN
t +b
[Jenis II]
a'
I N = β N .R N = RN
tn
[Jenis III]
a
I N = β N .R N = RN
t +b

38
MK. Hidrologi JFK

4.3. Koreksi Data Curah Hujan


Jika terdapat data curah hujan tahunan dalam jangka waktu pengamatan yang panjang,
maka kurva massa ganda (double mass curve) dapat digunakan untuk memperbaiki kesalahan
pengamatan yang terjadi yang disebabkan oleh perubahan posisi atau cara pemasangan yang
tidak baik dari alat ukur curah hujan. Kesalahan-kesalahan pengamatan tidak dapat ditentukan
dari setiap data pengamatan. Data curah hujan tahunan jangka waktu yang panjang alat yang
bersangkutan itu harus dibandingkan dengan data curah hujan rata-rata sekelompok alat-alat
ukur dalam perioda yang sama. Untuk itu harus dipilih minimal 10 alat ukur yang mempunyai
kondisi topografi yang sama.

Contoh:
Pada sebuah daerah aliran sungai terdapat 25 stasiun yang mengukur hujan. Dari keduapuluh
lima stasiun salah satunya akan diselidiki konsistensi datanya. Untuk itu tersedia data
pengukuran curah hujan tahunan dari tahun 1921 s/d 1956 sebagai berikut :

Tabel 4.3. Data pengukuran hujan tahunan

39
MK. Hidrologi JFK

Tahun Hujan Rata-rata Tahun Hujan Rata-rata


Sta. X 25 sta. Sta. X 25 sta.
1921 7.40 10.40 1939 8.80 14.20
1922 7.30 9.00 1940 6.80 9.20
1923 12.20 15.20 1941 11.10 13.10
1924 11.60 11.70 1942 8.60 9.30
1925 8.20 11.20 1943 9.70 9.90
1926 11.30 13.80 1944 11.20 11.20
1927 7.20 9.30 1945 19.00 14.20
1928 12.00 14.00 1946 12.60 11.10
1929 9.00 9.20 1947 10.80 10.70
1930 8.50 11.40 1948 12.70 10.80
1931 8.80 11.10 1949 17.20 11.90
1932 8.00 9.70 1950 15.30 13.80
1933 11.20 10.40 1951 12.00 9.00
1934 11.60 13.10 1952 12.60 12.30
1935 8.10 9.10 1953 12.90 11.10
1936 10.60 9.20 1954 12.10 12.40
1937 9.50 9.10 1955 11.90 11.00
1938 11.20 12.30 1956 16.30 13.50

Dari data tersebut di atas diminta untuk menentukan apakah data pada stasiun X itu konsisten
atau tidak. Kalau tidak kapan terjadi penyimpangan dan koreksi data tersebut di atas.
Penyelesaian :

Tahun Hujan Jumlah Rata-rata Jumlah


Sta. X Kumulatif 25 Sta. Kumulatif
1956 16.30 16.30 13.50 13.50
1955 11.90 28.20 11.00 24.50
1954 12.10 40.30 12.40 36.90
1953 12.90 53.20 11.10 48.00
1952 12.60 65.80 12.30 60.30
1951 12.00 77.80 9.00 69.30
1950 15.30 93.10 13.80 83.10
1949 17.20 110.30 11.90 95.00
1948 12.70 123.00 10.80 105.80
1947 10.80 133.80 10.70 116.50
1946 12.60 146.40 11.10 127.60
1945 19.00 165.40 14.20 141.80
1944 11.20 176.60 11.20 153.00
1943 9.70 186.30 9.90 162.90
1942 8.60 194.90 9.30 172.20
1941 11.10 206.00 13.10 185.30
Tabel 4.4. Tabulasi data dengan double mass curve

40
MK. Hidrologi JFK

Tahun
1940 Hujan
6.80 Jumlah
212.80 Rata-rata
9.20 Jumlah
194.50
1939 Sta.8.80
X Kumulatif
221.60 25 Sta.
14.20 Kumulatif
208.70
1938 11.20 232.80 12.30 221.00
1937 9.50 242.30 9.10 230.10
1936 10.60 252.90 9.20 239.30
1935 8.10 261.00 9.10 248.40
1934 11.60 272.60 13.10 261.50
1933 11.20 283.80 10.40 271.90
1932 8.00 291.80 9.70 281.60
1931 8.80 300.60 11.10 292.70
1930 8.50 309.10 11.40 304.10
1929 9.00 318.10 9.20 313.30
1928 12.00 330.10 14.60 327.90
1927 7.20 337.30 9.30 337.20
1926 11.30 348.60 13.80 351.00
1925 8.20 356.80 11.20 362.20
1924 11.60 368.40 11.70 373.90
1923 12.20 380.60 15.20 389.10
1922 7.30 387.90 9.00 398.10
1921 7.40 395.30 10.40 408.50

500.00

400.00 1921
Hujan pada sta. X
(jml. kumulatif)

300.00

200.00
1942

100.00

1956
0.00
0.00 100.00 200.00 300.00 400.00
Hujan rata-rata 25 sta.
(jml. kumulatif)

Gambar 4.5. Kurva Massa Ganda


Setelah data yang ada ditabelkan secara kumulatif dan kemudian digambarkan dalam sebuah
kurva yang disebut double mass curve. Dari kurva tersebut di atas dapat dilihat bahwa ia bukan
merupakan garis lurus, ini berarti data yang kita peroleh tidak konsisten selama tahun 1921-

41
MK. Hidrologi JFK

1956. Penyimpangan terjadi pada tahun 1942. Kita menganggap data setelah tahun 1942 lebih
bisa dipercaya daripada tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu data dari tahun 1921-1941
dikoreksi agar seluruh data menjadi konsisten.
Mencari faktor koreksi :
ε komulatif sta.X 194.9
K1 = = = 1,13182
ε komulatif 25 sta. 172.2
Kemiringan kurva tahun 1921-1942 :
395.3 − 194.9
K2 = = 0,848074
408.5 − 172.2
Besarnya koreksi = K1/K2 = 1,334576
Jadi data tahun 1921 – 1941 harus dikali dengan 1,334576. Pengoreksian data ditabulasikan
pada tabel.

4.4. Analisis Frekuensi Curah Hujan dan Perioda Ulangnya


Cara perkiraan untuk mendapatkan frekuensi kejadian curah hujan dengan intensitas
tertentu digunakan dalam perhitungan pengendalian banjir, rancang drainase dan lain-lain
adalah hanya menggunakan data pengamatan yang lalu. Cara memperkirakan frekuensi
dengan menjumlahkan banyaknya tahun pengamatan paada titik-titik pengamatan dalam daerah
itu.
Misalnya jika terdapat data selama 20 tahun pada setiap 10 titik pengamatan, maka
dianggap bahwa harga maksimum dari data ini mempunyai frekuensi sekali dalam 20 x 10 = 200
tahun, yang kedua (maksimum) sekali dalam 200 x ½ = 100 tahun, dan yang ketiga (maksimum)
sekali dalam 200 x 1/3 = 67 tahun. Cara ini adalah cara yang paling sederhana, tanpa
penyelesaian secara statistik. Penerapan cara ini khusus daerah yang mempunyai kondisi
meteorologi yang sama, bukan seperti daerah pegunungan.
Tujuan dari analisis frekuensi curah hujan dan banjir untuk memperkirakan besarnya
variasi-variasi yang masa ulangnya panjang. Ada beberapa ahli yang membuat pendekatan-
pendekatan untuk menganalisis frekuensi atau probabilitas antara lain Gauss, Poisson,
Pearson, Weibull, Gamma, Gumbel, Galton dan lain-lain.
Di bawah ini akan diberikan contoh pengolahan data curah hujan dengan menggunakan
metode Gumbel dan Log Pearson.

42
MK. Hidrologi JFK

4.4.1. Metode Gumbel Type I


Distribusi Gumbel Type I umumnya digunakan untuk analisis data maksimum, misal
untuk analisis frekuensi banjir.
Gumbel memberikan persamaan untuk kala ulang Tr

X Tr = X + S x (0,78Y − 0,45) (4.10)

Sx =
∑(X i − X )2
(4.11)
n −1
⎡ (T − 1) ⎤
Y = − ln ⎢− ln (4.12)
⎣ T ⎥⎦
Keterangan :
XTr = besarnya curah hujan untuk periode Tr tahun
Sx = standar deviasi / simpangan baku
Y = perubahan reduksi
n = jumlah data
Bentuk lain dari persamaan Gumbel :

X Tr = X + K .S x

YTr − Yn
K= (4.13)
Sn
Keterangan :
YTr = reduksi sebagai fungsi dari probabilitas. (Lampiran 1.a)
Yn, Sn = besaran yang merupakan fungsi dari jumlah pengamatan. (Lampiran 1.b
dan 1.c.)

Contoh :
Data curah hujan harian maksimum pada sebuah stasiun meteorologi di Nunbaun terlihat
pada Tabel 4.5 berikut dimana banyaknya pengamatan 10 tahun. Hitunglah besarnya
curah hujan harian maksimum pada periode ulang 10 tahun, dan kemungkinan yang
terjadi pada 20 tahun mendatang.

Tabel 4.5. Data curah hujan harian maksimum

43
MK. Hidrologi JFK

No Tahun Curah hujan , X (mm)


1 1994 103
2 1995 115
3 1996 84
4 1997 121
5 1998 84
6 1999 303
7 2000 72
8 2001 96
9 2002 177
10 2003 145

Penyelesaian :
Urutkan data dari kecil ke besar.

Tabel 4.6. Tabulasi data untuk Gumbel Type I


No Tahun X (mm) X2 (X- X )2
1 2000 72 5184 3364
2 1995 84 7056 2116
3 1998 84 7056 2116
4 2001 96 9216 1156
5 1994 103 10609 729
6 1995 115 13225 225
7 1997 121 14641 81
8 2003 145 21025 225
9 2002 177 31329 2209
10 1999 303 91809 29929
Σ 1300 211150 42150

Dari tabel 4.6. diperoleh nilai-nilai sebagai berikut :


1300
• Rata-rata, mean, X = = 130
10

44
MK. Hidrologi JFK

42150
• Standar deviasi = Sx = = 68,43
10 − 1
Jumlah data n = 10, dari lampiran 1.a, 1.b.,1.c didapat :
Yn = 0,4952 Sn= 0,9496 Ytr = 2,2502
2,2502 − 0,4952
• Nilai K = = 1,848
0,9496
Jadi besarnya curah hujan harian maksimum pada periode ulang 10 tahun adalah :
X10 = 130 + (1,848 x 68,43) = 256,46 mm
Kemungkinan yang terjadi pada 20 tahun mendatang :
Untuk n = 20, maka
Yn = 0,5236 Sn = 1,0628 Ytr = 2,9606
2,9606 − 0,5236
• Nilai K = = 2,2930
1,0628
Jadi besarnya curah hujan harian maksimum pada periode ulang 20 tahun adalah :
X20 = 130 + (2,2930 x 68,43) = 286,91 mm

4.4.2. Metode Log Pearson III


Distribusi Log Pearson type III banyak digunakan dalam analisis hidrologi, terutama
dalam analisis data maksimum (banjir) dan minimum (debit minimum) dengan nilai
ekstrim.
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam distribusi Log Pearson Type III, sebagai
berikut :
• Harga atau nilai untuk berbagai masa ulang atau nilai curah hujan untuk masa ulang
tertentu.

log X Tr = log X + K Tr ( S log x ) (4.14)

• Rata-rata (mean)

log X =
∑ log X (4.15)
n
• Standar deviasi (simpangan baku)

S log X =
∑ (log X i − log X ) 2
(4.16)
n −1
• Koefisien asimetris / Skewness (Cs)

45
MK. Hidrologi JFK

n∑ (log X − log X ) 3
Cs = (4.17)
(n − 1)(n − 2)( S log X ) 3

• Koefisien Variasi (Cv)


S log X
Cv = (4.18)
X
• Kurtosis (Ck)

n 2 ∑ (log X − log X ) 4
Ck = (4.19)
(n − 1)(n − 2)(n − 3)( S log X ) 4
Faktor penyimpangan K untuk kala ulang tertentu, dan dengan memakai nilai SlogX
atau Cs dapat dilihat pada Lampiran 1.d.

Contoh :
Data curah hujan pada Tabel 4.5. hitunglah dengan menggunakan Log Pearson III.

