NIM : 1707010231
Wimmie Handiwidjojo
2. DASAR TEORI
Pembangunan sistem informasi rumah sakit berbasis komputer akan membentuk
rumah sakit digital yang dapat dipahami dengan merujuk pada definisi perusahaan
digital dimana hampir semua proses bisnis dan hubungan dengan pelanggan,
pemasok, mitra kerja dan pihak internal perusahaan, serta pengelolaan aset-aset
perusahaan yang meliputi properti intelektual, kompetensi utama, keuangan dan
sumber daya manusia (SDM) dilakukan secara digital (Laudon, 2004, hal 6). SI
merupakan infrastruktur dasar pembentuk rumah sakit digital, karena suatu rumah
sakit dapat dikategorikan sebagai rumah sakit digital (secara administratif manajerial),
bila empat SI utamanya telah dikelola secara digital, yaitu: Supply Chain
Management Systems, Customer Relationship Management Systems, Enterprise
Systems dan Knowledge Management Systems (Laudon, 2004, hal 7).
Pengelolaan data Rumah Sakit sesungguhnya cukup besar dan kompleks, baik data
medis pasien maupun data-data administrasi yang dimiliki oleh rumah Sakit sehingga
bila dikelola secara konvensional tanpa bantuan SIMRS akan mengakibatkan
beberapa hal berikut:
Dengan bantuan SIMRS kelemahan diatas dapat di kurangi bahkan dihindari. SIMRS
membuat fungsi dari bagian perawatan lebih dikonsentrasikan pada pelayanan perawatan/jasa
medis secara profesional, fungsi penagihan dilakukan oleh bagian keuangan sedangkan
pemberian potongan menjadi wewenang direksi.
DAFTAR PUSTAKA :
Oetomo, Budi Sutedjo Dharma, 2002, ”Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi”,
Penerbit Andi
Nama : Eunike Dewa Dato
Nim : 1707010302
Kemampuan SIMRS
SIMRS yang ideal tentu harus dapat mengurangi beban kerja kerja masing-masing unit
pelayanan. Secara global diharapkan kemampuan sistem dapat i gambarkan sebagai
berikut:
1. Dapat mengurangi beban kerja berbagai unit, terutama unit rekam medis dalam
menangani berkas rekam medis. Unit rekam medis merupakan unit yang paling
sibuk dengan banyaknya berkas medis paien. Kegiatan yang dilakukan mulai dari
proses coding, indexing, ssembling, filing, semua dikelola di unit ini. Dengan
adanya SIMRS maka bagian inilah yang pertama untuk dimigrasikan menjadi
rekam medis elektronik. Sehingga semua proses di atas dilakukan secara otomatis
dengan komputer.
2. Dapat mengurangi pemakaian kertas. Denag adanya sistem ini, maka sudah
seharusnya pemakaian kertas dapat dikurangi dan bila perlu dihilangkan. Sistem ini
harus memangkas pemakaina kertas sebagai berikut:
Lembar-lembar rekam medis yang tidak berhubungan dengan masalah
utentifikasi atau aspek hukum.
Laporan masing-masing unit pelayan (semua laporan sudah terekap oleh
sistem0
Rekap laporan yang dikirim ke dinas kesehatan
3. Dapat mendukung pengambilan keputusan bagi para direktur dan manajer rumah
sakit karena sistem mampu menyediakan informasi yang cepat, akurat, serta
ankuntabel. Untuk keperluan ini sistem harus mampu menyediakan laporan yang
bersifat executive summary bagi mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Rusli. 2004. Telematika Indonesia: Kebijakan dan Perkembangan. Jakarta: Tim
Koordinasi Telematika Indonesia Kementrian Komunikasi Dan Republik Indonesia
NAMA : SHAFIRA AURA RAMADHANI
NIM : 1707010120
Ketika pasien/pengantar pasien dalam keadaan menunggu, unit promosi rumah sakit
biasanya melakukan promosinya. Promosi atau penyuluhan kesehatan di rumah sakit
merupakan alat bantu dalam menyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada para pasien
dan pengunjung rumah sakit lainnya. Media promosi yang digunakan di rumah sakit
diantaranya In-House Magazine, leaflet, brosur, televisi atau penyuluhan langsung.
Promosi ini didistribusikan atau disediakan di ruang-ruang tunggu, atau di lobi rumah
sakit, agar mudah dijangkau oleh para pengunjung rumah sakit. Ruang tunggu adalah
tempat yang baik untuk melakukan promosi dan penyuluhan kesehatan. Karena pada
umumnya, di ruang itulah pasien atau para pengantar berkumpul dalam waktu yang relatif
lama untuk menunggu giliran pemeriksaan atau memperoleh obat. Di ruang ini dapat
dilakukan penyuluhan kesehatan langsung atau ceramah kesehatan, ataupun penyuluhan
kesehatan tidak langsung yakni menggunakan in-house magazine, leaflet dan brosur.
Pasien atau para pengantar pasien umumnya merasa jenuh pada saat menunggu giliran,
sehingga waktu tersebut sangat baik bila digunakan untuk membagikan majalah/brosur.
Penunggu pasien maupun pasien akan disuguhkan informasi-informasi atau pesan-pesan
kesehatan agar mencegah kegelisahan dan kejenuhan. Promosi melalui penyuluhan
langsung dapat dilakukan secara terstruktur atau terprogram, tetapi juga dapat dilakukan
secara tidak terstruktur atau terprogram. Penyuluhan langsung secara terprogram sudah
direncanakan secara baik, dan ditangani oleh petugas yang khusus mempunyai
kemampuan bidang promosi kesehatan, khususnya media. Bentuk program promosi
langsung tidak terprogram dapat dilakukan oleh para petugas medis dan paramedis yang
langsung berhadapan dengan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Haristine, Fuji, dkk. 2016. Program dan Prosedur Pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah
Ciawi Bogor
NIM : 1707010114
Menurut DeLone dan McLean dalam Nugroho (2008), agar SIMRS sukses dan mempunyai
dampak positif terhadap rumah sakit maka terlebih dahulu sistem informasi harus mempunyai
dampak terhadap individual. Agar mempunyai dampak pada individual maka kepuasan
pemakai haruslah tercapai. Menurut Oetomo (2002), agar SIMRS dapat berjalan dengan baik,
ada hal-hal yang harus diperhatikan yaitu:
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) adalah suatu sistem teknologi informasi
komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan Rumah
Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi untuk
memperoleh informasi secara tepat dan akurat, dan merupakaan bagian dari Sistem Informasi
Kesehatan. Dalam Permenkes no. 82 tahun 2013 tentang SIMRS menyebutkan bahwa:
DAFTAR PUSTAKA
NIM : 1707010018
1) RL 1 berisikan Data Dasar Rumah Sakit yang dilaporkan setiap waktu apabila
terdapat perubahan data dasar dari rumah sakit sehingga data ini dapat dikatakan data
yang yang bersifat terbarukan setiap saat (updated) .
