Anda di halaman 1dari 119

1

Pendahuluan

Membaca buku ini insya Allah kesedihan dan ketakutan diri kita akan sirna. Jangan pernah
bersedih lagi, betapa para wali tidak pernah bersedih dan takut menghadapi apapun yang
ada. Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Karena janji Allah
tidak pernah ingkar.

Rasulullah Saw. dalam sabdanya, Sesungguhnya ada golongan hamba Allah yang bukan termasuk
nabi dan bukan syuhada (syahid), yang pada hari kiamat nanti mereka menempati tempat para
nabi dan syuhada. Para sahabat lalu bertanya, Ya, Rasulullah, beritahu kami siapa mereka itu? Apa
pekerjaan mereka? Semoga kami bisa mencintai mereka. Nabi menjawab, Mereka adalah satu
kaum yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan satu rahim, juga bukan karena
harta yang mereka miliki. Demi Allah, wajah mereka bercahaya. Mereka berada di atas mimbar
cahaya, mereka tidak pernah takut ketika orang-orang ketakutan, mereka juga tidak bersedih
ketika orang-orang merasa sedih (HR. Umar bin Khattab).

Buku ini merupakan khazanah yang luar biasa tentang fenomena karamah wali-wali Allah yang
dihimpun dari banyak sumber klasik karya para wali dan ulama yang diakui kapabilitasnya di
seluruh penjuru dunia. Di dalamnya, karamah dibahas secara rinci dan jelas, didukung argumen
kuat dari Al-Qur’an, Sunnah, dan peristiwa-peristiwa nyata yang diriwayatkan secara sahih. Dalam
buku ini juga menuturkan tentang konsep dan landasan karamah, mukjizat Nabi Muhammad
Saw. sebagai wali Allah yang paling agung, dan karamah sahabat-sahabatnya. Kisah-kisah ajaib
tentang mereka semoga dapat menjadi bahan renungan kita untuk menambah keimanan kepada
Allah dan meneladani kepatuhan mereka kepada-Nya, kearifan, kebersahajaan, dan kerendahan
hati mereka yang telah dianugerahi kemuliaan.
2

Penetapan Karamah Wali

Mukjizat nabi membuktikan kejujuran dan kebenaran agama yang diembannya. Allah berfirman:

“Ingatlah! Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih. Mereka adalah orang-
orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan
kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah
kemenangan besar.”(QS Yunus:10)62-64)

َ ‫فٓ َعلَ ۡي ِه ۡم‬


ٓ ٓ َ‫ٓو َلٓ ُه ۡمٓيَ ۡحزَ نُون‬ َّٓ ‫لٓ ِإ َّنٓأ َ ۡو ِليَا ا َءٓٱ‬
ٌ ‫ّللِٓ َلٓخ َۡو‬ ٓ‫أ َ َ ا‬
62. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.

َ ْ‫ٱلَّذِينَٓٓ َءا َمنُوا‬


ٓ ٓ َ‫ٓو َكانُوآْيَتَّقُون‬
63. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.

ٓ ٓ‫ّللِٓذَ ِل َكٓهُ َوٓٱ ۡلفَ ۡو ُٓزٓٱ ۡل َع ِظي ُٓم‬


َّٓ ‫لَ ُه ُٓمٓٱ ۡلبُ ۡش َرىٓٓفِيٓٱ ۡل َحيَوٓةِٓٱلد ُّۡنيَآ َوفِيٓٱ ۡۡل ا ِخ َرةِٓٓ َلٓت َ ۡبدِي َلٓ ِل َك ِل َمتِٓٱ‬
64. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada
perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.

Allah juga berfirman,


“Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menjatuhkan buah
kurma yang masak untukmu, kemudian makan dan minumlah “(QS Maryam 19) 25-26).
ٓ ٓ‫طبٗ آ َجنِ ٗيا‬ ُ ‫س ِق ۡطٓ َعلَ ۡي ِك‬
َ ‫ٓر‬ َ ُ ‫يٓ ِإلَ ۡي ِكٓ ِب ِج ۡذعِٓٱلنَّ ۡخلَ ِٓةٓت‬
ٓ‫َو ُه ِز ا‬
25. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan
buah kurma yang masak kepadamu,

ِٓ ‫ٓمنَ ٓٱ ۡلبَش‬
َّ ‫َر ٓأ َ َحدٗآفَقُو ِل اي ٓإِنِيٓنَذَ ۡرتُ ٓ ِل‬
ٓ‫لر ۡح َم ِن‬ ِ ‫فَ ُك ِلي ٓ َٓوٱ ۡش َربِي ٓ َوقَ ِريٓ َع ۡي ٗن ۖا ٓفَإ ِ َّمآت َ َريِ َّن‬
ٓ ٓ‫ص ۡو ٗمآفَلَ ۡنٓأ ُ َك ِل َمٓٱ ۡليَ ۡو َٓمٓإِنس ِٗيا‬
َ
26. maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka
katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku
tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".

“Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia melihat makanan di sisinya.
Zakaria bertanya, “Hai Maryam, dari mana kau memperoleh makanan ini?” Maryam
menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah akan memberi rezeki kepada
siapa saja yang Dia kehendaki tanpa perhitungan “(QS Ali ‘Imran 3: 37).
ٓ‫آو َكفَّلَ َهآزَ َك ِري َّۖا ٓ ُكلَّ َمآدَ َخ َل ٓ َعلَ ۡي َهآزَ َك ِريَّا‬ َ ‫ٓوأ َ ۢنبَت َ َهآنَبَاتًآ َح‬
َ ‫س ٗن‬ َ ‫س ٖن‬َ ‫فَتَقَبَّلَ َها ٓ َربُّ َهآبِقَبُو ٍل ٓ َح‬
َّٓ ‫ّللِ ٓإِ َّن ٓٱ‬
َٓ‫ّلل‬ ِ ‫َآر ۡز ٗق ۖا ٓقَا َل ٓيَ َم ۡريَ ُم ٓأَنَّى ٓلَ ِك ٓ َهذَ ۖا ٓقَالَ ۡت ٓ ُه َو‬
َّٓۖ ‫ٓم ۡن ٓ ِعن ِد ٓٱ‬ ِ ‫اب ٓ َو َجدَ ٓ ِعندَه‬ َٓ ‫ٱ ۡل ِم ۡح َر‬
ٓ ٓ‫ب‬ ٍ ‫سا‬ ِ ‫شا ا ُءٓبِغ َۡي ِر‬
َ ‫ٓح‬ َ َ‫يَ ۡر ُز ُقٓ َمنٓي‬
37. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya
dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk
menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu
3
memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah
memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

Firman Allah yang lain,


” Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka
carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian
rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan
kamu. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit miring ke arah kanan gua, dan ketika
terbenam, miring ke arah kiri gua” (QS Al- Kahfi [18]: 16-17).
ٓ‫نٓر ۡح َمتِ ِٓهۦ‬ َ ‫ش ۡر ٓلَ ُك ۡم‬
ِ ‫ٓربُّ ُك‬
َّ ‫مٓم‬ ِٓ ۡ‫ّللَ ٓفَ ۡأ ا ُوٓۥٓاْ ٓ ِإلَىٓٱ ۡل َكه‬
ُ ‫ف ٓ َين‬ َّٓ ‫َو ِإ ِٓذ ٓٱ ۡعت َزَ ۡلت ُ ُمو ُه ۡٓم ٓ َو َمآيَعۡ بُدُونَ ٓإِ َّل ٓٱ‬
ِ ‫مٓم ۡنٓأ َ ۡم ِر ُك‬
ٓ ٓ‫مٓم ۡرفَ ٗقا‬ ِ ‫َويُ َه ِي ۡئٓلَ ُك‬
16. Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah
tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu
dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.

ُ ‫ين ٓ َوإِذَآغ ََر َبتٓت َّ ۡق ِر‬


ٓ‫ض ُه ۡم‬ ِٓ ‫ات ٓٱ ۡل َي ِم‬
َ َ‫طلَ َعتٓتَّزَ َو ُر ٓ َعنٓ َكهۡ ِف ِه ۡم ٓذ‬ َ ٓ‫س ٓإِذَا‬
َٓ ‫ش ۡم‬ َّ ‫۞وت َ َرىٓٱل‬ َ
ٓ‫ض ِل ۡل‬ۡ ُ‫ّللُٓفَ ُه َوٓٱ ۡل ُمهۡ ت َ ِۖٓدٓ َو َمنٓي‬
َّٓ ‫ّللِٓ َمنٓيَهۡ دِٓٱ‬ ِ ‫ٓم ۡنهُٓذَ ِل َك‬
ٓ‫ٓم ۡنٓ َءايَتِٓٱ َّه‬ ِ ‫لٓ َو ُه ۡمٓفِيٓفَ ۡج َو ٖة‬ ِٓ ‫لش َما‬ ِ ‫اتٓٱ‬ َ َ‫ذ‬
ٓ ٓ‫فَلَنٓت َ ِجدَٓلَ ٓهۥُٓ َو ِل ٗيآ ُّم ۡر ِشدٗا‬
17. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila
matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam
gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah,
maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan
mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Banyak sekali penjelasan yang menafsirkan ayat ini, berkaitan dengan penetapan karamah para
wali. Al- Fakhr al-Razi dalam Al-Tafsir al-Akbar mengemukakan bahwa para sufi menjadikan ayat ini
sebagai hujah atas kebenaran adanya karamah. Hal itu merupakan istidlal (pengambilan dalil)
secara zahir, dan kami akan menjelaskan masalah ini dengan jalan meneliti secara mendalam
sebelum menceburkan diri dalam masalah dalil tentang kemungkinan karamah.
4

Definisi Wali Allah

Siapakah wali itu? Ada dua penjelasan tentang makna wali.

Pertama, kata al-wali merupakan bentuk superlatif dari subyek (fa’il), seperti kata al-‘alim bermakna
yang sangat alim dan kata al-qadir bermakna yang sangat berkuasa. Maka kata al-wali bermakna orang
yang sangat menjaga ketaatan kepada Allah tanpa tercederai oleh kemaksiatan atau memberi kesempatan
pada dirinya untuk berbuat maksiat.

Kedua, kata al-wali merupakan subjek bermakna objek, seperti kata al-qatil bermakna yang terbunuh
dan al-jarih bermakna yang terluka. Maka kata al-wali bermakna orang yang dijaga dan dilindungi oleh
Allah Swt, dijaga terus-menerus dari berbagai macam maksiat dan selamanya mendapat pertolongan Allah
untuk selalu berbuat taat.

Perlu diketahui bahwa kata al-wali diambil dari firman Allah Swt,:
“Allah adalah pelindung (wali) orang-orang yang beriman” (QS Al-Baqarah [2]: 257).

“Dan dia melindungi (yatawalla) orang-orang yang saleh “(QS Al-A’raf *7+: 196).

“Engkaulah Penolong kami (maulana), maka tolonglah kami dari kaum yang kafir “(QS Al-Baqarah [2]:
286).

“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung (maula) orang-orang beriman dan karena
sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung” (QS Muhammad *47+: 11).

“Dan firman-Nya, Sesungguhnya penolong kamu (waliyyukum) adalah Allah dan Rasul-Nya” (QS Al-
Maidah [5]: 55)

Menurut saya, ditinjau dari segi etimologis, al-wali berarti yang dekat. Ketika seorang hamba dekat kepada
Allah karena ketaatan dan keikhlasannya, maka Allah akan senantiasa dekat kepadanya, dengan limpahan
rahmat, keutamaan, dan kebaikan, hingga mencapai jenjang al-wilayah (kewalian).
5

Kejadian Luar Biasa

Kejadian-kejadian di luar kebiasaan manusia ada tiga macam:

Kejadian Luar Biasa Pertama, kejadian luar biasa yang muncul diiringi dengan pengakuan. Pengakuan
dalam hal ini ada empat macam: pengakuan ketuhanan, pengakuan kenabian, pengakuan kewalian,
pengakuan sihir dan menaati setan.

a. Pengakuan ketuhanan (iddi’aul ilahiyyah)

Mereka ini kemungkinan dapat memunculkan kejadian luar biasa di tangannya sendiri tanpa ada
perlawanan, seperti cerita tentang Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan dan memunculkan kejadian luar
biasa dengan tangannya. Demikian pula tentang kebenaran Dajjal. Menurut mazhab kami, hal itu mungkin
saja terjadi karena bentuk dan timbulnya kejadian luar biasa itu justru semakin membuktikan kebohongan
dan kepalsuan dirinya.

b. Pengakuan kenabian {iddi’aun nubuwwah)

Orang yang mengaku nabi ada dua macam; orang yang jujur dan pendusta. Kalau ia seorang yang jujur,
sudah semestinya ia mampu memunculkan kejadian luar biasa dengan tangannya, hal ini bisa diterima
karena untuk membuktikan kebenaran kenabiannya. Kalau ia seorang pendusta, maka ia tidak akan
mungkin menunjukkan kejadian luar biasa. Artinya, kalaupun ia mampu menampakkannya, maka ia
harus ditentang.

c. Pengakuan kewalian (iddi’aul wilayah)

Orang-orang yang mengakui adanya karamah wali berbeda pendapat dalam hal ini. Apakah boleh
seseorang mengaku memiliki karamah? sehingga muncul persetujuan terhadap pengakuan kewaliannya
atau tidak.

d. Pengakuan sihir dan menaati setan (iddiaus sihrwatha ‘atusy syaitha


6
Menurut kami, orang-orang yang mengaku sebagai pelaku sihir dan pengikut setan mungkin bisa
menampakkan hal-hal luar biasa dengan tangannya, sedangkan menurut kelompok Mu’tazilah mereka tidak
mungkin menampakkan hal-hal luar biasa.

Kejadian Luar Biasa Kedua, kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan seseorang tanpa mengaku
sesuatu, baik oleh orang saleh yang diridhai Allah maupun orang yang keji dan suka berbuat dosa. Kejadian
luar biasa yang ditunjukkan oleh orang-orang yang saleh disebut karamah wali, dan mazhab kami sepakat
dengan kemungkinan terjadinya hal ini, sedangkan kaum Mu’tazilah mengingkarinya, kecuali Abu Husain
al-Bashri dan Mahmud al-Khawarizmi.
Kejadian Luar Biasa Ketiga, kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan oleh sebagian orang yang
menolak taat kepada Allah yang disebut dengan istidraj.
7

Dalil-Dalil Tentang Adanya Karamah Wali

Ketetapan adanya karamah para wali dinyatakan oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an, khabar, atsar, dan dalil
aqli (rasio).

1. Dalil Al-Qur’an

Ada banyak ayat yang dijadikan pegangan mengenai hal ini:

Dalil 1

Kisah Maryam dalam QS Ali ‘Imran *3+: 37 di atas, sebagaimana telah dijelaskan di muka maka tidak akan
kami ulangi lagi di sini.

Dalil 2

Kisah ashabul kahfi yang tertidur selama 309 tahun, namun tetap selamat dari malapetaka. Allah
melindungi mereka dari panas matahari, seperti termaktub dalam firman Allah, Dan kamu mengira mereka
itu terjaga, padahal sebenarnya mereka tidur (QS Al-Kahfi [18]: 18). Dan kamu akan melihat matahari
ketika terbit, condong ke arah kanan gua (QS Al-Kahfi [18]: 17).

Sebagian orang menetapkan adanya karamah wali berdasarkan firman Allah, Berkatalah seorang yang
memiliki ilmu dari Al-Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.”
Padahal orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab dalam ayat tersebut adalah Nabi Sulaiman a.s., maka
tidak benar mengambil dalil dengan ayat ini.

Al-Qadhi menanggapi masalah ini, “Di antara ashabul kahfi atau pada zaman mereka pasti ada seorang
nabi, karena tidur mereka yang begitu lama bertentangan dengan kebiasaan manusia, sebagaimana
seluruh mukjizat yang ada.” Menurut saya, tidurnya ashabul kahfi yang begitu lama mustahil merupakan
8

mukjizat salah seorang nabi, karena tidur bukanlah kejadian yang luar biasa untuk disebut sebagai
mukjizat.

Banyak orang tidak mempercayai kejadian ini, karena mereka tidak mengetahui bahwa ashabul kahfi
adalah orang yang jujur dalam pengakuannya kecuali bahwa mereka tinggal di dalam gua selama itu.
Orang-orang mengetahui bahwa mereka yang datang pada masa itu telah tertidur selama 309 tahun.
Keseluruhan syarat ini tidak terpenuhi, jadi tidak mungkin mengklasifikasikan kejadian tersebut dalam
kategori mukjizat salah satu nabi, cukuplah dianggap sebagai karamah dan ihsan para wali.

2. Khabar Nabi Saw.

Khabar 1

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw.
bersabda,

“Hanya ada tiga bayi yang bisa bicara, yaitu Isa a.s., bayi pada masa Juraij (seorang ahli ibadah), dan
seorang bayi lainnya.” Kisah Nabi Isa a.s. telah diketahui secara luas. Sementara Juraij adalah seorang
ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang memiliki seorang ibu. Pada suatu hari ketika Juraij sedang shalat,
sang ibu mengetuk pintu dan memanggilnya, “Juraij!” Juraij kebingungan, “Tuhan, manakah yang lebih
baik, melanjutkan shalat atau menjawab panggilan ibu?” Juraij memutuskan untuk tetap melanjutkan
shalatnya. Sang ibu lalu memanggil untuk kedua kalinya, tetapi Juraij tetap melanjutkan shalatnya. Sampai
panggilan ketiga, Juraij tetap kukuh melanjutkan shalatnya dan tidak menghiraukan panggilan ibunya.

Sang ibu marah, lalu berdoa, “Ya Allah, jangan biarkan dia mati, sampai ia bertemu seorang pelacur.” Di
tempat Juraij tinggal, ada seorang pelacur yang berkata pada beberapa orang, “Aku akan menggoda Juraij,
sampai ia mau berzina denganku.” Pelacur itu mendatangi Juraij tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa.
Suatu malam, seorang penggembala beristirahat di gubugnya. Ketika lelah, pelacur itu merayu
penggembala, dan terjadilah perzinaan antara keduanya. Pelacur itu kemudian melahirkan seorang bayi
dan mengaku, “Ini anak Juraij.” Bani Israil lalu mendatangi Juraij, menghancurkan rumahnya dan
mencaci-makinya. Kemudian Juraij shalat dan memanjatkan doa, hingga bergeraklah bayi itu.

Abu Hurairah berkata, “Sepertinya aku melihat Nabi Saw. bercerita dengan mengacungkan tangan ketika
beliau berkata, “Hai bocah, siapa ayahmu?” Bayi itu menjawab, “Penggembala itu.” Akhirnya Bani Israil
9

menyesali perbuatan mereka terhadap Juraij dan mengucapkan janji, “Kami akan membangun rumahmu
dari emas atau perak.” Akan tetapi Juraij menolak tawaran mereka dan membangun rumahnya seperti
semula.

Bayi lain yang bisa bicara adalah seorang bayi yang sedang menyusu kepada ibunya. Lalu lewatlah
seorang pemuda tampan berparas elok. Sang ibu berdoa, “Ya Allah, jadikan anakku seperti dia.”
Kemudian bayi itu menyahut, “Ya Allah, jangan jadikan aku seperti dia.” Lewat lagi seorang perempuan
yang diisukan sebagai pencuri, pezina, dan residivis. Sang ibu berdoa, “Ya Allah, jangan jadikan anakku
seperti dia.” Bayi itu menimpali, “Ya Allah, jadikan aku seperti dia.” Sang ibu bertanya-tanya tentang
celoteh anaknya. Si bayi berkata, “Pemuda itu orang yang suka bertindak sewenang-wenang, aku tidak
ingin jadi seperti dia. Sementara perempuan yang diisukan sebagai pelacur itu bukanlah seorang pelacur,
ia diisukan sebagai seorang pencuri, padahal ia bukan pencuri, dan ia hanya berkata, “Cukuplah Allah
sebagai pelindungku.”

Khabar 2

Khabar tentang sebuah gua yang terkenal dalam kitab-kitab sahih. Al-Zuhri meriwayatkan dari Salim dari
Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah Saw. bercerita, “Dulu, ada tiga orang sedang menempuh suatu perjalanan,
kemudian mereka berlindung dan bermalam di dalam gua. Lalu sebuah batu besar menggelinding dari atas
gunung dan menutupi pintu gua. Mereka berkata, ‘Demi Allah, kami tidak akan selamat dalam gua ini,
kecuali kami memohon kepada Allah dengan perbuatan baik yang telah kami lakukan’

Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Aku memiliki dua orang tua yang lanjut usia, sebelumnya aku
tidak pernah membuatkan mereka minuman. Suatu hari, mereka tertidur di bawah sebatang pohon, aku
tidak memindahkan mereka. Aku memerah susu sebagai minuman sore hari untuk keduanya, aku
membawakannya untuk mereka, tetapi mereka tetap tidur. Aku tidak berniat membangunkan mereka juga
tidak mendahului meminumnya. Sambil berdiri dengan menenteng gelas di tangan, aku tunggui mereka
hingga terjaga sampai fajar merekah. Selanjutnya mereka bangun, dan meminumnya.Ya Allah, apabila aku
lakukan semua” itu karena mencari ridha-Mu, maka keluarkan kami dari hadangan batu besar ini/’
Kemudian batu itu bergeser sedikit sehingga terbuka celah kecil, namun mereka belum bisa keluar dari
gua.

Orang kedua berkata, ‘Aku memiliki sepupu perempuan yang sangat mencintaiku. Kemudian ia
merayuku, tetapi aku menolak, hingga aku menyakiti dirinya selama beberapa tahun. Akhirnya ia
menemuiku dan aku berikan harta yang banyak agar dia mau meninggalkanku. Waktu itu ia berkata,
‘Tidak mungkin kamu bisa melepaskan cincin ini, kecuali dengan cara yang benar.’ Lalu aku
meninggalkannya bersama hartanya. Ya Allah, apabila aku lakukan hal itu karena mencari ridha-Mu,
10

maka bebaskan kami dari pintu gua ini.’ Bergeserlah batu besar itu, tetapi mereka belum juga bisa
keluar dari sana.

Orang ketiga berkata, ‘Ya Allah, aku telah mempekerjakan orang. Aku beri mereka upah, dan hanya ada
satu orang yang belum kuberi karena ia meninggalkan pekerjaannya, kemudian pergi. Aku
membungakan upahnya hingga menjadi kekayaan yang berlipat-lipat. Pada suatu saat, ia mendatangiku
dan berkata, ‘Hai ‘Abdullah, saya mau minta upah.’ Aku menjawab, ‘Seperti apa yang kamu lihat, semua
upahmu berupa unta, kambing, dan budak.’ Dia berkata, ‘Hai’Abdullah, engkau mengolok-olok saya?’
Aku menjawab, ‘Aku tidak mengolok-olokmu, ambillah semua upahmu dan gunakan untuk makan/ Ya
Allah, apabila hamba melakukan semua itu karena mencari ridha-Mu, maka lepaskan kami dari padang
pasir ini.’ Akhirnya terbukalah batu itu dari gua. Mereka keluar dan berjalan bersama-sama.” (HR
Bukhari dan Muslim dengan kualitas hasan sahih)

Khabar 3

Sabda Rasulullah Saw., “Ya Allah, aku sudah membuat kusut dan mengotori kain lusuh dengan debu. Jika
aku bersumpah dengan nama Allah, niscaya kain itu akan rapih dan bersih kembali.” Tidak ada sesuatu
pun yang dapat menyangkal sumpah Nabi Muhammad Saw. atas nama Allah.

Khabar 4

Sa’id bin Musayyab meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw., “Suatu hari, ada seorang laki-
laki yang sedang menggiring seekor sapi dengan beban berat. Sapi itu menoleh ke arah laki-laki itu dan
berkata, ‘Aku diciptakan bukan untuk ini, tetapi untuk membajak.’ Beberapa orang berseru, ‘Maha suci
Allah, seekor sapi bisa bicara.’ Aku, Abu Bakar, dan ‘Umar mempercayai kejadian itu.”

Khabar 5

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Suatu hari seseorang mendengar petir, tanda
musim hujan, yang akan mengairi kebun Fulan. Aku bergegas menuju kebun itu, pada waktu itu, ada
seorang laki-laki berdiri di sana, dan aku bertanya, ‘Siapa namamu?’ Dia menjawab, ‘Fulan bin Fulan bin
Fulan.’ Aku bertanya lagi, ‘Apa yang kau kerjakan di kebun ketika panen tiba?’ Dia balik bertanya,
‘Kenapa kau tanyakan hal itu?’ Jawabku, ‘Karena aku mendengar suara petir yang akan mengairi kebun
Fulan.’ Dia berkata, ‘Jika benar apa yang kau katakan, maka aku akan membaginya menjadi tiga,
sepertiga untukku dan keluargaku, sepertiga untuk orang-orang miskin dan musafir, dan sepertiga lagi
akan aku nafkahkan.'”
11

3. Atsar Sahabat

Kita mulai dengan mengutip beberapa karamah yang muncul dari Khulafa’ur Rasyidin dan para sahabat
Nabi Saw. lainnya. Di sini saya mengutip sebagian karamah Khulafa’ur Rasyidin dari Al-

Razi, dan mengutip karamah para sahabat Nabi lainnya dari periwayat lain. Al-Razi berkata, “Beberapa
kitab sufi membahas hal ini berupa riwayat-riwayat yang tak terhitung jumlahnya. Siapa yang ingin
mempelajarinya, silakan mengkajinya.”

4. Dalil Aqli (rasio)

Di antara dalil aqli dan qat’i yang berkaitan dengan kemungkinan munculnya karamah adalah:

Dalil 1

Sesungguhnya hamba Allah adalah wali-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan sedih” (QS Yunus [10]: 62).

Allah juga wali hamba-Nya, seperti dinyatakan dalam firman-Nya,

“Allah itu pelindung (wali) orang-orang beriman” (QS Al-Baqarah [2]: 257).

“Dia terus-menerus melindungi orang-orang yang saleh” (QS al-A’raf *7+: 196).

“Sesungguhnya penolong kalian (waliyyukum) adalah Allah dan Rasul-Nya” (QS Al-Maidah [5]: 55).

“Engkaulah Penolong kami (maulana)” (QS Al-Baqarah [2]: 286).

“Demikianlah, sesungguhnya Allah menjadi pelindung (maula) orang-orang beriman” (QS Muhammad
[47]: 11).

Jadi, jelaslah bahwa Allah adalah wali hambaNya dan hamba adalah wali Allah. Begitu juga Allah adalah
kekasih hamba, sebaliknya hamba adalah kekasih Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya” (QS Al-Maidah [5]: 54).

“Orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah” (QS Al-Baqarah [2]: 165).
12

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri “(QS
al-Baqarah [2]: 222).

Jadi, bisa dikatakan bahwa jika seorang hamba telah mencapai ketaatan, maka ia akan terdorong untuk
melaksanakan segala yang diperintahkan Allah dan semua hal yang diridhai-Nya, dan akan meninggalkan
semua perbuatan yang dilarang dan dicegah olehNya. Bagaimana mungkin ia tidak melaksanakan
perbuatan yang dikehendaki Tuhan Yang Maha Penyayang lagi Maha Mulia sekali saja, padahal hanya
Tuhanlah yang utama baginya, karena hamba sesungguhnya tidak berdaya dan lemah ketika
mengerjakan semua hal yang dikehendaki dan dititahkan Allah, sedangkan Tuhan Yang Maha Penyayang
melakukan hal-hal utama yang dikehendaki hamba-Nya dalam sekali hitungan saja. Hal ini berdasarkan
pada firman Allah,

“Penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 40)
Dalil 2
Jika ketidakmunculan karamah membuat manusia menuduh Allah tidak ahli melakukan perbuatan
seperti itu, maka itu termasuk mencela kekuasaan Allah dan dihukumi kufur. Atau jika ketidakmunculan
karamah membuat manusia menuduh seorang mukmin tidak patut dikaruniai karamah oleh Allah,
alasan ini tidak sah, karena mengetahui zat, sifat, perbuatan, hukum-hukum dan nama-nama Allah, cinta
dan ketaatan kepada-Nya, serta terus-menerus menyucikan, mengagungkan, dan menyambut gembira
nama-Nya dan membacakan tahlil untuk-Nya itu jauh lebih mulia daripada hanya memberikan sepotong
kue untuk menundukkan ular atau harimau. Ketika Allah menganugerahi seorang mukmin ma’rifat,
mahabbah, zikir, dan syukur tanpa permohonan, hal itu lebih utama daripada hanya memberi sepotong
kue sebagai hidangan.

Dalil 3

Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa Allah berfirman,


“Tidak ada yang lebih mendekatkan seorang hamba kepada-Ku yang sebanding dengan menunaikan
semua kewajiban yang Kuperintahkan dan senantiasa mendekati-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunnah
hingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka aku menjadi pendengaran, penglihatan,
lidah, hati, tangan, dan kakinya. Ia mendengar melalui Aku, ia melihat melalui Aku, ia berbicara melalui
Aku, dan berjalan melalui Aku.’
13

Khabar ini menunjukkan tidak adanya ruang dalam pendengaran mereka untuk selain Allah, tidak juga
dalam penglihatan dan keseluruhan anggota tubuhnya. Sebab kalau masih ada ruang untuk selain Allah,
tentunya Allah tidak akan berkata, “Aku mendengar dan melihat-Nya.” Maka tidak ada keraguan lagi
bahwa inilah maqam yang lebih mulia daripada kemampuan menundukkan ular dan binatang buas, atau
memberi sepotong roti, setangkai anggur dan segelas air kepada seseorang yang kelaparan dan
kehausan di padang tandus. Ketika Allah dengan rahmat-Nya mengantarkan hamba-Nya sampai derajat
yang tinggi, maka apa susahnya memberi sepotong roti atau air minum di padang tandus kepada
seseorang?

Dalil 4

Nabi Muhammad Saw. menceritakan bahwa Allah berfirman, “Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia
benar-benar menyatakan peperangan dengan-Ku.” Menyakiti wali sama dengan menyakiti Allah, hal ini
sesuai dengan firman-Nya:

“Orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berjanji setia kepada
Allah” (QS Al-Fath [48]: 10).

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin (untuk
memilih ketetapan lain), apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan” (QS Al-Ahzab
[33]: 36).

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya akan dilaknat oleh Allah di dunia dan
akhirat” (QS Al-Ahzab [33]: 57).

Berjanji setia (bai’at) kepada Nabi Muhammad Saw. berarti berjanji setia kepada Allah, ridha kepada
Nabi Muhammad Saw. berarti ridha kepada Allah, menyakiti Nabi Muhammad Saw. berarti menyakiti
Allah. Tidak diragukan lagi, derajat Muhammad adalah derajat tertinggi. Inilah arti dari firman Allah
dalam sebuah hadis qudsi, “Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka ia telah menyatakan peperangan
dengan-Ku.” Hadis qudsi ini menunjukkan ketetapan Allah bahwa menyakiti wali sama dengan
menyakiti-Nya.

Hal ini diperkuat dengan khabar masyhur yang menyatakan bahwa pada hari kiamat nanti Allah Swt.
berfirman,

“Aku sakit, tetapi kau tidak menjengukku. Aku meminta minum tetapi kau tidak memberiku mimun. Aku
meminta makan kepadamu tapi kau tidak memberiku makan.” Orang-orang bertanya, “Ya Tuhan,
14

bagaimana kami melakukan hal ini, sementara Engkau adalah Tuhan Penguasa alam?” Allah menjawab,
“Sesungguhnya hamba-Ku si Fulan sedang sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Apakah kamu tidak tahu
kalau saja kamu menjenguknya, maka kamu akan menemukan Aku di sisinya.”

Demikian juga ketika kita memberi minum dam makan wali-Nya berarti kita juga memberi minum dan
makan Allah. Seluruh khabar di atas membuktikan bahwa para wali Allah telah mencapai derajat ini.

Dalil 5

Kita melihat bahwa dalam kebiasaan, seseorang yang diangkat sebagai pelayan khusus oleh seorang raja
dan diizinkan masuk ke ruang untuk bersenang-senang, maka ia juga diberi kekhususan untuk
melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang lain. Bahkan akal sehat juga menyaksikan bahwa kedekatan
dengan seorang raja akan menimbulkan naiknya pangkat (kedudukan). Kedekatan adalah asal atau pokok,
sementara kedudukan adalah pengiring. Sedangkan Raja Paling Agung adalah Tuhan Penguasa alam. Jika
Allah memuliakan seorang hamba dengan mengantarkannya ke pintu pengabdian dan derajat karamah,
menganugerahinya rahasia ma’rifat dan kemampuan menyingkap hijab antara Allah dan dirinya, serta
mendudukkannya dalam kedekatan, maka tidak ada kesulitan baginya untuk menampakkan sebagian
karamah di dunia ini.

Dalil 6

Tidak diragukan lagi bahwa yang menguasai perbuatan adalah ruh, bukan badan. Begitu juga
penguasaan Allah atas ruh sama dengan penguasaan ruh atas badan, berdasarkan penafsiran kami atas
firman Allah, “Dia menurunkan malaikat dengan (membawa) ruh (wahyu) berupa perintah-Nya” (QS Al-
Nahl *16+: 2). Rasulullah Saw. bersabda, “Aku bermalam di sisi Tuhanku yang memberiku makan dan
minum.” Dari hadis ini, kita tahu bahwa semakin banyak pengetahuan seseorang tentang alam gaib,
maka semakin kuat hatinya dan semakin sedikit kelemahannya. Karena itu, ‘Ali bin Abi Thalib berkata,
“Demi Allah, gerbang Khaibar itu tidak aku dobrak dengan kekuatan jasadiah, tetapi gerbang itu terlepas
dengan kekuatan rabbaniyyah.” Hal tersebut karena pada waktu perang Khaibar, ‘Ali memutus
pandangannya dengan alam jasad, dan malaikat memancarkan cahaya alam keagungan, sehingga ruh
‘Ali menjadi kuat dan menyerupai subtansi ruh malaikat serta memancarkan kilauan cahaya alam kesucian
dan keagungan.

Maka ‘Ali memiliki kemampuan seperti malaikat yang tidak dimiliki oleh orang lain. Demikian pula
hamba lain yang terus-menerus taat, ia akan tiba pada maqam yang difirmankan Allah dalam sebuah hadis
qudsi, “Aku menjadi pendengaran dan penglihatannya.” Ketika cahaya keagungan Allah menjadi
pendengarannya, maka ia mampu mendengar suara yang dekat maupun yang jauh. Ketika cahaya Allah
15

menjadi tangannya, maka ia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan yang sulit maupun
mudah, jauh maupun dekat.

Dalil 7

Menurut hukum akal, subtansi ruh bukanlah raga yang fana, rusak, dapat dipisah-pisah, dan dipotong-
potong. Namun ruh adalah substansi malaikat, penghuni langit, sesuatu yang kudus dan suci. Hanya saja
ketika ruh terikat dengan tubuh dan terbelenggu dengan kehendaknya, maka ia akan melupakan negeri
asal dan tempat tinggalnya yang lama, dan secara keseluruhan ia serupa dengan tubuh yang rusak,
kekuatannya melemah, kekokohannya lenyap hingga ia tidak kuasa melakukan apa-apa. Ketika ruh
senang dengan ma’rifat dan mahabbah kepada Allah, serta jarang mengikuti kehendak tubuh, maka ruh-
ruh penghuni langit dan ‘arsy akan memancarkan kilauan cahaya mereka atasnya dan menyelubunginya,
kemudian ia akan diberi kekuatan hingga mampu menguasai alam materi, seperti ruh-ruh penghuni langit,
dan inilah yang disebut karamah.

Menurut mazhab kami, ruh manusia berbeda dengan benda-benda cair. Ruh manusia mengandung
kekuatan dan kelemahan, cahaya dan kegelapan, kehormatan dan kehinaan, demikian juga ruh-ruh
falakiyah (wilayah langit). Tidakkah kau lihat Jibril, ketika Allah menyifatinya dalam Al-Qur’an,
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang
mempunyai kekuatan dan kedudukan tinggi di sisi Allah Pemilik ‘Arsy, yang ditaati di sana (di alam
malaikat) lagi dipercaya” (QS Al-Takwir [81]: 19-21). Allah berfirman tentang sekelompok malaikat lainnya,
dan berapa banyak malaikat di langit yang syafa’atnya tidak berguna kecuali setelah Allah memberikan izin
kepada yang dikehendaki dan diridhai-Nya.

Demikianlah, ketika jiwa berpadu dengan kekuatan yang suci dan mendasar, cahaya substansi,
keluhuran tabiat, ditambah dengan berbagai macam riyadhah (olah spiritual) yang membersihkan debu
dunia wujud dan kerusakan dari wajahnya, maka jiwanya akan bercahaya, berkilauan, dan mampu
menguasai alam nyata dan fana dengan bantuan cahaya ma’rifat yang mulia dan kekuatan cahaya Sang
Maha Perkasa lagi Maha Mulia. Penjelasan yang mulia ini mengandung rahasia-rahasia terselubung dan
fenomena-fenomena yang mendalam, karenanya kita memohon pertolongan Allah agar dapat
memahaminya. Barangsiapa tidak bisa mencapainya, berarti ia tidak meyakininya.

Para penyangkal adanya karamah memiliki beberapa argumen:

Para penyangkal karamah berlaku tidak adil dan menyesatkan karena berpendapat bahwa munculnya
peristiwa luar biasa merupakan bukti kenabian, kalau muncul di tangan selain nabi, maka bukti ini
16

menjadi batal. Adanya bukti tetapi tidak ada yang dibuktikan akan menodai eksistensi bukti tersebut
dengan demikian bukti tersebut menjadi batal.

Mereka berpegang pada sabda Rasulullah dalam sebuah hadis qudsi yang menceritakan tentang Allah,
“Orang-orang yang mendekat kepada-Ku itu tidak akan pernah dekat kepada-Ku, hingga mereka
menunaikan hal-hal yang Ku-wajibkan atas mereka.” Mereka mengatakan hadis ini adalah bukti bahwa
mendekat kepada Allah dengan cara menjalankan semua perintah-perintah-Nya yang wajib lebih agung
daripada mendekat kepada-Nya dengan menjalankan perbuatan sunnah. Jika orang yang mendekat
kepada-Nya karena menjalankan perbuatan wajib saja tidak memperoleh karamah apa pun, maka
apalagi orang yang mendekat kepada Allah dengan menjalankan perbuatan sunnah tidak patut
memperoleh karamah.

Mereka berpegang pada firman Allah, “Dan dia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang tidak
sanggup kamu capai kecuali dengan kesukaran-kesukaran yang memayahkan diri”(QS Al-Nahl [16]: 7).
Pendapat mereka yang menyatakan bahwa wali itu pindah dari satu negeri ke negeri yang jauh tidak sesuai
bahkan bertentangan dengan ayat ini. Demikian juga. Nabi Muhammad Saw. tidak akan bisa berjalan dari
Mekah ke Madinah kecuali dalam tempo yang lama dengan disertai kepayahan-kepayahan. Bagaimana
mungkin dapat dipahami bahwa seorang wali meninggalkan negerinya untuk beribadah haji dalam waktu
satu hari saja?

Mereka bertanya apakah wali yang memperlihatkan karamah karena mengharapkan uang dari manusia
bisa dituntut untuk menunjukkan bukti kewaliannya atau tidak? Kalau kita menuntutnya untuk
menunjukkan bukti, maka itu sia-sia belaka, karena tampaknya karamah menunjukkan bahwa ia tidak
berdusta. Sudah ada dalil meyakinkan mengapa harus mencari dalil perkiraan, tetapi kalau kita tidak
menuntutnya untuk menunjukkan bukti, berarti kita telah mengabaikan Sabda Nabi SAW. yang berbunyi,
“Bukti itu ada pada orang yang menyatakannya.” Ini menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan
adanya karamah itu batil.

