Anda di halaman 1dari 30

Tugas Kelompok : Keperawatan Paliatif

PERAWATAN PALIATIF
PADA PASIEN, CA MAMAE, GAGAL GINJAL KRONIK (GGK), DM TIPE 2

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK I

Oleh :

KELOMPOK I

Aisa HAmapu R011181721


Achmad Rubiyanto R011181727
Khairun R011181733
Rohani Sakiman R011181708
Sri Hastuti S R011181702
Syamsiah R011181715

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JALUR KERJASAMA


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2019
PERAWATAN PALITIF CA MAMAE

A. Defenisi

Kanker payudara (Ca. Mammae) adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam

jaringan payudara. Kanker bisa mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, jaringan lemak,

maupun jaringan ikat payudara (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2002).

Perempuan yang menemukan benjolan payudara atau asalah payudara lainnya

mungkin pertama kali akan terhadap adanya kanker, walaupun 8 dari 10 benjolan adalah

jinak. Meskipun banyak terdapat kesalahpahaman mengenai etiologi kanker payudara,

kesadaran publik terhada ancaman kesehatan ini telah tumbuh secara dramatis. Di masa

lalu subjek ini dhindari, atau jika tersebar informasi, sering kali tidak akurat. Sekarang

kanker payudara didiskusikan secara terbuka, dan informasi mengenai topik ini sering

kali ditampilkan pada media massa. Akhir-akhir ini, media berfokus mengenai

kewaspadaan terhadap kanker payudara dan deteksi dini, sehingga publik menjadi lebih

awas akan peran pemeriksaan payudara sendiri, pemeriksaan klinis, dan terutama

mammogram rutin terhadap deteksi dini massa payudara.

Perawat memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan publik mengenai lesi dan

kanker payudara, mengoreksi kesalahpahaman, dan memberikan informasi yang akurat

mengenai payudara normal dan penyakit payudara, deteksi, serta penanganannya. Fakta

mengenai penyakit, terapi, dan prognosis harus disebarkan secara terbuka pada semua

angota masyarakat, terutama yang kurang terlayani. Jika perempuan mengerti pentingnya

deteksi dini dan terapi, mereka lebih cenderung melakukan mammogram secara rutin dan

cenderung tidak menunda mencari perawatan ja ditemukan abnormalitas. Penundaan

dalam mencari perawatan sering kali disebabkan (1) rasa takut akan kanker dan (2)
kurangnya pengetahuan bahwa kanker payudara dapat disembuhkan jika ditemukan dini

(Blace & Hawks, 2014).

Ca mamae adalah suatu penyakit seluler yang dapat timbul dari jaringan payudara

dengan manifestasi yang mengakibatkan kegagalan untuk mengontrol ploriferasi dan

maturasi sel (Suddarth, 2005)

B. Jenis Kanker Payudara

1. Ductal carsinoma in situ (DCIS)

Meningkatnya penggunaan mamografi sebagai alat skrining berkontribusi

terhadap peningkatan diagnosis karsinoma duktal in situ (DCIS). Diperkirakan 67.000

Kasus baru didiagnosis setiap tahun. DCIS ditandai oleh proliferasi sel ganas di dalam

duktus susu tanpa invasi ke sekitarnya. Oleh karena itu, DCIS ini disebut juga adalah

kanker noninvasive (intraductal carcinoma). Jika DCIS tidak diobati, ada

kemungkinan akan berkembang menjadi kanker invasif. Pengobatan yang paling

tradisional adalah mastektomi sederhana (pengangkatan payudara), dengan tingkat

penyembuhan 98% sampai 99%.

Tren saat ini adalah perawatan konservasi payudara (operasi terbatas diikuti

dengan radiasi). Nasional Bedah Adjuvant Breast and Bowel Project B-24 study

menunjukkan bahwa penambahan tamoxifen (Nolvadex) secara signifikan

mengurangi tingkat kekambuhan lokal setelah operasi dan radiasi. Pengobatannya

biasanya dilakukan selama 5 tahun.

2. Kanker invasif

a. Infiltrasi Ductal Carcinoma


Infiltrasi ductal carsinoma, adalah kanker yang paling umum terjadi (angka

kejadian 80%) dari semua kasus. Tumornya timbul dari sistem duktus dan

menyerang jaringan sekitarnya, membentuk massa tak beraturan di payudara.

b. Infiltrasi Karsinoma Lobular

Angka kejadian Infiltrasi karsinoma lobular 10% sampai 15% dari kanker

payudara. Tumor timbul dari epitel lobular dan biasanya terjadi penebalan yang

tidak jelas di payudara, sering multicentric dan bisa bilateral.

c. Karsinoma moduler

Angka kejadian Karsinoma medullary sekitar 5% kanker payudara, dan cenderung

didiagnosis lebih sering pada wanita lebih muda dari 50 tahun. Tumor tumbuh

dalam kapsul di dalam duktus, bisa menjadi besar.

d. Karsinoma mucinous

Karsinoma mukin, angka kejadiannya sekitar 3%, sering terjadi pada wanita

pascamenopause pada usia ≥ 75 tahun. Tumor ini tumbuh dengan lambat,

prognosisnya lebih menguntungkan daripada jenis lainnya.

e. Tubular ductal carsinoma

Karsinoma duktal tubular, angka kejadian sekitar 2% dari kanker payudara. Karena

metastase aksila jarang terjadi, prognosis biasanya sangat baik.

f. Karsinoma inflamasi

Karsinamo inflamasi jarang terjadi (1% sampai 3%) dan agresif. Kankernya

ditandai dengan edema diffuse dan eritema brengsek Kulit, sering disebut peau

d'orange (menyerupai akulit jeruk). Hal ini disebabkan oleh sel ganas yang
menghalangi saluran getah bening di kulit. Massa yang terkait mungkin atau

mungkin tidak hadir; Jika ada massa, seringkali daerahnya luas. Penebalan secara

indiscrete. Inflammatory carcinoma bisa menjadi bingung dengan infeksi karena

penyajiannya. Penyakit Bisa menyebar ke bagian tubuh yang lain dengan cepat.

