Anda di halaman 1dari 10

1

RINGKASAN SEMINAR SKRIPSI


DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019

Judul : Penilaian Produktivitas Penyadapan Getah Pinus dengan Menggunakan Alat Mujitech di KPH
Sukabumi Jawa Barat
Nama/NRP : M Rifqi Fauzan Yunus/E14150056
Dosen Pembimbing : Dr. Efi Yuliati Yovi, S.Hut, M.Life. Env. Sc
Moderator : Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc
Hari/Tanggal : Kamis, 22 Agustus 2019
Waktu/Tempat : 9.30 – 10.30 / ABT-2 Fakultas Kehutanan IPB

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati dengan
banyak manfaat yang terkandung didalamnya. Salah satu manfaat yang bisa diperoleh dari hutan adalah Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK). HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan
budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan (Permen KLHK No. 103 Tahun 2014). Getah pinus memiliki
komoditas yang dapat diperhitungkan dan bernilai tinggi jika dikelola dengan baik. Hasil olahan getah pinus dapat diolah
menjadi gondorukem dan terpentin.
Tingginya permintaan getah pinus membuat Perhutani sebagai salah satu produsen utama yang menghasilkan
HHBK getah pinus harus dapat meningkatan produktsinya. Seiringan dengan perkembangan ilmu teknologi dan
pengetahuan kegiatan pemanenan penyadapan getah pinus mengalami pembaharuan dengan menggunakan alat mujitech
yang memiliki fungsi yang sama dengan metode quarre namun dibantu dengan tenaga mesin. Orientasi pembaharuan
dengan cara penyadapan bertujuan untuk meningkatkan produksi getah agar lebih optimal dan mengatasi permasalahan di
lapangan terutama aspek tenaga kerja penyadap (Sukadaryati 2012).
Produktivitas kerja merupakan rumusan dari hasil perbandingan antara keluaran (output) dan masukkan (input)
(ILO 1979 diacu dalam Siswahyudi 2016). Pemanfaatan getah pinus dipengaruhi oleh tingkat keterampilan dan skill para
pekerja, semakin tinggi tingkat keterampilannya akan membuat produktivitas kerjanya lebih efektif dan efisien. Prestasi
kerja yang optimal dapat diduga dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang mengakomodasi prinsip dasar bahwa
manusia memiliki beragam keterbatasan fisik dan mental (Yovi et al. 2011). Analisis produktivitas kerja bertujuan untuk
mengetahui waktu produktivitas kerja dengan cara menghitung waktu yang digunakan pada setiap elemen kerja, sehingga
diperoleh waktu total dan dibandingkan dengan keluaran berupa banyaknya jumlah pohon yang mampu disadap
(Mujetahid 2008).
Oleh karena itu, perlu adanya analisis produktivitas dalam kegiatan penyadapan getah pinus menggunakan alat
mujitech yang tetap memperhatikan aspek ergonomi dari sisi keselamatan dan kesehatan para pekerja yang telah
ditambahkan faktor kelonggaran untuk akomodasi keterbatasan fisik dan mental yang dimiliki oleh manusia sehingga
produktivitas kerja yang diharapakan dapat memenuhi target yang ingin dicapai.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Berapa besar produktivitas penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat mujitech.
2. Apa saja yang mempengaruhi faktor-faktor produktivitas penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat mujitech
di KPH Sukabumi.
3. Berapa besar asupan makanan operator penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat mujitech di KPH Sukabumi
Jawa Barat.
2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui produktivitas penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat mujitech di KPH Sukabumi.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat
mujitech di KPH Sukabumi.
3. Mengetahui asupan makanan operator penyadapan getah pinus dengan perhitungan food recall terhadap operator alat
mujitech di KPH Sukabumi Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:


1. Hasil penelitian yang dilakukan dapat dijadikan sebagai masukan bagi KPH Sukabumi untuk menentukan standard
produktivitas pekerja dalam rangka mengoptimalkan produktivitas kerja.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahaan yang ada dalam
kegiatan penyadapan getah pinus di KPH Sukabumi.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada daerah Badan Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Sagaranten KPH Sukabumi,
Jawa Barat yang dibagi menjadi beberapa lokasi kegiatan penyadapan getah pinus menggunakan alat mujitech.
Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2019.

Alat

Alat yang digunakan dalam proses pengambilan data yaitu alat tulis, kamera digital, handycam, thermometer,
sound level meter, tripod, laptop, Software Microsoft Office 2016, dan Software Microsoft Excel 2016.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data personal responden, data pengukuran waktu kerja
penyadapan getah pinus, dan data sekunder.

