Pendidikan Dan Promosi Kesehatan
Pendidikan Dan Promosi Kesehatan
Pendidikan secara umum adalah “segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi
orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan pelaku pendidikan”. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan:
a. Input adalah sasaran pendidikan ( individu, kelompok, masyarakat), dan pendidik (pelaku
pendidkan)
b. proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain)
c. output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku).
Metoda
Alat-alat
bantu
Proses Belajar
Input Out Put
(Subjek Belajar) (Hasil Belajar)
Fasilitasi Bahan
Belajar Belajar
Metode komunikasi antar pribadi yang paling baik adalah konseling (councelling), karena
di dalam cara ini antara komunikator atau konselor dengan komunikan atau klien terjadi
dialog. Klien dapat lebih terbuka menyampaikan masalah dan keinginan-keinginannya,
karena tidak ada pihak ketiga yang hadir.
B. Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah penggunaan media massa untuk menyampaikan pesan-pesan atau
informasi-informasi kepada khalayak atau masyarakat. Komunikasi di dalam kesehatan
masyarakat berarti meyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat melalui berbagai
media massa (TV, radio, media cetak, dsb.), dengan tujuan agar masyarakat berperilaku hidup
sehat.
Skiner (1938), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau
reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian, perilaku manusia
terjadi melalui proses:
Stimulus--------> Organisme -------------> Respons,
sehingga teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” (stimulus-organisme-respons). Selanjutnya teori
Skiner menjelaskan adanya dua jenis respons, yaitu:
a. Respondent respons atau refleksif, yaitu respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-
rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimuli, karena menimbulkan respons-
respons yang relatif tetap. Misalnya: makanan lezat akan menimbulkan nafsu untuk makan.
b. operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang
kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan yang lain. Perangsang yang terakhir ini
disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena berfungsi untuk memperkuat respons.
Misalnya, apabila seseorang petugas kesehatan melakukan tugasnya dengan baik adalah
sebagai respons terhadap gaji yang cukup, misalnya (stimulus). Kemudian karena kerja baik
tersebut, menjadi stimulus untuk memperoleh promosi pekerjaan. Jadi, kerja baik tersebut
sebagai reinforcer untuk memperoleh promosi pekerjaan.
Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu :
a. Perilaku tertutup (Covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat
diamati orang lain (dari luar) secara jelas.
b. Perilaku terbuka (Overt behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa
tindakan, atau praktik.
Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktifitas atau kegiatan seseorang
baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable), yang
berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini
mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain,
menigkatkan kesehatan dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah
kesehatan.
Becker (1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan dan membedakannya menjadi
tiga, yaitu :
1. Perilaku sehat (healthy behavior)
Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku atau kegiata-kegiatan yang berkaitan dengan
upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, antara lain :
a. makan dengan menu seimbang (appropriate diet).
b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup.
c. Tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba.
Perilaku seseorang adalah sangat kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas.
Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan, membedakan adanya 3 area,
wilayah, ranah atau domain perilaku ini, yakni kognitif (cognitive), afektif (affective), dan
psikomotor (psychomotor).
Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan pembagian domain oleh Bloom ini, dan
untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku sebagai
berikut:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya
dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu: Tahu (know), Memahami (comprehension), Aplikasi
(application), Analisis (analysis), Sintesis (synthesis), Evaluasi (evaluation)
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang
sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-
tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya).
Newcomb, salah seorang ahli psikologisosial menyatakan, bahwa sikap merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat – tingkat berdasarkan
intensitasnya, sebagai berikut : Menerima (receiving), Menanggapi (responding), Menghargai
(valuing), Bertanggung jawab (responsible).
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah
diyakininya.