Kemoterapi dapat mengendalikan perkembangan penyakit diawal tapi terapi radiasi

dan operasi juga bisa menjadi pilihan.

g. Penyakit paget

Penyakit Paget pada payudara, angka kejadiannya 1% dari yang didiagnosis kasus

kanker payudara. Gejala biasanya meliputi bersisik, eritematosa, lesi pruritus pada

puting susu. Penyakit Paget sering merupakan karsinoma duktal in situ pada

putingnya tapi mungkin memiliki komponen invasif. Jika tidak ada benjolan yang

bisa dirasakan, Jaringan payudara dan biopsi menunjukkan DCIS tanpa invasi,

prognosisnya sangat baik.

C. Stadium Kanker Payudara

Stadium I : Tumor terbatas pada payudara dengan ukuran < 2 cm, tidak

terfiksasi pada kulit atau otot pektoralis, tanpa dugaan

metastasis aksila.

Stadium II : Tumor dengan diameter < 2 cm dengan metastasis aksila atau

tumor dengan diameter 2-5 cm dengan tanpa metastasis aksila.

Stadium IIIa : Tumor dengan diameter > 5 cm tapi masih bebas dari jaringan

sekitarnya dengan atau tanpa metastasis aksila yang masih

bebas satu sama lain atau tumor dengan metastasis aksiola

yang melekat.

Stadium IIIb : Tumor dengan metastasis infra atau supra klavikula atau tumor

yang telah menginfiltrasi kulit atau dinding toraks.


Stadium IV : Tumor yang telah mengadakan metastasis jauh.

D. Etiologi

Etiologi kanker payudara belum diketahui pasti. Namun beberapa faktor risiko

pada pasien diduga berhubungan dengan kejadian kanker payudara, yaitu (Suddarth,

2005):

1. Umur > 30 tahun.

2. Melahirkan anak pertama pada usia > 35 tahun.

3. Tidak kawin dan nulipara.

4. Usia menars > 12 tahun.

5. Usia menopause > 55 tahun.

6. Pernah mengalami infeksi, trauma atau operasi tumor jinak payudara.

7. Terapi hormonal lama.

8. Mempunyai kanker payudara kontralateral.

9. Pernah mengalami operasi ginekologis misalnya tumor ovarium.

10. Pernah mengalami radiasi didaerah dada.

11. Ada riwayat keluaga dengan kanker payudara pada ibu, saudara perempuan ibu,

saudara perempuan, adik / kakak.

12. Kontrasepsi oral pada pasien tumor payudara jinak seperti kelainan fibrokistik yang

ganas.

13. Obesitas

E. Patofisiologi

Sel – sel kanker dibentuk dari sel – sel normal dalam suatu proses rumit yang

disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi.


1. Fase Inisiasi

Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetic sel yang memancing

sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetic sel ini disebabkan oleh suatu

agen yang disebut karsinogen, yang bisa berupa bahan kimia, virus, radiasi. Tetapi

tidak semua sel memiliki kepekaan yang sama terhadap suatu karsinogen. Kelainan

genetic dalam sel atau bahan lainnya disebut promotor, yang menyebabkan sel lebih

rentan terhadap suatu karsinogen. Bahkan gangguan fisik menahun pun dapat

menyebabkan sel menjadi lebih peka unutk mengalami keganasan. Progesteron,

sebuah hormone yang menginduksi ductal side- branching pada kelenjar payudara

dan lobualveologenesis pada sel epithelial payudara, diperkirakan berperan sebagai

activator lintasan tumorgenesis pada sel payudara yang diinduksi oleh karsinogen.

Progestin akan menginduksi transkripsi regulator siklus sel berupa siklin D1 untuk

disekresikan sel epithelial. Sekresi dapat ditingkatkan sekitar 5 – 7 kali lipat dengan

stimulasi hormone estrogen, karena estrogen merupakan hirmon yang mengaktivasi

ekspresi pencerap progesterone pada sel epithelial. Progesterone juga menginduksi

sekresi kalsitonin sel luminal dan morfogenesis kelenjar.

2. Fase Promosi

Pada tahap promosi , suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi

ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh promosi.

Karena itu diperlukan beberapa factor unutk terjadinya keganasan (gabungan dari sel

yang pecan dari suatu karsinogen). Stadium – stadium penyakit kanker adalah suatu

keadaan dari hasil penelitian dokter saat mendiagnosa suatu penyakit kanker yang

diderita pasiennya,sudah sejauh manakah tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke

organ atau jaringan sekitar maupun penyebaran ke tempat jauh. Stadium hanya

dikenal pada tumor ganas atau kanker dan tidak ada pada tumor jinak. Untuk
menentukan suatu stadium,harus dilakukan pemeriksaan klinis dan ditunjang dengan

pemeriksaan penujang lainnya seperti histopatologi atau PA,rontgen,USG,dan bila

memungkinkan dengan CT Scan,scintigrafi,dll.