2) RL 2 berisikan Data Ketenagaan yang dilaporkan periodik setiap tahun
3) RL 3 berisikan Data Kegiatan Pelayanan Rumah Sakit yang dilaporkan periodik
setiap tahun
4) RL 4 berisikan Data Morbiditas/Mortalitas Pasien yang dilaporkan periodik setiap
tahun
5) RL 5 yang merupakan Data Bulanan yang dilaporkan secara periodik setiap bulan,
berisikan data kunjungan dan data 10 (sepuluh) besar penyakit.
Cara pengisian formulir pelaporan yang terdapat dalam buku petunjuk teknis SIRS ini
hanya menguraikan hal-hal yang masih kurang jelas atau belum dimengerti oleh tenaga
Rumah Sakit dikarenakan adanya format formulir yang baru sesuai dengan PERMENKES RI
NOMOR 1171/MENKES/PER/VI/2011 tanggal 15 Juni 2011.
A. Formulir RL 1
1. Formulir Data Dasar Rumah Sakit (Formulir RL 1.1) Formulir RL1.1 adalah
formulir untuk data dasar rumah sakit yang dilaporkan setiap waktu apabila
ada perubahan data rumah sakit. Pengisian dapat dilakukan di aplikasi RS
Online. Untuk data yang tidak 7 ada tetap diisi dengan angka 0 (nol).
2. Formulir Indikator Pelayanan Rumah Sakit (Formulir RL 1.2) Pada formulir
RL 1.2, yang harus diisi adalah BOR, LOS, BTO, TOI, NDR, GDR dan Rata-
rata kunjungan perhari selama 1 (satu) tahun serta rata-rata tiap indikator.
3. Formulir Fasilitas Tempat Tidur Rawat Inap (Formulir RL 1.3)
a) Yang dimaksud dengan jumlah tempat tidur adalah jumlah tempat tidur
yang tersedia pada ruang rawat inap. Jumlah tempat tidur ini bukanlah
kapasitas tempat tidur. Data tempat tidur diisi dengan jumlah TT
keseluruhan dan di kelompokkan berdasarkan perincian tempat tidur
per-kelas (VVIP, VIP, I,II,III dan Kelas Khusus) sesuai dengan jenis
pelayanan.
b) Untuk Data Tempat tidur, bagi Rumah Sakit yang tidak bisa
mengelompokkan jumlah tempat tidur per pelayanan rawat inap, maka
jumlah tempat tidur tersebut diletakkan pada jenis pelayanan umum.
c) Pelayanan rawat inap perinatologi adalah pelayanan rawat inap yang
khusus disediakan bagi bayi baru lahir.
d) Setiap Rumah Sakit Umum, minimal mempunyai ruang rawat inap
umum, obstetri dan perinatologi dengan jumlah tempat tidur tersendiri,
oleh karena itu setiap rumah sakit umum minimal mengisi jumlah
tempat tidur untuk pelayanan rawat inap umum, obstetri dan
perinatologi.
e) Kecuali bagi Rumah Sakit Umum yang tidak mempunyai ruang rawat
obstetri tersendiri (tempat tidur untuk pasien obstetri digabung pada
ruang rawat inap umum) maka pada Rumah Sakit Umum tersebut
hanya mengisi alokasi tempat tidur pada Umum dan Perinatologi saja.
f) Yang dimaksud dengan jumlah tempat tidur adalah jumlah tempat tidur
yang tersedia pada ruang rawat inap. Jumlah tempat tidur ini bukanlah
kapasitas tempat tidur.
g) Jumlah tempat tidur tersebut tidak termasuk tempat tidur yang
dipergunakan untuk bersalin, kamar pemulihan (RR), kamar tindakan,
untuk pemeriksaan pada unit rawat jalan (Umum, Spesialisasi dan
subspesialisasi serta unit rawat jalan gigi) dan klinik unit rawat darurat.
h) Jumlah tempat tidur untuk jenis pelayanan ICU, ICCU dan
NICU/PICU diisi jika Rumah Sakit tersebut sudah mempunyai ruang
rawat inap tersendiri dengan tempat tidur dan peralatan khusus untuk
pelayanan ICU, ICCU dan NICU/PICU tersebut.
i) Untuk Rumah Sakit Khusus yang hanya melayani satu jenis pelayanan
spesialisasi, jumlah tempat tidur dilaporkan pada masing-masing ruang
rawat inap yang sesuai dengan spesialisasinya.
B. Formulir Data Ketenagaan (Formulir RL 2)
Formulir RL 2 merupakan data rekapitulasi semua tenaga yang ditetapkan
resmi bekerja di suatu rumah sakit (full time) berdasarkan jenis kelamin sesuai dengan
keadaan, kebutuhan dan kekurangan dalam rumah sakit tersebut, dan dilaporkan satu
kali dalam setahun paling lambat tanggal 15 bulan Januari tahun setelah tahun periode
pelaporan. Yang dimaksud dengan tenaga rumah sakit adalah semua jenis tenaga yang
bekerja di rumah sakit baik tenaga kesehatan seperti : tenaga medis, kefarmasian,
kesehatan masyarakat, gizi, keterapian fisik, keteknisian medis maupun tenaga non
kesehatan. Beberapa hal yang menyangkut pengisian formulir ini sebagai berikut :
1) Kualifikasi pendidikan yang dilaporkan dalam pengelompokan jenis
ketenagaan berdasarkan pada pendidikan tertinggi yang dicapai tenaga yang
bersangkutan.
2) Tenaga dokter yang mengikuti Program Pendidikan Pasca Sarjana (PPDS) di
suatu rumah sakit dicatat pada Rumah Sakit Pendidikan yang
menyelenggarakan PPDS tersebut, bukan oleh Rumah Sakit yang mengirim.
3) Dokter umum yang sedang mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis/Pasca Sarjana (brevet keahlian) pada Rumah Sakit Pendidikan
dikelompokkan dalam kategori dokter PPDS (nomor 1.2).
4) Bagi tenaga dokter, dokter gigi yang memperoleh pendidikan tambahan seperti
MHA, MARS, M.Kes, dan sebagainya dikelompokkan dalam kategori
Dokter/Dokter Gigi S2 (nomor 1.66) dan kategori Dokter/Dokter Gigi S2/S3
Kesehatan Masyarakat (nomor 1.77).