Penyelesaian :
Tabel 4.7. Tabulasi data untuk Log Pearson Type III
No Tahun X (mm) log X (logX-log X )2 (logX-log X )3
1 2000 72 1,86 0,0441 -0,0093
2 1995 84 1,92 0,0225 -0,0034
3 1998 84 1,92 0,0225 -0,0034
4 2001 96 1,98 0,0081 -0,0007
5 1994 103 2,01 0,0036 -0,0002
6 1995 115 2,06 0,0001 0,0000
7 1997 121 2,08 0,0001 0,0000
8 2003 145 2,16 0,0081 0,0007
9 2002 177 2,25 0,0324 0,0058
10 1999 303 2,48 0,1681 0,0689
Σ 1300 20,72 0,3096 0,0584

Dari tabel 4.7 diperoleh :

46
MK. Hidrologi JFK

20,72
• Rata-rata (mean) = = 2,072
10
0,3096
• Standar deviasi , SlogX = = 0,185
9
10 x0,0584
• Koefisien asimetris (Cs) = = 1,287
9 x8 x0,0063
Dengan n = 10 dan Cs = 1,287 dari Lampiran 1.d. diperoleh K = 1,339
Harga atau nilai untuk berbagai masa ulang atau nilai curah hujan untuk masa ulang
10 tahun :
• LogX10 = 2,07 + (1,339)(0,185) = 2,317
• X10 = 207,83 mm
Jadi curah hujan untuk kala ulang 10 tahun = 207,83 mm

4.4.3. Uji Kecocokan


Uji kecocokan atau uji penyimpangan dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan yang nyata antara besarnya curah hujan harian maksimum hasil pengamatan
lapangan dengan hasil perhitungan.
Ada 2 (dua) cara uji penyimpangan, yakni :
(1) Chi square atau chi kuadrat
Prosedur uji Chi Square (Χ2) :
• Urutkan data pengamatan (dari kecil ke besar atau sebaliknya).
• Kelompokkan data menjadi K sub-group.
• Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap-tiap sub-group.
• Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei.
• Tiap-tiap sub-group hitung : (Oi – Ei)2 dan (Oi – Ei)2/Ei
• Jumlahkan seluruh K sub-group harga (Oi – Ei)2/Ei untuk menentukan harga chi
square (Χ2).
• Tentukan derajat kebebasan dk = G - R -1 ( R = anggap 0, G = interval kelas).
Interpretasi hasilnya :
• Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima (Χ2tabel > Χ2hitung) Χ2tabel dapat dilihat pada
Lampiran 2.

47
MK. Hidrologi JFK

• Apabila peluang lebih kecil 1%, maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan tidak dapat diterima.
• Apabila peluang berada antara 1-5% adalah tidak mungkin untuk mengambil
keputusan.
Contoh
Dengan menggunakan data curah hujan harian maksimum pada contoh untuk
distribusi Gumbel dan Log Pearson Type III. Penyelesaian ditabulasikan seperti tabel
4.8.

Tabel 4.8. Perhitungan chi square


Interval kelas Nomor Nomor harapan Oi-Ei (Oi − Ei) 2
pengamatan (Oi) (Ei) Ei
56-105 5 2 3 4,50
106-155 3 2 1 0,50
156-205 1 2 -1 0,50
206-255 - 2 -2 2,00
256-305 1 2 -1 0,50
10 10 χ2= 8,00

Dari Tabel 4.8., χ2 hitung = 8,00 . Berdasarkan tabel chi kuadrat di Lampiran 2.a,
dengan dk = 4 dan nilai chi kuadrat sama atau lebih besar dari 8,00 kurang lebih
pada peluang 30% (lebih besar dari 5%). Maka distribusi Gumbel dan Log Pearson
III dapat diterima.

(2) Smirnov – Kolmogrov


Untuk mengetahui apakah data tersebut sesuai dengan jenis sebaran teoritis yang
dipilih, maka dilakukan pengujian kesesuaian distribusi (“testing of goodness of fit”).
Prosedurnya adalah :
• Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya
peluang dari masing-masing data tersebut.
• Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data
(persamaan distribusinya).

48
MK. Hidrologi JFK

• Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesarnya antara peluang
pengamatan dengan peluang teoritis.
Dengan membandingkan probabilitas masing-masing variasi dari distribusi
empiris dan teoritisnya akan terdapat perbedaan Δ tertentu. Berdasarkan
persamaan Smirnov Kolmogrov sebagai berikut :
P {max (p (x) – P (xi) /> Δ cr = α }
• Apabila Δmax yang terbaca pada kertas probabilitas < Δcr (Δ kritis) yang
didapat dari tabel, maka penyimpangan yang terjadi hanya karena
kesalahan-kesalahan yang terjadi secara kebetulan.
4.4.4. Pemilihan Jenis Sebaran
Metode analisis hidrologi dipilih berdasarkan jenis sebaran. Adapun jenis sebaran dan
syarat-sayarat yang biasa digunakan adalah sebagai berikut :
Tabel 4.9. Syarat untuk Jenis Sebaran
Sebaran Syarat
Normal Cs ≈ 0
Ck ≈ 3
Log Normal Cs/Cv ≈ 3
Log Pearson III Cs = (+)/(-)
Gumbel Cs = 1,1396
Ck = 5,4002

Data hujan
beberapa stasiun

Areal rainfall

Dipilih yang besar-besar

Annual Series Partial Series Annual Exced. Series

Data hujan maksimum

Diurutkan/diranking

Analisa cara statistik 49


(S, X, Cv, Cs, Ck)
MK. Hidrologi JFK

Flowchart 4.2. Analisa Frekuensi Curah Hujan


Keterangan :
Annual series : diambil harga maksimum tiap tahun.
Partial series/ threshold method :
Ditentukan batas bawah dimana diatas batas atas tersebut sudah terjadi
banjir, rangkaian data yang diambil yang lebih besar sama dengan
batas bawah.
Annual excedence method :
Diambil beberapa data terbesar dimana jumlah data sama dengan
jumlah tahun data.
C. Penutup
Soal-Soal :
1. Sebutkan faktor-faktor yang menentukan besarnya curah hujan rata-rata tahunan !
2. Apa yang dimaksud dengan :
a. hujan konfektif

50
MK. Hidrologi JFK

b. hujan orografik
c. hujan cyclonic
d. intensitas curah hujan
3. Sebut dan jelaskan metode-metode yang digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata
di suatu daerah !
4. Buatlah data curah hujan pada suatu daerah, minimal 10 pos pengamatan dan hitunglah
rata-rata curah hujan dengan metode-metode yang disebutkan pada no. 3 !
5. Data curah hujan harian maksimum pada sebuah stasiun meteorology di Kupang terlihat
pada tabel berikut berikut dimana banyaknya pengamatan 10 tahun. Hitunglah besarnya
curah hujan harian maksimum pada periode ulang 10 tahun, dan kemungkinan yang terjadi
pada 50 tahun mendatang dengan Metode Gumbel type I dan Log Pearson III.
No Tahun Curah hujan , X (mm)
1 1994 106
2 1995 196
3 1996 87
4 1997 98
5 1998 106
6 1999 145
7 2000 138
8 2001 100
9 2002 98
10 2003 206

Daftar Pustaka
Gupta,Ram S., 1989, Hydrology and Hydraulic Systems, Prentice Hall, New Jersey

Raudkivi,Arved J.,1979, Hydrology, Pergamon Press,New York

Soemarto,C.D, 1999, Hidrologi Teknik, Erlangga, Jakarta

Soewarno, 1995, Hidrologi (Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data),Nova, Bandung

Sosrodarsono,2003, Hidrologi untuk Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga


Listrik.

Daftar Istilah

51
MK. Hidrologi JFK

Latitude
Atitude
Hujan konfektif
Hujan orografik
Hujan cyclonic
Double Mass Curve
Intensitas
Probabilitas

52
Mk. Hidrologi JFK

BAB V
LIMPASAN PERMUKAAN

A. Pendahuluan
Pada bab ini akan dipelajari tentang faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan (run-off) dan
luas daerah aliran sungai serta metode-metode yang digunakan untuk menghitung besarnya
limpasan curah hujan.

Tujuan yang ingin dicapai (TIK) setelah mengikuti materi ini adalah mahasiswa akan dapat :
a. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan dengan benar.
b. Menjelaskan daerah aliran sungai dengan baik dan benar.
c. Menentukan besarnya debit sungai berdasarkan contoh soal dengan benar.
d. Menganalisa limpasan permukaan berdasarkan contoh soal dengan benar.

5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Limpasan


Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan dibagi dalam dua kelompok, yakni
elemen-elemen meteorologi dan elemen-elemen daerah pengaliran.
a. Elemen-elemen meteorologi
- Jenis presipitasi, tergantung pada jenis presipitasi yakni hujan atau salju.
- Intensitas curah hujan, pengaruh intensitas curah hujan pada limpasan
permukaan tergantung dari kapasitas infiltrasi.
- Lamanya curah hujan.
- Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran.
- Arah pergerakan curah hujan.
- Curah hujan dan kelembaban udara.
- Kondisi meteorologi lainnya.
b. Elemen daerah pengaliran
- Kondisi penggunaan lahan/tanah.
- Daerah pengaliran, semakin besar daerah pengaliran, makin lama limpasan
itu mencapai tempat titik pengamatan/pengukuran.
- Kondisi topografi dalam daerah pengaliran.
- Jenis tanah.

5.2. Daerah Aliran Sungai


Daerah Aliran Sungai (DAS) (catchment, basin, watershed) merupakan daerah
dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini
umumnya dibatasi oleh batas topografi, yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran air

50
Mk. Hidrologi JFK

permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasar air air bawah tanah karena permukaan air
tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian.
Nama sebuah DAS ditandai dengan nama sungai yang bersangkutan dan dibatasi
oleh titik kontrol, yang umumnya merupakan stasiun hidrometri. Memperhatikan hal tersebut
berarti sebuah DAS dapat merupakan bagian dari DAS lain.

hulu

hilir

Gambar 5.1. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Sungai adalah torehan di permukaan bumi yang merupakan penampungan dan


penyalur alamiah aliran air dan material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir
suatu daerah pengaliran ke tempat yang lebih rendah dan akhirnya bermuara ke laut.
Ditinjau dari segi hidrologi, sungai mempunyai fungsi utama menampung curah hujan dan
mengalirkannya samapi ke laut. Daerah dimana sungai memperoleh air merupakan daerah
tangkapan hujan yang biasanya disebut Daerah Aliran Sungai atau Daerah Pengaliran
Sungai.

5.2.1. Pola Aliran


Sungai di dalam semua DPS mengikuti suatu aturan yaitu bahwa aliran sungai
dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dimana cabang dan anak sungai mengalir
ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola aliran. Pola itu
tergantung dari kondisi topografi, geologi, iklim, vegetasi yang terdapat didalam DPS
tersebut. Secara keseluruhan kondisi tersebut akan menentukan karakteristik sungai
di dalam bentuk polanya.Beberapa pola aliran yang terdapat di Indonesia antara lain :
a. Radial

51
Mk. Hidrologi JFK

Pola ini biasanya dijumpai di daerah lereng gunung berapi atau daerah dengan
topografi bebrbentuk kubah, misal sungai lereng Gunung Semeru di Jawa Timur,
Gunung Merapi di DI Yogyakarta, Gunung Ijen di Jawa Timur, Gunung Slamet di
Jawa Tengah.
b. Rektangular
Terdapat di daerah batuan kapur, misal Gunung Kidul di DI Yogyakarta.
c. Trellis
Biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen di daerah pegunungan
lipatan, misal di daerah pegunungan lipatan Sumatera Barat dan Jawa Tengah.
d. Dendritik
Pola ini pada umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan
penyebarannya luas. Misalnya suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang
luas dan terletak pada suatu bidang horizontal di daerah dataran rendah bagian
timur Sumatera dan Kalimantan.
G. Merapi

Kali Dengkeng

Kali Progo

Kali Opak

a. Tipe Radial

Kali Oyo

b. Tipe Rektangular

52
Mk. Hidrologi JFK

c. Tipe Trellis

Way Rarem

d. Tipe Dendritik
Gambar 5.2. Pola Aliran Sungai

5.2.2. Bentuk Daerah Aliran Sungai


Pola sungai menentukan bentuk suatu DPS. Bentuk DPS mempunyai arti penting
dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu berpengaruh terhadap kecepatan
terpusatnya aliran.
Setelah DPS ditentukan garis batasnya, maka bentuk DPSnya dapat diketahui. Pada
umumnya DPS dapat dibagi menjadi empat bentuk, yakni :
a. Memanjang
Biasanya induk sungai akan memanjang dengan anak-anak sungai langsung
masuk ke induk sungai. Kadang-kadang berbentuk seperti bulu burung. Bentuk ini
biasanya akan menyebabkan debit banjir relatif kecil karena perjalanan banjir dari
anak-anak sungai berbeda waktunya.
b. Radial
Bentuk ini terjadi karena arah alur sungai seolah-olah memusat pada suatu titik
sehingga menggambarkan adanya bentuk radial, kadang-kadang gambaran
tersebut berbentuk kipas atau lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut

53
Mk. Hidrologi JFK

maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru arah alur
sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Apabila terjadi hujan yang
sifatnya merata di seluruh DPS akan menyebabkan terjadinya banjir besar.
c. Pararel
DPS ini dibentuk oleh dua jalur sub DPS yang bersatu di bagian hilirnya. Apabila
terjadi banjir di daerah hilirnya biasanya setelah di sebelah hilir titik pertemuan
kedua alur sungai sub DPS tersebut.
d. Kompleks
Merupakan gabungan dasar dua atau lebih bentuk DPS.