Apabila karamah bisa muncul pada sebagian wali, maka ia juga bisa terjadi pada orang lain. Jika karamah
sudah begitu banyak sampai menjadi hal yang tak luar biasa lagi, maka akan sama dengan adat. Apabila
kemunculan karamah begitu sering, maka karamah itu menjadi biasa saja, dan hal inilah yang akan
menodai mukjizat dan karamah.

Jawaban atas argumen yang pertama:

Umat muslim berbeda pendapat tentang apakah seorang wali boleh menyatakan kewaliannya?
17

Kelompok Al-Muhaqqiqun (orang-orang yang menyatakan kebenaran) tidak membolehkannya.


Berdasarkan pendapat ini, kita bisa membedakan antara mukjizat dan karamah. Mukjizat muncul
setelah pengakuan kenabian, sementara karamah tidak muncul setelah pengakuan kewalian. Karena
perbedaan inilah, para nabi diutus kepada makhluk untuk menyeru dari kekufuran kepada keimanan,
dari maksiat kepada ketaatan. Kalau pengakuan kenabian tidak dinyatakan, maka kaum mereka tidak akan
beriman, dengan kata lain tetap kufur. Jika para nabi menyatakan kenabian dan menampakkan mukjizat
mereka, maka kaum yang diserunya akan mempercayai mereka. Langkah-langkah Nabi Muhammad Saw.
menyatakan kenabiannya bukan bertujuan untuk mengagungkan diri, tetapi untuk menunjukkan kasih
sayangnya kepada makhluk, agar mereka hijrah (beralih) dari kufur menuju iman.

Adapun pernyataan kewalian seseorang tidak menyebabkan orang yang tidak mengakui kewalian-nya
menjadi kafir atau menyebabkan orang yang mengakui kewalian-nya menjadi beriman. Jadi, pengakuan
kewalian dinyatakan karena nafsu, oleh karenanya Nabi wajib menyatakan secara jelas pengakuan
kenabiannya, sedangkan wali tidak diperkenankan menyatakan pengakuan kewaliannya, sehingga
tampaklah perbedaan antara keduanya.

Sementara orang yang berpendapat bahwa seorang wali boleh menyatakan pengakuan kewaliannya,
menyebutkan perbedaan mukjizat dan karamah ditinjau dari beberapa segi:

1) Kemampuan melakukan hal-hal luar biasa menunjukkan pelakunya bebas dari maksiat. Adapun
peristiwa luar biasa yang diiringi dengan pengakuan kenabian menunjukkan pengakuan kenabiannya itu
benar, sedangkan peristiwa luar biasa yang diiringi dengan pengakuan kewalian menunjukkan
pengakuan kewaliannya itu benar. Dengan demikian, jelas bahwa mengakui adanya karamah para wali
tidak berarti menyangkal mukjizat para nabi.

2) Nabi Saw. menunjukkan mukjizatnya dan meyakinkan dirinya, sedangkan wali ketika menunjukkan
karamahnya tidak untuk meyakinkan dirinya. Karena mukjizat wajib ditampakkan, sementara karamah
tidak.

3) Melawan orang-orang yang menyangkal mukjizat itu wajib, sedangkan para penyangkal karamah tidak
wajib dilawan.

4) Seorang wali tidak boleh memperlihatkan karamahnya ketika ia menyatakan pengakuan kewaliannya,
kecuali jika untuk memper kuat dakwah agama Nabi Saw. Bila hal ini terjadi, maka karamah itu menjadi
18

mukjizat bagi Nabi dan mengukuhkan risalahnya. Dengan demikian, tindakan memperlihatkan karamah
tidak berarti menyangkal kenabian seorang nabi, tetapi justru menjadi penguat kenabiannya.

Jawaban atas argumen yang kedua: Taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan melakukan amalan-
amalan wajib tentu lebih sempurna daripada taqarrub dengan amalan-amalan sunnah. Seorang wali hanya
akan menjadi wali ketika ia menunaikan ibadah fardhu dan sunnah. Tidak diragukan lagi, kondisi ini lebih
baik daripada orang yang membatasi diri pada hal-hal yang fardhu semata. Jadi, jelaslah perbedaannya.

Jawaban atas argumen yang ketiga: Firman Allah dalam QS Al-Nahl *16+: 7 yang berbunyi, “Dan ia memikul
beban-bebanmu ke suatu negeri yang tidak sanggup kamu capai kecuali dengan kesukaran kesukaran yang
memayahkan diri”, mencakup kebiasaan-kebiasaan umum. Sedangkan karamah para wali adalah
fenomena yang langka, pengecualian dari kebiasaan-kebiasaan umum.

Jawaban atas argumen yang keempat: Berpegang pada Sabda Nabi Saw. yang menyatakan, “Bukti itu
ada pada orang yang mengaku.”

Jawaban atas argumen yang kelima: Orang-orang yang taat itu sedikit jumlahnya, sebagaimana
dinyatakan dalam firman Allah, “Dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang bersyukur/taat”(QS Saba’ *34+:
13). Dan seperti yang dikatakan iblis dalam firman-Nya, “Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur/taat” (QS Al-A’raf *7+: 17). Jadi, ketika orang yang memperlihatkan karamah sangat
sedikit, maka itu berarti berbeda dengan kebiasaan.
19

Perbedaan Antara Karamah Dan Istidraj

Perlu diketahui bahwa siapa saja yang menginginkan sesuatu dan keinginannya itu dikabulkan oleh Allah,
maka itu belum tentu menunjukkan bahwa ia seorang hamba yang mulia di sisi Allah, baik pemberian Allah
tersebut sesuai atau berbeda dengan kebiasaan. Akan tetapi pemberian Allah tersebut bisa berarti
penghormatan Allah untuk hamba-Nya (karamah) atau tipuan untuknya (istidraj). Dalam Al-Qur’an,
istilah istidraj diungkapkan dengan beberapa istilah:

1. Al-istidraj, seperti dinyatakan dalam firman Allah:

Kami (Allah) akan memperdaya mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui.
(QS Al-A’raf *7+: 182)

Makna al-istidraj dalam ayat ini adalah Allah mengabulkan semua keinginannya di dunia agar
pembangkangan, kesesatan, kebodohan, dan kedurhakaan mereka semakin bertambah, hingga setiap hari
semakin jauh dari Allah. Pada praktiknya, menurut logika, mengulang-ulang perbuatan akan menyebabkan
pelaku semakin kuat menguasai perbuatan yang diulang-ulangnya. Bila hati seorang hamba condong
kepada dunia, kemudian Allah mengabulkan keinginannya, maka ketika itulah ia mencapai apa yang
diinginkannya, sehingga akan diperoleh kenikmatan, dan adanya kenikmatan akan semakin menambah
kecondongan kepada dunia, lalu kecondongan kepada dunia mengharuskannya untuk semakin keras
berusaha untuk mencapai keduniaan.
20

Selamanya, setiap tahapan akan mendorong kepada tahapan selanjutnya, dan setiap tahapan akan
semakin menguat secara gradual. Sudah dimaklumi bahwa kesibukan orang terhadap kenikmatan yang
menyenangkan ini akan menghalangi diri dari maqam-maqam mukasyafah (tingkat ketersingkapan
cahaya) dan derajat ma’rifat, dan sudah tentu akan semakin menjauhkan diri dari Allah, setahap demi
setahap hingga mencapai puncak kecondongannya kepada dunia. Inilah yang dinamakan istidraj.

2. Al-makr, seperti dinyatakan dalam firman Allah:

Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah yang tidak terduga-duga? Tiada yang merasa aman
dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A’raf *71: 99)

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah sebaik-baik
pembalas tipu daya. (QS Ali’Imran *31:54)

Mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar pula,
sedang mereka tidak menyadari. (OS Al-Naml T271:50)

3. Al-kaid (tipu daya), seperti dinyatakan dalam firman Allah,

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (QS Al-
Nisa’ *4+: 142)

4. Al-imla (memberi tangguh), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:

Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa masa penangguhan yang Kami berikan
kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka
hanyalah supaya dosa mereka bertambah. (QS Ali ‘Imran *3+: 178)

5. Al-ihlak (siksaan), sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:

Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa
mereka dengan sekonyong-konyong. (QS Al-An’am *6+: 44)

Dan dalam firman Allah tentang Fir’aun,

Dan berlaku angkuhlah Fir’aun dan bala tentaranya di bumi tanpa alasan yang benar dan mereka
menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukum Fir’aun dan bala
tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam lautan (QS Al-Qashash [28]: 39-40).
21

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa tercapainya keinginan seorang hamba tidak menunjukkan
kesempurnaan derajat dan keberuntungan mendapat kebaikan.

Perbedaan antara karamah dan istidraj adalah bahwa pemilik karamah tidak begitu senang dengan
karamah yang dimilikinya, bahkan karamah itu membuatnya semakin takut kepada Allah,
kewaspadaannya terhadap siksa Allah semakin kuat, karena ia takut kalau-kalau hal tersebut merupakan
istidraj. Sedangkan pemilik istidraj sangat senang dengan hal-hal luar biasa yang ada pada dirinya dan
mengira bahwa karamah itu ada pada dirinya karena ia berhak memilikinya. Karena itu ia memandang
rendah orang lain, membanggakan diri sendiri, dan merasa aman dari tipu daya dan siksaan Allah, dan
tidak takut kepada siksa Allah. Jika sikap seperti ini muncul pada diri seorang pemilik karamah, berarti yang
dimilikinya bukanlah karamah tetapi istidraj.

Orang-orang yang berpegang pada kebenaran (Al-Muhaqqiqun) mengatakan bahwa ada kesepakatan
bahwa keterputusan dari hadirat Allah sebagian besar terjadi dalam kondisi memiliki karamah. Tidak
diragukan lagi, golongan Al-Muhaqqiqun takut kepada karamah, seperti rasa takut mereka kepada
berbagai macam cobaan. Rasa senang kepada karamah dapat memutuskan jalan kepada Allah. Hal ini
dapat dijelaskan dengan beberapa hujjah:

Hujjah pertama: Ketertipuan ini terjadi, ketika seseorang yakin bahwa dirinya berhak memperoleh
karamah dan sekiranya ia bukanlah orang yang berhak mendapatkannya maka tidak akan muncul rasa
bangga itu bahkan rasa bangganya itu muncul hanya karena karamah wali. Keutamaan karamahnya
lebih besar daripada kebahagiaan karena karamah itu sendiri. Kebahagiaan dengan adanya karamah itu
melebihi kebahagiaan pada dirinya sendiri. Jelas bahwa kebahagiaan karena adanya karamah tidak akan
muncul kecuali dengan adanya keyakinan bahwa dirinyalah pemilik karamah itu dan yang berhak
mendapatkannya. Ini adalah kebodohan yang nyata karena para malaikat saja berkata, Tidak ada yang
kami ketahui kecuali dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami (QS Al-Baqarah [2]: 32).

Dan Allah berfirman, Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS
Al-An’am *6+: 91). Ada dalil meyakinkan yang menyatakan bahwa makhluk tidak berhak mendakwakan
kebenaran, maka bagaimana mungkin ada orang mengaku berhak mempunyai karamah.

Hujjah kedua: Karamah adalah sesuatu yang senantiasa tergantung pada Allah Swt. Rasa senang karena
memiliki karamah adalah senang kepada sesuatu yang bukan haknya. Rasa senang kepada sesuatu yang
22

bukan haknya merupakan penghalang kebenaran, dan orang yang terhalang dari kebenaran bagaimana
mungkin layak untuk senang dan bergembira?

Hujjah ketiga: Orang yang yakin bahwa dirinya berhak memiliki karamah karena merasa amal
perbuatannya memiliki pengaruh besar dalam dirinya dan merasa bahwa perbuatannya bernilai atau
berpengaruh pada dirinya adalah orang yang bodoh. Kalau saja ia mengenal Tuhan, ia pasti menyadari
semua ketaatan makhluk di sisi Allah itu hanya sedikit, semua rasa syukur mereka atas anugerah dan
nikmat-Nya itu juga sangat sedikit, dan semua pengetahuan dan ilmu mereka dibandingkan dengan
keagungan Allah hanyalah kebingungan dan kebodohan saja.

Ketika Ustaz Abu ‘Ali al-Daqaq mengkaji firman Allah yang berbunyi Kepada-Nyalah naik perkataan-
perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Fathir [35]:10), di majelisnya ia berkata,
“Pertanda bahwa amalmu dinaikkan oleh Allah adalah jika kamu tidak mengingat-ingatnya. Jika kamu
mengingat-ingat amalmu, berarti amalmu ditolak, sebaliknya bila kamu tidak mengingat-ingatnya,
berarti amalmu diterima dan dinaikkan oleh Allah Swt.”

Hujjah keempat: Pemilik karamah merasa bahwa karamah yang dimilikinya justru untuk memperlihatkan
kerendahan hati dan ketundukan di hadapan Allah. Jika ia merasa bangga, tinggi hati, dan sombong
disebabkan karamah yang dimilikinya, maka batallah segala sesuatu yang menyebabkannya menerima
karamah. Sikap seperti inilah yang membuat pemilik karamah tertolak. Oleh karena itu, setiap kali
Rasulullah Saw. menceritakan tentang manaqib (keistimewaan) dan keutamaan dirinya, beliau selalu
mengakhirinya dengan kalimat, “Tiada kebanggaan,” maksudnya “Aku tidak bangga dengan karamah
yang kumiliki ini, yang aku banggakan adalah Zat yang memberi karamah.”

Hujjah kelima: Kemunculan hal-hal luar biasa pada iblis dan bal’am begitu menakjubkan, tetapi
kemudian Allah berfirman kepada iblis, Ia termasuk golongan kafir, kepada bal’am, Ia seperti anjing, dan
kepada ulama Bani Israil, Perumpamaan orang-orang yang memegang Taurat, tetapi tidak
mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (QS Al-Jumu’ah *62+: 5),
juga firman-Nya kepada Bani Israil, Orang-orang yang telah diberi Al-Kitab tidak berselisih, kecuali
setelah datang ilmu kepada mereka, di antara mereka kemudian ada yang membangkang (QS Ali ‘Imran
[3]: 19). Jadi jelaslah bahwa kegelapan dan kesesatan yang menimpa mereka disebabkan karena rasa
bangga dengan ilmu dan kezuhudan yang diberikan kepada mereka.
23

Hujjah keenam: Karamah bukanlah kemuliaan, dan segala sesuatu yang tidak mulia adalah kehinaan.
Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu Nabi Ibrahim a.s. berkata, “Adapun bagi- Mu,
itu tidak berarti apa-apa.” Merasa cukup dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan kelemahan adalah
lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang, bahagia dengan semua hal yang
diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran adalah sikap ikhlas. Fakir adalah ketika seseorang senang
dengan kemuliaan yang menjatuhkan derajatnya. Jika seseorang melihat karamah, sesunggu- hnya setiap
ia melihat keperkasaan niscaya ia melihat sang pemberi keperkasaan, dan setiap ia melihat ciptaan niscaya
ia melihat penciptanya.

Hujjah ketujuh: Bangga terhadap diri dan sifat-sifatnya termasuk sifat-sifat iblis dan Fir’aun. Iblis berkata,
Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A’raf *7+: 12) dan Fir’aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini
adalah kepunyaanku (QS Al-Zukhruf [43]: 51). Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan secara dusta,
maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri, memperkuat ketamakan dan
kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda, “Ada tiga hal yang merusak, yang terakhir
adalah orang yang membanggakan diri.”

Hujjah kedelapan: Allah berfirman, Berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan
hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS Al-A’raf *7]: 144). Dan sembahlah Tuhanmu
sampai datang kepadamu apa yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99). Ketika Allah menganugerahkan
karunia yang melimpah kepada kita, kita diperintah untuk menyibukkan diri dengan melayani Sang
Pemberi, bukan malah bangga dengan karunia yang diberikan-Nya itu.

Hujjah kesembilan: Ketika Nabi Saw. disuruh oleh Allah untuk memilih antara menjadi raja yang nabi
atau hamba yang nabi, beliau tidak memilih posisi raja, padahal tidak diragukan bahwa posisi raja yang
meliputi daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan mukjizat. Namun Nabi Saw. meninggalkan
singgasana dan memilih penghambaan (‘ubudiyah)kepada Allah. Sebab ketika menjadi seorang hamba,
kebanggaannya diarahkan kepada tuannya. Tetapi ketika menjadi raja, kebanggaannya diarahkan
kepada budaknya. Ketika Nabi Saw. memilih penghambaan, sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai
penghormatan seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud, “Aku bersaksi bahwa Muhammmad Saw. adalah
hamba dan utusan-Nya.” Allah berfirman tentang mi’raj Nabi Saw., Maha suci Allah yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS Al-Isra’ *17+: 1)

Hujjah kesepuluh: Mencintai tuan itu tidak ada artinya, mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artinya.
Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira selain dengan kekasihnya. Kesenangan
dan kegembiraan dengan selain Allah menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuannya,
24

tetapi ia hanya mencintai bagian dari nafsunya sendiri dan bagian dari nafsu hanya dituntut oleh nafsu.
Orang seperti ini hanya mencintai dirinya sendiri.

Sebenarnya ia tidak mencintai tuannya, ia hanya menjadikan tuannya sebagai sarana untuk memperoleh
apa yang dicarinya. Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (QS Al-Furqan
[25]: 43). Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para muhaqqiqin mengemukakan bahwa
mudarat karena menyembah berhala tidak sebesar mudarat karena menyembah nafsu, rasa takut
karena menyembah berhala tidak sebesar rasa takut karena merasa bangga dengan adanya karamah.

Hujjah kesebelas: Allah berfirman, Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberinya
jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). Ayat ini
menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan
memperoleh apa-apa dari perbuatan dan keadaan mereka itu.

Apakah Seorang Wali Dapat Mengetahui Kewalian Dirinya

Ustad Abu Bakar bin Faurak mengatakan bahwa seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya
adalah seorang wali. Sementara Ustad Abu ‘Ali al-Daqaq dan Abu Qasim al-Qusyairi (muridnya)
mengatakan bahwa hal itu mungkin. Alasan kedua pendapat yang berseberangan ini cukup banyak.

Alasan pertama: Kalau seseorang mengetahui bahwa dirinya adalah wali, maka ia akan merasa aman,
sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut
dan tidak bersedih hati (QS Yunus [10]: 62). Akan tetapi meraih keyakinan rasa aman itu tidak
diperbolehkan, karena beberapa alasan:

1) Allah berfirman, Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi (QS Al-
A’raf *7+: 99). Putus asa juga tidak diperbolehkan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir (QS Yusuf [12]: 87). Tidak
25

ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat (QS Al-Hijr [15]: 56).
Artinya, rasa aman hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya lemah, keputusasaan hanya
akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya sedikit. Keyakinan yang lemah dan sedikit kepada hak-hak
Allah adalah perbuatan kufur, maka orang yang merasa aman dari siksa Allah dan putus asa dari rahmat
Allah adalah orang yang kafir.

2) Ketaatan sebesar apa pun tetap lebih besar rasa terpaksa, jika rasa terpaksa ini mendominasi jiwa
seseorang, maka tidak akan diperoleh rasa aman.

3) Rasa aman akan menyebabkan hilangnya penghambaan kepada Allah. Hilangnya sikap pengabdian
dan penghambaan kepada Allah akan menimbulkan rasa permusuhan, sedangkan rasa aman
menyebabkan hilangnya rasa takut.

4) Allah menyifati orang-orang yang ikhlas dengan firman-Nya, Dan mereka berdoa kepada Kami dengan
rasa berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami (QS Al-Anbiya’ *21+:
90). Sebagian orang menafsirkan bahwa berdoa dengan rasa berharap di sini adalah berdoa memohon
pahala kepada Allah, sementara berdoa dengan rasa takut adalah takut terhadap siksa Allah. Pendapat
lain mengatakan bahwa ayat di atas bermakna berdoa dengan mengharap karunia Allah dan berdoa
dengan rasa takut terhadap siksa-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat di atas menganjurkan
berdoa dengan mengharap dapat berjumpa dengan Allah, dan berdoa dengan rasa takut berpisah dari
Allah. Adapun pendapat yang paling tepat adalah berdoa dengan mengharap kepada Allah dan rasa
takut terhadap-Nya.

Alasan kedua: Seorang wali tidak mengetahui bahwa dirinya wali, sebab ia menjadi wali karena Allah
mencintainya, bukan karena ia mencintai Allah, demikian juga sebaliknya seseorang menjadi musuh
Allah karena Allah memusuhinya bukan karena ia memusuhi Allah. Mencintai dan memusuhi Allah
adalah dua rahasia yang tidak tampak pada diri seseorang. Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak
mempengaruhi seseorang untuk mencintai atau memusuhi Allah, karena ketaatan adalah sesuatu yang
baru muncul kemudian, sedangkan sifat Allah itu kekal dan tidak terbatas. Sesuatu yang baru dan
terbatas tidak dapat mengalahkan yang kekal dan tak terbatas.

Berdasarkan hal ini, terkadang seorang hamba bermaksiat kepada Allah saat ini, padahal sebelumnya ia
mencintai-Nya, terkadang juga seorang hamba taat kepada-Nya saat ini padahal dulunya ia bermaksiat
terhadap-Nya. Pada prinsipnya, mencintai dan memusuhi Allah adalah sifat, sedangkan sifat Allah tidak
26

bisa dijelaskan alasannya. Barangsiapa mencintai Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi musuh-
Nya karena melakukan maksiat. Barangsiapa memusuhi Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi
pencinta Allah karena melakukan ketaatan. Karena mencintai dan memusuhi Allah merupakan dua
rahasia yang tidak bisa dilihat, maka Nabi Isa a.s. berkata.

Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sementara aku tidak mengetahui apa yang ada dalam
diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib. (QS Al-Maidah [5]: 116)

Alasan ketiga: Seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya wali karena hukum yang
menentukan bahwa seseorang termasuk wali, orang yang berpahala, dan penghuni surga tergantung pada
akhir kehidupan, dalilnya adalah firman Allah yang menyatakan, Barangsiapa membawa amal yang baik,
maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa membawa amal yang buruk maka
dia ia hanya diberi balasan yang sepadan dengan amal buruknya (QS Al-Maidah [6]: 160). Firman Allah
tersebut bukan berbunyi, Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipat
sepadan dengan perbuatannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pahala dari Allah
tergantung pada akhir pelaksanaan, bukan pada awal perbuatan.

Yang memperkuat pendapat ini adalah dalil yang menyatakan bahwa apabila seseorang menghabiskan
seluruh usianya dalam kekufuran, lalu di akhir hayatnya ia masuk Islam, maka ia termasuk golongan
orang yang mendapatkan pahala, begitu pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa yang penting
adalah akhirnya bukan awal perbuatannya. Karena itu, Allah berfirman, Katakanlah kepada orang-orang
kafir itu, “Jika mereka berhenti dari kekufuran, niscaya Alah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang
telah lalu” (QS Al-Anfal [8]: 38).

Jadi, ketetapan bahwa seseorang termasuk wali atau musuh Allah, orang yang mendapat pahala atau
mendapat siksa terletak di akhir hidupnya. Dan telah jelas bahwa akhir kehidupan tidak diketahui oleh
seorang pun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang wali tidak bisa mengetahui bahwa
dirinya wali.

Adapun mereka yang menyatakan bahwa seorang wali terkadang bisa mengetahui kedudukannya
sebagai wali, berpegang pada kesahihan pendapat mereka yang menyatakan bahwa kewalian terdiri dari
beberapa unsur:

Secara lahiriah, ia tunduk dan patuh kepada syariat.

Secara batiniah, ia tenggelam dalam cahaya hakikat.

Apabila seseorang telah mencapai dua unsur ini dan orang-orang mengetahui manifestasi dari dua unsur
di atas, maka eksistensi kewaliannya bisa diketahui. Kepatuhan kepada syariat secara lahir terlihat dari
tindakan lahir, sementara tenggelamnya batin dalam cahaya hakikat berupa kesenangan menaati Allah
dan mengingat-Nya, tiada sesuatu pun dalam dirinya selain Allah.
27
Banyak kesalahan yang samar dalam pembahasan tentang apakah wali mengetahui kedudukannya sebagai
wali atau tidak, penetapannya sulit, pengalamannya membahayakan, kepastiannya adalah tipuan, dan
di depan jalan menuju alam ketuhanan ada tabir-tabir yang terkadang berupa api dan terkadang berupa
cahaya. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui hakikat dari rahasia-rahasia.

Sayyid ‘Abdul Ghani al-Nabulusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah mengutip penuturan Imam
Barkawi yang menyatakan bahwa karamah wali itu benar-benar ada. Karamah adalah munculnya hal-hal
luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk menampakkannya, yang muncul di tangan seorang hamba untuk
menampakkan kemaslahatan, dipakai untuk menetapkan ittiba’nya (ketaatannya) kepada Nabi Saw.,
didukung oleh keyakinan yang benar dan amal saleh.

Adapun kejadian luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk memperlihatkannya seperti halnya mukjizat,
yang muncul di tangan orang yang secara lahiriah dinilai baik, disebut sebagai ma’unah. Ma’unah adalah
kejadian luar biasa di tangan orang-orang muslim awam untuk melepaskan diri dari berbagai cobaan dan
hal-hal yang tidak disukai, disertai keyakinan yang benar dan amal saleh, dijauhkan dari istidraj, dan
dengan mengikuti Nabi Saw. Nabi memperlihatkan kejadian luar biasa untuk mengokohkan kebohongan
para pendusta, seperti meludahnya Musailamah ke dalam sumur air tawar agar airnya terasa manis, tetapi
yang terjadi justru airnya asin dan pahit.

Al-Laqani menyatakan bahwa karamah diperuntukkan bagi para wali, baik yang masih hidup maupun
yang telah wafat. Karena kewalian seorang wali tidak terlepas meskipun ia wafat. Seperti Nabi yang
tidak lepas dari status kenabiannya. Wali adalah orang yang ‘arif, mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya,
senantiasa taat, menjauhi maksiat, dan bersungguh-sungguh menahan diri dari kenikmatan dan hawa
nafsu. Al-Sa’di mengungkapkan dalam kitab Syarh al-‘Aqaid bahwa dengan mengekang hawa nafsu,
keinginan untuk bersenang-senang dan mengumbar hawa nafsu akan hilang, hanya saja seorang wali tidak
diboleh mencegah diri dari melakukan hal-hal yang dimudahkan dan dihalalkan baginya.
28

Karamah para wali adalah kebenaran yang ditegaskan dalam nash Al-Qur’an, di antaranya dalam kisah
Maryam, Setiap Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui Maryam, ia mendapati makanan di sisi Maryam.
Zakaria bertanya, “Hai Maryam, dari mana engkau memperoleh semua makanan ini?” Maryam menjawab,
“Makanan itu dari Allah” (QS Ali ‘Imran *3+: 37). Maryam berada dalam asuhan Zakaria a.s., dan tak
seorang pun pernah masuk ke dalam mihrab Maryam, selain Zakaria. Bila Zakaria keluar dari sana,
tertutuplah tujuh pintu mihrab tersebut. Setiap Zakaria masuk ke mihrab Maryam, ia menemukan buah-
buahan musim dingin pada musim panas, dan menemukan buah-buahan musim panas ketika cuaca
dingin. Zakaria merasa heran dan menanyai Maryam. Maryam menjawab bahwa semua itu adalah rezeki
dari Allah, Dialah Pemberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari jalan yang tidak disangka-
sangka.

Kisah lain dalam Al-Qur’an yang menegaskan adanya karamah adalah kisah tentang ashabul kahfi yang
tinggal dalam gua selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum dan kisah tentang Asif bin Barkhiya
yang mampu menghadirkan singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya.
Karamah para sahabat, tabi’in (generasi setelah sahabat), dan orang-orang saleh sesudahnya diriwayatkan
secara mutawatir dalam hal makna atau inti ceritanya walaupun perinciannya disampaikan secara ahad.

Dalam kitabnya, Syarh Maqasid al-Maqasid, Al-Dulji berkata, “Orang-orang yang mengingkari karamah
bukan termasuk ahli bid’ah. Anehnya, meskipun mereka belum pernah meyaksikan langsung karamah para
wali dan belum pernah mendengarnya secara langsung dari para pemimpin mereka padahal mereka
bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki wali-wali
Allah sebagai pemilik karamah dan menyakiti hati mereka, karena mereka tidak mengerti bahwa
karamah didasarkan pada akidah yang jernih, jiwa yang bersih, jalan dan hakikat pilihan. Bahkan sangat
mengherankan pendapat sebagian ahli fikih pengikut Sunnah yang diriwayatkan Ibrahim bin Adham r.a. di
Basrah dan Mekah pada hari tarwiyyah (lempar jumrah), yang menyatakan bahwa orang yang meyakini
hal-hal tersebut adalah kafir.

Pendapat yang moderat diungkapkan oleh Al-Nasafi ketika ia ditanya tentang suatu berita yang
menyatakan bahwa Ka’bah selalu dikunjungi oleh salah seorang wali, betulkah kabar itu? Ia menjawab,
‘Itu melanggar kebiasaan para wali yang menempuh jalan karamah, tetapi mungkin saja bagi orang yang
mengikuti Sunnah Nabi Saw. yang biasa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat.’ Hal-hal tersebut
dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut Hanafi dan Syafi’i ke dalam pembahasan masalah-masalah
syariat.”
29

Ibnu Hajar al-Haitami al-Syafi’i menjelaskan dalam kitab Al-Fatawa bahwa jika seorang musafir tiba di
suatu negeri saat matahari telah terbenam, lalu ia melaksanakan shalat Maghrib di sana, kemudian ia
sampai di tempat pemberhentian lain yang di sana matahari belum terbenam, padahal ia telah
melakukan shalat magrib di negeri pertama, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya.

Munculnya makanan, minuman, dan pakaian secara gaib ketika dibutuhkan seperti yang terjadi pada
para wali, kemampuan terbang di udara seperti dikutip dari Ja’far bin Abi Thalib dan Luqman al-Sarkhasi,
kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan benda mati dan binatang seperti binatang ternak dan
burung dan lain-lain adalah sebagian dari kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali.
Semua itu adalah penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukjizat bagi Rasul-Nya,
meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculnya mukjizat tidak harus ketika Rasul masih hidup,
tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat. Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat,
seperti telah dijelaskan pada akhir penjelasan Sayyid ‘Abdul Ghani al-Nablusi dalam Syarh al-Thariqah al-
Muhammadiyyah.

Dalam kitabnya Nasyrul Mahasin al-Ghaliyyah, Imam Yafi’i mengutip pendapat tokoh-tokoh umat ahlus
sunnah wa al-jama’ah dan para syaikh tentang kemungkinan terjadinya sesuatu di luar adat yang muncul
dari karamah para wali. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Imam Haramain, Abu Bakar al-Baqillani,
Abu Bakar bin Fauraq, Hujjatul Islam Al-Ghazali, Fahruddin al-Razi, Nashiruddin al-Baidhawi, Muhammad
bin ‘Abdul Malik al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin al-Nasafi, dan Abu Qasim al-Qusyairi.
Setelah mengutip pendapat mereka, Al-Yafi’i berkata, “Mereka adalah sepuluh imam yang sebagiannya
menyusun kitab-kitab dan memiliki pembicaraan tentang agama yang bisa dijadikan pegangan dalam
bidang akidah ahlus sunnah wa al-jama’ah.

Tidak perlu menyebut lebih banyak lagi, karena menyebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka
sepakat bahwa perbedaan antara karamah dan mukjizat adalah pada tingkat kenabian semata, dan tidak
satu pun dari mereka yang mensyaratkan bahwa jenis dan keagungan karamah tergantung kepada
mukjizat.”

Imam Abu Qasim al-Qusyairi mengungkapkan dalam Al-Risalah karyanya bahwa kemunculan karamah
pada para wali mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional, lagi pula kemunculannya tidak
melenyapkan asal-usul karamah, tetapi justru menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Jika
keberadaan karamah sangat tergantung kepada Allah, maka tidak ada satu pun hal yang dapat
merintangi keberadaannya. Kemunculan karamah merupakan tanda kejujuran orang yang memilikinya.
Orang yang tidak jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah.
30

Dalilnya adalah bahwa ilmu ma’rifat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga ia bisa membedakan
antara orang yang jujur dengan orang yang batil ketika meniti jalan yang ditempuhnya adalah persoalan
yang abstrak. Hal-hal itu tidak akan terjadi kecuali pada para wali secara khusus, tidak pada orang yang
hanya berpura-pura mengaku wali. Inilah persoalan karamah yang sedang kita bicarakan. Karamah pasti
merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian untuk
menyatakan kebenaran keadaannya.

Banyak ulama membahas perbedaan antara karamah dan mukjizat, salah satunya adalah Imam Abu
Ishaq al-Asfaraini yang menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran para nabi dan dalil
kenabian yang hanya ada pada nabi, sedangkan wali memiliki karamah seperti terkabulnya doa, tetapi
mereka tidak memiliki mukjizat seperti yang dimiliki para nabi.

Imam Abu Bakar bin Faurak R.A. menyatakan bahwa mukjizat adalah tanda-tanda kebenaran. Jika
pemilik mukjizat mengaku sebagai nabi maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya. Jika
pemilik mukjizat mengaku sebagai wali, maka mukjizatnya itu menunjukkan kebenaran pengakuannya,
tetapi hal itu disebut karamah, bukan mukjizat, meskipun serupa dengan mukjizat, tetapi memiliki
perbedaan yang nyata.

Al-Qusyairi mengemukakan pendapat orang yang paling ahli dalam bidang mukjizat pada masanya yaitu
Al-Qadhi Abu Bakar al-Asy’ari r.a. yang menyatakan, “Mukjizat dikhususkan bagi para nabi, sedangkan
karamah untuk para wali. Para wali tidak memiliki mukjizat, karena di antara syarat-syarat mukjizat adalah
jika kejadian-kejadian luar biasa itu dibarengi dengan pengakuan kenabian. Kejadian luar biasa tidak
disebut mukjizat hanya karena bentuknya saja, tetapi disebut mukjizat karena adanya banyak syarat
yang dipenuhinya, jika ada satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka itu bukan mukjizat. Satu dari
beberapa syarat mukjizat adalah pengakuan kenabian, sedangkan wali tidak menyatakan
pengakuan kenabian, jadi yang muncul darinya bukanlah mukjizat.”

Al-Qusyairi menegaskan, “Pendapat inilah yang kami pegang dan ungkapkan, bahkan kami
meminjamnya. Semua syarat mukjizat atau sebagian besarnya ada dalam karamah, kecuali syarat
pengakuan kenabian saja.”

Al-Qusyairi mengungkapkan bahwa karamah adalah peristiwa yang mungkin terjadi, karena tidak ada
sesuatu yang dahulu khusus ada pada seseorang, bertentangan dengan kebiasaan dan tampak pada
masa taklif, muncul pada hamba sebagai bentuk pengkhususan dan pengutamaan, kadang sebagai hasil
31

dari ikhtiar dan doanya, namun kadang bukan karena ikhtiar. Wali tidak diperintah untuk memohon
karamah bagi dirinya.

Al-Qusyairi berkata, “Tidak setiap karamah yang dimiliki seorang wali wajib dimiliki oleh seluruh wali,
bahkan meskipun seorang wali tidak memiliki karamah secara lahiriah di dunia, hal tersebut tidak
mempengaruhi kedudukannya sebagai wali. Berbeda dengan para nabi yang harus memiliki mukjizat,
karena mereka diutus kepada manusia yang harus mengetahui kebenarannya, dan tidak ada jalan lain
kecuali dengan mukjizat. Sebaliknya kedudukan sebagai wali tidak harus diketahui oleh orang lain.”

Masih menurut Al-Qusyairi, sesungguhnya seorang wali tidak merasa senang dengan karamah yang
muncul pada dirinya tidak juga memiliki perhatian yang besar kepadanya. Ketika muncul karamah
padanya, keyakinannya semakin kuat dan mata hatinya semakin tajam untuk menegaskan bahwa karamah
adalah perbuatan Allah, yang dengannya mereka memperoleh bukti kebenaran akidah yang diyakininya.
Singkatnya kemunculan karamah pada para wali adalah wajib, begitu juga menurut kebanyakan ahli
ma’rifat.

Dan karena banyaknya riwayat mutawatir tentang eksistensi karamah, baik berupa khabar maupun
hikayat, maka keyakinan dan pengetahuan tentang adanya karamah pada para wali tidak diragukan lagi.
Barangsiapa bersikap moderat terhadap masalah karamah, didukung dengan hikayat dan khabar
mutawatir, maka ia tidak akan meragukan karamah.

Al-Qusyairi kemudian mengemukakan bahwa di antara dalil-dalil dari pendapat di atas adalah nash Al-
Qur’an tentang sahabat Nabi Sulaiman yang berkata, “Aku akan datang kepadamu dengan membawa
singgasana (Balqis) kepadamu sebelum matamu berkedip” (QS Al-Naml[27]: 40), padahal ia bukan seorang
nabi.

Juga riwayat tentang Umar bin Khattab R.A. yang tiba-tiba berkata, “Hai para kabilah di atas gunung!”
padahal ia sedang menyampaikan khutbah Jumat, suara Umar didengar oleh pasukan Islam yang berada
di gunung, sehingga mereka selamat dari tempat persembunyian musuh di gunung saat itu.

Bagaimana mungkin diperbolehkan melebihkan karamah para wali di atas mukjizat para nabi, dan
bolehkah mengutamakan para wali di atas para nabi? Menurut Al-Qusyairi, karamah para wali terkait
dengan mukjizat Nabi Muhammad Saw., karena setiap orang yang tidak jujur dan sungguh-sungguh
32

dalam Islamnya maka ia tidak akan mampu memunculkan karamah. Setiap nabi yang memunculkan
karamahnya kepada salah seorang umatnya, maka karamah itu termasuk mukjizatnya.

Jika seorang rasul tidak mempercayai umatnya, maka tidak akan muncul karamah pada umatnya.
Adapun tingkatan para wali tidak akan menyamai tingkatan para nabi berdasarkan dalil ijma’ (kesepakatan
ulama). Mengenai hal tersebut, Al-Qusyairi menjelaskan bahwa karamah terkadang berupa
terkabulnya doa, munculnya makanan ketika dibutuhkan tanpa sebab yang jelas, ditemukannya air ketika
haus, kemudahan menempuh jarak dalam waktu sekejap, terbebas dari musuh, mendengar percakapan
tanpa rupa, dan hal-hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan.

Al-Qusyairi menyatakan bahwa pada masa sekarang ini banyak kemampuan wali yang tampak, padahal
seorang wali tidak diperkenankan untuk memperlihatkan karamahnya, baik karena terpaksa atau sedikit
keterpaksaan. Di antara karamah adalah dilahirkannya seorang manusia tanpa ayah dan ibu dan
mengubah benda mati, binatang

ternak, atau hewan-hewan lain.

Al-Qusyairi mengungkapkan, “Wali adalah orang yang senantiasa menjaga ketaatan. Barangsiapa
mencintai Allah Swt, maka Dia akan menjaga dan melindunginya. Allah tidak akan membiarkannya berbuat
maksiat. Dia akan melanggengkan pertolongan-Nya kepada orang yang taat, sebagaimana dinyatakan
dalam firman-Nya,” Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh “(QS Al-A’raf *7+: 196). Para wali bukan
orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa) seperti para nabi, tetapi orang yang terjaga,
sehingga tidak terus menerus berada dalam dosa.”