F. Manifestasi Klinis

Kanker payudara bisa terjadi dimana saja di payudara tapi biasanya ditemukan

di kuadran luar atas. Umumnya, lesi tidak mencolok, dan keras dengan batas tidak

beraturan. Keluhan nyeri payudara dan nyeri tekan pada saat menstruasi biasanya

berhubungan dengan penyakit payudara jinak. Dengan meningkatnya penggunaan

mamografi, lebih banyak wanita menjalani pengobatan pada tahap awal penyakit. Wanita

sering tidak memiliki tanda atau gejala selain kelainan yang tampak mamografi.

Sayangnya, beberapa wanita dengan staduium lanjut mencari pengobatan awal setelah

mengabaikan gejala. Tanda-tanda lanjut mungkin termasuk cekungan pada kulit, retraksi

puting susu, atau ulserasi kulit.

Tanda Dan Gejala kanker payudara :

1. Adanya massa atau benjolan pada buah dada

2. Perubahan simetri pada buah dada

3. Perubahan kulit pada buah dada, penebalan, cekungan, kulit pucat sekitr puting susu,

adanya mengkerut seperti kulit jeruk purut dan adanya ulkus.

4. Perubahan temperatur kulit (hangat, panas, kemerahan)

5. Adanya cairan yang keluar dari puting susu

6. Perubahan pada puting susu, seperti gatal, terbakar, adanya erosi dan terjadi retraksi.

7. Rasa sakit

8. Penyebaran kanker ke tulang sehingga tulang mudah rapuh dan terjadi peningkatan

kalsium di dalam darah

9. Pembengkakan di daerah lengan.


G. Pemeriksaan Penunjang

1. Mammografi

Mammografi adalah teknik pemeriksaan payudara untuk mendeteksi lesi yang tidak

teraba dan membantu mendiagnosa massa teraba. Prosedur memakan waktu sekitar

15 menit dan bisa dilakukan di departemen radiologi rumah sakit pusat. Wanita

mungkin mengalami beberapa ketidaknyamanan karena kompresi maksimum

diperlukan untuk visualisasi yang tepat. Mammogram baru dibandingkan dengan

mamogram sebelumnya, dan setiap perubahan mungkin mengindikasikan kebutuhan

untuk pemeriksaan lebih lanjut. Mamografi bisa mendeteksi tumor payudara dengan

ukuran lebih kecil dari 1 cm.

2. Galactography

Galactography adalah prosedur diagnostik yang melibatkan injeksi kurang dari 1 ml

bahan radiopak melalui kanula dimasukkan ke dalam lubang duktus pada areola,

yang diikuti dengan mammogram. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi sebuah

kelainan di dalam saluran air susu saat keluar cairan dari puting payudara.

3. Ultrasonography

Ultrasonografi digunakan sebagai tambahan diagnostik untuk mamografi untuk

membantu membedakan kista berisi cairan atau padat. Ultrasonografi memiliki

kelebihan dan kekurangan. Meskipun Ini bisa mendiagnosis kista dengan sangat

akurat. Mikrosalifikasi, yang dapat dideteksi pada mamografi, tidak dapat

diidentifikasi pada ultrasonografi.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Seluruh prosedur memakan waktu sekitar 30 sampai 40 menit. MRI paling berguna

pada penderita kanker payudara yang terbukti memiliki lebih dari satu tumor di

kuadran yang sama dari payudara atau multicentric (lebih dari satu tumor di kuadran
berbeda dari payudara), keterlibatan dinding dada, kekambuhan tumor, atau respons

terhadap kemoterapi Prosedur ini juga dapat mengidentifikasi okultisme (tidak

terdeteksi) kanker payudara dan menentukan integritas saline atau silikon payudara

implan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa MRI adalah alat skrining yang

sangat sensitif yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi kanker payudara pada

wanita berisiko tinggi (Orel, 2008).

5. Pemeriksaaan Biopsi

Biopsi perkutan dilakukan pada pasien rawat jalan pada lesi yang teraba dan tidak

teraba. Biopsi perkutan menggunakan jarum dengan membuat tusukan kecil di kulit.

 Aspirasi jarum halus (fine needle aspiration)

Aspirasi jarum halus (FNA) adalah teknik biopsi noninvasive yang umumnya

ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan wanita. Jarum gauge kecil (25-atau 22-

gauge) dimasukkan ke dalam massa atau daerah nodularitas Suction

diaplikasikan pada syringe. Sebuah kista sederhana sering menghilang pada

aspirasi, dan cairan biasanya dibuang. Jika tidak ada cairan yang didapat, setiap

bahan selular yang diperoleh disebar pada kaca geser atau ditempatkan di

pengawet dan dikirim ke laboratorium untuk dianalisis. Untuk nonpalpable

Massa, prosedur yang sama bisa dilakukan oleh ahli radiologi menggunakan

panduan ultrasound (FTA yang dipandu ultrasound). FNA lebih murah daripada

metode diagnostik lainnya.

 Inti jarum biopsi (core needle biopsy)

Biopsi jarum inti mirip dengan FNA, Jarum gauge yang digunakan lebih besar

(biasanya 14 gauge). Anestesi lokal diterapkan, dan inti jaringan dilepaskan

melalui pegas alat. Prosedur ini memungkinkan diagnosis yang lebih pasti

daripada FNA, karena jaringan sebenarnya, tidak hanya sel, akan dihapus. Hal
ini sering dilakukan untuk tumor yang relatif besar yang dekat dengan

permukaan kulit.