5) Dokter Spesialis yang telah menyelesaikan Sub Spesialisasinya (S3) dan
menjadi Tenaga Pengajar/Konsultan. (nomor 1.88) Berikut adalah petunjuk
teknis dalam pengisian formulir RL 2 :
a) Isi dengan lengkap dan jelas setiap pengisian Nama Rumah Sakit, Kode
Rumah Sakit, Tahun Pelaporan serta penulisan angka-angka 17 jumlah tenaga
berdasarkan dengan jenis kelamin serta keadaan, kebutuhan dan kekurangan.
b) Isi jumlah tenaga tersebut berdasarkan kualifikasi pendidikan jenis dan
kelamin. Apabila kategori tenaga tertentu tidak ada di rumah sakit maka
kolom yang tersedia agar diisi dengan nol.
c) Khusus bagi Rumah Sakit Pendidikan, untuk bagian pertama (tenaga medis)
termasuk tenaga medis yang mengikuti PPDS di rumah sakit tersebut.
C. Formulir RL 3
Formulir RL3 adalah formulir yang berisikan data kegiatan pelayanan rumah
sakit, yang dilaporkan satu kali dalam setahun, paling lambat tanggal 15 bulan Januari
tahun setelah tahun periode pelaporan.
a) Formulir Data Kegiatan Pelayanan Rawat Inap.
b) Formulir Pelayanan Rawat Darurat
c) Formulir Kegiatan Kesehatan Gigi Dan Mulut
d) Formulir Kegiatan Kebidanan
e) Formulir Kegiatan Perinatologi
f) Formulir Kegiatan Pembedahan
g) Formulir Kegiatan Radiologi
h) Formulir Pemeriksaan Laboratorium
i) Formulir Pelayanan Rehabilitasi Medik
j) Formulir Kegiatan Pelayanan Khusus
k) Formulir Kegiatan Kesehatan Jiwa
l) Formulir Kegiatan Keluarga Berencana
m) Formulir Kegiatan Obat, Penulisan Dan Pelayanan Resep
n) Formulir Kegiatan Rujukan
o) Formulir Cara Pembayaran
a) Isilah terlebih dahulu identitas laporan dengan nomor kode rumah sakit, nama
rumah sakit dan tahun periode pelaporan.
b) Pasien Awal Tahun Isilah sesuai dengan jumlah pasien awal pada hari pertama
tahun yang bersangkutan. Pasien awal tersebut merupakan pasien sisa hari
terakhir Tahunan.
c) Pasien Masuk Isilah sesuai dengan jumlah pasien masuk selama satu tahun
yang bersangkutan
d) Pasien Keluar Hidup Isilah sesuai dengan jumlah pasien keluar hidup selama
satu tahun yang bersangkutan.
e) Pasien Keluar Mati < 48 Jam Isilah sesuai dengan jumlah pasien mati kurang
dari 48 jam selama satu tahun yang bersangkutan.
f) Pasien Keluar Mati ≥ 48 jam Kematian pasien ≥ 48 jam adalah kematian yang
terjadi sesudah periode 48 jam setelah pasien rawat inap masuk rumah sakit
Isilah sesuai dengan jumlah pasien mati dalam 48 jam dan lebih selama satu
tahun yang bersangkutan.
g) Jumlah Lama Dirawat Isilah sesuai dengan total lama dirawat dari pasien yang
sudah keluar rumah sakit (hidup maupun mati), selama satu tahun yang
bersangkutan.
h) Pasien Akhir Satu tahun Isilah sesuai dengan jumlah pasien yang masih dirawat
pada hari terakhir satu tahun yang bersangkutan.
i) Jumlah Hari Perawatan Isilah sesuai dengan total hari rawat dari semua pasien
yang dirawat selama satu tahun yang bersangkutan.
j) Jumlah Hari Perawatan VVIP Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien
VVIP selama satu tahun yang bersangkutan.
k) Jumlah Hari Perawatan VIP Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien VIP
selama satu tahun yang bersangkutan.
l) Jumlah Hari Perawatan Kelas I Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien
kelas I selama satu tahun yang bersangkutan.
m) Jumlah Hari Perawatan Kelas II Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien
kelas II selama satu tahun yang bersangkutan.
n) Jumlah Hari Perawatan Kelas III Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien
kelas III selama satu tahun yang bersangkutan.
o) Jumlah Hari Perawatan Kelas Khusus Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat
pasien yang bukan termasuk di kelas VVIP, VIP, I, II, III selama satu tahun
yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
file:///C:/Users/USER.USER-
PC/Downloads/Documents/Juknis%20SIRS%202011.pdf : JUKNIS SIRS 2011
NAMA : CICILIA A. GAGI
NIM : 1707010148
1. Surveilans IRS adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus-menerus, dalam
pengumpulan, identifikasi, analisis dan interpretasi dari data kesehatan yang penting
pada suatu populasi spesifik yang didiseminasikan secara berkala kepada pihak-pihak
yang memerlukan untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan dan evaluasi suatu
tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Infeksi Rumah Sakit (IRS) atau
Healthcare associated infections (HAIs) adalah infeksi yang terjadi pada pasien
selama perawatan di RS atau fasilitas pelayanan kesehatan lain, yang tidak ditemukan
dan tidak dalam masa inkubasi saat pasien masuk RS. IRS juga mencakup infeksi
yang didapat di RS tetapi baru muncul setelah keluar RS dan juga infeksi akibat kerja
pada tenaga kesehatan. Ruang lingkup Pedoman Surveilans ini adalah khusus untuk
infeksi rumah sakit (IRS) yang terjadi pada pasien.
2. Infeksi Rumah Sakit (IRS) atau dalam arti yang lebih luas disebut sebagai Hospital
Associated Infection (HAIs), merupakan jenis infeksi yang berhubungan erat dengan
proses perawatan pasien. Jadi target yang diselidiki dalam hal ini terutama adalah
pasien-pasien yang sedang mengalami perawatan. Dengan demikian semakin lama
perawatan risiko terjadinya IRS juga akan semakin meningkat. Begitu juga semakin
banyak tindakan perawatan yang bersifat invasif akan meningkatkan terjadinya IRS.
Dengan alasan ini, risiko terjadinya IRS akan semakin meningkat pada pusat pusat
perawatan atau rumah sakit yang besar akan semakin ditingkatkan sehubungan
dengan jenis pasien yang harus ditangani dan macam tindakan yang harus dilakukan.
IRS merupakan infeksi yang terjadi saat perawatan. Untuk menentukan apakah suatu
infeksi termasuk IRS atau bukan, perlu bukti-bukti kuat yang membuktikan bahwa
infeksi tersebut memang belum ada dan juga tidak pada waktu inkubasi saat pasien
dirawat. Penyakit infeksi merupakan jenis penyakit yang tidak terjadi secara spontan,
tetapi memerlukan proses yang disebut sebagai masa inkubasi. Patokan 2 atau 3 hari
setelah perawatan bukan merupakan patokan yang tetap, karena masa inkubasi dari
masing-masing jenis mikroba penyebab infeksi mempunyai waktu inkubasi yang
bervariasi. Infeksi akut umumnya mempunyai masa inkubasi 2 – 3 hari, tetapi jenis-
jenis infeksi lain bisa berkisar dari beberapa hari, minggu, bulan atau bahkan tahun
(misalnya Tuberkulosis, HIV atau Lepra). Untuk itu, sering kali perlu data-data
penunjang, baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau bahkan laboratorium untuk
membuktikan jenis infeksi ini.
