KETOASIDOSIS DIABETIKUM
Pembimbing:
dr. Roy Akur Pandapotan, Sp.PD
Oleh:
dr. Elsa Tjahya
Laporan Kasus
IDENTITAS PASIEN
• Nama : Ny. I b I
• Umur : 38 tahun
• Kelamin : Perempuan
• Agama : Islam
• Suku : Jawa
• BB : 54 kg
• TB : 155 cm
ANAMNESA
Anamnesa tanggal
• Pasien datang ke RSUD Kemayoran dengan keluhan lemas sejak siang hari SMRS.
Pasien merasakan keluhan mual disertai muntah sejak siang hari. Muntah sebanyak
lebih kurang 10 kali berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi. Setiap muntah
kurang lebih sebanyak setengah gelas air mineral. Pasien juga merasakan keringat
dingin san pusing berputar hilang timbul. Namun saat ini keluhan pusing berputar
sudah tidak dirasakan. Pola dan komposisi makan pasien tidak diperhatikan dan sering
konsumsi makanan tinggi karbohidrat dan gula. Keluhan serupa sudah dialami pasien
3 kali dan dirawat di RS.
Pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus (DM) sejak 7 tahun lalu. Pasien rutin minum obat
namun tidak pernah kontrol ke RS atau puskesmas untuk evaluasi pengobatan. Terakhir
kontrol pada November 2018. Hipertensi(-), penyakit jantung (-)
2
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada
RIWAYAT PENGOBATAN
Metformin 3x500mg dan glimepirid 1x2mg. Sejak kurang lebih 3 bulan lalu, pasien
menghentikan konsumsi glimepirid sendiri karena khawatir jumlah obat terlalu banyak.
PEMERIKSAAN FISIK
• Nadi : 89 x/mnt
• Suhu : 36,8 ºC
• Berat Badan : 54 kg
STATUS GENERALIS
KEPALA
• Hidung : Tidak ada deviasi septum, sekret (-), mukosa tidak hiperemis, tidak
ada penapasan cuping hidung
3
LEHER
• Bentuk : Simetris
TORAX ANTERIOR
• Inspeksi : Pergerakan nafas hemitorak kanan dan kiri sama, Ictus cordis tidak
terlihat
• Palpasi : Fremitus taktil dan vokal hemitorak kiri dan kanan sama, Ictus cordis
teraba tidak kuat angkat
POSTERIOR
• Palpasi : Fremitus taktil dan vokal hemitorak kiri dan kanan sama
ABDOMEN
• Perkusi : Timpani
EKSTREMITAS
• Superior : Oedem -/-, Sianosis -/- Akral dingin -, CRT <2’, Turgor kulit normal
• Inferior : Oedem -/-, Sianosis -/-, Akral dingin -, Turgor kulit normal
4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Hematokrit : 41 (38-46%)
Ureum : 18 (10-50mg/dl)
Urinalisis:
Warna : kuning
Kejernihan : keruh
pH : 6,5 (4,5-8,0)
Glukosa : +++
Protein :-
Keton : ++
Bilirubin :-
Urobilinogen :-
Leukosit esterase :-
5
Nitrit :-
DIAGNOSIS
• Ketosis DM
DIAGNOSIS DIFFERENTIAL
Ketoasidosis Diabetikum
PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan penatalaksanaan :
4. Mencegah komplikasi,
• Ivfd NaCl 0,9 % loading 1 liter →cek GDS setelahnya→GDS setelah loading 291.