 Biopsi inti stereotaktik

Biopsi inti stereotaktik dilakukan pada lesi yang tidak dapat ditelusuri terdeteksi

oleh mamografi. Gambar kemudian diperoleh dengan menggunakan mamografi

digital. Koordinat yang tepat dari lesi yang akan dijadikan sampel adalah

terletak dengan bantuan komputer. Selanjutnya, obat bius lokal disuntikkan ke

payudara. Jarum inti dimasukkan, dan sampel jaringan diambil untuk

pemeriksaan patologis. Film postbiopsia kemudian diambil untuk memeriksa

pengambilan sampel tersebut sudah cukup. Klip titanium kecil ditempatkan

disitus biopsi sehingga situs dapat dengan mudah ditemukan. Biopsi stereotaktik

cukup akurat dan sering memungkinkan Pasien terhindar dari biopsi bedah.

 Biopsi inti ultrasonography

Prinsip untuk biopsi inti yang dipandu USG serupa dengan biopsi inti

stereotactic. Biopsi inti yang dipandu ultrasound tidak menggunakan radiasi dan

juga lebih cepat dan lebih murah daripada biopsi inti stereotactic.

 Biopsi inti MRI

H. Komplikasi

Komplikasi utama dari kanker payudara adalah metastase jaringan sekitarnya

dan juga melalui saluran limfe dan pembuluh darah ke organ-organ lain. Tempat yang

sering untuk metastase jauh adalah paru-paru, pleura, tulang dan hati. Metastase ke

tulang kemungkinan mengakibatkan fraktur patologis, nyeri kronik dan hipercalsemia.

Metastase ke paru-paru akan mengalami gangguan ventilasi pada paru-paru dan

metastase ke otak mengalami gangguan persepsi sensori.


I. Prognosis dan Perluasan Penyakit

Saat kanker terdiagnosis, kanker harus dievaluasi lebih lanjut untuk menentukan

terapi yang paling sesuai. Sebagai contoh, jika dipertimbangkan bedah konservasi

payudara (lumpektomi), adanya mikrokalsifikasi harus dievaluasi lebih lanjut untuk

menentukan apakah penyakit pada payudara bersifat multifokal.

Stadium tumor ditentukan menurut perluasan penyebaran lokal, regional, dan

jauh. Stadium memungkinkan definisiyang akurat dari perluasan penyakit dan prognosis

yang lebih akurat. Sistem stadium untuk kanker payudara dari American Joint

Committee on Cancer (AJCC) didasarkan pada sistem tumor-nodus-metastasis (TNM),

yang ditampilkan pada situs internet. Prognosis kanker payudara berkaitan utamanya

dengan perluasan penyakit saat terdeteksi. Stadium tumor didasarkan pada l) ukuran

tumor primer; (2) apakah meluas ke dinding dada atau kulit; (3) adanya nodus limfatik

aksila; (4) apakah tumor kusut, tertiksasi, atau bergerak; dan (5) adanya metastasis jauh

(Figur 40-3

Faktor faktor prognosis digunakan untuk menentukan prognosis atau riwayat

alami kanker payudara. Sat ini, hanya status patologis nodus limfatik, ukuran tumor,

status reseptor estrogen dan progesteron, kadar dspresi HER-2/neu, derajat histologi, dan

histopatolog yang dianggap sebagai indikator prognostik independen dan oleh karena itu

dapat dipertimbangkan dalam menentukan teapidan prognosis. Faktor lain yang sering

diikutsertakan dalam pertimbangan adalah isi DNA tumor. DNA ploidi menujuk kepada

derajat multiplikasi set kromosom. Diploid dan eploid menandakan kelipatan pasti dari

jumlah haploid kromosom. Aneuploid mengindikasikan deviasi kelipatan pasti dan

jumlah haploid dan prognosis yang lebih buruk. Indeks fase S mengidentifikasi

persentase sel-sel tumor pada fase S (awal sintesis DNA) siklus pertumbuhan sel.

Semakin tinggi persentase sel-sel pada fase S, semakin agesif kanker tersebut.
Tumor secara umum ditentukan tingkatannya untuk menentukan derajat

diterensiasi dan juga prognosis. Tumor diklasifikasikan sebagai berdiferensiasi baik

(derajat l), diferensiasi sedang (derajat Il), atau diferensiasi buruk derajat III) menurut

derajat anaplasia yang diobservasi. Faktor-faktor lain yang teridentifkasi pada laporan

Patoiog meliputi ukuran dan bentuk nukleus, ada atau baknya gambaran mitosis, dan

derajat pembentukanl tubulus. Invasi limfatik dermal dan invasi mikrovaskular yang

dapat memprediksi penyakit metastatik.

Panduan praktik The 2007 National nthensive Cancer Network (NCCN) untuk

kanker adara merekomendasikan evaluast kadar ekspresi untuk semua klien yang baru

didiagnosis enunjukkan bahwa ekspresi HER-2/neu alam pemilihan kemoterapi adjuvan

yang memprediksi manfaat menggunakan ada perempuan dengan kanker berulang

datuniukan bahwa ekspresi tersebut taat bertahan hidup jika digunakan reseptor steroid

adalah faktor prediktif yang diterima untuk respons terhadap terapi endokrin. lika tumor

ditentukan sebagai reseptor estrogen positif dan reseptor progesteron positif, terapi

antiestrogen adalah pilithan terapi yang tepat dengan atau tanpa kemoterapi. Inhibitor

aromatase selektif seperti anastrozole (Arimidex), letrozole (Femara), dan exemestane

(Aromasin) telah terbukti dapat menjadi alternatif terhadap tamoxifen untuk perempuan

pascamenopause dengan reseptor estrogen positif dan sebagai tambahan terapi jika

keduanya digunakan berurutan Penelitian yang sedang berjalan akan membantu

menentukan sinergi yang tepat agen ini dan memberikan data untuk pembuatan

keputusan mengenai manfaat/risiko jangka panjang karena efek sampingnya seperti

peningkatan risiko osteoporosis yang ditimbulkan inhibitor aromatase.