DAFTAR PUSTAKA :
Menkes RI 2011. Pedoman Surveilans Infeksi Rumah Sakit. 2011
NAMA : FITRIA NINGSI BANNI TUDU
NIM : 1707010036
IDENTIFIKASI KASUS
Apabila ditemukan kasus IRS, maka ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan disini :
Pada surveilans secara pasif, orang yang tidak duduk dalam komite / Tim PPI
dipercaya untuk mencatat dan melaporkan bila menemukan infeksi selama perawatan.
Misalkan tersedia formulir yang diisi oleh dokter atau perawat yang merawat bila
menemukan IRS pada pasiennya. Oleh karena keterampilan dan pengetahuan tenaga
semacam ini lebih tertuju pada perawatan pasien. Dari pada masalah surveilans, maka
tidak heran kalau masalah yang selalu ada pada surveilans pasif adalah selalu
mengsklasifikasi, underreporting dan kurang runutnya waktu dari data yang
terkumpul. Surveilans aktif adalah kegiatan yang secara khusus dilakukan untuk
mencari kasus IRS oleh orang-orang yang terlatih dan hampir selalu dari komite/Tim
PPI tersebut mencari data dari sumber untuk mengumpulkan informasi dan
memutuskan apakah terjadi IRS atau tidak.
Kelemahan adalah memerlukan sumber daya yang lebih besar dibandigkan surveilans
retrospektif.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Bady M. Agus, Kusnanto Hari, Handono Dwi (2007). Analisis Kinerja Perawat dalam
pengendalian Infeksi Nosokomial di IRNA I RSUP DR. SARDJITO. Program Magister
Kebijakan dan Manajemen pelayanan kesehatan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2007.
Distant learning Resource Center Magister KMPK UGM.
NAMA: REZA PUTRI RAMADANI RUSDA
NIM : 1707010268
Banyak sumber data diperlukan dalam pelaksanaan surveilans IRS tergantung dari jenis
pelayanan medik yang diberikan oleh suatu rumah sakit. Agar dapat melaksanakan surveilans
dengan baik atau melaksanakan penyelidikan suatu KLB. Sering kali diperlukan sumber dari
dokter, perawat, pasien maupun keluarga pasien, dari farmasi, catatan medic, catatan perawat.
Analisis Data
Menentukan dan menghitung laju. Laju adalah suatu probabilitas suatu kejadian.
Biasa dinyatakan dalam formula sebagai berikut :
(x/y) k
y = denominator, adalah jumlah populasi dari mana kelompok yang mengalami kejadian
tersebut berasal selama kurun waktu yang sama.
k = angka bulat yang dapat membantu angka laju dapat mudah dibaca (100, 1000 atau
10.000).
Kurun waktu harus jelas dan sama antara numerator dan denominator sehingga laju
tersebut mempunyai arti. Ada tiga macam laju yang dipakai dalam surveilans IRS atau
surveilans lainnya, yaitu incidence, prevalence dan incidence density.
1. Incidence Adalah jumlah kasus baru dari suatu penyakit yang timbul dalam satu
kelompok populasi tertentu dalam kurun waktu tertentu pula. Di dalam surveilans IRS
maka incidence adalah jumlah kasus IRS baru dalam kurun waktu tertentu dibagi oleh
jumlah pasien dengan resiko untuk mendapatkan IRS yang sama dalam kurun waktu
yang sama pula.
2. Prevalence Adalah jumlah total kasus baik baru maupun lama suatu kelompok
populasi dalam satu kurun waktu tertentu (period prevalence) atau dalam satu waktu
tertentu (point prevalence). Point prevalence nosocomial rates adalah jumlah kasus
IRS yang dapat dibagi dengan jumlah pasien dalam survey.
Rhame menyatakan hubungan antara incidence dan prevalence adalah sebagai berikut
:
I = P (LA / LN – INTN)
INTN = Interval rata-rata antara waktu masuk rumah sakit dan hari pertama terjadinya IRS
pada pasien-pasien yang mengalami satu atau lebih IRS tersebut.
Dalam penerapan di rumah sakit maka prevalence rates selalu memberikan over estimate
untuk resiko infeksi oleh karena lama rawat dari pasien yang tidak mendapat IRS biasanya
lebih pendek dari lama rawat pasien dengan IRS. Hal ini dapat lebih mudah dilihat dengan
menata ulang formula sebagai berikut :
P = I (LN – INTN) / LA
Incidence Density. Adalah rata-rata instant dimana infeksi terjadi, relative terhadap besaran
populasi yang bebas infeksi. Incidence density diukur dalam satuan jumlah kasus penyakit
per satuan orang per satuan waktu. Contoh popular dari Incidence Density Rates (IDR) yang
sering dipakai di rumah sakit adalah jumlah IRS per 1000 pasien/hari.
a. Sangat berguna bila laju infeksinya merupakan fungsi linier dari waktu panjang yang
dialami pasien terhadap factor resiko (misalnya semakin lama pasien terpajan,
semakin besar resiko mendapat infeksi).
Contoh incidence density rate (IDR) : Jumlah kasus ISK / Jumlah hari pemasangan
kateter. Lebih baik dari pada Incidence rate (IR) di bawah ini : Jumlah ISK Jumlah
pasien yang terpasang kateter urine. Oleh karena itu IDR dapat mengontrol lamanya
pasien terpajan oleh factor resikonya (dalam hal ini pemasangan kateter urine) yang
berhubungan secara linier dengan resiko infeksi.
b. Jenis laju lain yang sering digunakan adalah Atack rate (AR) yaitu suatu bentuk
khusus dari incidence rate. Biasanya dinyatakan dengan persen (%) dimana k = 100
dan digunakan hanya pada KLB IRS yang mana pajanan terhadap suatu populasi
tertentu terjadi dalam waktu pendek. Surveilans merupakan kegiatan yang sangat
membutuhkan waktu dan menyita hampir separuh waktu kerja seorang IPCN
sehingga dibutuhkan penuh waktu (full time). Dalam hal ini bantuan computer akan
sangat membantu, terutama akan meningkatkan efisien pada saat analisis. Besarnya
data yang harus dikumpulkan dan kompleksitas cara analisisnya merupakan alasan
mutlak untuk menggunakan fasilitas computer, meski di rumah sakit kecil sekalipun.