Pemilihan Jumlah Responden

Pemilihan responden menggunakan metode purposive sampling dimana responden yang dipilih berdasarkan
karakteristik yang sesuai dengan tujuan penelitian. Responden yang dipilih adalah dua operator mujitech terlama dalam
menggunakan alat mujitech diantara semua penyadap getah pinus di BKPH Sagaranten KPH Sukabumi Jawa Barat.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dengan
cara pengukuran dan pengambilan langsung di lapangan. Data tersebut berupa penghitungan waktu kerja dalam setiap
unsur kerja penyadapan getah pinus yang diambil dari video kamera dan handycam secara detail. Selain itu, dibutuhkan
juga data mengenai kelonggaran waktu kerja. Kelonggaran waktu kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
faktor manusia, faktor kondisi tempat kerja, faktor kegiatan kerja, dan data personal responden. Data primer digunakan
sebagai dasar perhitungan produktivitas penyadapan getah pinus dengan alat mujitech, thermometer, dan alat ukur
kebisingan. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari arsip perusahaan yang berhubungan dangan materi penelitian.
Data sekunder yang diperlukan meliputi kondisi lokasi penelitian, topografi, iklim, dan manajemen K3.

Prosedur Analisis Data

Pengukuran Waktu Kerja

Pengukuran waktu kerja dilakukan terhadap dua pekerja dalam satu periode kegiatan penyadapan atau 3 kali
siklus pengamatan setiap pekerja dengan satu hari kerja sama dengan satu kali siklus pengamatan. Setiap siklus kerja
3

terdiri atas elemen-elemen kerja yang sama dipilih untuk kemudahan pengukuran, pengamatan, dan analisis. Menurut ILO
(1979) penelitian waktu kerja adalah teknik pengukuran kerja untuk mencatat jangka waktu dan perbandingan kerja
mengenai unsur pekerjaan tertentu yang dilaksanakan dalam keadaan tertentu hingga ditemukan waktu yang diperlukan
untuk melaksanakan pekerjaan itu pada tingkat prestasi tertentu. Waktu kerja diperoleh dengan metode non stop, yaitu
waktu terus dijalankan dari awal kegiatan sampai akhir kegiatan.

Tabel 1 Deskripsi elemen kerja kegiatan penyadapan getah pinus dengan alat mujitech
Waktu dimulai Waktu berakhir
Elemen kerja efektif
1. Memakai APD Operator memakai APD Mujitech siap dinyalakan
2. Menghidupkan mesin Operator mulai menghidupkan mesin Mesin menyala
3. Menggendong mujitech Operator menggendong mujitech Operator siap berjalan
4. Berjalan Operator menuju pohon yang akan Operator sampai ke pohon
disadap
5. Membersihkan areal Operator membersihkan areal kerja Membersihkan areal kerja selesai dilakukan
kerja
6. Pembaharuan quarre Operator mulai pembaharuan quarre Pembaharuan quarre selesai dibuat
7. Berpindah quarre Operator menuju quarre pada pohon yang Operator sampai pada quarre selanjutnya
sama
8. Menyimpan mujitech Operator sampai di tempat istirahat Operator menyimpan mujitech
Elemen kerja tidak efektif
9. Personal Interuption Pekerjaan dilakukan kembali
(merokok, mengobrol, Operator melakukan delay
istirahat)
10. Mechanical interruption Memulai mechanical interruption Mechanical interruption selesai dilakukan
(perbaikan mujitech dan
perbaikan posisi batok)

Tingkat Keterampilan (Rating Factor)


Rating factor didasarkan pada satu faktor tunggal yaitu operator speed. Sistem ini dikenal sebagai “performance
rating” atau “speed rating”. Faktor ini umumnya dinyatakan dalam persentase (%) atau angka desimal, dimana
performance kerja normal akan sama dengan 100% atau 1.00. Rating factor pada dasarnya diaplikasikan untuk
menormalkan waktu kerja yang diperoleh dari pengukuran kerja akibat tempo atau kecepatan kerja yang berubah-ubah
(Wignjosoebroto dan Sritomo 1992).

Waktu Dasar
Waktu dasar adalah waktu yang memperhitungkan perkalian waktu pengamatan dan tingkat keterampilan pekerja
untuk masing-masing unsur kerja.

WD = WP x RF

Keterangan: WD = Waktu dasar, WP = Waktu Pengamatan, RF = Rating Factor

Waktu Kerja Standard


Waktu kerja standard merupakan waktu kerja yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan pada prestasi
standard dengan mempertimbangkan faktor kelonggaran (allowance factor). Pada penelitian ini selain faktor kelonggaran
ada juga supportive operative (SO) dan supportive mechanical (SM) yang ditambahkan pada waktu dasar untuk
membentuk waktu standard.

WS = WD + AF + SM

Keterangan: WS = Waktu standard, WD = Waktu dasar, AF = Faktor Kelonggaran (Allowance factor), SO = Supportive
operative, SM = Supportive mechanical
Kelonggaran merupakan penambahan jam kerja yang dialokasikan untuk beberapa kegiatan tambahan yang tidak
termasuk dalam kegiatan utama (waktu kerja efektif). Kelonggaran diklasifikasikan berdasarkan acuan dari Niebel dan
Freivalds 1999 diacu dalam Yovi dan Santosa (2014) yaitu:
1. Kelonggaran Personal
4

Kelonggaran personal umumnya diberikan sebesar 5%. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi
pekerja melakukan kegiatan personal.
2. Kelonggaran Kelelahan
Cara menentukan besarannya dengan menggunakan rumus:

