Anda di halaman 1dari 8

I.

KATETERISASI
A. Pengertian
Kateter urin adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih
untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui uretra ke
dalam kandung kemih, namun metode lain yang disebut pendekatan
suprapubik, dapat digunakan (Marrelli, 2007).
Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukan
selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih.Kateter
memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang tidak
mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi.
Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada klien
yang status hemodinamiknya tidak stabil (Potter dan Perry, 2006).
B. Indikasi Pemasangan Kateter
1. Sebelum seksio sesaria atau pembedahan abdomen lainnya
2. Selama persalinan jika tidak mampu mengalirkan urine,terutama
sebelum pelahiran dengan instrumen
3. Selama kala tiga persalinan ketika kandung kemih penuh dapat
menahan aktivitas uterus normal
4. Ketidak mampuan untuk mengeluarkan urine,misalnya pasca bedah.
5. Untuk tujuan pemeriksaan diagnostik
6. Pemantauan akurat keseimbangan cairan ketika sakit akut atau pada
keadaan syok,misalnya: pre-eklamsia, hemoragi mayor
7. Pemeriksaan urine spesifik,misalnya: untuk mendapatkan spesimen
yang tidak terkontaminasi untuk pengukuran protein ketika pre-
eklamsia.
8. Pada setiap kesempatan pengambilan keputusan klinis dibuat untuk
menemukan kateter menetap atau kateter intermiten yang paling
sesuai digunakan.
C. Kontra Indikasi
Kozier (2010) menyebutkan kontra indikasi pemasangan kateter yaitu :
adanya penyakit infeksi di dalam vulva seperti uretritis gonorhoe dan
pendarahan pada uretra.
D. Komplikasi Pemasangan Kateter
1. Komplikasi adanya kateter indwelling dalam traktus urinarius dapat
menimbulkan infeksi.
2. Kolonisasi bakteri ( bakteriuria) akan terjadi dalam waktu dua minggu
pada separuh dari pasien pasien yang menggunakan kateter urin, dan
dalam waktu empat hingga enam minggu sesudah pemasangan kateter
pada hampir semua pasien.
3. Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar dari daya tahan
alami pada traktus urinarius inferior dengan menyumbat duktus
periuretralis,mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan
jalur artificial untuk masuknya kuman ke dalam kandung kemih.
4. Manipulasi kateter paling sering menjadi penyebab kerusakan mukosa
kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi.
E. Perubahan Mikturisi
1. Persalinan
Tekanan dari bagian presentasi janin yang menurun menekan
kandung kemih dan uretra,terutama pada pertautannya.Penekanan
mencegah keluarnya urine,meski ada keinginan untuk
berkemih.Kurangnya privasi dan postur yang buruk juga berkontribusi
terhadap retensi urine.Ibu harus dianjurkan untuk berkemih 1-2 jam
selama persalinan untuk meminimalkan resiko,dan terutama pada awitan
kala dua.
Penurunan kesadaran terhadap kebutuhan berkemih terjadi jika
anastesia regional digunakan,karena obat secara sementara melemahkan
saraf yang menyuplai ke kandung kemih.Kandung kemih yang penuh
dapat menimbulkan trauma dalam persalinan dan juga dapat
mempengaruhi rangkaian persalinan.
2. Pascanatal
Perubahan struktural yang terjadi selama kehamilan memperlambat
kemampuan kandung kemih untuk kembali ke keadaan normal selama
puerperium.Ibu harus mengeluarkan urine dalam 6-8 jam setelah
pelahiran.akan tetapi beberapa ibu dapat mengalami pelambatan sensasi
untuk berkemih.