Penanda tumor tidak dianggap berguna sebelum operasi jika terapi adjuvan

direncanakan untuk penyembuhan. Penanda tumor dikaji sebagai bagian dari

pemeriksaan penyakit lanjut dan umumnya hanya memiliki makna pada perempuan
dengan penyakit metastatik. Antigen karsinoembrionik (CEA), CA-125, dan CA 15-3

adalah substansi-substansi yang diproduksi oleh tumor dan terdapat dalam serum

perempuan dengan kanker payudara. Penanda tumor diharapkan terdapat hanya pada

penyakit metastatik, yang diperiksakan setiap bulan untuk memonitor respons terhadap

terapi. Pemeriksaan Skor Kekambuhan gen-21 (Oncotype DX) merupakan tambahan]

informasi untuk pembuatan keputusan pada klien kanker payudara dengan nodus-negatit,

reseptor estrogen positi yang berkaitan dengan manfaat kemoterapi adjuvan.

Menargetkan terapi berdasarkan individual menjad semakin sesuai dan memungkinkan

dengan pemeriksaan pemeriksan seperti Oncotype DX.

Pengkajian sebelum terapi dapat meliputi pemeriksaat metastatik untuk

menentukan perluasan penyakit. Ujidipilil berdasarkan presentasi klinis dan

kemungkinan penyak metastatik. Film sinar X dada dan pindai tulang (bone scart adalah

pemeriksaan dasar yang kemungkinan berguna. Sca tulang umumnya tidak diindikasikan

kecuali klien memilil kanker payudara invasif yang setidaknya merupaka stadium Il atau

IlI. Hanya 30% hingga 60% klien dengd scanr tulang positif sejati yang memiliki

peningkatan kad alkali fosfatase, dan hanva 20% klien dengan peningkat kadar alkali

fosfatase vang bebas dari penyakit. Jika scdtulang abnormal, radiograf pada lokasi yang

terpengaruh dibutuhkan untuk mengonfirmasi penyakit metastatik dan menyingkirkan

mekanisme etiologi jinak.

Panel metabolik lengkap dan pemeriksaan fisik mendeteksi adanya disfungsi

liver dan dapat mengidentifikasi perlunya pemeriksaan liver. Pemeriksaan liver

umumnya tidak dilakukan kecuali terdapat alasan untuk mencurigai bahwa penyakit telah

menyebar atau jika penyakit adalah stadium I11. Jika penyakit metastatik dicurigai kuat,

pemeriksaan MRI atau CT scan dapat dilakukan untuk menentukan dan mengukur lebilh
jauh perluasan penyakit. PET scan umumnya tidak dindikasikan kecuali hasil MRI atau

CT scan tidak i dapat ditentukan dan dicurigai kuat sebagai penyakit metastatik

J. Penatalaksanaan

1. Pembedahan

a) Mastectomy radikal yang dimodifikasi

Pengangkatan payudara sepanjang nodu limfe axila sampai otot pectoralis mayor.

Lapisan otot pectoralis mayor tidak diangkat namun otot pectoralis minor bisa jadi

diangkat atau tidak diangkat.

b) Mastectomy total

Semua jaringan payudara termasuk puting dan areola dan lapisan otot pectoralis

mayor diangkat. Nodus axila tidak disayat dan lapisan otot dinding dada tidak

diangkat.

c) Lumpectomy/tumor

Pengangkatan tumor dimana lapisan mayor dri payudara tidak turut diangkat.Exsisi

dilakukan dengan sedikitnya 3 cm jaringan payudara normal yang berada di sekitar

tumor tersebut.

d) Wide excision/mastektomy parsial.

Exisisi tumor dengan 12 tepi dari jaringan payudara normal.

e) Ouadranectomy.

Pengangkatan dan payudara dengan kulit yang ada dan lapisan otot pectoralis

mayor.

2. Radiotherapi

Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak jarang pula merupakan

therapi tunggal. Adapun efek samping: kerusakan kulit di sekitarnya, kelelahan, nyeri

karena inflamasi pada nervus atau otot pectoralis, radang tenggorokan.


3. Chemotherapy

Pemberian obat-obatan anti kanker yang sudah menyebar dalam aliran darah. Efek

samping: lelah, mual, muntah, hilang nafsu makan, kerontokan membuat, mudah

terserang penyakit.

4. Manipulasi hormonal.

Biasanya dengan obat golongan tamoxifen untuk kanker yang sudah bermetastase.

Dapat juga dengan dilakukan bilateral oophorectomy. Dapat juga digabung dengan

therapi endokrin lainnya.