Banyak teori tentang determinan perilaku ini, masing-masing mendasarkan pada asumsi-
asumsi yang dibangun. Dalam bidang perilaku kesehatan, ada 3 teori yang sering menjadi acuan
dalam penelitian-penelitian kesehatan masyarakat. Ketiga teori tersebut adalah:
a. Teori Lawrence Green
Berangkat dan analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya dua
determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku), dan non
behavioral factors atau faktor non-perilaku. Selanjutnya Green menganalisis, bahwa faktor
perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:
1) Faktor-faktor predisposisi (disposing faktors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah
atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-niali, tradisi, dan sebagainya. Seorang ibu mau membawa
anaknya ke Posyandu, karena tahu bahwa di Posyandu akan dilakukan penimbangan anak
untuk mengetahui pertumbuhannya. Anaknya akan memperoleh imunisasi untuk
pencegahan penyakit, dan sebagainya. Tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan ini, ibu
tersebut mungkin tidak akan membawa anaknya ke Posyandu.
2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor-faktor yang memungkinkan
atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin
adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya
Puskesmas, Posyandu, rumah sakit, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah,
tempat olah raga, makanan bergizi, uang, dan sebagainya.
Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun seseorang tahu dan mampu
untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Seorang ibu hamil tahu manfaat
periksa hamil, dan di dekat rumahnya ada Polindes, dekat dengan bidan, tetapi ia tidak
mau melakukan periksa hamil, karena ibu lurah dan ibu-ibu tokoh lain tidak pernah
periksa hamil, namun anaknya tetap sehat. Hal ini berarti, bahwa untuk berperilaku sehat
memerlukan contoh dari para tokoh masyarakat.
c. Teori WHO
Tim kerja pendidikan kesehatan dan WHO merumuskan determinan perilaku ini sangat
sederhana. Mereka mengatakan, bahwa mengapa seseorang berperilaku, karena adanya 4
alasan pokok (determinan), yaitu:
1) Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling).
2) Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personnal
references).
3) Sumber daya (resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku
seseorang atau masyarakat.
4) Sosio budaya (culture) setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap terbentuknya
perilaku seseorang.
Berdasarkan rumusan WHO (1994), strategi promosi kesehatan secara global ini terdiri dari 3
hal, yaitu:
a. Advokasi (Advocacy)
Advokasi adalah kegiatan untuk meyakinkan orang lain, agar orang lain tersebut membantu
atau mendukung terhadap apa yang diinginkan. Dalam konteks promosi kesehatan, advokasi
adalah pendekatan kepada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan di berbagai sektor,
dan di berbagai tingkat, sehingga para pejabat tersebut mau mendukung program kesehatan yang
kita inginkan. Dukungan dari para pejabat pembuat keputusan tersebut dapat berupa kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, surat
keputusan, surat instruksi, dan sebagainya.
Green (1980) telah mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk
membuat perencanaan dan evaluasi kesehatan yang dikenal sebagai kerangka PRECEDE.
PRECEDE (Predisposing Reinforcing and Enabling Causes in Educational Diagnosis and
Evaluation). PRECEDE memberikan serial langkah yang menolong perencana untuk mengenal
masalah mulai dan kebutuhan pendidikan sampai pengembangan program untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Namun demikian pada tahun 1991 Green menyempurnakan kerangka
tersebut menjadi PRECEDE-PROCEED. PROCEED (Policy, Regulatory, Organizational
Construct in Educational and Environmental Development). PRE CEDE-PRO CEED harus
dilakukan secara bersama-Sama dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi.
PRECEDE digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas masalah dan tujuan
program, sedangkan PROCEED digunakan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan,
serta implementasi dan evaluasi. Berikut gambaran dan kerangka PRECEDE-PROCEED.
Phase 5 Phase 4 Phase 3 Phase 2 Phase 1
Administrative & Educational and Behavioral and Epidemio Social
policy Diagnosis Organizational Environmental logical Diagnosis
Diagnosis Diagnosis Diagnosis
Perencanaan promosi kesehatan adalah suatu proses diagnosis penyebab masalah, penetapan
prioritas masalah dan alokasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu,
dalam membuat perencanaan promosi kesehatan, perencana harus terdiri dari masyarakat,
profesional kesehatan dan promotor kesehatan. Kelompok ini harus bekerja bersama-sama dalam
proses perencanaan promosi kesehatan, sehingga dihasilkan program yang sesuai, efektif dalam
biaya (cost effective) dan berkesinambungan. Di samping itu, dengan melibatkan orang orang
yang terkait maka akan menciptakan rasa memiliki, sehingga timbul rasa tanggung jawab dan
komitmen.