RA = ((W − 1.33)/4− 1) ×100

Keterangan: RA = Kelonggaran kelelahan (%), W = Energy expenditure untuk bekerja (kkal/kg/menit)


3. Kelonggaran postur kerja
Kelonggaran postur kerja sebesar 2% untuk postur kerja agak janggal (membungkuk) dan 7% untuk postur kerja
sangat janggal (berbaring, jongkok, meregang). Cara menentukan besaran dalam kelonggaran postur kerja operator
mujitech yaitu dengan melihat total skor Range of Motion (ROM) operator mujitech dalam kegiatan penyadapan getah
pinus.
4. Kelonggaran berat alat kerja
Kelonggaran berat alat kerja sebesar 1% jika berat alat <5 kg, 2% jika berat alat <7.5 kg, 3% jika berat alat <10
kg, 4% jika berat alat <12.5 kg, 5% jika berat alat <15 kg, 7% jika berat alat 17.5 kg, 9% jika berat alat 20 kg, 11%
jika berat alat <22.5 kg, berat alat/beban >23 kg tidak direkomendasikan. Cara menentukan besaran dalam
kelonggaran berat alat kerja dengan menimbang berat mujitech yang digunakan operator mujitech lalu sesuaikan
dengan kriteria yang telah disebutkan di atas.
5. Kelonggaran monotoni
Kelonggaran monotoni sebesar 1% jika kegiatan yang dilakukan agak monoton dan 4% jika kegiatan sangat
monoton. Maksud monoton disini adalah bekerja dengan gerakan tubuh yang berulang yang akan menimbulkan
kebosanan mental.
6. Kelonggaran postur kerja yang berulang
Kelonggaran ini umumnya diberikan sebesar 2% untuk postur kerja agak berulang dan 5% untuk postur kerja
sangat berulang. Bedanya dengan kelonggaran monotoni dalam kelonggaran postur kerja yang berulang lebih
dititikberatkan terhadap anggota tubuh yang melakukan kegiatan berulang karena akan menimbulkan tekanan
kelelahan yang lebih besar.
7. Kelonggaran berdiri
Kelonggaran ini umumnya diberikan sebesar 2% jika kegiatan dilakukan dengan posisi berdiri. Cara menentukan
besaran kelonggaran ini dengan membandingkan waktu kerja pada postur berdiri operator mujitech saat melakukan
penyadapan getah pinus dengan total waktu kerja keseluruhan dinyatakan dalam persen. Jika persentase >30% maka
kelonggaran diberikan sebesar 2%.
8. Kelonggaran suhu
Besarnya kelonggaran suhu dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan:
RAI = Kelonggaran suhu (%),
W = Energy expenditure (kcal/menit),
WGBT = Temperature (F)
9. Kelonggaran kebisingan
Kelonggaran kebisingan didapat dengan menggunakan rumus:

RA= 100 (C/T)

Keterangan:
RA = Kelonggaran kebisingan (%).
T = Waktu yang diperbolehkan pada ketetapan tingkat kebisingan (jam).
C = Waktu yang dipakai pada ketetapan tingkat kebisingan (jam).
Supportive mechanical dan supportive operative merupakan kegiatan tambahan yang tidak termasuk dalam
kegiatan utama (waktu dasar). Hal ini dikarenakan kegiatan ini tidak selalu ada dalam satu siklus kerja. Supportive
mechanical dan supportive operative sangat dibutuhkan karena apabila tidak ada kegiatan ini, pelaksanaan kegiatan
penyadapan secara keseluruhan dapat terhambat atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Supportive mechanical yang
ada dalam kegiatan penyadapan dengan menggunakan alat mujitech adalah mengisi bahan bakar, mengasah pisau mesin,
dan memanaskan mesin, kemudian kegiatan yang dimaksud dalam supportive operative adalah penyesuaian posisi.
5

Pengolahan dan Analisis Data

Produktivitas
Produktivitas kerja dianalisis dengan melakukan pengukuran waktu kerja dengan jumlah pohon yang disadap.
Hasil pengukuran tersebut dihitung menggunakan formula berikut:
Produktivitas pekerja penyadap pinus:

Keterangan:
P = Produktivitas sadap (pohon/jam)
∑x = jumlah pohon yang disadap selama sehari
W = waktu kerja rata-rata penyadapan (jam)

Asupan Makanan
Data asupan makanan pekerja diperoleh melalui hasil wawancara dalam waktu 1x24 jam. Wawancara dengan
responden dilakukan sedalam mungkin. Wawancara dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dan harinya tidak berturut-turut.
Wawancara mencakup asupan makanan pada pagi hari, siang hari, dan malam hari. Wawancara dilakukan dengan
sistematika yang baik. Pengelompokkan pangan terdiri dari catatan pangan yang dikonsumsi serta deskripsi secara rinci
dari semua makanan dan minuman yang dikonsumsi (Supriasa 2001).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