5.2.3. Alur Sungai


Secara sederhana alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
a. Bagian hulu
Bagian hulu merupakan daerah sumber erosi karena pada umumnya alur sungai
melalui daerah pegunungan, perbukitan atau daerah gunung berapi yang
terkadang mempunyai cukup ketinggian dari muka laut, sebagai akibat keadaan
ini maka bentuk kontur akan relatif rapat yang menunjukkan miringnya
permukaan bumi yang cukup besar. Apabila hujan turun, sebagian besar air akan
merembes dan sebagian lain akan mengalir membawa partikel-partikel tanah
sehingga menimbulkan erosi. Alur sungai yang terjadi biasanya mempunyai
lembah yang curam dan biasanya melalui banyak terjunan dan jeram.
Penampang melintang bentuk V dengan material alur sungai berupa batuan
cadas, kerikil dan tanah. Bentuk penampang memanjang tidak beraturan karena
ada yang curam dan ada yang datar tergantung dari jenis batuan yang dilewati
alur sungainya. Alur sungai di bagian hulu biasanya mempunyai kecepatan aliran
yang cukup besar daripada bagian hilir, sehingga pada saat banjir material hasil
erosi yang diangkut tidak saja partikel sedimen yang halus akan tetapi juga pasir,
kerikil bahkan batu.
b. Bagian tengah
Merupakan daerah peralihan dari bagian hulu dan hilir. Kemiringan dasar sungai
lebih landai sehingga kecepatan aliran relatif lebih kecil dari pada bagian hulu.
Umumnya penampang sungai berbentuk peralihan V dan bentuk U sehingga
daya tampungnya biasanya masih mampu menerima banjir. Bagian tengah
merupakan daerah keseimbangan antara proses erosi dan pengendapan yang
sangat bervariasi dari musim ke musim.
c. Bagian hilir

54
Mk. Hidrologi JFK

Biasanya melalui dataran yang terbentuk dari endapan pasir halus sampai kasar
seperti lumpur, endapan organik dan jenis endapan lain yang sangat labil.

erosi

endapan

laut
hulu tengah hilir

Gambar 5.4. Sketsa profil memanjang alur sungai

5.2.4. Bentuk Sungai


Bentuk sungai dapat diklasifikasikan seperti berikut : meandering, lurus dan braided.
Namun sesungguhnya banyak kondisi transisi dari klasifikasi yang disebutkan di atas.
a. Bentuk meandering
Seperti telah diuraikan, karena proses erosi dan pengendapan yang berlangsung
terus-menerus pada sungai maka pada sungai akan terjadi perubahan bentuk
tampang. Untuk menyatakan perubahan tersebut istilah indeks tampang ( r )
sering digunakan.
d A
r= = 2 (5.1)
B B
A
dengan d=
B
A = luas tampang basah
B = lebar muka air
Pada umumnya pengaliran di sungai adalah tidak permanen (“unsteady”).
Fluktuasi muka air akibat perubahan debit jauh lebih kecil daripada fluktuasi yang
terjadi pada tampang basah alur yang kaku (“fixed” dan “non-erodible”). Untuk
keperluan analisis geometri tampang secara keseluruhan, beberapa kelompok
debit kadang perlu dipisahkan dari kelompok debit yang lain, karena pengaruhnya
terhadap perubahan geometri tampang relatif kecil.
Sungai yang berbentuk meander adalah sungai yang mempunyai belokan yang
secara (kurang lebih) teratur membentuk fungsi sinus pada bidang datarannya.

55
Mk. Hidrologi JFK

Biasanya terdiri dari beberapa seri belokan yang dihubungkan oleh bagian yang
lurus yang disebut dengan “crossing”. Umumnya meander sungai akan
mempunyai kemiringan dasar yang sangat landai. Dasar sungai pada sisi luar
belokan umumnya akan lebih dalam karena adanya kecepatan yang lebih besar
pada sisi luar belokan tersebut. Kemudian gaya centrifugal pada belokan akan
menyebabkan timbulnya arus melintang sungai yang selanjutnya bersama-sama
dengan aliran utamanya akan membentuk aliran helicoidal. Dengan demikian
erosi akan terjadi pada sisi luar belokan dan pengendapan akan terjadi pada sisi
dalam belokan. Teori tentang aliran yang terjadi pada belokan saluran dapat
digambarkan secara skematik sebagai berikut :

Sisi luar belokan Sisi dalam belokan z


V2/2g E=konstans
Vx Vy
y
E
z Vx

0 Vy

Gambar 5.5. Skematik aliran di belokan

Kemiringan muka air pada arah transversal adalah :


dz V 2
iy = ≈ (5.2)
dr gr
dengan r adalah jari-jari kelengkungan dari belokan sungai, dan V adalah
kecepatan rata-rata pada tempat yang ditinjau (arah vertikal).
Menurut Bernoulli, total energi harus konstan, dapat ditulis :
V2
E=z+ = kons tan (5.3)
2g
Dideferensiasi ke r :
dz V dV
+ =0 (5.4)
dr g dr

b. Bentuk lurus
Sungai lurus biasanya juga merupakan penghubung dari meander-meander
(crossing), sehingga seolah-olah merupakan bagian transisi dari meander satu ke

56
Mk. Hidrologi JFK

meander berikutnya. Kedalaman air pada crossing relatif lebih dangkal


dibandingkan dengan kedalaman air pada bagian meander. Sebagian material
hasil erosi pada sisi luar belokan kadang juga terbawa ke crossing oleh arus
melintang, karena pengaruh arus melintang masih terasa/belum hilang pada saat
memasuki bagian lurus.
Perlu diingat bahwa sesungguhnya arus melintang (biasa juga disebut arus
sekunder), dapat terjadi pada sembarang bentuk saluran/sungai. Sebab-sebab
terjadinya arus melintang pada bagian sungai lurus masih menjadi obyek
spekulasi ilmiah. Ada yang menyatakan bahwa arus melintang pada sungai lurus
timbul karena perbedaan konsentrasi sedimen dan temperatur air. Seberapa jauh
pengaruhnya masih terbuka untuk diperdebatkan, namun untuk keperluan praktis,
hal tersebut mungkin kurang penting.

c. Bentuk braided
Bentuk sungai semacam ini adalah sedemikian kompleksnya sehingga pada debit
kecil alur sungai kadang-kadang akan terdiri dari satu atau lebih alur sungai yang
dipisahkan oleh pulau-pulau kecil di dalam sungai tersebut. Sungai biasanya
lebar, alur-alur kecil serta formasi garis sedimen sering berubah dengan
berubahnya besar debit yang lewat, dan sulit untuk diprediksikan. Sungai
semacam ini biasanya mempunyai kemiringan yang relatif terjal serta membawa
sedimen dengan konsentrasi tinggi.
Gambar 5.6. Pola alur sungai

A A B B C C

Pola lurus dibagian tengah

Pola lurus di
bagian hulu

D D
E E Pola berbelok (meander)

57
Mk. Hidrologi JFK

5.2.5. Morfologi Sungai


Sungai sebagai aliran terbuka, dengan ukuran geometrik (tampang lintang, profil
memanjang dan kemiringan lembah) berubah dengan waktu, tergantung pada debit,
material dasar dan tebing, serta jumlah dan jenis dari sedimen yang diangkut oleh air.
Debit sungai sangat tergantung pada kejadian-kejadian metereologi, dengan proses
stokastik yang sangat bervariasi. Sedangkan jenis pengaliran pada alur buatan lebih
banyak di bawah kendali manusia, dapat tidak beraturan (“non-uniform”), sebagian
besar merupakan aliran permanen (“steady”).
Sungai akan leluasa dalam menyesuaikan ukuran-ukuran dan bentuknya, sebagai
reaksi adanya perubahan kondisi hidraulik dari aliran. Dengan demikian maka bagian
dasar dan tebing sungai akan dibentuk oleh material yang diangkut oleh aliran sungai
berasal dari pelapukan geologi pada periode yang panjang. Ukuran dan bentuk
sungai tersebut selanjutnya disebut morfologi sungai.

5.2.6. Morfometri Sungai


Morfometri sungai adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan keadaan jaringan
alur sungai secara kuantitatif. Keadaan yang dimaksud untuk analisa aliran sungai
antara lain :
a. luas
b. panjang dan lebar
c. kemiringan
d. orde dan tingkat percabangan sungai
e. kerapatan sungai

5.3. Analisa Limpasan Permukaan


Limpasan permukaan adalah bagian air yang sisa, setelah dikurangi bagian yang
meresap ke dalam tanah sebanyak sesuai dengan keadaan porous dan permeabilitas tanah.
Semua cara untuk perkiraan limpasan permukaan (debit banjir) yang berdasarkan
curah hujan lebat, dapat diklasifikasikan dalam 4 cara seperti berikut :
a. cara dengan rumus empiris
b. cara dengan rumus rasionil
c. cara statistik atau kemungkinan
d. cara dengan unit hidrograf
5.3.1. Rumus Empiris

58
Mk. Hidrologi JFK

Jika tidak terdapat data hidrologi yang cukup, maka perkiraan debit banjir dihitung
dengan rumus-rumus empiris yang telah banyak dikemukakan. Cara dengan rumus
empiris biasanya digunakan sebagai alat terakhir, yakni jika tidak terdapat data
yang cukup atau digunakan untuk memeriksa hasil yang didapat dengan cara yang
lain.
Tabel 5.1. Rumus-rumus empiris yang digunakan
No Pembuat Rumus Catatan Nama Satuan
Rumus Negara
1 Q=(10-70)A0,5 c.h sedang, Perancis M
A=3000-
160000km2
2 Qa=150A0,5 Hujan lebat, Perancis M
A=400-
3000 km2
3 Qa=24,12A0,516 A=15- Jerman M
200000 km2
4 Whistler Qm={1.538/(A+259)+0,054}A A=1000- Itaila M
12000 km2
5 Pangliaro Qm=2900h/(A+90) A kurang Italia M
dari 1000
km2
6 Qm=20000A0.5 New E
Zealand
7 Inglis Q=7000A/√(A+4) DPS bentuk India E
kipas
8 Ryues Q=675A0.67 India E
9 Ryues Qa=560A0.67 India E
10 Bransby Williams Q=4600A0.52 A lebih dari Inggris E
10 mil2
11 U.S Geological Q=1400A0.476 A=1000- USA E
24000mil2
12 Myer Q=10000A0.5
13 Baird&McIllwraith Qm=131000A/(107+A)0.78 Debit bjr Australia E
maks di
seluruh
dunia
14 Baird&McIllwraith Qm=222000A/(185+A)0,5 Australia E
15 Fanning Q=200A5/6 USA E
Q & Qm ; Debit banjir maksimum Qa : Debit banjir rata-rata (tahunan)
Sumber : Hidrologi, Sosrodarsono S.

59
Mk. Hidrologi JFK

Data AWLR / Pengukuran debit


Pengamatan peil scale

Stage hydrograph Rating curve


H vs t H vs Q

Discharge hydrograph
Q vs t

Didapat beberapa
debit puncak

Annual series Partial series Annual Exced. Series

Data debit maksimum

Diurutkan

Analisa cara statistik


(S, x, Cv, Cs, CK)

Pemilihan jenis sebaran

Plotting pada kertas prob.

