Anda di halaman 1dari 80

Ringkasan Materi Sistem Informasi Kesehatan Surveilans di Rumah Sakit

NAMA : MARIA WENDELINA DIAN SALOMBRE

NIM : 1707010231

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT

Wimmie Handiwidjojo

1. PENGERTIAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT


Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit adalah sebuah sistem komputer yang
memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses bisnis layanan kesehatan dalam
bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi untuk memperoleh
informasi secara cepat, tepat dan akurat. Saat ini Sistim Informasi Manajemen (SIM)
berbasis komputer rumah sakit (SIMRS) merupakan sarana pendukung yang sangat
penting, bahkan bisa dikatakan mutlak untuk mendukung pengelolaan operasional
rumah sakit.

2. DASAR TEORI
Pembangunan sistem informasi rumah sakit berbasis komputer akan membentuk
rumah sakit digital yang dapat dipahami dengan merujuk pada definisi perusahaan
digital dimana hampir semua proses bisnis dan hubungan dengan pelanggan,
pemasok, mitra kerja dan pihak internal perusahaan, serta pengelolaan aset-aset
perusahaan yang meliputi properti intelektual, kompetensi utama, keuangan dan
sumber daya manusia (SDM) dilakukan secara digital (Laudon, 2004, hal 6). SI
merupakan infrastruktur dasar pembentuk rumah sakit digital, karena suatu rumah
sakit dapat dikategorikan sebagai rumah sakit digital (secara administratif manajerial),
bila empat SI utamanya telah dikelola secara digital, yaitu: Supply Chain
Management Systems, Customer Relationship Management Systems, Enterprise
Systems dan Knowledge Management Systems (Laudon, 2004, hal 7).

a. Supply Chain Management Systems. SI ini berfungsi untuk


mendigitalisasikan Supply Chain Management Systems, sehingga hubungan
antara rumah sakit dengan para pemasok dapat dioptimalkan. Kegiatan
perencanaan, pemesanan dan pasokan bahan baku, obat maupun peralatan
medis dapat dikoordinasikan dengan baik dan efisien. Dalam hal rantai
pasokan ini, rumah sakit perlu mengelola aliran informasi dengan pemasok,
khususnya untuk menjamin tersedianya bahan dan peralatan medis. SI ini
diharapkan dapat menciptakan efisiensi dalam pengelolaan persediaan.
Dimana SI tersebut memungkinkan penerapan sistem Just in Time bahkan
Stockless Inventory Method (Laudon, 2004, hal 97), sehingga rumah sakit
dapat menghemat biaya penyimpanan dan mengurangi resiko kerusakan,
namun persediaan bahan dan peralatan medis tetap terjamin.

b. Enterprise Systems. SI ini berfungsi untuk mengkomputerisasi Enterprise


Systems dalam hal ini sistem rumah sakit, sehingga dapat mengkoordinasikan
proses-proses internal utama dari rumah sakit, mengintegrasikan data dari
semua unit, seperti front office, layanan rawat inap, rawat jalan, poliklinik,
apotik, laboratorium, keuangan, SDM, investasi dan persediaan.
Komputerisasi yang terintegrasi dari setiap unit yang ada memungkinkan
pengelola untuk mengetahui kondisi objektif rumah sakit baik secara
keseluruhan maupun per unit melalui laporan-laporan manajerial yang dapat
disusun setiap saat secara cepat dan akurat, sehingga pengelola dapat membuat
keputusan-keputusan yang tepat dan melakukan kontrol kualitas terhadap
layanan maupun produk medis lainnya. Sementara itu, para pasien dapat
memperoleh informasi secara rinci Jurnal EKSIS Vol 02 No 02 November
2009: halaman 32-38 34 tentang biaya-biaya yang harus ditanggung tanpa
harus mondar-mandir ke unit- unit yang memberikan layanan.

c. Customer Relationship Management Systems. SI ini berfungsi untuk


mendigitalisasikan Customer Relationship Management Systems, sehingga
dapat mengintegrasikan dan memelihara relasi antara rumah sakit dengan
pasien, pengguna jasa kesehatan dan pihak-pihak terkait lainnya. Rumah sakit
perlu terus menerus membangun dan menjaga relasi dengan semua pihak yang
terkait, agar dapat menciptakan rasa aman dan nyaman bagi pihak-pihak yang
menggunakan jasa layanan medis dan melakukan kerjasama baik dalam hal
pemenuhan kebutuhan rumah sakit, pengembangan jasa layanan medis dan
penyediaan infrastruktur. SI akan memungkinkan rumah sakit untuk
mengelola data semua pihak yang terkait, sehingga rumah sakit dapat memberi
perhatian kepada pihak-pihak yang terkait tersebut dengan lebih baik lagi,
misalnya memberikan ucapan selamat kepada pasien yang melahirkan,
memberikan penawaran pertama kepada rekanan penyedia infrastruktur saat
rumah sakit akan membangun dan lain sebagainya.

d. Knowledge Management Systems. SI ini berfungsi untuk


mengkomputerisasikan Knowledge Management Systems, sehingga
mendukung pencatatan, penyimpanan dan penyebaran dari pengetahuan dan
keahlian. Sistem ini tidak saja mengolah data transaksi untuk menghasilkan
informasi berupa laporan manajerial, melainkan menghasilkan suatu
pengetahuan baru. Pengelola dapat mengeksplorasi data warehouse untuk
menemukan data mining yang memberi pengetahuan baru berupa gambaran
pola atau korelasi dari pengguna jasa kesehatan di rumah sakit yang
dikelolanya atau pola-pola yang terjadi di setiap unit. Pengetahuan-
pengetahuan yang diperoleh tersebut, tentu sangat berperan untuk menyusun
rencana jangka panjang, mennyusun strategi dan menciptakan program-
program layanan dan sistem pengelolaan yang inovatif.

3. Peran Sistem Informasi Manjamen Rumah Sakit (SIMRS)

Pengelolaan data Rumah Sakit sesungguhnya cukup besar dan kompleks, baik data
medis pasien maupun data-data administrasi yang dimiliki oleh rumah Sakit sehingga
bila dikelola secara konvensional tanpa bantuan SIMRS akan mengakibatkan
beberapa hal berikut:

a) Redudansi Data, pencatatan data medis yang sama dapat terjadi


berulang-ulang sehingga menyebabkan duplikasi data dan ini berakibat
membengkaknya kapasitas penyimpanan data. Pelayanan menjadi
lambat karena proses retreiving (pengambilan ulang) data lambat
akibat banyaknya tumpukan berkas.
b) Unintegrated Data, penyimpanan dan pengelolaan data yang tidak
terintegrasi menyebabkan data tidak sinkron, informasi pada masing-
masing bagian mempunyai asumsi yang berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan masing-masing unit /Instalasi.
c) Out of date Information, dikarenakan dalam penyusunan informasi
harus direkap secara manual maka penyajian informasi menjadi
terlambat dan kurang dapat dipercaya kebenarannya
d) Human Error, kelemahan manusia adalah kelelahan, ketelitian dan
kejenuhan hal ini berakibat sering terjadi kesalahan dalam proses
pencatatan dan pengolahan data yang dilakukan secara manual terlebih
lagi jika jumlah data yang dicatat atau di olah sangatlah besar.
Pemasukan data yang tidak sinkron untuk pasien atau barang yang
sama tentu saja akan meyulitkan pengolahan data dan tidak jarang
berdampak pada kerugian materi yang tidak sedikit bagi rumah sakit.

Dengan bantuan SIMRS kelemahan diatas dapat di kurangi bahkan dihindari. SIMRS
membuat fungsi dari bagian perawatan lebih dikonsentrasikan pada pelayanan perawatan/jasa
medis secara profesional, fungsi penagihan dilakukan oleh bagian keuangan sedangkan
pemberian potongan menjadi wewenang direksi.

4. Pertimbangan dalam membangun SIMRS


Pembangunan SIMRS tidak boleh dilakukan secara parsial tetapi harus terintegrasi
dengan mempertimbangkan berbagai sudut. Kita harus melihat dari sudut
administratif yang mengelola data-data pasien, transaksi dsb, atau juga dari sisi pasien
yang cenderung mengutamakan pelayanan kesehatan. Pasien akan senang jika rumah
sakit mampu memberikan kemudahan mendaftar dan memilih dokter, menetapkan
nomor antrian dimana semua itu dapat dilakukan lewat telepon, SMS atau bahkan
Internet. Pembayaran biaya perawatan tidak harus tunai tetapi bisa dengan credit card
atau debit card, dan masih banyak lagi kemudahan layanan yang dapat disediakan
oleh rumah sakit. OLeh sebab itu dalam membangun SIMRS kita perlu
mempertimbangkan banyak faktor diantaranya adalah:
a. Kebutuhan Pasien Harapan pasien dari sebuah pelayanan kesehatan adalah
diberikannya layanan yang cepat, nyaman dan berkualitas. Tingkat mobilitas
pasien yang tinggi menuntut adanya komunikasi dan pelayanan yang cepat antara
pasien dan institusi kesehatan, yang selanjutnya antara pasien dengan dokter.
Pasien akan sangat tertolong bila sistem rumah sakit mampu menyediakan
kemudahan mendaftar ke dokter seperti lewat SMS, atau lewat website rumah
sakit. Sesungguhnya bagi pasien alat komunikasi apa tidaklah penting karena
faktor kecepatan, kenyamanan serta kebenaran data yang didokumentasikan
itulah yang terpenting.
b. Kebutuhan Pengelola Rumah Sakit Dari sudut pengelola rumah sakit tentu saja
menginginkan sebuah sistem yang ideal, istimewa, yang mampu mengelola
semua transaksi yang ada secara akurat, efisien dan cepat, sehingga tak ada kata
‘terlambat’ pada pembuatan laporan masing-masing unit pelayanan medik karena
setiap laporan akan tercetak otomatis dan terkirim secara Jurnal EKSIS Vol 02
No 02 November 2009: halaman 32-38 36 otomatis pula. Bilamana ini dapat
terjadi dan sistem mampu mengelola dan menyajikan data secara benar-benar
BENAR’, maka pengelola akan banyak diuntungkan, karena banyak mengurangi
beban kerja semua komponen di rumah sakit dan itu berarti efisiensi
(penghematan dana). Pengelola RS dapat mengalokasikan penghematan dana
tersebut untuk pengembangan SDM, pengembangan fasilitas rumah sakit dan
peningkatan kesejahteraan karyawan.
c. Kemampuan Pengembang Banyak pengembang yang menawarkan berbagai
macam solusi untuk kebutuhan sistem informasi rumah sakit. Dari perorangan
sampai yang bermain dibelakang badan usaha (CV/ PT). Pengelola rumah sakit
harus jeli dalam memilih pengembang SIMRS. Banyak pengembang yang
memiliki kelemahan ‘belum mengetahui kondisi rumah sakit’ itu sendiri. Oleh
karena kebanyakan pengembang lebih dulu menguasai komputer daripada sistem
rumah sakit. Untuk itu perlu adanya penghubung antara pihak pengembang dan
rumah sakit yaitu mediator yang sering disebut sebagai ‘System Analyst’. Orang
ini tahu tentang rumah sakit dan sistem yang akan dibuat. Seorang system analyst
tidak harus ahli komputer, yang penting orang tersebut cukup tahu tentang
administrasi rumah sakit dan sedikit banyak tahu tentang sistem komputer,
sehingga tidak menutup kemungkinan dia adalah seorang dokter ataupun perawat.

DAFTAR PUSTAKA :

C. Laudon, P. Jane Laudon, Kenneth. 2004. Management Information Systems. Pearson


International.

Oetomo, Budi Sutedjo Dharma, 2002, ”Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi”,
Penerbit Andi
Nama : Eunike Dewa Dato

Nim : 1707010302

Kemampuan SIMRS

Dengan semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat, tuntutan terhadap tatakelola


rumah sakit menjadi lebih besar, tidak hanya dalam sisi manajemen tapi juga klinis.
Seperti diketahui, bahwa pelayanan kesehatan bersifat berubah-ubah, rentan error dan
dijalankan dengan proses yang tidak selalu konsisen yang menghasilkan keluaran yang
juga tidak selalu konsisten. Dengan adanya teknologi informasi yang diterapkan dengan
baik dapat mendukung proses pengelolaan manajemen menjadi efektif dan efesien. Seiring
dengan kemajuan teknologi, pengenalan teknologi informasi pada sistem pelayanan
kesehatan memberikan harapan-harapan akan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
dengan bantuan SIMRS, dan juga memberikan manfaat yang luar biasa bagi seluruh
komponen di rumah sakit, baik pasien, dokter, perawat, seluruh SDM lainnya, pihak
manajemen, mitra RS sampai dengan pemangku kepentingan. Ini membuktikan bahwa
salah satu keungggulan menerapkan SIMRS adalah menyederhanakan rangkaian aktivitas
di rumah sakit yang tersusun secara rapi dan sistematis melalui sistem komputerisasi
sehingga berdampak pada pelayanan yang lebih efiesien, cepat, mudah dan transparan.

SIMRS yang ideal tentu harus dapat mengurangi beban kerja kerja masing-masing unit
pelayanan. Secara global diharapkan kemampuan sistem dapat i gambarkan sebagai
berikut:

1. Dapat mengurangi beban kerja berbagai unit, terutama unit rekam medis dalam
menangani berkas rekam medis. Unit rekam medis merupakan unit yang paling
sibuk dengan banyaknya berkas medis paien. Kegiatan yang dilakukan mulai dari
proses coding, indexing, ssembling, filing, semua dikelola di unit ini. Dengan
adanya SIMRS maka bagian inilah yang pertama untuk dimigrasikan menjadi
rekam medis elektronik. Sehingga semua proses di atas dilakukan secara otomatis
dengan komputer.
2. Dapat mengurangi pemakaian kertas. Denag adanya sistem ini, maka sudah
seharusnya pemakaian kertas dapat dikurangi dan bila perlu dihilangkan. Sistem ini
harus memangkas pemakaina kertas sebagai berikut:
 Lembar-lembar rekam medis yang tidak berhubungan dengan masalah
utentifikasi atau aspek hukum.
 Laporan masing-masing unit pelayan (semua laporan sudah terekap oleh
sistem0
 Rekap laporan yang dikirim ke dinas kesehatan
3. Dapat mendukung pengambilan keputusan bagi para direktur dan manajer rumah
sakit karena sistem mampu menyediakan informasi yang cepat, akurat, serta
ankuntabel. Untuk keperluan ini sistem harus mampu menyediakan laporan yang
bersifat executive summary bagi mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Rusli. 2004. Telematika Indonesia: Kebijakan dan Perkembangan. Jakarta: Tim
Koordinasi Telematika Indonesia Kementrian Komunikasi Dan Republik Indonesia
NAMA : SHAFIRA AURA RAMADHANI

NIM : 1707010120

ALUR PELAYANAN DI RUMAH SAKIT


A. Pasien Rawat Inap
Rawat inap merupakan suatu bentuk perawatan, dimana pasien dirawat dan tinggal di
rumah sakit untuk jangka waktu tertentu. Selama pasien dirawat, rumah sakit harus
memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien (Posma 2001 yang dikutip dari
Anggraini (2008). Pelayanan rawat inap adalah suatu kelompok pelayanan kesehatan yang
terdapat di rumah sakit yang merupakan gabungan dari beberapa fungsi
pelayanan. Kategori pasien yang masuk rawat inap adalah pasien yang perlu perawatan
intensif atau observasi ketat karena penyakitnya.
Alur proses pelayanan pasien unit rawat inap akan mengikuti alur sebagai berikut :
1) Bagian Penerimaan Pasien (Admission Departement)
2) Ruang Perawatan
3) Bagian Administrasi dan Keuangan

Prosedur Pelayanan Rawat Inap Di Rumah Sakit :


a) Pasien yang membutuhkan perawatan inap atas sesuai indikasi medis akan
mendapatkan surat perintah rawat inap dari dokter spesialis RS atau dari UGD
b) Surat perintah rawat inap akan ditindaklanjuti dengan mendatangi bagian pendaftaran
untuk konfirmasi ruangan sesuai hak peserta dengan membawa KPK asli dan
fotocopy sehingga peserta bisa langsung dirawat
c) Bila ruang perawatan sesuai hak peserta penuh, maka yang bersangkutan berhak
dirawat 1 (satu) kelas diatas/dibawah haknya. Selanjutnya peserta dapat pindah
menempati kamar sesuai haknya dan bila terdapat selisih biaya yang timbul maka
peserta membayar selisih biaya perawatan
d) Bagian Pendaftaran rawat inap di RS akan menerbitkan Surat Keterangan Perawatan
RS dan selanjutnya akan diteruskan ke Kantor Cabang PT Jamsostek (Persero) dapat
melalui faksimil agar segera dapat diterbitkan surat jaminan rawat inap
e) Bidang Pelayanan atau Bidang Pelayanan JPK Kantor Cabang PT Jamsostek akan
menerbitkan Surat Jaminan Rawat Inap berdasarkan Surat Keterangan Perawatan RS
dan akan dikirim melalui faksimil ke RS. Surat jaminan harus sudah diurus selambat-
lambatnya 2x24 jam terhitung peserta rawat inap di rumah sakit
f) Bila pasien membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik lanjutan atau tindakan
medis, maka yang bersangkutan harus menandatangani Surat Bukti Pemeriksaan dan
Tindakan setiap kali dilakukan
g) Setiap selesai rawat inap, peserta/orangtua peserta bersangkutan harus
menandatangani Surat Bukti Rawat Inap dan pasien akan mendapatkan perintah untuk
kontrol kembali ke spesialis yang bersangkutan
h) Pasien akan membawa surat perintah kontrol kembali dari dokter spesialis ke dokter
PPK I untuk mendapatkan Surat Rujukan PPK I ke dokter spesialis di RS yang
ditunjuk.
i) Selanjutnya berlaku prosedur rawat jalan dokter spesialis di RS
j) Jawaban rujukan dari dokter spesialis dapat diberikan kembali kepada dokter keluarga
di PPK I.

B. Pasien Rawat Jalan


Pelayanan rawat jalan adalah salah satu bentuk dari pelayanan kedokteran. Secara
sederhana yang dimaksud dengan perawatan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran
yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap (Azwar,1998).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.66/ Menkes / II / 1987 yang dimaksud
pelayanan rawat jalan adalah pelayanan terhadap orang yang masuk rumah sakit, untuk
keperluaan observasi diagnose, pengobatan, rehabilitasi medik dan pelayanan kesehatan
lainya tanpa tinggal diruang rawat inap dan pelayanan rawat jalan adalah 8 pelayanan yang
diberikan di unit pelaksanaan fungsional rawat jalan terdiri dari poliklinik umum dan
poliklinik spesialis serta unit gawat darurat.
Pasien mengambil nomor antrian dan kemudian mendaftar kepada TPRJ (Tempat
Penerimaan Pasien Rawat Jalan) petugas mencatat pada buku register; nama, nomor rekam
medis, identitas, dan data sosial pasien, serta mencatat keluhan pada kartu poliklinik. Dan
alur selanjutnya dari rawat jalan yaitu :
1. Petugas mencari berkas rekam medis pasien jika pasien lama dan yang baru
dibuatkan nomor rekam medis.
2. Jika pasien memiliki kartu rujukan dari Askes maka dibuatkan paket Askes
yang dicatat di ruang rekam medis.
3. Kurir membawa berkas rekam medis pasien beserta kartu poliklinik sesuai
poliklinik yang dituju.
4. Petugas mencatat dibuku register nama, nomor rekam medis, jenis kunjungan
tindakan/pelayanan yang diberikan.
5. Dokter pemeriksa mencatat riwayat penyakit, hasil pemeriksaan, diagnosis,
dan penyakitnya pada kartu / lembaran berkas rekam medis.
6. Setelah diberi pelayanan maka semua laporan serta berkas yang diisi tadi
dikirim/ diambil kembali oleh kurir ke unit rekam medis paling lambat 1 jam
sebelum berakhir jam kerja.
7. Petugas di unit rekam medis memeriksa kelengkapan berkas kemudian
dimasukkan ke kartu indeks penyakit setelah diolah.
8. Petugas rekam medis membuat rekapitulasi setiap akhir bulan, berkas rekam
medis disimpan menurut nomor rekam medis ditempat penerimaan pasien
rawat jalan.