Tanda vital dalam batas normal→dilanjutkan dengan IVFD NaCl 0,9% 2000cc/24
jam
• Drip novorapid 1 unit per jam dengan syringe pump→ pantau GDS per 3 jam, jika
GDS <100 mg/dl stop insulin drip, 100-150mg/dl novorapid 0,5 unit/jam, >150mg/dl
lanjutkan novorapid drip 1 unit per jam
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan suatu keadaan unik dimana terjadi
dekompensasi dari kekacauan metabolik yang ditandai dengan adanya trias hiperglikema,
asidosis dan ketosis. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya defisiensi dari insulin yang
absolut maupun relatif dan peningkatan dari hormon kontra-regulator yang menyebabkan
tejadinya proses lipolisis secara berlebihan sehingga membentuk benda-benda keton. KAD dan
hipoglikema merupakan komplikasi akut yang serius dari Diabetes Melitus (DM) dan
membutuhkan penanganan secara cepat sehingga merupakan kasus gawat darurat. Pada KAD
dapat terjadi dehidrasi berat sampai dengan syok dikarenakan adanya diuresis osmotik.1
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian dari KAD seiktar 4-8 kasus pada setiap 1000 pasien yang terkena
diabetes melitus dan merupakan salah satu kasus yang sulit ditangani pada pusat-pusat
kesehatan yang kurang terfasilitasi dengan lengkap. Mortalitas dari KAD sekitar 0,5 persen
sampai dengan 0,7 persen tergantung dari pusat kesehatan yang menangani kasus KAD
tersebut.2
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden KAD
sebesar 8/1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok
umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun. 1 Sumber lain menyebutkan
insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000 pasien DM per tahun.4,5
Ketoasidosis diabetik lebih sering terjadi di negara Barat dikarenakan banyak pasien
yang terdiagnosis sebagai pasien diabetes melitus tipe, sedangkan di Indonesia pasien yang
terkena KAD lebih sering pada pasien dengan diabetes melitus tipe II, sehingga KAD di
Indonesia lebih kecil prevalensinya daripada di negara Barat. 1
Mortalitas pada KAD akan semakin meningkat dengan adanya penyakit penyerta seperti
sepsis, syok berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal
yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah. Pada pasien usia lanjut yang
terkena KAD dan ditangani di sarana kesehatan yang sederhana, angka mortalitasnya dapat
mencapai 25 persen hingga 50 persen.1
8
FAKTOR PENCETUS
Pada pasien yang terkena KAD dengan diketahuinya menderita diabetes melitus
sebelumnya sekitar 80 persen dapat diketahui faktor pencetusnya, sedangkan 20 persen lainnya
faktor pencetusnya tidak diketahui. 1,6
Berikut adalah faktor pencetus KAD1:
1. Infeksi
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol
dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula yang bermakna. Infeksi yang biasa
dijumpai adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Pneumonia atau penyakit paru
lainnya dapat mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus
selalu diperhatikan sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi
respiratorik dari asidosis metabolik Jika ada keluhan nyeri abdomen, perlu dipikirkan
kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, apendisitis, divertikulitis, atau perforasi usus. Bila
pasien tidak menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu dicari
infeksi yang tersembunyi (misalnya sinusitis, abses gigi, dan abses perirektal).
2. Infark Miokard Akut (IMA)
Pada IMA terjadi peningkatan kadar hormon epinefrin yang cukup untuk menstimulasi
lipolisis, hiperglikemia, ketogenesis dan glikogenolisis.
3. Menghentikan atau mengurangi dosis insulin
Pengurangan atau menghentikan insulin menyebabkan insulin berkurang sehingga terjadi
hiperglikemia dan diuresis osmotik yang mengakibatkan dehidrasi dan gangguan
elektrolit.
4. Masalah Psikologis
Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang disertai kelainan
makan memberikan kontribusi pada 20 persen KAD berulang. Faktor yang memunculkan
kelalaian penggunaan insulin pada pasien muda diantaranya ketakutan untuk peningkatan
berat badan dengan perbaikan kontrol metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan
stres akibat penyakit kronik
5. Obat
Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid,
pentamidine, dan obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan terbutalin), dapat
mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang diketahuidapat mencetuskan KAD diantaranya
beta blocker, obatantipsikotik, dan fenitoin.
9
PATOFISIOLOGI KETOASIDOSIS DIABETIK 7,8,9
Mekanisme Glukosa dan Lipid
Ketoasidosis diabetik ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan
peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat
dari defisiensi insulin yang absolut ataupun relatif yang terjadi bersamaan dengan peningkatan
hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal
tersebut mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan
lipolisis dan produksi benda keton. Hiperkortisolemia akan menyebabkan peningkatan
proteolisis, sehingga menyediakan prekursor asam amino yang dibutuhkan untuk
glukoneogenesis. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal
(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer
akibat kadar insulin yang rendah dan tingginya konsentrasi katekolamin.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat non-karbohidrat
seperti alanin, laktat, gliserol pada hepar dan glutamin pada ginjal serta peningkatan aktivitas
enzim glukoneogenik seperti fosfoenol piruvat karboksilase/PEPCK, fruktosa 1,6 bifosfat dan
piruvat karboksilase. Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukan patogenesis utama yang
bertanggung jawab pada keadaan hiperglikemia pada pasien yang terkena KAD.
Keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi di tubuh menyebabkan diuresis
osmotik yang dapat mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan penurunan Glomerular
Filtration Rate (GFR). Keadaan tersebut akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang
mendasari peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi dari
defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi
hormon lipase yang bersifat sensitif terhadap jaringan lemak. Adanya peningkatan aktivitas ini
akan mengakibatkan pemecahan trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty
acid/FFA). Gliserol sendiri merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis yang terjadi di
hepar, sedangkan asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari
ketosid.
10
.
11
Gambar 2. Mekanisme produksi badan keton.
(a) Peningkatan lipolisis menghasilkan produksis asetil KoA dari asam lemak, sebagai substrat
sintesis badan keton oleh hati. Defisiensi insulin menyebabkan penurunan utilisasi glukosa dan
penurunan produksi oksaloasetat. (b) Jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk kondensasi dengan
asetil KoA berkurang; dan (c) menyebabkan asetil KoA digeser dari siklusi TCA dan (d) mengalami
kondensasi untuk membentuk asetoasetat diikuti reduksi menjadi beta-hidroksibutirat.
Pada KAD, kadar insulin rendah yang dikombinasikan dengan peningkatan kadar
katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan akan mengaktivasi lipase sensitif hormon,
kemudian menyebabkan pemecahan trigliserida dan pelepasan asam lemak bebas. Asam lemak
bebas ini akan diubah oleh hati menjadi badan-badan keton yang dilepaskan ke dalam sirkulasi.
Proses ketogenesis distimulasi oleh peningkatan kadar glukagon, hormon ini akan
mengaktivasi palmitoiltransferase karnitin I, suatu enzim yang memampukan asam lemak
bebas dalam bentuk koenzim A untuk menembus membran mitokondria setelah diesterifikasi
menjadi karnitin. Pada pihak lain, esterifikasi diputarbalikkan oleh palmitoiltransferase
karnitin II untuk membentuk asil lemak koenzim A yang akan masuk ke dalam jalur beta-
oksidatif dan membentuk asetil koenzim A.
Sebagian besar asetil koenzim A akan digunakan dalam sintesi asam beta-
hidroksibutirat dan asam asetoasetat, dua asam kuat relatif yang bertanggungjawab terhadap
asidosis dalam KAD. Asetoasetat diubah menjadi aseton melalui dekarboksilasi spontan non-
enzimatik secara linear tergantung kepada konsentrasinya. Asam beta-hidroksibutirat, asam
12
asetoasetat dan aseton difiltrasi oleh ginjal dan diekskresi secara parsial di urin. Oleh karena
itu, penurunan volume progresif menuju kepada penurunan laju filtrasi glomerular akan
menyebabkan retensi keton yang semakin besar. Ketiadaan ketosis pada Hyperglicemic
Hyperosmolar State (HHS) walaupun disertai dengan defisiensi insulin masih menjadi misteri,
hipotesis yang ada sekarang menduga hal ini disebabkan oleh karena kadar asam lemak bebas
yang lebih rendah, lebih tingginya kadar insulin vena portal atau keduanya.
14
DIAGNOSIS
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status
mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan. 1
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari,
perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (<
24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan
pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan
berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma.
Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia,
hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi
muntah-muntah yang tampak seperti kopi.
Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena menunjukkan
prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan abdominal pain, karena gejala ini
dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda.
Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan
asidosis metabolik.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan dengan cepat adalah dengan penentuan
kadar glukosa darah dengan glukometer dan uji carik celup urin untuk mengukur kualitatif
jumlah dari glukosa, keton, nitrat dan esterase leukosit di urin. Pemeriksaan laboratorium
lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO3,
15
anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar Asam Asetoasetat (AcAc)
dan laktat serta 3-beta hidroksi butirat (3HB).