Sahal bin ‘Abdullah berkata, “Siapa yang zuhud terhadap dunia selama 40 hari dengan ketulusan dan
kejujuran dari lubuk hatinya, maka muncullah karamah padanya. Bila tidak muncul karamah, berarti
zuhudnya tidak benar.” Lalu ada yang bertanya kepada Sahal, “Bagaimana cara karamah tampak
padanya?” Sahal menjawab, “Dengan memperoleh segala yang diinginkannya.” Karamah paling agung
yang dimiliki para wali adalah langgengnya ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan dan pelanggaran.
Demikianlah pendapat Al-Qusyairi tentang karamah.

Syaikhul Akbar Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a. mengemukakan dalam kitabnya Mawaqi’ al-Nujum wa
Mathali’ Ahl al-Asrar wa al-‘Ulum bahwa Nabi Isa A.S. memperoleh kedudukan yang mulia dan penglihatan
yang agung berupa kemampuan menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang buta dan orang
sakit lepra dengan izin Allah. Demikian juga Ibrahim A.S. mampu menghidupkan burung-
33

burung; mengumpulkan bagian-bagian burung yang telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian,
kemudian mencampur daging-dagingnya. Ibrahim memanggil potongan-potongan burung, dan burung-
burung tersebut segera datang kepadanya, semua terjadi dengan seizin Allah.

Bukan hal yang bertentangan dengan akal ketika Allah memuliakan seorang wali dengan memberinya
karamah dan menampakkan karamah di tangannya. Setiap karamah akan diperoleh wali atau akan
ditunjukkan melalui tangannya. Kemuliaan karamah merujuk kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan
mengikuti Rasulullah dan tetap menaati batas-batas yang ditetapkan olehnya maka karamah adalah hal
yang benar. Dalam persoalan ini, para ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat bahwa mukjizat
Nabi SAW. adalah karamah bagi wali, ada juga yang menolak pendapat ini, ada juga yang berpendapat
bahwa wali memiliki karamah yang bukan merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad Saw.

Tokoh-tokoh sufi tidak menafikan karamah karena mereka melihatnya ada pada diri mereka sendiri dan
rekan-rekan mereka, karena mereka adalah orang yang mencapai tingkatan kasyf dan dzauq. Jika kami
mengungkapkan karamah-karamah yang kami saksikan dan cerita-cerita dari orang-orang tsiqah
(tepercaya) tentang karamah, pasti orang yang mendengarnya akan mendustakannya, bahkan mungkin
mencelanya. Hal itu dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap diri orang yang
menampakkan karamah melalui tangannya, karena kepribadian dan sikap mereka yang memandang
rendah terhadapnya. Kalau saja ia menyempurnakan pandangannya terhadap orang yang mampu dan
dipilih oleh Allah untuk menunjukkan karamah, tentu kebingungan dan sikap mereka yang
mendustakannya tidak akan muncul.

Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa ia sungguh-sungguh pernah bertemu seorang sufi pada masanya yang
berkata, “Seandainya aku melihat kejadian luar biasa muncul dari tangan seseorang, niscaya aku akan
menganggap peristiwa tersebut dusta menurut logikaku, tetapi jika memang peristiwa itu benar-benar
terjadi dan menurutku itu mungkin maka sesungguhnya jika Allah menghendaki terjadinya sesuatu yang
luar biasa di tangan seseorang, pastilah akan terjadi.”Ibnu ‘Arabi mengomentari orang itu, “Lihatlah!
Alangkah tebal penghalang ini, begitu ingkar dan bodohnya ia. Semoga Allah menjaga tangan-tangan
kita dan tangannya serta cahaya mata hatinya.”

Imam Tajuddin al-Subki dalam kitab Thabaqatnya berbicara panjang lebar tentang ketetapan adanya
karamah para wali dan menyatakan kepalsuan argumentasi para penentang karamah. Setelah
menjelaskan beberapa karamah sahabat Nabi SAW., ia berkata, “Peristiwa-peristiwa luar biasa yang
muncul dari tangan para sahabat yang telah kami ceritakan akan diterima orang yang memiliki
bashirah(penglihatan mata hati). Kami akan mengemukakan dalil-dalil khusus untuk mematahkan
34

kekacauan pandangan para penentang karamah dan menangkis argumen mereka. Menurut kami, ada
beberapa macam dalil tentang penetapan karamah:

Cerita yang tersebar dan terdengar yang tidak diingkari, kecuali oleh orang bodoh dan orang yang menolak
karamah para ulama dan orang saleh, seperti keberanian ‘Ali dan kedermawanan Hatim. Mengingkari
karamah itu lebih besar tingkat kedurhakaannya, karena karamah lebih dikenal dan lebih nyata, dan hanya
orang yang hatinya tertutup yang menentang adanya karamah.

Kisah Maryam yang hamil tanpa suami, tersedianya kurma segar dari batang kurma kering untuknya,
dan adanya makanan yang bukan musimnya di sisi Maryam tanpa sebab. Sebagaimana dinyatakan
dalam firman Allah, “Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia menemukan makanan
di sisinya. Zakaria bertanya, “Hai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini?” Maryam
menjawab, “Semua ini dari Allah” “(QS Ali ‘Imran *31:37), padahal Maryam bukan seorang nabi.

Kisah ashabul kahfi (penghuni gua) yang tertidur dalam sebuah gua selama 300 tahun lebih tanpa
terkena penyakit dan tetap kuat seperti sediakala meski tanpa makan dan minum. Hal itu termasuk
menyalahi kebiasaan manusia. Mereka bukan nabi, jadi semua yang mereka alami bukanlah mukjizat,
melainkan karamah.

Kisah Asif bin Barkhiya dengan Sulaiman a.s. ketika memboyong singgasana Ratu Bilqis sebelum
Sulaiman mengedipkan matanya. Kebanyakan mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Asif
dalam kisah tersebut adalah orang yang memiliki ilmu dari Al-Kitab. Kami telah memengemukakan
kisah-kisah tentang karamah beberapa sahabat dan orang-orang sesudah mereka yang disampaikan
secara mutawatir. Kalau saja ada seseorang yang mau mencurahkan segala daya untuk meneliti kisah-
kisah tersebut, tentu akan diperoleh data yang berlimpah. Sejak dulu sampai sekarang selalu ada orang-
orang seperti itu, bahkan kami mengambil kesimpulan dari kisah-kisah yang ada pada mereka.

Pada masa mereka, orang-orang yang cendekia hanya sedikit sedangkan orang-orang yang menyimpang
sangat banyak. Mereka mempercayai karamah orang-orang yang saleh dan meriwayatkan kisah-kisah
tentang hal tersebut dari Bani Israil dan orang-orang sesudah mereka, dan para sahabat termasuk orang
yang bercerita tentang kisah-kisah seperti ini secara panjang lebar.
35

Allah menganugerahkan ilmu-ilmu para ulama dan wali, sehingga mereka mampu menyusun banyak
kitab yang tidak mungkin mampu disusun oleh orang selain mereka dalam waktu sepanjang usia
pengarangnya, mampu menjelaskan hal-hal di luar kebiasaan, menemukan hal yang menggembirakan
orang yang memiliki kecerdasan, mengambil banyak makna dari Al-Quran dan hadis yang dapat diterapkan
dalam kehidupan dunia, menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan, bersabar dalam mujahadah
(berjihad) dan riyadhah (melakukan olah spiritual), menyerukan kebenaran dan sabar terhadap berbagai
penderitaan, mengekang diri dari kenikmatan duniawi dengan kesadaran total, tekun mencintai ilmu dan
gigih untuk memperolehnya.

Jika seseorang merenungkan anugerah Allah yang diberikan kepada para ulama dan wali di atas, maka ia
akan mengetahui bahwa yang diberikan kepada mereka lebih besar daripada yang diberikan kepada
sebagian hambanya, seperti munculnya roti di tanah yang gersang dan air di padang sahara yang tandus
dan sejenisnya yang dapat dianggap sebagai karamah.

Dalam pembahasan ke-29 tentang al-Yawaqit wa al- Jawahir, Imam Al-Sya’rani r.a. berkata, “Ketahuilah,
mayoritas ulama berpendapat bahwa mukjizat seorang nabi bisa menjadi karamah bagi wali. Berbeda
dengan kaum Mu’tazilah dan Syaikh Abu Ishaq al-Isfiraini yang berpendapat bahwa mukjizat seorang
nabi tidak mungkin menjadi karamah bagi wali. Karamah bisa berupa terkabulnya doa atau munculnya
air di padang sahara yang biasanya tidak ada air, dan beberapa peristiwa luar biasa lainnya.

Pada bab ke-187 dalam kitab Al-Futuhat, Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata, “Pendapat Abu Ishaq al-
Isfaraini benar, hanya saja saya mensyaratkan satu syarat lain yang tidak disebutkan olehnya. Menurut
saya, mukjizat tidak mungkin menjadi karamah bagi wali, kecuali sang wali melakukan perbuatan luar biasa
untuk menegaskan kebenaran nabinya, bukan demi karamah itu sendiri. Hal tersebut tidaklah dilarang
seperti yang terkenal di kalangan para wali, kecuali jika ketika karamah muncul, sang nabi melarangnya
pada waktu tertentu atau selama hidupnya. Oleh karena itu, diperkenankan melakukan karamah bagi
selain rasul sesudah zamannya berakhir. Namun, bila nabi tersebut membiarkannya melakukan karamah
dan tidak memberi batasan, maka apa yang diucapkan oleh Abu Ishaq tidak bisa direalisasikan.”

Syaikh Muhammad bin ‘Ali al-Mahalli dalam Syarh Taiyati al-Imam al-Subki menyenandungkan syair
mengomentari perkataan penulis; “Setiap waktu kalau kamu memperhatikan orang yang akalnya
mencapai puncak menyaksikan munculnya mukjizat yang baru.”
36

Syihabuddin al-Suhrawardi mengatakan, “Para wali terkadang memiliki berbagai macam karamah,
seperti mendengar suara tanpa rupa di awang-awang, panggilan batin, melipat bumi, dan mengetahui
sebagian peristiwa sebelum terjadinya karena berkah mengikuti Rasulullah SAW. Karamah wali adalah
penyempurnaan mukjizat para nabi.” Artinya, setiap wali yang memiliki karamah sesudah nabinya, maka
karamah tersebut merupakan kesempurnaan bagi mukjizat nabinya. Jadi, karamah milik orang-orang
yang saleh dalam umat ini adalah penyempurnaan bagi mukjizat Nabi Muhammad SAW.

Adanya para wali di bumi ini termasuk dalam mukjizat nabi yang terus menerus, karena dengan adanya
mereka kebutuhan para hamba terpenuhi, dengan berkah mereka bencana yang akan menimpa suatu
negeri tertolak, dengan doa mereka turunlah rahmat, dan dengan adanya mereka hilanglah siksa.
Hikmah banyaknya karamah para wali di kalangan umat Muhammad adalah menunjukkan
kepemimpinan Nabi Saw. atas keseluruhan nabi, dengan melimpahnya mukjizat pada masa hidup dan
sesudah wafatnya.

Dan karena Nabi Saw. adalah penutup para nabi dan kekasih Tuhan Penguasa alam serta karena
kelanggengan agama yang diembannya hingga akhir masa, maka kebutuhan akan sebab-sebab yang
membenar-kan Nabi juga terus berlangsung. Di antara sebab-sebabnya yang paling kuat adalah adanya
karamah-karamah di kalangan umatnya, yang pada hakikatnya serupa dengan mukjizat Nabi Saw., yang
memperkuat eksistensi Al-Qur’an sebagai induk mukjizat, kumpulan ayat-ayat penjelasan, firman Allah
yang qadim, peringatan-Nya yang bijak, yang tidak didatangkan oleh-Nya kebatilan dari hadapan dan
belakangnya, yang diturunkan oleh Sang Maha Bijak lagi Maha terpuji, dan penguat hadis Nabi Saw.
tentang tanda-tanda terjadinya kiamat dan lain-lain secara berangsur-angsur.

Dengan adanya karamah, seolah-olah Nabi SAW. berada di tengah-tengah umatnya, menyaksikan
mukjizatnya sesudah beliau wafat sebagaimana umatnya menyaksikan mukjizat Nabi ketika beliau masih
hidup. Allah berfirman, “Supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya” (QS Al-Muddatsir [74]:
31). Allah akan memberi petunjuk menuju agama-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya,
termasuk kepada orang-orang yang sebelumnya tidak beriman.

Banyaknya karamah diketahui dari banyaknya wali dari kalangan umat Nabi SAW. yang muncul di setiap
masa, seperti yang dijelaskan oleh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dan yang lainnya berdasarkan hadis yang
menjelaskan tentang hal itu juga berdasarkan pengetahuan sahih yang menyatakan bahwa para nabi
berjumlah 124.000. Tidak diragukan lagi bahwa dari tangan mereka muncul sangat banyak karamah, dan
seluruh karamah itu merupakan mukjizat bagi Nabi SAW. Jadi, mukjizat Nabi SAW. itu berlipat ganda, tidak
berbilang, dan tidak berbatas.
37

Hikmah banyaknya karamah dan keberlangsungannya sebagaimana yang telah kami kemukakan adalah
penyebab munculnya karamah di tangan para sahabat lebih sedikit ketimbang di tangan para wali,
karena tetapnya kebenaran agama disebabkan oleh bertambahnya iman orang-orang mukmin dan
hidayah untuk orang-orang yang belum beriman. Pada masa sahabat, muncul begitu banyak mukjizat Nabi
Saw. yang bisa disaksikan setiap saat dalam beraneka ragam jenisnya. Meskipun karamah para sahabat
juga dianggap sebagai mukjizat Nabi SAW., seperti halnya seluruh karamah para wali, hanya saja
kebutuhan ter hadap karamah para sahabat lebih kecil dibanding kebutuhan terhadap karamah para
wali.

Al-Taj al-Subki juga menjelaskan dalam kitab Al-Tabaqat, bahwa meskipun jumlah sahabat banyak,
karamah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan karamah para wali lainnya. Menurut Imam Ahmad bin
Hanbal R.A. hal itu dikarenakan para sahabat memiliki iman yang kuat sehingga tidak membutuhkan
tambahan untuk memperkuat iman, sedangkan orang-orang selain mereka imannya lemah, sehingga
memerlukan penguat iman dengan menampakkan karamah.

Syaikh Suhrawardi r.a. berpendapat senada dengan mengemukakan dua sebab karamah para sahabat
lebih sedikit daripada akramah para wali. Pertama, munculnya peristiwa-peristiwa luar biasa pada para
wali akan menghilangkan lemahnya keyakinan mereka, sebagai rahmat Allah untuk hamba-hamba-Nya
dan sebagai pahala yang disegerakan, sedangkan para sahabat yang kedudukannya di atas para wali
tidak mempunyai hijab (tabir) yang menutupi hati mereka, sehingga mereka tidak memerlukan munculnya
kejadian-kejadian luar biasa. Kedua, barangkali para sahabat tidak memerlukan munculnya kejadian-
kejadian luar biasa karena merasa cukup dengan jumlah mereka yang banyak, merasa puas dengan
memandang Nabi Muhammad SAW., dan senantiasa menempuh jalan istiqamah yang merupakan
karamah terbesar.

Meskipun dunia dibukakan di tangan mereka, mereka tidak meliriknya, tidak mendekatinya, dan tidak
memintanya, sehingga Allah meridhai mereka. Kenikmatan duniawi yang ada di tangan mereka berlipat-
lipat banyaknya daripada yang ada di tangan kita, tetapi penolakan mereka terhadapnya begitu besar
dan ini merupakan karamah terbesar bagi mereka. Mereka hanya ingin meninggikan agama Allah dan
berada di dekat-Nya Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.

Imam Qusyairi mengemukakan bahwa tidak tampaknya karamah seorang wali di dunia tidak
mempengaruhi eksistensinya sebagai wali. Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari menjelaskan dalam
syaraknya bahwa terkadang wali yang tidak ditampakkan karamahnya oleh Allah lebih utama daripada wali
yang ditampakkan karamahnya. Sebab keutamaan terletak pada bertambahnya keyakinan bukan
38

pada tampaknya karamah. Begitu juga Imam Yafi’i berpendapat senada bahwa wali yang memiliki
karamah tidak mesti lebih utama daripada wali yang tidak memiliki karamah, bahkan terkadang wali
yang tidak memiliki karamah lebih utama daripada yang memiliki karamah.

ayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menjelaskan dalam Mawaqi’ al-Nujum, setelah menceritakan sejumlah
karamah seperti kemampuan berjalan di atas air, berjalan di udara, dan lain-lain, “Semua wali yang
sudah saya jelaskan adalah orang-orang yang memiliki maqam-maqam pemimpin kebajikan, orang-
orang takwa nan terpilih, rijalullah dan para walinya, pusat masa dan wali-wali badai al-abda.

Adapun permata merah, obat mukjizat yang mujarab, perbuatan yang bersih dari kekurangan, penguasa
seluruh sifat, yang bebas dari segala malapetaka merupakan pengantin yang penglihatannya
tersembunyi dalam tirai perlindungan, dalam kegaiban, dan naungan kebajikan makhluk, tidak mengenal
dan dikenal, tersingkap dan tersembunyi, yang ditemukan dalam pertokoan dalam keadaan berbaring di
tempat yang didiami anjing, atau badut yang dilempar dengan batu, tidak dipedulikan dan tidak dipandang
orang, dan tertutup dari yang lain.

Saya tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wali-wali yang terpilih dalam kondisi seperti
permata yang ada pada masanya dan dalam wujud seperti mukjizat adalah wali-wali yang tidak memiliki
karamah sama sekali. Memang, karamah adalah waktu baginya, bukan terhadap persoalannya. Adapun
kelanjutannya tiada jalan, hanya berupa rahasia yang samar.”

Al-Qusyairi r.a. menjelaskan bahwa para wali golongan ini meskipun memiliki kemampuan yang sangat
besar, hanya sedikit yang memperlihatkan karamah. Mereka tersembunyi dari manusia, kedudukan
mereka tak dikenal dan tertutup. Dari sini diketahui bahwa seorang wali yang memiliki karamah lebih
banyak daripada wali lainnya belum tentu memiliki keutamaan yang lebih. Begitu juga sebagian wali
yang tidak memperlihatkan karamah belum tentu tidak lebih utama daripada wali yang memperlihatkan
karamah.

Mereka adalah pemilik keutamaan yang selalu memelihara derajat kewalian, jika tidak mengapa Allah Swt.
memuliakan mereka dengan karamah dan menganugerahi mereka kemampuan melakukan hal-hal luar
biasa. Para da’i palsu terkadang memanipulasi masyarakat dengan memakai jubah sufi dan mengaku
sebagai ahli petunjuk, padahal pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang bodoh, suka berbuat
kerusakan, dan melanggar batas jalan petunjuk.
39

Mereka khawatir jika mereka tidak memperlihatkan karamah, maka orang-orang tidak mempercayai
derajat kewalian mereka. Mereka merasa lebih agung daripada para pemilik karamah sejati dan
meremehkan kejadian-kejadian luar biasa yang muncul melalui tangan wali-wali Allah. Semua itu dilakukan
untuk menipu masyarakat dan membuat mereka kagum. Sesungguhnya mereka termasuk orang yang
paling buruk dan maksiat, dan orang-orang awam yang bodoh yang menampakkan beragam kefasikan
secara terang-terangan jauh lebih baik daripada mereka.

Penulis akan mengutip ucapan Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi yang memuat penjelasan hakiki
berdasarkan kebenaran. Dalam bab 185 tentang mengetahui maqam wali yang tidak memperlihatkan
karamah, ia menyatakan:

“Tidak memperlihatkan karamah bukanlah petunjuk ketidakwalian seseorang

Dengarkanlah ucapanku yang merupakan jawaban paling benar

Karamah itu terkadang tampak wujudnya

Sebagai keberuntungan bagi orang yang dimuliakan tetapi kemudian jeleklah jalannya

Peliharalah ilmu yang kau kuasai jangan kau ambil pengganti selain Tuhan

Menyembunyikan karamah wajib bagi para wali

Dan karenanya engkau tak akan diabaikan

Menampakkan karamah wajib bagi para rasul

Dengannya, wahyunya benar-benar turun“

Sebagaimana wajib bagi para Rasul untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan karamah mereka
demi dakwahnya, demikian juga wajib bagi wali yang mengikuti jejak Nabi untuk menyembunyikan
karamahnya. Inilah madzhab jamaah, karena wali tidak diwajibkan untuk menyatakan kewaliannya. Tidak
semestinya seorang wali mengaku memiliki karamah, karena hal tersebut tidak disyariatkan.
Parameter syariat telah ditetapkan di dunia ini dan ditegakkan oleh para ahli fatwa penyeru agama
Allah. Mereka adalah pemuka-pemuka agama ahli tajrih (mencela) dan ta’dil (menganggap adil).
40

Apabila seorang wali keluar dari aturan syariat yang telah ditetapkan, padahal ia memiliki akal taklif,
maka akibat perbuatan tersebut ditanggung dirinya sendiri. Hal tersebut juga berlaku pada hal-hal yang
disyariatkan. Jika seorang wali melakukan perbuatan yang mengharuskan adanya had (hukuman) menurut
zahir syara’, maka hakim wajib menetapkan hukuman atasnya.

Meskipun para wali mungkin termasuk hamba-hamba yang diampuni dosa-dosanya atau diperbolehkan
melakukan perbuatan yang diharamkan syara tanpa mendapatkan siksa, mereka tetap tidak terlepas
dari hukuman di dunia jika menyalahi syara’. Akan tetapi di akhirat, Allah berkata kepada para pahlawan
perang Badar tentang dimaafkannya perbuatan-perbuatan mereka.

Hal ini juga dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi, “Lakukan apa yang kau inginkan, karena Aku telah
mengampunimu.” Allah tidak berkata kepada mereka, “Aku telah menggugurkan hukuman-hukuman
syara’ yang ditetapkan atasmu di dunia.” Di dunia, wali tetap terkena hukum syara’. Seorang wali yang
dikenai hudud akan diberi pahala dan sebenarnya ia tidak berdosa, seperti Al-Hallaj dan orang-orang
yang senasib dengannya.

Sikap wali yang tidak menampakkan karamah adakalanya bersumber dari Allah, artinya Allah tidak
membekali wali tersebut sesuatu pun meskipun ia termasuk hambanya yang terpilih, atau terkadang
wali tersebut dianugerahi kekuatan, namun ia membiarkannya tetap menjadi milik Allah, sehingga ia
tidak menampakkannya sama sekali. Kita melihat beberapa wali yang menjalani perilaku ini,
sebagaimana yang dikatakan Sayyid Abu Su’ud bin al-Syibli al-Baghdadi r.a., seorang rasionalis pada
masanya.

Ada seseorang bertanya kepadanya, “Apakah Allah menganugerahi Anda karamah?” Ia menjawab, “Ya,
sejak umur 25 tahun Allah telah memberi saya karamah dan saya meninggalkannya dengan baik, Allah
ridha jika kita melaksanakan perintah-Nya untuk menjadikan-Nya sebagai wakil.” Si penanya bertanya lagi,
“Kemudian perintah apa lagi?” Al-Syibli menjawab, “Shalat lima waktu dan menanti kematian. Manusia itu
laksana pengusir burung, mulutnya sibuk sementara kakinya terus melangkah.” Si penanya berkata,
“Betapa mengagumkan apa yang dikatakannya, kecuali perkataannya berikut ini:

“Kakinya memijak kuat dalam genangan kematian. Ia berkata padanya tanpa menepiskannya“

Demikianlah sikap seorang wali, kalau tidak demikian ia bukanlah seorang wali. Sayyid Muhyiddin
berkata, “Berkaitan dengan penjelasan di atas, suatu ketika Allah berkata kepadaku secara rahasia,
41

‘Barangsiapa menjadikan-Ku wakilnya, maka ia telah melindungi-Ku. Barangsiapa melindungi-Ku, maka


ia telah meminta-Ku untuk menegakkan perhitungan yang telah ia jaga untuk-Ku.’

Perintahnya berbalik dan urutannya berganti. Inilah anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang
diridhai dan dipilih-Nya. Di atas anugerah tersebut, ada anugerah yang senantiasa dicari seorang hamba.
Seorang hamba yang teguh selalu sadar dengan kemampuannya. Allah hanya akan menjadikan orang yang
memiliki akal dan anggota badan yang benar sebagai wakil-Nya. Jadi, tidak mungkin kebenaran bisa
diganti:

“Kebenaran tetap kebenaran, makhluk tetap makhluk,hamba tetap hamba, dan Tuhan tetap Tuhan”

Apabila muncul peristiwa luar biasa seperti ini, menurut penulis, itu bukanlah karamah, karena karamah
merujuk kepada orang yang menampakkannya. Mungkin ada yang sepakat dengan maqam ini seperti
yang telah penulis sepakati dalam sidang yang kami hadiri pada 586 H. Seorang filosof menyampaikan
kepada kami bahwa ia mengingkari kenabian berdasarkan batas yang ditetapkan oleh orang-orang Islam.

Ia mengingkari kejadian-kejadian luar biasa yang ditunjukkan oleh nabi, dan bahkan kebenaran itu tidak
akan berubah. Pada waktu itu musim dingin dan hujan, Di hadapan kami ada tungku besar yang apinya
menyala, kemudian si penyangkal dan pendusta itu berkata, “Orang awam mengatakan bahwa Ibrahim
dilemparkan ke dalam api dan tidak terbakar di dalamnya, padahal api bersifat membakar benda yang bisa
terbakar. Api yang disebutkan dalam Al-Qur’an dalam kisah Ibrahim merupakan kiasan tentang kemarahan
dan dendam Namrud kepada Ibrahim.

Api yang dimaksud adalah api kemarahan. Ibrahim dilempar ke dalam api, karena amarah itu ditujukan
kepadanya, dan api kemarahan itu tidak membakar Ibrahim, dengan kata lain kemarahan Namrud tidak
mempengaruhi Ibrahim, karena baginya telah jelas hujah yang diperolehnya, yakni dalil berupa
terbenamnya cahaya. Kalau saja cahaya itu adalah Tuhan pasti tidak akan terbenam.

Dan Ibrahim menjadikan ini sebagai dalil.”

Setelah penyangkal itu menyelesaikan ucapannya, salah seorang hadirin berkata, “Yang jelas, Sayyid
Muhyiddin Ibnu ‘Arabi mampu menampakkan karamah seperti ini (tidak terbakar api), karena dia memiliki
maqam dan kedudukan. Kalau boleh aku memberitahumu, aku meyakini firman Allah yang menyatakan
bahwa api itu tidak membakar Ibrahim secara makna lahir, sebagaimana dinyatakan dalam
42

firman-Nya, Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim (QS Al-Anbiya’ *21+: 69).
Aku tegaskan bahwa Ibrahim berada dalam maqam. Dan itu adalah mukjizatnya.”

Sang penyangkal berkata, “Itu tidak mungkin terjadi.” Lalu Syaikh Muhyiddin berkata kepadanya,
“Bukankah api ini membakar?” Jawabnya, “Ya.” Syaikh Muhyiddin berkata lagi, “Lihatlah sendiri.”

Kemudian ia melemparkan api dari tungku ke pangkuan sang penyangkal itu. Api itu masih melekat di atas
pakaiannya, ia membolak-balik api itu dengan tangannya, tetapi tidak membakarnya, sehingga si
panyangkal merasa heran. Lalu dikembalikannya api itu ke dalam tungku, kemudian Syaikh Muhyiddin
berkata kepadanya, “Dekatkan tanganmu ke dalam api itu!” Si penyangkal mendekatkan tangannya ke
dalam api hingga tangannya masuk. Syaikh berkata padanya, “Demikianlah adanya, api diperintah untuk
membakar sesuatu atau untuk tidak membakarnya. Allah Maha Berkuasa melakukan apa yang
dikehendaki-Nya.” Akhirnya si penyangkal itu masuk Islam dan mengakui mukjizat Nabi Ibrahim A.S.

Contoh orang yang tidak mengakui karamah muncul pada masa setelah Rasulullah SAW

Bukti-bukti kekuasaan Allah atas kebenaran Rasulullah SAW berfungsi untuk menunjukkan kebenaran
syariat dan agama Islam, bukan semata-mata untuk menunjukkan Muhammad SAW sebagai wali Allah
dengan hal-hal luar biasa yang dimilikinya. Inilah makna dari meninggalkan karamah bagi kelompok Al-
Mulamatiyyah khususnya. Adapun menurut ulama-ulama besar, para sufi menampakkan karamah
sebagai bagian dari gerakan jiwa, kecuali menurut batas yang telah kami sebutkan. Demikianlah
pendapat Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a., seorang yang selalu berkata benar dan jujur.

Tidak diragukan lagi bahwa mukjizat Nabi SAW. dan bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran dan
kesahihan agama serta kenabiannya, sebagian muncul karena permintaan orang-orang musyrik seperti
terbelahnya rembulan, sebagian lagi muncul karena permintaan kaum muslimin seperti melimpahnya air
dan makanan, dan sebagian lagi muncul bukan karena permintaan seseorang seperti berita-berita
tentang kejadian-kejaidan gaib.

Karena karamah para wali merupakan bagian dari mukjizat Nabi Saw., berarti mereka menampakkan
karamah sebagai ganti dari Nabi SAW. Sebagimana yang dikatakan Sayyid Muhyiddin, “Para wali harus
mengeluarkan berbagai macam karamah dengan cara sebagaimana mukjizat Nabi dimunculkan yakni
sebagian karena permintaan orang-orang kafir, sebagian karena permohonan kaum muslimin, dan
sebagian lagi tanpa diminta. Semua itu memiliki manfaat besar bagi yang menyaksikannya, baik bagi
mereka yang melihat rahasia tersebut atau tidak.
43

Tidak sedikit karamah yang menjadi sebab semakin kuatnya iman orang-orang yang menyaksikannya.
Inilah manfaat besar yang dikehendaki menurut syara’. Karamah wajib disembunyikan ketika tidak ada
hikmah dan faedah menampakkannya. Kita harus berprasangka baik bahwa para wali yang
memperlihatkan karamah tidak bermaksud memamerkan kewaliannya, tetapi mereka pasti punya
tujuan lain yang sesuai dengan syara’, meskipun pengaruhnya tidak terlihat oleh kita seperti untuk
memperkuat iman para hadirin yang menyaksikan- nya atau menampakkan kemulian dan kebenaran
agama yang lurus ini.”

Janganlah berburuk sangka kepada salah seorang wali bahwa ia menampilkan karamah untuk menetapkan
kewalian dirinya dan menambah pengaruh dirinya atas orang lain. Para wali pasti tidak akan melakukan
hal tersebut dan pasti menyadari bahwa mereka seharusnya menyembunyikan karamah. Bagaimana
mungkin mereka memperlihatkannya, sehingga diharamkan keberkahannya. Tetapi yakinlah bahwa
mereka tidak menampakkannya kecuali berdasarkan hukum yang benar dan niat yang lurus yakni untuk
mencari ridha Allah dan mengabdi kepada agama-Nya yang lurus. Ketika itulah, para wali menempati
maqam pemilik mukjizat, yaitu pemimpin para rasul, Muhammad SAW.

Kebanyakan karamah yang dianugerahkan Allah kepada mereka muncul karena dipaksakan dan tanpa
ikhtiar. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada kita dengan berkah mereka, dan semoga Allah
tidak memberi kita kemampuan untuk menentang mereka, karena mereka adalah wali Allah. Allah Swt.
berfirman dalam hadis qudsi, “Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka Aku izinkan memeranginya.”
Maksudnya, Allah memberitahukan akan memerangi orang yang menyakiti wali-Nya dan menjadi
musuhnya. Para ulama menyatakan bahwa peringatan keras ini hanya diberikan kepada mereka yang
menyakiti para wali dan memakan riba. Kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan yang
sempurna dalam agama, dunia, dan akhirat.

Imam Yafi’i menjelaskan dalam Raudh al-Rayyahin, “Manusia yang mengingkari karamah ada berbagai
macam; ada yang mengingkari karamah para wali secara mutlak, ada yang mendustakan karamah para
wali pada masanya tetapi mempercayai karamah para wali yang bukan masanya, seperti Ma’ruf, Sahi,
Al-Junaid, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang oleh Abu Hasan al-Syadhily r.a., dikatakan,
‘Demi Allah, tidak ada yang bertindak demikian selain kaum Bani Israil. Mereka percaya kepada Musa
tetapi mendustakan Muhammad SAW. karena mereka semasa dengan Musa. Ada sebagian orang yang
mempercayai bahwa wali-wali Allah memiliki karamah, tetapi tidak meyakini karamah satu orang wali
pun yang hidup pada masanya.
44

Mereka ini terhalang mendapatkan berkah karamah, karena barang-siapa tidak mengakui karamah
seorang wali, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari karamah wali lainnya. Hanya kepada
Allahlah kita mohon pertolongan dan husnul khatimah (akhir yang baik).” Imam Yafi’i mengatakan
bahwa ketika beberapa ulama besar ditanya tentang karamah wali, mereka menjawab, “Barangsiapa
menyangkal karamah padahal ia tidak mengerti sedikit pun tentang karamah dan tidak mampu
memikirkannya, maka hendaklah ia kembali pada pemikiran bahwa sesungguhnya Allah Maha berkuasa
melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan Maha menetapkan apa yang Dia inginkan.” Menurut Imam
Yafi’i, sikap para penyangkal karamah ini sangat aneh, padahal karamah-karamah itu telah dijelaskan
dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia, hadis-hadis sahih, atsar-atsar terkenal, hikayat-hikayat yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang melihat dan menyaksikan langsung, ulama salaf dan khalaf, dan
begitu banyak jumlahnya yang tersebar di seluruh negeri, sampai tak terhitung banyaknya.

Mayoritas penyangkal karamah, kalau mereka melihat langsung para wali dan orang-orang saleh
terbang di udara, mereka akan menganggap itu sihir atau menuduh mereka setan. Tidak diragukan lagi
bahwa orang yang mengharamkan taufiq lalu mendustakan kebenaran karamah karena dianggap tidak
masuk akal dan dengki, berarti ia mendustakan hal-hal yang tampak di depan mata dan yang tertangkap
oleh fisik. Sebagaimana firman Allah, dan Dialah Yang Maha benar perkataan-Nya, “Dan kalau Kami
turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka
sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata, “Ini benar-benar sihir yang nyata.” “(QS Al-An’ am *6+: 7)
45

Perbedaan Karamah Dengan Peristiwa Luar Biasa Lainnya

Kami telah menjelaskan perbedaan antara mukjizat dengan kejadian luar biasa lainnya dalam
pembukaan kitab Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin. Dalam penjelasan itu, kami mengutip pendapat imam-
imam yang berkompeten dalam hal ini seperti Al-Mawardi, Al-Sya’rani, Al-Qasthalani, Ibnu Hajar, dan
lain-lain. Jadi, kami tidak perlu mencantumkannya lagi di sini, hanya perlu mengingatkan satu hal yang
belum dijelaskan dalam kitab di atas, yang bersumber dari ucapan Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a. dalam
bab 186 kitab Mawaqif al-Nujum tentang mengetahui maqam peristiwa luar biasa:

Peristiwa luar biasa terbagi menjadi beberapa macam.

Saya akan mengemukakan batasan-batasannya

Diantaranya, peristiwa luar biasa

yang muncul untuk menunjukkan kebenaran

Seperti mukjizat para Rasul Yang

lainnya ada beberapa macam Tiada

ilmu untuk bisa menjelaskannya

Semuanya termuat jelas dalam kitabullah

Cobalah kaji dalam tulisannya

Kabar gembira, sihir, tipu muslihat atau

tanda-tandanya Semua telah disebutkan dalam kitabullah

Semuanya diringkas dalam lima macam

Terkenal di kalangan orang-orang yang mampu melihatnya


46

Perlu diketahui, peristiwa luar biasa itu ada beberapa macam; di antaranya, peristiwa luar biasa yang
muncul karena kekuatan diri, yaitu apabila orang alim berbuat dosa, lalu ia melakukan hal-hal luar biasa
untuk memenuhi keinginannya itu. Demikian Allah mengabulkan kehendaknya. Terkadang berupa tipu
muslihat yang sudah diketahui, seperti al-qalfitriyat dan hal-hal yang sudah dimaklumi ulama, terkadang
berupa kemampuan mengatur huruf-huruf dengan astrologi, ini berlaku untuk ahli astronomi.

Terkadang berupa penyebutan nama-nama, lalu muncul hal-hal luar biasa menurut pandangan mata orang
yang melihatnya, yang berbeda dengan kebiasaan. Peristiwa tersebut muncul sesuai dengan kekuatan
nama yang disebutkan. Semua ini terjadi di bawah kekuasaan makhluk atas izin Allah. Dan semua peristiwa
luar biasa ini muncul melalui kekuatan ilahi, manusia tidak mempunyai andil dan kekuasaan, tetapi
Allah-lah yang menampakkannya atau muncul atas perintah Allah dan petunjuknya.

Kejadian-kejadian luar biasa mempunyai tingkatan sebagai berikut; ada yang disebut mukjizat yang
memiliki syarat dan sifat tertentu yang sudah diketahui. Ada yang disebut sebagai ayat, bukan mukjizat.
Ada yang dinamakan karamah, muayyadah, munabbihat dan baitsah, jaza’, makr, dan istidraj. Selain
mukjizat, semua kejadian luar biasa ini tampak tanda-tandanya pada diri orang-orang yang menempuh
jalan Allah meskipun mereka tidak mengetahuinya. Berbeda dengan mukjizat, karena para pemiliknya
mengetahui apa yang ada dalam diri mereka.

Apakah kejadian-kejadian luar biasa ini terjadi dengan campur tangan Allah atau tidak? Hanya mukjizat
dan ayat yang pasti terjadi karena pertolongan Allah, oleh karena itu keduanya harus diyakini dan

diceritakan. Demikian juga dengan muayyadah, selain dua hal ini masih merupakan kemungkinan seperti
yang telah kami jelaskan. Kejadian luar biasa yang muncul dari para wali tidak akan terjadi pada orang yang
mampu menampakkan kejadian luar biasa tetapi kemampuan itu digunakan untuk hal yang mubah, atau
melakukan perbuatan yang dilarang karena godaan setan, atau meninggalkan suatu kewajiban syariat.

Barangsiapa mempunyai hal luar biasa dalam dirinya, maka Allah akan memberinya kemampuan
melakukan hal-hal luar biasa di dunia ini seperti kemampuan berbicara melalui kontak batin atau
berjalan di udara, dan lain-lain. Ibnu ‘Arabi telah menjelaskan karamah, tingkatan-tingkatan, dan hasil-
hasilnya dalam kitab Mawaqi’ al-Nujum. Kitab ini hanya menceritakan karamah-karamah saja bukan
menjelaskan pengetahuan tentangnya. Mawaqi’ al-Nujum adalah sebuah kitab dengan metode yang sahih,
sangat bermanfaat, dan kecil bentuknya. Penulisnya menjelaskannya secara teratur karena keteraturan
merupakan asal adanya alam. Dan kejadian luar biasa termasuk kejadian alam.
47

Allah membuat tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam ini, baik yang biasa maupun yang luar biasa. Adapun
tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini yang bersifat biasa hanya bisa dipahami oleh ahlul fahmi (orang
yang memahami Allah secara khusus) dan selain mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang kehendak
Allah. Allah telah memenuhi Al-Qur’an dengan ayat-ayat yang menerangkan tanda-tanda kekuasaan
Allah berupa kejadian-kejadian yang biasa, seperti perbedaan malam dan siang, turunnya hujan, keluarnya
tumbuh-tumbuhan, berlayarnya kapal di laut, perbedaan bahasa dan warna, tidur di waktu malam dan
kerja di waktu siang.