Ketika pasien/pengantar pasien dalam keadaan menunggu, unit promosi rumah sakit
biasanya melakukan promosinya. Promosi atau penyuluhan kesehatan di rumah sakit
merupakan alat bantu dalam menyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada para pasien
dan pengunjung rumah sakit lainnya. Media promosi yang digunakan di rumah sakit
diantaranya In-House Magazine, leaflet, brosur, televisi atau penyuluhan langsung.
Promosi ini didistribusikan atau disediakan di ruang-ruang tunggu, atau di lobi rumah
sakit, agar mudah dijangkau oleh para pengunjung rumah sakit. Ruang tunggu adalah
tempat yang baik untuk melakukan promosi dan penyuluhan kesehatan. Karena pada
umumnya, di ruang itulah pasien atau para pengantar berkumpul dalam waktu yang relatif
lama untuk menunggu giliran pemeriksaan atau memperoleh obat. Di ruang ini dapat
dilakukan penyuluhan kesehatan langsung atau ceramah kesehatan, ataupun penyuluhan
kesehatan tidak langsung yakni menggunakan in-house magazine, leaflet dan brosur.
Pasien atau para pengantar pasien umumnya merasa jenuh pada saat menunggu giliran,
sehingga waktu tersebut sangat baik bila digunakan untuk membagikan majalah/brosur.
Penunggu pasien maupun pasien akan disuguhkan informasi-informasi atau pesan-pesan
kesehatan agar mencegah kegelisahan dan kejenuhan. Promosi melalui penyuluhan
langsung dapat dilakukan secara terstruktur atau terprogram, tetapi juga dapat dilakukan
secara tidak terstruktur atau terprogram. Penyuluhan langsung secara terprogram sudah
direncanakan secara baik, dan ditangani oleh petugas yang khusus mempunyai
kemampuan bidang promosi kesehatan, khususnya media. Bentuk program promosi
langsung tidak terprogram dapat dilakukan oleh para petugas medis dan paramedis yang
langsung berhadapan dengan pasien.

C. Pasien Gawat Darurat


Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya penderita gawat
darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan dalam hal kualitas dan
kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah tercermin dari
kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah satu
komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita
dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral,
ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.
Pasien datang ketempat penerimaan pasien gawat darurat TPP dibuka selama 24 jam.
Berbeda dengan prosedur pasien lama yang biasa, disini pasien ditolong terlebih dahulu
lalu penyelesaian administrasi. Setelah mendapat pelayanan yang cukup, ada beberapa
kemungkinan dari setiap pasien yaitu pasien boleh langsung pulang, dirujuk ke rumah
sakit lain, dan harus dirawat.

1. Pasien Tidak Rawat Inap


 Setelah pemeriksaan terhadap pasien selesai, jika tidak ada pendamping pasien,
pihak rumah sakit akan menelpon keluarga pasien untuk datang
 Proses selanjutnya pasien harus segera mendaftar direceptionist (khusus UGD),
kemudian diberi slip pembayaran untuk membayar biaya pemeriksaan dan biaya
obat.
 Membayar di loket pembayaran
 Kembali ke receptionist untuk menebus resep dengan menunjukkan slip
pembayaran yang sudah di sahkan di loket pembayaran sebagai bukti lunas
pembayaran
 Mengambil obat di apotek dengan memberikan resep terlebih dahulu
 Setelah mendapat obat, jemput pasien di UGD dan pasien bisa pulang.
b. Pasien Rawat Inap
 Setelah pemeriksaan terhadap pasien selesai dan pasien harus rawat inap,
pendamping pasien mendaftar di administrasi khusus rawat inap.
 Setelah mendaftar dan mendapat ruangan, pasien segera dibawa ke ruangan rawat
inap.
 Setelah pasien sembuh dan diberi izin pulang oleh dokter, pendamping harus
menyelesaikan administrasi dengan mengambil slip pembayaran biaya rawat inap
(sudah termasuk obat yang diberi selama rawat inap).
 Pembayaran dilakukan di loket bank yang disediakan.Setelah proses administrasi
selesai, pendamping beserta pasien akan diberikan resume dan penjelasan
mengenai kondisi kesehatan pasien oleh dokter yang menangani
 Setelah itu pasien bisa pulang (pasien tidak perlu menebus resep obat, karena obat
sudah diberikan ketika masa rawat inap).

D. Pasien berkunjung di poli umum


Tata laksana Pelayanan di Poli Umum
1. Pendaftaran pasien yang datang ke Poli Umum dilakukan oleh pasien/keluarga
dibagian admission
2. Sebagai bukti pasien sudah mendaftar di bagian admission akan memberikan
status/rekam medis untuk diisi oleh dokter/tenaga paramedis yang bertugas
3. Petugas admission memberikan rekam medis ke Poli Umum
4. Paramedis memanggil pasien, kemudian mencocokkan identitas pasien dengan
rekam medisnya
5. Paramedis melakukan anamnesa untuk mengetahui kondisi yang dialami pasien
6. Paramedis melakukan pemeriksaan vital sign
7. Dokter melakukan pemeriksaan fisik
8. Bila diperlukan, akan dilakukan rujukan internal ke laboratorium untuk kejelasan
diagnosa dan ke poli gizi bila memerlukan konseling gizi.
9. Dokter menegakkan diagnosa, bila pasien memerlukan tindakan dilakukan di Ruang
Tindakan/UGD, dan bila memerlukan rujukan paramedis membuatkan surat rujukan
ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.
10. Dokter memberikan terapi, mengedukasi, menulis resep dan menyerahkan ke
pasien/keluarga,
11. Dokter mencatat hasil pemeriksaan, tindakan, terapi ke dalam rekam medis.
12. Paramedis menulis hasil pemeriksaan ke dalam buku register harian.
13. Paramedis melakukan entry data ke dalam komputer (SIK/P.CARE)
14. Paramedis mengembalikan rekam medis pasien ke bagian admission.
Jenis Pelayanan Yang Dilakukan Di Poli Umum
Kajian awal klinis meliputi :
a. Anamnesis
Adalah wawancara terhadap pasien atau keluarganya tentang penyakit/keluhan,
lamanya sakit dan pengobatan yang sudah didapatkan. Sebelum anamnesis dilakukan
sebaiknya konfirmasi dahulu identifas pasien.
b. Keluhan utama
Adalah keluhan yang paling dirasakan atau yang paling berat sehingga mendorong
pasien datang berobat atau mencari pertolongan medis.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Adalah perjalanan penyakit dimulai saat pertama kali pasien merasakan munculnya
keluhan atau gejala penyakitnya atau dengan kata lain mulai dari akhir masa sehat.
Setelah itu ditanyakan bagaimana perkembangan penyakitnya apakah cenderung
menetap, berfluktuasi atau bertambah lama bertambah berat sampai akhirnya datang
mencari pertolongan medis.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Merupakan informasi tentang riwayat penyakit dahulu ini secara lengkap, karena
seringkali atau penyakit riwayat pengobatan yang pernah diterimanya
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Merupakan penyakit yang berhubungan dengan faktor keturunan seperti misalnya
diabetes melitus, hipertensi. Menanyakan riwayat penyakit orangtua, kakek nenek dan
lain lain.
f. Riwayat kebiasaan/social
Kebiasaan yang biasa dilakukan oleh pasien yang bisa mempengaruhi kondisi
kesehatannya. Seperti kebiasaan merokok, atau minum alkohol, dan lain lain
g. Kesadaran
Penentuan tingkat kesadaran dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara
kualitatif: compos mentis, apatis, somnolen, stupor, koma. Sedangkan secara
kuantitatif dengan glasgow coma scale (GCS)
h. Tanda tanda vital
Pemeriksaan tanda tanda vital meliputi pemeriksaan tekanan darah, nadi, suhu, dan
respirasi.
i. Pemeriksaan fisik
Adalah pemeriksaan yang mencakup :
 Inspeksi : Keadaan umum pasien secara visual
 Palpasi : Pemeriksaan raba (perabaan benjolan, konsistensi hepar/lien)
 Perkusi : Pemeriksaan ketuk (batas jantung, paru , hepar , asites)
 Auskultasi : Periksa dengan menggunakan stetoskop

DAFTAR PUSTAKA

Haristine, Fuji, dkk. 2016. Program dan Prosedur Pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah
Ciawi Bogor

Octika, Eva. PELAYANAN PUBLIK DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA


TANJUNGPINANG (STUDI PADA PELAYANAN PUBLIK PADA UNIT REKAM
MEDIS DI RSUD KOTA TANJUNG PINANG)
NAMA : CHRISTINE S.I NAKMOFA

NIM : 1707010114

Faktor keberhasilan SIMRS

Menurut DeLone dan McLean dalam Nugroho (2008), agar SIMRS sukses dan mempunyai
dampak positif terhadap rumah sakit maka terlebih dahulu sistem informasi harus mempunyai
dampak terhadap individual. Agar mempunyai dampak pada individual maka kepuasan
pemakai haruslah tercapai. Menurut Oetomo (2002), agar SIMRS dapat berjalan dengan baik,
ada hal-hal yang harus diperhatikan yaitu:

1. Development Master Plan


Pembangunan harus dirancang dengan baik, yang perlu diperhatikan adalah
terlibatnya faktor pengalaman dalam membangun pekerjaan yang sama, serta peran
serta semua bagian dalam organisasi dalam mensukseskan Sistem Informasi
Manajemen yang akan dibangun.
2. Integrated
Dengan intergrasi antar semua bagian organisasi menjadi satu kesatuan, akan
membuat sistem berjalan dengan efisien dan efektif sehingga kendala-kendala seperti
re-entry dan ketidakkonsistenan data dapat dihindarkan, dengan harapan pengguna
sistem dapat memperoleh manfaat yang dapat dirasakan secara langsung.
3. Developmen team
Tim yang membangun SIM harus ahli dan berpengalaman dibidangnya, beberapa
bidang ilmu yang harus ada dalam membangun sebuah Sistem Informasi Manajemen
yang baik adalah: Manajemen Informasi, TI, dan Teknik Komputer. Tim ini perlu
juga melibatkan para dokter, perawat, staf informasi khususnya rumah sakit.
4. Teknologi Informasi
Ketepatan dalam memilih TI sangat penting dalam pembangunan SIM, komponen-
komponennya secara umum adalah Hardware, Software dan Network (Oetomo,
2002). Permenkes No. 82 tahun 2013 tentang sistem informasi manajemen rumah
sakit.

Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) adalah suatu sistem teknologi informasi
komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan Rumah
Sakit dalam bentuk jaringan koordinasi, pelaporan dan prosedur administrasi untuk
memperoleh informasi secara tepat dan akurat, dan merupakaan bagian dari Sistem Informasi
Kesehatan. Dalam Permenkes no. 82 tahun 2013 tentang SIMRS menyebutkan bahwa:

1. Pasal 2 menyebutkan bahwa pengaturan SIMRS bertujuan meningkatkan efisiensi,


efektivitas, profesionalisme, kinerja, serta akses dan pelayanan RS
2. Pasal 3 menyebutkan setiap Rumah Sakit wajib menyelenggarakan SIMRS.
Penyelenggaraan SIMRS dapat menggunakan aplikasi dengan kode sumber terbuka
(open source) yang disediakan oleh Kementrian Kesehatan atau menggunakan aplikasi
yang dibuat oleh Rumah Sakit.
3. Pasal 4 menyebutkan bahwa setiap Rumah Sakit harus melaksanakan pengelolaan dan
pengembangan SIMRS. Pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan SIMRS harus
mampu meningkatkan dan mendukung proses pelayanan kesehatan di Rumah Sakit yang
meliputi:
a. Kecepatan, akurasi, integrasi, peningkatan pelayanan, peningkatan efisiensi,
kemudahan pelaporan dalam pelaksanaan operasional
b. Kecepatan mengambil keputusan, akurasi dan kesepatan identifikasi masalah dan
kemudahan dalam penyusunan strategi dalam pelaksanaan manajerial
c. Budaya kerja, transparansi, koordinasi antar unit, pemahaman sistem dan
pengurangan biaya administrasi dalam pelaksanaan organisasi.
4. Pasal 5 menyebutkan SIMRS harus dapat diintegrasikan dengan program Pemerintah dan
Pemerintah Daerah serta merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan
5. Pasal 6 menyebutkan arsitektur SIMRS paling sedikit terdiri atas: kegiatan pelayanan
utama, kegiatan administratif, komunikasi dan kolaborasi
6. Pasal 7 menyebutkan SIMRS yang diselenggarakan oleh Rumah Sakit harus memenuhi 3
(tiga) unsur yang meliputi keamanan secara fisik, jaringan, dan sistem aplikasi
7. Pasal 8 menyebutkan penyelenggaraan SIMRS harus dilakukan oleh unit kerja struktural
atau fungsional didalam organisasi Rumah Sakit dengan sumber daya manusia yang
kompeten dan terlatih.

DAFTAR PUSTAKA

Silvi,Yuliana. 2018. Pelaksanaan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) di


RSUD dr. Adnaan WD Payakumbuh.Skripsi. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.
Nama : Sarah Venni Candra Kirana

NIM : 1707010018

Formulir dan Pelaporan ( RL1, RL2, RL3, RL4 dan RL5)

Sifat pelaporan SIRS sebagaimana dimaksud pada PERMENKES RI NOMOR


1171/MENKES/PER/VI/2011 ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
Formulir pelaporan SIRS terdiri dari 5 (lima) Rekapitulasi Laporan (RL), diantaranya :

1) RL 1 berisikan Data Dasar Rumah Sakit yang dilaporkan setiap waktu apabila
terdapat perubahan data dasar dari rumah sakit sehingga data ini dapat dikatakan data
yang yang bersifat terbarukan setiap saat (updated) .
2) RL 2 berisikan Data Ketenagaan yang dilaporkan periodik setiap tahun
3) RL 3 berisikan Data Kegiatan Pelayanan Rumah Sakit yang dilaporkan periodik
setiap tahun
4) RL 4 berisikan Data Morbiditas/Mortalitas Pasien yang dilaporkan periodik setiap
tahun
5) RL 5 yang merupakan Data Bulanan yang dilaporkan secara periodik setiap bulan,
berisikan data kunjungan dan data 10 (sepuluh) besar penyakit.

Cara pengisian formulir pelaporan yang terdapat dalam buku petunjuk teknis SIRS ini
hanya menguraikan hal-hal yang masih kurang jelas atau belum dimengerti oleh tenaga
Rumah Sakit dikarenakan adanya format formulir yang baru sesuai dengan PERMENKES RI
NOMOR 1171/MENKES/PER/VI/2011 tanggal 15 Juni 2011.

Penjelasa dan cara pengisian :

A. Formulir RL 1
1. Formulir Data Dasar Rumah Sakit (Formulir RL 1.1) Formulir RL1.1 adalah
formulir untuk data dasar rumah sakit yang dilaporkan setiap waktu apabila
ada perubahan data rumah sakit. Pengisian dapat dilakukan di aplikasi RS
Online. Untuk data yang tidak 7 ada tetap diisi dengan angka 0 (nol).
2. Formulir Indikator Pelayanan Rumah Sakit (Formulir RL 1.2) Pada formulir
RL 1.2, yang harus diisi adalah BOR, LOS, BTO, TOI, NDR, GDR dan Rata-
rata kunjungan perhari selama 1 (satu) tahun serta rata-rata tiap indikator.
3. Formulir Fasilitas Tempat Tidur Rawat Inap (Formulir RL 1.3)
a) Yang dimaksud dengan jumlah tempat tidur adalah jumlah tempat tidur
yang tersedia pada ruang rawat inap. Jumlah tempat tidur ini bukanlah
kapasitas tempat tidur. Data tempat tidur diisi dengan jumlah TT
keseluruhan dan di kelompokkan berdasarkan perincian tempat tidur
per-kelas (VVIP, VIP, I,II,III dan Kelas Khusus) sesuai dengan jenis
pelayanan.
b) Untuk Data Tempat tidur, bagi Rumah Sakit yang tidak bisa
mengelompokkan jumlah tempat tidur per pelayanan rawat inap, maka
jumlah tempat tidur tersebut diletakkan pada jenis pelayanan umum.
c) Pelayanan rawat inap perinatologi adalah pelayanan rawat inap yang
khusus disediakan bagi bayi baru lahir.
d) Setiap Rumah Sakit Umum, minimal mempunyai ruang rawat inap
umum, obstetri dan perinatologi dengan jumlah tempat tidur tersendiri,
oleh karena itu setiap rumah sakit umum minimal mengisi jumlah
tempat tidur untuk pelayanan rawat inap umum, obstetri dan
perinatologi.
e) Kecuali bagi Rumah Sakit Umum yang tidak mempunyai ruang rawat
obstetri tersendiri (tempat tidur untuk pasien obstetri digabung pada
ruang rawat inap umum) maka pada Rumah Sakit Umum tersebut
hanya mengisi alokasi tempat tidur pada Umum dan Perinatologi saja.
f) Yang dimaksud dengan jumlah tempat tidur adalah jumlah tempat tidur
yang tersedia pada ruang rawat inap. Jumlah tempat tidur ini bukanlah
kapasitas tempat tidur.
g) Jumlah tempat tidur tersebut tidak termasuk tempat tidur yang
dipergunakan untuk bersalin, kamar pemulihan (RR), kamar tindakan,
untuk pemeriksaan pada unit rawat jalan (Umum, Spesialisasi dan
subspesialisasi serta unit rawat jalan gigi) dan klinik unit rawat darurat.
h) Jumlah tempat tidur untuk jenis pelayanan ICU, ICCU dan
NICU/PICU diisi jika Rumah Sakit tersebut sudah mempunyai ruang
rawat inap tersendiri dengan tempat tidur dan peralatan khusus untuk
pelayanan ICU, ICCU dan NICU/PICU tersebut.
i) Untuk Rumah Sakit Khusus yang hanya melayani satu jenis pelayanan
spesialisasi, jumlah tempat tidur dilaporkan pada masing-masing ruang
rawat inap yang sesuai dengan spesialisasinya.
B. Formulir Data Ketenagaan (Formulir RL 2)
Formulir RL 2 merupakan data rekapitulasi semua tenaga yang ditetapkan
resmi bekerja di suatu rumah sakit (full time) berdasarkan jenis kelamin sesuai dengan
keadaan, kebutuhan dan kekurangan dalam rumah sakit tersebut, dan dilaporkan satu
kali dalam setahun paling lambat tanggal 15 bulan Januari tahun setelah tahun periode
pelaporan. Yang dimaksud dengan tenaga rumah sakit adalah semua jenis tenaga yang
bekerja di rumah sakit baik tenaga kesehatan seperti : tenaga medis, kefarmasian,
kesehatan masyarakat, gizi, keterapian fisik, keteknisian medis maupun tenaga non
kesehatan. Beberapa hal yang menyangkut pengisian formulir ini sebagai berikut :
1) Kualifikasi pendidikan yang dilaporkan dalam pengelompokan jenis
ketenagaan berdasarkan pada pendidikan tertinggi yang dicapai tenaga yang
bersangkutan.
2) Tenaga dokter yang mengikuti Program Pendidikan Pasca Sarjana (PPDS) di
suatu rumah sakit dicatat pada Rumah Sakit Pendidikan yang
menyelenggarakan PPDS tersebut, bukan oleh Rumah Sakit yang mengirim.
3) Dokter umum yang sedang mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis/Pasca Sarjana (brevet keahlian) pada Rumah Sakit Pendidikan
dikelompokkan dalam kategori dokter PPDS (nomor 1.2).
4) Bagi tenaga dokter, dokter gigi yang memperoleh pendidikan tambahan seperti
MHA, MARS, M.Kes, dan sebagainya dikelompokkan dalam kategori
Dokter/Dokter Gigi S2 (nomor 1.66) dan kategori Dokter/Dokter Gigi S2/S3
Kesehatan Masyarakat (nomor 1.77).
5) Dokter Spesialis yang telah menyelesaikan Sub Spesialisasinya (S3) dan
menjadi Tenaga Pengajar/Konsultan. (nomor 1.88) Berikut adalah petunjuk
teknis dalam pengisian formulir RL 2 :
a) Isi dengan lengkap dan jelas setiap pengisian Nama Rumah Sakit, Kode
Rumah Sakit, Tahun Pelaporan serta penulisan angka-angka 17 jumlah tenaga
berdasarkan dengan jenis kelamin serta keadaan, kebutuhan dan kekurangan.
b) Isi jumlah tenaga tersebut berdasarkan kualifikasi pendidikan jenis dan
kelamin. Apabila kategori tenaga tertentu tidak ada di rumah sakit maka
kolom yang tersedia agar diisi dengan nol.
c) Khusus bagi Rumah Sakit Pendidikan, untuk bagian pertama (tenaga medis)
termasuk tenaga medis yang mengikuti PPDS di rumah sakit tersebut.
C. Formulir RL 3
Formulir RL3 adalah formulir yang berisikan data kegiatan pelayanan rumah
sakit, yang dilaporkan satu kali dalam setahun, paling lambat tanggal 15 bulan Januari
tahun setelah tahun periode pelaporan.
a) Formulir Data Kegiatan Pelayanan Rawat Inap.
b) Formulir Pelayanan Rawat Darurat
c) Formulir Kegiatan Kesehatan Gigi Dan Mulut
d) Formulir Kegiatan Kebidanan
e) Formulir Kegiatan Perinatologi
f) Formulir Kegiatan Pembedahan
g) Formulir Kegiatan Radiologi
h) Formulir Pemeriksaan Laboratorium
i) Formulir Pelayanan Rehabilitasi Medik
j) Formulir Kegiatan Pelayanan Khusus
k) Formulir Kegiatan Kesehatan Jiwa
l) Formulir Kegiatan Keluarga Berencana
m) Formulir Kegiatan Obat, Penulisan Dan Pelayanan Resep
n) Formulir Kegiatan Rujukan
o) Formulir Cara Pembayaran