Resiko ketidak mampuan parsial atau komplet untuk berkemih
meningkat akibat adanya :
a. Trauma kandung kemih atau uretra
b. Penurunan sensasi kandung kemih yang terjadi akibat
penggunaan kateter,atau kandung kemih yang overdistensi
c. Pembentukan hematoma dalam saluran
F. Pembahasan
Kandung kemih sangat perlu untuk di kosongkan dalam waktu enam
sampai delapan jam setelah melahirkan.Kesulitan buang air kecil disebabkan
oleh bertambahnya beberapa faktor bertambahnya kemampuan kandung
kemih setelah rahim tidak lagi dihuni janin.
Setelah melahirkan, tekanan yang menghalangi kandung kemih telah
hilang dan terjadi pengembangan kandung kemih,trauma jalan lahir setelah
persalinan, penurunan tekanan dinding kandung kemih akibat proses
kehamilan dan persalinan normal,pembengkakan pada area antara vulva dan
anus.
mempertahankan eliminasi urine normal akan membantu mencegah
terjadinya masalah perkemihan yang banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Johnson dan Taylor (2005, h.127) bahwa memberikan dukungan kepada ibu
untuk mengadaptasi posisi dan rutinitas yang ia gunakan untuk membantu
urinasi.
Tahap-tahap melakukan bladder training yang pertama adalah
memberikan edukasi kepada klien tentang pentingnya eliminasi BAK spontan
setelah melahirkan. Hal ini dimungkinkan karena tanpa mengetahui
manfaat dari bladder training, ibu postpartum tidak tahu dan tidak akan mau
mengikuti program bladder training. Hal ini sesuai dengan pendapat Potter
dan Perry, (2006, h.1732) bahwa agar bladder training ini berhasil, klien
harus menyadari dan secara fisik mampu mengikuti program pelatihan.
Program tersebut meliputi penyuluhan, upaya berkemih yang terjadwal, dan
memberikan umpan balik positif.
Tahap bladder training yang kedua adalah memberikan air minum.
Hal ini dimungkinkan dengan adanya asupan cairan dapat menstimulasi kerja
ginjal, sehingga dapat timbul keinginan ibu postpartum untuk berkemih.
Tahap bladder training ketiga adalah mengukur tanda-tanda vital dan
bladder training dimulai pertama kali pada 2 jam postpartum. Hal ini
dikarenakan perlu kondisi yang stabil untuk bisa turun dari tempat tidur dan
mengikuti program bladder training.
Tahap bladder training keempat adalah membawa klien ke toilet untuk
BAK dengan posisi duduk dan meminta klien menyiram perineum dengan air
hangat . Hal ini dimungkinkan untuk merelakskan kandung kemih, sehingga
ibu postpartum dapat bisa berkemih dengan nyaman. Hal ini sesuai dengan
pendapat Johnson Ruth dan Wendy Taylor (2005, h.126) bahwa posisi tegak,
condong ke depan dapat memfasilitasi kontraksi otot panggul dan intra
abdomen, mengejan, kontraksi kandung kemih, dan kontrol springter.
Tahap bladder training kelima adalah kran air dibuka maksimal 15
menit dimulai semenjak klien berada di toilet. Hal ini merupakan salah satu
stimulus yang dapat mempercepat berkemih. Hal ini sesuai dengan pendapat
Johnson dan Taylor (2005, h.126) bahwa dengan menggunakan kekuatan
sugesti, Kilpatrick (1997) menganjurkan digunakannya bunyi air mengalir.
Bila ibu merasa malu dengan bunyi yang terjadi ketika berkemih, terutama
bila ada orang lain di dekatnya, maka suara air yang mengalir, dapat
menyamarkan bunyi tersebut. Menyelupkan tangan ibu ke air hangat atau
memberikan banyak minum, akan menstimulasi saraf sensorik yang akhirnya
akan menstimulasi refleks urinasi.