Semua dijelaskan dalam Al-Qurxan sebagai tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal, mau
mendengar, bisa memahami, beriman, mengerti, meyakini, dan mau berpikir. Di samping itu, tidak ada
yang mau memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah kecuali Ahlullah, yaitu ahli Al-Qur’an secara
khusus.

Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah yang luar biasa adalah adanya kejadian-kejadian di luar kebiasaan
manusia. Kejadian-kejadian tersebut memberi pengaruh kejiwaan atas manusia, seperti goncangan,
gempa bumi dan gerhana, binatang berbicara, berjalan di atas air atau di udara, mengetahui peristiwa
yang akan datang sebatas yang diketahui, berbicara melalui batin, sedikit makanan yang
mengenyangkan banyak orang, hal ini dijadikan pelajaran oleh orang kebanyakan pada khususnya. Kalau
suatu peristiwa yang luar biasa tidak membuat orang menjadi istiqamah, sadar, dan tidak mendorong
untuk kembali kepada Allah dan tidak berpengaruh sedikit pun baginya, maka hal itu disebut makar dan
istidraj karena dia tidak tahu bahwa itu adalah tipuan setan yang kuat yang diberikan oleh Allah kepada
orang-orang yang ingkar.

Kejadian-kejadian luar biasa mengandung rahasia yang mengagumkan bagi para ahli ma’rifat, dan kalau
tidak berbahaya disiarkan kepada orang awam, kami pasti akan menjelaskannya. Kejadian luar biasa terjadi
hanya satu kali, kalau terjadi dua kali maka disebut hal yang biasa. Pada hakikatnya, kejadian luar biasa
selalu merupakan kejadian baru, kalau kemudian terulang maka tidak dinamakan kejadian luar biasa,
paling ada kejadian yang serupa dengannya.

Dalam kitab Al-Futuhat al-Makiyyah dan Mawaqi’ al-Nujum, kitab yang banyak faedahnya, kecil
bentuknya, ditulis dalam cetakan lama kira-kira 100 halaman, dan dikarang pada 595 M, Ibnu ‘Arabi
menyatakan, “Manusia tidak bisa mengetahui hakikat kejadian-kejadian luar biasa. Allah lebih berhak
disembah tetapi kejadian-kejadian luar biasa telah menutup mata buta yang hanya mengutamakan hal-
hal lahir kehidupan dunia yaitu wujud kehidupan kedua (al-mitslu al-tsani)daripada kehidupan akhirat.
48

Mereka lalai dan terpedaya kehidupan dunia. Kemungkinan itu tidak terbatas, kekuasaan adalah
jendelanya, dan kebenaran adalah pasti. Mana pengulangan itu? Tidak masuk akal kalau tidak ada
pengulangan karena pengulangan merupakan kejadian luar biasa.”

Syaikh Muhammad bin ‘Ibad al-Randa dalam syaraknya tentang hikmah yang dianugerahkan Allah,
berkata, “Setiap orang yang merasa dirinya istimewa, tidak sempurna keikhlasannya.” Keistimewaan
yang dimaksud di sini adalah kemuliaan, pertolongan, perlindungan, kasih sayang, dan penjagaan yang
dilimpahkan Allah kepada sebagian hamba-Nya. Di antara mereka ada yang terus menerus mendapatkan
karunia-karunia di atas dari Allah hingga tampaklah kearifannya, sehingga mereka mempunyai
keistimewaan dibandingkan orang lain dan alam ini. Mereka adalah orang-orang khawwash yang dekat
dengan Allah, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu ma’rifatullah dan mencintai Allah.

Di antara mereka ada yang diberi kemampuan mencapai puncak kesempurnaan dan Allah menjaga
keadaannya dengan menganugerahinya ilmu dan perbuatan yang pantas baginya. Mereka adalah orang-
orang yang dekat dengan Allah, golongan kanan, ahli zuhud, ahli mujahadah, dan ahli zikir. Meskipun
mereka sejajar dengan orang-orang yang pertama kali masuk surga karena mendapatkan kemurahan,
kemuliaan, dan kemampuan dari Allah untuk melakukan tugas, ketaatan dan ibadah hanya kepada-Nya,
mereka tidak memandang diri mereka istimewa, selalu menjaga langkah, bahkan menjaga sebab-sebab
untuk mendapatkan karunia Allah tersebut, dan percaya akan adanya hijab.

Allah memberikan keistimewaan kepada mereka dengan menampakkan karamah di tangan mereka dan
melalui perantaraan mereka, sebagai penenang jiwa dan penguat keyakinan dalam hati. Para sahabat
Rasulullah yang termasuk golongan yang pertama masuk surga tidak mendapatkan karamah karena
mereka tidak membutuhkannya dan karena kedalaman keyakinan, kekokohan dan keteguhan mereka.
Sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab Awarif al-Ma’arif bahwa orang yang tidak mampu
menyingkap makna kejadian-kejadian luar biasa terkadang lebih utama daripada yang mampu
menyingkapnya bila telah disingkapkan oleh Allah dengan ma’rifat. Kekuasaan adalah bukti adanya Zat
Yang Maha Kuasa. Dan orang yang secara khusus mendekat kepada Yang Maha Kuasa tidak memandang
aneh kejadian-kejadian luar biasa, ia melihatnya tampak nyata dari tabir alam hikmah. ‘ i <

Al-Syibli r.a. diberitahu tentang Abu Turab yang kelaparan di gurun pasir lalu ia melihat gurun pasir itu
penuh berisi makanan. Al-Syibli kemudian berkomentar, “Abu Turab adalah hamba yang ditolong oleh
Allah, kalau ia mencapai tempat kebenaran, maka dia akan seperti orang yang berkata, ‘Aku menginap di
sisi Allah, maka Dia akan memberiku makan dan minum.'”
49

Al-Syibli menjelaskan dalam kitab Lathaif al-Minan bahwa karamah dalam diri seorang wali terkadang
tampak oleh dirinya sendiri dan terkadang tampak oleh orang lain. Jika seorang wali melihat adanya
karamah dalam dirinya, berarti ia mengetahui kekuasaan dan keesaan Allah dan mengetahui bahwa
kekuasaan-Nya itu tidak mengikuti sebab akibat. Allah-lah yang telah menetapkan adanya kejadian-
kejadian yang biasa, bukan kejadian-kejadian biasa yang menetapkan adanya Allah. Allah-lah yang telah
membuat kejadian-kejadian yang biasa, perantara-perantara, dan sebab-sebabnya untuk menutupi
kekuasaan dan menyelubungi cahaya keesaan-Nya. Orang yang tidak mempercayainya adalah hina dan
orang yang terbuka hatinya serta percaya bahwa Allah pelakunya, maka dia itu mulia.

Al-Syibli selanjutnya mengutip pendapat Syaikh Abu Hasan yang mengemukakan bahwa karamah
berfaedah untuk memperkuat keyakinan kepada ilmu, kekuasaan, kehendak dan sifat-sifat azali Allah yang
menyatu dan tidak berdiri sendiri, seakan-akan satu sifat vang menyatu dalam Zat Yang Maha Esa. Tidaklah
sama antara orang yang mengenal Allah melalui mata hatinya dengan orang yang mengenal Allah melalui
akalnya. Karamah adalah penguat keyakinan bagi orang yang dianugerahi karamah seperti yang dialami
oleh para wali di awal laku spiritualnya dan tidak dialami para ulama yang telah sempurna laku spiritualnya
karena sudah mempunyai keyakinan yang mendalam, sehingga mereka tidak membutuhkan karamah
untuk memperkuat keyakinan mereka.

Demikianlah keadaan para sahabat Rasulullah. Allah tidak perlu menampakkan karamah berupa fisik
pada mereka karena Allah telah menganugerahi mereka pengetahun tentang hal-hal gaib, pengetahuan
musyahadah, laksana gunung yang tak membutuhkan tiang. Karamah dimunculkan karena adanya
keraguan terhadap karunia Allah dan untuk mengetahui karunia Allah pada orang yang mempunyainya.
Karamah adalah bukti bahwa orang yang mempunyainya istiqamah dalam beribadah kepada Allah.

Sikap manusia terhadap karamah ada tiga macam:

Pertama, golongan yang menjadikan karamah sebagai puncak kekuatan. Apabila mereka menemukan
orang yang mempunyai karamah mereka memuliakannya, dan apabila karamah lenyap dari diri seseorang,
mereka tidak memuliakannya.

Kedua, golongan yang meragukan karamah dan menganggapnya sebagai tipuan yang dilakukan oleh
para pencinta dunia untuk menjaga kedudukan mereka sehingga mereka tidak bisa mencapai
kedudukan yang bukan haknya.
50

Abu Turab al-Nakhsyabi bertanya kepada Abu Abbas al-Riqi, “Apa pendapat teman-temanmu tentang
karamah yang merupakan cara Allah memuliakan hambanya.” Abu Abbas menjawab, “Saya tidak
melihat satu pun dari mereka yang tidak mempercayainya.” Kemudian Abu Turab berkata, “Barangsiapa
tidak mempercayainya, maka dia telah kafir. Yang saya tanyakan adalah pendapat mereka tentang
ahwal (keadaan ketika orang alim dekat dengan Allah).” Abu Abbas menjawab, “Saya tidak tahu
pendapat mereka.” Abu Turab berkata lagi, “Sesungguhnya teman-teman- mu berkeyakinan bahwa
karamah adalah tipuan untuk memalingkan manusia dari kebenaran, padahal sebenarnya tidak begitu,
karena tipuan bersifat menenangkan orang yang memilikinya.

Maka barangsiapa yang tidak gembira dan tidak merasa aman dengan adanya karamah, berarti ia telah
mencapai tingkat rabbaniyyin.” Cerita ini berasal dari Abu Turab r.a. ketika ada beberapa temannya yang
kehausan, lalu ia memukulkan tangannya ke atas tanah dan tiba-tiba mengalirlah air dari tanah tersebut.
Kemudian ia berkata, “Aku ingin minum dengan gelas,” lalu ia memukulkan tangannya ke tanah tiba-tiba
ia memegang gelas dari kaca putih, ia minum dan memberi minum kami semua. Abu Abbas berkata, “Gelas
itu kami bawa sampai ke Mekah.”

Syaikh Abu Hasan berkata, “Kesimpulannya, kita tidak pantas meminta karamah dari Allah. Barangsiapa
dikaruniai karamah, berarti Allah memuliakannya karena hal itu menjadi bukti bahwa dia istiqamah
dalam beribadah kepada Allah.”

Ketiga, tampaknya karamah dalam diri seorang wali di hadapan orang lain. Maksudnya adalah supaya
orang yang menyaksikannya mengakui kebenaran jalan yang ditempuh wali yang dikaruniai karamah
tersebut. Baik orang itu dulunya mengingkari karamah kemudian mengakuinya, atau dulu ia kafir lalu
beriman, atau dia ragu akan keistimewaan seorang wali kemudian muncul karamah dalam diri wali
tersebut supaya Allah menunjukan kebaikannya kepada orang lain.

Abu Nashr al-Siraj bertanya kepada Abu Hasan bin Salim, “Apa makna karamah, sampai-sampai orang yang
memilikinya meninggalkan dunia sebagai ladang ikhtiar, bagaimana mungkin mereka mulia dengan
merubah batu menjadi emas?” Abu Hasan menjawab, “Mereka dianugerahi karamah bukan karena
mereka menguasainya, tetapi karena mereka membutuhkannya dalam keadaan terpaksa dan untuk
menghilangkan kesedihan karena kurangnya rezeki yang telah dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga
mereka mengatakan, ‘Allah berkuasa mengubah batu menjadi emas, seperti yang terlihat.
51

Dia berkuasa memberikan rezeki kepadamu dari arah yang tidak disangka-sangka.’ Para wali
memerlukan karamah untuk mendidik jiwa mereka karena tidak adanya rezeki. Karamah adalah bukti kuat
bagi mereka dan sarana untuk melatih dan mendidik jiwa.”Dalam hal ini, Abu Nashr pernah mendengar
Ibnu Salim bercerita tentang hikayat Sahi bin ‘Abdullah r.a. yang mengisahkan bahwa ada seorang laki-laki
Basrah bernama Ishaq bin Ahmad yang tergolong memiliki banyak harta, tetapi ia kemudian meninggalkan
hartanya. Ia bertobat dan bersahabat dengan Sahl.

Pada suatu hari ia berkata kepada Sahi, “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya jiwaku tidak bisa lepas
dari bisikan dan teriakan takut kehilangan makanan dan harta.” Sahl menjawab, “Ambil batu lalu
mintalah kepada Allah untuk mengubahnya menjadi makanan yang bisa kau makan.” Ishaq berkata, “Siapa
panutanku untuk melakukan hal itu?” Sahl menjawab, “Panutanmu adalah Nabi Ibrahim ketika ia berkata,
‘Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.’ Allah bertanya,
‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim menjawab, ‘Aku telah percaya, tetapi agar hatiku bertambah kuat
(Al-Baqarah *2+: 260).”

Artinya, jiwa hanya akan puas setelah melihat secara langsung karena ia diliputi keraguan, seolah-olah
Ibrahim berkata, “Ya Tuhan, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati agar
hatiku bertambah kuat. Aku sebenarnya sudah percaya kepada-Mu, tetapi jiwa tidak puas apabila tidak
melihat langsung.” Demikian juga para wali Allah dianugerahi karamah untuk mendidik dan
memperhalus jiwa serta sebagai keutamaan tambahan bagi mereka. Demikianlah pendapat Abu Nasr.

Salah seorang ulama berpendapat bahwa karamah hanya dimiliki oleh orang-orang jujur yang bodoh. Pada
suatu hari, seorang sahabat Sahl bin ‘Abdullah r.a. berkata kepadanya, “Tatkala aku berwudhu untuk
shalat, tiba-tiba air yang mengalir di tanganku berubah menjadi segenggam emas dan perak.” Sahl
kemudian berkata kepadanya, “Yang saya tahu, jika anak kecil menangis ia diberi mainan agar tenang.”

Al-Junaid menceritakan bahwa Abu Hafshah al-Naisaburi dan ‘Abdullah al-Ribati beserta jamaahnya
pernah berkunjung kepadanya. Di antara mereka ada yang kepala bagian depannya botak dan sedikit
bicara. Pada suatu hari, si kepala botak bertanya kepada Abu Hafsah, “Salah seorang jamaah yang kemarin
ke sini memiliki tanda-tanda karamah yang nyata, tetapi aku tidak melihat sesuatu pun pada dirimu.” Abu
Hafshah r.a. menjawab, “Kemarilah,” kemudian ia membawanya ke pasar pandai besi. Abu Hafshah
menuju tungku besar dan memasukan besi besar ke dalam tungku kemudian memasukan tangannya
ke tungku tersebut dan mengambil besi yang terbakar itu lalu mengeluarkannya hingga menjadi
dingin di tangannya.
52

Kemudian ia berkata kepada orang itu, “Inikah yang kau inginkan?” Beberapa orang di antara mereka
menanyakan tujuan menampakkan karamah, ia menjawab, “Hal itu menunjukkan bahwa orang yang
memilikinya adalah orang yang mulia dan ia takut kalau tidak menunjukkannya, keadaannya akan berubah.
Maka ia menunjukkannya untuk memperoleh simpati, menjaga keadaannya, dan menambah imannya.
Akan tetapi para ahli ma’rifat dan para ahli hakikat menghindar dan takut untuk menunjukan karamah
mereka.”

Salah seorang ulama salaf berkata, “Tipu daya yang paling tidak kentara bagi para wali adalah karamah
dan ma’nah” Diceritakan bahwa ketika Abu Hafs duduk dengan teman-temannya, ada seekor kijang
turun dari gunung dan ia meminta berkah kepada mereka. Abu Hafs lalu menangis, kemudian ia ditanya
kenapa menangis. Abu Hafs menjawab, “Ketika kalian duduk di sampingku tiba-tiba terbesit dalam
hatiku apabila aku mempunyai kambing, maka akan aku sembelih untuk kalian. Maka ketika kijang ini
meminta berkah kepada kita aku merasa diriku seperti Fir’aun ketika meminta kepada Allah untuk
mengizinkannya berlayar di Sungai Nil lalu Allah mengizinkannya. Lalu aku menangis dan bertanya
kepada Allah tentang apa yang diminta dan diharapkan kijang tersebut.”

Diceritakan bahwa salah seorang Abdal berkata kepada salah satu murid Syaikh Abu Madyan r.a., “Apa
yang terjadi pada kita sehingga kita sulit melakukan sesuatu, sedangkan Abu Madyan mudah sekali
melakukannya, padahal kita ingin mencapai kedudukan seperti kedudukannya sedangkan ia tidak
menginginkan kedudukan kita?” Pembicaraan tersebut terdengar oleh Syaikh Abu Madyan, lalu ia berkata,
“Katakan padanya bahwa kami akan meninggalkan tujuan kami untuk tujuannya.”

Diceritakan bahwa suatu kali Syekh Abu Madyan berjalan di gurun pasir sampai ke sebuah sumur yang
airnya meluap hingga bibir sumur, lalu ia berkata, “Aku tahu Engkau mampu melakukan ini sedangkan
aku tidak mampu melakukannya. Seandainya Engkau mendatangkan seorang badui kepadaku, niscaya ia
akan menamparku dan memberiku minum, sungguh hal itu lebih aku sukai dan aku tahu bahwa bantuan
orang badui itu bukan dari dirinya sendiri.”

Yahya bin Mu’adz al-Razi r.a. berkata, “Apabila kamu melihat orang menunjukkan tanda-tanda karamah,
berarti jalan spiritualnya adalah jalan kaum Abdal. Jika kamu melihat orang menunjukkan karamah dan
menyenandungkan pujian kepada Allah, berarti ia menempuh jalan cinta. Jalan kedua ini lebih utama
daripada jalan pertama. Dan apabila kamu melihat orang yang berzikir dan hatinya bergantung kepada
yang ia zikirkan, berarti ia menempuh jalan ahli ma’rifat ,‘arifin). Inilah jalan yang paling tinggi derajatnya.”
53

Abu Yazid r.a. berkata, “Pada permulaan olah spiritualku, Allah Swt. memperlihatkan tanda-tanda
kekuasaan-Nya dan karamah, tetapi aku tidak mempedulikannya. Kemudian tatkala Allah
memperlihatkan lagi kepadaku, tahulah aku bahwa Allah menjadikan hal tersebut sebagai jalan untuk
mengenal-Nya.” Selesailah penjelasan dalam Syarh Ibn ‘Ibad atas kitab Al-Hikam.

Macam/Contoh Karamah

Al-Tajj al-Subki menjelaskan macam-macam karamah dalam kitab Al-Tabaqah al-Kubra sebagai berikut:

1. Menghidupkan yang sudah mati

Kisah Abu ‘Ubaid al-Bisri dalam sebuah peperangan ketika memohon kepada Allah untuk menghidupkan
kembali binatang yang dikendarainya, maka hiduplah binatang yang sudah mati itu. Kisah Mifraj al-
Dimamini ketika berkata kepada ayam yang dipanggang, “Terbanglah!” Tiba-tiba ayam itu terbang.

Kisah Syaikh al-Ahdai ketika memanggil seekor kucing yang sudah mati, lalu kucing itu mendatanginya.
Hikayat Syaikh ‘Abdul Qadir ketika berbicara dengan ayam setelah ia menyantap dagingnya, “Bangunlah
dengan izin Allah, Zat Yang Menghidupkan tulang-tulang yang remuk,” tiba-tiba ayam itu bangkit
kembali. Kisah Syaikh Abu Yusuf al-Dahmani ketika mendatangi sesosok mayat, ia berkata, “Bangkitlah!
Dengan izin Allah,” lalu mayat itu berdiri dan hidup kembali dalam waktu yang cukup lama. Kisah Syaikh
Zainuddin al-Faruqi al-Syafi’i, guru besar Syam, yang diriwayatkan oleh Al-Subki bahwa di rumah Syaikh
Zainuddin, ada anak kecil yang jatuh dari atap lalu meninggal.

Syaikh Zainuddin kemudian berdoa kepada Allah, hingga akhirnya anak tersebut hidup kembali. (Riwayat
Syaikh Fathuddin Yahya, putra Syaikh Zainuddin) Al-Subki selanjutnya berkata, “Tidak ada cara untuk
menghitung cerita-cerita seperti ini karena banyaknya. Tetapi saya atau mungkin juga orang lain belum
yakin bahwa seorang wali bisa menghidupkan orang yang sudah lama mati dan telah menjadi tulang
belulang kemudian mayat itu hidup untuk waktu lama. Hal ini belum pernah kami temui dan saya tidak
percaya hal itu bisa dilakukan oleh seorang wali, tetapi tidak diragukan bahwa kejadian semacam itu
pernah dilakukan oleh nabi-nabi Hal ini bisa terjadi melalui mukjizat bukan dengan karamah.
54

Seorang nabi sebelum tertutupnya pintu kenabian bisa menghidupkan umat yang telah hancur beberapa
abad, kemudian mereka hidup kembali untuk waktu lama. Saya tidak percaya bahwa wali bisa
menghidupkan Imam Syafi’i atau Imam Abu Hanifah lalu keduanya hidup dalam waktu lama sebelum
wali tersebut wafat atau bahkan hanya untuk waktu singkat dan mereka bisa bergaul dengan orang yang
hidup sebagaimana mereka bergaul sebelum wafat.’

2. Dapat berbicara dengan orang mati

Karamah ini lebih banyak terjadi dibandingkan karamah sebelumnya. Misalnya kisah tentang Abu Sa’id
al-Kharazi r.a., Syaikh ‘Abdul Qadir r.a., dan golongan wali setelah mereka yakni beberapa guru Syaikh
Imam al-Walid, ayahanda dari Imam Taqiyuddin al-Subki.

3. Membelah dan mengeringkan laut, serta berjalan di atas air Karamah ini sering terjadi. Syaikhul Islam
dan pemimpin kaum

mutaakhirin, Taqiyuddin bin Daqiqil ‘Id juga telah mengalami hal ini

4. Merubah benda-benda

Diceritakan bahwa Syaikh ‘Isa al-Hatar al-Yamani pernah didatangi utusan seseorang yang mengolok-
oloknya dengan membawa dua bejana penuh arak. Kemudian Syeikh ‘Isa menuangkan arak dari salah
satu bejana ke wadah lainnya dan Syaikh berkata kepada murid-muridnya, “Dengan menyebut nama Allah,
makanlah!” Mereka lalu memakannya dan tiba-tiba arak itu berubah menjadi mentega dan tidak terlihat
sedikit pun warna maupun aroma arak. Banyak orang menceritakan kisah semacam ini.

5. Melipat jarak bumi

Diceritakan bahwa beberapa wali berkumpul di Masjid Tharsus, mereka ingin sekali mengunjungi
Masjidil Haram. Mereka kemudian memasukkan kepala ke dalam saku masing-masing. Ketika kepala
mereka dikeluarkan, mereka sudah sampai di Masjidil Haram. Hikayat-hikayat semacam ini sampai
kepada kita dengan jalan mutawatir, tidak ada yang mengingkarinya, kecuali para pendusta.

6. Berbicara dengan benda mati dan binatang

Tidak diragukan hal ini sering terjadi Diceritakan bahwa Ibrahim bin Adham memanggil sebatang pohon
delima ketika ingin sekali me
55

makannya. Beliau memakannya, mulanya buahnya kecil, tetapi kemudian memanjang, dan yang
mulanya asam, menjadi manis. Peristiwa ini terjadi dua kali dalam setahun.

7. Menyembuhkan berbagai macam penyakit

Al-Sari menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan seorang laki-laki di sebuah gunung yang dapat
menyembuhkan cacat sebagian anggota badan, buta, dan penyakit lain. Diceritakan pula kisah Syaikh
‘Abdul Qadir ketika berkata kepada seorang bocah yang lumpuh, buta, dan sakit lepra, “Bangunlah
dengan izin Allah.” Akhirnya bocah tersebut bangun tanpa kesulitan.

8. Menundukkan binatang

Seperti hikayat Abu Sa’id bin Abu Khair al-Mihani yang menundukkan singa dan hikayat Ibrahim al-
Khawwash. Juga kemampuan menundukkan benda mati seperti hikayat Syaikhul Islam ‘Izzuddin bin
‘Abdussalam yang menundukkan angin dalam peristiwa al-Faranji, “Angin, bawalah mereka!”

9. Melipat waktu

10. Membentangkan waktu

Dua macam karamah di atas sulit dipahami, dan lebih baik kita menyerahkan pemahamannya kepada
para ulama. Hikayat-hikayat tentang keduanya cukup banyak.

11. Terkabulnya doa

Karamah macam ini sering terjadi dan kita juga sering menyaksikannya.

12. Mengendalikan lisan ketika berkata dan fasih bicaranya.

13. Memikat hati dalam majelis hingga mempengaruhi akhir keputusan yang diambil
56

14. Memberitahukan dan menyingkap hal-hal gaib. Karamah ini merupakan tingkatan yang melampaui
batas pengetahuan kita

15. Sabar atas ketiadaan makanan dan minuman dalam waktu yang cukup lama

16. Mengendalikan perubahan musim

Banyak orang menceritakan bahwa ada wali yang selalu diikuti hujan, diantaranya Syaikh ‘Abdul’Abbas
al-Syathir (dari kelompok ulama mutaakhirin) yang pernah menjual hujan dengan harga beberapa
dirham. Banyak hikayat tentang karamah semacam ini, sehingga tidak ada alasan untuk mengingkarinya.

17. Mampu memperoleh banyak makanan

18. Terjaga dari memakan makanan haram

Diceritakan bahwa Al-Harits al-Muhasibi mampu mencium aroma panas makanan yang haram sehingga
ia tidak jadi memakannya. Ada yang mengatakan tubuhnya bergerak-gerak jika menemukan makanan
haram. Syaikh Abu ‘Abbas al-Mursi juga mempunyai kemampuan serupa.

19. Melihat tempat yang jauh dari belakang h ijab

Sebagaimana diceritakan bahwa Syaikh Abu Ishaq al-Syirazi mampu melihat Ka’bah, padahal ia sedang
berada di Baghdad.

20. Ditakuti

Orang yang menyaksikannya secara langsung bisa meninggal seperti sahabat Abu Yazid al-Busthami,
atau menjadi tidak berkutik di hadapannya, atau mengaku bahwa ia menyembunyikan sesuatu darinya,
dan lain-lain.

21. Allah mencegah kejahatan yang akan menimpa seorang wali dan mengubahnya menjadi kebaikan,
seperti yang terjadi antara Imam Syafi’i dan Khalifah Harun al-Rasyid.
57

22. Menampakkan diri dalam bentuk yang berbeda-beda

Dalam istilah sufi disebut alam mitsal (dunia penyerupaan). Mereka menetapkannya sebagai dunia
pertengahan antara dunia fisik dan dunia metafisik sehingga disebut alam mitsal, yakni dunia yang lebih
lembut daripada dunia fisik dan lebih kasar daripada dunia metafisik. Ruh bisa mengambil bentuk dan
menampakkan diri dalam bentuk yang bermacam-macam di alam mitsal lalu menyerupai manusia,
berdasarkan firman Allah, Maka ia (malaikat) menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang
sempurna (QS Maryam [19]: 17). Diceritakan bahwa Qadhib al-Ban al-Musili, salah seorang Abdal,
dituduh meninggalkan shalat oleh seseorang yang belum pernah melihatnya. Ia tiba-tiba mengubah
dirinya menjadi beberapa bentuk lalu bertanya, “Dalam bentuk mana engkau melihatku tidak
melakukan shalat?”

Banyak kisah mengenai karamah semacam ini. Salah satu kisah yang disepakati oleh para ulama
Mutaakhirin adalah kisah tentang seorang sufi besar di Kairo yang berwudhu tidak secara berurutan di
madrasah Suyufiyyah. Kemudian ada orang menegurnya, “Wahai Syaikh, wudhumu tidak berurutan.”
Syaikh itu lalu menjawab, “Saya selalu berwudhu dengan urut, kamu yang salah lihat.” Ia lalu mengambil
tangan orang itu dan memperlihatkan Ka’bah kepadanya.

Orang itu kemudian melewati Mekah dan melihat Syaikh itu ada di Mekah, dan ia tinggal di sana
beberapa tahun.

23. Allah memperlihatkan isi bumi kepada mereka Sebagaimana dalam hikayat Abu Turab, ketika
kakinya menjejak

bumi, tiba-tiba air memancar. Ibn al-Subki mengatakan, “Karamah ini terjadi sebagai berikut: Allah
menciptakan air tidak pada tempatnya, sementara bumi patuh pada kaki yang menginjaknya.”
Diceritakan pula bahwa ada seseorang yang dilanda kehausan di tengah perjalanan menunaikan ibadah
haji, ia tidak menemukan seorang pun yang memiliki air. Ia hanya menemukan seorang sufi sedang
menyandarkan tongkat di suatu tempat, sementara air memancar dari bawah tongkat itu. Selanjutnya ia
memenuhi bejana miliknya dengan air itu, kemudian ia menunjukkan sumber air itu kepada jamaah haji
rombongannya, akhirnya mereka memenuhi bejana yang mereka bawa dengan air tersebut.

24. Kemudahan para ulama untuk menyusun karya dalam waktu relatif singkat. Mereka mampu menyusun
banyak kitab di tengah kesibukan dalam bidang keilmuan sampai mereka wafat, padahal untuk
menuliskan kitab-kitab itu pun waktu yang ada tidak mencukupi apalagi untuk mengarangnya. Hal ini
termasuk karamah memanjangkan waktu seperti telah kami sebutkan di muka. Para ulama sepakat
58

bahwa umur Imam Syafi’i r.a. tidak cukup untuk menyusun sepuluh kitabnya, padahal ia setiap hari
menghatamkan Al-Qur’an sambil merenungkannya.

Dan setiap bulan Ramadhan ia khatam dua kali sehari padahal ia sibuk mengajar, memberi fatwa,
berpikir dan berzikir serta terkadang tertimpa sakit karena ia terkena satu atau dua penyakit atau lebih,
dan mungkin ia terkena tiga puluh macam penyakit. Demikian juga yang terjadi pada Imam Haramain
Abu Ma’ali al-Juwani r.a., bila umur, karya-karya yang dihasilkannya, pertemuan-pertemuannya untuk
pengajaran, dan waktu zikirnya di majelis zikir yang tidak pernah terlewatkan dibandingkan, niscaya
umurnya tidak cukup untuk melakukan semua itu.

Banyak wali yang mampu menghatamkan Al-QurKan 8 kali setiap harinya. Imam Al-Rabani Syaikh
Muhyiddin al-Nawawi r.a. telah mengisi hidupnya untuk menyusun berbagai kitab, padahal usia
hidupnya tidak cukup untuk menuliskan kitab-kitab itu apalagi untuk mengarangnya, ditambah lagi
waktu untuk melakukan berbagai ibadah dan aktivitas lainnya. Demikian juga Syaikh Imam al-Walid,
ayahanda dari Syaikhul Islam Imam Taqiyuddin al-Subki r.a.

Jika waktunya untuk menyusun berbagai kitab, ditambah dengan kegiatan ibadahnya, aktivitas-aktivitas
lain yang bermanfaat, mengajarkan ilmu, menuliskan fatwa, membaca Al-Qursan, dan kesibukannya dalam
urusan hukum dihitung, niscaya umurnya tidak cukup untuk melakukan sepertiga dari aktivitas-
aktivitasnya itu. Semua itu terjadi berkat Allah yang Maha Suci yang telah memberikan berkah dan rahmat
kepada para wali.

25. Menghilangkan pengaruh racun dan hal yang membahayakan.

Diceritakan bahwa pada sua tu hari seorang syaikh ditantang oleh seorang raja untuk menunjukkan
karamahnya, “Kalau Engkau tidak bisa menunjukkan hal yang luar biasa kepadaku, maka aku akan
membunuh murid-muridmu ini?” Saat itu, di dekat syaikh ada kotoran unta, lalu syaikh berkata, “Lihatlah!”
Tiba-tiba kotoran itu berubah menjadi emas. Di sisi syaikh ada sebuah gayung tanpa air. Lalu ia mengambil
gayung itu dan melemparkannya ke udara. Sewaktu ia mengambilnya kembali, gayung itu sudah penuh
air, padahal posisi gayung itu terbalik tetapi tidak ada setetes air pun yang tumpah.

Sang raja berkomentar, “Ini sihir!” Selanjutnya raja menyalakan api besar, lalu memerintahkan murid-
murid syaikh itu memasukinya. Selesai mengelilingi api, masuklah syaikh dan beberapa muridnya ke dalam
api. Kemudian syaikh keluar lagi dari api itu dan menyambar putra kecil sang raja. Ia masuk kembali
ke dalam api dan menghilang selama satu jam sampai raja menduga anaknya ikut terbakar. Kemudian
Syaikh dan anak raja itu keluar sambil memegang apel dan delima. Sang ayah bertanya, “Dari
59

mana saja kamu?” Jawabnya, “Dari taman.” Berkomentarlah para punggawa raja, “Ini dibuat-buat, tidak
nyata.” Sang raja berkata kepada Syaikh itu, “Kalau kamu bisa selamat minum segelas racun ini, maka
aku akan mempercayaimu.” Syaikh itu meminumnya, maka terkoyak-koyaklah pakaiannya.

Hadirin lalu memberinya pakaian yang lain, maka terkoyak-koyaklah kainnya. Demikian hal tersebut
dilakukan berulang-ulang hingga hancurlah pakaian syaikh tersebut hingga kelihatan ototnya. Tetapi racun
yang mematikan itu tidak berpengaruh apa-apa. Selanjutnya Al-Subki menjelaskan, “Menurut perkiraan
saya, karamah para wali lebih dari seratus macam. Macam-macam karamah yang telah saya kemukakan
di atas merupakan bukti bagi orang yang meremehkan dan mengabaikannya.

Semua karamah di atas telah banyak diriwayatkan dan diceritakan dan telah tersebar pula khabar-
khabar dan riwayat-riwayat tentangnya. Jadi, selain kebenaran adalah kesesatan, dan kalau bukan
berupa penjelasan tentang hidayah berarti sia-sia. Orang yang setuju tidak menyerah begitu saja, tetapi
selalu meminta kepada Tuhannya untuk menghubungkannya dengan orang-orang yang saleh.

Mereka senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Kalau saya mencoba membatasi apa yang terjadi pada
para wali, berarti saya telah mempersempit jiwa kita dan menghabiskan banyak kertas.’ Imam’ Abdur Rauf
al-Munawi menuturkan dalam pendahuluan kitab Thabaqah al-Shugra tentang macam- macam
karamah dengan gaya bahasa yang berbeda. Meskipun pendapatnya tidak berbeda dengan pendapat
Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitab Mawaqi’ al-Nujum, akan tetapi Al-Munawi memberikan ringkasan,
mengemukakan pendapat-nya sendiri, dan menolak pendapat yang sudah ada.

Al-Munawi berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan Allah menampakkan karamah adalah untuk
menunjukkan keajaiban-keajaiban-Nya dan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada wali
tersebut yang akan menambah kecintaan wali kepada maqamnya dan memperkuat tujuannya.
Sebagaimana firman Allah, Agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami
(QS Al-Isra’ *17+: 1).

Maksudnya adalah, apabila seorang wali telah menaati Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan
memberikan karamah kepadanya seperti kemampuan untuk mengetahui orang yang akan datang dari
jarak jauh atau melalui hijab yang tebal, melihat Ka’bah dari tempat yang jauh, menyaksikan alam gaib,
dan hal-hal luar biasa lainnya seperti yang dialami Nabi, sebagai penghormatan bagi orang yang mengikuti
dan mencintainya. Ia juga bisa menyaksikan alam malakut seperti malaikat, alam jabarut
60

seperti jin, dan alam ruh seperti Abdal dan Autad. Para malaikat adalah makhluk yang difirmankan Allah
sebagai, Mereka bertasbih malam dan siang tiada hentinya (QS Al-Anbiya’ *21+:

20). Apa anggapanmu terhadap orang yang menjadi teman para malaikat yang tidak pernah lalai. Ia pasti
orang yang selalu berzikir dan merenungi kekurangan dirinya dengan menjalankan berbagai ketaatan
untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi dan menyaksikan {musyahadah) Yang Maha Agung dan
Mulia, dan teman yang menyelamatkan dari kejahatan.

Adapun alam ruhani bisa disaksikan oleh setiap orang yang mempunyai sifat seperti malaikat yang teguh
dan sungguh-sungguh menaati perintah Allah serta mempunyai sifat-sifat yang sempurna seperti Nabi
Khidir a.s. dan lain-lain. Tidakkah kau lihat Ibrahim al-Khawwas ketika bertemu dengan Khidir, ia
menjadikan pertemuan itu sebagai bentuk penghormatan. Lalu ia bertanya kepada Khidir, ‘Bagaimana
aku bisa melihat engkau?’ Khidir menjawab, Itu karena kebaikanmu terhadap ibumu.'”

Masih menurut Al-Munawi, pertemuan dengan makhluk-makhluk Allah yang mulia harus kita yakini
sebagai perhatian Allah kepada kita, karena Allah-lah yang telah mempertemukan kita dengan makhluk-
Nya yang taat dan khawwash, yaitu makhluk yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya. Tidak akan
sengsara orang yang menjadi teman mereka karena mereka adalah orang-orang yang telah terlepas dari
unsur-unsur tanah dan keluar dari kejelekan-kejelekan sifat manusia. Cahaya perlindungan Allah telah
mematangkan sifat-sifat ketanahan mereka yang baik, terberkati, lurus, dan bercampur dengan sifat-
sifat yang lembut, lalu mengeluarkan mereka dari asal mula mereka untuk mencapai alam yang tinggi.

Sehingga pada akhirnya kebiasaan-kebiasan mereka menjadi luar biasa. Apabila manusia memiliki sifat-
sifat malaikat, maka ia akan keluar dari kebiasaan manusia dan muncul darinya keajaiban seperti yang
dimiliki malaikat hasil dari musyahadatnya. Kebanyakan manusia seperti itu tidak bisa dilihat oleh mata
sebab terhalang oleh sesuatu, bisa dirasakan tetapi tidak bisa dilihat, mampu berjalan di atas air,
terbang di udara, tidak terlihat, dan mampu berubah bentuk seperti alam ruhani, seperti Khidir a.s. yang
bisa menjelma menjadi bentuk yang ia inginkan.

Al-Munawi menjelaskan lagi, “Ketahuilah bahwa manusia bisa berpindah dari menyaksikan alam
malakut yang ada di luar dirinya untuk melihat keadaan alam khusus tersebut. Melihat di sini artinya
terbuka mata batinnya sehingga tersingkaplah baginya rahasia hakikat dan tampaklah cahaya yang suci,
yakni tersingkapnya selubung hati sehingga maksud-maksud ilahiah dan rahasia-rahasia hakikat menjadi
jelas. Hal itu menjelma dalam cermin imajinasi penglihatan sehingga mata batin bisa melihatnya yang
61

pada akhirnya tampak kepadanya hal-hal gaib dan apa yang tersembunyi dalam hati. Apabila hijab
(penghalang) mata hati telah tersingkap dan tutupnya telah terbuka, maka orang akan mampu mengetahui
getaran-getaran hati yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, apabila seorang wali mau, niscaya ia bisa
menunjukkan kemampuannya itu dan apabila tidak dia akan menutupinya sesuai kondisi, waktu, dan
kemaslahatan.