Lagi pula sistem surveilans tidak hanya berhadapan dengan masalah pada waktu
sekarang saja, tetapi juga harus mengantisipasi tantangan di masa depan.
Dalam penggunaan computer tersebut ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
yaitu :
1) Memilih sistem computer yang akan dipakai, computer mainframe atau
computer mikro. Komputer mainframe bekerja jauh lebih cepat, memuat data
jauh lebih besar dan memiliki jaringan yang dapat diakses di seluruh area
rumah sakit. Semua data pasien seperti sensus pasien, hasil laboratorium dan
sebagainya, dapat dikirim secara elektronik. Namun harus diingat bahwa
computer mainframe adalah cukup mahal baik pembelian maupun
operasionalnya. Tidak setiap orang dapat menggunakannya dan memerlukan
pelatihan yang intensif. Software untuk program pencegahan dan
pengendalian IRS bagi computer mainframe sampai saat ini masih terbatas.
Mikrokomputer jauh lebih murah dan lebih mudah dioperasikannya oleh
setiap petugas. 2. Mencari software yang sudah tersedia dan memilih yang
digunakan. Pemilihan software harus dilakukan hati-hati dengan
mempertimbangkan maksud dan tujuan dari surveilans yang akan
dilaksanakan di rumah sakit.
Hasil surveilans dapat digunakan untuk melaksanakan program pencegahan dan pengendalian
infeksi rumah sakit (PPIRS) dalam satu waktu tertentu.
Denominator dari suatu laju (rate) harus menggambarkan populasi at risk. Dalam
membandingkan laju antar kelompok pasien di dalam suatu rumah sakit, maka laju tersebut
harus disesuaikan terlebih dahulu terhadap factor resiko yang berpengaruh besar akan
terjadinya infeksi. Kerentanan pasien untuk terinfeksi sangat dipengaruhi oleh factor-faktor
resiko tertentu, seperti karakteristik pasien dan pajanan.
Faktor resiko ini secara garis besar dibagi menjadi dua katagori yaitu faktor intrinsik dan
faktor ektrinsik.
1. faktor intrinsik adalah faktor yang melekat pada pasien seperti penyakit yang
mendasari dan ketuan. Mengidentifikasi faktor resiko ini perlu dilakukan dengan
mengelompokkan pasien dengan kondisi yang sama (distratifiksi).
2. Faktor ektrinsik adalah yang lebih berhubungan dengan petugas pelayanan atau
perawat (perilaku petugas di seluruh rumah sakit). Meskipun hamper semua faktor
ektrinsik memberikan resiko IRS, namun yang lebih banyak perannya adalah jenis
intervensi medis yang beresiko tinggi, seperti tindakkan invasive, tindakkan operatif
atau pemasangan alat yang invasive. Banyak alasan yang dapat dikemukakan
mengapa pasien yang memiliki penyakit lebih berat yang meningkat kerentananya.
Alat tersebut merupakan jembatan bagi masuknya kuman penyakit dari bagian tubuh
yang satu ke dalam bagian tubuh yang lain dari pasien. Resiko untuk mendapat infeksi
luka operasi (ILO), berkaitan dengan beberapa factor. Diantanya yang terpenting
adalah bagaimana prosedur operasi dilaksanakan, tingkat kontaminasi
mikroorganisme di tempat operasi, lama operasi dan factor intrinsic pasien. Oleh
karena factor-faktor tersebut tidak dapat dieliminasi maka angka ILO disesuaikan
terhadap faktor-faktor tersebut. Demikian pula halnya dengan jenis laju yang lain,
apabila akan diperbandingkan maka harus diingat faktor-faktor mana yang harus
disesuaikan agar perbandinganya menjadi bermakna.
Rumah sakit dapat menggunakan data surveilans IRS untuk menelaah program pencegahan
dan pengendalian IRS dengan membandingkan angka laju IRS dengan populasi pasien yang
sama di dalam rumah sakit yang sama. Misalnya, membandingkan laju IRS dari 2 (dua) ICU
atau dapat pula menggunakan laju IRS dengan angka eksternal (benchmark rates) rumah sakit
atau dengan mengamati perubahan angka menurut waktu di rumah sakit itu sendiri. Meskipun
angka laju infeksi telah mengalami penyesuaian dan melalui uji kemaknaan namun
interprestasi dari angka-angka tersebut harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi
kekeliruan. Banyak yang menganggap bahwa angka laju infeksi di rumah sakit itu
mencerminkan keberhasilan dan kegagalan dari petugas pelayanan/perawatan pasien atau
fasilitas pelayanan kesehatan dalam upaya pencegahan dan pengendalian IRS.
Meskipun ada benarnya, masih banyak faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan angka
tersebut.
Pertama, definisi yang dipakai atau tehnik dalam surveilans tidak seragam antar rumah sakit
atau tidak dipakai secara konsisten dari waktu ke waktu meskipun dari sarana yang sama. Hal
ini menimbulkan variasi dari sensitifitas dan spesifisitas penemuan kasusnya.
Kedua, tidak lengkapnya informasi klinik atau bukti-bukti laboratorium yang tertulis di
catatan medic pasien member dampak yang serius terhadap validitas dan utilitas dari angka
laju IRS yang dihasilkan.
Ketiga, angka tidak disesuaikan terhadap factor resiko intrinsic, factor resiko ini sangat
penting artinya dalam mendapatkan suatu IRS, namun sering kali lolos dari pengamatan dan
sangat bervariasi dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain. Sebagai contoh, di
rumah sakit yang memiliki pasien dengan immunocompromised diharafkan memiliki factor
resiko intrinsic yang lebih besar dari pada rumah sakit yang tidak memiliki karakteristik
pasien seperti itu.
Keempat, jumlah population at risk (misalnya jumlah pasien masuk/pulang, jumlah hari
rawat atau jumlah operasi) mungkin tidak cukup besar untuk menghitung angka laju IRS
yang sesungguhnya di rumah sakit tersebut. Meskipun tidak mungkin untuk mengontrol
semua factor tersebut di atas, namun harus disadari pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap
angka laju infeksi serta mempertimbangkan hal tersebut pada saat membuat interpretasi.
Di ICU anak dan dewasa maka hari pemakaian alat terdiri dari jumlah total dari hari Ʃ
pemakaian ventilator, jumlah hari pemasangan keteter urin. DU suatu ICU merupakan salah
satu cara mengukur tingkat penerapan tindakan invasive yang memberikan factor resiko
intrinsic bagi IRS. Maka DU dapat dipakai sebagai tanda berat ringannya pasien yang dirawat
di unit tersebut, yaitu pasien rentan secara intrinsic terhadap infeksi. DU Perhatian
komite/Tim PPI tidak hanya terpaku pada laju infeksi di rumah sakit. Sehubungan dengan
mutu pelayanan/perawatan maka harus dipertanyakan tentang : “apakah pajanan pasien
terhadap tindakan invasive yang meningkat resiko IRS telah diminimalkan ?”. Peningkatan
angka DU di ICU memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk pasien yang mengalami
tindakan operatif tertentu, maka distribusi pasien mengenai kategori resikonya sangat
bermanfaat. Misalnya untuk membantu menentukan kelayakan intervensi yang diberikan.