K. Masalah Keperawatan

Leukimia dikatakan dalam kondisi paliatif pada saat terdiagnosa dengan stadium lanjut
berdasarkan hasil pemeriksaan
1. Diagnosa Yang Muncul Pada Perawatan Paliatif Leukemia
a. Nyeri akut /kronis
b. Kerusakan Integritas Kulit
c. Kelelahan
d. Anoreksi
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh B/d mual muntah
f. Gangguan Citra Tubuh
g. Ansietas
h. DEfisiensi pengetahuan
i. Gangguan proses keluarga
ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF

DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)

A. Pengertian

Saat ini terdapat lebih dari 300.000 resipien dialisis dan transplan ginjal di

Amerika Serikat dan pada tahun 1999 saja, lebih dari 80.000 pasien baru terdiagnosis

di kalangan pasien yang menjalani dialisis, angka insiden 43% lebih tinggi pada pria

dari pada wanita, dan lebih tinggi seiring dengan pertambahan usia.

Gagal ginjal kronik adalah perburukan fungsi ginjal yang lambat, progresif,

dan irefersibel yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membuang produk

sisa dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Gagal ginjal kronis biasanya merupakan akibat terminal destruksi jaringan dan

kehilanagn fungsi ginjal yang berlangsung secara bertahap. Keadaan ini dapat pula

terjadi karena penyakit yang progresif cepat yang menghancurkan nefron dan

menyebabkan kerusakan ginjal yang ireversibel(Kowalak, Welsh, & Mayer, 2017)

National Kdney Foundation (di Ameika Serikat) mendefenisikan gagal ginjal

kronis sebagai adanya kerusaka ginjal atau penurunan laju filtrasi glomerulus kurang

dari 60 mL/min/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan (Lewis & Dirksen, dalam

keperawatan Medikal Bedah, 2014)

B. Etiologi

 Diabetes Melitus

 Hipertensi

 Glumerulonefritis

 Nefritis interstisial
 Penyakit vaskuler angiopati

 Penyakit kongenital

 Penyakit genetik

 Uropati Obstruktif

 Neoplasma atau Tumor

 Sindrom Hepatorenal

C. Manifestasi klinis

1. Gejala oremik (kekelahan, kelemahan, sesak, perdarahan, mual muntah, neropatikn

perifer.

2. Edema (perubahan dalam output urin)

3. Penurunan kreatinin, asidosis metabolik, anemia, gangguan fungsi ginjal, penurunan

albumin.

4. Peningkatan kreatinin serum, nitrogen urea darah, kalium, peningkatan tekanan

darah

D. Patofisiologi

Proses patologi umum yang menyebabkan kerusakan nefron, CKD dan gagal

Ginjal. Tanpa melihat penyebab awal, glomerulo-klerosis dan inflamasi intertisial dan

fibrosis adalah ciri khas CKD dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Seluruh unit

nefron secara bertahap hancur. Pada tahap awal, saat nefron hilang, nefron fungsional

yang masih ada mengalami hipertropi. Aliran kapiler glomerulus dan tekanan meningkat

dalam nefron ini dan lebih banyak partikel zat terlarut disaring untuk mengkompensasi

massa ginjal yang hilang. Kebutuhan yang meningkat ini menyebabkan nefron yang

masih ada mengalami sklerosis (jaringan parut) glomerulus, menimbulkan kerusakan

nefron pada akhirnya. Proteinuria akibat kerusakan glomerulus diduga menjadi penyebab
cedera tubulus. Proses hilangnya fungsi nefron yang kontinyu ini dapat terus berlangsung

meskipun setelah proses penyakit aweal telah teratasi.

Perjalanan CKD beragam, berkembang selama periode bulanan hingga

tahunan. Pada tahap awal, sering kali disebut penurunan cadangan ginjal, nefron yang

tdak terkena mengkompensasi nefron yang hilang. GFR sedikit turun dan pada pasien

asimtomatik disertai BUN dan kadar kreatinin serum normal. Kertika penyakit

berkembang dan GFR turun lebih lanjut, hiopertensi dan beberapa manifestasi

insufisiensi ginjal dapat muncul. Serangan berikutnya pada ginjal ditahap ini (misalnya

infrksi, dehidrasi, atau obstruksi saluran kemih) dapat menurunkan fungsi dan memicu

awitan gagal ginjal atau uremia nyata lebih lanjut. Kadar serum kreatini dan BUN naik

secara tajam, pasien menjadi olyguria dan manifestasi olyguria muncul. Tahap akhir

CKD, GFR kurang dari 10% normal dan terapi penggantian ginjal diperlukan untuk

mempertahankan hidup.

E. Pemeriksaan penunjang

 Urinalisis yaitu dilakukan untuk mengukur berat jenis urine dan mendeteksi

komponen urine yang abnormal

 Kultur urine di instruksikan untuk mengidentifikasi infeksi perkemihan

 BUN dan kreatinin serum untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan mengkaji

perkembangan gagal ginjal

 eGFR dilakukan untuk mengevaluasi GFR dan stadium penyakit ginjal kronik.

Pemeriksaan ini untuk memperhitungkan nilai yang ditentukan yang ditentukan

menggunakan rumus yang memasukkan kreatinin serum, usia, jenis kelamin, dan ras

pasien.