DIAGNOSIS BANDING
1. Hyperglicemic Hyperosmolar State (HHS) 1,5,11
Suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar,
dehidrasi berat tanpa adanya ketoasidosis disertai penurunan kesadaran. Gejala klinik
dari HHS sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil laboratorium seperti kadar
gula darah, keton dan keseimbangan asam basa belum dapat diketahui hasilnya. Gejala
klinik yang dapat menjadi panutan untuk membedakan KAD dengan HHS :
o Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu sekitar >60 tahun, semakin muda, semakin
berkurang dan belum pernah ditemukan pada anak.
o Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM, atau diabetes
tanpa pengobatan insulin.
o Mempunyai penyakit dasar lain. Sekitar 80% penderita HHS mempunyai penyakit
ginjal dan kardiovaskular, tirotoksikosis dan penyakit cushing.
o Sering disebabkan obat antara lain tiazid, sterois, haloperidol, simetidin, dll.
16
o Mempunyai faktor pencetus seperti penyakit kardiovaskular, pankreatitis, operasi.
Pemeriksaan dapat membantu membedakan KAD dengan HHS,
adapun perbandingan hasil pemeriksaan KAD dengan HHS sebagaimana
terlampir pada tabel 2. Angka kematian pada HHS lebih banyak dibandingkan KAD
karena insiden lebih sering pada usia lanjut dan berhubungan dengan penyakit
kardiovaskular dan dehidrasi. Angka kematian pada HHS sekitar 30-50%.
2. Asidosis laktat5
Merupakan suatu komplikasi yang sangat jarang terjadi dan biasanya terjadi
akibat konsumsi obat metformin. Pasien datang dengan keluhan malaise, anoreksia,
muntah, pernapasan Kussmaul (cepat dan dalam). Pada pemriksaan laboratorium
didapatkan kadar gula darah biasanya normal, tidak ditemukan adanya benda keton
dalam urin dan pada analisa gas darah menunjukan adnaya asidosis yang berat dengan
anion gap yang meninggi. Terapi dapat dilakukan secara supportif yaitu dengan
menghentikan penggunaan metformin.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan pendekatan
terstruktur dokter dan paramedis yang bertugas. Terdapat banyak sekali pedoman
penatalaksanaan KAD pada literatur kedokteran, dan hendaknya semua itu tidak diikuti secara
ketat sekali dan disesuaikan dengan kondisi penderita. Dalam menatalaksana penderita KAD
setiap rumah sakit hendaknya memiliki pedoman atau disebut sebagai integrated care pathway.
Pedoman ini harus dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam rangka mencapai tujuan terapi.
Studi terakhir menunjukkan sebuah integrated care pathway dapat memperbaiki hasil akhir
penatalaksanaan KAD secara signifikan.11
Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia,
asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan yang terpenting
adalah pemantauan pasien terus menerus.3,11 Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan
pada penatalaksanaan KAD:
1. Terapi cairan
Prioritas utama di penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Terapi insulin hanya
efektif apabila cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja
dapat menurunkan kadar gula darah. Studi menunjukan bahwa selama empat jam pertama,
lebih dari 80 persen penurunan kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi. 2,12 Maka dari itu
penentuan defisit cairan merupakan hal yang sangat penting dalam penanganan KAD. Faktor
17
yang mempengaruhi defisit cairan adalah durasi hiperglikemia yang terjadi, fungsi ginjal dan
intake cairan pasien.12 Selain menilai dari pemeriksaan fisik, terdapat rumus yang dapat
digunakan untuk menghitung perkiraan defisit cairan, antara lain:
Selain rumus diatas, terdapat rumus lain yang dapat dipaki untuk menentukan derajat
dehidrasi pasien yaitu dengan menghitung osmolalitas serum total dan koreksi konsentrasi
serum sodium.