Meneliti kelayakan suatu intervensi juga membantu menentukan apakah pajanan telah
diminimalkan.
Pelaporan
Laporan sebaiknya sistematik, tepat waktu, informative. Data dapat disajikan dalam berbagai
bentuk, yang penting mudah dianalisa dan diinterpretasi. Penyajian data harus jelas,
sederhana, dapat dijelaskan diri sendiri. Bisa dibuat dalam bentuk table, prafik, pie. Pelaporan
dengan narasi singkat.
Tujuan untuk : Memperlihatkan pola IRS dan perubahan yang terjadi (trend). Memudahkan
analisis dan interpretasi data. Laporan dibuat secara periodic, setiap bulan, triwulan, semester,
tahunan.
Desiminasi
DAFTAR PUSTAKA
NIM : 1707010304
Pencegahan dan Pengelolaan Infeksi (PPI) merupakan salah satu indicator pasien safety,
dimana kegiatan Pencegahan dan Pengelolaan Infeksi (PPI) dapat dicapai melalui program
kegiatan surveilans, pendididkan dan pelatihan dokter, perawat, maupun petugas kesehatan
lainnya. Pelaksanaan program tersebut perlu ditunjang perencanaan yang rinci dalam strategi-
strategi yang memerlukan koordinasi dari banyak pihak baik individu, bagian atau unit
lainnya. Kegiatan dalam program tersebut harus dilaksanakan dalam suatu struktur organisasi
yang kuat dan mampu menjabarkan program secara komprehensif, rinci dan jelas. Organisasi
yang dimaksud adalah :
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Koeswo (2015). Kinerja IPCLN dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit : Peran Pelatihan, Motivasi Kerja dan Supervisi, Jurnal Aplikasi Menajemen, 644.
NIM : 1707010076
Infeksi nosokomial atau infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau Health
Care Associated Infections (HCAIs) adalah penyakit infeksi yang pertama muncul dalam
waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk rumah sakit atau tempat pelayanan
kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari rumah sakit. Dalam
hal ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah pulang dan
infeksi akibat kerja pada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan. Rumah Sakit dituntut untuk
memberikan pelayanan yang bermutu, efektif dan efisien untuk menjamin Patient safety yang
telah menjadi program pemerintah.
Rumah Sakit sebagai sarana yang memberi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif kepada masyarakat, memiliki peran penting dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Infeksi nosokomial dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak
langsung kematian pasien. Beberapa kejadian mungkin tidak menyebabkan kematian namun
menyebabkan pasien dirawat lebih lama di Rumah Sakit.
Pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI antara lain Pedoman Manajerial
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
serta Jejaring Laboratorium Diagnosis Penyakit Infeksi New-emerging dan Re-emerging.
Pedoman Surveilans Infeksi Rumah Sakit disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan
surveilans. Hasil surveilans ini penting untuk perencanaan, penerapan, evaluasi, praktek
pengendalian infeksi dalam mencapai tujuan utama dari program yaitu mengurangi risiko
terjadinya endemi dan epidemi infeksi nosokomial pada pasien. Program Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) dalam Standar Pelayanan Minimal dan Akreditasi Rumah Sakit
mengharuskan tiap Rumah Sakit harus melaksanakan PPI secara optimal dalam rangka untuk
melindungi pasien, petugas, pengunjung dan keluarga dari risiko tertularnya infeksi karena
dirawat, bertugas juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya. Keberhasilan program PPI membutuhkanketerlibatan lintas bidang seperti klinis,
keperawatan, laboratorium, kesehatan lingkungan, farmasi, gizi, sanitasi & housekeeping.
Adanya infeksi endemik atau epidemik memicu penggunaan antimikroba yang lebih masif
pada bangsal rawat inap terutama di Intensive Care Unit. bila terjadi infeksi nosokomial.
Infeksi biasanya dijumpai dalam bentuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah
(blood stream infections) dan pneumonia. Penularan infeksi membutuhkan unsur
mikroorganisme penyebab yang dipengaruhi oleh faktor patogenitas, virulensi, dan jumlah
(dosis atau load), reservoir, pintu keluar agen, transmisi yaitu transport agendari reservoir ke
penderita, pintu masuk agen serta pejamu rentan yang dipengaruhi oleh umur, status gizi dan
imunisasi, penyakit kronis, luka bakar, trauma atau pembedahan, obat imunosupresan dan
faktor lain seperti jenis kelamin, ras tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan
herediter.
Undang Undang RI No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 40 ayat 1 mewajibkan RS
melakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali dalam upaya peningkatan
mutu pelayanan Rumah Sakit. Sarana, Prasarana, SDM dan Kelengkapan Organisasi RS yang
dibutuhkan untuk mendukung Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RS.
Keberadaan SDM masih sangat kurang untuk melakukan PPI, terutama SDM farmasi klinik
dan mikrobiologi klinik. Meskipun demikian sesungguhnya PPI masih dapat dilakukan
dengan memberdayakan apoteker dan dokter patologi klinik dengan memberikan pelatihan
yang ada kaitannya dalam pelaksanaan PPI. Sejalan dengan hal tersebut, RS yang memiliki
kemampuan melakukan kultur bakteri, jamur, virus dan uji resistensi sebagian besar adalah
RS tipe A. Apoteker berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi pada
pasien dan tenaga kesehatan melalui penetapan kebijakan dan prosedur internal instalasi
farmasi dalam penyiapan sediaan steril, peningkatan kepatuhan terhadap kewaspadaan baku
(standard precaution) oleh tenaga kesehatan, pasien dan petugas lain yang terlibat, menjamin
ketersediaan alat kesehatan sekali pakai, antiseptik dan disinfektan, memberikan edukasi
daninformasi tentang pengendalian resistensi antibiotik serta pencegahan dan pengendalian
infeksi kepada tenaga kesehatan, pasien dan keluarga pasien. Infeksi nosokomial juga
bergantung pada tingkat utilisasi tempat tidur dan waktu kosong antara pasien dengan pasien
berikutnya, makin tinggi BTO (bed turn over) dan makin rendah TOI (turn over interval)
akan semakin rendah HCAIs bergantung optimalnya pembersihan kamar. Kelengkapan
organisasi RS untuk mendukung pelaksanakan PPI sendiri juga baru dimiliki oleh sebagian
besar RS tipe A dan B seperti halnya formularium RS, padahal sebagian besar RS yang ada di
Indonesia adalah tipe C dan D.