 Elektrolit serum

 CBC
 USG Ginjal

 Biopsi Ginjal

E. Prognosis
Perjalanan penyakit ini secara alami akan memberat sampai tahap dialysis atau
transplantasi akan diperlukan
1. Pasien dengan penyakit ginjal kronik berada pada resiko yang lebih tinggi daripada
populasi umum untuk mengembangkan stroke dan serangan jantun
2. Lansia dan pasien yang memilki diabetes memiliki hasil perjalanan penyakit yang
lebih buruk
3. 40% orang yang menjalani dialysis memiliki ketahan hidup 5 tahun. Sementara 50%
mereka yang menjalani dialysis peritoneal memiliki ketahanan hidup 5 tahun.
4. Pasien transplantasi yang menerima ginjal donor hidup memiliki ketahanan hidup 5
tahun
F. Penatalaksanaan

1. Medikasi
Obat yang digunakan didasarkan pada etiologi dan gejala yang ada. Hipovolemia
ditangani dengan larutan hipotonik, misalnya salin 0,45%, apabila hipovolemia
disebabkan perdarahan atau hilangnya plasma diberikan packed red cells dan salin
isotonic. Furosemide sebanyak 320 mg per hari diperlukan untuk menghasilkan
diuresis yang adekuat.
Gagal ginjal akibat nefrotoksin atau iskemia ditangani dengan obat yang dapat
meningkatkan sirkulasi darah ginjal antara lain mannitol, dan diuretic ansa henle,
keadaan inflamasi seperti pada glomerulonephritis ditangani dengan glukokortikoid.

2. Tindakan
Apabila penanganan konserfatif tidak efektif dialysis perlu dilakukan. Dialysis
adalah proses ketika zat sisa darah difiltasi melalui membrane semipermeabel.
Dialysis dianjurkan pada pasien dengan ARF yang mengalami kelebihan beban
cairan dan/ atau mengalami azotemia, hyperkalemia, dan asidosis metabolic yang
berkembang cepat.
Ada tiga metode dialysis yaitu hemodialysis, dialysis peritoneal, dan terapi
pengantian ginjal kontinu.
3. Diet

Pengelolaan diet pasien penting untuk semua jenis gagal ginjal. Kolaborasi yang

baik antara perawat, ahli diet, dan dokter diperlukan dalam mengimplementasikan

diet yang mengandung cukup kalori, supaya terhindar dari katabolisme protein,

sekaligus menghindari surplus kelebihan nitrogen. Katabolisme akan meningkatkan

BUN karena pemakaian otot sebagai sumber protein tubuh, pada umumnya protein

dibatasi ampai 0,5 gr/kg berat badan per hari. Pada stadium 4 dan 5 asupan kalium

dan posfor dibatasi. Asupan kalium dibatasi hingga kurang dari 60-70 Meq perhari

(normalnya sekitar 100 Meq perhari). Pasien diperingatkan untuk menghindari

pemakaian pengganti garam, yang biasanya berisi kadar kalium klorida tinggi.

Makanan tinggi posfor mencakup telur, susu dan daging.

4. Aktivitas
Pasien dengan ARF merasa cepat lelah sehingga terjadi intoleransi aktivitas. Anemia
yang dialami pasien juga dapat meningkatkan rasa lelah. Pasien yang sakit akut perlu
tirah baring untuk mengurangi kebutuhan metabolik. Kegiatan ini dapat ditingkatkan
perlahan jika fungsi ginjal sudah membaik. Keseimbangan kegiatan dan istrahat
perlu diperhatikan.
G. Komplikasi

 Efek cairan dan elektrolit (gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam

basah).

 Efek kardiovaskular (hipertensi, hiperlipidemia, dan introleransi glukosa

 Efek hematologi (anemia, epiktastis, kerusakan tromosit)

 Efek sistem imun

 Efek gastrointestinal (mual, ,muntah0


 Efek neurolgis (kejang, perubahan mental, kesulitan nerkonsentrasi, keletihan dan

insomnia)

 Efek muskuloskeletal 9osteoblas, osteoplas, osteomalaesa, pelunakan tulang,

osteoporosis, nyeri pada tulang, dan kelemahan otot)

 Efek endokrin dan metabolik 9peningkatan BUN, asam urat meningkat, penurunan

kadar tetosteron)

 Efek dermatologi (kulit pucat, kekuningan, kulit kering, turgor kulit buruk, gatal atau

pruritus).

H. Stadium penyakit Gagal Ginjal Kronik


Stadium 1 >90 mL/menit/1,73 m2 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
Asimtomatik, BUN dan kreatinin normal
Stadium 2 60 - 89 mL/menit/1,73 Penurunan ringan GFR
m2 Asimtomatik, kemungkinan hipertensi, pemeriksaan
darah biasanya dalam batas normal
Stadium 3 30 – 59 mL/menit/1,73 Penurunan sedang GFR
m2 Hipertensi, kemungkinan anemia dan keletihan,
anoreksia, kemungkinan malnutrisi, nyeri tulang,
kenaikan ringan BUN dan kreatinin serum
Stadium 4 15 – 29 Penurunan berat GFR
mL/menit/1,73 m2 Hipertensi, anemia, malnutrisi, perubahan
metabolisme tulang, edema, asidosis metabolik,
hiperkalsemia, kemungkinan uremia, azotemia,
dengan peningkatan BUN dan kadar kreatinin serum
Stadium 5 < 15 mL/menit/1,73 Penyakit ginjal stadium akhir
m2 Gagal ginjal dengan azotemia dan uremia nyata

I. Masalah Yang Sering Muncul


Gagal ginjal kronik dikatakan pada kondisi paliatif ketika memasuki stadium 4 dan 5

dengan fungsi ginjal dibawah 15 – 20 % dan tidak dapat di atasi dengan memberian obat

atau diet.