Pengujian

Sebaran yang dipilih/gambar


pada kertas prob. Bisa dipakai

Banjir Rencana

Flowchart 5.1. Analisa Frekuensi Banjir

60
Mk. Hidrologi JFK

Hujan Rencana Menjadi Debit Rencana

Analisa frekuensi hujan

Analisis data hujan jam-jaman


dari penakar hujan otomatik Hujan rencana

Distribusi hujan jam-jaman Hujan didistribusi jam-jaman Rumus-rumus empiris Model hidrologi

Parameter DAS
Parameter DAS
Hydrograph satuan

Hydrograph <--> hujan


penyebab hidrograph
Hidrograph banjir Debit rencana Debit rencana

Debit rencana = debit


puncak hidrograph
(sudah termasuk aliran
dasar)

Keterangan : Periode ulang banjir dianggap sama dengan periode ulang hujan

Flowchart 5.2. Hujan Rencana menjadi Debit Rencana

61
Mk. Hidrologi JFK

5.2.1. Rumus Rasionil


a) Rumus Rasional Praktis
Rumus ini adalah rumus yang tertua dan yang terkenal di antara rumus-rumus
empiris. Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah
pengaliran hingga 50 km2= 5000 ha dan juga untuk perencanaan drainase
pengaliran yang relatif sempit. Penerapan metode rasional pada DPS yang luasnya
lebih dari 50 km2 adalah :
• Intensitas curah hujan merata di seluruh DPS untuk waktu curah hujan
tertentu,
• Waktu hujan sama dengan waktu konsentrasi DPS,
• Puncak banjir dan intensitas hujan mempunyai kala ulang yang sama.
Bentuk umum rumus rasionil adalah sebagai berikut:
1
Q= f .r. A = 0,277. f .r. A (5.5)
3,6
Q = debit banjir maksimum (m3/dt)
f = koefisien pengaliran/limpasan (lihat Lampiran 3.a)
r = intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam)
A = daerah pengaliran (km2)

b) Metode Melchior, der Weduwen dan Haspers


(1) Metode Melchior
Menurut Melchior, koefisien aliran berkisar antara 0,42 ; 0,52 dan 0,62. Nilai ini
tergantung pada kemiringan tanah, vegetasi, keadaan tanah, temperatur, angin,
penguapan dan lamanya hujan yang bersangkutan. Untuk perhitungan debit
banjir dianjurkan α = 0,52.
Koefisien reduksi β adalah perbandingan antara hujan rata-rata dan hujan
maksimum yang terjadi di suatu daerah pengaliran pada waktu yang sama, dan
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
1970
f = − 3960 + 1720 β (5.6)
β − 0,12
Waktu konsentrasi ditentukan terlebih dahulu untuk mempercepat curah hujan
maksimum dengan rumus :
1000 L
tc = (5.7)
3600V

V = 1,31 5 β .q. f .I 2 (5.8)

63
Mk. Hidrologi JFK

H
I= (5.9)
0,9 L
Q maks = α.β.q. f (5.10)
Keterangan :
tc = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang sungai (km)
V = kecepatan air rata-rata (m/dtk)
Qmaks = debit maksimum (m3/dtk)
α = koefisien aliran
β = koefisien reduksi
f = luas daerah pengaliran (km2)
q = hujan maksimum (m3/km2/dtk)
H = beda tinggi antara dasar sungai di mulut DPS dengan dasar sungai
di titik 0,9 L ke arah hilir
Maka T = 0,186.L.Q-0,2.i-0,4 (5.11)

(2) Metode der Weduwen


Koefisien aliran dihitung dengan rumus :
4,1
α = 1− (5.8)
β .q + 7
Koefisien reduksi (β) dihitung dengan rumus :
t +1
120 + f
β= t +9 (5.9)
120 + f
Waktu konsentrasi tc dihitung dengan rumus :
tc = 0,125L. Q-0,125.i-0,25 (5.10)
Hujan maksimum (q) dihitung dengan rumus :
67,65
q= (5.11)
t + 1,45
keterangan :
t = 1/6 sampai dengan 12 jam
f ≤ 100 km2
Pada penerapan metode Weduwen, pertama-tama ditentukan harga t perkiraan
untuk menghitung harga β,kemudian harga q dan α, kemudian hitung harga t
perhitungan dengan persamaan sebagai berikut :

64
Mk. Hidrologi JFK

0,475 xf 0,375
t= (5.12)
(αβq) 0,125 .I 0, 25
dengan ketentuan :
• Apabila harga t perkiraan belum sama dengan t perhitungan maka
tentukan harga t yang lain,
• Apabila harga t perkiraan sudah sama dengan t perhitungan maka debit
puncak banjirnya dapat dihitung.

(3) Metode Haspers


Koefisien aliran (α) dihitung dengan rumus :

1 + 0,012. f 0, 7
α= (5.13)
1 + 0,075. f
Koefisien reduksi (β) dihitung dengan rumus :

1 t + (3,7.10 0, 4t ) f 3 / 4
= 1+ (5.14)
β (t 2 + 15) 12
Waktu konsentrasi dihitung dengan rumus :
tc = 0,1.L0,9.i-0,3 (5.15)
Hujan maksimum dihitung dengan rumus :
Rt
q= (5.16)
3,6.t
Rt = R + Sx.U (5.17)
Keterangan :
t = waktu curah hujan (jam)
q = hujan maksimum( m3/km2/dtk)
R = curah hujan maksimum rata-rata (mm)
Sx = simpangan baku

⎛ R1 − Ra R2 − Ra ⎞
Sx = ½ ⎜⎜ + ⎟⎟ (5.18)
⎝ U1 U2 ⎠
R1 = hujan absolut maksimum ke 1
R2 = hujan absolut maksimum ke 2
U = variable simpangan untuk kala ulang T tahun (Lihat Lampiran 3.b)
tm = (n+1)/m (5.19)
n = jumlah tahun pengamatan
m = rank (1 dan 2)
Rt = curah hujan dengan kala ulang T tahun (mm)
65
Mk. Hidrologi JFK

Berdasarkan Haspers ditentukan :


a. Untuk t < 2 jam
t.R24
Rt = (5.20)
t + 1 − 0,0008(260 − R24 )(2 − t ) 2
b. Untuk 2 jam < t < 19 jam
t.R24
Rt = (5.21)
t +1
c. Untuk 19 jam < t < 30 hari
Rt = 0,707.R24 t + 1 (5.22)

Contoh :
Pada suatu pos duga air sungai, dengan luas DPS 50 km2 mempunyai aliran
puncak banjir dengan tinggi muka air 2,50 m. Puncak banjir tersebut terjadi pada
curah hujan maksimum yang tercatat pada 4 lokasi pos penakar curah hujan
otomatis sebesar 140, 142, 132, dan 146 mm. Panjang sungai utama 12,5 km
dengan kemiringan sungai 0,071. Hitung debit puncak banjir dengan cara Melchior,
Weduwen, dan Haspers!
Penyelesaian :
a. Melchior
Luas DPS, f = 50 km2
Luas elips,F (1/4.π.f.b) = 82 km2 ( b = sumbu pendek 2/3
dari sumbu panjang)
Kemiringan,I = 0,071
Koefisien aliran,α = 0,52
Koefisien reduksi,β = 0,92
Curah hujan maksimum rata-rata = 140 mm
Prosedur hitungan :
• Asumsi besarnya curah hujan maksimum sehari q1 = 10,9 m3/km2/dtk

• Kecepatan aliran rata-rata, V = 1,31. 5 0,92.10,9.50.0,0712 = 1,57 m/dt

10 x12,5
• Waktu konsentrasi, t c = = 2,2 jam
36 x1,57
• Lihat lampiran 3.c. didapatkan prosentase 43% dari perbandingan luas elips
dan lama curah hujan, sehingga :
• Rt = 0,43.R24

66
Mk. Hidrologi JFK

β .R24 maks 0,43.200


• q= =
36.t 36.2,2
= 10,9 m3/km2/dt cocok dengan asumsi di atas
• Debit puncak banjir = Q1 = β.q.f. (Rrata-rata/R24maks)
Q1 = 0,52 x 10,9 x 50 x (140/200)= 182 m3/dt

b. Weduwen
Pertama kita asumsikan t = 2,94 maka ,
3,94
120 + 50
11,94
• Harga koefisien reduksi, β = = 0,80
170
67,65
• Harga curah hujan maksimum, q = = 15,4
2,94 + 1,45
4,1
• Harga koefisien aliran, α = 1 − = 0,79
0,80 x15,4 + 7

0,476 x50 0,375


• t= = 3,00 jam (kurang 0,06 jam≈3,6 menit
(0,79 x0,80 x15,4) 0,125 .(0,071) 0, 25
untuk mendekati 2,94 jam, berarti tidak sama tperkiraan dengan tperhitungan).
Namun karena selisihnya hanya 3,6 menit maka dianggap untuk kasus ini
sudah memenuhi.
Jadi debit puncak banjirnya :
• Q = α.β.q.f
140
Q = 0,79 x 0,80 x 15,4 x 50 x = 340,648 m3/dt
200
c. Haspers

1 + (0,012 x50 0, 7 )
• Hitung besar koefisien aliran , α = = 0,55
1 + (0,075 x50 0,7 )
• Hitung waktu konsentrasi, t = 0,1 x 12,50,8 x 0,071-0,3 = 1,65 jam

1 1,65 + (3,7 x10 −0, 4 x1, 65 ) 50 3 / 4


• Harga koefisien reduksi, = 1+ x = 1,20
β 1,65 2 + 15 12
• Jadi β = 0,83
• Curah hujan selama t jam untuk t = 1,65 jam,
1,65 x140
Rt = = 87,66mm
1,65 + 1 − (0,0008(260 − 140)(2 − 1,65) 2 )
Rt = 0,63 R24
67
Mk. Hidrologi JFK

• Curah hujan maksimum


87,6
q= = 14,7 m 3 / km 2 / dt
3,6 x1,65
• Debit puncak banjir
Q = 0,55 x 0,83 x 14,7 x 50 = 336 m3/dt
(Perhitungan bisa pula dilakukan dengan tabel pada Lampiran 3.d)

Tabel 5.2. Debit maksimum hasil perhitungan beserta unsure-unsurnya


Unsur Melchior Weduwen Haspers
α 0,52 0,79 0,55
β 0,92 0,80 0,83
t 2,2 jam 2,94 jam 1,65 jam
Rt 0,43 0,68 0,63

R24
q 10,9 m3/km2/dt 15,4 m3/km2/dt 14,7 m3/km2/dt
Q 182 m3/dt 340,648 m3/dt 336 m3/dt

5.2.2. Cara Statistik atau Kemungkinan


Sebelum analisa limpasan dengan cara hidrograf satuan dikembangkan, penelitian
banjir telah dilakukan dengan cara statistik dan cara kemungkinan yang banyak
digunakan orang. Cara ini telah digunakan sebelum cara hidrograf satuan
diterapkan. Cara ini sangat teoritis dan mempunyai suatu keuntungan yang besar
sebagai cara peramalan yang berdasarkan data-data yang lalu. Salah satu cara
adalah Metode Institute of Hydrology Wallingford (IOH).