Berdasarkan hal ini, ada sebagian wali yang mampu menyingkap hal-hal gaib, dan sebagian lain mampu
menandai sifat-sifat orang lain dalam cermin hatinya karena kesuciannya. Hal itu berlaku bagi orang
yang melepaskan keinginan-keinginan duniawi. Dan apabila ia menemukan keinginan yang tidak sesuai
dengan maqamnya, maka ia tahu bahwa itu adalah keinginan orang-orang yang ada di hadapannya.
Sebagian wali tidak mengetahui itu keinginan siapa, maka ia berbicara tentang ciri-ciri orang yang sesuai
dengan keinginan tersebut. Dan sebagian lagi mengetahui siapa yang menginginkannya, sehingga langsung
menyatakannya kepada orang yang dimaksud. Pangkal pengetahuannya adalah bahwa pada dasarnya
antar hati itu ada hubungan.

Apabila terlintas dalam hati syaikh atau murid sesuatu yang jelek maka muncullah asap yang
membentuk awan gelap dalam hati Syaikh. Apabila syaikh sedang berhadapan dengan orang yang
mempunyai keinginan jelek, maka asapnya semakin tebal, dan apabila ia memalingkan wajah darinya
maka asap itu menghilang. Apabila terlintas sesuatu yang baik maka asap itu menjadi asap yang lembut
dan berbau harum di hidungnya. Keadaan itu terjadi apabila orang yang menginginkannya ada di
hadapannya. Apabila tidak ada, maka seperti ahli ma’rifa t yang berdiam diri di sebuah masjid dan pada
saat yang sama keluarganya atau orang lain menginginkan makanan tertentu.

Tiba-tiba makanan itu ada di hadapannya, padahal ia tidak menginginkannya. Tahulah ia bahwa ia tidak
menginginkan makanan itu untuk dirinya, maka ia memberikan dan mengirimkannya kepada orang yang
menginginkannya.”

Termasuk kategori mukasyafah yang halus adalah terbersitnya suatu keinginan dalam hati seorang wali,
lalu di bajunya muncullah tanda bahwa keinginannya itu diperintahkan atau dilarang oleh Allah.
Sebagaimana yang dialami Abu Madyan r.a. ketika ingin menceraikan istrinya, Abu ‘ Abbas al-Khasyab
melihat tulisan di baju Syaikh Abu Madyan, “Pertahankan istrimu!” Dan seperti yang dialami Ibnu ‘Arabi
r.a. ketika sibuk menyusun sebuah kitab, ada yang berkata kepadanya, “Tulislah bab yang sulit dipahami
ini.”
62

Setelah itu, ia tidak tahu apa yang akan dituliskannya dan bingung sesaat. Seteleh kebingungannya
hilang, ia melihat papan bertangkai yang bercahaya di hadapannya, di atasnya terdapat tulisan hijau
bercahaya, kemudian papan itu hilang.

Beberapa mukasyafah yang dialami wali

Ada wali yang mampu menyingkap alam gaib, hingga dinding dan kegelapan tidak menghalanginya
untuk melihat apa yang dilakukan orang-orang di dalam rumah mereka.

Ada wali yang ketika berjumpa dengan seorang pezina, pemabuk, pencuri, pencela, atau orang yang
suka berbuat zalim, ia melihat goresan tanda hitam pada anggota tubuh mereka yang melakukan
maksiat ‘Ali Abi Ya’zi, guru Ibnu ‘Arabi, termasuk wali yang menempati maqam ini. Mukasyafah ini
khusus bagi orang yang bersifat wara’ (orang yang benar-benar menjauhi maksiat dan syubhat).

Ada wali yang jika ada orang yang ribut atau diam di majelisnya, ia mengetahui derajat dan apa yang
akan terjadi dengan orang itu, kenyataannya sesuai dengan apa yang dikatakan wali itu, dan ia
selamanya tidak akan salah. Diceritakan bahwa ada seorang laki-laki ribut di majelis Abu Madyan, lalu
orang itu disuruh keluar.

Abu Madyan berkata, “Kamu akan melihat keadaanya setahun kemudian.” Sebagian orang yang hadir
meminta penjelasan, lalu Abu Madyan berkata, “Ia akan menganggap dirinya Imam Mahdi.” Dua puluh
tahun kemudian, apa yang dikatakan Abu Madyan terjadi. Kemampuan ini berasal dari ilmu ladunni.
63

Ada wali yang tatkala bangun tidur, di hadapannya sudah tersedia minuman dari madu, susu, dan air,
lalu ia meminumnya.

Ada wali yang mampu mengetahui alam ruhani yang berbeda dengan alam fisik, tetapi ia tidak
menggelutinya.

Ada wali yang mampu mengetahui rahasia batu-batu mineral, dan semacamnya. Ia mengetahui khasiat,
rahasia, dan bahaya dari batu-batu itu.

Ada wali yang dianugerahi maqam bisa memahami Allah dan mendengar tanda-tanda kekuasaan-Nya,
sehingga ia bisa mendengar ucapan benda-benda mati. Apakah kemampuan itu termasuk hal yang biasa
atau luar biasa tergantung pada tingkatan pemahaman terhadap ucapan benda mati. Yang termasuk hal
luar biasa ada 2 macam.

Pertama, merujuk pada orang yang mendengarnya, yakni kemampuan memahami hakikat ucapan benda
mati. Kedua, merujuk pada ucapan benda-mati itu sendiri melalui karamah, misalnya bertasbihnya
kerikil di telapak tangan sebagian sahabat. Apabila seorang hamba memperoleh maqam ini, maka ia
akan mendengar semua benda mati bertasbih dengan bahasa yang jelas seperti bahasa manusia.

Ada wali yang dianugerahi kemampuan menyingkap dunia tumbuh-tumbuhan. Semua tumbuhan dan
rumput memberitahukan kepada wali itu sari-sari yang dikandungnya baik yang berbahaya atau yang
berkhasiat. Tumbuh-tumbuhan itu berkata, “Hai hamba Allah, khasiatku begini dan bahayaku begini.”

Ada wali yang dikaruniai kemampuan bergaul dengan binatang. Binatang-binatang mengucapkan salam
kepadanya dengan bahasa yang jelas dan memberitahunya tentang khasiat-khasiat yang dikandungnya.

Ada wali yang diberi kemampuan menyibak perjalanan hidup orang yang masih hidup, rahasia-rahasia
yang diberikan kepada orang itu sesuai dengan keadaannya, dan bagaimana perkembangan ibadahnya
dalam perjalanan hidupnya itu.
64

Ada wali yang diberi kemampuan melihat hal-hal yang tidak mungkin melalui jentera dan merubah yang
kasar menjadi lembut dan sebaliknya.

Ada wali yang diberi kemampuan meramalkan hal-hal jelek yang akan terjadi, lalu ia meminta
dihindarkan sehingga ia tidak terkena hal buruk itu.

Ada wali yang diberi kemampuan ilmu astrologi dan cara-cara yang sistematis dan menyeluruh.

Ada wali yang dianugerahi kemampuan mencapai ilmu-ilmu ilahiyah dan diberitahu cara-cara untuk
mencapainya seperti persiapan yang harus dilakukan, etika dalam mencari dan mengamalkan ilmu,
memegang dan menyebarluaskannya, serta cara menjaga hati dari hal-hal yang merusak. Semua cara itu
adalah satu kesatuan dan tersembunyi

Ada wali yang dikaruniai kemampuan mengetahui tingkatan ilmu-ilmu teoritis, ide-ide yang cemerlang,
dan bentuk-bentuk kesalahan pemahamannya, kemampuan membedakan antara prasangka dan ilmu,
berbagai hal yang terjadi di antara alam arwah dan alam fisik, sebab terjadinya, dan berjalannya rahasia
ilahi di alam ini serta sebabnya.

Ada wali yang mampu menangkap alam tashwir, alam taksin, alam benda-benda mati, bentuk-bentuk
suci dan jiwa tumbuhan yang mestinya diketahui akal dalam bentuk dan susunan yang baik, rahasia-
rahasia kelemahan, kelembutan dan rahmat orang-orang yang disifatinya.

Ada wali yang mampu menguak tingkatan kutub bumi.

Ada wali yang mampu menguak benda-benda yang memantulkan cahaya, benda-benda yang langgeng,
benda-benda yang abadi, rahasia alam, dan kemampuan untuk menjaga dan menyampaikan amanat
kepada orang yang berhak.

Ada wali yang dianugerahi pengetahuan tentang simbol-simbol, penghitungan, dan firasat
65

Ada wali yang disingkapkan baginya dunia lain, mampu menyingkap kebenaran dan pendapat-pendapat
yang benar, mazhab-mazhab yang lurus, dan syariat-syariat yang telah diturunkan.

Ada wali yang terlihat sebagai orang alim, Allah telah menghiasi mereka dengan pengetahuan-
pengetahuan suci sebagai sebaik-baik perhiasan.

Ada wali yang dianugerahi kewibawaan, ketenangan, teguh pendirian, dan kemampuan mengetahui tipu
muslihat dan rahasia-rahasia yang tersembunyi, dan sejenisnya.

Ada wali yang mampu berbicara, tetapi tidak terlihat siapa yang diajak bicara. Ia berbicara dengannya
dan mendengar pembicaraan itu, baik pembicaraannya muncul tanpa dipikir sebelumnya, atau sebagai
jawaban atas pertanyaan secara seketika, serta memberi dan menjawab salam.

Ada wali yang naik maqamnya, hingga ia mampu berbicara kepada malaikat dan bercakap-cakap
dengannya. Apabila seorang hamba mencapai maqam ini maka ia bisa memanggil dan berhubungan
dengannya. Apabila ia hanya berbicara kepadanya, maka malaikat tidak menjawabnya. Tetapi apabila
pembicaraan antara mereka benar, mereka akan saling berbicara. Dan apabila ia mengalami hal tersebut,
maka malaikat akan menolongnya.

Ada wali yang mampu mengatakan sesuatu yang belum terjadi dan memberitakan hal-hal gaib sebelum
tampak. Dalam hal ini ada tiga bentuk yang mungkin terjadi; berupa penyampaian, tulisan, dan pertemuan.
Ibnu Mukhallad mengalami tiga hal tersebut Ada wali yang disingkapkan baginya alam keraguan,
kekurangan, kelemahan, dan rahasia-rahasia perbuatan.

Ada wali yang diperlihatkan padanya alam jin dan tingkatan derajatnya, neraka beserta tingkatannya,
dan tingkatan azabnya.

Ada wali yang mampu mengetahui sifat-sifat manusia. Sebagian manusia tertutup sifatnya dan sebagian
lain terbuka. Mereka mempunyai tasbih khusus yang bisa diketahui oleh wali apabila ia mendengarnya.
Ibnu ‘Arabi berkata, “Kita telah sama-sama menyaksikan karamah seperti ini. Sebagian wali menuju
maqam yang mulia sehingga ia mampu mengatakan ‘jadilah’ maka sesuatu yang dikehendakinya itu terjadi
dengan izin Allah. Maqam ini sangat mulia dan merupakan bukti terbesar kewalian seseorang.”
66

Nabi Isa a.s. berkata, “Aku bisa menyembuhkan orang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit lepra
dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah” (QS Ali Imran *3+: 49). Masuk akal jika Allah
memuliakan wali dengan memberinya karamah. Sesungguhnya karamah yang diterima seorang wali
merupakan penghormatan kepada Nabi Saw., karena wali tersebut telah mengikuti dan menjalankan
ajaran-ajarannya, sehingga ia pantas mendapatkannya.

Ada wali yang naik menuju alam gaib, lalu ia melihat di sebelah kanan alam itu, ada sebuah pena yang
menulis kejadian-kejadian di lauh mahfud dalam bentuk huruf-huruf yang bersyakal dan bertitik. Hal
tersebut untuk membedakan beberapa bentuk dan jenis makhluk. Seperti golongan manusia, makhluk
berkaki empat, makhluk bersayap, macam-macam benda mati, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain-
lainnya. Orang yang mempunyai maqam ini selalu berusaha menemukan pemilik huruf yang tertulis dalam
susunan yang rapi tersebut. Apabila penelitiannya lama, padahal usianya pendek, maka Allah membuatnya
rendah hati dan memohon kepada Allah untuk menghapuskannya.

Ada wali yang menjaga diri dari makanan, minuman, dan baju yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan
keharamannya), apalagi dari yang haram. Hal itu ditandai dengan tanda yang ditunjukkan Allah dalam
dirinya atau dalam sesuatu yang haram dan syubhat itu. Seperti yang dialami Al-Haris al-Muhasibi,
apabila dihidangkan kepadanya makanan yang syubhat, tiba-tiba keluar keringat dari jarinya. Begitu pula
yang terjadi pada ibu dari Abu Yazid al-Bustami ketika mengandungnya, tangannya tidak pernah
menyentuh makanan syubhat, bahkan tangannya mengenggam sendiri jika menemukan makanan
syubhat. Wali lainnya merasa mual memakan makanan syubhat, sehingga memuntahkannya kembali.
Ada juga makanan syubhat di hadapan seorang wali berubah menjadi darah, ulat, berwarna hitam, atau
babi, dan lain-lain.

Ada wali yang apabila menyentuh makanan yang sedikit, maka makanan itu menjadi banyak. Misalnya,
seorang wali yang dikunjungi teman-temannya padahal ia hanya mempunyai satu makanan saja. Lalu ia
mengiris roti dan menutupinya dengan kain. Maka mereka pun memakan roti itu sampai kenyang
padahal roti itu tetap seperti semula (tidak berkurang). Karamah ini merupakan warisan Nabi
Muhammad Saw. Contoh lainnya adalah yang terjadi pada Abu’ Abdillah al-Tawadi yang membawa secarik
kain dan memegang sisinya, kemudian ia menunjukkan ujungnya kepada penjahit sambil berkata
kepadanya, “Ambillah kain ini sehingga cukup untuk orang banyak.” Kain itu lalu diambil tapi tetap tidak
habis-habis dengan izin Allah. Lalu penjahit itu berkata, “Kain ini tidak habis-habis.” Lalu Abu ‘Abdillah
melemparkan kain itu dan berkata, “Sudah, cukup!”
67

Ada wali yang mampu menjadikan satu macam makanan dalam piring menjadi bermacam-macam sesuai
dengan keinginan orang yang ada. Hal ini pernah terjadi pada salah seorang guru Abu Madyan r.a.
Dalam suatu perjalanan, ia bertemu dengan seorang laki-laki, lalu berjalan bersamanya sebentar dan ia
masuk ke rumah perempuan tua di sebuah gua. Sore harinya, ia kembali lagi ke perempuan tua itu dan
duduk di sampingnya sampai putra perempuan itu datang. Anak itu mengucapkan salam kepadanya, lalu
perempuan tua itu menghidangkan nampan berisi piring dan roti. Syaikh dan anak itu mulai makan. Si
syaikh berkata, “Saya ingin yang saya makan ini menjadi begini.” Anak itu lalu menjawab, “Wahai Syaikh,
dengan nama Allah makanlah apa yang kau inginkan.” Abu Madyan kemudian berkata, “Ketika saya
terus menerus mengangankan keinginanku, anak itu melontarkan ucapan pertamanya, dan tiba-tiba
saya mendapatkan makanan yang saya angankan. Anak itu masih muda, belum punya rambut di
pelipisnya.”

Ada wali yang bisa menjadikan makanan, minuman dan bajunya tergantung di udara. Seperti yang
terjadi pada salah seorang wali yang membutuhkan air di padang pasir. Tiba-tiba ia mendengar deringan
di atas kepalanya, lalu ia mendongakkan kepalanya, dan di situ ada gelas yang tergantung pada rantai
emas. Ia meminumnya lalu meninggalkannya.

Ada wali yang bisa merubah air yang pahit dan asin yang ditemukannya menjadi manis dan segar. Ibnu’
Arabi berkata, “Saya pernah meminum air semacam itu dari Abdullah, anak Ustaz al-Marwazi r.a., salah
seorang khawwash murid dari salah seorang guru Abu Madyan.

Ada wali yang memakan makanan dari orang lain. Zaid memakan makanan dari ‘Umar padahal ‘Umar tidak
di hadapannya. ‘Umar merasa kenyang di tempatnya dan dia merasakan bau makanan itu seakan- akan
dia yang memakannya. Hal ini pernah terjadi pada Al-Hajj Abu Muhammad al-Marwazi dan Abu’ Abbas bin
Abi Marwan di Ghirnatah. Hal itu terjadi karena ahli ma’rifat ini mempunyai keinginan yang suci dan
bersih dari dosa dalam batinnya. Allah memberikan karamah dalam dirinya sebagai penghormatan dan
untuk membaguskan maqamnya, maka dari keinginannya itu keluarlah apa yang ia sebutkan.

Ada wali yang memakan makanan spiritual yang menjadikan jiwanya kekal. Ia tidak membutuhkan
makanan jasmaniah kecuali hanya sedikit untuk mempertahankan dirinya. Kekekalan jiwa bisa tercapai
dengan makanan ruhani.
68

Ada wali yang mengetahui rahasia biji-bijian dan penyemaiannya di bumi, hujan yang menyebabkannya
tumbuh, angin yang menyebarluaskannya dan apa-apa yang membuat bumi menjadi tenang, serta
matahari yang memancarkan cahayanya sebagai makanan bagi tumbuhan. Makanan itu mengandung
kesempurnaan seperti yang diusahakan manusia. Pengetahuan tentang ini adalah ilmu yang mulia dan
bernilai tinggi yang Allah berikan kepada para wali-Nya.

Ada wali yang dikaruniai kemampuan mengetahui hakikat bumi, lapisan-lapisan, dan rahasia-rahasianya,
serta segala hukum alam yang ditetapkan oleh Allah secara terperinci.

Ada wali yang dibukakan kepadanya alam malakut, rahasia kehidupan, dan pengetahuan yang
tersembunyi di dalam air, sehingga ia bisa mengetahui kehidupan yang kasat dan tak kasat mata dan
mampu merasakan hal-hal yang berbahaya dan zat-zat yang ada di laut.

Ada wali yang mengetahui segala tingkat ilmu, kegunaannya di dunia, siapa yang memiliki dan tidak
memilikinya, dan lain-lain.

Ada wali yang bisa berjalan di udara. Hal tersebut dialami oleh banyak wali. Ada seorang laki-laki yang
melihat orang sedang berjalan di udara, lalu ia bertanya kepadanya, “Karena apa engkau mendapatkan
karamah itu?” Ia menjawab, “Kutinggalkan nafsuku untuk menuruti keinginan-Nya, maka Dia
menundukkan udara bagiku.” Lalu ia berlalu.

Ada wali yang dibukakan kepadanya pintu alam ruh di alam malakut, sehingga ia bisa mengetahui
hakikat dari rahasia dan cara malaikat naik turun, rahasia pengaturan dan penundukan mereka, kewajiban-
kewajiban dan hak-hak mereka.

Ada wali yang bisa datang ke lauh mahfuzh melalui esensi hatinya. Lalu dengan izin Allah, ia dapat
menyingkap dan menyaksikan secara langsung (musyahadah) hal-hal yang ada di sana, padahal anggota
badannya tidak bergerak, kecuali kedua matanya.

Ada wali yang terus-menerus bersimpuh di hadapan lauh mahfuzh, padahal tidak ada manfaatnya.
69

Ada wali yang terkadang menyaksikan lauh mahfuzh

Ada wali yang bisa melihat bagaimana pena menulis di atas lauh mahfuzh.

Ada wali yang melihat gerakan pena di lauh mahfuzh. Setiap maqam mempunyai tata cara yang khusus.
Tanda orang yang menyaksikan lauh mahfuzh adalah ia menyebutkan rahasiamu padahal kamu diam
saja. Seperti yang dikatakan Al-Junaid r.a. ketika ditanya, “Siapa ahli ma’rifat itu?” Ia menjawab, “Orang
yang memberitahukan rahasiamu padahal kamu diam saja.” Dan tanda orang yang menyaksikan pena lauh
mahfuzh sedang menulis adalah ia bisa mengetahui rahasia yang kamu katakan dalam hati dari manapun
asalnya dan sebab adanya.

Ada wali yang diperlihatkan oleh Allah rahasia-rahasia yang tersimpan di alam yang paling agung.

Ada wali yang diperlihatkan oleh Allah alasan dan sebab terjadi atau tidak terjadinya suatu peristiwa.
Setelah ia mengetahuinya, ia memikirkan apakah peristiwa itu mempunyai pengaruh atau tidak? Apabila
ada pengaruhnya, maka ia bersiap-siap untuk menerimanya. Apabila pengaruhnya merusak, maka ia
memperingatkan teman-temannya. Apabila pengaruhnya berupa rahmat atau kabar gembira, maka ia
bersiap-siap untuk bersyukur dan memuji Allah. Seperti Ibnu Barjan r.a. yang memberitahukan tahun akan
terjadinya penaklukan Baitul Maqdis. Dan pada tahun yang ditentukan, terjadilah apa yang diramalkannya.

Ada wali yang diberitahu Allah tentang kelemahan dirinya, apa yang akan ia dapatkan, dan bagaimana
keadaannya nanti.

Ada wali yang sampai pada keadaan ketika ia tidak melihat seorang pun yang ia ajak bicara kecuali Allah
Swt. Ia melaksanakan segala perintah-Nya. Maqam ini adalah maqam yang penting. Orang yang mengalami
maqam ini adalah Khair al-Nasaj r.a. ketika terbersit hal tersebut dalam pikirannya, lalu ia diuji dengan
bertemu seseorang yang berkata kepadanya, “Kamu budakku, namamu Khair.” Nassaj seakan-akan
mendengar Allah yang mengatakan ucapan tersebut. Orang itu kemudian mempekerjakan Nassaj selama
beberapa tahun, lalu ia berkata kepadanya, “Kamu bukan budakku dan namamu bukan Khair.” Lalu orang
itu melepaskan Nassaj.
70

Demikianlah, karamah tidak akan pernah habis untuk diungkap. Karamah-karamah yang disebutkan di
atas cukup untuk mencapai tujuan, yaitu agar manusia tidak meremehkan para wali, bersopan santun
kepada mereka apabila mendengar perkataan, perbuatan atau keadaan mereka, mematuhi perkataan
mereka meskipun belum paham, dan berdamai dengan mereka supaya selamat. Apabila engkau
mendengar rahasia Allah yang tersembunyi dalam diri makhluk yang dipilih sesuai dengan kehendak-Nya,
maka terimalah dan percayailah, jika tidak, maka kamu tidak akan mendapat kebaikan.

Inilah penjelasan yang saya ambil dari pendahuluan kitab Al-Tabaqat al-Kubra karya Imam ‘Abdul Rauf
al-Munawi r.a. juga yang telah saya lihat dalam kitab Mawaqi’ al-Nujum karya Syaikh al-Akbar

Karamah Sebagai Buah Ketaatan Anggota Tubuh

Dalam kitab al-Futuhat, Ibnu ‘Arabi menyebutkan kitabnya yang berjudul Mawaqi’ al-Nujum, yang sering
dipujinya sebagai kitab yang sangat bagus dalam mengupas masalah karamah yang muncul dari
anggota-anggota tubuh yang taat. Anggota tubuh itu adalah mata, telinga, lidah, tangan, perut,
kemaluan, kaki, dan hati.

Apabila masing-masing anggota tubuh menaati hukum syara’ dan dilakukan oleh orang yang
bertanggung jawab, maka akan muncul karamah. Dalam kitab tersebut disebutkan berbagai
pengetahuan, rahasia ilmu hakikat, dan manfaat ilmu syariat. Saya berusaha meringkas sedikit tentang
delapan anggota tubuh dan karamah yang muncul dari nggota tubuh sebagai upaya untuk
menyempurnakan manfaat dan untuk mencapai tujuan kami.
71

Dan karena Imam al-Munawi tidak menguraikan arti dari karamah yang muncul dari anggota-anggota
tubuh yang taat, dalam penjelasan sebelumnya yang diambil dari kitab Mawaqi’ al-Nujum, maka di sini
saya akan berusaha memaparkannya.

1. Mata

Di antara karamah mata jika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah
mampu melihat tamu dari jarak jauh sebelum ia datang, bisa melihat dari balik dinding tebal, melihat
Ka’bah ketika shalat, dan lain-lain. Di antara karamah lainnya adalah dapat menyaksikan alam malakut
spiritual baik malaikat, penghuni ketinggian (mala’ul a’la), jin, Nabi Khidir, dan para Abdal.

2. Telinga

Bila telinga digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, karamah yang akan
muncul adalah mendengar kabar gembira bahwa sang pemiliknya merupakan salah seorang yang diberi
hidayah dan akal oleh Allah. Ini merupakan karamah terbesar, sebagaimana dinyatakan dalam firman
Allah, Sebab itu sampaikanlah kabar kembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya (QS Al-Zumar [39]: 17-18).

Karamah lainnya adalah dapat mendengar ucapan benda mati, sehingga terdengar semua benda bertasbih
kepada Allah dengan bahasa yang jelas, sebagaimana bahasa manusia.

3 Lidah

Ketika lidah digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menghindari kemaksiatan, karamah yang akan
muncul adalah mampu berbicara dan bercakap-cakap dengan alam yang lebih tinggi (alam a’la). Jadi,
apabila seorang hamba memperoleh karamah atas telinganya, maka ia akan bisa memanggil dan
berhubungan dengan para penghuni alam yang lebih tinggi. Apabila ia hanya sekedar berbicara dengannya,
penghuni alam itu tidak menjawabnya.

Apabila terjadi pembicaraan antara dia dengan mereka, maka kemampuannya berbicara dengan mereka
adalah karamah lisan, kemampuannya mendengar ucapan mereka adalah karamah telinga, dan
kemampuannya menyaksikan mereka adalah karamah mata. Demikian juga anggota-anggota tubuh
lainnya, karena ada hubungan antara anggota-anggota badan dan ketaatan yang dilakukannya. Di antara
karamah lainnya adalah mampu mengatakan suatu keadaan sebelum terjadinya, memberitahukan hal- hal
gaib, dan akan munculnya benda-benda.
72

4. Tangan

Di antara karamah yang akan muncul bila tangan dipergunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi
kemaksiatan adalah munculnya warna putih bersih tanpa noda di tangan ketika dimasukkan ke dalam saku
seperti yang terjadi pada Nabi Musa as, memancarkan air di sela-sela jari yang terjadi pada Nabi
Muhammad Saw., melemparkan tanah ke muka musuh, sehingga mereka kalah. Para wali Allah dengan
kehendak-Nya mengepalkan tangan ke udara, lalu ketika mereka membukanya muncullah perak, emas,
dan lain-lain.

5. Perut

Di antara karamah yang muncul bila perut digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi
kemaksiatan —tidak termasuk dalam kategori makr dan istidraj— adalah terpeliharanya perut dari
makanan, minuman, dan pakaian yang tidak halal dengan munculnya tanda yang disampaikan oleh Allah.
Adakalanya tanda itu muncul dalam dirinya sendiri atau dari sesuatu yang bersifat syubhat atau haram,
sehingga ia hanya memperoleh sesuatu yang baik saja.

Dikisahkan bahwa ketika disajikan makanan syubhat kepada Al-Harits al-Muhasibi r.a., mengucurlah
keringat di sela-sela jarinya. Begitu juga yang terjadi pada ibunda Abu Yazid al-Busthami r.a. ketika
sedang mengandung Abu Yazid, tangannya tidak pernah menyentuh makanan haram. Pada wali lain,
muncul suara yang berkata “jauhi”. Wali lainnya jatuh pingsan ketika menemukan makanan yang tidak
halal. Ada juga wali yang makanan haram di hadapannya berubah menjadi darah, berwarna hitam,
seekor babi, dan lain-lain yang Allah khususkan bagi para wali dan orang-orang suci-Nya.

Karamah lain yang muncul karena ketaatan perut adalah makanan yang sedikit bisa mengenyangkan orang
banyak. Ini merupakan warisan dari Rasulullah Saw. Ketika itu, Rasulullah menggelar sebuah tikar kulit dan
didatangi oleh pemilik gandum dengan memberikan setangkai gandumnya dan pemilik biji- bijian dengan
memberikan setangkai biji-bijiannya, hingga terkumpullah sedikit makanan. Beliau berdoa agar makanan
itu diberkati, lalu orang-orang mengisi tempat yang mereka bawa dengan makanan itu sampai penuh,
sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih riwayat Muslim.

Karamah perut yang lainnya adalah dapat membuat satu macam makanan di atas piring menjadi
berbagai macam jenis makanan sesuai dengan keinginan orang-orang yang hadir di tempat itu.
Termasuk karamah perut lainnya adalah didatangi jin atau raja yang membawakan makanan, minuman,
dan pakaiannya, atau menggantungkannya di udara.
73

Karamah lain dalam maqam ini adalah mampu mengubah air minum yang asin dan pahit menjadi manis.
Ibnu ‘Arabi berkata, “Saya pernah meminum minuman seperti itu dari tangan Abu Muhammad
‘Abdullah bin Ustad Al-Marwazi Al-Hajj, termasuk murid khusus Abu Madyan r.a., beliau selalu disebut
sebagai Al-hajj al-mabrur. Makanan halal itu adakalanya diperoleh dengan bekerja atau dengan
menjauhi dosa-dosa, seperti yang dikatakan beberapa syaikh, “Ahli ma’rifat adalah orang yang tidak
memadamkan cahaya ma’rifatnya sebagai cahaya wara’nya, maka ketika diperoleh barang halal, sedikit
saja cukup baginya.

Bila ia melaksanakan hal ini, maka tumbuh dalam batinnya keinginan melakukan perbuatan baik yang
diwujudkan Allah dalam jiwa hamba ini sebagai karamah karena kedudukan dan kejujurannya.” Dan dari
kehendak kuat itu keluar semua yang telah kami sebutkan dan banyak karamah yang belum terlintas dalam
benak manusia.

6. Kemaluan

Di antara karamah yang dihasilkan ketika kemaluan dipergunakan untuk melaksanakan ketaatan dan
menjauhi kemaksiatan adalah anugerah dari Allah berupa rahasia menghidupkan orang-orang mati,
menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan penderita lepra, dan meninggalkan semua perkara yang
membuatnya melupakan Allah.

Allah berfirman, Dan Maryam puteri ‘Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke
dalam rahimnya sebagian dari ruh Kami (QS Al-Tahrim [66]: 12). Dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda
(kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam (QS Al-Anbiya’ *21+: 91). Dalam hal ini, Ibnu ‘Arabi juga
telah menjelaskan secara mendalam hubungan-hubungan lain antara ketaatan anggota tubuh dan
karamah yang dikeluarkannya, hikmah-hikmah dan rahasia ilmu hakikat

7. Kaki

Di antara karamah yang akan muncul jika digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi
kemaksiatan ada-lah mampu berjalan di atas air, dapat mengelilingi bumi, dan berjalan di udara.
Hikayat-hikayat tentang maqam ini sangat terkenal, saking terkenalnya hingga tidak perlu lagi kami
jelaskan di sini. Kitab-kitab kumpulan syair dipenuhi hikayat-hikayat tentang karamah ini. Karena Allah
Swt. adalah pemilik para wali, maka Dia memunculkan semua karamah ini bersama mereka. Ibnu ‘Arabi
menyatakan, “Kami telah menyaksikan dengan jelas penempuh jalan ini berjalan di atas air dan di udara,
dan dapat melipat bumi.”
74

8. Hati

Di antara karamah hati ketika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah
mampu mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Ibnu ‘Arabi berkata, “Ketahuilah anakku, Allah telah
menolongmu, menerangi hatimu, melapangkan dadamu, dan menyucikan pakaian serta hatimu. Segala
karamah yang berkaitan dengan anggota tubuh lainnya merujuk dan kembali kepada hati. Kalau tidak
ada hati, maka seluruh anggota tubuh lainnya tidak berarti. Setiap perbuatan berasal dari hati, kalau
tidak didasari keikhlasan sebagai aktivitas hati, maka amal tersebut bagai debu beterbangan, tidak
bermanfaat dan tidak mendatangkan kebahagiaan.”

Allah berfirman, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus (QS Al-Bayyinah [98]: 5).
Dan Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan tiap-tiap orang akan
mendapatkan apa yang diniatkannya.

Barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan barangsiapa berhijrah kepada dunia dan perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah
kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.” Dari sini jelaslah bahwa sudi dan ternodanya semua
perbuatan lahir maupun batin tergantung pada hati. Jadi, gerakan atau diamnya anggota tubuh untuk
menaati syariat dan melakukan maksiat hanya berdasarkan pada perintah dan kehendak hati.

Gagasan muncul pertama kali di dalam hati. Apabila hati ingin mewujudkan gagasan itu, maka ia
mempertimbangkan anggota tubuh mana yang sesuai untuk melakukan gagasan itu, lalu hati
menggerakkan anggota tubuh yang dipilihnya untuk mewujudkan gagasan itu, baik untuk ketaatan
maupun kemaksiatan, dan atas anggota tubuh itulah pahala dan siksa diberikan. Tidakkah kamu
merenungkan bagaimana Allah menganggap pandangan pertama kepada seorang perempuan bukan
muhrim yang dilakukan tanpa sengaja dan tidak diniati dalam hati sebagai suatu hal yang dimaafkan dan
tidak dikenai siksa?

Demikian pula ketika seorang hamba melakukan perbuatan salah tanpa sengaja, maka Allah benar-
benar telah mengampuni perbuatannya itu, sebagaimana bila hati menghendaki dan berniat melakukan
kemaksiatan, tetapi tidak jadi melakukannya, maka niatnya itu tidak ditulis dan tidak dihitung, selama
belum dilakukan atau hanya sebatas ucapan semata.
75

Adapun jika hati berniat melakukan ketaatan, maka ia akan diberi ganjaran sesuai dengan niat dan
harapannya, meskipun ia belum melakukan ketaatan yang telah diniatkannya, niatnya telah ditulis sebagai
kebaikan. Bila kamu meyakini hal ini, maka tetaplah yakin bahwa hati adalah pemimpin raga. Seluruh
karamah yang muncul dari anggota tubuh merujuk kepada hati, dan hati itu sendiri dapat memunculkan
karamah-karamah tertentu.

Karamah hati lainnya adalah Allah Swt. memperlihatkan kepadanya semua yang tersimpan di dunia,
berupa rahasia-rahasia, alasan dan sebab perintah-Nya, atau apa pun yang mewujud dalam alam, baik
spiritual maupun non spiritual, seperti yang sudah dijelaskan oleh Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi.

Tingkatan Dan Klasifikasi Wali

Syaikh Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menyebutkan secara panjang lebar tingkatan dan klasifikasi wali
berdasarkan perbedaan hal mereka di bab 73 kitab Futuhat al-Makiyyah. Dalam pendahuluan kitabnya
yang berjudul Thabaaah Sughra, Imam al-Munawi meringkas pembahasan tersebut dari kitab Futuhat,
tetapi dengan bahasanya sendiri yang panjang lebar, sehingga meninggalkan beberapa hal penting. Di
sini saya akan meringkas pembahasan tersebut dari kitab Imam al-Munawi dengan memakai kata-kata
Ibnu ‘Arabi dan mengutip banyak hal yang ditinggalkan oleh Imam Munawi.

Ibnu ‘Arabi r.a. berkata, “Ketahuilah, hamba-hamba Allah yang berada di jalan ini adalah mereka yang
dinamakan dunia jiwa (alam anfas), suatu nama yang mencakup mereka semua. Mereka mempunyai
tingkat dan hal yang berbeda-beda. Ada wali yang terkumpul dalam dirinya semua tingkat dan hal. Ada
76

wah yang mencapai sebagian tingkatan dan hal sesuai dengan kehendak Allah. Setiap tingkatan (tabaqah)
wali yang mempunyai hal dan maqam memiliki gelar tersendiri. Ada tingkatan wah yang jumlahnya bisa
dihitung dalam setiap zamannya. Ada juga yang tidak bisa dihitung jumlahnya, kadang sedikit kadang
banyak.” Insya Allah, Kami akan memaparkan wali-wali yang bisa dihitung dan yang tidak bisa dihitung
jumlahnya sekaligus dengan masing-masing gelarnya.

Wali yang Jumlahnya Bisa Dihitung

1. Aqthab r.a. (radiyallahu ‘an/wm/semoga Allah meridhai mereka).

Mereka adalah para wali yang terkumpul dalam dirinya semua hal dan maqam, baik menerimanya
secara langsung maupun karena warisan. Penggunaan nama ini meluas sehingga orang yang mempunyai
salah satu maqam juga disebut Quthb. Di setiap zaman, wali tingkatan ini hanya ada satu. Pemimpin
suatu negeri juga terkadang disebut Quthb negeri itu dan guru suatu kelompok juga terkadang disebut
Quthb kelompok itu.

Akan tetapi Aqthab yang dimaksud di sini hanya ada satu setiap zamannya. Ia juga disebut Al-Ghaits
(penolong), ia adalah pemimpin suatu golongan pada zamannya. Dari segi maqam, terkadang ia
merupakan pemimpin kekuasaan yang memiliki kekuasan fisik dan kekuasaan batin, contohnya Abu Bakar,
‘Umar, Utsman, ‘Ali, Hasan, Mu’awiyah bin Yazid, Umar bin ‘Abdul’ Aziz, dan Al-Mutawakkil. Terkadang
Quthb hanya mempunyai kekuasaan batin, tidak punya kekuasaan fisik, contohnya Ahmad bin Harun
al-Rasyid dan Abu Yazid al-Busthami. Mayoritas Aqthab tidak mempunyai kekuasaan fisik

2. Aimmah r a. (para pemimpin). Dalam setiap zaman, jumlahnya tidak lebih dari dua, artinya tidak ada
yang ketiga. Yang pertama bernama ‘Abdur Rabbi, yang kedua dinamakan ‘Abdul Malik, sedangkan
Quthb adalah ‘Abdullah. Kedua Aimmah ini akan menggantikan Quthb apabila ia meninggal dan
kedudukan keduanya seperti menteri. Salah seorang dari mereka hanya mengetahui alam malakut (alam
kekuasaan/alam gaib/mikrokosmos), sedang yang satunya hanya mengetahui alam mulk (alam
kerajaan/dunia jasmani/makrokosmos).

3. Autad r.a. Mereka hanya berjumlah empat, tidak kurang dan tidak lebih, dalam setiap zamannya.
Kami pernah bertemu salah seorang dari mereka di kota Fes yang dikenal dengan nama Ibnu Ja’dun. Ia
adalah seorang pekerja penumbuk daun pacar atau inai. Masing-masing dari keempat orang itu tinggal
di di daerah timur, barat, selatan, dan utara. Arahnya dilihat dari Ka’bah. Sebagian mereka perempuan.
Gelar mereka adalah ‘Abdul Hayyi, ‘Abdul ‘Alim, ‘Abdul Qadir, dan ‘Abdul Murid.
77

4. Abdal r.a. Jumlahnya ada tujuh tidak kurang tidak lebih. Allah menjaga mereka di tujuh wilayah. Setiap
Badai (bentuk tunggal dari Badai) mempunyai daerah dan wilayah sendiri-sendiri. Salah satunya mengikuti
jejak seperti Khalilullah (Nabi Ibrahim), yang kedua mengikuti jejak Al-Kalim (Nabi Musa), ketiga
mengikuti jejak Harun r.a., yang keempat mengikuti jejak Idris a.s., yang kelima mengikuti jejak Nabi Yusuf
r.a., keenam mengikuti jejak Isa a.s.. dan ketujuh mengikuti jejak Adam a.s. Disebut Abdal karena jika
seorang Badai akan meninggalkan suatu tempat dan ingin mengangkat Badai untuknya di tempat itu yang
menurutnya mengandung kemaslahatan dan usaha pendekatan diri kepada Allah, maka ia akan
meninggalkan seseorang yang mirip dengan sosoknya di tempat itu.