Berikut adalah petunjuk pengisian formulir RL3 :

a) Isilah terlebih dahulu identitas laporan dengan nomor kode rumah sakit, nama
rumah sakit dan tahun periode pelaporan.

b) Pasien Awal Tahun Isilah sesuai dengan jumlah pasien awal pada hari pertama
tahun yang bersangkutan. Pasien awal tersebut merupakan pasien sisa hari
terakhir Tahunan.

c) Pasien Masuk Isilah sesuai dengan jumlah pasien masuk selama satu tahun
yang bersangkutan

d) Pasien Keluar Hidup Isilah sesuai dengan jumlah pasien keluar hidup selama
satu tahun yang bersangkutan.
e) Pasien Keluar Mati < 48 Jam Isilah sesuai dengan jumlah pasien mati kurang
dari 48 jam selama satu tahun yang bersangkutan.

f) Pasien Keluar Mati ≥ 48 jam Kematian pasien ≥ 48 jam adalah kematian yang
terjadi sesudah periode 48 jam setelah pasien rawat inap masuk rumah sakit
Isilah sesuai dengan jumlah pasien mati dalam 48 jam dan lebih selama satu
tahun yang bersangkutan.

g) Jumlah Lama Dirawat Isilah sesuai dengan total lama dirawat dari pasien yang
sudah keluar rumah sakit (hidup maupun mati), selama satu tahun yang
bersangkutan.

h) Pasien Akhir Satu tahun Isilah sesuai dengan jumlah pasien yang masih dirawat
pada hari terakhir satu tahun yang bersangkutan.

i) Jumlah Hari Perawatan Isilah sesuai dengan total hari rawat dari semua pasien
yang dirawat selama satu tahun yang bersangkutan.

j) Jumlah Hari Perawatan VVIP Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien
VVIP selama satu tahun yang bersangkutan.

k) Jumlah Hari Perawatan VIP Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien VIP
selama satu tahun yang bersangkutan.

l) Jumlah Hari Perawatan Kelas I Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien
kelas I selama satu tahun yang bersangkutan.

m) Jumlah Hari Perawatan Kelas II Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien
kelas II selama satu tahun yang bersangkutan.

n) Jumlah Hari Perawatan Kelas III Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat pasien
kelas III selama satu tahun yang bersangkutan.

o) Jumlah Hari Perawatan Kelas Khusus Isilah sesuai dengan jumlah hari rawat
pasien yang bukan termasuk di kelas VVIP, VIP, I, II, III selama satu tahun
yang bersangkutan.

p) Catatan penentuan jenis pelayanan: 1. Pasien yang berpindah tempat berkali-


kali dalam 1 (satu) hari, maka diagnosa yang digunakan adalah diagnosa
terakhir. 2. Pasien yang sempat menjadi pasien rawat inap di satu tempat dalam
waktu ≤ 1 (satu) hari, maka dicatat sesuai dengan jenis pelayanannya di tempat
tersebut selama hari perawatan; kemudian dapat dicatat dengan jenis pelayanan
yang berbeda sesuai dengan jenis pelayanan rawat inap di tempat selanjutnya.

D. Penjelasan Data Morbiditas Dan Mortalitas (RL 4)


a) Formulir Data Keadaan Morbiditas dan Mortalitas Pasien Rawat Inap Rumah
Sakit (Formulir RL 4a) :
1. Formulir RL4a adalah formulir untuk data keadaan morbiditas pasien rawat
inap yang merupakan formulir rekapitulasi dari jumlah pasien keluar
Rumah Sakit (hidup dan mati) untuk periode tahunan.
2. Data dikumpulkan dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember
setiap tahunnya
3. Untuk semua pasien keluar rumah sakit pada tanggal 1 Januari sampai
dengan 31 Desember, dibuatkan rekapitulasi dan dilaporkan dengan
mengisi formulir RL4a.
4. Pengelompokan jenis penyakit yang terdapat pada formulir RL4a disusun
menurut pengelompokan jenis penyakit sesuai dengan Daftar Tabulasi
Dasar KIP/10, dan penambahan kelompok DTD pada Gabungan Sebab
Sakit. Terdapat penambahan 19 kelompok DTD dari 489 kelompok
menjadi 508 kelompok.
5. Penambahan kelompok DTD pada Golongan Sebab Luar Morbiditas dan
Mortalitas. Tidak terdapat penambahan kelompok DTD, untuk penyakit
akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja.
6. Data jumlah pasien keluar Rumah Sakit untuk setiap jenis penyakit
diperinci menurut golongan umur, menurut seks dan jenis kelamin dari
pasien keluar Rumah Sakit tersebut.
b) Formulir Data Keadaan Morbiditas Pasien Rawat Jalan rumah sakit RL 4b
(Formulir RL 4b)
1. Formulir RL4b adalah formulir standar untuk data keadaan morbiditas
pasien rawat jalan yang merupakan formulir rekapitulasi dari jumlah
kasus baru dan jumlah kunjungan yang terdapat pada unit rawat jalan
Rumah Sakit untuk Tahunan.
2. Data dikumpulkan dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember
setiap tahunnya.
3. Untuk semua kasus baru yang ada pada tanggal 1 Januari sampai dengan
31 Desember, dibuatkan rekapitulasinya dan dilaporkan dengan mengisi
formulir RL4b.
4. Pengelompokan jenis penyakit yang terdapat pada formulir RL4b disusun
menurut pengelompokan jenis penyakit sesuai dengan Daftar Tabulasi
Dasar KIP/10 dan penambahan kelompok DTD pada Gabungan Sebab
Sakit. Terdapat 19 kelompok DTD dari 489 kelompok menjadi 508
kelompok.
5. Penambahan kelompok DTD pada Golongan Sebab Luar Morbiditas dan
Mortalitas. Tidak terdapat penambahan kelompok DTD, untuk penyakit
akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja.
6. Data tentang jumlah kasus baru untuk setiap jenis penyakit diperoleh dari
masing-masing unit rawat jalan kecuali dari radiologi, dan gizi.
7. Data jumlah kasus baru untuk setiap jenis penyakit diperinci menurut
golongan umur dan jenis kelamin dari kasus baru tsb.
E. Data Kegiatan Pelayanan Rumah Sakit (Formulir RL 5)
a. Formulir Pengunjung Rumah Sakit (Formulir RL 5.1) Pengunjung Baru
Pengunjung Baru adalah pengunjung yang baru pertama kali datang ke Rumah
Sakit dan mendapatkan nomor rekam medis baru. Nomor rekam medis
diberikan hanya sekali seumur hidup. Pengunjung baru dapat melakukan
kunjungan di beberapa Poliklinik atau IGD sebagai kunjungan baru dengan
kasus baru. Pengunjung Lama Pengunjung Lama adalah pengunjung yang
datang untuk kedua kali dan seterusnya, yang datang ke poliklinik yang sama
atau berbeda sebagai kunjungan lama atau kunjungan baru dengan kasus lama
dan kasus baru. Pengunjung lama tidak mendapat Nomor Rekam Medis lagi.

b. Formulir Kunjungan Rawat Jalan (Formulir 5.2) :


1) Kunjungan Rawat Jalan Adalah jumlah kunjungan baru dan kunjungan
lama di Rawat jalan
2) Kunjungan Baru Adalah pasien yang pertama kali datang ke salah satu
jenis pelayanan rawat jalan, pada tahun yang sedang berjalan.
3) Kunjungan Lama Adalah kunjungan berikutnya dari suatu kunjungan
baru, pada tahun yang berjalan.
4) Jika suatu Rumah Sakit Umum hanya mempunyai satu poliklinik, maka
poliklinik tersebut dikategorikan sebagai unit rawat jalan UMUM dan
isilah dengan banyaknya kunjungan baru dan kunjungan ulang selama
satu tahun yang bersangkutan pada butir 23. UMUM. 42
5) Jika suatu Rumah Sakit Umum mempunyai unit rawat jalan UMUM dan
satu atau lebih unit rawat jalan (poliklinik) tertentu lainnya maka isilah
jumlah kunjungan baru dan jumlah kunjungan ulang masing-masing
jenis unit rawat jalan yang ada.
6) Untuk Rumah Sakit Khusus isilah jumlah kunjungan baru dan jumlah
kunjungan ulang pada jenis unit rawat jalan yang cocok untuk jenis
Rumah Sakitnya.
7) Jika suatu Rumah Sakit mempunyai pelayanan rawat jalan sub
spesialisasi maka dimasukkan dalam spesialisasinya.
8) Untuk pelayanan rawat jalan "DAY CARE" isilah sesuai dengan jumlah
pasien rawat siang yang datang ke Rumah Sakit dalam satu satu tahun
yang bersangkutan. Untuk pasien yang berkunjung ini biasanya
diberikan satu kali makan siang akan tetapi bukan merupakan pasien
rawat inap karena pasien tersebut datang pagi dan pulang di sore hari
c. Formulir Daftar 10 Besar Penyakit Rawat Inap (Formulir 5.3) Formulir RL 5.3
adalah formulir untuk data 10 besar penyakit rawat inap rekapitulasi dari
jumlah pasien keluar Rumah Sakit (hidup dan mati) untuk satu tahun. Data
dikumpulkan dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember setiap
tahunnya.
d. Formulir Daftar 10 Besar Penyakit Rawat Jalan (Formulir 5.4) Formulir RL
5.4 adalah formulir untuk data 10 besar penyakit rawat jalan rekapitulasi dari
jumlah banyaknya kasus baru pada unit rawat jalan untuk satu tahun. Data
dikumpulkan dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember setiap
tahunnya.

DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/USER.USER-
PC/Downloads/Documents/Juknis%20SIRS%202011.pdf : JUKNIS SIRS 2011
NAMA : CICILIA A. GAGI
NIM : 1707010148

PENGERTIAN SURVEILANS IRS DAN PENGERTIAN IRS

1. Surveilans IRS adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus-menerus, dalam
pengumpulan, identifikasi, analisis dan interpretasi dari data kesehatan yang penting
pada suatu populasi spesifik yang didiseminasikan secara berkala kepada pihak-pihak
yang memerlukan untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan dan evaluasi suatu
tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Infeksi Rumah Sakit (IRS) atau
Healthcare associated infections (HAIs) adalah infeksi yang terjadi pada pasien
selama perawatan di RS atau fasilitas pelayanan kesehatan lain, yang tidak ditemukan
dan tidak dalam masa inkubasi saat pasien masuk RS. IRS juga mencakup infeksi
yang didapat di RS tetapi baru muncul setelah keluar RS dan juga infeksi akibat kerja
pada tenaga kesehatan. Ruang lingkup Pedoman Surveilans ini adalah khusus untuk
infeksi rumah sakit (IRS) yang terjadi pada pasien.

2. Infeksi Rumah Sakit (IRS) atau dalam arti yang lebih luas disebut sebagai Hospital
Associated Infection (HAIs), merupakan jenis infeksi yang berhubungan erat dengan
proses perawatan pasien. Jadi target yang diselidiki dalam hal ini terutama adalah
pasien-pasien yang sedang mengalami perawatan. Dengan demikian semakin lama
perawatan risiko terjadinya IRS juga akan semakin meningkat. Begitu juga semakin
banyak tindakan perawatan yang bersifat invasif akan meningkatkan terjadinya IRS.
Dengan alasan ini, risiko terjadinya IRS akan semakin meningkat pada pusat pusat
perawatan atau rumah sakit yang besar akan semakin ditingkatkan sehubungan
dengan jenis pasien yang harus ditangani dan macam tindakan yang harus dilakukan.
IRS merupakan infeksi yang terjadi saat perawatan. Untuk menentukan apakah suatu
infeksi termasuk IRS atau bukan, perlu bukti-bukti kuat yang membuktikan bahwa
infeksi tersebut memang belum ada dan juga tidak pada waktu inkubasi saat pasien
dirawat. Penyakit infeksi merupakan jenis penyakit yang tidak terjadi secara spontan,
tetapi memerlukan proses yang disebut sebagai masa inkubasi. Patokan 2 atau 3 hari
setelah perawatan bukan merupakan patokan yang tetap, karena masa inkubasi dari
masing-masing jenis mikroba penyebab infeksi mempunyai waktu inkubasi yang
bervariasi. Infeksi akut umumnya mempunyai masa inkubasi 2 – 3 hari, tetapi jenis-
jenis infeksi lain bisa berkisar dari beberapa hari, minggu, bulan atau bahkan tahun
(misalnya Tuberkulosis, HIV atau Lepra). Untuk itu, sering kali perlu data-data
penunjang, baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau bahkan laboratorium untuk
membuktikan jenis infeksi ini.

DAFTAR PUSTAKA :
Menkes RI 2011. Pedoman Surveilans Infeksi Rumah Sakit. 2011
NAMA : FITRIA NINGSI BANNI TUDU

NIM : 1707010036

IDENTIFIKASI KASUS

Apabila ditemukan kasus IRS, maka ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan disini :

a. Apakah kasus IRS didapatkan secara pasif atau aktif ?

Pada surveilans secara pasif, orang yang tidak duduk dalam komite / Tim PPI
dipercaya untuk mencatat dan melaporkan bila menemukan infeksi selama perawatan.
Misalkan tersedia formulir yang diisi oleh dokter atau perawat yang merawat bila
menemukan IRS pada pasiennya. Oleh karena keterampilan dan pengetahuan tenaga
semacam ini lebih tertuju pada perawatan pasien. Dari pada masalah surveilans, maka
tidak heran kalau masalah yang selalu ada pada surveilans pasif adalah selalu
mengsklasifikasi, underreporting dan kurang runutnya waktu dari data yang
terkumpul. Surveilans aktif adalah kegiatan yang secara khusus dilakukan untuk
mencari kasus IRS oleh orang-orang yang terlatih dan hampir selalu dari komite/Tim
PPI tersebut mencari data dari sumber untuk mengumpulkan informasi dan
memutuskan apakah terjadi IRS atau tidak.

b. Apakah kasus IRS didapatkan berdasarkan pasien atau temuan laboratorium ?


Surveilans yang didasarkan pada temuan klinis pasien, menelaah factor resiko,
memantau prosedur perawatan pasien yang terkait denagan prinsip-prinsip
pencegahan dan pengendalian infeksi dalam hal diperlukan pengamatan langsung di
ruang perawtan diskusi dengan dokter atau perawatan.
Surveilans yang berdasarkan pada temuan laboratorium, semata-mata didasarkan atas
hasil pemeriksaan laboratorium atas sediaan klinik. Oleh karena itu infeksi yang tidak
dikultur yaitu yang didiagnosis secara klinik (berdasarkan gejala dan klinik) saja,
seperti sepsis dapat secara salah diinterpretasikan sebagai IRS (misalnya hasil positif
hanya merupakan kolonisasi dan bukan infeksi)
c. Apakah kasus IRS didapatkan secara prosfektif atau retrospektif ?
Yang dimaksud dengan surveilans prospektif pemantauan setiap pasien selama
dirawat di rumah sakit dan untuk pasien operasi sampai setelah pasien pulang (satu
bulan untuk operasi tanpa implant dan satu tahun jika ada pemasangan implant).
Surveilans retrospektif hanya mengandalakan catatan medic setelah pasien pulang
untuk menemukan ada tidaknya IRS.
Keuntungan yang paling utama pada survelans prospektif adalah :
a. Dapat langsung menentukan kluster dari infeksi.
b. Adanya kunjungan komite/TIM PPI di ruan perawatan.
c. Memungkinkan analisis data berdasarkan waktu dan dapat memberikan
umpan balik.

Kelemahan adalah memerlukan sumber daya yang lebih besar dibandigkan surveilans
retrospektif.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, Rizki.2018.Identifikasi Bakteri Staphylococcus Aureus Dengan Infeksi Nosokomial


Pada Sprei Di Ruang Perawatan Pascabedah Rsud Labuang Baji Kota Makassar. Prosiding
Seminar Nasional 2018 Sinergitas Multidisiplin Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, vol.1,
ISSN:2622-0520
NAMA : ANNA MARIA MESIA
NIM : 1707010090
Perencanaan SIRS
Bagian : Penetapan Prioritas
a. Penetapan Prioritas
Prioritas ditetapkan melalui besaran suatu masalah :
a. Angka kejadian
Angka jenis infeksi Nosokomial yang banyak terjadi di Rumah sakit. Seperti
peningkatan angka infeksi ISK,ILO,Pneumonia,Sepsis, Dekubitus dan Phelebitis.
b. Potensi Terjadi infeksi
1. Karakteristik patogen penyebab
Misalnya pada ulkus dekubitus sering terjadi infeksi nosokomial.bakteri yang
sering diisolasi ialah S.aureus,Pseudomonas aeruginosa,Escherichia
coli,Proteus mirabilis,Enterobacter cloacae,Serratia
marcescens,Streptococcus group G, Staphylocccus grup A, Entrococcus, dan
Acinetobactersp. Bakteri anaerob juga dapat ditemuka. Ulkus dekubitus dapat
menyebabkan bakterimia dan menimbulkan komplikasi, misalnya
osteomielitis, endokarditis,sepsi,dan kematian.
2. Perilaku Petugas
Perilaku petugas yang mengakibatkan terjadinya infeksi Nosokomial,
kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum mengobati, merawat ataupun
memegang pasien,penggunaan APD seperti Masker.
3. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan yang mendukung terjadinya infeksi Nosokomial(
ventilasi,sirkulasi Udara,kebersihan dan penyinaran) kurang memadai, sarana
alat pelindung diri kurang mencukupi,dan ruang khusus untuk isolasi
pencegahan penularan tidak tersedia.
4. Jenis Tindakan
Tindakan atau kinerja petugas saat menghadapi infeksi nosokomial.
c. Risiko penularan
 Cara penularan
Cara penularan melalui droplet misalnya petugas kesehatan tidak
menggunakan masker dan sambil berbicara pada saat melakukan infus,ini
dapat menyebabkan kuman yang ada dimulut keluar dan menyebar ke daerah
bagian yang di infus.
d. Unit perawatan beresiko tinggi
Fasilitas dari rumah sakit dalam menunjang pengendalian Infeksi Nosokomial ini
apakah terpenuhi/tidak Standar maka kontribusi untuk kejadian infeksi
nosokomial yang dimungkinkan menjadi tinggi.
e. Ketersediaan Sumber daya
1. Sumber daya Manusia ( Petugas Kesehatan)
2. Sarana/Fasilitas Rumah Sakit dalam menunjang pengendalian Infeksi
Nosokomial

DAFTAR PUSTAKA

Nugraheni Ratna, Suhartono,Winarni Sri (2012). Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro


Kabupaten Wonosobo. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. 11 (1), 94-100

Bady M. Agus, Kusnanto Hari, Handono Dwi (2007). Analisis Kinerja Perawat dalam
pengendalian Infeksi Nosokomial di IRNA I RSUP DR. SARDJITO. Program Magister
Kebijakan dan Manajemen pelayanan kesehatan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2007.
Distant learning Resource Center Magister KMPK UGM.
NAMA: REZA PUTRI RAMADANI RUSDA

NIM : 1707010268

METODE SURVEILANS INFEKSI RUMAH SAKIT

Pengumpulan dan Pencatatan Data

Banyak sumber data diperlukan dalam pelaksanaan surveilans IRS tergantung dari jenis
pelayanan medik yang diberikan oleh suatu rumah sakit. Agar dapat melaksanakan surveilans
dengan baik atau melaksanakan penyelidikan suatu KLB. Sering kali diperlukan sumber dari
dokter, perawat, pasien maupun keluarga pasien, dari farmasi, catatan medic, catatan perawat.