BKPH Sagaranten merupakan salah satu lokasi yang memiliki kegiatan penyadapan dengan pekerjanya
menggunakan alat mujitech. BKPH Sagaranten memiliki luas sebesar 8 093.63 ha yang terdiri dari 4 (empat) RPH yaitu
RPH Bentang Barat, RPH Bentang Timur, RPH Gonggang Selatan, dan RPH Gonggang Utara. Secara geografis terletak
pada 76’00’’ LS−718’00’’ LS dan 10649’58” BT−10657’58” BT. Sebagian besar wilayah BKPH Sagaranten
memiliki ketinggian 600 mdpl. Kegiatan pengambilan data diambil pada petak 82B dengan jarak tanam 4m x 3m dan 82U
dengan jarak tanam 3m x 2m. Pembagian wilayah mulai dari dataran rendah, dataran tinggi atau berbukit, lereng dan
lembah dengan kemiringan 5%−43%. Tipe Iklim BKPH Sagaranten berdasarkan kriteria Schmidt and Ferguson adalah
tipe C dengan curah hujan rata-rata 2 934 mm per tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 127 hari (Nugroho 2018).

Waktu Kerja Penyadapan Getah Pinus dengan Mujitech

Kegiatan penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat mujitech yang dilakukan di lapangan melalui
beberapa tahapan yang saling berkaitan membentuk suatu siklus kerja. Tahapan ini juga dapat disebut sebagai elemen
kerja. Mulai dari elemen kerja memakai APD sampai menyimpan mujitech.

Pengukuran waktu kerja bertujuan untuk mengetahui penggunaan waktu pada setiap elemen kerja sehingga dapat
diketahui waktu kerja yang berlebih dapat dikurangi atau penggunaan waktu yang sedikit dapat ditambahkan (Mujetahid
et al 2008). Waktu kerja dalam penelitian ini terdiri dari waktu kerja efektif dan waktu kerja tidak efektif. Waktu kerja
efektif merupakan waktu kerja yang digunakan untuk menyelesaikan setiap elemen kerja. Waktu kerja tidak efektif terdiri
dari unsur kerja tidak efektif yaitu adanya gangguan ketika kegiatan berlangsung (Suhartana et al. 2009). Waktu kerja
aktual kegiatan penyadapan getah pinus dengan mujitech pada operator 1 disajikan pada Tabel 2 dan operator 2 disajikan
pada Tabel 3.

Tabel 2 Waktu kerja aktual penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat mujitech pada operator 1 (rata-rata per
hari)
No Unsur kerja Waktu(s) Waktu(jam) Persentase(%)
1. Elemen kerja efektif
Memakai APD 65.67 0.02 0.82
Menghidupkan mesin 15.00 0.00 0.19
Menggendong mujitech 11.00 0.00 0.14
Berjalan 2 587.00 0.72 32.16
6

Tabel 2 Waktu kerja aktual penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat mujitech pada operator 1 (rata-rata per
hari) (lanjutan)
No Unsur kerja Waktu (s) Waktu (jam) Persentase (%)
1. Elemen kerja efektif
Membersihkan areal kerja 62.33 0.02 0.77
Pembuatan quare 2 825.67 0.78 35.12
Berpindah quare 788.00 0.22 9.79
Menyimpan mujitech 9.00 0.00 0.11
Total waktu 6 363.67 1.77 79.10
2. Elemen kerja tidak efektif
Perbaikan posisi batok 41.33 0.01 0.51
Perbaikan mujitech 405.67 0.11 5.04
Merokok 539.67 0.15 6.71
Mengobrol 605.67 0.17 7.53
Istirahat 89.00 0.02 1.11
Total waktu 1 681.33 0.47 20.90
Jumlah total 8 045.00 2.24 100.00

Tabel 3 Waktu kerja aktual penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat mujitech pada operator 2 (rata-rata per
hari)
No Unsur kerja Waktu (s) Waktu (jam) Persentase (%)
1. Elemen kerja efektif
Memakai APD 90.00 0.03 1.36
Menghidupkan mesin 74.33 0.02 1.13
Menggendong mujitech 23.33 0.01 0.35
Berjalan 1881.67 0.52 28.48
Membersihkan areal kerja 91.67 0.03 1.39
Pembuatan quare 2 721.67 0.76 41.20
Berpindah quare 611.67 0.17 9.26
Menyimpan mujitech 4.66 0.00 0.07
Total waktu 5 499.00 1.53 83.24
2. Elemen kerja tidak efektif
Perbaikan posisi batok 176.00 0.05 2.66
Perbaikan mujitech 519.67 0.14 7.87
Merokok 130.33 0.04 1.97
Mengobrol 34.67 0.01 0.52
Istirahat 246.33 0.07 3.37
Total waktu 1 107.00 0.31 16.76
Jumlah total 6 606.00 1.84 100.00

Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan rata-rata waktu unsur kerja efektif total penyadapan oleh operator mujitech 1
satu sebesar 6 358.33 detik atau 79.10% dari total waktu kerja dan waktu unsur kerja tidak efektif sebesar 1 681.33 detik
atau 20.90% dari total waktu kerja. Elemen pembuatan quarre merupakan elemen kerja efektif dengan penggunaan waktu
kegiatan terbanyak yaitu sebesar 2 825.67 atau 35.12% dari total waktu kerja. Elemen menyimpan mujitech merupakan
elemen kerja efektif dengan penggunaan waktu kegiatan terkecil yaitu sebesar 9 detik atau 0.11%. Elemen mengobrol
merupakan elemen kerja tidak efektif dengan penggunaan waktu terbanyak sebesar 605.67 atau 7.53% dari total waktu
kerja. Elemen kerja perbaikan posisi batok merupakan elemen kerja dengan penggunaan waktu sebesar 41.33 detik atau
0.51% dari total waktu kerja. Sedangkan, rata-rata waktu unsur kerja efektif total penyadapan oleh operator mujitech 2
sebesar 5 499.00 detik atau 83.24% dari total waktu kerja dan waktu unsur kerja tidak efektif sebesar 1 107.00 detik atau
16.76% dari total waktu kerja. Elemen pembuatan quarre merupakan elemen kerja efektif dengan penggunaan waktu
terbanyak yaitu sebesar 2 721.67 detik atau 41.20% dari total waktu kerja. Elemen kerja menyimpan mujitech merupakan
elemen kerja efektif dengan penggunaan waktu sebesar 4.66 detik atau 0.07%. Elemen perbaikan mujitech merupakan
elemen kerja tidak efektif dengan penggunaan waktu terbanyak yaitu sebesar 176.00 detik atau 7.87%. Elemen mengobrol
merupakan elemen kerja dengan penggunaan waktu terkecil yaitu sebesar 34.67 detik atau 0.52% dari total waktu kerja.
7

Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan rata-rata waktu efektif operator mujitech 1 lebih besar dibandingkan operator
mujitech 2. Hal ini disebabkan jarak tanam areal kerja operator mujitech 1 lebih besar yaitu 4 m x 3 m sedangkan jarak
tanam operator mujitech 2 yaitu 3 m x 2 m. Hal ini dikarenakan semakin luas besar jarak tanam membuat waktu berjalan
operator lebih lama yaitu operator mujitech 1 memiliki waktu berjalan lebih lama sebesar 2 587.00 detik dibandingkan
operator mujitech 2 yang lebih kecil sebesar 1 881.67 detik.
Produktivitas kerja dihitung menggunakan waktu standard kegiatan penyadapan getah dengan menggunakan alat
mujitech. Waktu standard merupakan jumlah waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan menurut prestasi standard yaitu
waktu kerja efektif ditambah dengan kelonggaran (Mahendra 2003). Perhitungan waktu standard mengacu pada
klasifikasi kelonggaran menurut Niebel dan Freivalds (1999). Kelonggaran yang diberikan meliputi kelonggaran personal,
kelonggaran kebisingan, kelonggaran kelelahan, kelonggaran postur kerja, kelonggaran berat alat kerja, kelonggaran
monotoni, kelonggaran postur kerja berulang, dan kelonggaran berdiri.
Kelonggaran pertama yang dianalisis adalah kelonggaran personal. Kelonggaran personal diberikan untuk
mengakomodasi kegiatan pribadi seperti makan, minum, dan buang air. Kelonggaran personal yang diberikan untuk
kedua operator sebesar 5% dari waktu kerja efektif. Kelonggaran berikutnya adalah kelonggaran kelelahan. Kelelahan
merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi
pemulihan setelah istirahat (Tarwaka et al. 2004). Kelelahan kerja dapat menyebabkan penurunan kinerja serta
bertambahnya tingkat kesalahan kerja yang memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja (Nurmianto 2004). Maka
dari itu kelonggaran kelelahan diperlukan untuk mengakomodasi adanya kelelahan pada saat melakukan pekerjaan,
sehingga kerugian yang ditimbulkan bagi operator maupun perusahaan akibat kelelahan dapat terhindarkan. Kelonggaran
kelelahan operator mujitech 1 sebesar 49% dan operator mujitech 2 sebesar 21% dari waktu kerja efektif yang didapat
melalui rumus dengan memasukkan nilai W. Energy expenditure operator mujitech 1 berusia 43 tahun, memiliki tinggi
badan 168 cm, dan berat badan 52 kg adalah 7.29 kkal/kg/menit. Kemudian, energy expenditure operator mujietch 2
berusia 44 tahun, memiliki tinggi badan 160 cm, dan berat badan 43 adalah 6.03 kkal/kg/menit.
Kelonggaran berikutnya yang dianalisis adalah kelonggaran monotoni dan kelonggaran postur kerja. Kelonggaran
monotoni perlu diberikan untuk menghindari kejenuhan yang mengakibatkan pekerja merasa cepat lelah dan bosan.
Besarnya kelonggaran monotoni yang diberikan untuk kedua operator mujitech adalah 4%. Kelonggaran postur kerja
diberikan untuk mengakomodasi postur-postur yang ada pada kegiatan penyadapan pinus dengan menggunakan alat
mujitech. Postur-postur ini apabila berlangsung dalam waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan kesehatan fisik
bagi pekerja. Kelonggaran postur kerja operator mujiech 1 dan operator mujitech 2 sebesar 2%.
Kelonggaran berikutnya yang dianalisis adalah kelonggaran berat alat kerja. Berat mujitech yang digunakan oleh
pekerja dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan cedera otot dan risiko-risiko gangguan otot lainnya. Oleh
karena itu, Kelonggaran berat alat kerja diperlukan untuk mengakomodasi hal tersebut. Berat alat kerja operator mujitech
1 dan 2 yang sama beratnya yaitu 9.8 kg sehingga memiliki kelonggaran yang besarnya sama yaitu 3%.
Kelonggaran berikutnya yang dianalisis adalah kelonggaran berdiri. Kelonggaran berdiri ditentukan oleh total
waktu yang digunakan untuk berdiri selama berkerja. Pekerja yang berkerja dengan posisi berdiri terlalu lama akan
menimbulkan kelelahan karena posisi berdiri membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan dengan posisi duduk.
Kelonggaran berdiri diberikan apabila kegiatan yang dilakukan dalam posisi berdiri mempunyai persentase waktu berdiri
lebih besar dari 30% dari waktu kerja total. Persentase waktu kerja yang dilakukan dengan posisi berdiri oleh operator
mujitech 1 sebesar 95.97% dan operator mujitech 2 sebesar 87.20% sehingga perlu diberi kelonggaran berdiri.
Tabel 8 menunjukkan kelonggaran suhu operator mujitech 1 dan operator mujitech 2 masing-masing sebesar
0.23% dan 0.24%. Perbedaan kelonggaran suhu kedua operator mujitech relatif sama dikarenakan suhu kedua areal kerja
masing-masing operator berdekatan.
Kelonggaran berikutnya yang dianalisis adalah kelonggaran kebisimgan. Kelonggaran kebisingan operator
mujitech 1 dan operator mujitech 2 masing-masing sebesar 18% dan 9%. Perbedaan kelonggaran kebisingan operator
mujitech 1 dan operator mujitech 2 dikarenakan adanya perbedaan pada rata-rata kebisingan dan total waktu yang terpapar
kebisingan.
Kelonggaran kebisingan diperlukan untuk meminimalisasi pengaruh kebisingan yang dapat membuat kesehatan
pekerja terganggu. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 51 Tahun 1999, tentang besarnya nilai ambang
batas rata-rata adalah 85 dB. Maka dari itu operator mujitech 1 yang memiliki rata-rata kebisingan 88.74 dB dan operator
mujitech 2 yang memiliki rata-rata kebisingan 84.09 dB sehingga perlu diberikan kelonggaran kebisingan.
8