Tahap bladder training keenam adalah mengobservasi apakah sudah
BAK atau belum. Hal ini dimungkinkan untuk mengetahui kemampuan ibu
berkemih setelah melahirkan, dalam batas normal atau terdapat masalah
setelah melahirkan. Hal ini sesuai pendapat Saleha (2009, h.73) bahwa ibu
diminta untuk buang air kecil (miksi) 6 jam postpartum. Jika dalam 8 jam
postpartum belum dapat berkemih atau sesekali berkemih belum melebihi 100
cc, maka dilakukan kateterisasi. Akan tetapi, kalau ternyata kandung kemih
penuh, tidak perlu menunggu 8 jam untuk kateterisasi.
Tahap bladder training ketujuh adalah mengulang baldder training
setiap 2 jam bila belum bisa BAK. Hal ini dimungkinkan untuk melihat
perkembangan kemampuan berkemih dalam setiap 2 jam. Hal ini sesuai
pendapat Potter dan Perry (2006 h.1733) bahwa melatih kebiasaan akan
membantu meningkatkan control berkemih klien secara volunter. Di tetapkan
jadwal berkemih yang fleksibel berdasarkan pola berkemih klien.
B. Mobilisasi Dini
1. Pengertian Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini adalah pergerakan yang dilakukan sedini mungkin di tempat
tidur dengan melatih bagian-bagian tubuh untuk peregangan atau belajar berjalan
(Soelaiman, 2000).
Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan
menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan
kaki tungkai bawah sesegera mungkin biasanya dalam waktu 6 jam (Gallagher,
2004).
2. Mobilisasi Dini pada Ibu post partum normal
Persalinan merupakan proses yang sangat melelahkan oleh karena itu ibu
tidak dianjurkan langsung turun dari ranjang karena dapat menyebabkan pingsan
akibat sirkulasi yang belum berjalan baik. Karena sehabis melahirkan ibu merasa
lelah, dan harus beristirahat. Pergerakan dilakukan dengan miring kanan atau kiri
untuk mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli.
Biasanya pada 2 jam post partum ibu sudah bisa turun dari tempat tidur dan
melakukan aktifitas seperti biasa. Mobilisasi dilakukan secara bertahap mulai dari
gerakan miring kekanan dan kekiri, lalu menggerakakan kaki. dan Cobalah untuk
duduk di tepi tempat tidur, setelah itu ibu bisa turun dari ranjang dan berdiri
atau bisa pergi kekamar mandi, sehingga sirkulasi dalam tubuh akan berjalan dengan
baik.
3. Mobilisasi Dini pada Ibu post partum seksio sesarea
10
Mobilisasi dini dilakukannya secara bertahap berikut ini akan dijelaskan
tahap mobilisasi dini pada ibu pasca seksio sesarea :
 Setelah operasi, pada 6 jam pertama ibu pasca seksio sesarea harus tirah
baring dulu. Mobilisasi dini yang biasa dilakukan adalah menggerakkan
lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelanggan
kaki, mengangkat tumit, menenangkan otot betis serta menekuk dan
menggeser kaki.
 Setelah 6-10 jam, ibu diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan
mencegah thrombosis dan trombo emboli.
 Setelah 24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk.
Setelah ibu dapat duduk, dianjurkan ibu belajar berjalan (Kasdu, 2003). Hal-
4. hal yang perlu diperlu diperhatikan dalam mobilisasi dini :
1. Janganlah terlalu cepat untuk melakukan mobilisasi dini sebab bisa
menyebabkan ibu terjatuh terutama bila kondisi ibu masih lemah atau
memiliki penyakit jantung. Apabila mobilisasinya terlambat juga dapat
menyebabkan terganggunya fungsi organ tubuh, aliran darah, serta
terganggunya fungsi otot.
2. Ibu post partum harus melakukan mobilisasi secara bertahap.
3. Kondisi ibu post partum akan segera pulih dengan cepat bila melakukan
mobilisasi dengan benar dan tepat, dimana sistem sirkulasi dalam tubuh
bisa berfungsi normal.
4. Jangan melakukan mobilisasi secara berlebihan karena akan membebani
jantung.

Anda mungkin juga menyukai