1. Pengumpulan Data Numerator


a. Pengumpulan Data Pengumpulan numerator data dapat dilakukan oleh pasien
IPCN, misalnya IPCLN yang sudah dilatih atau dengan melihat program
otomatis dari database elektronik, tetapi tetap IPCN atau seorang IPCO
(Infection Prevention Officer) atau IPCD (Infection Prevention Control
Doctor) yang membuat keputusan final tentang adanya IRS berdasarkan
kriteria yang dipakai untuk menentukan adanya IRS.
b. Jenis Data Numerator yang Dikumpulkan
1) Data demografik : nama, tgl lahir, jenis kelamin, nomor catatan medic,
tgl masuk rumah sakit.
2) Infeksi : tgl infeksi muncul, lokasi infeksi, ruang perawatan saat
infeksi muncul pertama kali.
3) Faktor Resiko : alat, prosedur, factor lain yang berhubungan dengan
IRS.
4) Data laboratprium : jenis mikroba, antibiogram, serologi, patologi.
5) Data Radiology/imaging : X-ray, CT scan, MRI, dsb.
c. Sumber Data Numerator
1) Catatan masuk/keluar/pindah rawat, catatan laboratorium
mikrobiologi.
2) Mendatangi bangsal pasien untuk mengamati dan berdiskusi dengan
perawat.
3) Data-data pasien (catatan kertas atau computer) untuk konfirmasi kasus
:Hasil laboratorium dan radiologi/imaging, catatan perawat dan dokter
dan konmsultan, diagnosis saat masuk rumah sakit, riwayat penyakit
dan pemeriksaan fisik, catatan diagnostic dan intervensi bedah, catatan
suhu, informasi pemberian antibiotic.
4) Untuk kasus SSI post-discharge, sumber data termasuk catatan dari
klinik bedah, catatan dokter, departemen emergensi.
d. Bagaimana IPCO mengumpulkan data numerator.
1) Amati catatan masuk/keluar/pindah rawat pasien-pasien yang masuk
dengan infeksi, tempatkan mereka pada kelompok resiko mendapatkan
IRS.
2) Review laporan laboratorium untuk melihat pasien yang kemungkinan
terinfeksi (misalnya kultur positif mokrobiologi, temuan patologi) dan
bicarakan dengan personil laboratorium untuk mengidentifikasi pasien
yang kemungkinan terinfeksi dan untuk mengidentifikasi kluster
infeksi, khususnya pada area yang tidak dijadikan target rutin
surveilans IRS.
3) Selama melakukan surveilans ke ruangan, amati lembar pengumpul
data, catatan suhu, lembar pemberian antibiotikn dan catatan medis
pasien; bicara dengan perawat dan dokter untuk mencoba
mengidentifikasi pasien-pasien yang kemungkinan terinfeksi.
4) Lakukan review data pasien yang dicurigai terkena IRS : review
perjalanan penyakit yang dibuat oleh dokter dan perawat, data
laboratorium, laporan radiologi/imaging, laporan operasi, dsb.; bila
data elektronik ada, review dapat dilakukan melalui computer, tetapi
keliling ruangan tetap penting untuk surveilans, pencegahan dan
control aktivitas. 5. Review juga dilakukan dari sumber kumpulan data
lengkap IRS.

2. Pengumpulan Data Denominator.


a. Pengumpulan data Pengumpulan data denominator dapat dilakukan oleh
selain IPCN, misalnya IPCLN yang sudah dilatih. Data juga dapat diperoleh,
asalkan data ini secara substansial tidak berbeda dengan data yang
dikumpulkan secara manual.
b. Jenis Data Denominator Yang Dikumpulkan
1) Jumlah populasi pasien yang berisiko terkena IRS.
2) Untuk data laju densitas insiden IRS yang berhubungan dengan alat :
catatan harian jumlah total pasien dan jumlah total hari pemasangan
alat (ventilator, central line, and kateter urin) pada area yang dilakukan
surveilans. Jumlahkan hitungan harian ini pada akhir periode
surveilans untuk digunakan sebagai denominator.
3) Untuk laju SSI atau untuk mengetahui indek resiko : catat informasi
untuk prosedur operasi yang dipilih untuk surveilans (missal : jenis
prosedur, tanggal, factor risiko, dsb.)
c. Sumber Data Denominator.
1) Untuk laju densitas insiden yang berhubungan dengan alat : datangi
area perawatan pasien untuk mendapatkan hitungan harian dari jumlah
pasien yang datang dan jumlah pasien yang terpasang alat yang
umumnya berhubungan dengan kejadian IRS (missal : sentral line,
ventilator atau kateter menetap).
2) Untuk laju SSI : dapatkan data rinci dari log kamar operasi dan data-
data pasien yang diperlukan.
3. Perhitungan.
a. Numerator Angka kejadian infeksi dan perlu data untuk dicatat Terdapat tiga
katagori yang perlu dicatat atas seorang pasien dengan IRS yaitu : data
demografi, infeksinya sendiri dan data laboratorium.
b. Denominator. Data yang perlu dicatat. Denominator dari infection rate adalah
tabulasi dari data pada kelompok pasien yang memiliki resiko untuk mendapat
infeksi :
1) Pengumpulan data denominator dan numerator dilakukan oleh IPCN
yang dibantu oleh IPCLN.
2) Data denominator dikumpulkan setiap hari, yaitu jumlah pasien,
jumlah pemaklaian alat-alat kesehatan ( kateter urine menetap,
ventilasi mekanik, kateter vena central, kateter vena perifer) dan
jumlah kasus operasi.
3) Data numerator dikumpulkan bila ada kasus baru infeksi seperti infeksi
saluran kemih (ISK), infeksi aliran darah primer (IADP), pneumonia
baik yang terpasang dengan ventilator maupun tidak terpasang dengan
ventilator, infeksi luka oprasi (ILO).

Analisis Data

Menentukan dan menghitung laju. Laju adalah suatu probabilitas suatu kejadian.
Biasa dinyatakan dalam formula sebagai berikut :

(x/y) k

x = numerator, adalah jumlah kali kejadian selama kurun waktu tertentu.

y = denominator, adalah jumlah populasi dari mana kelompok yang mengalami kejadian
tersebut berasal selama kurun waktu yang sama.

k = angka bulat yang dapat membantu angka laju dapat mudah dibaca (100, 1000 atau
10.000).

Kurun waktu harus jelas dan sama antara numerator dan denominator sehingga laju
tersebut mempunyai arti. Ada tiga macam laju yang dipakai dalam surveilans IRS atau
surveilans lainnya, yaitu incidence, prevalence dan incidence density.

1. Incidence Adalah jumlah kasus baru dari suatu penyakit yang timbul dalam satu
kelompok populasi tertentu dalam kurun waktu tertentu pula. Di dalam surveilans IRS
maka incidence adalah jumlah kasus IRS baru dalam kurun waktu tertentu dibagi oleh
jumlah pasien dengan resiko untuk mendapatkan IRS yang sama dalam kurun waktu
yang sama pula.
2. Prevalence Adalah jumlah total kasus baik baru maupun lama suatu kelompok
populasi dalam satu kurun waktu tertentu (period prevalence) atau dalam satu waktu
tertentu (point prevalence). Point prevalence nosocomial rates adalah jumlah kasus
IRS yang dapat dibagi dengan jumlah pasien dalam survey.
Rhame menyatakan hubungan antara incidence dan prevalence adalah sebagai berikut
:

I = P (LA / LN – INTN)

I = Incidence rates. P = Prevalences rates.

LA = Nilai rata-rata dari lama rawat semua pasien.


LN = Nilai rata-rata dari lama rawat pasien yang mengalami satu atau lebih IRS.

INTN = Interval rata-rata antara waktu masuk rumah sakit dan hari pertama terjadinya IRS
pada pasien-pasien yang mengalami satu atau lebih IRS tersebut.

Dalam penerapan di rumah sakit maka prevalence rates selalu memberikan over estimate
untuk resiko infeksi oleh karena lama rawat dari pasien yang tidak mendapat IRS biasanya
lebih pendek dari lama rawat pasien dengan IRS. Hal ini dapat lebih mudah dilihat dengan
menata ulang formula sebagai berikut :

P = I (LN – INTN) / LA

Dimana Prevalence sama dengan Incidence dikali lama Infeksi.

Incidence Density. Adalah rata-rata instant dimana infeksi terjadi, relative terhadap besaran
populasi yang bebas infeksi. Incidence density diukur dalam satuan jumlah kasus penyakit
per satuan orang per satuan waktu. Contoh popular dari Incidence Density Rates (IDR) yang
sering dipakai di rumah sakit adalah jumlah IRS per 1000 pasien/hari.

Incidence density sangat berguna terutama pada keadaan sebagai berikut :

a. Sangat berguna bila laju infeksinya merupakan fungsi linier dari waktu panjang yang
dialami pasien terhadap factor resiko (misalnya semakin lama pasien terpajan,
semakin besar resiko mendapat infeksi).
Contoh incidence density rate (IDR) : Jumlah kasus ISK / Jumlah hari pemasangan
kateter. Lebih baik dari pada Incidence rate (IR) di bawah ini : Jumlah ISK Jumlah
pasien yang terpasang kateter urine. Oleh karena itu IDR dapat mengontrol lamanya
pasien terpajan oleh factor resikonya (dalam hal ini pemasangan kateter urine) yang
berhubungan secara linier dengan resiko infeksi.
b. Jenis laju lain yang sering digunakan adalah Atack rate (AR) yaitu suatu bentuk
khusus dari incidence rate. Biasanya dinyatakan dengan persen (%) dimana k = 100
dan digunakan hanya pada KLB IRS yang mana pajanan terhadap suatu populasi
tertentu terjadi dalam waktu pendek. Surveilans merupakan kegiatan yang sangat
membutuhkan waktu dan menyita hampir separuh waktu kerja seorang IPCN
sehingga dibutuhkan penuh waktu (full time). Dalam hal ini bantuan computer akan
sangat membantu, terutama akan meningkatkan efisien pada saat analisis. Besarnya
data yang harus dikumpulkan dan kompleksitas cara analisisnya merupakan alasan
mutlak untuk menggunakan fasilitas computer, meski di rumah sakit kecil sekalipun.
Lagi pula sistem surveilans tidak hanya berhadapan dengan masalah pada waktu
sekarang saja, tetapi juga harus mengantisipasi tantangan di masa depan.
Dalam penggunaan computer tersebut ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
yaitu :
1) Memilih sistem computer yang akan dipakai, computer mainframe atau
computer mikro. Komputer mainframe bekerja jauh lebih cepat, memuat data
jauh lebih besar dan memiliki jaringan yang dapat diakses di seluruh area
rumah sakit. Semua data pasien seperti sensus pasien, hasil laboratorium dan
sebagainya, dapat dikirim secara elektronik. Namun harus diingat bahwa
computer mainframe adalah cukup mahal baik pembelian maupun
operasionalnya. Tidak setiap orang dapat menggunakannya dan memerlukan
pelatihan yang intensif. Software untuk program pencegahan dan
pengendalian IRS bagi computer mainframe sampai saat ini masih terbatas.
Mikrokomputer jauh lebih murah dan lebih mudah dioperasikannya oleh
setiap petugas. 2. Mencari software yang sudah tersedia dan memilih yang
digunakan. Pemilihan software harus dilakukan hati-hati dengan
mempertimbangkan maksud dan tujuan dari surveilans yang akan
dilaksanakan di rumah sakit.

Evaluasi, Rekomendasi dan Diseminasi.

Hasil surveilans dapat digunakan untuk melaksanakan program pencegahan dan pengendalian
infeksi rumah sakit (PPIRS) dalam satu waktu tertentu.

Memperbandingkan laju infeksi diantara kelompok pasien.

Denominator dari suatu laju (rate) harus menggambarkan populasi at risk. Dalam
membandingkan laju antar kelompok pasien di dalam suatu rumah sakit, maka laju tersebut
harus disesuaikan terlebih dahulu terhadap factor resiko yang berpengaruh besar akan
terjadinya infeksi. Kerentanan pasien untuk terinfeksi sangat dipengaruhi oleh factor-faktor
resiko tertentu, seperti karakteristik pasien dan pajanan.

Faktor resiko ini secara garis besar dibagi menjadi dua katagori yaitu faktor intrinsik dan
faktor ektrinsik.
1. faktor intrinsik adalah faktor yang melekat pada pasien seperti penyakit yang
mendasari dan ketuan. Mengidentifikasi faktor resiko ini perlu dilakukan dengan
mengelompokkan pasien dengan kondisi yang sama (distratifiksi).
2. Faktor ektrinsik adalah yang lebih berhubungan dengan petugas pelayanan atau
perawat (perilaku petugas di seluruh rumah sakit). Meskipun hamper semua faktor
ektrinsik memberikan resiko IRS, namun yang lebih banyak perannya adalah jenis
intervensi medis yang beresiko tinggi, seperti tindakkan invasive, tindakkan operatif
atau pemasangan alat yang invasive. Banyak alasan yang dapat dikemukakan
mengapa pasien yang memiliki penyakit lebih berat yang meningkat kerentananya.
Alat tersebut merupakan jembatan bagi masuknya kuman penyakit dari bagian tubuh
yang satu ke dalam bagian tubuh yang lain dari pasien. Resiko untuk mendapat infeksi
luka operasi (ILO), berkaitan dengan beberapa factor. Diantanya yang terpenting
adalah bagaimana prosedur operasi dilaksanakan, tingkat kontaminasi
mikroorganisme di tempat operasi, lama operasi dan factor intrinsic pasien. Oleh
karena factor-faktor tersebut tidak dapat dieliminasi maka angka ILO disesuaikan
terhadap faktor-faktor tersebut. Demikian pula halnya dengan jenis laju yang lain,
apabila akan diperbandingkan maka harus diingat faktor-faktor mana yang harus
disesuaikan agar perbandinganya menjadi bermakna.

Memperbandingkan Laju Infeksi dengan Populasi Pasien.

Rumah sakit dapat menggunakan data surveilans IRS untuk menelaah program pencegahan
dan pengendalian IRS dengan membandingkan angka laju IRS dengan populasi pasien yang
sama di dalam rumah sakit yang sama. Misalnya, membandingkan laju IRS dari 2 (dua) ICU
atau dapat pula menggunakan laju IRS dengan angka eksternal (benchmark rates) rumah sakit
atau dengan mengamati perubahan angka menurut waktu di rumah sakit itu sendiri. Meskipun
angka laju infeksi telah mengalami penyesuaian dan melalui uji kemaknaan namun
interprestasi dari angka-angka tersebut harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi
kekeliruan. Banyak yang menganggap bahwa angka laju infeksi di rumah sakit itu
mencerminkan keberhasilan dan kegagalan dari petugas pelayanan/perawatan pasien atau
fasilitas pelayanan kesehatan dalam upaya pencegahan dan pengendalian IRS.
Meskipun ada benarnya, masih banyak faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan angka
tersebut.

Pertama, definisi yang dipakai atau tehnik dalam surveilans tidak seragam antar rumah sakit
atau tidak dipakai secara konsisten dari waktu ke waktu meskipun dari sarana yang sama. Hal
ini menimbulkan variasi dari sensitifitas dan spesifisitas penemuan kasusnya.

Kedua, tidak lengkapnya informasi klinik atau bukti-bukti laboratorium yang tertulis di
catatan medic pasien member dampak yang serius terhadap validitas dan utilitas dari angka
laju IRS yang dihasilkan.

Ketiga, angka tidak disesuaikan terhadap factor resiko intrinsic, factor resiko ini sangat
penting artinya dalam mendapatkan suatu IRS, namun sering kali lolos dari pengamatan dan
sangat bervariasi dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain. Sebagai contoh, di
rumah sakit yang memiliki pasien dengan immunocompromised diharafkan memiliki factor
resiko intrinsic yang lebih besar dari pada rumah sakit yang tidak memiliki karakteristik
pasien seperti itu.

Keempat, jumlah population at risk (misalnya jumlah pasien masuk/pulang, jumlah hari
rawat atau jumlah operasi) mungkin tidak cukup besar untuk menghitung angka laju IRS
yang sesungguhnya di rumah sakit tersebut. Meskipun tidak mungkin untuk mengontrol
semua factor tersebut di atas, namun harus disadari pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap
angka laju infeksi serta mempertimbangkan hal tersebut pada saat membuat interpretasi.

Memeriksa Kelayakan dan Kelaikan Peralatan Pelayana Medik

Utilisasi alat (Device Utilization = DU) didefinisikan sebagai berikut :

DU = Ʃ hari pemakaian alat

Ʃ hari rawat pasien

Di ICU anak dan dewasa maka hari pemakaian alat terdiri dari jumlah total dari hari Ʃ
pemakaian ventilator, jumlah hari pemasangan keteter urin. DU suatu ICU merupakan salah
satu cara mengukur tingkat penerapan tindakan invasive yang memberikan factor resiko
intrinsic bagi IRS. Maka DU dapat dipakai sebagai tanda berat ringannya pasien yang dirawat
di unit tersebut, yaitu pasien rentan secara intrinsic terhadap infeksi. DU Perhatian
komite/Tim PPI tidak hanya terpaku pada laju infeksi di rumah sakit. Sehubungan dengan
mutu pelayanan/perawatan maka harus dipertanyakan tentang : “apakah pajanan pasien
terhadap tindakan invasive yang meningkat resiko IRS telah diminimalkan ?”. Peningkatan
angka DU di ICU memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk pasien yang mengalami
tindakan operatif tertentu, maka distribusi pasien mengenai kategori resikonya sangat
bermanfaat. Misalnya untuk membantu menentukan kelayakan intervensi yang diberikan.
Meneliti kelayakan suatu intervensi juga membantu menentukan apakah pajanan telah
diminimalkan.

Pelaporan

Laporan sebaiknya sistematik, tepat waktu, informative. Data dapat disajikan dalam berbagai
bentuk, yang penting mudah dianalisa dan diinterpretasi. Penyajian data harus jelas,
sederhana, dapat dijelaskan diri sendiri. Bisa dibuat dalam bentuk table, prafik, pie. Pelaporan
dengan narasi singkat.

Tujuan untuk : Memperlihatkan pola IRS dan perubahan yang terjadi (trend). Memudahkan
analisis dan interpretasi data. Laporan dibuat secara periodic, setiap bulan, triwulan, semester,
tahunan.

Desiminasi

Surveilans belum sempurna dilaksanakan apabila datanya belum didesiminasikan kepada


yang berkepentingan untuk melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi. Oleh sebab
itu hasil surveilans angka infeksi harus disampaikan ke seluruh anggota komite, direktur
rumah sakit, ruangan atau unit terkait secara berkesinambungan. Disamping itu juga perlu
didesiminasikan kepda kepala unit terkait dan penanggungjawab ruangan beserta stafnya
berikut rekomendasinya. Oleh karena IRS mengandung hal yang sangat sensitive, maka data
yang dapat mengarah ke pasien atau perawatan harus benar-benar terjaga kerahasiannya.
Dibeberapa negara data seperti ini bersifat rahasia. Data seperti ini tidak digunakan
memberikan sanksi tetapi hanya digunakanuntuk tujuan perbaikan mutu pelayanan. Tujuan
desiminasi agar pihak terkait dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk menetapkan
strategi pengendalian IRS. Laporan disesiminasi secara periodic bulanan, triwulanan,
tahunan. Bentuk penyampaian dapat secara lisan dalam pertemuan, tertulis, papan buletin.
Sudah selayaknya Komite/Tim PPI menyajikan data surveilans dalam bentuk standar yang
menarik yaitu berupa laporan narasi singkat (rangkuman), table, grafik kepada Komite/Tim
PPI. Analisis yang mendalam dari numerator dapat dilaksanakan untuk memberikan
gambaran epidemiologinya, termasuk kuman pathogen dan factor resikonya. tidak
berhubungan dengan laju infeksi (infection rate) yang berkaitan dengan pemakaian alat, hari
pemakaian.