Hasil penelitian Ogwang dan kawankawan menunjukkan bahwa tindakan pencegahan infeksi
RS dapat menurunkan prevalensi infeksi terkait RS. Kurangnya sarana dan prasarana
sterilisasi menjadi masalah di hampir sebagian besar Rumah Sakit serta ketersediaan air
bersih dan pengolahan limbah RS kecuali Rumah Sakit kelas A.
1. Petugas :
a. IPCN(purna waktu / full time) yang sudah mengikuti pelatihan PPI Dasar dan
Surveilans.
b. IPCLN yang sudah mengikuti pelatihan PPI.
2. Dana :
a. Dukungan dana operasional dari Pimpinan RS.
3. Sarana, prasarana dan pendukung :
a. Kantor dan ruang rapat Komite dan Tim PPI.
b. Komputer, fax, telepon, internet.
c. Petugas sekretariat dan teknologi informasi (TI).
DAFTAR PUSTAKA:
Herman, J.M.,& Handayani, S.R. (2016, Agustus). Sarana dan Prasarana Rumah Sakit
Pemerintah dalam Upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Indonesia. Jurnal
Kefarmasian Indonesia. 6(2). 137-146
Perhitungan
Perhitungan dilakukan dalam satu bulan. Kurun waktu harus jelas dan sama antara numerator
dan denominator sehingga laju tersebut mempunyai arti. Surveilans merupakan kegiatan
yang sangat membutuhkan waktu dan menyita hampir separuh waktu kerja seorang IPCN
sehingga dibutuhkan penuh waktu / full time. Dalam hal ini bantuan komputer akan sangat
membantu, terutama akan meningkatkan efisien pada saat analisis. Besarnya data yang harus
dikumpulkan dan kompleksitas cara analisisnya merupakan alasan mutlak untuk
menggunakan jasa komputer, meski di RS kecil sekalipun. Lagi pula sistem surveilans tidak
hanya berhadapan dengan masalah pada waktu sekarang saja, tetapi juga harus
mengantisipasi tantangan di masa depan.
Analisis dan interpretasi
Data insiden rate dianalisa, apakah ada perubahan yang signifikan seperti penurunan maupun
peningkatan IRS yang cukup tajam atau signifikan, kemudian dibandingkan dengan jumlah
kasus dalam kurun waktu bulan yang sama pada tahun yang lalu.Jika terjadi perubahan yang
signifikan dicari faktor-faktor penyebabnya mengapa hal tersebut terjadi. Bila
diketemukan penyebab dilanjutkan dengan alternatif pemecahannya. Dan diantara pemecahan
dipilih yang laik laksana bagi RS atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan setempat. Hasil analisa
data disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan grafik.
DAFTAR PUSTAKA
Weraman, Pius. 2010. Dasar Surveilans Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Gramata
Publishing.
Petunjuk Praktis Suurveilans Infeksi Rumah Sakit , KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010
NAMA : MARIA DORCE ANDRIYANI
NIM : 1707010052
e) Kriteria PNU2 – 2:
Pneumonia dengan hasil Laboratorium yang spesifik untuk infeksi virus,
Legionella, Chlamydia, Mycoplasma, dan patogen tidak umum lainnya.
Dapat diidentifikasi sebagai PNU2 – 2, bila ditemukan bukti-bukti berikut:
Tanda dan Gejala Klinis Pneumonia (B.3.a.)
Tanda Radiologis Pneumonia (B.3.b.)
Minimal 1 dari tanda laboratorium berikut:
Kultur positif untuk virus atau Chlamydia dari sekresi pernapasan
Deteksi antigen atau antibody virus positif dari sekresi pernapasan
Didapatkan peningkatan titer 4x atau lebih IgG dari paired sera
terhadap patogen (misalnya influenza virus, Chlamydia)
PCR positif untuk Chlamydia atau Mycoplasma.
Tes micro-IF positif untuk Chlamydia.
Kultur positif atau visualisasi micro-IF umtuk Legionella spp., dari
sekresi pernapasan atau jaringan
Terdeteksinya antigen Legionella pneumophila serogrup I dari urine
dengan pemeriksaan RIA atau EIA
Pada pemeriksaan indirect IFA, didapatkan peningkatan titer 4x atau
lebih antibody dari paired sera terhadap Legionella pneumophila
serogrup I dengan titer =1:128
Keterangan:
- Deteksi langsung patogen dapat menggunakan berbagai teknik deteksi antigen
(EIA, RIA, FAMA, micro-IF), PCR atau kultur.
- PCR: Polymerase Chain Reaction, merupakan teknik diagnostik dengan cara
memperbanyak asam nukleat patogen secara in-vitro.
- Paired sera adalah pasangan sera yang diambil pada fase akut dan fase
penyembuhan penyakit. Pada penyakit yang sedang berlangsung (progresif)
akan didapatkanpeningkatan titer sera pada fase penyembuhan sebesar = 4x
dibandingkan dengan titer sera pada fase akut.
cfu: colonyforming units
parenkim paru dapat diambil melalui, transbronchial atau transthoraxic
post-mortem
5. Faktor risiko Pneumonia
Pneumonia dapat berasal dari:
faktor lingkungan yang terkontaminasi, misalnya air, udara atau makanan
(muntah)
peralatan yang digunakan dalam perawatan pasien: Endotracheal Tube
(ETT), Nasogastric Tube (NGT), Suction catheter, Bronchoscopy,
Respiratory devices.
Orang ke orang: dokter, perawat, pengunjung, maupun dari flora endogen
pasien itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Erna Irawan, Hilman Mulyana.2018. Faktor-Faktor Penyebab Infeksi Saluran Kemih (ISK).
Prosiding Seminar Nasional dan Diseminasi Penelitian Kesehatan STIKes Bakti Tunas
Husada Tasikmalaya, 2-3,9
DAFTAR PUSTAKA
NIM : 1707010050
Menurut Alvarado angka infeksi nosokomial terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi 3-
21%) atau lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia (5,6). Hasil
survey point prevalence dari 11 rumah sakit di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perdalin
Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2003,
didapatkan angka infeksi nosokomial untuk ILO (Infeksi Luka Operasi) 18,9%, ISK (Infeksi
Saluran Kemih) 15,1%, IADP (Infeksi Aliran Darah) Primer) 26,4%, Pneumonia 24,5% dan
Infeksi Saluran meliputi saluran Napas lain 15,1%, serta Infeksi lain 32,1% (5,6). Selama 20
tahun ini banyak perkembangan yang dibuat untuk mencari masalah utama meningkatnya
angka kejadian infeksi nosokomial di banyak Negara, namun kondisinya sangat
memperhatinkan.