OSMOLALITAS SERUM TOTAL :
2 x Na(mEq/1) + Kadar Glukosa Darah (mg/dL) / 18 + BUN / 2,8
Konsentrasi serum sodium dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq per tiap
kenaikan 100 mg/dL kadar gula darah diatas 100 mg/dL
Nilai koreksi serum sodium > 140 dan osmolalitas serum total > 330 mOsm/kg air
menandakan defisit cairan yang berat.8 Menentukan derajat dehidrasi dengan gejala klinis
seringkali sulit untuk dikerjakan, sehingga terdapat beberapa gejala klinis yang dapat dijadikan
sebagai penentu derajat dehidrasi, antara lain :
▪ 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia
▪ 10% : capillary refill time ≥ 3 detik, kelopak mata cekung
▪ > 10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria
Target dari penggantian cairan sekitar 50 persen dari kekurangan cairan dalam 8-12 jam
pertama dan sisanya diberikan dalam 12-16 jam berikutnya sehingga perlu resusitasi secara
agresif pada tahap awal.5 Menurut perkiraan banyak ahli, total kekurangan cairan pada pasien
KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5 – 8 liter.2,5 Terapi cairan awal ini diberikan untuk
ekspansi volume cairan intravaskular dan ekstravaskular serta menjaga perfusi dari ginjal. 11
Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal
untuk resusitasi cairan. Cairan fisiologis (NaCl 0,9 %) diberikan dengan kecepatan 15–20
ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama (± 1– 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan
petunjuk praktis pemberian cairan sebagai berikut: 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2
18
jam berikutnya, kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien terehidrasi.
Sumber lain menyarankan 1 – 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250 – 500 ml/jam
pada jam berikutnya.2 Anjuran seperti ini tetap harus disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pilihan cairan yang diberikan bergantung dari status hidrasi, kadar elektrolit serum dan
pengeluaran urin pasien. Cairan NaCl 0,45% dapat diberikan jika kadar natrium serum > 150
mEq/L dan diberikan untuk koreksi kadar serum sodium dengan kecepatan 4-14 ml/kgBB/jam
serta bertujuan agar perpindahan cairan antara intra dan ekstraseluler terjadi secara gradual3,4,11
Pemakaian cairan Ringer Laktat dapat diberikan untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada pemakain cairan normal saline dan
berdasarkan strong ion theory untuk asidosis (Stewart Hypothesis). 2
Jika kadar Na serum rendah tetaplah mempergunakan cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi
ginjal dinilai, infus cairan harus mengandung 20 – 30 mEq/l Kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4)
sampai pasien stabil dan dapat makan. Keberhasilan terapi cairan ditentukan dengan
monitoring hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran cairan masuk dan keluar, dan
pemeriksaan klinis.
Pemberian cairan harus dapat menggantikan defisit cairan dalam jangka waktu 24 jam
pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi 3 mOsm/kgH2O/jam. Pada pasien
dengan kelainan ginjal, jantung atau hati terutama pada usia lanjut harus dilakukan pemantauan
osmolalitas serum dan penilaian fungsi jantung, ginjal dan status mental pasien selama
dilakukan resusitasi cairan untuk menghindari terjadinya overload cairan. Pemasangan Central
Venous Preassure (CVP) dianjurkan untuk mempermudah pemantauan.
Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dL, cairan dapat diganti atau ditambahkan
dengan cairan mengandung dekstrosa seperti Dextrose 5%, Dextrose 5% dalam NaCl 0,9%
atau Dextrose 5% dalam NaCl 0,45% untuk menghindari hipoglikemia dan mengurangi
kemungkinan terjadinya edema serebri karena penurunan kadar gula darah secara cepat. 2,3,5,13
Tabel 3. Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD11
19
2. Terapi Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga menekan
produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dan jaringan lemak, pelepasan asam
amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilitasi glukoasa di perifer. 1,14
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu
merupakan pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K+ > 3,3 mEq/L)
disingkirkan, bolus insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti dengan infus kontinu
insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam pada dewasa) harus diberikan.11 Jika kadar
kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia
yang akan dapat mengakibatkan aritmia jantung.
Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan kecepatan 50 – 75
mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika gula darah tidak menurun
sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status
hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai
penurunan gula darah konstan antara 50 – 75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai
250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05–0,1 u/kgBB/jam (3–6 u/jam), dan tambahkan
infus Dextrose 5%–10%.(6,11) Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi
Dextrose harus disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik.
Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka insulin
diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 – 0,6 u)/ kgBB yang terbagi menjadi setengah dosis secara
intravena dan setengahnya lagi secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan
insulin secara intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol
penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena.8 Ketonemia secara khas
membutuhkan waktu lebih lama untuk membaik dibandingkan dengan hiperglikemia.