DAFTAR PUSTAKA

TIM PPI RSUD RATU ZALECHA.2015.Panduan Surveilans Infeksi Rumah Sakit.


https://www.scribd.com/doc/308501977/Panduan-Surveilans-Infeksi-Rumah-Sakit.diakes
pada tanggal 21 Mei 2019
NAMA : RATNA ANINDIR IPA HOY PURANDIMA

NIM : 1707010304

Pengorganisasian dalam pelaksanaan surveilans Infeksi Rumah Sakit

Pencegahan dan Pengelolaan Infeksi (PPI) merupakan salah satu indicator pasien safety,
dimana kegiatan Pencegahan dan Pengelolaan Infeksi (PPI) dapat dicapai melalui program
kegiatan surveilans, pendididkan dan pelatihan dokter, perawat, maupun petugas kesehatan
lainnya. Pelaksanaan program tersebut perlu ditunjang perencanaan yang rinci dalam strategi-
strategi yang memerlukan koordinasi dari banyak pihak baik individu, bagian atau unit
lainnya. Kegiatan dalam program tersebut harus dilaksanakan dalam suatu struktur organisasi
yang kuat dan mampu menjabarkan program secara komprehensif, rinci dan jelas. Organisasi
yang dimaksud adalah :

1. Panitia Pencegahan Infeksi Rumah Sakit (Panitia PPIRS)


PPIRS bertugas sebagai koordinator dan bekerja di tingkat institusional sebagai
pembuat kebijakan, prosedur kerja yang berkaitan dengan program pengendalian
infeksi serta mengeluarkan rekomendasi, laporan data surveians yang relevan yang
akan dipakai dipihak menajemen structural rumah sakit dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. PPIRS juga dapat menjalankan kegiatan seperti pendidikan dan pelatihan
bagi semua staf yang ada di rumah sakit sehingga program kegiatan yang dijalankan
sesuai dengan perenccanaan dan adanya hasil yang baik.
2. Infection Prevention and Control Link Nurse (IPCLN)
Adalah perawat yang pelaksana harian atau penghubung dengan IPCN (Infection
Prevention and Control Nurse) dari tiap unit rawat inap atau unit pelayanan di Rumah
sakit. Tugas pokok dari IPCLN adalah :
a. sebagai perawat pelaksana harian atau penghubung dengan IPCN
b. bertugas mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien dari unit
rawat inap masing-masing, kemudian menyerahkannya kepada IPCN ketika
pasien pulang.
c. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan pencegahan
dan pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan di unit rawat inap
masing-masing
d. Memberitahukan kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya infeksi
nosokomial pada pasien.
e. Berkoordinasi dengan IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB, penyuluhan bagi
pengunjung di ruang rawat inap masing-masing.
f. Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan standar
isolasi.
3. Infection Prevention Control Nurse (IPCN)
Tugas IPCN Berkaitan dengan supervise yaitu mengunjungi ruangan setiap hari untuk
memonitor kejadian infeksi yang terjadi di lingkungan kerjanya, memonitor
pelaksanaan PPI, penerapan SPO dan kewaspadaan isolasi kepada semua karyawan.
Tujuan pokok dari supervise adalah menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang
telah direncanakan secara benar dan tepat, dalam arti lebih efektif dan efisien, sehingga
tujuan yang telah ditetapkan dicapai dengan memuaskan.
d. Pencegahan dan Pegendalian Infeksi (PPI)
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi memiliki standar kewaspadaan, dan semua
tenaga medis yang melakukan tindakan medis di rumah sakit tentu harus mengetahui
standar yang ada, yaitu :
a. Kebersihan cuci tangan
b. Alat pelindung diri
c. Perawatan peralatan pasien
d. Pengelolaan limbah
e. Pengendalian lingkungan
f. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
g. Kesehatan karyawan
h. Penempatan pasien
i. Etika betuk
j. Praktek menyuntik yang aman
k. Praktek untuk lumbal punksi
Pelaporannya adalah Pelaporan Panitia dan Tim Pencegahan Infeksi Rumah Sakit
maliputi :
a. Pelaporan harian dilaksanakan oleh IPCLN (Infection Prevention and Control
Link Nurse) tentang pengumpulan data tentang surveilans infeksi seperti IADP,
ISK, ILO, Pneumonia dan Sepris serta pemberian laporan apabila ada kecurigaan
adanya infeksi nosokomial kepada IPCN.
b. Pelaporan bulanan dilaksanakan oleh IPCN tentang pelaksanaan kegiatan PPI dan
hasil audit pencegahan dan pengendalian infeksi kepada Panitia PPI.
c. Pelaporan tahunan dilaksanakan oleh Panitia PPI tentang pelaksanaan kegiatan
PPI berdasarkan program kerja tahunan PPI kepada Direktur Rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi Koeswo (2015). Kinerja IPCLN dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit : Peran Pelatihan, Motivasi Kerja dan Supervisi, Jurnal Aplikasi Menajemen, 644.

Mike Rismayanti, Hardisman (2019). Gambaran Pelaksanaan Program Pencegahan


Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit Umum X Kota Y, Jurnal Kesehatan Andalas, 184.
NAMA : MEILIANA RISKA GALA TUA

NIM : 1707010076

Penyediaan Sumber Daya dalam Perencanaan Surveilans Infeksi Rumah Sakit

Infeksi nosokomial atau infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau Health
Care Associated Infections (HCAIs) adalah penyakit infeksi yang pertama muncul dalam
waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk rumah sakit atau tempat pelayanan
kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari rumah sakit. Dalam
hal ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah pulang dan
infeksi akibat kerja pada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan. Rumah Sakit dituntut untuk
memberikan pelayanan yang bermutu, efektif dan efisien untuk menjamin Patient safety yang
telah menjadi program pemerintah.

Rumah Sakit sebagai sarana yang memberi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif kepada masyarakat, memiliki peran penting dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Infeksi nosokomial dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak
langsung kematian pasien. Beberapa kejadian mungkin tidak menyebabkan kematian namun
menyebabkan pasien dirawat lebih lama di Rumah Sakit.

Pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI antara lain Pedoman Manajerial
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
serta Jejaring Laboratorium Diagnosis Penyakit Infeksi New-emerging dan Re-emerging.
Pedoman Surveilans Infeksi Rumah Sakit disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan
surveilans. Hasil surveilans ini penting untuk perencanaan, penerapan, evaluasi, praktek
pengendalian infeksi dalam mencapai tujuan utama dari program yaitu mengurangi risiko
terjadinya endemi dan epidemi infeksi nosokomial pada pasien. Program Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) dalam Standar Pelayanan Minimal dan Akreditasi Rumah Sakit
mengharuskan tiap Rumah Sakit harus melaksanakan PPI secara optimal dalam rangka untuk
melindungi pasien, petugas, pengunjung dan keluarga dari risiko tertularnya infeksi karena
dirawat, bertugas juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya. Keberhasilan program PPI membutuhkanketerlibatan lintas bidang seperti klinis,
keperawatan, laboratorium, kesehatan lingkungan, farmasi, gizi, sanitasi & housekeeping.

Adanya infeksi endemik atau epidemik memicu penggunaan antimikroba yang lebih masif
pada bangsal rawat inap terutama di Intensive Care Unit. bila terjadi infeksi nosokomial.
Infeksi biasanya dijumpai dalam bentuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah
(blood stream infections) dan pneumonia. Penularan infeksi membutuhkan unsur
mikroorganisme penyebab yang dipengaruhi oleh faktor patogenitas, virulensi, dan jumlah
(dosis atau load), reservoir, pintu keluar agen, transmisi yaitu transport agendari reservoir ke
penderita, pintu masuk agen serta pejamu rentan yang dipengaruhi oleh umur, status gizi dan
imunisasi, penyakit kronis, luka bakar, trauma atau pembedahan, obat imunosupresan dan
faktor lain seperti jenis kelamin, ras tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan
herediter.

Undang Undang RI No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 40 ayat 1 mewajibkan RS
melakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali dalam upaya peningkatan
mutu pelayanan Rumah Sakit. Sarana, Prasarana, SDM dan Kelengkapan Organisasi RS yang
dibutuhkan untuk mendukung Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RS.
Keberadaan SDM masih sangat kurang untuk melakukan PPI, terutama SDM farmasi klinik
dan mikrobiologi klinik. Meskipun demikian sesungguhnya PPI masih dapat dilakukan
dengan memberdayakan apoteker dan dokter patologi klinik dengan memberikan pelatihan
yang ada kaitannya dalam pelaksanaan PPI. Sejalan dengan hal tersebut, RS yang memiliki
kemampuan melakukan kultur bakteri, jamur, virus dan uji resistensi sebagian besar adalah
RS tipe A. Apoteker berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi pada
pasien dan tenaga kesehatan melalui penetapan kebijakan dan prosedur internal instalasi
farmasi dalam penyiapan sediaan steril, peningkatan kepatuhan terhadap kewaspadaan baku
(standard precaution) oleh tenaga kesehatan, pasien dan petugas lain yang terlibat, menjamin
ketersediaan alat kesehatan sekali pakai, antiseptik dan disinfektan, memberikan edukasi
daninformasi tentang pengendalian resistensi antibiotik serta pencegahan dan pengendalian
infeksi kepada tenaga kesehatan, pasien dan keluarga pasien. Infeksi nosokomial juga
bergantung pada tingkat utilisasi tempat tidur dan waktu kosong antara pasien dengan pasien
berikutnya, makin tinggi BTO (bed turn over) dan makin rendah TOI (turn over interval)
akan semakin rendah HCAIs bergantung optimalnya pembersihan kamar. Kelengkapan
organisasi RS untuk mendukung pelaksanakan PPI sendiri juga baru dimiliki oleh sebagian
besar RS tipe A dan B seperti halnya formularium RS, padahal sebagian besar RS yang ada di
Indonesia adalah tipe C dan D.

Hasil penelitian Ogwang dan kawankawan menunjukkan bahwa tindakan pencegahan infeksi
RS dapat menurunkan prevalensi infeksi terkait RS. Kurangnya sarana dan prasarana
sterilisasi menjadi masalah di hampir sebagian besar Rumah Sakit serta ketersediaan air
bersih dan pengolahan limbah RS kecuali Rumah Sakit kelas A.

Sumber daya berikut ini dibutuhkan untuk terlaksananya surveilans :

1. Petugas :
a. IPCN(purna waktu / full time) yang sudah mengikuti pelatihan PPI Dasar dan
Surveilans.
b. IPCLN yang sudah mengikuti pelatihan PPI.
2. Dana :
a. Dukungan dana operasional dari Pimpinan RS.
3. Sarana, prasarana dan pendukung :
a. Kantor dan ruang rapat Komite dan Tim PPI.
b. Komputer, fax, telepon, internet.
c. Petugas sekretariat dan teknologi informasi (TI).

DAFTAR PUSTAKA:

Herman, J.M.,& Handayani, S.R. (2016, Agustus). Sarana dan Prasarana Rumah Sakit
Pemerintah dalam Upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Indonesia. Jurnal
Kefarmasian Indonesia. 6(2). 137-146

Kemenkes RI 2010. Petunjuk Praktis Surveilans Infeksi Rumah Sakit. 2010


NAMA : NI KADEK INDRIA MANDALA PUTRI
NIM : 1707010047

Pengertian Infeksi Rumah Sakit


Sebagai dasar dari program epidemiologi rumah sakit, surveilans harus mampu menyediakan
informasi mengenai angka kejadian infeksi nosokomial atau efek samping yang lain,
mendekteksi perkembangan dari waktu ke waktu, melakukan ivestigasi jika terjadi
peningkatan kasus yang signifikan, mengembangkan upaya pengendalian, dan nilai apakah
intervensin yang dilakukan cukup efektif.
Data surveilans juga dapat digunakan untuk memantau ketaatan petugas kesehatan terhadap
standar-standar yang telah ada di rumah sakit.
Surveillans epidemiologi rumah sakit merupakan surveilans yang berlangsung secara
berkesinambungan yang terjadi di rumah sakit yang dimulai dari pengumpulan data yang
berada di setiap instalasi, pengolahan, interprestasi dan mendistribusikan data tersebut sesuai
kegunaannya.
Suatu infeksi dikatakan sebagai hospital acquired apabila terjadi 48-72 jam setelah pasien
masuk rumah sakit dan dalan kurun waktu 10 hari setelah pasien boleh meniggalkan rumah
sakit. Suatu infeksi dikatakan nosocomial apabila kejadiannya berkaitan dengan prosedur
medic, terapi, atau kejadian penyakit setelah pasien masuk ke rumah sakit.
Pengumpulan data Surveilans IRS
Surveilans dapat dilakukan baik secara retrospketif maupun concurrent. Disebut concurrent
apabila pengumpulan data pada saat atau sesaat setelah timbulnya kejadian. Melalui metode
concurrent ini maka petugas surveilans untuk melakukan review terhadap medical record,
menikau kondisi pasien, dan mendiskusikan kejadian tersebut dengan petugas pemberi
pelayanan. Keuntungan dari metode ini adalah bahwa sebagian besar informadi masih
tersedia, seperti misalnya buku log bangsal dan laporan yang umumnya terpisah dari medical
record.
Pada surveilans retrospektif, pengumpulan data dilakukan setelah pasien meninggalkan
rumah sakit. Masalah yang sering dihadapi dari metode retrospektif ini adalah sering tidak
lenglapmya data, sementara tingkat akurasi dan kualitas data yang terdapat di medical record
jug sering meraguka . metode ini juga tidka dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah
yang sifatnya current.
Data yang terkumpul harus segera dianalisi dan diinterpretasi, karena tujuan dari surveilans
tidak hanya untuk menghitung insiden kejadian infeksi nosocomial saja tetapi juga untuk
mengidentifikasi permasalahan secara tepat sehingga upaya intervensi dapat segera dilakukan
untuk menguragi terjadinya risiko lebih lanjut.
Pengumpul Data Tim PPI bertanggung jawab atas pengumpulan data tersebut di atas, karena
mereka yang memiliki keterampilan dalam mengidentifikasi IRS sesuai dengan kriteria yang
ada. Sedangkan pelaksana pengumpul data adalah IPCN yang dibantu IPCLN.
Mekanisme pelaksanaan surveilans : IPCLN mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans
setiap pasien berisiko di unit rawat masing-masing setiap hari. Pada awal bulan berikutnya,
paling lambat tanggal 5 formulir surveilans diserahkan ke Tim PPI dengan diketahui dan
ditandatangani Kepala Ruangan. Apabila ada kecurigaan terjadi infeksi, IPCLN segera
melaporkan ke IPCN untuk ditindaklanjuti (investigasi).
Sumber Data Sumber data diperoleh dari :
a. Rekam medis
b. Catatan perawatan
c. Catatan hasil pemeriksaan penunjang (laboratorium dan radiologi)
d. Farmasi
e. Pasien / keluarga pasien.
Numerator : Angka kejadian infeksi.
Denominator : Denominator ditentukan oleh jenis infeksi rumah sakit.

Perhitungan
Perhitungan dilakukan dalam satu bulan. Kurun waktu harus jelas dan sama antara numerator
dan denominator sehingga laju tersebut mempunyai arti. Surveilans merupakan kegiatan
yang sangat membutuhkan waktu dan menyita hampir separuh waktu kerja seorang IPCN
sehingga dibutuhkan penuh waktu / full time. Dalam hal ini bantuan komputer akan sangat
membantu, terutama akan meningkatkan efisien pada saat analisis. Besarnya data yang harus
dikumpulkan dan kompleksitas cara analisisnya merupakan alasan mutlak untuk
menggunakan jasa komputer, meski di RS kecil sekalipun. Lagi pula sistem surveilans tidak
hanya berhadapan dengan masalah pada waktu sekarang saja, tetapi juga harus
mengantisipasi tantangan di masa depan.
Analisis dan interpretasi
Data insiden rate dianalisa, apakah ada perubahan yang signifikan seperti penurunan maupun
peningkatan IRS yang cukup tajam atau signifikan, kemudian dibandingkan dengan jumlah
kasus dalam kurun waktu bulan yang sama pada tahun yang lalu.Jika terjadi perubahan yang
signifikan dicari faktor-faktor penyebabnya mengapa hal tersebut terjadi. Bila
diketemukan penyebab dilanjutkan dengan alternatif pemecahannya. Dan diantara pemecahan
dipilih yang laik laksana bagi RS atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan setempat. Hasil analisa
data disajikan dalam bentuk tabel, diagram dan grafik.

Pelaporan Surveilans IRS


Prinsip pelaporan surveilans IRS :
 Laporan dibuat sistematik, singkat, tepat waktu dan informatif.
 Laporan dibuat dalam bentuk grafik atau tabel.
 Laporan dibuat bulanan, triwulan, semester atau tahunan.
 Laporan disertai analisis masalah dan rekomendasi penyelesaian.
 Laporan dipresentasikan dalam rapat koordinasi dengan pimpinan.
Diseminasi
Tujuan diseminasi agar pihak terkait dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk
menetapkan strategi pengendalian IRS. Laporan disampaikan pada seluruh anggota komite,
direktur rumah sakit, ruangan atau unit terkait
Metode surveilans
Petugas yang bertanggung jawab dalam pengendalian infeksi di Rumah Sakit, ICP
(infection Control Personal) dapat mencari data dari beberapa tempat seperti medical Record,
Bangsal, Apotek, Pendaftaran Pasien, hingga keuangan. Tim pelaksana surveilan sebelumnya
harus menetapkan dulu metode surveilans yang akan ditetapkan. Berikut beberapa metode
surveilans dengan berbagai keunggulan dan kelemahan.
a. Hospital Wide Tradisional Surveilance
Melalui metode ini ICP melakukan survey secara prospektif dan berkesinambungan pada
semua area di rumah sakit untuk mengidentifikasi pasien yang menderita acquired
infections selama dirawat di rumah sakit.informasi diperoleh dari laporan harian
mikrobiologi dan catatan medis pasien yang telah terbukti demam atau menunjukkan
kultur positif dan pasien-pasienyang mendapat antibiotika atau diisolasi. Informasi
jugadikumpulkan secara langsung dari perawat jika diperlukan, termasuk juga
mengunjungi pasien di bangsal. ICP dapat juga melakukan telaah terhadap laporan etopsi
dan catatan kesehatan petugas. Setiap bulan tim pengendali infeksi melakukan
perhitungan terhadap angka kejadian infeksi di rumah sakit secara keseluruhan
berdasarkan unit keperawatan, jenis layanan medik, atau prosedur operasi. Metode ini
dilakukan secara komprehensif dengan konsekuensi bahwa biaya yang dikelaurkan harus
cukup besar. Terkadang jenis infeksi yag terdeteksi juga terlalu banyak yang terkadang
menyulitkan dalam melacaknya.
b. Periodic surveilance
Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan. Aah satuya adalah melalu Hospital
Wide Surveilance yang dikerjakan pada interval waktu tertentu, mislanya sekali dalam 4
bulan. Metode yang lain, ICP melakukan surveillance pada satu atau beberapa unit-unit
yang lain. Dengan cara ini maka tim pengendali infeksi rumah sakit dapat mengetahui
secara lebih rinci masalah-masalah infeksi nosocomial di masing-masing unit pelayanan.
c. Prevance Survey
Dalam metode ini ICP menghitung jumlah infeksi aktif yang terjadi selama kurun waktu
tertentu. Infeksi aktif sendiri didefinisikan sebagai semua infeksi yang terjadi selama
periode survey, termasuk mereka yang baru saja didiagnosa maupun yang sedng diterapi
saat survey sedang dimulai. Jumlah total infeksi aktif yang terdeteksi kemudian dibagi
dengan jumlah pasien yang ada selama survey. Karena baik kasus yang baru maupun
yang lama terjaring dalam survei, maka seolah-olah angka prevalensi lebih tinggi
dibandingkan insidensi. Prevalence Survey sebetulnya dapat difokuskan pada populasi
tertentu, misalnya pasien dengan kateter vena sentral atau pasien yang mendapatkan
antibiotika.
d. Targeted Surveilance
Metode in lebih memfokuskan surveillance pada populasi spesifik seperti misalnya pada
pasien dengan risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi (misalnya karena transplantasi
organ), atau pasien yang mengalami infeksi pada area spesifik (misalnya darah atau
tempat operasi). Namun demikian dapat pula memfokuskan pada area tertntu ini, maka
ICP dapat mengumpulkan seluruh informasi yang berkaitan dengan keadaan spesifik
tersebut. Melalui pendekatan ini, penilaian terhadap insidensi dapat lebih akurat.
e. Outbreak Thresshold
Melalui metode ini, maka surveillance dapat dilakukan untuk menilai baseline angka
infeksi. Berdasarkan data base line ini kemudiandikembangkan suatu outbreak threshold.
Selnjutnya surveillans rutin dihenikan dan hanya melakukan evaluasi jika jumlah isolate
atau spesifik tertentu atau jumlah kultur positif melebihi outbreak tresshold. Angka
threshold ini bisa bervariasi, misalnya 80% di atas baseline. Dengan mendasar pada
tresshold ini, maka dapat diperlukan untuk melakukan upay intervensi yang diperlukan
jika hasil surveilans melampaui angka tresshold
f. Metode Case Finding
Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan melalui metode case finding ini, tetaoi
yang pelu diperhatikan adalah angka yang dikumpulkan dalan surveilans hendaknya data
infeksi yang terjadi di rumah sakit A, yang sebelumnya merawat dan kemudian
mentransfer pasien ke rumah sakit B, maka di rumah sakit B kasus ini tidak perlu dicatat
sebagai insidensi, karena justru akan memberikan gambaran yang keliru mengenai
angka infeksi di rumah sakit B
g. Total Chart Review
Dalam metode ini ICP melakukan telaah pada catatan-catatan yang dibuat perawat
maupun dokter, catatan terpi dan pemberian obat, serta hasil pemeriksaan radiologi dan
laboratorium
h. Laboratory Repost
Melalui data hasil pemerikasaan laboratorium sebenarnya dapat diperoleh informasi
berharga mengenai adanya infeksi nosocomial. Sebagai cntoh, seprang pasien dapat
dikatakan mendapat infeksi nosocomial apabila dalam pemeriksaan kultur darah yang
diperoleh 10 hari setelah masuk rumah sakit, ditemukan adanya Salmonella aureus
i. Postdischarging Surveillance
Salah satu kelemahan dari metode traditional hospital based surveillance adalh lebih
konsentrasi pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Akibatnya angka kejadian infeksi
nosocomial pada pasein-pasien yang dipulangkn lebih awal dari rumah sakit tidak pernah
terdeteksi.