5.2.3. Cara Unit Hidrograf


Cara ini dapat diterapkan pada :
• daerah-daerah pengaliran yang kurang dari 25 km2 sampai daerah pengaliran
sebesar 5.000 km2.
• daerah pengaliran yang lebih besar dari 5.000 km2 cara ini dapat juga
digunakan jika telah dibuatkan hidrograf satuan yang bersangkutan dengan
corak curah hujan dalam daerah pengaliran itu.
• anak-anak sungai utama dalam daerah pengaliran yang lebih besar dari 20.000
km2.
Untuk membuat hidrograf banjir pada sungai-sungai yang tidak ada atau sedikit
sekali dilakukan observasi hidrograf banjirnya, maka perlu dicari karakteristik atau
parameter daerah pengaliran tersebut terlebih dahulu, misalnya untuk mencapai
puncak hidrograf, lebar dasar, luas, kemiringan, panjang alur terpanjang, koefisien
68
Mk. Hidrologi JFK

limpasan dan sebagainya. Ada 2 macam hidrograf satuan sintetik yang akan
dibahas pada buku ini yakni :
a. Hidrograf satuan sintetik SNYDER
Rumus yang digunakan di Indonesia adalah:
t p = Ct .( L.Lc ) n (5.23)

τp
te = (5.24)
5,5
Hubungan te, tp, tr dan Tp adalah sebagai berikut :
- Bila te > tr maka t’p = tp (te – tr) sehingga Tp = t’p + 0.5
- Bila te < tr maka Tp = tp + 0.5
Cp
qp = 0.278 dan Qp = qp A untuk hujan 1 mm/jam.
Tp

qp = puncak hidrograf satuan (m3/dtk/mm/km2)


Qp = debit puncak (m3/dtk/mm)
tp = waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak (time lag) dalam
jam.
Tp = waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga mencapai
puncak hidrograf.
Snyder hanya membuat rumus empirik untuk menghitung debit puncak Qp dan
waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak dari suatu hidrograf saja, sehingga
untuk mendapatkan lengkung hidrografnya memerlukan waktu untuk mengkalibrasi
parameter-parameternya. Untuk mempercepat pekerjaan tersebut diberikan rumus
ALEXEJEV, yang memberikan bentuk hidrograf satuannya.
Persamaan ALEXEJEV adalah sebagai berikut :
1). Q = f(t)
Q t
2). Y = dan X =
Qp Tp
(1− x ) 2
−a
x
3). Y = 10 dengan a diperoleh dari persamaan berikut ini :
Q p .Tp
λ=
h. A
dan h = tinggi hujan = 1 mm
a = 1,32.λ2 + 0,15.λ + 0,045 (5.25)
Untuk menghitung “kehilangan” dimasukkan rumus HORTON, yaitu :
fp = fc + (fo – fc ) e-kt (5.26)

69
Mk. Hidrologi JFK

Dengan :
fp = daya infiltrasi pada saat t
f0 = daya infiltrasi mula
fc = nilai akhir f
k = konstanta
e = bilangan alam = 2,718218
Untuk mendapatkan fp, f0, dan k dilakukan kalibrasi. fp tergantung pada tinggi curah
hujan, sedangkan f0 akan mempunyai nilai yang berbeda untuk masing-masing
keadaan banjir.
Dalam beberapa pengujian untuk beberapa buah sungai di Pulau Jawa, ternyata
bahwa persamaan-persamaan Snyder menunjukkan penyimpangan yang besar,
baik dalam besaran waktu capai puncak maupun debit puncak. Hal ini dapat
dipahami karena memenag cara ini mengandung koefisien empirik yang
dikembangkan di daerah Appalachian di Amerika yang kurang sesuai dengan
keadaan di Indonesia.

b. Hidrograf satuan sintetik NAKAYASU


Rumus yang digunakan adalah :
C. A.R0
Qp = (5.27)
3,6.(0,3.Tp + T0,3 )

dengan
Qp = debit puncak banjir (m3/dt)
R0 = hujan satuan (mm)
Tp = tenggang waktu (time lag) dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak sampai menjadi
30% dari debit puncak
2, 4
⎛ t ⎞
Qa = Q p ⎜ ⎟ (5.28)
⎜T ⎟
⎝ ⎠
dengan
Qa = limpasan sebelum debit puncak
t = waktu (jam)
Bagian lengkung turun (decreasing limb)

70
Mk. Hidrologi JFK

0,8tr tg

Lengkung Lengkung turun


naik

Qp
0,32 Qp
0,3 Qp
t

Tp T0,3 1,5 T0,3

Gambar 5.2. Grafik Hidrograf Nakayasu

t −T p

: Qd = Q p .0,3
T0 , 3
Qd > 0,3. Qp
t −T p + 0 , 5T0 , 3

0,3.Qp > Qd > 0,3.Qp : Qd = Q p .0,3


1, 5T0 , 3

t − T p +1, 5T0 , 3

: Qd = Q p .0,3
2 2T0 , 3
0,3 Qp > Qd

Tenggang waktu T = tg + 0,8. tr


Untuk
L < 15 km t = 0,21. L0,7
L > 15 km t = 0,4 + 0,058 L
L = panjang alur sungai (km)
tg= waktu konsentrasi (jam)
tr = 0,5 tg sampai tg
T0,3 = α. tg (5.29)
Untuk
# Daerah pengaliran biasa α = 2.
# Bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat α
= 1,5.
# Bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian yang menurun yang
lambat α = 3.

71
Mk. Hidrologi JFK

Contoh :
Luas daerah pengaliran suatu sungai sampai ke pelepasannya (outlet) adalah
2400 km2. Panjang L = 75 km. Hujan efektif dalam daerah pengaliran adalah
sebagai berikut :
t = 1 2 3 jam
Hujan= 20 40 10 mm/jam

Penyelesaian :
L = 75 km > 15 km maka tg = 0,4 +0,058 x 75 = 4,75 jam
tr = diambil 0,75 x tg = 3,56 jam
Tp = tg + 0,8 x tr = 4,75 + 0,8 x 3,56 = 7,6 jam
T0,3 = a. tg = 2 x 4,75 = 9,50 jam
A.R0 2400.1
Qp = =
3,6(0,3T p + T0,3 ) 3,6(0,3 x7,6 + 9,5)
= 56,69 m3/dt
Perhitungan selanjutnya dilakukan pada Tabel 5.3. berikut ini :
2, 4
⎛ t ⎞ ⎛ t ⎞
0 ≤ t ≤ Tp Æ Qa =Qp ⎜ ⎟ = 56,69⎜ ⎟2,4
⎜T ⎟ ⎝ 7,6 ⎠
⎝ p ⎠
t −T p t −7,6

Tp ≤ t ≤ (Tp + T0,3) Æ Qd 1 = Q p x0,3 = 56,69 x0,3


T0 , 3 9,5

t −T p + 0 , 5T0 , 3 t − 2 ,85

(Tp + T0,3) ≤ t ≤ (Tp + T0,3 + 1,5. T0,3) Æ Qd 2 = Q p x 0,3 = 56,69 x0,3 14, 25
1, 5.T0 , 3

t −T p +1, 5.T0 , 3
t + 6 , 65
t ≥ (Tp + T0,3 + 1,5.T0,3) Æ Qd 3 = Q p x0,3 = 56,69 x0,3
2.T0 , 3 19

Dengan memberikan nilai t dalam kolom 1 maka akan didapat nilai-nilai Q dalam
kolom 2 pada Tabel 5.3 dengan menggunakan rumus-rumus yang telah
dimasukkan nilai-nilai Qp. Tp, dan T0,3 yang merupakan variable tunggal t saja.

72
Mk. Hidrologi JFK

Tabel 5.3. Tabulasi perhitungan data dengan Metode Nakayasu

t U(t,1) Akibat hujan


(jam) (m3/dt) 20 40 10 Total Ket
(m3/dt) (m3/dt) (m3/dt)
0 0 0 0 0 0
1 0.4361 8.72 0 0 8.72
2 2.3016 46.03 17.44 0 63.47
3 6.0904 121.81 92.06 4.36 218.23
4 12.1478 242.96 243.62 23.02 509.59 Qa
5 20.7530 415.06 485.91 60.90 961.88
6 32.1453 642.91 830.12 121.48 1594.50
7 46.5360 930.72 1285.81 207.53 2424.06
8 53.8878 1077.76 1861.44 321.45 3260.65
9 47.4734 949.47 2155.51 465.36 3570.34
10 41.8226 836.45 1898.94 538.88 3274.27
11 36.8444 736.89 1672.90 474.73 2884.52
12 32.4587 649.17 1473.77 418.23 2541.17 Qd1
13 28.5951 571.90 1298.35 368.44 2238.69
14 25.1913 503.83 1143.80 324.59 1972.22
15 22.1928 443.86 1007.65 285.95 1737.46
16 19.5511 391.02 887.71 251.91 1530.65
17 17.2239 344.48 782.04 221.93 1348.45
18 15.7617 315.23 688.96 195.51 1199.70
19 14.4847 289.69 630.47 172.24 1092.40
20 13.3112 266.22 579.39 157.62 1003.23
21 12.2327 244.65 532.45 144.85 921.95
22 11.2417 224.83 489.31 133.11 847.26
23 10.3309 206.62 449.67 122.33 778.61
24 9.4939 189.88 413.24 112.42 715.53 Qd2
25 8.7247 174.49 379.76 103.31 657.56
26 8.0178 160.36 348.99 94.94 604.28
27 7.3683 147.37 320.71 87.25 555.33
28 6.7713 135.43 294.73 80.18 510.33
29 6.2227 124.45 270.85 73.68 468.99
30 5.7185 114.37 248.91 67.71 430.99
31 5.2552 105.10 228.74 62.23 396.07
32 4.8962 97.92 210.21 57.19 365.32
33 4.5956 91.91 195.85 52.55 340.31 Qd3
34 4.3134 86.27 183.82 48.96 319.05
35 4.0486 80.97 172.54 45.96 299.46

Hasil perhitungan tersebut di atas dapat digambarkan seperti berikut :

73
Mk. Hidrologi JFK

Hidrograf Satuan Nakayasu


4000

3500

3000
debit Q (m3/dtk)

40 mm/jam
2500 20 mm/jam
2000 10 mm/jam
total
1500

1000

500

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
waktu t (jam)

Gambar 5.3. Grafik Hidrograf Nakayasu

C. Penutup

Soal-Soal

1. Sebut dan jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan !


2. Sebut dan jelaskan beberapa pola aliran yang ada di Indonesia !
3. Sebut dan jelaskan bentuk daerah aliran sungai!
4. Apa yang anda ketahui tentang sungai bentuk meander dan braided? Jelaskan !
5. Diketahui data-data sebagai berikut :
- Luas DPS = 48 km2
- Panjang sungai = 13 km
- Kemiringan = 0,0075
- Curah hujan maksimum = 145 mm
Hitunglah debit banjir (Q) dengan metode Melchior, Weduwen, dan Haspers !
6. Luas daerah pengaliran suatu sungai sampai ke pelepasannya (outlet) adalah 2500 km2.
Panjang L = 75 km. Hujan efektif dalam daerah pengaliran adalah sebagai berikut :

74
Mk. Hidrologi JFK

t = 1 2 3 jam
Hujan = 25 50 30 mm/jam
Buatlah grafik hidrograf satuan sintetik Nakayasu !

Daftar Pustaka

Gupta,Ram S., 1989, Hydrology and Hydraulic Systems, Prentice Hall, New Jersey

Joesron Loebis, 1992, Banjir Rencana untuk Bangunan Air, Departemen Pekerjaan Umum,
Jakarta

Raudkivi,Arved J.,1979, Hydrology, Pergamon Press,New York

Soemarto,C.D, 1999, Hidrologi Teknik, Erlangga, Jakarta

Soewarno, 1995, Hidrologi (Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data),Nova, Bandung

Sri Harto Br., 1993, Analisis Hidrologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Sosrodarsono,2003, Hidrologi untuk Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga


Listrik

75
Mk. Hidrologi JFK

BAB VI. AIR TANAH

A. Pendahuluan

Dalam bab ini akan dipelajari pengetahuan dasar tentang air tanah, keadaan air tanah,
pergerakan air tanah, jenis air tanah, kerugian akibat pemanfaatan air tanah, konservasi air
tanah dan besarnya air yang keluar.

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya bab III tentang infiltrasi dan
perkolasi.

Tujuan yang hendak dicapai (TIK) pada bab ini adalah mahasiswa akan dapat :
a. Menjelaskan pengertian air tanah dengan benar.
b. Menjelaskan kerugian akibat pemanfaatan air tanah dengan benar.
c. Menjelaskan konservasi air tanah dengan baik
d. Menganalisis kapasitas aliran air tanah berdasarkan contoh soal dengan benar.

B. Penyajian

6.1. Pengertian Air Tanah


Air tanah adalah air yang terkandung dalam pori-pori atau retak-retak tanah/batuan di
bawah permukaan tanah.

Garis pizometrik

Artesis
Muka air tanah bebas

Aquifer bebas

Lapisan kedap (impermeable)

Aquifer tertekan

Gambar 6.1. Corak dari permukaan air tanah

76
Mk. Hidrologi JFK

Aliran air tanah pada lapisan pembawa air tersebut mengalir dari tempat yang
mempunyai kedudukan lebih tinggi ke arah yang lebih rendah. Muka air tanah bebas
umumnya mengikuti kenampakan dari permukaan tanah (topografi).