Tak diragukan lagi. Badal yang ia tinggalkan terlihat seperti dirinya sendiri. Badal itu sendiri adalah sosok
spiritualnya dengan tujuan untuk mengetahuinya. Setiap orang yang mempunyai kekuatan ini disebut
Badal. Dan barangsiapa yang dijadikan Allah sebagai Badal di suatu tempat, tetapi ia tidak mengetahui
apa-apa tentang itu, maka ia bukan yang dimaksud sebagai Abdal yang telah kami sebutkan.

Kami pernah bertemu dengan Abdal. Kami pernah melihat tujuh Badal di Mekkah dan bertemu mereka
di belakang kerumunan pengikut Hanbali. Kami pernah berkumpul dengan mereka, tidak ada orang yang
pernah saya lihat yang mempunyai akhlak sangat baik daripada mereka. Kami juga pernah bertemu
Musa al-Baidrani di Asybiliyah tahun 586 H., ia mendatangi kami dan berkumpul dengan kami. Kami juga
pernah bertemu Syaikh al-Jibal Muhammad bin Asyraf al-Rindi.

Teman kita juga ‘Abdul Majid bin Salamah pernah bertemu seseorang bernama Mu’adz bin Asyras, salah
seorang pemimpin mereka dan ‘Abdul Majid menyampaikan salam Mu’adz untuk kami ‘Abdul Majid
menanyakan kepadanya dengan apa para Abdal mendapatkan kedudukan itu. Lalu ia menjawab,
“Dengan empat hal,” seperti yang disebutkan Abu Thalib al-Makki, yaitu lapar, bangun malam, diam,
dan uzlah.

5. Nuqaba’ r.a. Di setiap zaman, mereka berjumlah 12 orang, tidak kurang tidak lebih, sama dengan jumlah
galaksi (kumpulan bintang) dalam tata surya. Setiap Naqib (bentuk tunggal dari Nuqaba’) mengetahui
khasiat dari satu galaksi. Allah memberi mereka pengetahuan tentang syariat-syariat yang diturunkan.
Mereka mampu menyingkap isi hati dan kedengkian yang tersembunyi di dalam hati manusia, dan
mengetahui tipu daya nafsu. Mereka juga mengetahui iblis padahal iblis sendiri tidak mengetahui dirinya.
78

Mereka bisa mengetahui bekas dan jejak seseorang di atas tanah, apakah itu jejak orang yang bahagia
atau sengsara. Ulama yang mempunyai kemampuan semacam ini banyak. Jika mereka melihat jejak di
padang pasir, lalu bertemu seseorang dan mengatakan bahwa orang itulah pemilik jejak kaki tersebut,
ternyata apa yang mereka katakan itu benar. Jika mereka bukan wali Allah, lalu apa sehutanmu terhadap
para Nuqaba’ yang dikaruniai Allah ilmu tentang jejak?

6. Nujaba r.a. Setiap zaman, jumlahnya hanya delapan, tidak kurang tidak lebih. Mereka adalah orang-
orang yang tampak dalam diri mereka tanda-tanda diterimanya hal (kondisi spiritual yang diperoleh
sebagai anugerah) mereka, meskipun mereka tidak mengusahakannya, tetapi justru kondisi spiritual itu
yang menguasai diri mereka. Hanya orang yang kondisi spiritualnya berada di atas mereka yang bisa
mengetahui keadaan mereka.

7. Hawariyyun r.a. Setiap zaman, jumlahnya hanya ada satu. Apabila yang satu itu meninggal, maka baru
muncul yang lainnya. Pada masa Rasulullah Saw., orang yang mempunyai maqam (kedudukan spiritual
yang diperoleh dengan usaha) ini adalah Zubair bin ‘Awwam. Banyak orang yang membela agama
dengan menggunakan pedang, sedangkan Al-Hawariyyun adalah orang membela agama dengan
menggunakan pedang dan hujjah. Ia dikaruniai ilmu, ketekunan beribadah, hujjah, kemahiran
berpedang, keberanian, dan keteguhan. Maqamnya adalah mempertahankan kebenaran agama yang
disyariatkan.

8. Rajabiyyun r.a. Jumlahnya ada empat puluh orang di setiap zaman, tidak kurang tidak lebih. Mereka
adalah hamba-hamba yang halnya mengagungkan Allah. Mereka dinamakan Rajabiyyun, karena hal
mereka hanya diperoleh pada bulan Rajab, sejak awal sampai akhir bulan. Setelah itu, mereka
kehilangan hal ini, sampai datangnya bulan Rajab tahun berikutnya. Hanya sedikit orang yang
mengetahui dan mengenal mereka. Mereka terpencar di beberapa tempat, tetapi mereka saling kenal.
Ada yang bermukim di Yaman, Syam, dan Diyar Bakar.

Muhyiddin Ibnu’Arabi berkata, “Saya pernah berjumpa dengan salah seorang dari mereka di Danusiri,
Diyar Bakar, dan tidak berjumpa dengan yang lainnya. Saya memang ingin sekali bertemu mereka.
Sebagian mereka ada yang tetap mempunyai hal ini (Rajabiyyun) sepanjang tahun, ada juga yang
memilikinya hanya selama bulan Rajab. Rajab yang kujumpai itu mampu melihat keadaan golongan
Syi’ah Rafidhah yang sebenarnya dalam rupa babi, padahal ketika itu bukan bulan Rajab. Ini
menunjukkan bahwa ia memperoleh hal Rajabiyyun sepanjang tahun.
79

Kemudian datanglah seorang Syi’ah Rafidhah, lalu Rajab itu berkata, ‘Bertobatlah kepada Allah, karena
kamu termasuk golongan Syi’ah Rafidhah.’ Orang-orang takjub dengan kejadian tersebut. Apabila orang
Syi’ah Rafidhah itu bertobat dengan sebenar-benarnya, maka Rajab itu melihatnya dalam rupa manusia,
tetapi jika ia bertobat hanya di mulut saj a, maka Rajab itu tetap melihatnya dalam rupa babi, lalu
berkata kepada orang Syi’ah Rafidhah itu, ‘Kamu bohong ketika mengatakan telah bertobat.’ Apabila orang
Syi’ah Rafidhah itu berkata benar, maka Rajab itu akan berkata, ‘Kamu jujur.’ Akhirnya orang Syi’ah
Rafidhah itu tahu bahwa Rajab itu benar, sehingga ia keluar dari mazhabnya.”

Ibnu ‘Arabi juga menceritakan bahwa hal seperti itu pernah terjadi pada dua orang yang berilmu dan
adil dari kalangan mazhab Syafi’i Keduanya tidak dikenal sebagai orang Syi’ah dan memang tidak termasuk
golongan Syi’ah, hanya saja pendapat keduanya cenderung ke golongan itu. Keduanya berpegang teguh
kepada mazhab Syafi’i, tetapi menganggap buruk Abu Bakar dan ‘Umar serta mengagungkan ‘Ali
sebagaimana kaum Syi’ah. Ketika keduanya melewati tempat seorang Rajab lalu mengunjunginya, Rajab
itu mengusir mereka dari sisinya, karena Allah telah menyingkapkan batin keduanya di pandangan sang
Rajab sehingga tampak dalam rupa babi, tanda yang diperlihatkan Allah bagi seorang Rajab untuk
mengetahui pengikut mazhab Syi’ah Rafidhah.

Tahulah kedua orang itu bahwa sang Rajab itu mengetahui keyakinan mereka sebenarnya, padahal mereka
terkenal sebagai saksi yang adil dan ahli hadis. Maka mereka berdua menanyakan hal tersebut kepada
sang Rajab. Lalu dijawab, “Aku melihat kalian berdua dalam rupa babi. Itu tanda yang diperlihatkan Allah
bagiku untuk mengetahui orang yang bermazhab Syi’ah Rafidhah.” Kemudian keduanya bertobat tetapi
hanya dalam hati, tidak menampakkannya. Lalu Rajab itu berkata kepada keduanya, “Sekarang, kalian
berdua telah meninggalkan mazhab tersebut, karenanya saya melihat kalian dalam rupa manusia.”
Keduanya takjub dengan hal tersebut dan akhirnya bertobat kepada Allah.

Di hari pertama bulan Rajab, seorang Rajab merasa sangat berat seperti sedang memikul beberapa lapis
langit, sehingga tidak dapat mengedipkan mata dan menggerakkan anggota badan. Ia hanya bisa berbaring
dan sama sekali tidak mampu bergerak, berdiri, duduk, menggerakkan tangan dan kaki, atau mengedipkan
mata. Keadaan tersebut berkurang sedikit demi sedikit pada hari kedua dan ketiga bulan Rajab. Lalu ia
mengalami mukasyafah, tajaliyyat, dan mampu mengetahui hal-hal gaib. Akan tetapi ia masih tetap dalam
keadaan berbaring. Setelah dua atau tiga hari, ia baru bisa berbicara sampai akhir bulan. Apabila bulan
Rajab telah habis dan masuk bulan Syaban, ia bisa berdiri seperti terlepas dari jeratan.
80

Apabila ia seorang pekerja pabrik atau pedagang, ia bisa melakukan kegiatannya lagi karena telah lepas
dari keadaan itu kecuali orang yang dikehendaki Allah tetap dalam keadaan tersebut. Keadaan para
Rajab ini aneh dan tidak diketahui sebabnya dan hanya terjadi di bulan Rajab.

9. Khatmu r.a hanya ada satu sepanjang zaman. Dia hanya ada satu di dunia. Allah telah menutup kewalian
umat Muhammad dengan kemunculannya. Tidak ada wali dari kalangan umat Muhammad yang lebih
besar daripada dia. Di adalah penutup (khatm) terakhir yang dengannya Allah menutup kewalian yang ada
dalam seluruh umat sejak Adam sampai wali yang terakhir. Dia adalah Isa a.s. Dialah penutup para wali
sebagaimana ia juga merupakan penutup peredaran falak. Pada hari akhir nanti, Isa akan dikumpulkan di
Padang Mahsyar sebagai rasul bersama rasul-rasul lainnya.

10. Tiga ratus wali yang mempunyai hati seperti Nabi Adam a.s., jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih
di setiap zamannya. Sabda Nabi Saw. tentang tiga ratus orang yang mempunyai hati seperti Adam juga
sabda beliau tentang orang-orang yang mempunyai hati seperti manusia-manusia yang agung (para nabi
dan rasul) dan para malaikat, mengandung arti bahwa orang-orang seperti itu mempunyai hati yang sesuai
dengan pengetahuan ilahiah. Ilmu-ilmu ilahiah masuk ke dalam hati, maka setiap ilmu yang masuk
ke dalam hati orang besar, baik ia raja maupun rasul, berarti ilmu itu juga masuk ke dalam hati orang-
orang yang mirip dengan hati raja dan rasul itu. Sebagaimana yang biasa diungkapkan oleh sebagian
orang, “Si Zaid mempunyai langkah seperti si Ahmad.” Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa dalam
hadisnya, Rasulullah tidak menyebutkan tiga ratus orang yang berhati seperti Adam itu ada dalam
umatnya saja atau ada di setiap zaman.

Dan kita hanya mengetahui mereka dalam setiap zaman dengan jalan mukasyafah. Setiap zaman tidak
pernah kosong dari jumlah ini. Tiga ratus orang itu mempunyai tiga ratus akhlak ilahiyah. Barangsiapa
berakhlak dengan salah satunya saja, maka ia akan mencapai kebahagiaan. Mereka adalah orang-orang
yang terpilih dan sangat suka memanjatkan doa Nabi Adam a.s., Ya Tuhan kami, kami telah berbuat
zalim kepada diri kami sendiri. Dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS Al-A’raf *7+: 22)

11. Empat puluh wali yang mempunyai hati seperti Nabi Nuh a.s., jumlahnya tidak kurang tidak lebih di
setiap zaman. Hal ini dinyatakan dalam hadis Rasulullah Saw., dan beliau adalah rasul serta orang pertama
yang mempunyai hati seperti Nuh a.s. Mereka sangat cekatan dan selalu memanjatkan doa Nabi Nuh
a.s., Ya Tuhanku! Ampunilah aku, kedua orang tuaku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman, dan
semua orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi
orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan (QS Nuh [71]: 28).
81

Maqam mereka adalah mempunyai ghirah keagamaan yang merupakan maqam orang yang menempuh
jalan sulit Segala sifat yang terpencar dalam diri empat puluh orang itu terkumpul dalam diri Nuh a.s.,
sebagaimana segala sifat yang terpencar dalam diri tiga ratus orang yang memiliki hati seperti Adam
terkumpul dalam diri Adam a.s. Dalam menaiki tangga menuju tingkat tersebut, mereka berkhalwat
selama tepat empat puluh hari, tidak lebih, sebagai khalwat pembukaan. Mereka berdalil dengan hadis
Rasulullah Saw., “Barangsiapa membersihkan hati karena Allah selama empat puluh hari, maka akan keluar
dari hatinya sumber-sumber hikmah melalui lisannya.”

12. Tujuh wali yang mempunyai hati seperti Nabi Ibrahim a.s., jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di
setiap zaman. Hal ini dinyatakan dalam hadis Rasulullah Saw. Mereka selalu memanjatkan doa Nabi
Ibrahim a.s., Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-
orang yang saleh (QS Al-Syu’ara’ *26+: 83). Maqam mereka selamat dari segala keraguan dan kebimbangan.
Allah telah mencabut belenggu dunia dari hati mereka. Mereka tidak mempunyai buruk sangka terhadap
orang lain bahkan mereka tidak mempunyai prasangka apa pun, karena mereka merupakan orang yang
berilmu benar, sedangkan prasangka hanya ada pada orang yang tidak mempunyai ilmu.

Mereka tidak pernah berbuat jahat terhadap orang lain karena Allah telah memberikan hijab antara dia
dan kejahatan yang biasa dilakukan manusia. Muhyiddin Ibnu ‘Arabi berkata, “Saya pernah bertemu
dengan mereka. Saya belum pernah bertemu dengan orang yang lebih baik jalan, ilmu, dan kemurahannya
daripada mereka. Di surga nanti, mereka duduk berhadapan di atas dipan-dipan dengan hati penuh
persaudaraan, dan kehidupan surga yang bersifat maknawi telah tertanam dalam hati mereka.”

13. Lima wali yang mempunyai hati seperti Jibril a.s., jumlahnya tidak kurang tidak lebih setiap
zamannya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis Rasulullah Saw. Mereka adalah raja dari orang
yang menapaki jalan ini. Mereka memiliki ilmu yang dimiliki Jibril berupa kekuatan yang dilambangkan
dengan sayap-sayap yang digunakan untuk naik turun langit. Akan tetapi, ilmu mereka tidak melampaui
ilmu Jibril, karena Jibril lah yang memberikan pengetahuan tentang hal-hal gaib kepada mereka. Pada
hari kiamat nanti, mereka akan berkumpul bersama Jibril di Padang Mahsyar.

14. Tiga wali yang memiliki hati seperti Mikail a.s., jumlahnya tidak kurang tidak lebih pada setiap zaman.
Mereka dikaruniai kebaikan, rahmat, kasih sayang, dan belas kasih Allah. Mereka bertiga lapang dada,
82

murah senyum, lemah lembut, penuh belas kasih, dan memiliki ilmu yang sebanding dengan kekuatan
Mikail a.s.

15. Satu wali yang memiliki hati seperti Israfil a.s. di setiap zamannya. Hal ini dinyatakan dalam sebuah
hadis Nabi Saw. Ia memiliki kekuasaan untuk memerintah dan melarang, serta tidak berai sebelah dalam
memandang masalah. Abu Yazid al-Busthami termasuk orang yang memiliki hati seperti Israfil, dan dari
golongan nabi adalah Isa a.s. Barangsiapa memiliki hati seperti Isa a.s., berarti ia juga seperti Israfil a.s.,
akan tetapi terkadang orang yang memiliki hati seperti Israfil tidak mesti memiliki hati seperti Isa a.s.
Muhyiddin Ibnu’Arabi menyatakan bahwa salah seorang gurunya memiliki hati seperti Isa a.s. dan dia
termasuk orang besar.

16. Para wali yang mempunyai hati seperti Dawud a.s., jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap
zamannya, insya Allah saya akan membahas tentang mereka menurut kacamata spiritual saya. Hal, ilmu,
dan tingkatan yang terpencar dalam diri mereka terkumpul dalam diri Dawud a.s. Saya pernah bertemu
dan bergaul dengan mereka semua, serta belajar dari mereka. Tingkatan mereka tidak bisa ditentukan
dengan jumlah tertentu.

17. Orang-orang gaib (rijalul ghaib). Mereka hanya ada sepuluh tidak kurang tidak lebih. Mereka adalah
orang-orang yang khusyuk dalam shalat dan selalu berbicara dengan suara berbisik karena Allah selalu
menyingkapkan diri-Nya (tajalli) ke dalam jiwa mereka, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah,
Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga kamu hanya mendengar
bisikan saja (QS Thaha [20]: 108).

Mereka adalah orang-orang yang tersembunyi dan tidak’dikenal. Allah telah menyembunyikan mereka
di bumi dan langit-Nya, serta hanya Dia yang mengetahui dan menyaksikan keberadaan mereka, seperti
dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil mengajak mereka berbicara, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung
keselamatan (OS Al-Furqan [25]: 63). Mereka sangat pemalu, jika mereka mendengar seseorang
berbicara dengan suara keras, urat leher mereka menonjol dan mereka merasa heran.

Para ulama terkadang mengartikan rijalul ghaib sebagai manusia yang tidak bisa dilihat dengan mata,
terkadang didefinisikan dengan kelompok jin yang mukmin dan saleh, dan terkadang didefinisikan
sebagai kelompok yang tidak memperoleh rezeki dan ilmu dari alam fisik, tetapi mengambilnya dari
alam gaib.
83

18. Delapan belas wali yang menegakkan perintah Allah, jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih dalam
setiap zaman. Mereka menegakkan perintah Allah dengan melaksanakan hak-hak-Nya dan menguatkan
kejadian-kejadian yang biasa. Firman Allah tentang mereka adalah ayat, Katakanlah: “Allah (yang telah
menurunkan Al-Qur’an),” kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qursan kepada mereka), biarkanlah
mereka bermain-main dalam kesesatannya (QS Al-Baqarah [2]: 91), dan ayat, Sesungguhnya aku telah
menyeru mereka kepada iman secara terang-terangan (QS Nuh [71]: 8).

Salah satu dari golongan ini adalah guru kami Abu Madyan r.a. yang berkata kepada teman-temannya,
“Perlihatkan kebenaran kalian kepada manusia sebagaimana mereka memperlihatkan kedurhakaan
mereka. Perlihatkan nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepadamu, baik nikmat zahir berupa
kejadian-kejadian luar biasa maupun nikmat batin berupa ma’rifat. Sesungguhnya Allah telah berfirman,
Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah kamu menceritakannya (QS Al-Dhuha [93]: 11), dan Nabi Saw.
telah bersabda, ‘Menceritakan karunia Allah adalah bentuk bersyukur.”‘

19. Delapan wali yang memiliki kekuatan ilahi Firman Allah tentang mereka adalah ayat, Mereka yang
keras terhadap orang-orang kafir (QS Al-Fath [48]: 29). Mereka mempunyai nama-nama Tuhan yang
dinyatakan dalam firman-Nya, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh (QS Al-Dzariyat [51]: 58).
Kecaman orang lain tidak mengganggu mereka dalam beribadah kepada Allah Swt.

Mereka juga terkadang disebut dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan. Mereka terkenal sebagai
orang yang selalu berpikiran positif. Di kota Fas, ada satu orang dari mereka bernama Abu ‘Abdullah al-
Daqqaq yang pernah berkata, “Aku tidak pernah menggunjing orang, dan tak seorang pun yang bergunjing
tentangku.” Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa salah seorang gurunya termasuk dalam
golongan mereka. 20. Di setiap zaman, ada lima wali, tidak kurang tidak lebih, yang mempunyai kekuatan
seperti delapan orang dari kelompok sebelumnya, hanya saja mereka memiliki sifat lemah lembut yang
tidak dimiliki kelompok sebelumnya. Maqam mereka mengikuti jejak para rasul Sifat mereka
dijelaskan dalam firman Allah Swt., Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata- kata yang
lemah lembut (QS Thaha [20]: 44), dan firman-Nya, Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka (QS Ah Tmran [3]: 159).

Di beberapa negara, mereka menampakkan sikap lemah lembut meskipun mempunyai kekuatan. Akan
tetapi di negara-negara nonArab, mereka menampakkan kekuatan mereka di samping bersikap lemah
lembut, sama dengan kelompok sebelumnya. Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menyatakan bahwa ia
pernah bertemu dengan sebagian dari mereka dan berguru kepada mereka. 21. Lima belas wali yang
84

memiliki kelemahlembutan dan kasih sayang ilahiyah. Mereka dapat menguasai angin seperti Nabi
Sulaiman yang dikisahkan dalam firman-Nya, Angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja
yang dikehendakinya (QS Shad [38]: 36).

Mereka mengasihi hamba-hamba Allah baik yang mukmin maupun yang kafir, dan memandang makhluk
dari kesungguhan dan keberadaannya, bukan dari mata hukum dan peradilan. Allah tidak sedikit pun
memberi mereka kewalian lahir berupa kekuasaan hukum maupun kerajaan karena dzauq dan maqam
mereka tidak mencakup tugas mengatur makhluk, tetapi mereka dan makhluk-makhluk yang lain sama-
sama dinaungi rahmat Allah yang universal sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Dan rahmat-Ku
meliputi segala sesuatu (QS Ah ‘Imran *3+: 156).

Saya pernah bertemu dengan sebagian mereka. 22. Di setiap zaman, ada empat wali, tidak kurang dan
tidak lebih, yang memiliki sifat seperti yang dinyatakan dalam firman Allah Swt, Allah-lah yang
menciptakan tujuh langit dan bumi juga diciptakan seperti itu, perintah Allah berlaku padanya (QS Al-
Thalaq [65]: 12); Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (QS Al-Mulk [67]: 3).

Mereka adalah orang-orang yang disegani dan bermartabat tinggi, seakan-akan keberuntungan selalu
menyertai mereka. Mereka tidak takut dizalimi, justru takut dipuji-puji. Merekalah yang
membentangkan pasak-pasak yang meliputi keadaan spiritual mereka. Hati mereka ada di langit, tidak
dikenal di bumi. Di antara mereka ada yang memiliki hati seperti Nabi Muhammad Saw., ada yang memiliki
hati seperti Nabi Syuaib a.s., ada yang memiliki hati seperti Nabi Shalih a.s, dan ada yang memiliki hati
seperti Nabi Hud a.s.

Di antara mereka ada yang selalu diperha tkan oleh Izrail, ada yang diperhatikan oleh Jibril, ada yang
diperhatikan oleh Mikail, dan ada yang diperhatikan oleh Israfil. Kedudukan mereka menakjubkan dan
keadaan mereka aneh. Sayyid Muhyiddin berkata, “Ketika saya bertemu dengan orang-orang seperti itu
di Damaskus, saya tahu bahwa mereka termasuk golongan empat orang ini. Sebelumnya saya pernah
melihat dan bertemu mereka di Andalusia, tetapi saya tidak tahu bahwa mereka menduduki maaam ini
Ketika itu, saya hanya menganggap mereka termasuk hamba-hamba Allah. Saya bersyukur kepada Allah
yang telah membuat saya mengetahui maaam mereka dan menampakkan hal mereka kepada saya.”

23. Di setiap zaman, ada dua puluh empat wali, tidak kurang dan tidak lebih, yang mendapatkan fath
(pembukaan / Allah menyingkapkan pengetahuan-pengetahuan dan rahasia-rahasia kepada mereka).
85

Jumlah mereka sesuai dengan jumlah jam. Di setiap jam, ada satu orang yang dibukakan oleh Allah
padanya tentang pengetahuan dan rahasia, baik kala siang maupun malam Mereka terpencar di muka
bumi ini dan tidak pernah saling bertemu. Masing-masing menempati tempatnya sendiri tanpa
berpindah sedikit pun.

Dua orang bertempat di Yaman, empat orang di negara-negara bagian timur, enam orang berada daerah
barat, selebihnya terpencar di seluruh pelosok dunia. Sifat mereka dijelaskan dalam ayat, Apa saja yang
Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya.
(QS Fathir [35]: 2)

24. Di setiap zaman, ada tujuh wali, tidak kurang dan tidak lebih, yang memiliki tingkatan-tingkatan yang
tinggi. Mereka berada dalam tingkat yang paling tinggi, mereka adalah para wali dan pemilik martabat
yang tinggi. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Kamulah yang paling tinggi, dan Allah
menyertaimu (QS Muhammad [47]: 35). Sebagian ahli tariqat yang berpendapat bahwa Abdal berjumlah
tujuh orang menganggap golongan ini (orang-orang yang mempunyai tingkatan tinggi) sebagai Abdal,
sebagaimana sebagian ahli tariqat yang berpendapat bahwa Abdal berjumlah 40 orang menganggap
Rajabiyyun sebagai Abdal.

Hal ini disebabkan karena mereka tidak memperoleh pengetahuan dari Allah tentang berapa jumlahnya.
Di setiap zaman, Allah mempunyai hamba-hamba pilihan yang menjadi perantara Allah dalam menjaga
alam ini Ada berita bahwa jumlah mereka sekian, sebagaimana ada tingkatan-tingkatan wali yang tidak
diketahui jumlah pastinya di setiap zaman, karena jumlah mereka bisa bertambah dan berkurang,
seperti para Afrad, orang-orang yang tinggal di air, orang-orang yang amanah, para pencinta, dan para
sahabat karib, ahlullah (kaum Allah), orang-orang yang berbicara dengan Allah, orang-orang yang
bercakap-cakap dengan Allah, dan orang-orang sufi.

Mereka semua orang-orang yang terpilih. Setiap tingkatan ini dijaga oleh orang-orang tersebut dalam
setiap zamannya, tetapi jumlah mereka tidak bisa dibatasi sebagaimana yang telah kami sebutkan.

25. Dua puluh satu wali yang berada di lapisan paling bawah. Mereka adalah orang-orang yang
memperoleh ruh dari Allah tanpa pengetahuan tentang ruh mereka sendiri. Jumlah mereka tetap setiap
zamannya, tidak kurang tidak lebih. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah, Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (QS Al-Tin [95]: 5), yakni alam fisik Jadi, tidak ada
yang lebih rendah daripada alam fisik.
86

Allah mengembalikan mereka ke alam fisik agar mereka menghidupkannya, karena pada dasarnya alam
fisik itu mati kemudian ruh mereka ini yang menghidupkannya dengan dikembalikannya mereka oleh Allah
ke alam fisik. Para wali tersebut hanya melihat apa yang dikehendaki oleh Allah dari ruh mereka. Mereka
mampu menghadirkan Allah (ahlul hudhur) terus-menerus.

26. Tiga wali yang diberi kelapangan ilahiah dan kauniyah, dari kalangan laki-laki dan perempuan.
Jumlahnya tetap di setiap zaman, tidak kurang tidak lebih. Mereka selalu mencari kebenaran dan
menolong makhluk dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan kekejaman, kekerasan,
dan pemaksaan. Mereka memanfaatkan karunia Allah dan memberi manfaat kepada para makhluk.
Allah memberi mereka kemampuan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyelesaikan masalahnya
karena Allah, bukan karena selain-Nya. Syaikh Muhyiddin berkata, “Saya pernah bertemu dengan salah
satu dari mereka di Asybiliyyah dan ia adalah orang bermartabat paling tinggi yang pernah saya temui.
Namanya Musa bin ‘Imran, pemimpin zamannya.

Ia termasuk tiga wah yang tidak pernah meminta kepada makhluk Allah untuk memenuhi kebutuhannya,
sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis Nabi, ‘Barangsiapa menerima satu hal dariku, maka aku
akan bertemu dengannya di surga, dengan syarat ia tidak meminta apa pun kepada makhluk/ Ciri-ciri
mereka adalah jika mereka menolong orang, mereka tampak lembut dan baik budi, seakan-akan mereka
yang ditolong padahal justru yang menolong. Saya belum pernah bertemu orang yang lebih baik
daripada mereka dalam bergaul dengan manusia.”

27. Tiga wah yang berjiwa ilahiyah yang maha pengasih. Jumlah mereka tidak kurang dan tidak lebih di
setiap zamannya. Mereka mirip dengan Abdal dalam sebagian sifatnya, tetapi mereka bukan Abdal. Sifat
mereka dinyatakan dalam firman Allah, Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah
siulan dan tepukan (QS Al-Anfal [8]: 35). Mereka memiliki keyakinan yang unik tentang firman Allah.
Mereka adalah orang yang menerima wahyu Allah dan hanya bisa mendengar wahyu seperti bunyi
rantai terjatuh di atas batu atau seperti dentingan lonceng, milah maaam mereka.

28. Di setiap zaman, ada satu wah, terkadang perempuan, yang mempunyai sifat Allah yang dinyatakan
dalam Al-Qur’an, Dan Dialah yang berkuasa atas hamba-hamba-Nya (QS Al-An’am *6+: 18). Ia bisa
menguasai segala sesuatu kecuali Allah dan mempunyai kecerdasan, keberanian, dan keperkasaan. Ia
selalu berkata benar dan menghukum secara adil. Sayyid Muhyiddin berkata, “Yang memiliki maqam ini
adalah guru kami ‘Abdul Qadir al-Jabali di Baghdad.
87

Ia mempunyai kekuasaan dan kemampuan menegakkan kebenaran atas para makhluk. Kedudukannya
agung dan cerita tentangnya populer. Saya belum pernah bertemu dengannya, tetapi saya pernah
bertemu dengan kawannya yang sezaman dengan kita yang pernah dibimbing oleh ‘Abdul Qadir. Selain
‘Abdul Qadir, saya tidak tahu siapa yang menerima maqam ini sampai sekarang.”

29. Di setiap zaman, ada satu wali yang merupakan gabungan dari beberapa unsur. Ia menyerupai Nabi
Isa a.s., yang terlahir dari malaikat dan manusia. Tidak diketahui apakah ia punya ayah seorang manusia,
sebagaimana Bilqis yang menurut cerita dilahirkan dari jin dan manusia. Ia gabungan dari dua unsur
yang berbeda. Ia adalah perantara Allah yang bertugas menjaga alam barzakh terus menerus. Di setiap
zaman, pasti ada orang yang mempunyai maqam ini. Ia terlahir hanya dari sel telur ibunya berbeda dengan
pandangan para ahli ilmu alam, tetapi Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

30. Di setiap zaman, ada satu wali, terkadang perempuan, yang mengetahui detil-detil semua alam. Ia
adalah orang yang mempunyai maqam aneh. Ia membingungkan sebagian ahli tariqat yang
mengenalnya sebagai seorang Quthb, padahal ia bukan Quthb.

31. Satu wali yang maqamnya dinamakan saqiith rafraf anak dari saaqith ‘arsy. Sayyid Muhyidin berkata,
“Saya pernah bertemu dengannya di kota Qouniyah. Tandanya ada dalam firman Allah, Demi bintang
ketika terbenam (QS Al-Najm [53]: 1). Kesibukannya tidak membuat ia melupakan diri dan Tuhannya.
Kedudukannya tinggi dan halnya agung. Ia bisa mempengaruhi hal orang yang melihatnya, sifatnya
menakjubkan, memiliki banyak pengetahuan, dan sangat pemalu.”

32. Dua wali yang disebut sebagai orang-orang yang membutuhkan Allah. Mereka ada di setiap zaman di
alam anfas (alam nafas; kehidupan itu sendiri). Mereka adalah para wali yang memiliki beberapa
kedudukan, sebagaimana sebelumnya. Sifat keduanya dinyatakan dalam ayat, Sesungguhnya Allah tidak
membutuhkan sesuatu dari semesta alam (QS Ali ‘Imran *3+: 97). Allah menjaga maqam keduanya. Salah
satu dari mereka mampu menyingkap alam syahadah (alam yang bisa diindra; alam kasat mata), dan
semua orang yang ada di alam syahadah membutuhkan orang ini.

Sedangkan yang satunya mampu menyingkap alam malakut (alam gaib; alam bentuk-bentuk halus), dan
setiap orang yang membutuhkan Allah di alam malakut membutuhkan orang ini. Yang menolong dua orang
tersebut adalah ruh yang tinggi yang melaksanakan kebenaran. Jadi, jika ditambah dengan ruh tersebut,
maka golongan ini terdiri dari tiga, dan jika dilihat dari sisi manusia, maka ada dua, terkadang dari kalangan
perempuan. Ia kaya hati, membutuhkan Allah sedangkan Allah tidak membutuhkannya. Sayyid Muhyiddin
berkata, “Kita hanya sedikit mengetahui perihal ketiga orang tersebut.’
88

33. Satu wali yang berulang-ulang menyebut nama Allah dalam hatinya di setiap tarikan nafas. Tidak ada
wali yang lebih menakjubkan halnya daripada dia. Tidak ada ahli ma’rifah yang lebih mulia pengetahuannya
daripada orang yang memiliki maqam ini. Ia takut dan bertakwa kepada Allah. Saya pernah bertemu
dengannya dan berguru kepadanya. Sifatnya dinyatakan dalam firman Allah, Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS Al-Syura [42]: 11));
Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali (QS Al-Isra’ [17]: 6).
Urat lehernya selalu menonjol karena takut kepada Allah. Demikianlah yang pernah kami saksikan.

34. Sepuluh wali yang bijak dan memiliki kelebihan. Jumlahnya tidak kurang dan tidak lebih di setiap
zaman. Maqam mereka adalah mampu mencapai tujuan khusus dengan doanya yang selalu terkabul.
Hal mereka adalah keimanan yang selalu bertambah kepada hal gaib dan yakin akan mendapatkan hal
gaib itu. Tidak ada yang gaib bagi mereka, karena segala yang gaib dapat mereka saksikan. Segala
keadaan mereka adalah ibadah.

Kemampuan mereka melihat hal gaib menambah keimanan mereka kepada hal gaib lainnya dan
menambah keyakinan untuk bisa mengetahui hal gaib itu. Sifat mereka dinyatakan dalam firman Allah,
Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan (QS Thaha [20]: 114); Supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada (QS Al-Fath [48]: 4); Maka surah
ini menambah iman mereka, sedang mereka merasa gembira (QS Al-Taubah [9]: 124); Dan apabila hamba-
hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah bahwa sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan
permintaan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku (QS Al-Baqarah [1]: 186). ^

35. Dua belas wali yang disebut Al-Budala’, berbeda dengan Abdal. Jumlah mereka tidak kurang dan
tidak lebih di setiap zamannya. Maqam mereka adalah mampu mencapai tujuan khusus dengan doanya
yang selalu terkabul. Hal mereka adalah selalu bertambahnya keimanan dan keyakinan mereka kepada hal
gaib. Mereka dinamakan Budala’ karena jika sembilan orang dari mereka sudah tidak ada, maka yang
satunya menggantikan kedudukan dan tugas mereka.

36. Lima wali yang disebut para perindu (rijalul isytiyaq). Mereka adalah para pemimpin ahli tariqah.
Melalui merekalah, Allah menjaga eksistensi alam Sifat mereka dinyatakan dalam Al-Qur”an/ Jagalah
shalat-shalatmu, dan jagalah shalat umstha’ (QS Al-Baqarah [2]:238). Mereka tidak pernah
meninggalkan shalat, baik siang maupun malam. Sayyid Muhyiddin berkata, “Shalih al-Barbari adalah salah
seorang dari mereka. Saya pernah bertemu dan bersahabat dengannya, serta berguru kepadanya
89

sampai ia wafat. Begitupula Abu ‘Abdillah di kota Fes adalah salah seorang dari mereka, dan saya pernah
berteman dengannya.”

37. Enam wali di setiap zaman, tidak kurang dan tidak lebih. Salah satu dari mereka adalah anak Harun
al-Rasyid yaitu Ahmad al-Sibti. Muhyiddin berkata, “Saya pernah bertemu dengan Ahmad al-Sibti ketika
tawaf setelah shalat Jumat pada tahun 599 H. Ketika itu, ia sedang tawaf di Ka’bah. Saya bertanya
kepadanya dan ia menjawab sambil tawaf. Ruhnya merasuk ke dalam tubuh saya yang sedang tawaf,
seperti merasuknya Jibril ke dalam tubuh orang Badui. Mereka menguasai enam arah angin yang ditempati
manusia. Saya juga diberitahu bahwa salah seorang dari mereka berasal dari Irzun, Romawi.

Saya mengenalnya secara langsung dan bersahabat dengannya. Ia menghormati saya dan sering
memperhatikan saya. Saya juga pernah berjumpa dengannya di Damaskus, Swes, Maltiyah, dan Qusiri.
Ia pernah membantu saya sebentar. Ia mempunyai ibu yang selalu diperlakukan dengan baik. Saya
pernah menemuinya di Haran ketika ia sedang melayani ibunya. Saya belum pernah melihat orang yang
memperlakukan ibu sebaik dia. Ia juga mempunyai harta yang diperolehnya di Damsiq.

Saya tidak tahu apakah ia hidup atau meninggal. Secara umum, di dunia ini tidak ada sesuatu yang
jumlahnya terbatas, kecuali orang-orang dalam jumlah tertentu di setiap zaman yang dipilih oleh Allah
untuk urusan tertentu pula.”

Wali yang Jumlahnya Tak Terhitung


90

Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, “Kami telah menyebutkan wali-wali yang yang jumlahnya terbatas di setiap
zamannya. Sekarang kami akan menyebutkan wali-wali yang jumlahnya tak terhitung di setiap zamannya,
jumlah mereka bisa bertambah dan berkurang.”

1. Mulamatiyyah r.a., ada yang menyebutnya Malamiyyah. Mereka

adalah raja dan pemimpin ahli tariqah. Pemimpin mereka adalah Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah
orang-orang bijak yang menempatkan dan menghukumi segala sesuatu sesuai tempatnya, serta
menyatakan dan menghilangkan sebab-sebab sesuai dengan tempatnya. Mereka tidak pernah
meninggalkan apa yang telah diatur Allah atas makhluk-Nya untuk mengikuti apa yang telah mereka atur
sendiri.

Mereka tidak meninggalkan dunia untuk mengejar akhirat, atau meninggalkan akhirat untuk mendapatkan
dunia. Mereka melihat sesuatu dengan kacamata Allah dan tidak mencampur-adukkan hakikat.
Kemampuan dan kekuatan para Mulamatiyyah hanya diketahui oleh pemimpin mereka yang menyaring
dan menempatkan mereka pada maaam tertentu. Jumlah mereka tidak tentu, bisa bertambah dan
berkurang.

2. Fuqara’ r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman sebagai
penghormatan terhadap segala maujud dan sebagai bukti ada-Nya, Hai sekalian manusia, kamulah yang
membutuhkan (al-Fuqara’) Allah (QS Fathir *35+: 15). Abu Yazid pernah berkata, “Wahai Tuhanku,
dengan apa aku mendekatimu?” Allah menjawab, “Dengan sesuatu yang tidak kuinginkan dan
kubutuhkan.” Allah berfirman, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku (QS Al-Dzariyat [51]: 56).

3. Shufiyah r.a. Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Mereka adalah orang-orang yang
mempunyai akhlak mulia, sehingga dikatakan, “Barangsiapa akhlaknya bertambah baik, maka bertambah
pula kesufiannya.” Maqam mereka berada dalam satu hati. Mereka tidak pernah mengatakan
tiga kalimat, “ini untukku”, “ini punyaku,” dan “ini hartaku.” Artinya, mereka tidak mengatakan bahwa
mereka memiliki sesuatu, Mereka tidak mempunyai apa-apa karena semuanya milik Allah.