DAFTAR PUSTAKA
Weraman, Pius. 2010. Dasar Surveilans Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Gramata
Publishing.
Petunjuk Praktis Suurveilans Infeksi Rumah Sakit , KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010
NAMA : MARIA DORCE ANDRIYANI

NIM : 1707010052

JENIS-JENIS INFEKSI RUMAH SAKIT


Jenis-jenis IRS sangat banyak, tergantung dari jenis perawatan dan tindakan yang kita
lakukan terhadap pasien (saluran pernapasan, pencernaan, kemih, sistem pembuluh darah,
sistem saraf pusat dan kulit). Diantara jenis-jenis IRS, ada 4 jenis yang paling sering terjadi,
yaitu Infeksi Aliran Darah Primer (IADP), Infeksi yang berhubungan dengan pemasangan
ventilator atau Ventilator Associated Infection (VAP), infeksi akibat pemasangan kateter urin
atau Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan akibat tindakan pembedahan (SSI).
A. INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER ( IADP)
1. Pendahuluan
Infeksi Aliran Darah Perifer merupakan jenis infeksi yang terjadi akibat masuknya
mikroba melalui peralatan yang kita masukkan langsung ke sistempembuluh darah.
Dalam istilah CDC disebut sebagai Blood Stream Infection (BSI).Akses langsung ke
peredaran darah ini dapat berupa kateter vena maupun arteri yang kita kita lakukan
terhadap pasien, baik dalam rangka perawatan maupun diagnostik, yang secara
umum disebut sebagai katerer intravaskulker (Intravascular Catheter). Contohnya
adalah pemasangan vena sentral (CVC : Central Venous Catheter), vena perifer
(infus), hemodialisa.
2. Definisi dan kriteria IADP
a. Definisi IADP
Adalah ditemukannya organisme dari hasil kultur darah
semikuantitatif/ kuantitatif disertai tanda klinis yang jelas serta tidak
ada hubungannya dengan infeksi ditempat lain dan/atau dokter yang
merawat menyatakan telah terjadi infeksi. Seringkali Phlebitis
dilaporkan sebagai IADP.IADP berbeda dengan Phlebitis (Superficial
& Deep Phlebitis). Perbedaan antara IADP dengan Phlebitis, adalah:
Phlebitis, merupakan tanda-tanda peradangan pada daerah lokal
tusukan infus. Tanda-tanda peradangan tersebut adalah
merah,bengkak, terasa seperti terbakar dan sakit bila ditekan. IADP
adalah keadaan bakteremia yang diagnosanya ditegakkan melalui
pemeriksaan kultur.
a. Kriteria IADP
Ada beberapa kriteria untuk menentukan IADP. Kriteria IADP 1 dan 2
dapat digunakan untuk semua peringkat umur pasien termasuk usia <1
th, minimal ditemukan satu kriteria seperti tersebut :
 Kriteria 1 IADP:
- Ditemukan pathogen pada >1 kultur darah pasien,
- Mikroba dari kultur darah itu tidak berhubungan dengan
infeksi di bagian lain dari tubuh pasien
 Kriteria 2 IADP:
- Pasien menunjukkan minimal satu gejala klinis: demam
(suhu >380C), menggigil atau hipotensi, dan
- Tanda dan gejala klinis serta hasil positif pemeriksaan
laboratorium yang tidak berhubungan dengan infeksi di
bagian lain dari tubuh pasien, dan
- Hasil kultur yang berasal dari > 2 kultur darah pada
lokasi pengambilan yang berbeda didapatkan mikroba
kontaminan kulit yang umum, misalnya difteroid
(Corynebacterium spp), Bacillus spp. (bukan B
anthracis), Propionibacterium spp., Staphylococcus
coagulase negatif termasuk S epidermidis,
Streptococcus viridans, Aerococcus spp, Micrococcus
spp.
 Kriteria 3 IADP:
- Pasien anak usia <1 tahun menunjukkan minimal satu
gejala seperti berikut: demam (suhu rektal >38o C),
hipotermi (suhu rektal <37C), apnoeatau bradikardia,
dan
- tanda dan gejala serta hasil pemeriksaan positif
laboratorium yang tidak berhubungan dengan infeksi di
bagian lain dari tubuh pasien, dan
- Hasil kultur yang berasal dari > 2 kultur darah pada
lokasi pengambilan yang berbeda didapatkan mikroba
kontaminan kulit yang umum, misalnya difteroid
(corynebacterium spp), Bacillus spp (bukan B
anthracis), Propionibacterium spp, staphylococcus
coagulase negatif termasuk S epidermidis,
Streptococcus viridans, Aerococcus spp, Micrococcus
spp.
 CSEP (Clinical SEPSIS)/SEPSIS Klinis
CSEP hanya dapat dipakai untuk melaporkan IADP pada
neonatus dan bayi. Tidak dipakai untuk pasien dewasa dan
anak.
Kriteria CSEP
- Pasien berumur < 1 tahun menunjukkan minimal 1
tanda atau gejala klinis tanpa ditemukan penyebab lain:
demam (suhu rektal >38oC), hipotermi (suhu
rektal<37oC), apnoe atau bradikardia,
- Tidak dilakukan kultur darah atau kultur darah negatif,
- Tidak ditemukan infeksi ditempat lain,
- Klinisi melakukan terapi sebagai kasus sepsis
1. Faktor Risiko IADP
Risiko IADP tentunya adalah semua pasien yang dipasang kateter vaskuler.
Sedangkan risiko infeksi dan hasil pemeriksaan tergantung dari:
 Lama pemasangan: berapa hari peralatan dipasang.
 Jenis jalur intravascular (vena sentral, vena perifer, dialisa, dan
sebagainya) yang dipasang.
 Lokasi pemasangan: subclavian, femoral, internal jugular,
perifer.
 Tehnik pemasangan: keahlian petugas, teknik aseptik, jenis
antiseptik, jenis dan bahan peralatan terpasang
(polyethylene, polyurethane, silikon.
 Perawatan: ruang perawatan, perawatan peralatan, frekuensi
manipulasi.
 Kondisi pasien: usia, penyakit yang mendasari.
 Teknik kultur.
A. PNEUMONIA (PNEU)
1. Pendahuluan
Pneumonia merupakan peradangan jaringan atau parenkim paru-paru. Dasar
diagnosis pneumonia dapat berdasarkan 3 hal, yaitu gejala klinis, radiologis dan
laboratorium.
Ada 2 jenis Pneumonia yang berhubungan dengan IRS, yaitu Pneumonianyang
didapatkan akibat perawatan yang lama atau sering disebut sebagai Hospital
Acquired Pneumonia (HAP) dan Pneumonia yang terjadi akibat pemakaian
ventilasi mekanik atau sering disebut sebagai Ventilator Associated Pneumonia
(VAP).
2. Definisi dan Kriteria HAP dan VAP
Definisi HAP
HAP adalah infeksi saluran napas bawah yang mengenai parenkim paru setelah
pasien dirawat di rumah sakit > 48 jam tanpa dilakukan intubasi dan sebelumnya
tidak menderita infeksi saluran napas bawah. HAP dapat diakibatkan tirah baring
lama (koma/tidak sadar, trakeostomi, refluk gaster, Endotracheal Tube/ETT).
Definisi VAP
VAP adalah infeksi saluran napas bawah yang mengenai parenkim paru setelah
pemakaian ventilasi mekanik > 48 jam, dan sebelumnya tidak ditemukan tanda-
tanda infeksi saluran napas.
3. Dasar diagnosis Pneumonia
a. Tanda dan Gejala Klinis Pneumonia
Bukti Klinis Pneumonia adalah bila ditemukan minimal 1 dari tanda dan gejala
berikut:
 Demam (=38oC) tanpa ditemui penyebab lainnya.
 Leukopenia (<4.000 WBC/mm3) atau Leukositosis (=12.000 SDP/mm).
 Untuk penderita berumur = 70 tahun, adanya perubahan status mental
yang tidak ditemui penyebab lainnya.danminimal disertai 2 tanda
berikut:
 Timbulnya onset baru sputum purulen atau perubahan sifat sputum
 Munculnya tanda atau terjadinya batuk yang memburuk atau dyspnea
(sesak napas) atau tachypnea (napas frekuen).
 Rhonci basah atau suara napas bronchial.
 Memburuknya pertukaran gas, misalnya desaturasi O2 (PaO=240),
peningkatan kebutuhan oksigen, atau perlunya peningkatan ventilator.
Keterangan:
 Sputum purulen adalah sekresi yang berasal paru-paru, bronchus atau
trachea yang mengandung =25 netrofil dan = 10 sel epitel
squamus/lapangan mikroskop kekuatan rendah (x100) atau LPK.
 Perubahan sifat sputum dapat dilihat dari warna, konsistensi, bau, dan
jumlah.
 Data ulangan tentang sputum purulen atau perubahan sifat sputum yang
yang terjadi dalam waktu lebih dari 24 jam, lebih mempunyai arti
untuk menunujukkan adanya onset proses infeksi, dibandingkan data
sputum tunggal.
 Tachypnea adalah peningkatan frekuensi napas/menit (RR) yang pada
orang dewasa > 25, bayi premature umur kandungan kurang dari 37
minggu >75, bayi aterm (umur kehamilan 40) >60, anak berumur < 2
bulan >50, anak berumur 2 – 12 bulan >30.
b. Tanda Radiologis Pneumonia
Bukti adanya Pneumonia secara Radiologis adalah bila ditemukan =2 foto
serial didapatkan minimal 1 tanda berikut:
- Infiltrat baru atau progresif yang menetap.
- Konsolidasi.
- Kavitasi.
- Pneumatoceles pada bayi berumur = 1 tahun.
Catatan:
Pada pasien yang tanpa penyakit paru-paru atau jantung (respiratory distress
syndrome,bronchopulmonary dysplasia, pulmonary edema, atau chronic
obstructive pulmonary disease) yang mendasari, 1 bukti radiologis foto thorax
sudah dapat diterima.
4. KriteriaPneumonia
a) Kriteria PNU1:
Pneumonia Klinis
Dapat diidentifikasi sebagai PNU 1 bila didapatkan salah satu kriteria
berikut:
a) Kriteria PNU1 – 1: untuk semua umur
 Tanda dan Gejala Klinis Pneumonia (B.3.a.)
 Tanda Radiologis Pneumonia (B.3.b.)
b) Kriteria PNU1 – 2: untuk bayi berumur = 1 tahun
 Buruknya pertukaran gas minimal disertai 3 dari tanda berikut:
 Suhu yang tidak stabil, yang tidak ditemukan penyebab lainnya.
 Lekopeni (<4.000/mm3) atau lekositosis (=15.000/mm3) dan
gambarandarah tepi terlihat pergeseran ke kiri (= 10% bentuk netrofil
bentukbatang).
 Munculnya onset baru sputum purulen atau perubahan karakter sputum
atau adanya peningkatan sekresi pernapasan atau peningkatan keperluan
pengisapan (suctioning).
 Apneu, tachypneu, atau pernapasan cuping hidung dengan retraksi
dinding dada.
 Rhonci basah kasar maupun halus.
 Batuk.
 Bradycardia (< dari 100x/menit) atau tachycardia (> 170x/menit).
c) Kriteria PNU1 – 3: untuk anak berumur lebih dari > 1 tahun atau berumur
= 12 tahun, minimal ditemukan 3 dari tanda berikut:
 Demam (suhu >38,4oC) atau hypothermi (<36,5oC), yang tidak
ditemukan penyebab lainnya.
 Lekopeni (<4.000/mm3) atau lekositosis (=15.000/mm3).
 Munculnya onset baru sputum purulen atau perubahan karakter sputum
atau adanya peningkatan sekresi pernapasan atau peningkatan
keperluanpengisapan (suctioning).
 Onset baru dari memburuknya batuk, apneu, tachypneu.
 Wheezing, rhonci basah kasar maupun halus.
 Memburuknya pertukaran gas, misalnya pO <94%.
d) Kriteria PNU2 – 1:
Pneumonia dengan hasil Laboratotrium yang spesifik untuk infeksi bakteri
dan jamur berfilamen Dapat diidentifikasi sebagai PNU2 – 1, bila ditemukan
bukti-bukti berikut
 Tanda dan Gejala Klinis Pneumonia (B.3.a.)
 Tanda Radiologis Pneumonia (B.3.b.)
 Minimal 1 dari tanda laboratorium berikut:
 Kultur positif dari darah yang tidak ada hubungannya dengan sumber
infeksi lain.
 Kultur positif dari cairan pleura.
 Kultur kuantitatif positif dari spesimen Saluran Napas Bawah (BAL
atau sikatan bronkus terlindung).
 5% sel yang didapat dari BAL mengandung bakteri intraseluler pada
pemeriksaan mikroskopik langsung
 Pemeriksaan histopatologik menunjukkan 1 dari bukti berikut:
 Pembentukan abses atau fokus konsolidasi dengan sebukan PMN yang
banyak pada bronchiolus dan alveoli.
 Kultur kuantitatif positif dari parenkim paru-paru.
 Butki adanya invasi oleh hifa jamur atau pseudohifa pada parenkim
paru-paru.
Keterangan:
 SNB: Saluran Napas Bawah (= LRT: Lower respiratory tract)
 Interpretasi hasil kultur darah positif harus hati-hati. Bakterimia dapat
terjadi pada pasien yang terpasang jalur intravaskuler atau kateter urine
menetap. Pada pasien immunocompromised, sering didapatkan
bakteremia CNS atau flora atau kontaminan umum kulit yang lain serta
sel yeast.
 Nilai ambang untuk kultur kuantitatif Pada pemeriksaan kultur
kuantitatif, spesimen yang dipilih adalah spesimen yang terkontaminasi
minimal, misalnya yang dari BAL atau sikatan bronchus
terlindung.Spesimen dari aspirasi endotrachea tidak dapat digunakan
untuk dasar kriteria diagnostik.

e) Kriteria PNU2 – 2:
Pneumonia dengan hasil Laboratorium yang spesifik untuk infeksi virus,
Legionella, Chlamydia, Mycoplasma, dan patogen tidak umum lainnya.
Dapat diidentifikasi sebagai PNU2 – 2, bila ditemukan bukti-bukti berikut:
 Tanda dan Gejala Klinis Pneumonia (B.3.a.)
 Tanda Radiologis Pneumonia (B.3.b.)
 Minimal 1 dari tanda laboratorium berikut:
 Kultur positif untuk virus atau Chlamydia dari sekresi pernapasan
 Deteksi antigen atau antibody virus positif dari sekresi pernapasan
 Didapatkan peningkatan titer 4x atau lebih IgG dari paired sera
terhadap patogen (misalnya influenza virus, Chlamydia)
 PCR positif untuk Chlamydia atau Mycoplasma.
 Tes micro-IF positif untuk Chlamydia.
 Kultur positif atau visualisasi micro-IF umtuk Legionella spp., dari
sekresi pernapasan atau jaringan
 Terdeteksinya antigen Legionella pneumophila serogrup I dari urine
dengan pemeriksaan RIA atau EIA
 Pada pemeriksaan indirect IFA, didapatkan peningkatan titer 4x atau
lebih antibody dari paired sera terhadap Legionella pneumophila
serogrup I dengan titer =1:128
Keterangan:
- Deteksi langsung patogen dapat menggunakan berbagai teknik deteksi antigen
(EIA, RIA, FAMA, micro-IF), PCR atau kultur.
- PCR: Polymerase Chain Reaction, merupakan teknik diagnostik dengan cara
memperbanyak asam nukleat patogen secara in-vitro.
- Paired sera adalah pasangan sera yang diambil pada fase akut dan fase
penyembuhan penyakit. Pada penyakit yang sedang berlangsung (progresif)
akan didapatkanpeningkatan titer sera pada fase penyembuhan sebesar = 4x
dibandingkan dengan titer sera pada fase akut.
 cfu: colonyforming units
 parenkim paru dapat diambil melalui, transbronchial atau transthoraxic
post-mortem
5. Faktor risiko Pneumonia
Pneumonia dapat berasal dari:
 faktor lingkungan yang terkontaminasi, misalnya air, udara atau makanan
(muntah)
 peralatan yang digunakan dalam perawatan pasien: Endotracheal Tube
(ETT), Nasogastric Tube (NGT), Suction catheter, Bronchoscopy,
Respiratory devices.
 Orang ke orang: dokter, perawat, pengunjung, maupun dari flora endogen
pasien itu sendiri.

Faktor Risiko untuk terjadinya Pneumonia antara lain:


1. Kondisi pasien: umur( > 70 tahun), Penyakit kronis, Pembedahan
(Toraks atau Abdomen), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK),
Penyakit Jantung Kongestif, Cardiac Vascular Disease (CVD), Kkma,
perokok berat
2. Tindakan pengobatan atau perawatan: sedatif, anestesi umum, intubasi
trakeal, trakeostomi, pemakaian ventilasi mekanik yang lama, pemberian
makanan enteral, terapi antibiotik, obat immunosupresif atau sitostatik
Populasi berisiko untuk terjadinya pneumonia IRS dibedakan
berdasarkan jenis pneumonianya.

B. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)


1. Pendahuluan
Infeksi Saluran Kemih (ISK) dalam istilah CDC disebut sebagai Urinary Tract
Infection (UTI), merupakan jenis infeksi yang terjadi pada saluran kemih
murni(urethra dan permukaan kandung kemih) atau melibatkan bagian yang lebih
dalam dari organ-organ pendukung saluran kemih (ginjal, ureter, kandung kemih,
uretra dan jaringan sekitar retroperitonial atau rongga perinefrik).
Infeksi saluran kemih merupakan suatu infeksi baik pada saluran kemih atas dan atau
bawah, yang mana jumlah bakteri >105 koloni perunit bakteri permililiter CFU/ml)
dalam satu speimen urin (Bradley & Colgan et al, 2005). Menurut Rowe & Juthani
(2013) ISK adalah salah satu infeksi yang paling sering didiagnosis pada anak dan
lansia.
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan angka kejadian
ISK. Bervariasinya penyebab ISK, luasnya spectrum organisme yang menjadi
penyebab, serta sedikitnya uji klinis yang telah dilaksanakan, mempersulit
penyusunan antimikroba pilihan yang dapat digunakan dalam terapi ISK (Shirby &
Soeliongan, 2013). Faktor risiko yang paling sering diidentifikasi adalah penggunaan
antibiotik sebelumnya dan penggunaan katerisasi (Tenney et al,2017). ISK adalah
infeksi yang paling sering didapat di masyarakat dunia dan patogen yang paling
umum adalah E. coli (Klapaczyńska (2018). Dengan banyaknya faktor ISK maka
penelitian
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah jenis infeksi nosokomial yang paling umum yang
menyebabkan sekitar 40% dari semua infeksi per tahun. Selain itu, beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa sekitar 80% infeksi saluran kemih nosokomial
terjadi setelah instrumentasi
terutama kateterisasi (Darmadi, 2008). Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan
penyakit infeksi yang sering ditemukan di praktik umum. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ISK seperti
umur, jenis kelamin, berbaring lama, penggunaan obat immunosupresan dan steroid,
pemasangan katerisasi, kebiasaan menahan kemih, kebersihan genitalia, dan faktor
predisposisi lain (Sholihah, 2017). Angka kejadian ISK meningkat pada pasien
berumur 40 tahun ke atas dengan puncak tertinggi yaitu pada kelompok umur 50-59
tahun. Sebagian besar pasien ISK berjenis kelamin perempuan (Shirby & Soeliongan,
2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian infeksi saluran kemih (ISK) dapat
dipengaruhi oleh bakteri (uropatogen) pseudomonas aeruginosa E.coli(UPEC) yang
bermuatan P fimbriae, dan dapat dipengaruhi faktorpenyakit seperti penyakit HIV,
DM tipe 2, inkontinensia urin serta dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti multi-
drug
resisten terhadap ISK, penggunaan popok yang lama pada anak, kebisaan hygiene
yang kurang baik dan anak yang belum di sirkumsisi

2. Tanda dan gejala klinis ISK


1) Tanda dan gejala ISK:
 Demam ( > 38oC )
 Urgensi
 Frekuensi
 Disuria, atau
 Nyeri Supra Pubik
2) Tanda dan gejala ISK anak ≤1 tahun:
 Demam > 38 C rectal
 Hipotermi < 37 C rectal
 Apnea
 Bradikardia
 Letargia
 Muntah-muntah
3. Kriteria ISK
ISK Simptomatis harus memenuhi paling sedikit satu criteria berikut ini :
1) Kriteria 1 ISK simtomatis.
- Ditemukan paling sedikit satu simtom ISK (C.2.a.), dan
- Tes konfirmasi mayor positif (C.3.a)
2) Kriteria 2 ISK simtomatis
- Ditemukan paling sedikit dua simtom ISK (C.2.a.), dan
- Satu tes konfirmasi minor positif (C.3.b)
3) Kriteria 3 ISK simtomatis anak usia 1 tahun
- Ditemukan paling sedikit satu tanda ISK (C.2.b.), dan
- Tes konfirmasi mayor positif (C.3.a)
4) Kriteria 2 ISK simtomatis anak usia 1 tahun
- Ditemukan paling sedikit dua simtom ISK anak usia 1 tahun ISK (C.2.b.), dan
- Satu Tes konfirmasi minor positif (C.3.b)
ISK Asimptomatik
ISK asimptomatik harus memenuhi paling sedikit satu kriteria berikut :
1) Kriteria 1 ISK Asimptomatik:
- Pasien pernah memakai kateter urine dalam waktu 7 hari sebelum biakan urine,
- Tes konfirmasi mayor ISK positif,
- Simtom ISK negatif.
2) Kriteria 2 ISK Asimptomatik
- Pasien tanpa kateter urine menetap dalam 7 hari sebelum biakan pertama positif,
- Tes konfirmasi mayor positif dari hasil kultur urine yang dilakukan 2x berturut-
turut
- Simtom ISK negatif..
Catatan:
- Kultur positif dari ujung kateter tidak dapat digunakan untuk tes diagnostik ISK.
- Kultur positif dari urin yang diambil dari kantong pengumpul urin tidak dapat
digunakan untuk tes diagnostik ISK.
- Spesimen untuk kultur urin harus didapatkan sengan tehnik yang benar, misalnya
cleanmcatch collection untuk spesimen urin pancar tengah, atau kateterisasi.
- Pada bayi, spesimen diambil dengan cara kateterisasi kandung kemih atau aspirasi
supra,pubik.