Beberapa istilah tentang Air Tanah


# Aquifer adalah suatu lapisan tanah/formasi batuan pembawa air tanah. Lapisan
tanah/batuan tersebut tersusun sedemikian rupa sehingga dapat menyimpan air
dalam jumlah yang signifikan. Misalkan : lapisan pasir, kerikil, batu pasir, batu
gamping yang mempunyai rekah-rekah.
# Lapisan kedap air adalah formasi batuan yang bisa menyimpan air tanah tetapi
tidak dapat mengalirkan air tanah dalam jumlah yang berarti. Misalkan : lempung,
lumpur, fur halus.
# Aquifuge adalah formasi batuan kebal air yang tidak mengandung dan
mengalirkan air tanah. Misalkan : batu granit dan batu beku.
# Hidrogeologi adalah ilmu yang mempelajari tentang air tanah dan menekankan
pada geologi.
# Geohidrologi adalah ilmu yang mempelajari air tanah yang menekankan pada
hidrologi.

6.1.1. Jenis Aquifer


Ada 2 jenis aquifer :
a. Aquifer bebas (unconfined aquifer) : terdapat pada bagian atas lapisan kedap
dan disebut juga air tanah dangkal.
b. Aquifer tertekan (confined aquifer) : lapisan yang biasanya terletak antara dua
lapisan kedap air dan mempunyai tekanan.

6.1.2. Hubungan Air di Sungai dan Air Tanah

Muka air tanah dangkal


lebih tinggi daripada
air sungai

77
Mk. Hidrologi JFK

Muka air tanah dangkal


lebih rendah daripada
air sungai

Muka air tanah jauh


dibawah dasar sungai.

Gambar 6.2. Hubungan Air di Sungai dan Air Tanah

6.1.3. Zona-Zona Dalam Air Tanah


Pada prinsip air di bawah permukaan tanah terdapat 2 zona yakni :
a. Zona Aerasi (Zone of Aeration)
Zone ini tidak jenuh air, dimana rekah-rekah tanah tidak seluruhnya terisi air tapi
terisi udara. Dalam zone ini terdapat sirkulasi antara air dan udara. Zone ini
terbagi dalam 3 zone yakni :
1). Soil water zone : zone ini tidak jenuh kecuali mendapat air hujan/ irigasi
dan merupakan zone perakaran.
2). Intermediate Zone : terletak di bawah soil water zone dan di atas zone
kapiler.
3). Capilary Zone : terletak di atas water table. Kenaikan air terjadi secara kapiler
(gaya kohesi).
b. Zone Jenuh Air (Zone of Saturation)
Terletak di bawah zone of aeration yang dilalui oleh water table dan lapisan ini
menunjukkan adanya tekanan udara. Air dalam zone inilah yang dinamakan air
tanah.

6.1.4. Mata Air


Mata air adalah aliran air tanah yang terkonsentrasi dan keluar / muncul di
permukaan tanah. Bentuk lain keluarnya air tanah ke permukaan sebagai aliran tetapi
tidak terkonsentrasi disebut rembesan. Air tanah juga muncul disebabkan adanya
permukaan tanah yang terpotong secara tiba-tiba yang mungkin disebabkan gempa
tektonik.

78
Mk. Hidrologi JFK

a. Mata Air dibedakan Menurut Konstansinya :


1). Parrenial Spring : apabila debit mengalir sepanjang tahun.
2). Intermitten Spring : apabila aliran debit tidak sepanjang tahun. Pada musim
hujan air muncul karena adanya imbuhan (recharge) sehingga water table
naik.
3). Periodic Spring : mata air jenis ini sangat terpengaruh hujan. Apabila hujan
turun sesaat kemudian air mengalir dan selanjutnya debit mata air mengecil
bahkan tidak mengalir lagi.
Di dalam pengembangan pengelolaan mata air maka perlu diteliti apakah jenis
kontansi debit airnya termasuk diantaranya.
b. Klasifikasi Mata Air menurut Terbentuknya/Kejadiannya
1). Mata air yang mengalir dari formasi permeable tipis

Mata air Mata air

Gambar 6.3. Permeable Tipis

2). Mata air yang terbentuk oleh karena muka air tanah (water table) berpotongan
dengan permukaan tanah (depression spring). Mata air ini mengalir pada
lapisan permeable tebal.
v

Gambar 6.4. Permeable


Mata Air Tebal

3). Mata air yang terbentuk karena patahan/retakan formasi pada bidang
pelapisan dari permeable dan impermeable. Muncul keluar sebagai mata air
artesis.

79
Mk. Hidrologi JFK

Lapisan impervious

Lapisan pervious

Gambar 6.5. Mata Air yang Muncul Karena Patahan

4). Mata air yang terbentuk dan mengalir dari saluran/pipa yang terbentuk dan
mengalir dari saluran yang terbentuk dari rekahan pada batuan impermeable.
inlet

outlet

5). Mata air yang muncul dan mengalir melalui saluran / pipa alam yang terbentuk
oleh lava.

c. Pengukuran Potensi Mata Air


Pemanfaatan air tanah yang muncul sebagai mata air ini dapat dimanfaatkan
untuk air minum, pertanian, perikanan maupun industri. Perlu diperhatikan dalam
hal kualitas karena mineral air tanah lebih pekat daripada air permukaan.
1). Volumetri yaitu pengukuran debit berdasarkan jumlah volume per satuan
waktu. Biasanya debit yang diukur kecil, aliran mengucur dari tebing dan
ditampung di ember dan diukur waktunya.
2). Pelampung : pengukuran ini pada aliran dan yang diukur adalah kecepatan
permukaan. Sehingga kalau mencari debit aliran dicari dahulu kecepatan rata-
rata.
3). Currentmeter : alat ini untuk mengukur arus/kecepatan pada kedalaman yang
bisa diatur.

6.2. Kerugian Akibat Pemanfaatan Air Tanah


Air tanah merupakan satu bagian dalam proses sirkulasi alamaiah. Jika
pemanfaatan air tanah yang berlebihan akan mengurangi volume air tanah yang ada.

80
Mk. Hidrologi JFK

Berkurangnya volume air tanah akan kelihatan dalam bentuk penurunan permukaan
air tanah atau penurunan tekanan air secara terus menerus.
Penurunan permukaan air tanah atau tekanan air tanah secara terus menerus dapat
mengakibatkan penurunan tanah dan penerobosan air asin ke dalam air tanah
(intrusi air laut). Akan tetapi penurunan tanah atau penerobosan air asin tidak
seluruhnya diakibatkan oleh pemompaan yang berlebihan. Kejadian ini mempunyai
hubungan dengan kondisi geologi di daerah air tanah dan jenis air tanah itu.
Penurunan tanah terjadi karena penurunan tekanan air tanah dalam aquifer
mengakibatkan air yang berada dalam lapisan lempung di bawah dan di atas itu
diperas. Sebab-sebab uatama yang mengakibatkan penurunan tanah adalah :
a. Adanya lapisan atas dan bawah dari aquifer yang menderita penurunan oleh
konsolidasi karena air yang diperas keluar (contoh lapisan lempung lemah).
b. Besarnya penurunan permukaan air tanah harus cukup besar dan cukup lama
sehingga dapat mengakibatkan penurunan konsolidasi lapisan-lapisan atas
dan bawah aquifer.
Sebab-sebab utama terjadinya penerobosan air asin :
a. Aquifer itu berhubungan dengan air laut,
b. Besarnya penurunan permukaan air harus cukup besar sehingga dapat
mengakibatkan penerobosan air asin.

6.3. Konservasi Air Tanah


a. Teknik untuk penentuan besarnya pemanfaatan yang sesuai
Untuk kepentingan pengawetan air tanah, maka perlu diketahui besarnya
pemanfaatan yang sesuai dengan pemompaan air tanah. Untuk itu disarankan :
- Dibuat perhitungan neraca air untuk air tanah itu dan ditentukan besarnya
pemanfaatan air tanah yang sesuai dengan besarnya sirkulasi air tanah
berdasarkan hasil perhitungan neraca air. Juga diperkirakan pengaruh yang
terjadi jika diadakan pemompaan lebih.
- Di daerah pemanfaatan air tanah yang utama, dipasang sistem pengamatan
permukaan air tanah.

b. Pengisian kembali secara buatan.


Untuk mempertinggi besarnya pemanfaatan air tanah, maka kapasitas pengisian
kembali air tanah itu harus diperbesar secara buatan. Ada beberapa cara pengisian
kembali air tanah secara buatan yakni cara penyebaran dan cara pengisian melalui
sumur dan kombinasi cara-cara tersebut.

81
Mk. Hidrologi JFK

6.4. Besarnya Air yang Keluar


Air tanah dapat diambil melalui sumur atau serambi infiltrasi. Permukaan di daerah
sekeliling dapat diturunkan dengan menurunkan permukaan air pada tempat-tempat
pengambilan ini.
a. untuk aquifer yang tebal dan air keluar dari dasar sumur, dan jika dasar sumur datar :
Q = 4. K. s. rw (6.1)
Keterangan :
Q = banyaknya air yang keluar
K = koefisien permeabilitas
s = besarnya penurunan permukaan air
rw = jari-jari sumur
Jika dasar sumur berbentuk bola, maka :
Q = 2 π K s rw (6.2)
b. jika aquifer tidak terlalu tebal dan air keluar dari dasar dan sisi sumur, maka :

1,36 K H 2 − h2
Q= (6.3)
R h h
log ( ) 0,5 ( ) 0, 25
rw hs + 0,5rw 2 h − hs
Keterangan :
R = jari-jari lingkaran pengaruh
H = tebal aquifer
h = dalam dari permukaan air yang dipompa ke permukaan lapisan kedap air di
bawah
hs = dalam air di sumur pada waktu pemompaan
c. sumur-sumur lain, jika sumur digali pada dataran banjir tepi sungai, maka aliran di
dalam tanah dari sungai langsung masuk ke dalam sumur.
• Air tanah bebas

1,36 K ( H 2 − h 2 )
Q= (6.4)
2d
log
rw
Keterangan :
d = jarak dari sumur ke tepi sungai
H = tebal aquifer
H = dalam dari permukaan air yang dipompa ke permukaan lapisan
kedap air

82
Mk. Hidrologi JFK

• Air tanah terkekang


2,7 mK ( H '− h)
Q= (6.5)
2d
log
rw
Keterangan :
m = tebal aquifer
H’ = dalam dari tekanan air terkekang ke permukaan lapisan kedap air.

C. Penutup

Soal-Soal

1. Apa yang anda ketahui tentang air tanah !


2. Apa yang dimaksud dengan :
a. Aquifer terkekang
b. Aquifuge
c. Hidrogeologi
d. Geohidrologi
3. Sebutkan zona-zona dalam air tanah ! Jelaskan !
4. Apa yang dimaksud dengan mata air?
5. Apa yang dimaksud dengan :
a. Volumetri
b. currentmeter
6. Sebutkan sebab utama penerobosan air asin!
7. Sebutkan jenis-jenis mata air menurut terbentuknya! Jelaskan !
8. Jelaskan kerugian yang diakibatkan oleh pemanfaatan air tanah !
9. Sebut dan jelaskan cara-cara konservasi air tanah !
10. Turunkan persamaan untuk air yang keluar dari dasar sumur, jika dasar sumur datar dan
dasar sumur berbentuk bola.

Daftar Pustaka

Didik Kresnohadi, 2004, Sumber Daya Air, Kupang

Soemarto,C.D, 1999, Hidrologi Teknik, Erlangga, Jakarta

83
Mk. Hidrologi JFK

Sosrodarsono,2003, Hidrologi untuk Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga


Listrik

Daftar Istilah

Aquifer
Aquifuge
Hidrogeologi
Geohidrologi
Pervious
Impervious
Currentmeter
Intrusi

84
BAB VII. EROSI DAN SEDIMENTASI

A. Pendahuluan
Dalam bab ini akan dipelajari pengetahuan dasar tentang erosi pada DAS, Nilai Indeks
Erosivitas Hujan, Faktor Erodibilitas Tanah, Faktor Tanaman atau Faktor C, dan faktor
tindakan pengendalian erosi.

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan
pengaliran air permukaan (run off).

Tujuan yang hendak dicapai (TIK) pada bab ini adalah mahasiswa akan dapat :
a. Menjelaskan pengertian erosi dan faktor – faktor penyebab erosi dan sedimentasi
dengan benar.
b. Menjelaskan pengaruh tanah, tanaman dan curah hujan terhadap besar kecilnya
erosi.
c. Menjelaskan konservasi lahan dengan baik agar dapat menanggulangi pengaruh
bahaya erosi terhadap bangunan air.
d. Menganalisis besarnya nilai erosi dan sedimentasi berdasarkan contoh soal
dengan benar.

B. Penyajian

7.1. EROSIVITAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

Suatu model parametrik untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah
telah dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965, 1978) yang
dikenal dengan the Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah suatu
model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi jangka
panjang dari erosi lembar (sheet erosion) termasuk di dalamnya erosi alur
(gully erosion) pada suatu keadaan tertentu.