Pengukuran beta-hidroksibutirat langsung pada darah merupakan metode yang disarankan
20
untuk memantau KAD.
Selama terapi untuk KAD, sampel darah hendaknya diambil setiap 2-4 jam untuk
mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena serum. Secara umum,
pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak diperlukan, pH vena (yang biasanya lebih rendah
0,03 unit dibandingkan pH arterial) dan gap anion dapat diikuti untuk mengukur perbaikan
asidosis.
Pada KAD ringan, insulin regular baik diberikan subkutan maupun intramuskular setiap
jam, nampaknya sama efektif dengan insulin intravena untuk menurunkan kadar glukosa dan
badan keton. Pasien dengan KAD ringan pertama kali disarankan menerima dosis “priming”
insulin regular 0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan separuh sebagai injeksi
subkutan atau intravena. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular 0,1
u/kgBB/jam.
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl, serum
bikarbonat ≥ 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap ≤ 12 mEq/l. Saat ini, jika pasien NPO,
lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah dengan insulin regular subkutan
sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin tambahan setiap
kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu
untuk gula darah ≥ 300 mg/dl.
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau panjang sesuai
keperluan untuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam
setelah regimen campuran terpisah dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang
adekuat. Penghentian tiba-tiba insulin intravena disertai dengan awitan tertunda insulin
subkutan dapat menyebabkan kendali yang memburuk, oleh karena itu tumpang tindih antara
terapi insulin intravena dan inisiasi insulin subkutan harus diadakan.
Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin dengan dosis yang
mereka terima sebelumnya sebelum timbulnya KAD dan disesuaikan dengan kebutuhan
kendali. Pasien-pasien dengan diagnosis diabetes baru, dosis insulin inisial total berkisar antara
0,5-1,0 unit/kgBB terbagi paling tidak dalam dua dosis dengan regimen yang mencakup insulin
kerja pendek dan panjang sampai dosis optimal dapat ditentukan. Pada akhirnya, beberapa
pasien dapat dipulangkan dengan antihiperglikemik oral dan terapi diet pada saat pulang.11
3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah,
oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas
21
100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur.
Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah penyesuaian efek
ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level natrium yang diukur 130,
maka level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138, sehingga tidak memerlukan
koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline (NaCl 0,9%). Sebaliknya kadar
natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena
normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu
disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan
meningkatkan kadar natrium. Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l
memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%11
4. Kalium
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan sedang
dapat terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis dan ekspansi
volume menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian
kalium dimulai apabila kadar kalium serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan
terdapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk
setiap liter cairan infus mencukupi untuk mempertahankan kadar kalium serum antara 4-5
mEq/L. Pada keadaan tertentu, pasien KAD dapat datang dengan hipokalemia signifikan. Pada
kasus-kasus ini, penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan
pemberian insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka
mencegah terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot pernapasan.
5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0, pengembalian
aktivtas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis tanpa pemberian bikarbonat.
Mengetahui bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak diinginkan,
tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9, 100
mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 – 7,0, 50 mmol natrium bikarbonat dicampur
dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium
bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.7,15 Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin
menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan
secara intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam
sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.11
22
6. Tatalaksana lainnya
Pemantauan EKG kontinu direkomendasikan oleh karena adanya risiko hipo atau
hiperkalemia dan aritmia yang disebabkannya. Tabung nasogastrik harus diberikan kepada
pasien dengan penurunan kesadaran oleh karena risiko gastroparesis dan aspirasi. Kateterisasi
urin harus dipertimbangkan bila terdapat gangguan kesadaran atau bila pasien tidak
mengeluarkan urin setelah 4 jam terapi dimulai. Kebutuhan pemantauan vena sentral harus
dipertimbangkan perindividu, namun diperlukan pada pasien tua atau dengan keadaan gagal
jantung sebelumnya.3
Pertimbangan harus diberikan kepada pemberian terapi antibiotika bila ada bukti
infeksi, namun hitung leukosit seringkali meningkat tajam pada KAD, dan tidak
mengkonfirmasi adanya infeksi. Anamnesa, pemeriksaan fisis, demam dan peningkatan CRP
merupakan biomarker yang lebih terpercaya.3
23
Gambar 3. Protokol manjemen KAD. 11
KOMPLIKASI 9
• Hipoglikemia dan hipokalemia
Sebelum penggunaan protokol insulin dosis rendah, kedua komplikasi ini dapat
dijumpai pada kurang lebih 25% pasien yang diterapi dengan insulin dosis tinggi. Kedua
komplikasi ini diturunkan secara drastis dengan digunakannya terapi insulin dosis rendah.