C. INFEKSI LUKA OPERASI (ILO)


1. Pendahuluan
ILO dalam istilah CDC disebut sebagai Surgical Site Infection (SSI).
2. Kriteria ILO

Kategori Subkategori Syarat


Superfisial 1. Waktu kejadian 30 hari post operasi
2. Satu atau lebih tanda dan gejala berikut
harus ada
a. Drainase purulent
b. Kultur cairan / jaringan (+)
c. Abscess atau bukti infeksi lain dari
pengamatan langsung,
laboratorium, histopatologi, dsb
d. Diagnosis oleh dokter
e. Insisi membuka spontan atau
sengaja dibuka dokter bedah,
dilakukan kultur atau tidak, dan
ditemukan > 1 tanda radang
3. Jaringan yang terlibat adalah kulit
jaringan subkutan
Profunda 1. Waktu kejadian 30 hari post operasi atau
1 tahun bila ada pemasangan
implant
2. Satu atau lebih tanda dan gejala berikut
harus ada
a. Drainase purulent
b. Kultur cairan/ jaringan (+)
c. Abscess atau buktiinfeksi lain dari
pengamatan langsung, laboratorium,
histopatologi, dsb
d. Diagnosis oleh dokter
e. Insisi dehisces spontan atau sengaja
dibuka oleh dokterbedah, hasil biakan
positif atau tidak dilakukan, dan nyeri
lokal, atau demam
3. Jaringan lunak profunda: fascia dan otot
Organ/Rongga 1. Waktu kejadian 30 hari post operasi atau
1 tahun bila ada pemasangan
implant
2. Satu atau lebih tanda dan gejala berikut
harus ada
a. Drainase purulent
b. Kultur cairan / jaringan (+)
c. Abscess atau buktiinfeksi lain dari
pengamatan langsung, laboratorium,
histopatologi, dsb
d. Diagnosis oleh dokter
e. Insisi dehisces spontan atau sengaja
dibuka oleh dokterbedah, hasil biakan
positif atau tidak dilakukan, dan nyeri
lokal, atau demam
3. Operasi membuka kulit, otot, dan fascia,
sampai mencapai rongga/organ tubuh

DAFTAR PUSTAKA

Erna Irawan, Hilman Mulyana.2018. Faktor-Faktor Penyebab Infeksi Saluran Kemih (ISK).
Prosiding Seminar Nasional dan Diseminasi Penelitian Kesehatan STIKes Bakti Tunas
Husada Tasikmalaya, 2-3,9

Ali,Imran. (2011). Pedoman Sirveilans Infeksi Rumah Sakit. Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia
NAMA : OSKARINA HAWU LADO
NIM : 1707010085

A. Ventilator Associated Pneumonia (Vap)


Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan infeksi pneumonia yang terjadi
setelah 48 jam pemakaian ventilasi mekanik baik pipa endotracheal maupun
tracheostomi. Beberapa tanda infeksi berdasarkan penilaian klinis pada pasien VAP
yaitu demam, takikardi, batuk, perubahan warna sputum. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan peningkatan jumlah leukosit dalam darah dan pada rontgent
didapatkan gambaran infiltrat baru atau persisten. Adapun diagnosis VAP ditentukan
berdasarkan tiga komponen tanda infeksi sistemik yaitu demam, takikardi dan
leukositosis yang disertai dengan gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di foto
toraks dan penemuan bakteri penyebab infeksi paru.
B. Infeksi Aliran Darah (Iad)
Infeksi Aliran Darah (Blood Stream Infection/BSI) dapat terjadi pada pasien yang
menggunakan alat sentral intra vaskuler (CVC Line) setelah 48 jam dan ditemukan
tanda atau gejala infeksi yang dibuktikan dengan hasil kultur positif bakteri patogen
yang tidak berhubungan dengan infeksi pada organ tubuh yang lain dan bukan infeksi
sekunder, dan disebut sebagai Central Line Associated Blood Stream Infection
(CLABSI).
C. Infeksi Saluran Kemih (Isk)
1) Diagnosis Infeksi Saluran Kemih
a) Urin Kateter terpasang ≥ 48 jam.
b) Gejala klinis: demam, sakit pada suprapubik dan nyeri pada sudut
costovertebra.
c) Kultur urin positif ≥ 105 Coloni Forming Unit (CFU) dengan 1 atau 2 jenis
mikroorganisme dan Nitrit dan/atau leukosit esterase positif dengan carik
celup (dipstick).
2) Faktor risiko Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Diagnosis ISK akan sulit dilakukan pada pasien dengan pemasangan kateter
jangka panjang, karena bakteri tersebut sudah berkolonisasi, oleh karena itu
penegakan diagnosa infeksi dilakukan dengan melihat tanda klinis pasien
sebagai acuan selain hasil biakan kuman dengan jumlah>102 – 103 cfu/ml
dianggap sebagai indikasi infeksi.
D. Infeksi Daerah Operasi (Ido)
Pengendalian Infeksi Daerah Operasi (IDO) atau Surgical Site Infections (SSI)
adalah suatu cara yang dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan kejadian
infeksi setelah tindakan operasi, misalnyaoperasi mata.
Paling banyak infeksi daerah operasi bersumber dari patogen flora endogenous kulit
pasien, membrane mukosa. Bila membrane mukosa atau kulit di insisi, jaringan
tereksposur risiko dengan flora endogenous. Selain itu terdapat sumber exogenous
dari infeksi daerah operasi. Sumber exogenous tersebut adalah:
1. Tim bedah
2. Lingkungan ruang operasi
3. Peralatan, instrumen dan alat kesehatan
4.Kolonisasi mikroorganisme
5. Daya tahan tubuh lemah
6. Lama rawat inap pra bedah

Kriteria Infeksi Daerah Operasi

1. Infeksi Daerah Operasi Superfisial


2. Infeksi Daerah Operasi Profunda/Deep Incisional
3. Infeksi Daerah Operasi Organ/Rongga
E. Pengumpulan Data
Tahap mengumpulkan data surveilans
a) Mengumpulkan data surveilans oleh orang yang kompeten, profesional,
berpegalaman, dilakukan oleh IPCN.
b) Memilih metode surveilans dan sumber data yang tepat.
c) Data yang dikumpulkan dan dilakukan pencatatan meliputi data demografi,
faktor risiko, antimikroba yang digunakan dan hasil kultur resistensi, nama,
tanggal lahir, jenis kelamin, nomorcatatanmedik, tanggal masukRS. Tanggal
infeksi muncul,lokasiinfeksi,ruangperawatan saatinfeksi muncul pertama kali.
Faktorrisiko:alat,prosedur,factorlainyang berhubungan dengan IRS,
Dataradiology/imaging:X-ray,CTscan,MRI,dsb.
d) Metode observasi langsung merupakan gold standard
F. Analisis
Penghitungan dan stratifikasi
a) Incidence rate Numerator adalah jumlah kejadian infeksi dalam kurun waktu
tertentu. Denominator adalah jumlah hari pemasangan alat dalam kurun waktu
tertentu atau jumlah pasien yang dilakukan tindakan pembedahan dalam kurun
waktu tertentu.
b) Menganalisis incidence rate infeksi Data harus dianalisa dengan cepat dan
tepat untuk mendapatkan informasi apakah ada masalah infeksi rumah sakit
yang memerlukan penanggulangan atau investigasi lebih lanjut.
G. Interpretasi
Interpretasi yang dibuat harus menunjukkan informasi tentang penyimpangan yang
terjadi. Bandingkan angka infeksi rumah sakit apakah ada penyimpangan, dimana
terjadi kenaikan atau penurunan yang cukup tajam. Bandingkan rate infeksi dengan
NNIS/CDC/WHO.Perhatikan dan bandingkan kecenderungan menurut jenis infeksi,
ruang perawatan dan mikroorganisme patogen penyebab bila ada. Jelaskan sebab-
sebab peningkatan atau penurunan angka infeksi rumah sakit dengan melampirkan
data pendukung yang relevan dengan masalah yang dimaksud
H. Pelaporan
a) Laporan dibuat secara periodik, tergantung institusi bisa setiap triwulan,
semester, tahunan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
b) Laporan dilengkapi dengan rekomendasi tindak lanjut bagi pihak terkait
dengan peningkatan infeksi.
c) Laporan didesiminasikan kepada pihak-pihak terkait.
d) Tujuan diseminasi agar pihak terkait dapat memanfaatkan informasi tersebut
untuk menetapkan strategi pengendalian infeksi rumah sakit.
I. Evaluasi
Evaluasi surveilance system
a) Langkah-langkah proses surveilans
b) Ketepatan waktu dari data
c) Kualitas data
d) Ketepatan analisa
e) Hasil penilaian: apakah sistem surveilans sudah sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan.
Hasil pelaksanaan surveilans merupakan dasar untuk melakukan
perencanaan lebih lanjut. Jika terjadi peningkatan infeksi yang
signifikan yang dapat dikatagorikan kejadian luar biasa, maka perlu
dilakukan upaya penanggulangan kejadian luar biasa.

DAFTAR PUSTAKA

Menkes RI 2017.Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor27 Tahun 2017 tentang


PedomanPencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
NAMA : DWI KRISTIN NATASIA

NIM : 1707010050

PENGERTIAN INFEKSI SURVAILANCE INFEKSI NOSOKOMIAL


Surveilans infeksi nosokomial merupakan salah satu kegiatan dalam program Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi (PPI) di rumah sakit. Infeksi yang terjadi di rumah sakit disebut
juga infeksil nosokomial atau Hospital Acquired Infections (HAI's) merupakan problem yang
serius bagi kesehatan masyarakat
PENGUMPULAN DATA INFEKSI RUMAH SAKIT

Menurut Alvarado angka infeksi nosokomial terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi 3-
21%) atau lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia (5,6). Hasil
survey point prevalence dari 11 rumah sakit di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perdalin
Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2003,
didapatkan angka infeksi nosokomial untuk ILO (Infeksi Luka Operasi) 18,9%, ISK (Infeksi
Saluran Kemih) 15,1%, IADP (Infeksi Aliran Darah) Primer) 26,4%, Pneumonia 24,5% dan
Infeksi Saluran meliputi saluran Napas lain 15,1%, serta Infeksi lain 32,1% (5,6). Selama 20
tahun ini banyak perkembangan yang dibuat untuk mencari masalah utama meningkatnya
angka kejadian infeksi nosokomial di banyak Negara, namun kondisinya sangat
memperhatinkan.

Survailance infeksi nososkomial merupakan salah satu jenis dari survailance epidemiologi,
dan ada 5 komponen utama :

1) Pengumpulan Data
2) Pengolahan Data
3) Analisis dan Interpretasi Data
4) Distributi Data
5) Evaluasi

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan 270/Menkes/SK/III/2007 tentang Pedoman


Manajerial Pencegahan dan Pengendalian infeksi di Rumah sakit dan Fasilitas Kesehatan
lainnya, bahwa keberhasilan program PPI di Rumah Sakit perlu keterlibatan Lintas
Profesional, klinis, perawat, Laboratorium, K3L, Farmasi, Gizi, IPRS, Sanitasi dan House
Keeping sehingga perlu wadah berupa komite PPI
TUJUAN SURVEILANS :
Suatu kegiatan surveilans harus mempunyai tujuan yang jelas dan ditinjau secara
berkala untuk menyesuaikan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan yang mungkin telah
berubah. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi antara lain meliputi:
 Adanya infeksi yang baru
 Perubahan kelompok populasi pasien, misalnya adanya penerapan cara
intervensi yang baru
 Adanya perubahan pola kuman penyakit
 Adanya perubahan pola resistensi kuman terhadap antibiotika Pada
pengumpulan dan analisis data surveilans harus dilakukan dan terkait dengan
suatu upaya pencegahan. Oleh karena itu sebelum melakukan perencanaan
atau program surveilans sangatlah penting untuk menentukan dan merinci
tujuan dari dilaksanakannya kegiatan surveilans.
Tujuan dari surveilans Rumah Sakit, yaitu :
1. Mendapatkan data dasar endemic Bagi mereka yang baru pertama kali melaksanakan
kegiatan surveilans, maka data yang pertama kali dikumpulkan akan menjadi data dasar
atau data awal untuk dapat mengkuantifikasikan rate dasar dari infeksi nosokomial yang
endemis. Dengan demikian dapat diketahui seberapa besar resiko yang dihadapi oleh
setiap pasien yang dirawat di rumah sakit. Sebagian besar (90-95%) dari infeksi
nosokomisal adalah endemic dan ini diluar dari kriteria Kejadian Luar Biasa ( KLB )
infeksi nosokomial. Oleh karena itu salah satu tujuan dari program surveilans haruslah
bertujuan untuk menurunkan rate dasar endemis ini dengan cara melakukan upaya-upaya
pencegahan infeksi yang memadai. Bila hal ini tidak dilakukan maka kegiatan surveilans
hanya sia-sia saja dan akan menyebabkan ketidakpuasan dari berbagai pihak.
2. Menurunkan Angka Infeksi Di Rumah Sakit Tujuan terpenting dari surveilans infeksi
nosokomial adalah menurunkan resiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial. Oleh
karena itu, dalam melaksanakan kegiatan surveilans, harus dibuat tujuan yang spesifik,
dengan mempertimbangkan cara penggunaan data, sumber daya manusia dan dana yang
tersedia untuk melaksanakan program yang sudah dibuat. Tujuan yang dibuat dapat
berorientasi kepada luaran ataupun kepada proses. Pada tujuan yang berorientasi pada
luaran maka program yang dibuat bertujuan untuk menurunkan resiko infeksi dan biaya
perawatan yang harus ditanggung oleh pasien. Sedangkan pada tujuan yang berorientasi
kepada proses maka program yang dibuat lebih berorientasi kepada cara pengumpulan
data, analisis data dan seterusnya walaupun pada akhirnya program yang dibuat dengan
berorientasi pada proses tetap akan menghasilkan suatu luaran yaitu menurunkan laju
infeksi, angka kesakitan, angka mortalitas ataupun biaya.
3. Mengidentifikasi KLB Bila angka endemic telah diketahui, maka pihak administrator RS
akan dapat segera mengenali bila terjadi suatu penyimpangan dari angka dasar tersebut
yang kadang mencerminkan suatu kejadian luar biasa ( KLB = outbreak ) dari infeksi
nosokomial. Untuk mengenali adanya penyimpangan angka laju infeksi dan menetapkan
adanya suatu KLB membutuhkan suatu ketrampilan khusus dari panitia pengendali
infeksi nosokomial. Tanpa adanya ketrampilan tersebut maka KLB dapat tidak dikenali
dan dinilai sebagai suatu kejadian endemic biasa. Laporan tentang adanya kecurigaan
terhadap KLB lebih sering datang dari dokter yang merawat pasien atau yang bekerja di
laboratorium daripada petugas pengendali infeksi nosokomial. Kelemahan dalam
kecepatan waktu ini sering menjadi keterbatasan dalam penggunaan data surveilans.
Untuk mengatasi hal tersebut maka sebaiknya kegiatan surveilans dilaksanakan secara
teratur, sehingga dapat memonitor perubahan yang terjadi. Komite Infeksi Nosokomial di
Rumah Sakit akan dapat mengetahui dengan lebih cepat seandainya terjadi suatu
Kejadian Luar Biasa infeksi nosokomial, sehingga dapat dengan segera melakukan
upaya-upaya pengendalian yang tepat.
4. Meyakinkan petugas medis Salah satu tantangan terberat dalam melaksanakan program
pengendalian infeksi adalah meyakinkan tenaga medis atau tenaga kesehatan lainnya
untuk menerapkan pencegahan infeksi yang dianjurkan. Untuk itu data surveilans harus
diolah dengan baik dan professional sehingga dapat dipercaya dan dijadikan pedoman
bagi upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. Selain dapat digunakan
oleh Komite Infeksi Nosokomial, data-data tersebut dapat pula diberikan kepada para
tenaga medis ataupun administrator rumah sakit.
5. Mengevaluasi system pengendalian Setelah permasalahan dapat diidentifikasi
berdasarkan data-data surveilans dan program upaya pencegahan ataupun pengendalian
infeksi nosokomial sudah dijalankan, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap apa yang
sudah dikerjakana. Hal ini penting karena prinsip dari surveilans adalah kegiatan yang
dilakukan terus menerus sehingga dapat diyakini oleh banyak pihak bahwa permasalahan
yang ada sudah benar-benar terkendali. Selain itu juga dengan dilakukannya pemantauan
dan evaluasi terus menerus maka suatu upaya pengendalian yang tampaknya rasional
pada akhirnya dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang tidan efektif sama sekali.
6. Memenuhi persyaratan administratif Keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial di
berbagai Negara termasuk di Indonesia merupakan salah satu indicator mutu pelayanan
kesehatan, selain juga merupakan salah satu kriteria penilaian akreditasi rumah sakit..
7. Membandingkan angka infeksi antar rumah sakit Dalam memperbandingkan angka
infeksi nosokomial antara satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lain, perlu
disebutkan metode pengumpulan data, analisis yang digunakan agar dapat
diinterpretasikan. Dalam memperbandingkan angka infeksi nosokomial antar rumah
sakitpun perlu ditetapkan terlebih dahulu infeksi apa yang akan diperbandingkan karena
setiap rumah sakit memiliki kriteria masing-masing untuk menetapkan adanyanya infeksi
dari suatu jenis penyakit. Angka infeksi dari suatu rumah sakit harus disesuaikan terlebih
dahulu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan baru kemudian diperbandingkan atau
disatukan untuk mendapatkan angka infeksi secara nasional. Faktor-faktor yang
mempengaruhi adanya perbedaan angka infeksi antar rumah sakit antara lain akurasi
data, sensitivitas dan spesifisitas dari definisi dalam program surveilans yang
dilaksanakan oleh masing-masing rumah sakit.
8. Untuk mengantisipasi tuntutan malpraktek Terhadap adanya tuntutan malpraktek,
program surveilans yang baik dengan kompilasi data yang baik dapat memberikan bukti-
bukti yang mendukung kualitas manajemen medis rumah sakit.
Metode Survailance Infeksi Nosokomial
METODE SURVEILANS
Ada banyak metode surveilans infeksi nosokomial yang digunakan antara lain yaitu :
1. Metode surveilans berdasarkan cara melaksanakan surveilans :
a. Survey pasif Rumah sakit dengan sumber daya yang terbatas sering melakukan
surveilans pasif. Tenaga medis yang melakukan perawatan pasien diminta untuk
melaporkan kasus-kasus infeksi kepada Komite Pengendalian Infeksi atau
administrator rumah sakit. Kemudian Komite ataupun administrator tinggal
menjumlahkan saja. Metode ini sangat tidak akurat, walaupun dalam format
pelaporan yang dibuat sudah diuraikan tentang definisi ataupun batasan-batasan
yang dibutuhkan tetapi seringkali para tenaga medis terlalu sibuk dan tidak
merasakan kepentingannya untuk turut berpartisipasi dalam pengendalian infeksi
nosokomial, sehingga sering terjadi perbedaan persepsi ataupun tidak terlaporkan
walaupun ditinjau dari aspek biaya metode ini lebih murah
b. Survey aktif Surveilans yang dilaksanakan secara aktif sangatlah dianjurkan
walaupun mempunyai tingkat kesulitan yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan survey pasif, namun memberikan hasil akurasi data maupun interpretasi
data yang lebih baik. Bila ditinjau dari aspek pembiayaan metode ini cukup mahal

2. Metode surveilans berdasarkan waktu pelaksanaan surveilans


a. Survey berkala Surveilans dilaksanakan secara berkala dan dapat dilaksanakan
pada unit-unit yang berbeda dalam kurun waktu yang berbeda. Biasanya diambil
angka kejadian pokok, misalnya jumlah pasien yang terkena infeksi nosokomial
dalam kurun waktu tertentu dibandingkan terhadap jumlah pasien yang disurvei.
Frekuensi survey disesuaikan dengan program pengendalian infeksi nosokomial
secara keseluruhan.
b. Survey per bagian yang berlangsung terus menerus Cara ini mencakup semua
metoda yang bertujuan untuk mendapatkan suatu angka kejadian. Yang dimaksud
dengan angka kejadian adalah jumlah kasus baru infeksi nosokomial dalam kurun
waktu tertentu atas populasi yang beresiko. Biasanya focus ditujukan pada daerah
dengan resiko infeksi yang tinggi sehingga pencegahan dapat dilaksanakan untuk
mengurangi kasus infeksi ini. Cara ini disebut juga sebagai surveilans bersasaran.
Pemilihan lokasi survey dapat ditentukan oleh jenis unit atau prioritas ataupun
berdasarkan kekebalan bakteri terhadap antibiotika tertentu.