Dengan menggunakan persamaan USLE dapat diprediksi laju rata-rata


erosi dari suatu bidang tanah tertentu, pada suatu kecuraman lereng dan
dengan pola hujan tertentu, untuk setiap macam pertanaman dan
tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang sedang atau
yang mungkin dapat dilakukan. Persamaan yang dipergunakan
mengelompokkan berbagai parameter fisik (dan pengelolaan) yang
mempengaruhi laju erosi ke dalam enam parameter utama. Persamaan
USLE yang diusulkan adalah sebagai berikut :
A = RKLSCP
Dengan:
A = adalah banyaknya tanah yang tererosi dalam [ton per hektar
per tahun]
R = adalah faktor curah hujan dan aliran permukaan (erosivitas
hujan), yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan
perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan
maksimum 30 menit (I30) tahunan
K = adalah faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi
hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan
standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 72,6 ft (22,1
m) dan terletak pada lereng 9 % tanpa tanaman.
L = adalah faktor Panjang lereng, yaitu perbandingan antara
besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu
terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 ft (22,1 m)
di bawah keadaan yang identik.
S = adalah faktor kecuraman lereng yaitu perbandingan antara
besarnya erosi yang terjadi dari suatu bidang tanah dengan
kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah
dengan lereng 9 % di bawah keadaan yang identik
C = adalah faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan
tanaman, yaitu perbandingan antara besarnya erosi dari suatu
bidang tanah dengan vegetasi penutup dan pengelolaan
tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang
identik tanpa tanaman
P = adalah tindakan-tindakan khusus konservasi tanah, yaitu
perbandingan antara besarnya erosi dari tanah yang diberi
perlakukan tindakan konservasi khusus (seperti pengolahan
tanah menurut kontur, penanaman dalam stripping atau terras),
terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng
dalam keadaan yang identik.

7.1.1. Nilai Indeks Erosivitas Hujan

Pada persamaan USLE, nilai R yang merupakan daya perusak hujan


atau erosivitas hujan tahunan dapat dihitung dari data curah hujan
yang didapat dari penakar hujan otomatis, atau dari data hujan biasa R
adalah faktor fisik hujan yang menyebabkan timbulnya prosses erosi baik
erosi permukaan, erosi alur atau erosi tebing. Faktor fisik hujan yang
dapat menimbulkan erosi disebut erosivitas hujan.

Erosivitas hujan besarnya merupakan fungsi dari energi kinetik total hujan
dengan intensitas hujan maksimal selama 30 menit dengan satuan
[ton/ha/cm hujan]. Dalam satu kejadian hujan, energi kinetiknya dapat
dihitung sebagai berikut :
E = 14,374 R1,075

Dimana :
E = energi kinetik dalam [ton/ha/cm hujan]
R = intensitas hujan dalam [cm/jam]
Menurut Wischmeier erosivitas hujan dapat ditentukan dengan
persamaan sebagai berikut :

EI30 = (E.I30)/100

Satuan EI30 tergantung dari satuan E dan I30 bila digunakan sistem
satuan metrik digunakan [ton-m ha-1 cm jam-1 ]. Dengan demikian
satuan I30 mengikuti satuan dari energi kinetiknya.

R
I 30 =
77,178 + 1.01 × R

Hasil perhitungan erosivitas dapat dilihat pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1.

Perhitungan Erosivitas Hujan (EI30)

Bulan R E I30 EI30


mm ton. M/ha. Cm ton cm/ha. Jam

Jan 403.00 9,084.07 0.83 75.61


Feb 411.18 9,282.48 0.83 77.50
Mar 358.27 8,004.93 0.82 65.32
Apr 375.55 8,420.54 0.82 69.28
Mei 82.55 1,652.05 0.51 8.49
Jun 30.27 561.96 0.28 1.58
Jul 41.45 787.89 0.35 2.74
Agt 10.73 184.23 0.12 0.22
Sep 33.00 616.57 0.30 1.84
Okt 112.27 2,299.44 0.59 13.55
Nop 307.55 6,793.29 0.79 53.87
Des 246.45 5,354.20 0.76 40.47
Rerata 201.02 4,420.14 0.58 34.21
Total tahunan 2,412.27 53,041.65 7.01 410.48

Sumber : Perhitungan
7.1.2. Nilai Faktor Erodibilitas Tanah
Faktor erodibilitas tanah, K, adalah nilai kuantitatif yang dapat diperoleh
dari percobaan lapangan. Jika tidak terdapat data lapangan, maka
nilai K dapat dihitung dengan menggunakan nomogram seperti
tercantum pada Gambar 7.1.

Gambar 7.1. Nomogram untuk penentuan nilai K.

Nilai K untuk beberapa jenis tanah di Indonesia yang dikeluarkan Dinas


RLKT, Departemen Kehutanan, diberikan pada Tabel 4.2. di bawah ini.

Tabel 7.2. Jenis tanah dan nilai faktor erodibilitas (K)

Faktor K
No. Jenis Tanah
(erodibilitas)
1. Latosol coklat kemerahan dan litosol 0.43
Latosol kuning kemerahan dan
2. 0.36
litosol
3. Komplek mediteran dan litosol 0.46
4. Latosol kuning kemerahan 0.56
5. Grumusol 0.20
6. Aluvial 0.47
7. Regusol 0.40
Sumber : Anonimous III, 2000

Dalam menentukan nilai erodibilitas tanah di daerah aliran sungai


Waduk Batujai diperoleh dari peta tanah pada Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Dodokan Moyo Sari, Dinas Kehutanan Propinsi
Nusa Tenggara Timur
7.1.3. Nilai Faktor Lereng LS (Panjang dan Kemiringan)
Panjang lereng, L, diukur dari suatu tempat pada permukaan tanah
dimana erosi mulai terjadi sampai dengan tempat dimana terjadi
pengendapan (yang bisa disebabkan oleh karena berkurangnya
kecuraman lereng), atau sampai pada suatu tempat dimana aliran air
di permukaan tanah masuk ke dalam saluran. Data percobaan
lapangan menunjukkan bahwa besarnya erosi per satuan luas
berbanding dengan pangkat panjang lereng. Oleh karena nilai L
adalah perbandingan besarnya erosi dari suatu lereng terhadap
besarnya erosi dari lereng dengan panjang 22,1 meter, maka nilai L
dapat dinyatakan sebagai berikut :

L = (X/22,1)m

Dimana :
L = adalah faktor panjang kemiringan lereng tanah dalam [m]
X = adalah panjang lereng dalam [m]
M = adalah tetapan tergantung dari kemiringan lereng tanah,
dengan :
m = 0.2 untuk kemiringan lereng ≤ 1%
m = 0.3 untuk kemiringan lereng > 1 % sampai dengan ≤ 3 %
m = 0.4 untuk kemiringan lereng > 3 % sampai dengan ≤ 5 %
m = 0.5 untuk kemiringan lereng > 5 %

Sebagaimana disampaikan di depan bahwa panjang lereng


kemiringan pada petak uji standar adalah 72.6 [ft] atau sama dengan
22.1 [m], sehingga untuk panjang kemiringan lereng sembarang perlu
dibagi dengan nilai 72.6 [ft] atau 22.1 [m] sebagaimana ditunjukkan
pada persamaan diatas.

Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa nilai eksponen panjang


lereng yang didapat dari data percobaan lapangan mungkin akan
memberikan angka laju erosi yang terlalu tinggi jika dipergunakan untuk
lereng yang panjangnya lebih dari 400 m.

Besarnya erosi meningkat lebih besar dibandingkan dengan aliran


permukaan jika kecuraman lereng, S, bertambah. Kecuraman lereng
dinyatakan dengan derajat sudut lereng atau persen. Lereng 100%
berarti bersudut 45 derajat. Nilai faktor S dalam persamaan USLE dihitung
dengan persamaan :
S = 65,41 SIN 2Θ + 4,56 Sin2Θ + 0,065

Dimana Θ adalah sudut lereng dalam [derajat]. Jika dipergunakan


kecuraman lereng dalam [persen], maka persamaan faktor S menjadi :
0,43 + 0,30 s + 0,043 s2
S=
6,613

atau
S = 0,065 + 0,045 s + 0,0065 s2

dimana s adalah kecuraman lereng dalam [persen]. Persamaan diatas


dikembangkan dari data percobaan pada lereng-lereng kurang dari 20
%. Untuk lereng lebih dari 20 % beberapa besar penyimpangannya
masih belum banyak diteliti.

Dalam prakteknya nilai L dan S sering dihitung sekaligus berupa faktor LS.
LS adalah perbandingan antara besarnya erosi dari sebidang tanah
dengan panjang lereng dan kecuraman tertentu terhadap besarnya
erosi dari tanah yang terletak pada lereng dengan panjang 22,1 meter
dan kecuraman 9 persen. Nilai LS untuk suatu bidang tanah dapat
dihitung dengan persamaan:

LS =(X/22,1)m (0,065 + 4.56 sin Θ + 65,41 sin2Θ)

Atau

LS =(X/22,1)m (0,065 + 0,045 s + 0,0065 s2)

dimana :
m = tetapan seperti telah tercantum dalam rumusan terdahulu
Θ = sudut kemiringan lereng tanah dalam [derajat]
s = kemiringan lereng tanah dalam [persen]

Untuk nilai s = 9 persen, digunakan nilai m = 0.5, sehingga diperoleh


persamaan :

LS = √ X (0,0138 + 0,00965 s + 0,00138 s2)

Dimana X adalah panjang lereng dalam [m] dan s adalah kecuraman


lereng dalam [persen]. Nilai LS dapat juga diperoleh dengan
menggunakan nomograf pada Gambar 7.2.
Gambar 7.2. Faktor Topografis LS

Nilai faktor kemiringan lereng dikeluarkan Departemen Kehutanan


diberikan pada Tabel 7.3. yang ditetapkan berdasarkan kelas lereng.

Tabel 7.3. Penilaian kelas lereng dan faktor LS


Kelas Lereng Kemiringan Lereng LS
I 0–8 0,4
II 8 – 15 1,4
III 15 – 25 3,1
IV 25 – 40 6,8
V > 40 9,5

Sumber : Anonimous III, 2000

Dari Peta Bakosurtanal kemiringan lereng di daerah aliran sungai ke dua


embung dianalisa dari peta rupa bumi skala 1 : 25.000. Penilaian kelas
lereng berdasarkan pada tabel 4.3.

7.1.4. Nilai Faktor Tanaman atau Faktor C

Faktor C dalam persamaan USLE adalah perbandingan antara besarnya


erosi dari tanah yang bertanaman dengan pengelolaan tertentu,
terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanami dan tanpa
pengelolaan. Faktor ini mengukur pengaruh jenis tanaman dan sistem
pengelolaannya. Untuk mendapatkan nilai C dapat diperoleh
berdasarkan percobaan di lapangan pada petak-petak standar. Nilai
faktor C dipengaruhi oleh banyak parameter yang dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu parameter alami dan
parameter yang dipengaruhi oleh sistem pengelolaannya. Parameter
alami misalnya adalah iklim dan fase pertumbuhan tanaman,
sedangkan parameter pengelolaan tergantung dari sistem pengelolaan
yang diterapkan (misalnya pengelohan tanah menurut kontur, atau
penanaman dalam stripping atau teras).

Berbagai hasil penelitian nilai faktor C untuk berbagai tanaman dan


pengelolaan tanaman dapat dilihat pada Tabel 7.4. Nilai C yang
terdapat dalam pustaka umumnya merupakan nilai rata-rata dalam
kurun waktu tanaman sampai berproduksi untuk tanaman pangan.
Dengan demikian belum didapatkan nilai C misalnya pada saat periode
tanam, vegetatif atau periode lainnya. Hal ini penting untuk
dikemukakan dalam menentukan nilai C karena berkaitan dengan
karakteristik penutupan tanah dan masa pengelolaan tanaman, dan
usia (pertumbuhan) tanaman.