Tabel 4 Waktu kerja standard operator mujitech 1 (rata-rata per hari)


Item Satuan Nilai
Waktu efektif Jam 1.77
Waktu kelonggaran fisiologis
Kelonggaran personal % 5.00
Kelonggaran kelelahan % 49.00
Kelonggaran postur kerja % 2.00
Kelonggaran berat alat kerja % 3.00
Kelonggaran monotomi % 4.00
Kelonggaran postur kerja berulang % 5.00
Kelonggaran berdiri % 2.00
Kelonggaran suhu % 0.23
Kelonggaran kebisingan % 18.00
Total kelonggaran fisiologis % 88.23
Waktu kelonggaran fisiologis Jam 1.56
Supportive operative Jam 0.00
Supportive mechanical Jam 0.13
Waktu standard Jam 3.46

Tabel 5 Waktu kerja standard operator mujitech 2 (rata-rata per hari)


Item Satuan Nilai
Waktu dasar Jam 1.53
Waktu kelonggaran fisiologis
Kelonggaran personal % 5.00
Kelonggaran kelelahan % 21.00
Kelonggaran postur kerja % 2.00
Kelonggaran berat alat kerja % 3.00
Kelonggaran monotomi % 4.00
Kelonggaran postur kerja berulang % 5.00
Kelonggaran berdiri % 2.00
Kelonggaran suhu % 0.24
Kelonggaran kebisingan % 9.00
Total kelonggaran fisiologis % 51.24
Waktu kelonggaran fisiologis Jam 0.78
Supportive operative Jam 0.04
Supportive mechanical Jam 0.33
Waktu standard Jam 2.68

Kelonggaran-kelonggaran yang telah didapat lalu ditambahkan dengan waktu kerja efektif, supportive
mechanical, dan supportive operative membentuk waktu kerja standard. Supportive pada penelitian ini adalah elemen
yang mendukung kegiatan namun tidak termasuk dalam waktu dasar. Supportive operative pada kegiatan ini adalah
penyesuaian posisi sedangkan supportive mechanical pada kegiatan ini adalah mengisi bahan bakar, mengasah pisau
mesin, dan memanaskan mesin. Tabel 4 dan 5 menunjukkan rata-rata waktu standard pada operator mujitech 1 sebesar
3.47 jam dan operator mujitech 2 sebesar 2.68 jam. Berdasarkan Tabel 4 dan 5 menunjukkan kelonggaran kelelahan
adalah kelonggaran terbesar dibandingkan kelonggaran lain pada kedua operator mujitech. Hal ini menunjukkan bahwa
kelelahan sangat perlu diperhatikan dan diberikan waktu lebih untuk mengakomodasinya karena umumnya pekerjaan di
bidang kehutanan menguras banyak tenaga yang menyebabkan kelelahan bagi pekerja.