Bagi mereka, apa yang mereka miliki sama saja dengan sesuatu selain Allah Swt, disertai pengakuan bahwa
makhluk tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak mencari maqam ini. Tingkatan ini adalah tingkatan ketika
hal-hal luar biasa muncul dari diri mereka karena usaha yang mereka lakukan, untuk
91

membuktikan kebenaran agama dalam keadaan darurat. Kami telah menyaksikan kelompok semacam
ini. Mereka mampu melakukan hal-hal luar biasa sebagai kebiasaan dan bukan hal luar biasa bagi
mereka, seperti berjalan di atas air dan udara sebagaimana kita dan makhluk melata lainnya berjalan di
atas tanah.

4. ‘Ubbad r.a., orang-orang yang senantiasa melakukan ibadah-ibadah wajib. Allah memuji mereka
dalam firman-Nya, Hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah (QS Al-Anbiya’ *21+: 73). Mereka
tidak melakukan ibadah-ibadah yang tidak wajib. Sebagian mereka berkelana ke gunung, padang rumput,
pantai, dan jurang, karenanya mereka disebut para pengembara. Sebagian lagi tidak pernah
meninggalkan rumah, selalu shalat berjamaah, dan sibuk dengan diri sendiri. Sebagian mereka
menggunakan perantara (sebab-sebab sekunder) untuk mengenal Allah dan sebagian lagi tidak
menggunakannya.

Mereka adalah orang-orang yang saleh baik lahir maupun batin, menjauhi sifat dengki, iri hati, serakah,
rakus, dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka mengarahkan sifat-sifat yang mulia untuk tujuan-tujuan
yang terpuji. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang ma’rifat, rahasia-rahasia, dan alam
malakut, serta tidak memahami ayat Allah ketika dibacakan. Jika pahala, kiamat dan kengeriannya,
neraka, dan surga diperlihatkan kepada mereka, mereka meneteskan air mata. Sifat mereka dinyatakan
dalam firman Allah, Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada
Tuhannya dengan rasa takut dan harap (QS Al-Sajdah [32]: 16); Kamu berdoa kepada-Nya dengan
berendah diri dan suara lirih (QS Al-An’am *6+: 63); Orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung
keselamatan (QS Al-Furqan [25]: 63); Apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatannya (QS Al-
Furqan [25]: 72); Orang-orang yang mengisi malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan
mereka (QS Al-Furqan [25]: 64); Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak
berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, tetapi di tengah-tengah antara keduanya (QS Al-Furqan [25]: 67).
Mereka jarang tidur dan selalu berpuasa untuk berlomba-lomba menuju kesuksesan. Mereka tidak pernah
melakukan kebatilan dan kemaksiatan sedikit pun, tetapi selalu menjunjung tinggi kebenaran dengan
penuh penghormatan dan pengagungan.

Abu Muslim al-Khaulani termasuk tokoh ‘Ubbad ini. Ia selalu terjaga di waktu malam untuk beribadah. Jika
rasa lelah menyerangnya, ia memukul kedua kakinya dengan tongkat dan berkata kepada kedua kakinya
itu, “Kalian lebih berhak dipukul daripada binatang ternakku. Sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. telah
memperoleh kebahagiaan karena mengikuti Nabi. Demi Allah aku akan menyaingi mereka sehingga
mereka tahu bahwa jejak mereka telah diikuti oleh para penggantinya.” Muhyiddin Ibnu ‘Arabi
92

berkata, “Saya pernah bertemu dengan sebagian besar dari mereka dan menuliskan kisah tentang
mereka dalam kitab saya. Banyak kitab telah menulis tentang mereka dengan panjang lebar.”

5. Zuhhad r.a., orang-orang yang meninggalkan keduniaan. Di kalangan mazhab kami, ada perbedaan
pendapat tentang orang yang tidak memiliki dunia sedikit pun padahal ia mampu mencari dan
mengumpulkannya, tetapi ia tidak melakukannya dan tidak berusaha, apakah orang ini termasuk zahid
atau bukan? Sebagian berpendapat bahwa ia termasuk zahid, dan sebagian lagi tidak menganggapnya
zahid karena tidak berusaha, sehingga apabila ia nanti mendapatkan sedikit dunia, maka ia tidak
termasuk zahid. Salah satu pemimpin mereka adalah Ibrahim bin Adham dan kisah tentangnya sudah
terkenal.

Sayyid Muhyiddin berkata, “Salah seorang paman saya yang bernama Yahya bin Yafan termasuk
golongan mereka, dan ia pernah menjadi penguasa kota Tilimsan. Pada masa pemerintahannya, ada
seorang penjual buah yang ahli ibadah asal Tunisia yang terkenal dengan sebutan ‘Abdullah al-Tunisi
seorang ahli ibadah pada zamannya. Di luar kota Tilimsan, ‘Abdullah juga dikenal sebagai ‘Ubbad (ahli
ibadah). ‘Abdullah telah memutuskan tinggal di masjid untuk beribadah kepada Allah. Makamnya
terkenal sebagai tempat ziarah. Ketika orang saleh ini (‘Abdullah) berjalan-jalan di kota Tilimsan, ia
berjumpa dengan Yahya bin Yafan, penguasa kota tersebut, diiringi ajudan dan pelayannya. Yahya bin
Yafan diberitahu bahwa orang yang dijumpainya adalah ‘Abdullah al-Tunisi seorang ahli ibadah pada
zamannya.

Maka Yahya bin Yafan memegang cambuk kudanya dan mengucapkan salam kepada Syaikh itu. Syaikh
menjawab salamnya. Pada waktu itu, Yahya memakai pakaian kebesaran, lalu ia bertanya kepada Syaikh,
‘Wahai Syaikh, apakah pakaian yang saya pakai ini bisa untuk shalat?’ Syaikh itu tertawa. Lalu Yahya
bertanya, ‘Mengapa engkau tertawa?’ Syaikh itu menjawab, ‘Karena kerendahan akalmu dan
ketidaktahuanmu terhadap diri sendiri dan keadaanmu. Di mataku, kamu bagaikan anjing yang
berguling-guling di atas darah kering kemudian memakannya dan mengotorinya. Apabila ia akan kencing,
ia mengangkat kakinya agar tidak kecipratan air kencing. Dan kamu bagaikan wadah yang penuh barang
haram, kamu menanyakan tentang pakaian dan hamba-hamba yang telah engkau zalimi?’ Tiba-tiba
Yahya bin Yafan menangis dan turun dari kudanya, lalu meninggalkan kerajaannya dan menjadi
pembantu Syaikh itu.

Setelah Syaikh mengajari Yahya selama tiga hari, ia mendatanginya dengan membawa tali, lalu berkata
kepadanya, ‘Wahai sang penguasa, waktu bertamumu telah habis, berdiri dan carilah kayu bakar.’ Lalu
Yahya mencari kayu bakar dan membawanya ke pasar dengan menyungginya di atas kepala sehingga
93

orang-orang yang melihatnya menangis. Kemudian Yahya menjual kayu bakar itu, mengambil
keuntungannya, dan menyedekahkan sisanya. Yahya terus melakukan pekerjaan itu sampai wafat dan
dimakamkan. Makamnya sekarang sering diziarahi. Apabila Syaikh ‘Abdullah didatangi orang-orang yang
meminta doa kepadanya, Syaikh ‘Abdullah berkata, ‘Mintalah doa kepada Yahya bin Yafan, seorang
penguasa yang zuhud. Seandainya aku diuji dengan dianugerahi kerajaan seperti Yahya, sungguh aku
tidak mungkin bisa menjadi orang yang zuhud.'”

6. Para wali yang tinggal di air (Rijalul Ma’). Mereka adalah golongan yang menyembah Allah di dasar
laut dan sungai. Tidak ada seorang pun yang mengetahui mereka. Abu al-Badri, seorang yang jujur,
dapat dipercaya, mengetahui apa yang diceritakannya, hafid, dan dhabith terhadap apa yang ia kutip,
meriwayatkan bahwa Abu Su’ud bin Syibli, seorang pemimpin pada zamannya, berkata, “Ketika aku berada
di tepi sungai Tigris di Baghdad, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku apakah ada hamba Allah yang
menyembah-Nya di dalam air? Belum sempat aku memikirkannya, tiba-tiba sungai Tigris terbelah dan
muncullah seorang laki-laki dengan mengucapkan salam kepadaku dan berkata, ‘Ada, wahai Abu Su’ud.

Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembah-Nya di air. Aku adalah salah satunya. Aku berasal
dari Tikrit. Aku meninggalkan Tikrit karena suatu hari nanti akan terjadi sesuatu di sana.’ Laki-laki itu
menceritakan kejadian yang akan muncul di Tikrit itu, lalu tiba-tiba ia menghilang. Setelah lima belas
hari berlalu, terjadilah kejadian seperti yang telah diramalkan oleh laki-laki itu. Ia telah memberitahuku
kejadian yang akan terjadi.”

7. Orang-orang yang sendirian (Afrad). Jumlahnya tidak bisa dihitung. Mereka adalah orang yang
mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ketentuan syara’. Salah seorang dari

mereka adalah Muhammad al-Awani yang dikenal dengan sebutan Ibnu Qaid Adanah, salah seorang
pegawai di Baghdad dan sahabat ‘Abdul Qadir al-Jili. ‘Abdul Qadir al-Jili berkata tentang Ibnu Qaid, “Ia
adalah orang yang mulia dan ‘Abdul Qadir al-Hakim menganggapnya termasuk golongan Afrad, yaitu
orang-orang yang keluar ke daerah kutub dan tinggal di sana. Mereka adalah orang-orang yang setara
dengan malaikat yang terus-menerus mengagungkan Allah dan selalu berusaha menghadirkan-Nya
dalam hati.

Mereka tidak mengenal apa-apa selain Allah dan tidak bereaksi kecuali apa yang mereka ketahui
tentang-Nya. Mereka juga tidak mempunyai pengetahuan tentang hakikat mereka sendiri. Maqam mereka
berada di antara orang-orang yang jujur dan para nabi pembawa syariat. Maqam tersebut tidak diketahui
oleh kebanyakan ahli tariqat padahal termasuk maqam yang tinggi.”
94

8. Umana’, orang-orang yang terpercaya. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang
yang terpercaya.” Nabi juga pernah berkata tentang Abu ‘Ubaidah bin Jarah, “Dia adalah orang yang
terpercaya dari umat ini, semoga Allah meridhainya.” Mereka berasal dari kalangan Mulamatiyyah dan
tidak ada yang berasal dari kelompok lainnya. Umana’ adalah para mulamatiyyah yang mulia dan khusus.
Mereka tidak bisa dikenali karena tidak menampak-kan hal-hal yang luar biasa. Mereka hanya menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Apabila kiamat tiba, maka tampaklah maaam mereka di tengah-
tengah makhluk lainnya. Di dunia, mereka tidak dikenal. Nabi Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah
memiliki umana’ (orang-orang yang terpercaya),” dan kami tidak menyebutkan siapa orang-orang yang
terpercaya itu.

Ketika Nabi Musa mengikuti perjalanan Nabi Khidir, Allah menyuruh Nabi Khidir untuk tidak
memberitahu Musa terlebih dahulu tentang makna hal-hal aneh yang dilakukannya meskipun Musa
bertanya terus, dan Nabi Khidir menurutinya karena ia termasuk umana’, sampai tiba saatnya Khidir
memberitahukan maknanya kepada Musa. Jumlah umana’ bertambah dalam setiap tabaqat, karenanya
mereka tidak mengenal satu sama lain. Mereka tampak seperti mukmin yang awam. Hanya mereka yang
seperti ini, tidak wali lainnya.

9. Qurra’ r.a (para pembaca). Mereka adalah Ahlullah (kaum Allah) dan hamba-Nya yang khusus. Jumlah
mereka tidak terhitung. Nabi Saw. pernah bersabda, “Ahli Al-Qur’an adalah Ahlullah dan hamba-

Nya yang khusus.” Ahli Al-Qur’an adalah orang-orang yang menjaga Al-Qur’an dengan menghafal dan
mengamalkannya. Abu Yazid al-Busthami termasuk salah satu dari mereka. Barangsiapa berakhlak
dengan akhlak Al-Qur’an, berarti ia termasuk ahli Al-Qur’an. Barang-siapa yang ahli Al-Qur*an, maka ia
juga termasuk Ahlullah, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah. Sahl bin ‘Abdullah al-Tustari memperoleh
maqam ini padahal ia baru berumur enam tahun.

10. Ahbab r.a. (orang-orang yang dicintai dan mencintai Allah). Jumlahnya tidak terhitung, bisa
bertambah dan berkurang. Allah berfirman, Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (QS Al-Maidah [5]: 54). Karena mereka mencintai
Allah, maka Dia mengujinya, dan karena mereka mencintai Allah, maka Dia menyaring dan memilih
mereka. Kelompok ini terbagi menjadi dua. Pertama, kelompok yang sejak semula sudah dicintai oleh
Allah. Kedua, kelompok yang menaati Rasulullah Saw. sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, kemudian
ketaatan mereka menyebabkan mereka dicintai Allah. Allah berfirman, Barangsiapa menaati Rasul,
sesungguhnya ia telah menaati Allah (QS Al-Nisa’ *4+: 80).
95

Dan dalam firman-Nya yang lain, Allah berkata kepada Nabi Muhammad Saw., Katakanlah: “Jika kamu
benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu” (QS Ah ‘Imran *3+: 31). Allah
mencintai mereka karena ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan mencintainya sejak awal
tanpa usaha yang mereka lakukan (kelompok kedua), meskipun kedua kelompok tersebut sama-sama
dicintai oleh Allah. Maaam mereka diketahui oleh sesamanya, karena tampak jelas siapa yang mulia dan
yang dimuliakan. Tanda mereka adalah hati yang bersih tanpa noda sedikit pun. Mereka teguh
beribadah kepada Allah dan selaras dengan alam karena alam juga bergerak sesuai dengan aturan syara’,
yang baik dan yang jelek.

Mereka berhubungan dengan Allah sesuai dengan adab. Mereka membantu dan membenci karena Allah.
Allah berkata kepada orang yang dianggap mempunyai maqam ini, “Hai, hamba-Ku, apa yang telah kau
lakukan untuk-Ku?” Hamba itu menjawab, “Wahai Tuhanku, aku shalat dan menyembah-Mu dengan
sungguh-sungguh serta melakukan ini dan itu.” Ia menyebutkan perbuatan-perbuatan baik. Lalu Allah
berkata, “Perbuatan itu untukmu.” Mereka bertanya kepada Allah, “Wahai Tuhanku, apa maksud
ucapan-Mu?” Allah menjawab, “Apakah kamu menolong wali-Ku karena Aku dan memerangi musuh-Ku
karena aku.” Inilah perhatian Allah kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Allah berfirman, Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia
yang kamu sampaikan kepada mereka berita-berita Muhammad, karena rasa kasih sayang (QS Al-
Mumtahanah [60]: 1); Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang
itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara mereka, atau keluarga mereka.

Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan
mereka dengan pertolongan (QS Al-Mujadalah [58]: 22). Mereka adalah orang-orang yang teguh pendirian.
Hadis Rasulullah yang sahih juga menyatakan, “Aku harus mencintai orang-orang yang saling mencintai
karena aku, saling bergaul karena aku, orang-orang yang saling mencurahkan perhatian karena aku,
dan orang-orang yang saling berkunjung karena aku.”

11. Muhaddats (para wali yang diajak bicara oleh Allah atau malaikat). ‘Umar r.a. termasuk salah
seorang dari mereka. Sayyid Muhyiddin berkata, “Yang termasuk golongan mereka pada zaman kita adalah
Abu ‘Abbas al-Khasysyab dan Abu Zakaria al-Bihai di Ma’arrah tetangga ‘Umar bin Abdul ‘Aziz di Dir
Baqarah.” Golongan ini terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang diajak bicara oleh Allah melalui hijab,
seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Dan tidak ada seorang manusia pun yang Allah berkata-kata
dengannya kecuali melalui wahyu atau dari belakang hijab (QS Al-Syura’ *42+: 51).
96

Golongan ini tabaqahnya banyak. Kedua, golongan yang diajak bicara oleh para malaikat melalui hati
dan kadang telinga mereka. Mereka ditetapkan semuanya sebagai orang yang dapat diajak bicara oleh
para malaikat karena mereka telah melakukan riyadhah dan mujahadah. Jika jiwa bersih dari noda, maka
ia akan mencapai alam yang cocok dengan alam malaikat sehingga bisa mengetahui ilmu malakut dan
rahasia-rahasia yang diketahui oleh ruh-ruh yang mulia. Kemudian terukirlah dalam jiwa itu semua
makna yang ada dalam alam, sehingga ia dapat mengetahui hal-hal gaib. Meskipun para malaikat hanya
mempunyai satu tugas, tetapi setiap malaikat mempunyai maqam tersendiri Mereka mempunyai
beberapa tingkatan.

Jibril adalah malaikat yang paling tinggi tingkatannya, tetapi tingkatan dan kedudukan Mikail lebih tinggi
daripada Jibril. Israfil lebih tinggi daripada Mikail. Jibril lebih tinggi daripada Izrail. Wali yang mempunyai
hati seperti Israfil, mampu memberi pertolongan kepadanya, dan kedudukannya lebih tinggi daripada
orang yang memiliki hati seperti Mikail. Setiap Muhaddas diajak bicara oleh ruh yang sesuai dengannya.
Banyak Muhaddas yang tidak mengetahui siapa yang berbicara dengannya. Hal itu menunjukan adanya
kebersihan dan keikhlasan jiwa dan terangkatnya unsur-unsur dan rukun-rukun yang ada di dalamnya.
Dia adalah jiwa yang melampaui unsur-unsur jasmaniyahnya. Sebagian kelompok merasa cukup dengan
menjadi kelompok Muhaddats kedua.

Akan tetapi, itu bukan syarat kebahagian iman di akhirat sebab syaratnya adalah penyucian hati. Jika
Muhaddats memperoleh semua sifat ini dengan melakukan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
syariat, mengikuti Nabi, dan beriman secara pasti, maka ia pantas mendapatkan berita yang
membahagiakan. Apabila ketaatannya kepada Nabi disandarkan pada pembicaraan Allah kepada mereka,
maka mereka termasuk dalam Muhaddats yang pertama, yang telah kami sebutkan mempunyai
beberapa tingkatan.

12. Akhilla’ r.a. (para kekasih). Jumlahnya tidak terbatas, bisa bertambah dan berkurang. Allah berfirman,
Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya (QS Al-Nisa’ *4+: 125). Nabi Muhammad Saw.
bersabda, “Kalau aku ingin menjadikan seseorang sebagai kekasih (khalil), niscaya aku akan menjadikan
Abu Bakar sebagai kekasihku, akan tetapi temanmu itu adalah kekasih Allah.”

13. Sumara’. Jumlah mereka tak terbatas. Mereka adalah Muhaddats yang khusus, karena mereka hanya
berbicara dengan Allah, tidak dengan para malaikat.
97

14. Waratsah (para ahli waris). Mereka ada tiga macam, yaitu yang menganiaya (bersikap keras pada)
diri sendiri demi melakukan kebaikan, yang bersikap tengah-tengah (sedang-sedang saja) dalam
melakukan kebaikan, dan yang lebih dahulu berbuat kebaikan. Allah berfirman, Kemudian kitab itu Kami
wariskan kepada hamba-hamba pilihan Kami. Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
(zhalimun linafsihi), ada yang bersikap tengah-tengah ( muqtashid ), dan ada yang lebih dahulu berbuat
kebaikan (sabiqun bil khairat) dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar (QS Fathir
[35]: 32). Nabi juga bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.”

Adapun maksud firman Allah tentang para pewaris pilihan yang menganiaya diri sendiri adalah Abu Darda’
dan lain-lain yang bersikap keras (menganiaya) pada diri mereka sendiri demi melakukan kebaikan,
sehingga mereka berbahagia di akhirat kelak. Hal itu dinyatakan dalam sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya
dirimu mempunyai hak dan matamu mempunyai hak.” Apabila seseorang puasa terus- menerus dan selalu
terjaga di waktu malam untuk beribadah, maka ia telah menganiaya diri sendiri, karena dirinya dan
matanya mempunyai hak untuk tidur dan makan. Kezaliman pada diri sendiri untuk tujuan ibadah.

Oleh karena itu, firman Allah (zalim linafsihi) artinya adalah keinginan dan usaha keras, karena jiwa
selalu cenderung untuk mendapatkan keringanan dan istirahat. Maka Nabi menganjurkan dua hal tersebut
karena mereka adalah orang-orang lemah. Dan dalam firman-Nya (zhalimun linafsihi), Allah tidak
bermaksud menunjukkan orang yang berbuat kezaliman yang dilarang syara’, karena orang yang
melanggar syara’tidak disebut sebagai hamba pilihan.

Adapun golongan kedua yang termasuk pewaris kitab adalah muqtashid, yaitu orang yang memberikan hak
berupa kenikmatan dunia kepada dirinya agar kenikmatan itu bisa digunakan untuk mengabdi kepada
Allah dengan memanfaatkan istirahat dan berbuat kebaikan. Artinya, mereka mempunyai keinginan kuat
(azimah) untuk berbuat baik dan memanfaatkan kemudahan (rukhsah) yang diberikan kepadanya. Di
samping giat mengisi malam dengan ibadah, seorang muqtashid juga tidur untuk istirahat. Demikian juga
dengan amal-amal lainnya.

Sabiqun bil khairat adalah orang yang bersegera melakukan pekerjaan sebelum masuk waktunya, sehingga
ia selalu siap. Ketika waktunya sudah masuk, ia segera melakukan kewajibannya tanpa ada yang
menghalangi, seperti berwudhu sebelum masuk waktu shalat dan duduk di masjid sebelum waktu shalat.
Ketika waktu shalat tiba, ia sudah dalam keadaan suci sehingga bisa segera melakukan kewajiban
shalatnya. Demikian juga bagi orang yang mempunyai harta, ia akan segera mengeluarkan zakat dan
98

menunaikannya ketika masuk satu tahun, kemudian membayar zakat kepada amil sebagai kewajibannya
kepada Tuhan di awal tahun kedua.

Demikianlah, ia segera melakukan semua perbuatan baik, sebagaimana Sabda Nabi kepada Bilal,
“Dengan apa engkau menyusulku ke surga?” Bilal menjawab, “Setiap berhadas, aku selalu berwudhu,
dan setiap selesai wudhu, aku selalu melakukan shalat dua rakaat.” Rasulullah kemudian bersabda,
“Engkau menyusulku ke surga dengan keduanya (wudhu dan shalat dua rakaat).” Itulah beberapa
contoh sabiqun bil khairat. Dan begitulah keadaan Rasulullah Saw. di tengah kaum musyrik ketika masih
muda. Waktu itu, beliau belum dibebani taklif (syariat), kemudian ia menjauhkan diri dari masyarakat
menuju Tuhannya dengan melakukan tahanuts (menyepi untuk beribadah). Beliau juga segera
melakukan kebaikan dan berakhlak mulia sampai Allah memberinya risalah kenabian.
99

Wali Yang Bisa Dihitung dan Tak Bisa Dihitung

1. Anbiya’ (para nabi). Allah menganugerahkan kenabian kepada mereka, yaitu orang-orang yang dipilih
Allah untuk diri-Nya dan untuk mengabdi kepada-Nya, hamba-hamba yang dikhususkan oleh-Nya di
hadapan Allah, disyariatkan untuk beribadah dan tidak diperintah untuk melakukan ibadah selain yang
diwajibkan. Maqam kenabian merupakan maqam kewalian yang khusus, mereka memperoleh ketetapan
tentang perkara-perkara yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah yang khusus untuk mereka bukan
untuk yang lainnya.

Dunia membutuhkan hal itu, karena dunia merupakan tempat mati dan hidup. Allah berfirman, Dialah
yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian (QS Al-Mulk [67]: 2). Taklif
(syariat) adalah ujian. Kewalian adalah kenabian yang bersifat umum, sedangkan kenabian yang diangkat
oleh Allah dengan membawa syariat adalah kenabian yang bersifat khusus.

2. Rasul (para rasul yang diberi risalah oleh Allah). Yaitu, para nabi yang diutus untuk sekelompok umat
manusia atau kepada seluruh umat manusia. Hanya Nabi Muhammad Saw. yang diutus untuk seluruh
umat manusia untuk menyampaikan perintah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhan kepadamu (QS Al-Maidah [5]: 67); Kewajiban Rasul
tidak lain hanyalah menyampaikan risalah (QS Al-Maidah [5]: 99). Maqam penyampaian itu dinyatakan
sebagai risalah bukan yang lain.

Sayyid Muhyiddin tidak membicarakan seputar maaam kenabian dan kerasulan ini, karena ia merasa
bukan nabi atau rasul. Ia menegaskan, “Haram bagiku membicarakannya, karena kami hanya
membicarakan apa yang pernah kami alami. Kami bisa berbicara tentang selain kedua maqam ini,
karena kami pernah mengalaminya dan Allah tidak melarangnya.”
10
0

3. Shiddiqun (orang-orang yang meyakini Allah dan Rasul-Nya). Allah telah menganugerahi mereka
keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang shiddiqin (QS Al-Hadid [57]: 19).
Shiddiq (bentuk tunggal dari shiddiqun) adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena
perkataan yang disampaikan Rasul, bukan karena dalil cahaya keimanan yang ada dalam hati yang
mencegahnya untuk meragukan perkataan Rasul.

Tidak ada maaam dan kedudukan di antara kenabian yang membawa syariat dan shiddiqah. Barangsiapa
yang menapaki jejak Shiddiqun, berarti ia menapaki kenabian. Barangsiapa mengaku mendapatkan
kenabian dengan membawa syariat setelah Nabi Muhammad Saw., maka ia telah berdusta dan kafir
terhadap apa yang dibawa oleh orang jujur yaitu Rasulullah Saw.

Meskipun begitu, maqam qurbah ada di atas maqam shiddiqah dan di bawah maqam kenabian yang
membawa syariat. Sayyid Muhyiddin r.a. berkata, “Maqam yang telah kami tetapkan berada di antara
maqam kenabian yang membawa syariat dan maaam shiddiaah, adalah maqam aurbah yang khusus untuk
Afrad. Kedudukan (Afrad) di mata Allah lebih rendah dibanding maaam kenabian yang membawa syariat
dan berada di atas maqam shiddiaah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rahasia yang diukirkan pada hati
Abu Bakar yang karenanya para Shiddiq dimuliakan. Tidak ada seorang pun di antara Abu Bakar dan
Nabi Muhammad Saw., karena Abu Bakar adalah teman yang meyakini kebenarannya dan tepercaya.”

4. Syuhada’ (orang-orang yang syahid). Allah menganugerahkan ‘kesaksian’ kepada mereka, yakni orang-
orang yang dekat dengan Allah, yang selalu menghadap Allah dengan pengetahuan yang luas tentang-
Nya. Allah berfirman, Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan hal itu (QS Ah ‘Imran *3+: 18). Allah
mengumpulkan mereka dengan para malaikat dalam menegakkan kesaksian. Mereka adalah yang
bertauhid kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Menjaga dan Azali. Mereka adalah orang-orang yang
bertauhid.

Kedudukan mereka menakjubkan dan keadaan mereka aneh. Mereka adalah saksi-saksi yang dimaksud
dalam ayat tersebut, orang-orang yang mengetahui Allah dan beriman setelah mengetahui firman Allah.
Nur seorang Shiddiq lebih sempurna daripada nur seorang Syahid, karena tauhid seorang Syahid
disebabkan oleh ilmu bukan keimanan, sedangkan tauhid seorang Shiddiq disebabkan oleh iman. Jadi,
maqam Syahid berada di atas maqam Shiddiq dari segi ilmu, sebaliknya maaam Shiddiq berada di atas
maqam Syahid dari segi iman dan keyakinan. 5. Shalihun (orang-orang yang saleh). Allah
100

menganugerahkan kesalehan kepada mereka dan menempatkan kedudukan mereka setelah Syuhada,
pada tingkat keempat.

Setiap nabi adalah orang yang saleh dan ia mengaku sebagai orang yang saleh sekaligus nabi Tingkatan
ini merupakan tingkatan khusus dalam kenabian, tetapi terkadang kesalehan juga dipunyai oleh bukan
nabi, Shadiq, atau Syahid, hanya saja kesalehan para nabi dimulai sebelum mereka. Orang-orang saleh
adalah orang-orang yang tidak mempunyai cacat dalam perbuatan dan keimanan mereka kepada apa yang
berasal dari Allah. Apabila ada cacat, maka batallah kedudukannya sebagai orang saleh. Kesalehan seperti
inilah yang disukai para nabi. Jadi, setiap orang yang tidak ada cacat dalam keyakinan, kesaksian, dan
kenabiannya, maka ia termasuk orang yang saleh. 6. Muslimun wa Muslimat (orang-orang muslim).

Allah menganugerahi mereka islam, yaitu ketundukan secara khusus kepada apa yang berasal dari Allah,
bukan yang lain. Jadi, seorang hamba yang berserah diri kepada segala kewajiban, syarat, dan kaidah Allah
disebut muslim. Apabila ada sedikit syarat yang tidak terpenuhi, maka ia bukan Muslim. Rasulullah Saw.
bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lainnya.”
Makna “tangan” di sini adalah kekuasaan, artinya kekuasaan yang dimiliki seorang muslim tidak
mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Islam atau menentang hukum
Allah terhadap muslim lainnya. Kata “lidah” disebutkan karena terkadang lidah lebih menyakitkan
daripada tindakan. Nabi Saw. tidak menganggap seseorang sebagai muslim, kecuali jika ia menjaga diri dari
menyakiti muslim lainnya.

7. Mukminun wa Mukminat (orang-orang mukmin). Allah menganugerahi mereka iman, baik dalam
perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Menurut etimologi bahasa dan syariat, esensi iman adalah
keyakinan. Sedangkan makna iman dalam perkataan dan perbuatan didasarkan pada syariat, bukan secara
bahasa. Jadi, orang mukmin adalah orang yang perkataan dan perbuatannya sesuai dengan apa yang
diyakininya tentang perkataan dan perbuatan itu.

Oleh karena itu, Allah berfirman mengenai orang-orang mukmin, Sedang cahaya mereka bersinar di
hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah
bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami” (QS Al-Tahrim *66+: 8). Maksud “cahaya” di sini adalah amal
saleh mereka di dunia di hadapan Allah. Mereka adalah orang-orang yang dijanjikan Allah akan
mendapat ampunan dan pahala yang besar.
101

Rasulullah Saw. juga bersabda, “Orang mukmin adalah orang yang dipercaya manusia untuk menjaga harta
dan jiwa mereka.” Dalam hadis lain, Rasulullah Saw. bersabda, “Orang mukmin adalah orang yang
tetangganya aman dari kejelekannya.” Dalam kedua hadis tersebut, Rasulullah tidak menyebutkan
“manusia” dan “tetangga” yang mukmin atau muslim, tetapi menyebutkannya secara umum tanpa
batasan. Sedangkan dalam hadis tentang orang muslim sebelumnya, Rasulullah menyebutkan bahwa
orang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti “muslim lainnya”, bukan manusia
secara umum Kita tahu bahwa iman mempunyai sifat khusus yaitu pembenaran secara taklid tanpa ada
dahi sehingga bisa dibedakan antara iman dan ilmu.

Perlu diketahui, bahwa pengertian mukmin secara terminologis adalah orang yang menempuh jalan
Allah berdasarkan syariat Seorang mukmin memiliki dua tanda dalam dirinya. Kalau ia mempunyainya,
maka ia termasuk golongan mukmin. Tanda pertama, meyakini hal-hal gaib tanpa keraguan seperti
menyaksikannya secara langsung. Tanda kedua, iman yang ada dalam diri seorang mukmin mempengaruhi
semua orang, sehingga mereka mempercayakan harta, jiwa dan keluarga mereka secara penuh kepadanya
tanpa kekhawatiran sedikit pun. Semua itu merupakan bukti bahwa ia termasuk orang-orang mukmin.
Kalau dua tanda tersebut tidak ada dalam diri seseorang, maka ia tidak termasuk golongan orang mukmin
sebagaimana yang telah kami sebutkan.

8. Qanitun wa Qanitat (orang-orang yang taat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kepatuhan,
yakni menaati semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah berfirman. Peliharalah
segala shalatmu, dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu’ (QS Al-Baqarah [2]: 238). Artinya, jadilah orang-orang yang taat. Dalam ayat lain, Allah
berfirman, Laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya. (QS Al-Ahzab [33]: 35) Sayyid
Muhyiddin bercerita, “Suatu hari, saya bertemu seorang pengemis dan di sisi saya ada seorang hamba
yang saleh bernama Al-Hajj Madur Yusuf al-Astaji, seorang dari golongan umiyyin yang mempergunakan
seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah.

Pengemis itu berkata, ‘Siapa yang ingin bersedekah untuk mendapatkan ridha Allah/ Ada seorang laki-
laki membuka tempat uang berisi dirham yang dimilikinya, memilih beberapa dirham pecahan kecil, lalu
memberikannya kepada si pengemis. Al-Hajj Madur memperhatikan lelaki itu, lalu berkata kepada saya,
‘Wahai Fulan, tahukah kau mengapa lelaki itu memilih-milih dirham yang akan diberikannya kepada si
pengemis?’ Saya menjawab, ‘Tidak.’ Al-Hajj lalu berkata, ‘Ia adalah orang yang saleh di sisi Allah, sebab
ia bersedekah kepada si pengemis karena mengharap ridha Allah, maka nilai dari apa yang
disedekahkannya karena Allah itu tergantung kepada Allah.”
102

Akan tetapi menurut kami, salah satu syarat orang yang amit (patuh) kepada Allah adalah ia menaati
Allah karena ia hamba Allah, bukan karena mengharapkan ganjaran dan pahala yang dijanjikan Allah
bagi orang yang taat kepada-Nya. Adapun ganjaran yang diterima seorang aanil tergantung pada apa
yang mendorongnya untuk taat kepada Allah, bukan pada keadaan yang mengharuskannya untuk taat.

9. Shadiqun wa Shadiqat (orang-orang yang benar dan jujur). Allah menganugerahi mereka kejujuran
dalam ucapan dan keadaan mereka. Allah berfirman. Orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah. (QS Al-Ahzab [33]: 23)

10. Shabirun wa Shabirat (orang-orang yang sabar). Allah menganugerahi mereka kesabaran. Mereka
adalah orang-orang yang memenjarakan diri kepada Allah untuk selalu menaati-Nya tanpa batas waktu,
sehingga Allah juga melimpahkan pahala tanpa batas waktu atas perbuatan mereka, sebagaimana
dinyatakan dalam firman Allah, Sesungguhnya hanya orang-orang sabarlah yang dicukupkan pahalanya
tanpa batas (QS Al-Zumar [39]: 10). Kesabaran mereka tak terbatas waktu dan menyeluruh di setiap
tempat yang menuntut mereka sabar. Sebagaimana mereka mengikat diri untuk selalu mengerjakan
perintah Allah, mereka juga mengikat diri untuk selalu meninggalkan larangan-Nya.

Ketika datang cobaan dan bahaya, mereka juga manahan diri untuk tidak meminta pertolongan, syafaat,
dan bantuan kepada selain Allah. Kesabaran mereka tidak ternoda oleh rasa sakit yang menyebabkan
mereka mengadu kepada Allah agar melenyapkan cobaan itu. Tidakkah kalian lihat Nabi Ayyub a.s.
ketika memohon kepada Allah untuk menghilangkan derita yang dialaminya. Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara yang penyayang (QS
Al-Anbiya’ *21+: 83). Nabi Ayyub mengadukan penyakitnya kepada Allah dengan berkata, Engkau Maha
Penyayang di antara yang penyayang. Dalam doa ini, Ayyub mengungkapkan sebab-sebab penderitaannya
dan mengadukannya kepada Tuhan agar menghilangkan derita yang menimpanya.

Tuhan mengabulkan doanya dan menghilangkan penderitaan itu, sebagaimana dinyatakan dalam
firman-Nya, Maka Kami pun mengabulkan permohonannya (QS Al-Anbiya’ *21+: 84). Allah juga menguji
kesabaran Ayyub dalam firman-Nya, Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya (QS Shad [38]: 44). Artinya, Ayyub kembali
kepada Allah dalam menghadapi cobaan-Nya. Allah juga memuji ibadah Ayyub. Bila doa yang
dipanjatkan Ayyub kepada Allah agar kemalangan dan cobaan itu hilang bertentangan dengan
kesabaran yang disyariatkan, maka Allah tidak akan memuji Ayyub sebagai orang yang sabar, padahal
Dia sungguh-sungguh memuji Ayyub.
103

Bahkan menurut kami, termasuk akhlak yang buruk terhadap Allah, jika seorang hamba tidak memohon
kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaannya, karena sikap seperti itu mengandung kesenangan
melawan kekuasaan ilahiah dengan kesabaran dan kekuatan yang diperolehnya. Seorang ‘arif (yang
mengetahui dan mengenal Allah) berkata, “Allah telah membuatku lapar, sehingga aku menangis.”
Seorang yang ‘arif, meskipun ia memperoleh kekuatan dan kesabaran, ia tetap merasa lemah, beribadah,
dan berbuat baik, karena semua kekuatan adalah milik Allah, maka ia memohon kepada Allah untuk
melenyapkan penderitaannya atau menjaganya agar tidak berburuk sangka terhadap penderitaan yang
menimpanya.

Sikap seperti ini ini tidak berlawanan dengan rasa ridha terhadap qaadha (ketentuan Allah sebelum
jaman azali), karena cobaan berupa penderitaan mengarah pada qadha. Ia rela dengan ketentuan Allah
dan memohon kepada-Nya untuk menghilangkan penderitaan yang sudah digariskan oleh-Nya itu,
sehingga ia menjadi orang yang ridha dan sabar. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang sabar yang
dipuji oleh Allah.

Ada seorang sayyid menangis karena lapar. Lalu ia ditanya, “Kamu siapa? Apakah kamu menangis karena
lapar?” Ia menjawab, “Allah telah membuatku lapar sehingga aku menangis.” Ini adalah ucapan orang
yang mengetahui Allah, berjalan lurus menuju Allah, serta mengenal diri dan Tuhannya.

11. Khasyi’un wa Khasyi’at (orang-orang yang selalu khusyuk). Mereka dikaruniai kekhusyukan dalam
beribadah kepada Allah. Kekua-saan Allah tampak dalam hati mereka di dunia.

12. Mutashaddiqun wa Mutashaddiqat (orang-orang yang suka bersedekah). Allah menganugerahi mereka
kedermawanan, karena mereka selalu mendermakan karunia Allah kepada makhluk Allah yang
membutuhkannya. Allah menjadikan makhluk miskin agar mereka membutuhkan-Nya.

13. Shaimun wa Shaimat (orang-orang yang selalu berpuasa). Allah menganugerahi mereka kemampuan
menahan diri dari segala sesuatu yang menyebabkan mereka mulia di sisi Allah. Allah memerintahkan
mereka untuk menahan diri dan anggota badan mereka. Perintah Allah ada yang wajib dan ada yang
sunnah.

14 Hafizhun wa Hafizhat (orang-orang yang selalu menjaga aturan-aturan Allah). Mereka dianugerahi
penjagaan ilahiyah, sehingga mereka senantiasa menjaga hal-hal yang harus mereka jaga. Mereka terdiri
104

dari dua tingkatan, yang khusus (elit spiritual) yaitu yang selalu menjaga kemaluan mereka, dan yang
awam yaitu yang selalu memelihara aturan-aturan Allah.