Tabel 7.4. Nilai Faktor C (Pengelolaan Tanaman)

No. Macam penggunaan Nilai Faktor


1 Tanah terbuka/tanpa tanaman 1.0
2 Sawah 0.01
3 Tegalan 0.7
4 Ubikayu 0.8
5 Jangung 0.7
6 Kedelai 0.399
7 Kentang 0.4
8 Kacang Tanah 0.2
9 Padi 0.561
10 Tebu 0.2
11 Pisang 0.6
12 Akar wangi (sereh wangi) 0.4
13 Rumput Bede (tahun pertama) 0.287
14 Rumput Bede (tahun kedua) 0.002
15 Kopi dengan penutup tanah buruk 0.2
16 Talas 0.85
17 Kebun campuran : - Kerapatan tinggi 0.1
- Kerapatan sedang 0.2
- Kerapatan rendah 0.5
18 Perladangan 0.4
19 Hutan alam : - Serasah banyak 0.001
- Serasah kurang 0.005
20 Hutan Produksi : - Tebang habis 0.5
- Tebang pilih 0.2
21 Semak belukar/padang rumput 0.3
22 Ubikayu + Kedelai 0.181
23 Ubikayu + Kacang tanah 0.195
24 Padi – Sorghum 0.345
25 Padi – Kedelai 0.417
26 Kacang tanah + gude (tanaman 0.495
polongan)
27 Kacang tanah + Kacang tunggak 0.571
28 Kacang tanah + Mulsa jerami 4 ton/ha 0.049
29 Padi + Mulsa jerami 4 ton/ha 0.096

30 Kacang tanah + Mulsa jagung 4 ton/ha 0.128


31 Kacang tanah + Mulsa kacang tunggak 0.259
32 Kacang tanah + Mulsa jerami 2 ton/ha 0.377
33 Pola tanam tumpang gilir*) + Mulsa 0.079
jerami
34 Pola tanam berurutan **) + Mulsa sisa 0.357
tanaman
35 Alang-alang murni subur 0.001
Sumber : Anonimous III, 2000

*) jagung + padi + ubikayu, setelah panen padi ditanam kacang


tanah
**) jagung – jagung – kacang tanah

7.1.5. Nilai Faktor Tindakan Pengawetan Tanah (P)

Nilai faktor P adalah faktor praktek pengendalian laju erosi


(pengelolaan) secara mekanis, seperti misalnya penanaman mengikuti
kontour, strip cropping, dan pembuatan teras. Penentuan nilai P dapat
dilakukan seperti halnya pada penentuan nilai C. Faktor P didefenisikan
sebagai perbandingan antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu
tindakan konservasi tertentu (pada petak standar) terhadap besarnya
erosi dari tanah yang diolah menurut arah lereng. Termasuk dalam
tindakan konservasi adalah penanaman dalam strip, pengolahan tanah
menurut kontour, dan pembuatan teras. Nilai P untuk beberapa
tindakan konservasi diberikan pada Tabel 7.5.

Tabel 7.5. Nilai – nilai P


No. Tindakan khusus konservasi tanah Nilai P
1 Terras bangku :
- Konstruksi baik 0.04
- Konstruksi sedang 0.15
- Konstruksi kurang baik 0.35
- Teras tradisional baik 0.40
2 Strip tanaman rumput (padang rumput) 0.40
3 Pengolahan tanah dan penanaman menurut
garis kontour
- Kemiringan 0 – 8 % 0.50
- Kemiringan 9 – 20 % 0.75
- Kemiringan lebih 20 % 0.90
4 Tanpa tindakan konservasi 1.00
Sumber : Anonimous III, 2000

Hasil perhitungan prakiraan erosi dapat dilihat pada tabel 7.6. dan 7.7.

Tabel 7.6
Estimasi Laju Sedimen pada DAS Kurukodi

Curah Hujan Bulanan ( R ) : 201.02 mm


Indeks Erodibilitas Tanah (K) : 0.20
Energi Kinetik Curah Hujan (E : 4420.14 ton.m/ha.cm
Indeks Erosivitas Hujan (EI 30: 410.48 ton.cm/ha.jam

Elevasi Penutupan lahan Epot Erosi aktual SDR Sedimentasi


LS
(m) jenis luas (km2) luas (ha) CP (ton/thn) (ton/thn) (ton/thn) Keterangan

450 - 500 m 3.1 semak 0.14199 14.1986 0.01 3,613.48 36.13 0.35 12.65
3.1 tegalan 0.03418 3.4178 0.01 869.82 8.70 0.35 3.04

500 - 550 0.4 sawah 0.68850 68.85 0.04 2,260.91 90.44 0.35 31.65
1.4 ladang 0.06900 6.9 0.19 793.04 150.68 0.35 52.74
0.4 ladang 0.08123 8.123 0.19 266.74 50.68 0.35 17.74
9.1 semak 0.15369 15.369 0.01 11,481.69 114.82 0.35 40.19
0.4 kebun 0.13000 13 0.02 426.90 8.54 0.35 2.99
1.4 hutan 0.02270 2.27 0.05 260.90 13.04 0.35 4.57
Total 1.321284 132.1284 165.56 (ton/th)
1.25 (ton/ha/th)
0.68 (m3/ha/th)
89.49 (m3/th)

Tabel 7.7.
Estimasi Laju Sedimen pada DAS Sobarade

Curah Hujan Bulanan ( R ) : 201.02 mm


Indeks Erodibilitas Tanah (K) : 0.20
Energi Kinetik Curah Hujan (E): 4420.14 ton.m/ha.cm
Indeks Erosivitas Hujan (EI 30 : 410.48 ton.cm/ha.jam

Elevasi Penutupan lahan Epot Erosi aktual SDR Sedimentasi


LS
(m) jenis luas (km2) luas (ha) CP (ton/thn) (ton/thn) (ton/thn) Keterangan

450 - 500 m 6.8 semak 0.334 33.40 0.01 18,644.94 186.45 0.35 65.26
6.8 hutan 0.226 22.63 0.01 12,630.71 126.31 0.35 44.21
1.4 semak 0.562 56.15 0.01 6,453.75 64.54 0.35 22.59
500 - 550 0.4 sawah 0.689 68.85 0.04 2,260.91 90.44 0.35 31.65
0.4 lahan terbuka 0.069 6.90 0.19 226.58 43.05 0.35 15.07
-
-
-
-
Total 1.879266 187.9266 178.77 (ton/th)
0.95 (ton/ha/th)
0.51 (m3/ha/th)
96.63 (m3/th)
7.2. Umur Layanan Embung

7.2.1. Sedimentasi Pada Embung


Sedimen yang terangkut melalui alur sungai sebagian besar akan
mengendap di dalam waduk, sementara hanya sebagian kecil yang
keluar melewati waduk. Setelah seluruh volume sedimen yang masuk ke
dalam waduk dapat ditentukan, langkah selanjutkan yang dapat
dilakukan adalah menentukan volume sedimen yang akan mengendap
atau tertahan di dalam waduk. Beberapa hal yang berhubungan
dengan pengendapan sedimen di waduk adalah :

a. Trap efficiency dari waduk,


b. Berat jenis spesifik dari endapan sedimen, dan
c. Volume sedimen yang mengendap di dalam waduk

7.2.2 Trap Efficiency


Trap efficiency dari waduk didefinisikan sebagai perbandingan antara
besarnya sedimen yang mengendap di dalam waduk dengan aliran
sedimen yang masuk ke dalam waduk. Trap efficiency sangat
dipengaruhi terutama oleh ukuran dan bentuk dari partikel sedimen,
disamping dipengaruhi oleh besar aliran yang masuk ke dalam waduk.

Metode yang biasa digunakan untuk mengestimasi Trap efficiency suatu


waduk adalah metode yang diusulkan oleh Brune. Metode Brune, secara
empirik, didasarkan pada data pengukuran sejumlah waduk yang ada di
banyak negara. Dari data lapangan tersebut, Brune memperoleh suatu
set kurva untuk menentukan besarnya sedimen yang mengendap di
dalam waduk, yaitu dengan menggunakan data masukan berupa
perbandingan antara kapasitas waduk dengan aliran air rata-rata yang
masuk ke dalam waduk tiap tahun. Secara teoritis, trap efficiency dari
suatu waduk, dari tahun ke tahun akan berkurang secara kontinu dengan
berkurangnya kapasitas waduk karena bertambahnya endapan
sedimen.
Trap efficiency dapat dihitung menggunakan persamaan

1.5
⎛ ⎛ ⎞⎞
⎜ ⎜ ⎟⎟
1
Te = 100⎜1 − ⎜ ⎟⎟
⎜ ⎜ C ⎟⎟
⎜ ⎜ 1 + 100 ⎟⎟
⎝ ⎝ I ⎠⎠
Dimana
C = Kapasitas tampungan mati
I = Inflow tahunan
Berdasarkan analisis pada Tabel 7.8. dan 7.9., maka umur layanan
masing-masing embung adalah sebagai berikut
1. embung Saborade masa layan 20 tahun
2. embung Kurukodi masa layan 20 tahun.

Tabel 7.8
Simulasi Masa Layan Embung Sobarade

Tahun Kapasitas Trap Transportasi Sedimen


Inflow (I) C/I
ke t Waduk, ( C) efficiency Sedimen Mengendap
m3 m3 m3/tahun m3
1 2 3 4 5 6 7
1 1148.00 981,926.51 0.00117 3.3866 15,309.00 518.46
2 629.54 981,926.51 0.00064 1.4789 15,309.00 226.40
3 403.14 981,926.51 0.00041 0.7832 15,309.00 119.89
4 283.24 981,926.51 0.00029 0.4695 15,309.00 71.87
5 211.37 981,926.51 0.00022 0.3059 15,309.00 46.83
6 164.54 981,926.51 0.00017 0.2116 15,309.00 32.39
7 132.15 981,926.51 0.00013 0.1530 15,309.00 23.43
8 108.72 981,926.51 0.00011 0.1146 15,309.00 17.54
9 91.18 981,926.51 0.00009 0.0882 15,309.00 13.51
10 77.67 981,926.51 0.00008 0.0695 15,309.00 10.64
11 67.03 981,926.51 0.00007 0.0558 15,309.00 8.55
12 58.48 981,926.51 0.00006 0.0456 15,309.00 6.97
13 51.51 981,926.51 0.00005 0.0377 15,309.00 5.77
14 45.74 981,926.51 0.00005 0.0316 15,309.00 4.83
15 40.90 981,926.51 0.00004 0.0267 15,309.00 4.09
16 36.81 981,926.51 0.00004 0.0228 15,309.00 3.49
17 33.32 981,926.51 0.00003 0.0197 15,309.00 3.01
18 30.31 981,926.51 0.00003 0.0171 15,309.00 2.61
19 27.69 981,926.51 0.00003 0.0149 15,309.00 2.28
20 25.41 981,926.51 0.00003 0.0131 15,309.00 2.01
Tabel 7.9.
Simulasi Masa Layan Embung Kurukodi

Tahun Kapasitas Trap Transportasi Sedimen


Inflow (I) C/I
ke t Waduk, ( C) efficiency Sedimen Mengendap
m3 m3 m3/tahun m3
1 2 3 4 5 6 7
1 3561.00 1,148,767.12 0.00310 11.5109 15,309.00 1,762.21
2 1798.79 1,148,767.12 0.00157 4.9815 15,309.00 762.61
3 1036.18 1,148,767.12 0.00090 2.3798 15,309.00 364.33
4 671.85 1,148,767.12 0.00058 1.2988 15,309.00 198.83
5 473.02 1,148,767.12 0.00041 0.7865 15,309.00 120.40
6 352.62 1,148,767.12 0.00031 0.5139 15,309.00 78.68
7 273.94 1,148,767.12 0.00024 0.3555 15,309.00 54.42
8 219.52 1,148,767.12 0.00019 0.2568 15,309.00 39.31
9 180.21 1,148,767.12 0.00016 0.1920 15,309.00 29.39
10 150.83 1,148,767.12 0.00013 0.1475 15,309.00 22.59
11 128.24 1,148,767.12 0.00011 0.1160 15,309.00 17.76
12 110.48 1,148,767.12 0.00010 0.0930 15,309.00 14.23
13 96.25 1,148,767.12 0.00008 0.0757 15,309.00 11.59
14 84.66 1,148,767.12 0.00007 0.0626 15,309.00 9.58
15 75.08 1,148,767.12 0.00007 0.0523 15,309.00 8.01
16 67.07 1,148,767.12 0.00006 0.0442 15,309.00 6.77
17 60.30 1,148,767.12 0.00005 0.0377 15,309.00 5.78
18 54.52 1,148,767.12 0.00005 0.0325 15,309.00 4.97
19 49.55 1,148,767.12 0.00004 0.0281 15,309.00 4.31
20 45.24 1,148,767.12 0.00004 0.0246 15,309.00 3.76

Anda mungkin juga menyukai