Produktivitas Penyadapan Pinus dengan Mujitech

Produktivitas merupakan suatu konsep yang menciptakan lebih banyak barang dan jasa bagi kebutuhan manusia
dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (Tarwaka et al. 2004). Menurut Yovi dan Santosa (2014), produktivitas
kerja adalah suatu tingkat hasil kerja yang telah dicapai dengan melaksanakan tugas yang telah dibebankan kepada
pekerja yang didasarkan atas kompetensi serta waktu kerja. Hasil pengukuran dan analisis data produktivitas operator
mujitech 1 dan operator mujitech 2 ditunjukkan pada Tabel 6.
9

Tabel 6 Produktivitas penyadapan pinus dengan mujitech operator (rata-rata)


Nilai
Satuan
Operator 1 Operator 2
Waktu standard Jam 3.47 2.68
Jumlah pohon Pohon 415.67 371.00
Produktivitas pohon/jam 119.88 138.19

Produktivitas rata-rata per hari operator mujitech 1 yaitu sebesar 119.98 pohon/jam dengan waktu kerja standard
3.46 jam, dan jumlah pohon rata-rata adalah 415.67 pohon/hari. Produktivitas rata-rata per hari operator mujitech 2 yaitu
sebesar 138.18 pohon/jam dengan waktu kerja standard 2.68 jam, dan jumlah pohon rata-rata adalah 371 pohon/hari.
Hasil produktivitas operator mujitech 2 lebih besar dibandingkan operator mujitech 1. Hal ini disebabkan jarak tanam
operator mujitech 2 lebih rapat dibandingkan operator mujitech 1. Perbandingan persentase waktu kerja efektif dan waktu
kerja tidak efektif operator mujitech berpengaruh terhadap hasil produktivitas seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
mengenai waktu kerja penyadapan.

Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Penyadapan Getah Pinus

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil produktivitas diantaranya adalah jarak tanam areal kerja operator
mujitech, dimana areal kerja operator mujitech 1 lebih besar yaitu 4 m x 3 m sedangkan jarak tanam operator mujitech 2
yaitu 3 m x 2 m yang mana semakin besar jarak tanam membuat waktu berjalan lebih lama yang telah dijelaskan pada sub
bab waktu kerja penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat mujitech. Faktor selanjutnya yaitu, waktu kerja yang
digunakan oleh operator mujitech juga cukup berpengaruh terhadap produktivitas dengan mempertimbangkan
kelonggaran, seperti yang telah dijelaskan pada sub bab waktu kerja penyadapan getah pinus dengan menggunakan alat
mujitech.

Asupan Makanan

Tingkat kecukupan gizi merupakan perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan energi.
Berdasarkan Kementerian Kesehatan (2013) angka kecukupan gizi (AKG) untuk laki-laki umur 30−49 tahun yaitu 2 625
kkal energi, 65 gram protein,73 gram lemak, dan 394 gram karbohidrat.

Tabel 7 Asupan makanan rata-rata per hari operator mujitech


Zat Gizi Satuan Nilai
Operator 1 Operator 2
Energi Kkal 1 769.56 2 111.15
Protein Gram 33.24 39.60
Lemak Gram 52.01 82.35
Karbohidrat Gram 299.67 305.80

Tabel 7 menunjukkan asupan makanan rata-rata operator mujitech 1 memiliki zat gizi sebesar 1 769.56 kkal
energi, 33.24 gram protein, 52.01 lemak, dan 299.67 karbohidrat. Sementara asupan makanan rata-rata operator mujitech
2 memiliki zat gizi yang lebih besar yaitu 2 111.15 kkal energi, 39.60 gram protein, 82.35 gram lemak, dan 305.80
karbohidrat. Asupan makanan kedua operator memiliki zat gizi yang lebih rendah dari angka kecukupan gizi kecuali pada
zat gizi karbohidrat yang melebihi angka kecukupan gizi. Berdasarkan hasil tersebut operator mujitech 1 mengalami zat
gizi yang defisit berat dengan asupan makanan sebesar 67.41% dari AKG dan operator mujitech 2 mengalami zat gizi
yang defisit ringan dengan asupan makanan 80.42% dari AKG. Hal ini sesuai dengan pengelompokkan tingkat kecukupan
energi dan protein menurut Kementerian Kesehatan (1996) adalah (1) dikatakan defisit berat apabila <70% dari AKG, (2)
defisit sedang apabila diantara 70%−79% dari AKG, (3) defisit ringan apabila 80%−89% dari AKG, (4) normal apabila
diantara 90%−119% dari AKG, dan (5) lebih apabila >120% dari AKG.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Produktivitas rata-rata per hari operator mujitech 1 yaitu sebesar 119.88 pohon/jam dengan waktu kerja standard
3.47 jam, dan jumlah pohon rata-rata adalah 415.67 pohon/hari. Produktivitas rata-rata per hari operator mujitech 2 yaitu
10