Namun, hipoglikemia tetap merupakan salah satu komplikasi potensial terapi yang
insidensnya kurang dilaporkan secara baik. Penggunaan cairan infus menggunakan
dekstrosa pada saat kadar glukosa mencapai 250 mg/dL pada KAD dengan diikuti
penurunan laju dosis insulin dapat menurunkan insidens hipoglikemia lebih lanjut. Serupa
24
dengan hipoglikemia, penambahan kalium pada cairan hidrasi dan pemantauan kadar
kalium serum ketat selama fase-fase awal KAD dan HHS dapat menurunkan insidens
hipokalemia.
• Edema Serebral
Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah dikenal
lebih dari 25 tahun. Penurunan ukuran ventrikel lateral secara signifikan, melalui
pemeriksaan eko-ensefalogram, dapat ditemukan pada 9 dari 11 pasien KAD selama
terapi. Meskipun demikian, pada penelitian lainnya, sembilan anak dengan KAD
diperbandingkan sebelum dan sesudah terapi, dan disimpulkan bahwa pembengkakan otak
biasanya dapat ditemukan pada KAD bahkan sebelum terapi dimulai. Edema serebral
simtomatik, yang jarang ditemukan pada pasien KAD dan HHS dewasa, terutama
ditemukan pada pasien anak dan lebih sering lagi pada diabetes awitan pertama.
Tidak ada faktor tunggal yang diidentifikasikan dapat memprediksi kejadian
edema serebral pada pasien dewasa. Namun, suatu studi pada 61 anak dengan KAD dan
serebral edema yang dibandingkan dengan 355 kasus matching KAD tanpa edema
serebral, menemukan bahwa penurunan kadar CO2 arterial dan peningkatan kadar urea
nitrogen darah merupakan salah satu faktor risiko untuk edema serebral.
• Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)
Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom distres napas
akut dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan
koloid osmotik awal dapat diturunkan sampai kadar subnormal. Perubahan ini disertai
dengan penurunan progresif tekanan oksigen parsial dan peningkatan gradien oksigen
arterial alveolar yang biasanya normal pada pasien dengan KAD saat presentasi. Pada
beberapa subset pasien keadaan ini dapat berkembang menjadi ARDS. Dengan
meningkatkan tekanan atrium kiri dan menurunkan tekanan koloid osmotik, infus
kristaloid yang berlebihan dapat menyebabkan pembentukan edema paru (bahkan dengan
fungsi jantung yang normal).
• Asidosis metabolik hiperkloremik
Asidosis metabolik hiperkloremik dengan gap anion normal dapat ditemukan pada
kurang lebih 10% pasien KAD; meskipun demikian hampir semua pasien KAD akan
mengalami keadaan ini setelah resolusi ketonemia. Asidosis ini tidak mempunyai efek
klinis buruk dan biasanya akan membaik selama 24-48 jam dengan ekskresi ginjal yang
baik. Derajat keberatan hiperkloremia dapat diperberat dengan pemberian klorida
25
berlebihan oleh karena NaCl normal mengandung 154 mmol/L natrium dan klorida, 54
mmol/L lebih tinggi dari kadar klorida serum sebesar 100 mmol/L.
Sebab lainnya dari asidosis hiperkloremik non gap anion adalah: kehilangan
bikarbonat potensial oleh karena ekskresi ketoanion sebagai garam natrium dan kalium;
penurunan availabilitas bikarbonat di tubulus proksimal, menyebabkan reabsorpsi klorida
lebih besar; penurunan kadar bikarbonat dan kapasitas dapat lainnya pada kompartemen-
kompartemen tubuh. Secara umum, asidosis metabolik hiperkloremik membaik sendirinya
dengan reduksi pemberian klorida dan pemberian cairan hidrasi secara hati-hati.