Diagnosis Masalah
Fase 1: Diagnosis Sosial (Social Need Assessment)
Diagnosis sosial adalah proses penentuan persepsi masyarakat terhadap kebutuhannya atau
terhadap kualitas hidupnya dan aspirasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya
melalui partisipasi dan penerapan berbagai informasi yang didesain sebelumnya. Pengumpulan
datanya dapat dilakukan dengan cara: wawancara dengan informan kunci, forum yang ada di
masyarakat, Focus Group Discussion (FGD), nominal group process, dan survei.
Fase 2: Diagnosis Epidemiologi
Pada fase ini dicari faktor kesehatan yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang ataupun
masyarakat sebagaimana yang terdiagnosis pada fase 1. Informasi ini sangat diperlukan untuk
menetapkan prioritas masalah, yang biasanya didasarkan atas pertimbangan besarnya masalah
dan akibat yang ditimbulkannya serta kemungkinan untuk diubah.
Dalam menentukan prioritas masalah kita harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti:
a. Beratnya masalah dan akibat yang ditimbulkannya
b. Pertimbangan politis
c. Sumber daya yang ada di masyarakat
Prioritas masalah kesehatan harus tergambar pada tujuan program dengan ciri who will
benefit how much of what outcome by when.
Fase 3: Diagnosis Perilaku dan Lingkungan
Pada fase ini selain diidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi masalah kesehatan
juga sekaligus diidentifikasi masalah lingkungan (fisik dan sosial) yang mempengaruhi perilaku
dan status kesehatan ataupun kualitas hidup seseorang atau masyarakat.
Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi status kesehatan seseorang,
digunakan indikator perilaku seperti: pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilization), upaya
pencegahan (Preventive action), pola konsumsi makanan (con sumption pattern), kepatuhan
(compliance), upaya pemeliharaan kesehatan sendiri (self care). Dimensi perilaku yang
digunakan adalah: earliness, quality, persistence, frequency dan range. Indikator lingkungan
yang digunakan meliputi: keadaan sosial, ekonomi, fisik dan pelayanan kesehatan, dengan
dimensinya yang terdiri dari keterjangkauan, kemampuan dan pemerataan.
Fase 4: Diagnosis Pendidikan dan Organisasi
Tetapkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai berdasarkan factor predisposisi yang telah
diidentifikasi. Selain itu, berdasarkan faktor pemungkin dan penguat yang telah diidentifikasi
ditetapkan tujuan organisasi yang akan dicapai melalui upaya pengembangan organisasi dan
sumber daya yang telah tersedia dan yang akan didapatkan.
Pelaksanaan adalah penerapan dari hal-hal yang telah direncanakan. Kesalahan sewaktu
membuat perencanaan akan terlihat selama proses pelaksanaan, demikian pula halnya dengan
kekuatan dan kelemahan yang muncul selama waktu pelasanaan merupakan refleksi dari baik
tidaknya suatu proses perencanaan.
Pemantauan adalah suatu upaya agar proses pelaksanaan dari hal-hal yang telah
direncanakan berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Bila pada saat pemantauan
ada hal-hal yang tidak sesuai dengan prosedur / perencanaan maka hal tersebut bisa segera
diperbaiki.
Evaluasi adalah suatu masa di mana dilakukan pengukuran hasil (outcome) dari promosi
kesehatan yang telah dilakukan. Pada fase ini juga dilihat apakah perencanaan dan pelaksanaan
yang telah dilakukan dapat dilanjutkan. Selain itu, evaluasi diperlukan untuk pemantauan
efficacy dari promosi kesehatan dan sebagai alat bantu untuk membuat perencanaan selanjutnya.
Pada prinsipnya, evaluasi promosi kesehatan sama dengan evaluasi kesehatan lainnya,
Karakteristiknya ialah indikator yang digunakan bukan hanya indikator epidemiologik sebagai
indikator dampak seperti pada upaya kesehatan lainnya, namun juga menggunakan indikator
perilaku untuk pengukuran efek