sebesar 138.19 pohon/jam dengan waktu kerja standard 2.68 jam, dan jumlah pohon rata-rata adanlah 371 pohon/hari.
Hasil produktivitas operator mujitech 2 lebih besar dibandingkan operator mujitech 1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas penyadapan pinus dengan alat mujitech adalah jarak tanam areal
kerja operator mujitech dan waktu kerja yang digunakan oleh operator mujitech, dimana waktu standar yang terdiri dari
waktu efektif dan kelonggaran.
Asupan makanan kedua operator memiliki zat gizi yang lebih rendah dari angka kecukupan gizi kecuali pada zat
gizi karbohidrat yang melebihi angka kecukupan gizi. Berdasarkan hasil tersebut asupan makanan operator mujitech 1
mengalami zat gizi yang defisit berat dengan asupan makanan sebesar 67.41 % dari AKG dan operator mujitech 2
mengalami zat gizi yang defisit ringan dengan asupan makanan sebesar 80.42 % dari AKG.

Saran

Sebaiknya diberikan arahan oleh mandor kepada operator mujitech sebelum dilakukan kegiatan penyadapan.
Pelatihan kegiatan penyadapan operator mujitech dirasa perlu untuk meningkatkan kinerja di lapangan. Perlu adanya
sarana dan prasarana kerja yang menunjang peningkatan produktivitas seperti perlengkapan APD yang sesuai K3 dan
perbaikan alat yang rutin. Selain itu, perlu adanya pemberian makanan yang memenuhi angka kecukupan gizi untuk
menghindari risiko kesehatan kerja operator mujitech, serta dilengkapi dengan pemberian jaminan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Anwari I. 2019. Produktivitas Pemuatan Log Kayu Pinus Ke Truk Secara Manual di BKPH Sagaranten KPH Sukabumi
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
ILO [International Labour Office]. 1979. Introduction to Work Study (Third Edition). Geneva (CH): Impression Couleurs
Weber.
[Kemkes] Kementerian Kesehatan. 1996. Keputusan Menteri Kesehatan, No.32: 2013. Tentang Tingkat Kecukupan
Energi dan Protein. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan.
[Kemkes] Kementerian Kesehatan. 2013. Keputusan Menteri Kesehatan, No.75: 2013. Tentang Angka Kecukupan Gizi
Bagi Bangsa Indonesia. Jakarta (ID): Kementrian Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja. Jakarta (ID): Kementerian
Kesehatan.
[Kemnaker] Kementerian Tenaga Kerja. 1999. Keputusan Menteri Tenaga Kerja, No.51: 1999. Tentang Nilai Ambang
Kerja. Jakarta (ID): Kementerian Tenaga Kerja.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2014. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
No. 103: 2014. Tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam atau
Hutan Tanaman pada Hutan Produksi. Jakarta (ID): Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Mahendra MG. 2003. Pengukuran waktu standard dan prestasi kerja penebangan jati (Tectona grandis) di Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mujetahid M. 2008. Produktivitas penebangan pada hutan jati (tectona grandis) rakyat di Kabuaten Bone. Jurnal
Parennial. 5(1): 53−58.
Niebel BW dan Freivalds A. 1999. Methods, Standards, and Work Design. Jurong (SG): McGraw-Hill Co.
Nugroho AP. 2018. Analisis Kelayakan Usaha dan Kontribusi Pengelolaan Kayu Putih (Melaleuca cajuputi) terhadap
Pendapatan Rumah Tangga di KPH Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nurmianto E. 2004. Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya (ID): Guna Widya.
Riense U, Abdi. 2009. Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi (Teori dan Aplikasi). Bandung (ID): CV Alfabeta.
Siswahyudi AR. 2016. Analisis produktivitas pemanenan kayu berdasarkan perbandingan ukuran pohon di PT Dasa Intiga
Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suhartana S, Sukanda, Yuniawati. 2009. Produktivitas dan biaya penyaradan kayu di hutan tanaman rawa gambut: studi
kasus di satu perusahaan hutan di Riau. J Wahana Foresta. 2(2): 34−41.
Sukadaryati. 2012. Pemanenan getah pinus menggunakan tiga cara penyadapan. Penelitian Hasil Hutan. 32(1): 62−70.
Sulistianto A.2016. Produktivitas, biaya kegiatan penebangan dan pembagian batang kayu jati di KPH Ciamis [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Supriasa. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC.
Wignjosoebroto, Sritomo. Teknik Tata Cara dan Pengukuran Kerja. Surabaya (ID): PT Guna Widya.
Yovi EY, Santosa G. 2014. Perhitungan Standard Prestasi Kerja. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yovi EY, Gandaseca S, Adiputra IN. 2011. Safety and health protection competency of Indonesia forestry workers. In:
Anna Barzcz, Raffaele Cavalli, Valeria Messingerova, Piotr Paschalis, Janusz M. Sowa, Waldemar Gil, editor.
Technology and Ergonomics in the Service of Modern Forestry. Krakow: Publishing House of University of
Agriculture. pp 25–36.

Anda mungkin juga menyukai