DAFTAR PUSTAKA :
Dalima Ari Wahono Astrawinatan, Epidemiologi Klinik dan Sistem Surveilans
Infeksi di Rumah Sakit, 2003. Kursus Pengendalian Infeksi di Rumah
Sakit

Elsa Pudji Setiawati, 2003.Fakultas Kedokteran. Survailance Infeksi Nosokomial

NAMA : NADYA ADMIRELIA MASAN


NIM : 1707010197

Infeksi Nosokomial atau “Hospital Aquired Infection” merupakan infeksi yang


diperoleh selama (kelembapan, suhu, aliran udara dan sarana pembuangan limbah
rumah sakit) dan faktor perilaku (RSUD dr. Soetomo, 1993). Dampak infeksi
nosokomial tidak hanya dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian, juga
menambah biaya perawatan, obat-obatan, waktu dan tenaga yang ada akhirnya akan
membebani pemerintah dan rumah sakit, petugas rumah sakit maupun penderita dan
keluarga. Infeksi nosokomial merupakan masalah kesehatan masyarakat dan negara
baik di negara berkembang maupun negara maju, di negara berkembang prevalensi
infeksi nosokomial lebih tinggi dan lebih serius. Infeksi nosokomila menambah
ketidakberdayaan fungsional, tekanan emosional dan kadang-kadang pada beberapa
kasus akan menyebabkan kondisi kecacatan sehingga menurunkan kualitas hidup dan
merupakan salah satu penyebab kematian di rumah sakit. Dampak infeksi nosokomila
lebih banyak di negara yang sedang berkembang, terutama yang dilanda HIV/ AIDS,
karena temuan terakhir membuktikan bahwa pelayanan medis yang tidak aman
merupakan faktor penting dalam transmisi HIV (Gisselqist et al, 2002).
Faktor yang mempengaruhi terjadi infeksi nosokomial adalah faktor agent
(patogenisitas, jumlah atau dosis, reservoar dan source, portal of exit dan portal of
entry), faktor host (mekanisme pertahanan tubuh yang non spesifik dan mekanisme
pertahanan tubuh yang spesifik) dan faktor environment kesehatan rumah sakit dan
kesehatan masyarakat infeksi terus pula berkembang terutama pada pasien yang dirawat
di rumah sakit (Depkes RI, 2004).

JENIS JENIS INFEKSI RUMAH SAKIT

Definisi yang sesuai untuk infeksi terkait penggunaan kateter khususnya CVC pada pasien
dengan kanker belum digunakan di banyak literatur (Tomlinson, 2011. h.697). Definisi
umum yang digunakan untuk memastikan adanya infeksi primer aliran darah terkait
penggunaan CVC adalah definisi infeksi nosokomial terkait organ spesifik yang
dipublikasikan oleh CDC di Amerika Serikat pada konferensi internasional dan digunakan
sebagai definisi surveilens infeksi nosokomial. Infeksi primer aliran darah ini ditandai dengan
adanya manifestasi klinis sepsis atau dikenal dengan istilah Systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) adalah kondisi klinis yang disebabkan oleh respon imun pejamu terhadap
infeksi atau stimulus lain yang ditandai oleh inflamasi sistemik (Pohan.TH, 2005). Bila
manifestasi klinis sepsis ini disertai adanya mikroorganisme dalam darah maka kondisi ini
disebut Bakteremia/fungemia (Andries, 2012). Infeksi primer aliran darah ini dihubungkan
dengan kejadian infeksi yang diperoleh dipusat

Infeksi aliran darah adalah salah satu infeksi yang diperoleh dari asuhan keperawatan di
pusat layanan kesehatan yang merupakan masalah serius dan berpotensial menyebabkan
komplikasi pada pasien rawat inap, diantaranya pasien kanker dengan kondisi kritis yang
dapat berdampak negatif pada kondisi akhir pasien (Hugonne,2004). Pasien dengan kanker
mempunyai tambahan resiko terhadap terjadinya infeksi karena penggunaan kemoterapi
atau radiasi yang bersifat menekan sistem imun yang dalam beberapa tahun resiko ini
meningkat seiring dengan penggunaan central venous catheter (CVC) (Mayhall, 2004),
karena penggunaan CVC ini merupakan bagian penting dari pengelolaan pasien dengan
kanker. Berbagai indikasi pada pemasangan CVC ini termasuk diantaranya adalah sulitnya
akses vena perifer, frekuensi akan kebutuhan produk darah dan antibiotik, pemberian
kemoterapi yang kontinyu, rangkaian terapi yang panjang serta pemberian obat-obatan
(Desjardin, 1999). Namun, penggunaan CVC ini juga menjadi pintu masuk bagi

mikroorganisme penyebab utama terjadinya infeksi aliran darah, yang menyebabkan


masalah serius mulai dari meningkatnya angka morbiditas, mortalitas, biaya perawatan

yang tinggi akibat hari rawat inap yang semakin panjang (Tomlinson, 2011), hingga
adanya komplikasi akibat infeksi yang ditimbulkan mengharuskan dilakukannya
modifikasi pemberian dosis dan jadwal terapi (Mayhall, 2004).

Contoh pelaksanaan Sueveilans Infeksi Rumah Sakit di RSU Haji Surabaya

Pelaksanaan surveilans CAUTI pada RSU Haji Surabaya meliputi kegiatan pengumpulan
data, kompilasi data, analisis dan interpretasi data, serta diseminasi informasi. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Raras (2012) pada salah satu rumah sakit di Surabaya bahwa
dalam pelaksanaan surveilans dilakukan oleh perawat dalam pencatatan data pasien yang
menggunakan alat invasif yang didokumentasikan dalam buku catatan infection control, serta
dicatat pada formulir monitoring pasien setiap harinya. Data tersebut direkap setiap bulannya
oleh IPCLN dan akan dilaporkan pada IPCN dengan batas tanggal yang telah ditetapkan.
Data akan dikompilasi dan dilakukan analisis data hingga menjadi laporan yang akan
didiseminasikan kepada pihak atau unit terkait.

Pada pedoman surveilans infeksi rumah sakit tahun 2010 menjelaskan mengenai pelaksanaan
surveilans infeksi rumah sakit, bahwa pada pengumpulan serta pencatatannya dilakukan oleh
IPCLN dan tim PPI rumah sakit, IPCLN bertugas dalam mengisi dan mengumpulkan
formulir surveilans setiap pasien yang berisiko pada ruang rawat inap masing-masing setiap
harinya. Setelah 1 bulan data terkumpul maka, akan dikumpulkan paling lambat tanggal 5
yang diserahkan ke tim PPI yang telah ditandatangani oleh kepala ruangan.

DAFTAR PUSTAKA

Vebrilian, Spica Redina. 2015. Surveilans Catheter Assosiated Urinary Tract Infection
Berdasarkan Atribut Di Rumah Sakit Haji Surabaya. 4 (3) : 231.

Febrianti, Septi. 2015. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Phlebitis Di Rumah Sakit
Bhayangkara TK II. H.S. Samsoerimertojoso Surabaya. 3 (2) : 218
NAMA : MARIA APOLONIA INA ABO

NIM : 1707010172

Jenis – Jenis Infeksi Rumah Sakit (IRS)

Jenis-jenis IRS sangat banyak, tergantung dari jenis perawatan dan tindakan yang kita
lakukan terhadap pasien (saluran pernapasan, pencernaan, kemih, sistem pembuluh darah,
sistem saraf pusat dan kulit). Diantara jenis-jenis IRS, ada 4 jenis yang paling sering terjadi,
yaitu Infeksi Aliran Darah Primer (IADP), Infeksi yang berhubungan dengan pemasangan
ventilator atau Ventilator Associated Infection (VAP), infeksi akibat pemasangan kateter urin
atau Infeksi Saluran Kemih (ISK) dan akibat tindakan pembedahan (SSI).

1) Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) / Infeksi Luka Infus (ILI)


Merupakan infeksi aliran darah yang timbul tanpa ada organ atau jaringan lain yang
dicurigai sebagai sumber infeksi. Infeksi tersebut terjadi sewaktu atau selama
dilakukan tindakan pemasangan infus saat pasien dirawat di rumah sakit.
Fakror Risiko IADP :
a. Pemasangan kateter intravena, yang berkaitan dengan :
1. Jenis kanula atau jenis jalur intravascular : (vena sentral, vena parifer, dialisa
dsb) yang dipasang.
2. Metode pemasangan : keahlian petugas, teknik aseptik, jenis antiseptik, jenis
dan bahan peralatan terpasang (silikon, polyethlene, dsb)
3. Lama pemasangan : berapa hari peralatan dipasang.
b. Keterangan pasien terhadap infeksi
Pencegahan IADP
Terutama ditunjukkan pada pemasangan dan perawatan Intra Vena :
a. Indikasi pemasangan intra vena hanya dilakukan untuk tindakan pengobatan atau
kepentingan diagnostik
b. Pemilihan kanula untuk infus primer
Kanula plastik boleh digunakan untuk intra vena secara rutin, pemasangan tidak
boleh lebih dari 72 jam.
c. Cuci tangan
Harus dilakukan sebelum pemasangan kanula. Pada umumnya cuci tangan cukup
menggunakan sabun dan air mengalir tetapi untuk pemasangan kenula vena
sentral dan untuk pemasangan melalui insici, cuci tangan harus menggunakan
antiseptik
d. dan pencegahan lainnya
2) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
merupakan jenis infeksi yang terjadi pada saluran kemih murni(urethra dan
permukaan kandung kemih) atau melibatkan bagian yang lebih dalam dari organ-
organ pendukung saluran kemih (ginjal, ureter, kandung kemih, uretra dan jaringan
sekitar retroperitonial atau rongga perinefrik). Untuk itu, dalam menentukan jenis
ISK, perlu pengelompokan sabagai berikut:
a. Infeksi Saluran Kemih Simptomatis
b. Infeksi Saluran Kemih Asimptomatis
b. Infeksi Saluran Kemih lainnya
Sumber infeksi saluran kemih dapat berasal dari luar tubuh pasien atau kontaminasi
silang :
a. Personil yang tidak dicuci tangan
b. Cairan kontaminasi
c. Peralatan medis yang tidak stril
Faktor risiko ISK
a. Katerisasi menetap :
1. Cara pemasangan kateter : teknik pemasangan dan ukuran kateter
2. Kualitas perawatan kateter : Perawatan meatus urethra, jalur kateter,
pengosongan kantong urin, manipulasi (pengambilan sampel urin).
b. Kerentanan pasien : komorbiditas penderita (misalnya DM), kondisi penurunan
daya tahan tubuh (misalnya malnutrisi), kondisi organic (misalnya: ostruksi,
disfungsi kandung kemih, refluks).
c. Dekubitus
d. Pasca persalinan
Pencegahan ISK
a. Tenaga pelaksana
1. Pemasangan kateter hanya dikerjakan tenaga yang memahami dan terampil
dalam teknik pemasangan kateter secara septik dan perawatan kateter
2. Personil yang memberikan asuhan pada pasien dengan kateter harus mendapat
latihan secara khusus teknik pemasangan yang benar dan pengetahuan tentang
komplikasi potensi yang timbul
b. Teknik pemasangan kateter
1. Pemasangan hanya dilakukan bila perlu saja dan segera dilepas jika tidak
diperlukan.
2. Sebelum dan sesudah manipulasi kateter harus cuci tangan
3. Pemasangan kateter harus secara septik dengan menggunakan peralatan steril
4. Kateter yang berfungsi kurang baik atau tersumbat harus diirigasi atau kalau
perlu diganti
3) Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi luka operasi terdiri atas 2 jenis :
1. ILO Superfisial
a. Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari pasca bedah
b. Hanya meliputi kulit, sub kutan atau jaringan lain diatas fascia
2. ILO Profunda
a. Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari pasca bedah
sampai dengan satu tahun pasca bedah
b. Meliputi jaringan lunak yang dalam (fascia dan lapisan otot)
3. ILO Organ/Rongga
Bila insisi dilakukan pada organ atau mencapai rongga dalam tubuh.
Faktor Risiko ILO
Faktor risiko terjadinya ILO dapat berasal dari:
a. kondisi pasien sendiri, misalnya usia, obesitas, penyakit berat, ASA Score, karier
MRSA, lama rawat pra operasi, malnutrisi, DM, penyakit keganasan.
b. Prosedur operasi: Cukur rambut sebelum operasi, jenis tindakan, antibiotik
profilaksis, lamanya operasi, tindakan lebih dari 1 jenis, bendaasing, tranfusi
darah, mandi sebelum operasi, operasi emergensi, drain.
c. Jenis operasi: operasi bersih, operasi bersih terkontaminasi, operasi kotor.
d. Perawatan paska infeksi: tempat perawatan, tindakan-tindakan keperawatan
(pergantian verban), lama perawatan.
4) Infeksi Saluran Pernapasan / Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
Pneumonia nosokmial merupakan salah satu komponen perawatan di rumah sakit
yang menigkatkan morbiditas dan mortalitas pasien.
Faktor risiko VAP
1. Pasien PPOK/PPOM
2. Pasien luka bakar
3. Pasca operasi bedah saraf
4. Trauma
5. Penyakit susunan saraf pusat
6. Pemberian enteral nutrisi secara terus-menerus, dll
Pencegahan VAP
a. Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan
Dengan mencuci tangan dapat mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
Pemakaian sarung tangan steril pada saat melakukan penghisapan secret juga akan
mencegah terjadinya VAP.
b. Posisi pasien semi recumbent
Pasien dengan ventilasi mekanik sebaiknya diposisikan semi recumbent untuk
mencegah terjadinya aspirasi.
c. Hindari pemberian nutrisi enteral dengan volume besar

DAFTAR PUSTAKA
Sakit dan Astrawinantan, Delima Ari Wahono, (2003), Epidemiologi Klinik dan Sistem
Surveilans Infeksi di Rumah Sakit. Kursus Pengendalian di Rumah Sakit.
NAMA : ATIKAH RAMADHANIYAH LA UDU

NIM : 1707010277

Jenis-jenis infeksi rumah sakit yaitu :

a. Infeksi Aliran Darah primer (IADP)


Infeksi aliran darah primer merupakan jenis infeksi yang terjadi akibat masuknya
mikroba melalui peralatan yang masuk langsung ke sistem pembuluh darah yang
biasa disebut juga Blood steam infection (BSI). Contohnya adalah pemasangan vena
sentral, vena perifel, hemodialisa.
Kriteria IADP
Ada beberapa kriteria untuk menentukan IADP. Kriteria IADP 1 dan 2 dapat
digunakan untuk semua peringkat umur pasien termasuk usia <1, minimal ditemukan
satu kriteria seperti tersebut :
 Kriteria 1 IADP
 Ditemukan pathogen pada >1 kultur darah pasien
 Mikroba dari kultur darah itu tidak berhubungan dengan infeksi dibagian lain
dari tubuh pasien
 Kriteria 2 IADP
 Pasien menunjukkan minimal satu gejala klinis: demam (suhu >38oC),
menggigil atau hipotensi
 Tanda dan gejala klinis serta hasil positif pemeriksaan laboratorium yang
tidak berhubungan dengan infeksi di bagian lain dari tubuh pasien
 Hasil kultur yang berasal dari >2 kultur darah pada lokasi pengambilan yang
berbeda didapatkan mikroba kontaminan kulit yang umum, misalnya difteroid
(Corynebacterium spp), Bacillus spp.
 Kriteria 3 IADP
 Pasien anak usia <1 tahun menunjukkan minimal satu gejala seperti berikut:
demam (suhu rektal >38oC), hipotermi (suhu rektal <37oC)
 Tanda dan gejala serta hasil pemeriksaan positif laboratorium yang tidak
berhubungan dengan infeksi dibagian lain dari tubuh pasien
 Hasil kultur yang berasal dari >2 kultur darah pada lokasi pengambilan yang
berbeda didapatkan mikroba kontaminan kulit yang umum, misalnya difteroid
(Corynebacterium spp), Bacillus spp.
Faktor Resiko IADP

Risiko IADP tentunya adalah semua pasien yang dipasang kateter vaskuler. Sedangkan risiko
infeksi dan hasil pemeriksaan tergantung dari :

 Lama pemasangan : berapa hari peralatan dipasang


 Jenis jalur intravascular (vena sentral, vena perifel, hemodialisa dan sebagainya)
yang dipasang
 Lokasi pemasangan: subclavian, femoral, internal jugular perifer
 Tehnik pemasangan: keahlihan petugas, teknik aseptik, jenis antiseptik, jenis dan
bahanperalatan terpasang (polyethylene, polyurethane, silikon
 Perawatan: ruang perawatan, perawatan peralatan, frekuensi manipulasi
 Kondisi pasien: usia, penyakit yang mendasari
 Teknik kultur

b. Pneumonia/Ventilator Associated Pneumonia (VAP)


Infeksi saluran nafas bawah yang mengenai parenkim paru akibat pemasangan alat
dengan tirah baring lama. Contohnya adalah pemasangan enteral feeding, prosedur
suction, pemasangan ventilator.
Faktor risiko pneumonia
Pneumonia dapat berasal dari:
 Faktor lingkungan yang terkontaminasi, misalnya air, udara atau makanan (muntah)
 Peralatan yang digunakan dalam perawatan pasien
 Orang ke orang: dokter,perawat,pengunjung, maupun dari flora endogen pasien itu
sendiri

Faktor risiko untuk terjadinya pneumonia antara lain:

 Kondisi pasien: umur (> 70 tahun), penyakit kronis, pembedahan (Toraks atau
Abdomen), Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), penyakit jantung kongestif,
perokok berat
 Tindakan pengobatan atau perawatan: sedatif, anestesi umum, intubasi trakeal,
trakeostomi, pemakaian ventilasi mekanik yang lama, pemberian makanan enteral,
terapi antibiotik, obat immunosupresif atau sitostatik populasi beresiko untuk
terjadinya pneumonia.

c. Infeksi Saluran Kemih (ISK)


Merupakan jenis infeksi yang terjadi pada saluran kemih murni (urethra dan permukaan
kandung kemih) atau melibatkan bagian yang lebih dalam dari organ-organ pendukung
saluran kemih (ginjal, ureter, uretra, kandung kemih). Populasi utama surveilans adalah
pasien yang terpasang kateter menetap.

Tanda dan gejala klinis ISK


 Demam (> 38oC)
 Urgensi
 Frekuensi
 Disuria
 Nyeri supra pubik

Faktor risiko ISK

Faktor risiko untuk terjadinya ISK adalah penderita yang terpasang kateter, sedangkan faktor-
faktor lain berkaitan dengan:

 Kondisi pasien (faktor intrisik): komorbiditas penderita (misalnya DM), kondisi


penurunan daya tahan tubuh (misalnya malnutrisi), kondisi organic (misalnya
ostruksi, difungsi kandung kemih, refluks)
 Prosedur pemasangan: teknik pemasangan, ukuran kateter
 Perawatan: perawatan meatus urethra, jalur kateter, pengosongan kantong urin,
manipulasi (pengambilan sampel lain)

d. Infeksi Luka Operasi (ILO)


Infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah tindakan operasi tanpa
pemasangan implant atau dalam waktu 1 tahun bila operasi dengan pemasangan implant
dan diduga ada kaitannya dengan prosedur operasi.
Faktor risiko ILO
Faktor risiko terjadinya ILO dapat berasal dari:
 Kondisi pasien sendiri, misalnya usia, obesitas, penyakit berat, karier MRSA, lama
rawat pra operasi, malnutrisi, DM, penyakit keganasan
 Prosedur Operasi: cukur rambut sebelum operasi, jenis tindakan, antibiotik profilaksis,
lamanya operasi, tindakan lebih dari 1 jenis, benda asing, transfusi darah, mandi
sebelum operasi, drain
 Jenis operasi: operasi bersih, operasi bersih terkontaminasi, operasi kotor
 Perawatan paska infeksi: tempat perawatan, tindakan-tindakan keperawatan
(pergantian verban), lama perawatan.

DAFTAR PUSTAKA
Nugraheni, dkk. (2012). Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro Kabupaten Wonosobo.
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Vol. 11 / No.1, April 2012.

Anda mungkin juga menyukai