15. Dzakirun wa Dzakirat (orang-orang yang banyak berzikir). Allah menganugerahi mereka ilham zikir agar
senantiasa ingat kepada Allah sehingga Allah pun selalu mengingat mereka. Allah berfirman. Karena itu,
ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu (QS Al-Baqarah [2]: 152). Dalam hadis qudsi
Allah berfirman, “Barangsiapa mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga mengingatnya dalam diri-Ku.
Barangsiapa mengingat-Ku dalam seluruh zikirnya, niscaya aku juga mengingatnya lebih dari itu.” Dalam
hadis qudsi lain Allah berfirman, “Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan
mendekatinya sehasta.” Firman-Nya yang lain menyatakan. Katakanlah hai Muhammad: “Jika kamu benar-
benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihmu (QS Ali Tiruan [3]: 31). Zikir adalah maqam
yang tertinggi, karena itu orang yang selalu berzikir memiliki derajat di atas maqam lainnya.

16. Taibun wa Taibat (orang-orang yang selalu bertobat). Allah menganugerahi mereka kemampuan
bertobat dalam segala hal atau dalam satu hal yang berlaku dalam segala maqam. Mereka selalu
bertaubat kepada Allah dari potensi mukhalafah (kemungkinan untuk menentang Allah) yang ada dalam
diri manusia. Dalam sehari, bisa seribu kali mereka bertobat kepada Allah dari potensi mukhalafah ini.
Orang-orang yang bertobat adalah kekasih Allah berdasarkan nash Al-Qur’an yang pasti benar. Tidak ada
kebatilan dalam Al-Qur’an baik di depan maupun di belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang
Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS Fushshilat[41]:42)

17. Mutathahhirun wa Mutathahhirat (orang-orang yang selalu menyucikan diri). Allah menganugerahi
mereka kesucian, karena mereka selalu menyucikan diri. Penyucian diri mereka bersifat hakiki, tidak
sekedar tindakan praktis bersua, yaitu sifat yang di firmankan Allah, Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri (QS Al-Baqarah [2]: 222). Orang-orang
yang menyucikan diri, penempuh jalan ini, adalah hamba-hamba Allah yang menjadi wali Mereka
menyucikan diri dari segala sifat yang menghalanginya untuk masuk menuju Tuhannya. Oleh karena itu,
disyariatkan bersuci sebelum menunaikan shalat, karena shalat adalah jalan masuk untuk bermunajat
kepada Tuhan.

18. Hamidun wa Hamidat (orang-orang yang selalu memuji Allah). Allah menganugerahi mereka
kemampuan untuk selalu memuji-Nya. Mereka adalah orang-orang yang memperoleh hasil dari
perbuatannya. Allah berfirman. Dan kepada Allah-lah kembalinya segala urusan (QS Al-Hajj [22]: 41). Orang
yang selalu memuji Allah adalah orang yang berpandangan bahwa pujian bersifat universal, bisa dilakukan
oleh seluruh makhluk, baik ia ahlullah maupun bukan, baik yang dipujinya itu Allah maupun
105

sesama makhluk, karena pada hakikatnya seluruh pujian akan kembali kepada Allah, tidak kepada selain-
Nya.

Segala puji hanya milik Allah, bagaimana pun adanya. Al-Hamidun wa al-Hamidat yang dipuji oleh Allah
dalam Al-Quran adalah orang-orang yang selalu memperhatikan tujuan segala perbuatan sejak awal, maka
sejak awal mereka telah menentukan bahwa segala pujian yang mereka lakukan kembali kepada Allah.
Mereka adalah orang-orang yang memuji penyak-sian mereka akan Allah dalam segenap pengungkapan
diri-Nya (syuhud) melalui lisan kebenaran. 19. Samun (orang-orang yang mengadakan pengembaraan
spiritual), yakni orang-orang yang berjihad dijalan Allah (Mujahidun). Rasulullah Saw. bersabda,
“Perjalanan umatku adalah berjihad di jalan Allah, dan Allah berfirman, Mereka itu adalah orang-orang
yang bertobat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang mengembara, yang rukuk, yang sujud, yang
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum- hukum Allah.
Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu (QS Al-Taubah [9]: 112).

Pengembaraan di bumi ini dilakukan untuk mengambil pelajaran dari bekas-bekas peninggalan masa lalu
dan umat-umat terdahulu yang telah musnah. Oleh karena itu, orang-orang yang memperoleh
ma’rifatullah mengetahui bahwa bumi tumbuh dan berkembang karena selalu berzikir kepada Allah.
Saihun adalah adalah orang-orang yang suka berbuat baik dan mengutamakan hak orang lain. Mereka
melihat bumi ini tidak pernah sepi dari orang-orang yang berzikir kepada Allah. Kerusakan peradaban tidak
akan terjadi di bumi, jika selalu ada orang yang berzikir. Sebagian orang ‘arif mewajibkan diri untuk
mengembara ke padang-padang pasir yang belum dijamah kecuali oleh orang-orang seperti mereka,
pantai-pantai, lembah-lembah yang dalam, pegunungan, dan padang rumput, sebagai bakti mereka
kepada orang-orang yang ada di sana. Mereka juga mewajibkan diri berjihad di daerah kafir yang tidak
menyembah Allah.

Oleh karena itu, Nabi menetapkan jihad sebagai perjalanan umat Islam. Jika di suatu daerah, tidak ada
orang yang kafir dan tidak ada orang yang berzikir, itu lebih sedikit kesedihan dan kesulitannya
dibanding daerah yang menyembah selain Allah dan kafir kepada-Nya yang disebut daerah musyrik dan
kafir. Perjalanan untuk berjihad di suatu daerah lebih utama daripada perjalanan untuk selain jihad,
dengan syarat harus memperingatkan masyarakat daerah tersebut untuk mengingat kepada Allah.
Karena mengingat Allah dalam berjihad lebih utama daripada bertemu musuh dan menyerangnya,
dalam artian menegakkan kalimat Allah di tempat-tempat orang yang menyembah selain Allah, mereka
itulah para Saihun.
106

Sayyid Muhyiddin menjelaskan, “Saya pernah bertemu dengan salah seorang tokoh mereka, Yusuf
Maghawari Al-Jala. Ia telah mengembara di daerah-daerah kafir selama 20 tahun. Ahmad bin Humam al-
Syiqaq di Andalusia adalah seorang pemuda yang menetap di daerah musuh dan termasuk pemuka
golongan ini, meskipun ia masih muda karena sejak usianya belum mencapai baligh, ia telah
memutuskan untuk beribadah kepada Allah dan tetap istiqamah dalam keadaan seperti itu sampai wafat.”

20. Raki’un wa Raki’at (orang-orang yang selalu rukuk). Dalam kitab-Nya yang mulia (QS Al-Taubah [9]:
112), Allah menyifati mereka sebagai orang-orang yang selalu rukuk, yakni selalu tunduk dan
merendahkan diri kepada Allah.

21. Sajidun (orang-orang yang selalu sujud). Allah menganugerahi mereka ketundukan hati. Mereka
tidak sombong, baik di dunia maupun di akhirat, suatu hal untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
merupakan sifat orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Sujud dilakukan untuk bersatu
dan menyaksikan Allah Swt. secara langsung.

Oleh karena itu, Allah berfirman, Dan sujudlah dan mendekatlah (kepada Tuhan) (QS Al-‘Alaq *96+: 19).
Maksudnya, mendekat kepada Allah dengan penuh penghormatan, ketundukan, dan penyerahan diri.
Sebagaimana seorang raja berkata kepada seseorang yang menghadapnya lalu mendekatinya sambil
berlutut di hadapannya, “Mendekatlah, mendekatlah,” sampai posisinya sangat dekat dengan raja. Jadi
firman Allah di atas mengandung makna “mendekatlah dalam keadaan sujud”. Untuk memberitahukan
bahwa bahwa Allah telah menyaksikan orang yang sujud kepada-Nya di hadapan-Nya, Dia berkata,
Mendekatlah, agar ia semakin mendekat kepada-Nya.

Sebagaimana difirmankan Allah dalam hadis qudsi, “Barangsiapa mendekat kepada-Ku satu jengkal,
maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta.” Jadi, mendekatnya seorang hamba kepada Tuhan
yang dilakukan karena perintah-Nya merupakan ketaatan dan penghormatannya yang paling besar dan
sempurna kepada Tuhan, karena berarti ia melaksanakan perintah tuannya berdasarkan penyingkapan
spiritual.

Inilah sujudnya orang-orang ‘arif yang telah disediakan bagi mereka dan orang-orang seperti mereka
rumah Allah (ka’bah), sebagaimana yang dinyatakan dalam perintah Allah kepada Nabi Muhammad, Dan
sucikanlah rumah-Ku ini untuk orang-orang yang tawaf, orang-orang yang beribadah, serta orang-orang
yang rukuk dan sujud (OS Al-Hajj [22]: 26). Dalam ayat lain, Allah berkata kepada Nabi Saw, Maka
107

bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersujud. (QS Al-
Hijr [15]: 98)

22. Amirun bi al-Ma’ruf (orang-orang yang selalu menyuruh kepada yang ma’ruf (yang
dikenal/diketahui/diakui; kebajikan). Allah menganugerahi mereka kemampuan untuk selalu mengajak
kepada yang ma’ruf atau mengajak kepada Allah. Tidak ada perbedaan antara mengajak kepada yang
ma’ruf dan mengajak kepada Allah, karena Allah adalah ma’ruf dan tak seorang pun mengingkari hal ini.
Allah berfirman, Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi,” niscaya mereka akan menjawab: “Allah.” (QS Al-Zumar [39]: 38), meskipun mereka itu
musyrik. Dan orang-orang musyrik itu berkata, “Kami tidak menyembah berhala-berhala), melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya (QS Al-Zumar [39]: 3). Semua
kepercayaan, agama, dan aliran pemikiran sepakat bahwa Allah adalah ma’ruf.

Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya,” karena Tuhan
itu ma’ruf. Barangsiapa mengajak kepada Allah, berarti ia mengajak kepada yang ma’ruf. Mereka berada
dalam tingkatan yang paling tinggi dalam menyuruh berbuat baik. Segala seruan kepada yang ma’ruf
termasuk dalam ketegori ini

23. Nahun ‘an al-munkar (orang-orang yang selalu mencegah dari yang mu tikar). Allah menganugerahi
mereka kemampuan untuk selalu mencegah dari yang munkar. Al-Munkar adalah berhala-berhala
(sesuatu yang dianggap sebagai sekutu Allah) yang dijadikan sesembahan oleh orang-orang musyrik karena
ketidaktahuan mereka dan mereka mengingkari tauhid ilahiyah. Karenanya orang yang berdusta atau
mendustakan disebut juga munkir (orang yang ingkar). Jadi, syirik itu tidak berdasar sama sekali.

24. Hulama’ (orang-orang yang murah hati/penyantun). Allah menganugerahi mereka kemurahan hati,
yaitu sikap tidak tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan, padahal ia mampu melakukannya
dan tidak ada yang menghalanginya. Tergesa-gesa menghukum suatu tindak kejahatan menunjukkan
rasa jemu dan tidak sabar.

25. Awwahun (orang-orang yang mudah iba). Sayyid Muhyiddin r.a. menjelaskan, “Saya bertemu dengan
seorang perempuan dari kalangan mereka, seorang pengumpul buah zaitun dari Andalusia bernama
Yasmin Masannah. Allah menganugerahi golongan ini perasaan mudah iba terhadap apa yang mereka
temui. Allah memuji kekasih-Nya, Ibrahim a.s., dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim benar-benar
seorang yang penyantun, pengiba, dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75).
108

Sifat santun dan iba itu membuat mrahim iba terhadap kaumnya yang menyembah patung-patung yang
mereka pahat sendiri, maka ia bermurah hati dan tidak segera menghukum mereka, meskipun ia
mampu menghancurkan mereka dengan berdoa kepada Allah. Oleh karena itu, Ibrahim disebut sebagai
orang yang halim (penyantun sehingga tidak tergesa-gesa menghukum mereka), Ibrahim berharap mereka
nantinya akan beriman dan memahami kaumnya. Berbeda dengan Nabi Nuh a.s. yang tidak memahami
kaumnya dan tidak bermurah hati kepada mereka, sebagaimana tersirat dalam ucapannya, Sesungguhnya
jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba- Mu dan hanya
akan melahirkan anak-anak yang berbuat maksiat dan kafir. (QS Nuh [71]: 27)

26. Tentara-tentara Allah yang mampu mengalahkan musuh, sebagaimana dinyatakan dalam firman
Allah, Sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (QS Al-Shaffat [37]: 173). Tentara-tentara yang
bertakwa, selalu waspada, pemalu, takut kepada Allah, sabar, dan membutuhkan Allah. Di antara mereka
ada yang ahli ibnu dan iman serta mampu menampakkan hal-hal luar biasa (karamah) sebagai bukti
maaam mereka. Mereka melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka dengan hal-hal luar
biasa, contohnya, orang-orang muslim yang menjadi tentara-tentara Allah. Sedangkan orang-orang
mukmin yang tidak mempunyai hal-hal luar luar biasa untuk melawan musuh, mereka bukan tentara
Allah meskipun mereka mukmin.

Dalam arti hias, setiap orang yang mampu melawan musuh dengan senjata yang dimilikinya, berarti ia
termasuk tentara Allah Swt. yang memiliki kemampuan mengalahkan dan menguasai musuh. Mereka
mampu mengalahkan musuh karena kekuatan yang diberikan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam
firman-Nya, Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh
mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS Al-Shaff [61]: 14).

27. Mukhbitun (orang-orang yang terpilih). Allah berfirman, Sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-
benar termasuk orang-orang pilihan yang baik (QS Shad [38]: 47). Allah menjadikan mereka sebagai pilihan,
seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Mereka adalah orang-orang terpilih (QS Al-Taubah [9]: 89), yaitu
orang-orang yang paling utama di antara yang lain. Orang-orang pilihan adalah orang yang ilmunya tentang
Allah melebihi orang lain, yang dicapai melalui jalan khusus yang hanya diketahui oleh orang- orang seperti
mereka.

28. Awwabun (orang-orang yang selalu bertobat kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan
untuk selalu bertobat kepada-Nya di segala keadaan. Allah berfirman, Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun bagi orang-orang yang bertobat (QS Al-Isra [17]: 25). Awwabun adalah orang yang
109

kembali kepada Allah dari segala arah tempat Iblis mendatangi manusia dari depan, belakang, kanan,
dan kiri Mereka mengembalikan semua itu kepada Allah sejak awal sampai akhir.

29. Mukhbitun (orang-orang yang runduk dan patuh). Allah menganugerahi mereka ketundukan dan
kepatuhan yakni ketenangan. Nabi Ibrahim a.s. berkata, Akan tetapi, agar hatiku tenang (QS Al-Baqarah
[2]: 260), maksudnya agar ia lega, tunduk, dan tenang di bumi ini Al-Mukhbitun adalah hamba-hamba
Allah yang merasa tenang karena Allah, hati mereka merasa tenteram, mempercayai Allah,
merendahkan diri di hadapan Yang Maha Meninggikan Derajat dan tunduk kepada kemuliaan-Nya.

Mereka adalah orang-orang yang diberi kabar gembira oleh Allah melalui Nabi-Nya, Dan berilah kabar
gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah. Yaitu orang-orang yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka,
orang-orang yang mendirikan sembahyang, dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang
telah Kami berikan kepada mereka (QS Al-Hajj [22]: 34-35). Inilah sifat-sifat al-Mukhbitun.

30. Munibun (orang-orang yang selalu kembali kepada Allah). Allah menganugerahi mereka kemampuan
untuk selalu kembali kepada Allah Swt., seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Ibrahim itu
benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah (QS Hud [11]: 75). Orang-
orang yang selalu kembali kepada Allah adalah orang-orang yang mengembali

kan segala sesuatu kepada Allah. Allah memerintahkan mereka untuk selalu kembali kepada-Nya disertai
persaksian bahwa mereka benar-benar telah kembali kepada-Nya.

31. Mubshirun. Allah menganugerahi mereka kemampuan melihat kesalahan-kesalahan mereka dengan
mata hati. Ini adalah salah satu sifat khusus orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dinyatakan dalam
firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan,
mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A’raf
[7]: 201)

32. Muhajirun wa Muhajirat (orang-orang yang berhijrah). Allah menganugerahi mereka kemampuan
untuk berhijrah yang diilhamkan dan difahamkan kepada mereka. Allah berfirman, Barangsiapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya
(sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah (QS Al-Nisa’ [4]:
100). Al-Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan untuk ditinggalkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.
110

33. Musyfiaun (orang-orang yang selalu berhati-hati). Allah menganugerahi mereka kehati-hatian karena
selalu takut kepada Tuhan, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang berhati-
hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (QS Al-Mukminun [23]: 57). Orang sering berkata, “Aku takut
kepadanya, maka aku berhati-hati terhadapnya.” Allah berfirman, Orang-orang yang takut terhadap azab
Tuhan-Nya.

Karena sesungguhnya manusia tidak dapat merasa aman dari datangnya azab Tuhan (QS Al-Ma’arij *70+:
26-27). Maksudnya, mereka berhati-hati terhadap siksa Tuhan, tidak merasa aman dari datangnya siksa
itu. Para wah yang selalu berhati-hati adalah wah yang takut dirinya akan berubah, jika Allah menenangkan
hati mereka dengan adanya kabar gembira bagi mereka, maka mereka mengalihkan kehati-hatian
tersebut menjadi rasa kasih sayang terhadap makhluk Allah, seperti kasih-sayang para rasul kepada
umatnya.

34. Orang-orang yang dianugerahi Allah kemampuan untuk selalu menepati janji (Wafi), sebagaimana
dinyatakan dalam firman-Nya, Dan orang-orang yang menepati jmji apabila ia berjanji (QS Al-Baqarah [2]:
177); Orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian (QS Al-Ra’d ,13+: 20).
Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ingkar janji. Menepati janji adalah salah satu sifat khusus
ahlullah (kaum Allah) dan barangsiapa melaksanakan segala yang diperintahkan Allah kepadanya dengan
sempurna atau bahkan lebih, maka ia termasuk orang yang menepati dan menyempurnakan janji.

Allah berfirman, Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (QS Al-Najm [53]: 37); Dan barangsiapa
selalu menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar (QS Al-Fath [48]:
10. Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat rahasia-rahasia ilahiyah yang tersembunyi
Barangsiapa menunaikan semua yang dibebankan Allah kepada-nya dan mampu melihat pengetahuan-
pengetahuan yang disembunyikan Allah dari manusia kebanyakan, dialah Wafi.

35. Washilun (orang-orang yang selalu menyambung tali silaturrahmi). Allah menolong mereka untuk
selalu menyambung tali silaturrahmi, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah supaya dihubungkan (QS Al-Ra’d *13+: 21). Mereka
menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang mukmin yang dikucilkan karena pernah melakukan
kejahatan, minimal dengan mengucapkan salam kepada mereka, atau lebih dari itu yakni dengan
berbuat baik kepada mereka, dan tidak menghukum kejahatan mereka yang telah dimaafkan dan
dilupakan. Mereka tidak memutus tali silaturrahmi dengan seorang pun makhluk Allah, kecuali jika Allah
memerintahkan mereka untuk menjauhi seseorang, maka mereka membenci sifat atau perbuatan orang
itu, bukan orangnya.
111

36. Khaifun (orang-orang yang takut kepada Allah). Allah menganugerahi mereka rasa takut kepada-Nya,
atau takut karena mengikuti perintah-Nya. Allah berfirman, Takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar
orang yang beriman (QS Ali ‘Imran [3]: 175). Allah memuji sifat mereka dalam firman-Nya, Mereka takut
kepada suatu hari ketika hati dan penglihatan menjadi goncang (QS Al-Nur [24]: 37); Mereka takut
kepada hisab yang buruk (QS Al-Ra’d *13+: 21). Apabila mereka takut, mereka meniru sifat para malaikat,
seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya, Para malaikat itu takut kepada Tuhan mereka yang
berkuasa atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. (QS Al-Nahl [16]:
50)

37. Orang-orang yang menghindari sesuatu karena perintah Allah. Allah menganugerahi mereka
kemampuan untuk menghindari segala hal yang tidak berguna, sebagaimana dinyatakan dalam firman-
Nya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna (QS Al-
Mukminun [23]: 3); Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami
(QS Al-Najm [53]: 29).

38 Kurama’ (orang-orang yang mulia). Allah menganugerahi mereka kemuliaan jiwa, sebagaimana
dinyatakan dalam firman-Nya, Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya (QS
Al-Furqan [25]: 72). Artinya, mereka tidak memperhatikannya, tidak ternodai dan terpengaruh sedikit
pun oleh perbuatan orang-orang itu, dan melewatinya begitu saja tanpa menoleh dengan tetap menjaga
kemuliaan dirinya.
112

Penutup

Sayyid Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r .a. menjelaskan bahwa terlipatnya bumi (menempuh jarak bumi dalam
sekejap) bagi ahlul mujahadah (perang besar melawan nafsu) yang mempunyai kemampuan luar biasa
adalah tanda kesungguhan dan kegigihan mereka dalam beribadah dan bekerja, karena Allah Yang Maha
Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, lagi Maha Waspada, menyimpan hikmah dalam setiap munasabah
(kesesuaian), itulah yang menjadi landasan kitab ini (Mawaqi’ al-Nujum).

Suatu maqam tidak akan diperoleh, kecuali jika ada kesesuaian antara maqam itu dan sifat yang kita punya.
Seperti halnya mata, jika kita menggunakannya sesuai dengan perintah Allah Swt., baik yang wajib
maupun yang sunnah, dan bersegera menggunakan-nya dengan sebaik-baiknya, maka mata akan dapat
bermusyahadah.

Apabila kita diberi kemampuan munajat (doa dalam bentuk percakapan intim antara Allah dan manusia),
maka jiwa akan merasa bahagia dari segi pendengaran (telinga) bukan penglihatan (mata). Mata tidak
bisa merasakan kenikmatan munajat, karena hakikat fungsi mata adalah melihat dan mata tidak
mengenal munajat, pembicaraan, dan lain-lain. Pahala yang diberikan Allah Swt. senantiasa sesuai dan
cocok dengan yang menerimanya, karena
113

Dia senantiasa meletakkan sesuatu pada tempatnya (Maha Adil). Allah tidak menjadikan musyahadah
sebagai pahala bagi telinga dan munajat sebagai pahala bagi mata karena hakikatnya bukan begitu.
Meskipun kita menganggap logis bahwa mata bisa mendengar, pada hakikatnya kemampuan
mendengar itu bukan dilakukan oleh mata, tetapi dilakukan oleh telinga. Mata berfungsi untuk melihat
dan musyahadah. Jika seorang wali hanya memiliki satu sarana pengetahuan sebagaimana dikatakan
oleh sebagian wali, maka ia bisa mendengar dengan matanya dan melihat dengan telinganya. Hal
tersebut sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan.

Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia yang hanya diketahui oleh orang yang mendalam ilmunya
(rasikhuna fi al-‘ilmi). Apabila demikian, maka apa manfaatnya mata jika belum pernah merasakan
musyahadah. Oleh karena itu, bisa ditetapkan bahwa kemampuan seorang hamba untuk melipat bumi
(mengelilingi bumi dalam sekejap) dalam alam kabir merupakan hasil dari kemampuannya melipat unsur
tanah dalam dirinya dengan melakukan mujahadah dan macam-macam ibadah serta menjaga kesucian
dan menahan lapar selama bermalam-malam.

Begitu juga kemampuan berjalan di atas air bagi orang yang memberi makan orang yang membutuhkan,
memberi pakaian orang yang telanjang, baik dari hartanya maupun karena gaji atas kerja mereka,
mengajar orang yang bodoh, dan memberi petunjuk kepada para pencari ilmu. Kedua kemampuan ini
merupakan rahasia dua kehidupan, baik kehidupan panca indra maupun kehidupan ilmiyah. Ada hubungan
yang jelas antara dua kehidupan di atas dengan air. Barang siapa mampu menguasai dua kehidupan itu,
maka ia bisa menguasai air. Kapan pun ia mau, ia bisa berjalan di atasnya.

Begitu pula kemampuan menghidupkan orang yang mati dalam kehidupan ilmiah. Akan tetapi, Ibnu
‘Arabi tidak begitu yakin dengan karamah ini. Ibnu ‘Arabi hanya mengatakan bahwa apabila hal itu
terjadi, inilah sebab-sebab, asal, dan sumbernya. Apabila hal tidak terjadi, berarti itu bukan bagian orang
‘arif. Bagiannya hanya pada kedudukan dan rahasia-rahasianya saja. Sebagaimana orang yang mampu
berjalan di udara. Ia tidak bisa melakukan hal itu, kecuali jika ia meninggalkan nafsunya untuk mengikuti
keinginan Allah.

Ibnu ‘Arabi pernah terlihat berjalan di udara, kemudian ia ditanya, “Dengan cara apa kamu memperoleh
karamah ini?” Ia menjawab, “Kutinggalkan nafsuku untuk melaksanakan keinginan-Nya, sehingga Allah
menundukkan udara untuk-ku.” Dalam pengetahuan tentang munasabah, ilmu dan hikmah merupakan
ketetapan logika dan ketetapan ilahiyah yang mengandung hikmah.
114

Barangsiapa berpendapat bahwa Allah Swt. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hal di atas,
berarti ia tidak mempunyai pengetahuan tentang letak-letak hikmah. Allah berfirman. Makan dan
minumlah dengan enak disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (QS Al-
Haqqah [69]: 24), yakni hari-hari puasa. Allah tidak berfirman saksikanlah atau dengarlah, karena itulah
balasan yang sesuai atas puasa yang telah mereka lakukan.

Allah berfirman, Pada hari kiamat ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan
pertemuan mereka dengan hari ini (QS Al-A’raf *7+: 51); Demikianlah telah datang kepadamu ayat-ayat
Kami, tetapi kamu melupakannya, maka pada hari ini kamu pun dilupakan (QS Thaha [20]: 126); Jika
kamu mengejek Kami, maka Kami pun akan mengejek kamu sebagaimana kamu mengejek Kami (QS Hud
[11]: 38); Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang menertawakan orang-orang
yang beriman (QS Al-Muthaffifin [83]: 29). Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman tentang balasan
untuk orang-orang kafir, Pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir (QS Al-
Muthaffifin [83]: 34)). Lalu Dia menyempurnakan firman-Nya,

Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi balasan atas apa yang dahulu mereka lakukan (QS Al-
Muthaffifin [83]: 36). Allah membalas olok-olok orang-orang munafiq kepada orang-orang mukmin
sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Allah membalas olok-olok mereka (QS Al-Baqarah [2]: 15).
Ayat ini jawaban atas ayat sebelumnya, Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok. (QS Al-Baqarah [2]:
14) ^ fl i

Sebagian syaikh mimpi bertemu Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, lalu mereka bertanya, “Apa yang Allah lakukan
kepadamu?” Ibnu ‘Arabi menjawab, “Dia mengasihiku dan berkata kepadaku, ‘Makanlah hai orang yang
tidak makan! Minumlah hai orang yang tidak minum!'”

Mengapa Allah tidak mengatakan, “Makanlah, hai orang yang menghabiskan malam dengan membaca
Al-Qurvan! Minumlah, hai orang yang melewati hari-hari melelahkan!” Inilah kesesuaian yang
dianugerahkan Allah sebagai hikmah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia mengurutkan
sesuatu sesuai dengan urutannya, dan hanya sedikit pengetahuan tentang keruntutan yang kita peroleh.

Ketika Ibnu ‘Arabi membicarakan tentang astronomi, ia berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membuat
sesuatu itu sia-sia, seperti dinyatakan dalam firman-Nya, Ya Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua
ini sia-sia, Maha suci Engkau (QS Ah ‘Imran *3+: 191); Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi
serta apa yang ada di antara keduanya itu tanpa hikmah. Itu adalah anggapan orang-orang kafir (QS
Shad [38]: 27); Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan
bermain-main (QS Al-Anbiya’ *21+: 16).”
115

Setiap wujud pasti mengandung hikmah bagi orang yang mengetahuinya, yang tidak akan diketahui
orang bodoh. Dua wujud tidak akan menyatu dan bergabung, kecuali jika ada kesesuaian antara keduanya,
baik tampak maupun tidak tampak.

Apabila hal tersebut dicari dengan teliti, niscaya akan kelihatan. Seperti hikayat Imam al-Ghazali, salah
seorang pemimpin dan penghulu tariqah. Al-Ghazali bisa melihat kesesuaian itu dan mengemukakannya.
Pada suatu hari, ia melihat merpati dan gagak di Quds, keduanya saling mengendus, berkasih sayang,
dan tidak bermusuhan. Al-Ghazali kemudian berkata, “Keduanya berkumpul karena ada kesesuaian
antara keduanya.” Ia menunjuk kedua burung itu dengan jari, lalu kedua burung itu berjalan bersama. Lalu
masing-masing terbang.

Begitupula seorang penghulu syaikh di wilayah barat, Abu al-Naja yang terkenal dengan nama Abu
Madyan, telah mengalami hal ini. Pada suatu hari, Abu Madyan menemukan suatu ide. Lalu Abu Madyan
bertemu seseorang yang seide dengannya, tetapi ia merasa tidak senang dengan orang itu, maka ia
menanyainya, dan ternyata orang itu musyrik. Karena Abu Madyan mengerti ilmu munasabah, maka ia
meninggalkan orang itu.

Munasabah (kesesuaian) ada dalam hubungan antara segala sesuatu, dan pengetahuan tentangnya
merupakan maqam pengikut tariqah yang khawwash (khusus). Munasabah bersifat sangat samar dan
ada dalam segala sesuatu, bahkan antara sebuah nama dan yang mempunyai nama itu. Meskipun Abu
Zaid al-Suhaili tampak asing bagi para pengikut tariqah ini, tetapi dalam kitab Al-Ma’arif wa al-I’lam, ia
telah menunjukkan munasabah dalam nama Nabi Saw., “Muhammad” dan “Ahmad”. Dia menyatakan
bahwa ada munasabah (kesesuaian) antara perbuatan dan akhlak Nabi Saw. dengan nama
“Muhammad” atau “Ahmad”.

Orang-orang yang berbicara tentang munasabah biasanya adalah para tokoh dari kalangan orang-orang
yang dekat dengan Allah, beradab tinggi, serta menyibukkan diri dan hal mereka di jalan Allah..
Demikian penjelasan Ibnu ‘Arabi dalam kitab Mawaai’ al-Nujum.

Dalam bab 184 kitab Al-Futuhat al-Makiyyah, Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa karamah merupakan
kebenaran dari nama Allah, Al-Birru (Yang Maha Baik) dan hanya muncul pada hamba-hamba-Nya yang
baik sebagai pahala yang setimpal dengan amal mereka. Sesungguhnya munasabah menuntut adanya
karamah meskipun tidak ada tuntutan bagi orang yang mempunyai karamah. Karamah ada dua macam,
hissiyah dan ma’nawiyah.
116

Orang-orang awam hanya bisa mengetahui karamah yang bisa diindra (hissiyah), contohnya berbicara
lewat hati, memberitahu hal-hal gaib yang sudah terjadi dan kejadian yang akan terjadi, memperoleh
rezeki dari alam, berjalan di atas air, menundukkan udara, melipat bumi, menutup penglihatan,
terkabulnya doa seketika, dan lain-lain. Adapun karamah ma’nawiyah hanya diketahui oleh orang-orang
khawwas.

Hal itu karena orang-orang khaiuwas selalu menjaga etika syariat, berakhlak mulia, menghindari akhlak
yang buruk, selalu menunaikan kewajiban secara mutlak dan tepat waktu, segera mengerjakan kebaikan,
menghilangkan dengki, iri, dendam, dan buruk sangka terhadap orang lain dari dalam hati, menyucikan
hati dari segenap sifat tercela dan menghiasinya dengan selalu memelihara jiwa, menjaga hak-hak Allah
dalam dirinya dan dalam segala sesuatu, mencari jejak-jejak Allah dalam hatinya, memelihara jiwa dari
masuk dan keluarnya jejak-jejak itu.

Semua itu adalah karamah para wah yang bersifat ma’nawi yang tidak bisa dimasuki makr dan istidraj.
Karamah ma’nawi menunjukkan bahwa wah yang memilikinya telah memenuhi janji, mempunyai niat
yang baik, ridha dengan ketentuan Allah terhadap apa yang hilang dan sesuatu yang dibencinya.
Karamah semacam ini hanya bisa dimiliki oleh para malaikat yang dekat dengan Allah dan manusia-
manusia terbaik pilihan-Nya Karamah yang bisa diketahui oleh orang awam bisa dimasuki makr yang
tersembunyi.

Karena itu, menurut kami, karamah harus bisa menghasilkan sikap istiqamah atau istiqamah akan
menghasilkan karamah. Jika tidak demikian, tidak bisa disebut karamah. Jika karamah bisa menghasilkan
sikap istiqamah, maka mungkin Allah menjadikan karamah itu sebagai pahala dan balasan atas
perbuatanmu. Dengan kata lain, Allah memberikan perhitungan kepadamu dengan karamah
ma’nawiyah. Karamah ma’nawiyah tidak mungkin dimasuki makr yang tersembunyi Kekuatan dan
kemuliaan ilmu memberimu kemampuan untuk menangkal makr sehingga tidak masuk ke dalam
karamah ma’nawiyyah.

Hukum-hukum syara’ tidak bisa dimasuki perangkap makr. Karena hukum-hukum syara’ merupakan sarana
yang jelas untuk mendapat-kan kebahagiaan, sedang ilmu menjagamu agar tidak sombong dengan
perbuatanmu. Salah satu kelebihan ilmu adalah ia menjagamu, dan apabila ia menjagamu, maka kamu
akan selamat dari kesombongan, mendekatkanmu kepada Allah, dan memberitahukan kepadamu bahwa
pertolongan dan petunjuk-Nya akan muncul dari dirimu. Ilmu akan menjaga hukum-hukum syara’.
117

Apabila muncul karamah dalam diri seorang wah, ia takut kepada Allah dan memin ta-Nya untuk
menyembunyikan hal-hal luar biasa itu dan agar ia tidak dibedakan dari orang kebanyakan dengan
karamah yang diberikan kepadanya kecuali ilmu, karena ilmu adalah suatu kebutuhan. Dengan ilmu
orang akan bermanfaat meskipun belum sempat mengamalkannya. Sesungguhnya tidak sama orang-
orang yang tahu dengan orang orang-orang yang tidak tahu.

ra ulama adalah orang-orang yang percaya akan adanya percampuran (antara ilmu dan karamah). Karamah
hanya diberikan oleh Allah untuk orang-orang yang taat kepada-Nya karena mereka belum melihat wajah
Tuhan dalam dirinya Karamah mereka yang paling tinggi adalah ilmu, karena dunia adalah tempat ilmu,
sedangkan kejadian-kejadian luar biasa sesungguhnya tidak bertempat di dunia. Jadi, kejadian luar
biasa tidak bisa disebut karamah, kecuali disertai dengan ilmu tentang Allah (ma’rifat), tidak cukup
hanya dengan kejadian luar biasa itu saja. Itulah yang disebut ilmu. Jadi, karamah ilahi adalah ilmu
tentang Allah (ma’rifat) yang dianugerahkan Allah kepada para wali.

Abu Yazid r.a. pernah ditanya tentang kemampuan melipat (menempuh jarak dalam sekejap) bumi. Ia
menjawab, “Itu tidak seberapa, karena iblis juga menempuh jarak dari ujung barat sampai timur hanya
dalam sekejap, padahal ia tidak memiliki tempat di sisi Allah.”Selanjutnya Abu Yazid ditanya tentang orang
yang mampu

melayang di udara. Ia menjawab, “Burung juga bisa terbang di udara, padahal di sisi Allah seorang mukmin
lebih mulia daripada burung. Bagaimana mungkin apa yang bisa dilakukan burung bisa disebut karamah.”

Demikianlah penjelasan Abu Yazid, lalu ia berkata, “Tuhanku, sesungguhnya suatu kaum meminta
Engkau memberikan apa yang mereka sebutkan, sehingga dengan itu Engkau membuat mereka sibuk
dan ahli. Ya Allah, meskipun Engkau menjadikanku ahli tentang sesuatu, tapi berilah aku kemampuan
untuk mengetahui rahasia-Mu.” Abu Yazid hanya meminta ilmu, karena ilmu merupakan hadiah dan
karamah yang paling mulia. Meskipun dengan ilmu kamu bisa berhujjah, tetapi ilmu akan menjadikanmu
introspektif dan mengetahui apa yang baik dan buruk bagimu serta apa yang menjadi milik-Nya.

Allah tidak pernah memerintahkan Nabinya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali minta ditambah
ilmu. Karena semua kebaikan terletak di dalam ilmu. Ilmu adalah karamah yang paling besar. Orang
berilmu yang malas melaksanakan ibadah sunnah lebih baik daripada orang bodoh yang rajin
melaksanakan ibadah sunnah.
118

Banyak cara mendapatkan ilmu. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, hari akhir, sebab-
sebab dan tujuan dunia diaptakan, sehingga manusia bisa memikirkan asal-usulnya dan mengenal diri serta
aktivitasnya. Ilmu merupakan sifat segala sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Ilmu adalah rahmat Allah yang
paling mulia, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami
dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (QS Al-Kahfi [18]: 65). Ilmu adalah sumber rahmat.

Saya telah menjelaskan makna karamah. Karamah adalah pengetahuan ilahiyah yang diberikan
kepadamu sebagai karamah dari-Nya. Dengan karamah itu, Allah tidak mengurangi pahala akhiratmu
dan karamah itu juga bukan balasan atas perbuatanmu, tetapi balasan karena kamu mendatangi Allah.
Kamu mendatangi Allah karena ketidaktahuanmu, karena kamu tak melihatnya di awal kedatanganmu.

Hal ini pernah terjadi pada Abu Yazid, ketika ia keluar mencari Allah di Bustam untuk pertama kali. Abu
Yazid bertemu seseorang dan ia ditanya, “Wahai Abu Yazid, apa yang kau cari?” Abu Yazid menjawab,
“Allah.” Orang itu berkata lagi, “Yang kau cari itu kau tinggalkan di Bustam.” Dari jawaban itu, Abu Yazid
sadar mengapa ia mencari Allah padahal Dia telah berfirman, Dia bersamamu di mana pun kamu berada.
Jadi dalam hal ini, tidak ada ilmu dan tidak ada iman. Apabila Allah mengharamkanmu untuk mencapai
ilmu musyahadah, itu bukan berarti keimananmu kepada-Nya lebih kecil.

Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa hanya orang yang tidak mengetahui Allah, yang berusaha
mencari-Nya. Kelompok orang seperti ini berbuat karena Allah dan untuk mencari-Nya. Mereka adalah
orang-orang yang mendatangi Allah, sehingga Dia mendekat kepada mereka sebagai-mana mereka
mendekati-Nya, dan Dia memberitahu mereka bahwa kedatangan mereka itu dibolehkan secara khusus,
meskipun mereka belum mengetahui hal itu dari-Nya melalui pemberitahuan kepada mereka karena
dikhawatirkan ada makr ilahi di dalamnya, atau akan mengurangi pahala akhirat. Mereka mengharapkan
akhirat karena mereka belum diberi tatkala di dunia. Allah hanya menyatakan kebenaran dan Dia memberi
petunjuk. Demikianlah penjelasan Muhyiddin Ibnu ‘Arabi r.a.

Anda mungkin juga menyukai