Survailance infeksi nososkomial merupakan salah satu jenis dari survailance epidemiologi,
dan ada 5 komponen utama :
1) Pengumpulan Data
2) Pengolahan Data
3) Analisis dan Interpretasi Data
4) Distributi Data
5) Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA :
Dalima Ari Wahono Astrawinatan, Epidemiologi Klinik dan Sistem Surveilans
Infeksi di Rumah Sakit, 2003. Kursus Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit
Definisi yang sesuai untuk infeksi terkait penggunaan kateter khususnya CVC pada pasien
dengan kanker belum digunakan di banyak literatur (Tomlinson, 2011. h.697). Definisi
umum yang digunakan untuk memastikan adanya infeksi primer aliran darah terkait
penggunaan CVC adalah definisi infeksi nosokomial terkait organ spesifik yang
dipublikasikan oleh CDC di Amerika Serikat pada konferensi internasional dan digunakan
sebagai definisi surveilens infeksi nosokomial. Infeksi primer aliran darah ini ditandai dengan
adanya manifestasi klinis sepsis atau dikenal dengan istilah Systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) adalah kondisi klinis yang disebabkan oleh respon imun pejamu terhadap
infeksi atau stimulus lain yang ditandai oleh inflamasi sistemik (Pohan.TH, 2005). Bila
manifestasi klinis sepsis ini disertai adanya mikroorganisme dalam darah maka kondisi ini
disebut Bakteremia/fungemia (Andries, 2012). Infeksi primer aliran darah ini dihubungkan
dengan kejadian infeksi yang diperoleh dipusat
Infeksi aliran darah adalah salah satu infeksi yang diperoleh dari asuhan keperawatan di
pusat layanan kesehatan yang merupakan masalah serius dan berpotensial menyebabkan
komplikasi pada pasien rawat inap, diantaranya pasien kanker dengan kondisi kritis yang
dapat berdampak negatif pada kondisi akhir pasien (Hugonne,2004). Pasien dengan kanker
mempunyai tambahan resiko terhadap terjadinya infeksi karena penggunaan kemoterapi
atau radiasi yang bersifat menekan sistem imun yang dalam beberapa tahun resiko ini
meningkat seiring dengan penggunaan central venous catheter (CVC) (Mayhall, 2004),
karena penggunaan CVC ini merupakan bagian penting dari pengelolaan pasien dengan
kanker. Berbagai indikasi pada pemasangan CVC ini termasuk diantaranya adalah sulitnya
akses vena perifer, frekuensi akan kebutuhan produk darah dan antibiotik, pemberian
kemoterapi yang kontinyu, rangkaian terapi yang panjang serta pemberian obat-obatan
(Desjardin, 1999). Namun, penggunaan CVC ini juga menjadi pintu masuk bagi
yang tinggi akibat hari rawat inap yang semakin panjang (Tomlinson, 2011), hingga
adanya komplikasi akibat infeksi yang ditimbulkan mengharuskan dilakukannya
modifikasi pemberian dosis dan jadwal terapi (Mayhall, 2004).
Pelaksanaan surveilans CAUTI pada RSU Haji Surabaya meliputi kegiatan pengumpulan
data, kompilasi data, analisis dan interpretasi data, serta diseminasi informasi. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Raras (2012) pada salah satu rumah sakit di Surabaya bahwa
dalam pelaksanaan surveilans dilakukan oleh perawat dalam pencatatan data pasien yang
menggunakan alat invasif yang didokumentasikan dalam buku catatan infection control, serta
dicatat pada formulir monitoring pasien setiap harinya. Data tersebut direkap setiap bulannya
oleh IPCLN dan akan dilaporkan pada IPCN dengan batas tanggal yang telah ditetapkan.
Data akan dikompilasi dan dilakukan analisis data hingga menjadi laporan yang akan
didiseminasikan kepada pihak atau unit terkait.
Pada pedoman surveilans infeksi rumah sakit tahun 2010 menjelaskan mengenai pelaksanaan
surveilans infeksi rumah sakit, bahwa pada pengumpulan serta pencatatannya dilakukan oleh
IPCLN dan tim PPI rumah sakit, IPCLN bertugas dalam mengisi dan mengumpulkan
formulir surveilans setiap pasien yang berisiko pada ruang rawat inap masing-masing setiap
harinya. Setelah 1 bulan data terkumpul maka, akan dikumpulkan paling lambat tanggal 5
yang diserahkan ke tim PPI yang telah ditandatangani oleh kepala ruangan.
DAFTAR PUSTAKA
Vebrilian, Spica Redina. 2015. Surveilans Catheter Assosiated Urinary Tract Infection
Berdasarkan Atribut Di Rumah Sakit Haji Surabaya. 4 (3) : 231.
Febrianti, Septi. 2015. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Phlebitis Di Rumah Sakit
Bhayangkara TK II. H.S. Samsoerimertojoso Surabaya. 3 (2) : 218
NAMA : MARIA APOLONIA INA ABO
NIM : 1707010172
Jenis-jenis IRS sangat banyak, tergantung dari jenis perawatan dan tindakan yang kita
lakukan terhadap pasien (saluran pernapasan, pencernaan, kemih, sistem pembuluh darah,
sistem saraf pusat dan kulit). Diantara jenis-jenis IRS, ada 4 jenis yang paling sering terjadi,
yaitu Infeksi Aliran Darah Primer (IADP), Infeksi yang berhubungan dengan pemasangan
ventilator atau Ventilator Associated Infection (VAP), infeksi akibat pemasangan kateter urin
atau Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan akibat tindakan pembedahan (SSI).
DAFTAR PUSTAKA
Sakit dan Astrawinantan, Delima Ari Wahono, (2003), Epidemiologi Klinik dan Sistem
Surveilans Infeksi di Rumah Sakit. Kursus Pengendalian di Rumah Sakit.
NAMA : ATIKAH RAMADHANIYAH LA UDU
NIM : 1707010277
Risiko IADP tentunya adalah semua pasien yang dipasang kateter vaskuler. Sedangkan risiko
infeksi dan hasil pemeriksaan tergantung dari :
Kondisi pasien: umur (> 70 tahun), penyakit kronis, pembedahan (Toraks atau
Abdomen), Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), penyakit jantung kongestif,
perokok berat
Tindakan pengobatan atau perawatan: sedatif, anestesi umum, intubasi trakeal,
trakeostomi, pemakaian ventilasi mekanik yang lama, pemberian makanan enteral,
terapi antibiotik, obat immunosupresif atau sitostatik populasi beresiko untuk
terjadinya pneumonia.
Faktor risiko untuk terjadinya ISK adalah penderita yang terpasang kateter, sedangkan faktor-
faktor lain berkaitan dengan:
DAFTAR PUSTAKA
Nugraheni, dkk. (2012). Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro Kabupaten Wonosobo.
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Vol. 11 / No.1, April 2012.