Bikarbonat serum yang tidak membaik dengan parameter metabolik lainnya harus
dicurigai sebagai kebutuhan terapi insulin lebih agresif dan pemeriksaan lanjutan.
• Trombosis vaskular
Banyak karakter pasien dengan KAD mempredisposisi pasien terhadap trombosis,
seperti: dehidrasi dan kontraksi volume vaskular, keluaran jantung rendah, peningkatan
viskositas darah dan seringnya frekuensi aterosklerosis. Sebagai tambahan, beberapa
perubahan hemostatik dapat mengarahkan kepada trombosis. Komplikasi ini lebih sering
terjadi pada saat osmolalitas sangat tinggi. Heparin dosis rendah dapat dipertimbangkan
untuk profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi trombosis, meskipun demikian belum
ada data yang mendukung keamanan dan efektivitasnya.9
26
PENCEGAHAN
Faktor pencetus utama KAD ialaha pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan
kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada
system pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif
terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare,
demam, luka).
Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM secara
komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik
dan akut melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik.
Khusus mengenai pencegahan KAD dan Hipoglikemia, program edukasi perlu
menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai pemberian
insulin kerja cepat, target kadar glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi,
memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicerna.
Yang paling penting adalah agar tidak menghentikan pemberian insulin atau obat
hiperglikemik oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihat tenaga kesehatan
yang professional. Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat
mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan keton
urin sendiri.
PROGNOSIS
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu tinggi dan
kadar hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai
sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak untuk sumber energi.
Pemecahan lemak tersebut akan menghasilkan benda-benda keton dalam darah
(ketosis). Ketosis menyebabkan derajat keasaman (pH) darah menurun atau disebut sebagai
asidosis. Keduanya disebut sebagai ketoasidosis. Oleh karena itu prognosis pada KAD masih
tergolong dubia, tergantung pada usia,adanya infark miokard akut, sepsis, syok. Pasien
membutuhkan insulin dalam jangka panjang dan kematian pada penyakit ini dalam jumlah
kecil sekitar 5%.
BAB III
PENUTUP
27
KAD adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang merupakan salah satu komplikasi akut metabolik
diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam nyawa. Walaupun angka insidennya di
Indonesia tidak begitu tinggi dibandingkan negara barat, kematian akibat KAD masih sering
dijumpai, dimana kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan
diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan patofisiologinya.
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Tarigan, TJE. Ketoasidosis Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
VI. Jakarta: Interna Publishing. 2015
2. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA Fam Prac
2008;50:39-49.
3. Masharani U. Diabetic Ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange
current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange; 2010. p.1111-5.
4. Chiasson JL. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic
Hyperosmolar State. Canadian Medical Association Journal 2003;168(7): p.859-66.
5. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and Management of Diabetic Ketoacidosis
in Adults. Hospital Physician 2008. p. 21-35.
6. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-35.
7. English, P, Williams, G. Hyperglycemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus..
Liverpool : s.n., October 2003, Postgrad Med, Vol. 80, pp. 253-261.
8. Kitabchi, AE. Management of hyperglycemic crises in patients with diabetes., et al. 1,
January 1, 2001, Vol. 24, pp. 131-153.
9. TM Wallace, DR Matthews. Recent advances in the monitoring and management of
diabetic ketoacidosis.. 2004, Q J Med, Vol. 97, pp. 773-780.
10. Newton, Christopher A and Raskin, Phillip. Diabetic ketoacidosis in type 1 and type 2
diabetes mellitus: Clinical and biochemical differences.. September 27, 2004, Archive of
Internal Medicine, Vol. 164, pp. 1925-1931
11. American Diabetes Association. Hyperglycemic crisis in diabetes. Diabetes Care 2004;
27(1):94- 102.
12. Trachtenbarg DE. Diabetic Ketoacidosis. American Family Physician 2005;71(9): 1705-
14.
13. Powers AC. Diabetes Mellitus. In: Jameson JL, editor. Harrison’s endocrinology. New
York: McGraw-Hill;2006.p.283-332.
14. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes
melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta : PERKENI. 2011. hal 24-30.
29