1. Nyeri akut
2. Kelebihan volume cairan

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

4. Ketidakseimbangan perfusi jaringan perifer

5. Intoleran aktivitas

6. Kerusakan integritas kulit

7. Gangguan proses keluarga

8. Kecemasan
PERAWATAN PALIATIF

PADA PASIEN DENGAN DM TIPE 2

A. Defenisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan

metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa dalam darah atau

Hiperglikemia (Black & Hawks, 2014). Secara normal glukosa bersirkulasi dalam darah

dengan jumlah tertentu. Pembentukan glukosa terdapat pada hati dari makanan yang

dikonsumsi insulin yaitu salah satu hormone yang di produksi oleh pancreas,

mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan

penyimpanannya (Smeltzer & Bare, 2001). Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan

metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi

berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price & Wilson, 2005)

B. Tanda dan Gejala

1. Peningkatan glukosa dalam darah

2. Peningkatan frekuensi BAK (poliuria)

3. Peningkatan rasa haus dan ingin minum (polidipsi)

4. Peningkatan nafsu makan (polifagia)

5. Penurunan berat badan

6. Lelah dan mengantguk

7. Gejala lain yang dikeluhkan seperti kesemutan, gatal, mata kabur, hipotensi,

pruritus pulva,
C. Patofisiologi

Pada DM tipe 1 didapatkan ketidakmampuan sel-sel beta pancreas dalam

menghasilkan insulin karena sudah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang

asalnya dari hasil makanan tidak dapat disimpan didalam hati walaupun tetap berada

dalam darah dan dapat menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

Apabila terjadi peningkatan glukosa dalam darah, semua glukosa yang tersaring

keluar tidak dapat diserap kembali oleh ginjal; akibatnya glukosa itu muncul dalam

urine (glukosuria). Pada saat glukosa yang berlebihan disekresikan kedalam urin,

ekskresi ini akan disertai dengan keluarnya cairan dan elektrolit secara berlebihan,

penderita akan mengalami peningkatan dalam berkemih (polyuria) dan rasa haus yang

berlebihan (polydipsia) Kekurangan insulin juga bdapat mengakibatkan menurunnya

berat badan. Penderita juga mengalami polifagia akibat menurunnya asupan kalori

(Smeltzer & Bare, 2001)

Pada DM tipe 2, ada dua masalah yang ada kaitannya dengan insulin, yaitu;

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Pada keadaan normal insulin akan

terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel, kemudian akan terjadi suatu

rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Penurunan reaksi intrasel

pada DM tipe 2 ini disertai dengan resitensi insulin. Sehingga dapat terjadi

ketidakefektifan dakam menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Smeltzer &

Bare, 2001)

Upaya untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah agar glukosa dalam darah

tidak terbentuk, maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.

Pada pasien yang toleransi glukosanya terganggu, kondisi ini terjadi akibat peningkatan

sekresi insulin, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau

sedikit meningkat. Akan tetapi ketika sel – sel beta tidak dapat mnyeimbangkan
peningkatan insulin yang dibutuhkan, maka akan terjadi peningkatan kadar glukosa

sehingga dapat menyebabkan DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2001)

D. Klasifikasi DM

1. DM Type I

DM type satu merupakan hasil destruksi autoimun sel beta mengarah

kepada defesiensi insulin yang absolut.

2. DM Type II

DM type II adalah akibat dari efek sekresi insulin progresif diikuti dengan

resistensi insulin, umumnya berhubungan dengan obesitas.

3. DM Gestasional

DM Gestasional adalah DM yang di diagnose selama hamil

4. DM spesifik lainnya K.

DM type lain mungkin sebagai akibat dari defek genetic fungsi sel beta,

penyakit pancreas (misalnya kistik fibrosis), atau penyakit yang diinduksi oleh

obat-obatan.

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Glukosa darah : darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah vena,

serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode dengan deproteinisasi 5%

lebih tinggi daripada metode tanpa deproteinisasi.

2. Glukosa urin : 95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah >160-180%

maka sekresi dalam urine akan naik secara eksponensial, uji dalam urin: + nilai

ambang ini akan naik pada orang tua.

3. Benda keton dalam urine: bahan unne segar karena asam asetoasetat cepat

didekrboksilasi menjadi aseton. Metode yang dipakai Natroprusid, 3-

hidroksibutirat I tidak terdeteksi


4. Pemeriksan lain : fungsi ginjal ( Ureum, creatinin), Lemak darah: (Kholesterol,

HDL, LDL, Trigleserid), fungsi hati, antibodi anti sel insula langerhans ( islet I

cellantibody)

F. Differensial Diagnosa

Diagnosis banding dari DM tipe 2 yaitu DM type 1 yang merupakan hal yang

sangat penting untuk menentukan apakah pasien memerlukan insulin eksogen atau

masih dapat menggunakan modifikasi gaya hidup dan obat antidiabetes oral untuk

penanganan diabetes.

Kondisi prediabetes dapat dikatakan sebagai faktor risiko DM 2, namun demikian

dapat juga dimasukkan ke dalam diagnosis banding yang mesti dibedakan dengan

DM 2. Prediabetes dibedakan antara toleransi gjlukosa terganggu dan gangguan glukosa

puasa: Toleransi glukosa terganggu (TGT) / impaired glucose tolerance : kadar gula

darah hasil tes toleransi glukosa oral sebesar >140-200 mg/dL. Gangguan glukosa

puasa (GGP) / impaired fasting glycaemia (IFG): gula darah puasa >100-126 mg/dL.

G. Prognosis Penyakit

Menurut (Price & Wilson, 2005) ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada

DM yaitu

1. Diabetes Ketoasidosis (DKA) yaitu komplikasi metabolic akut yang biasanya

terjadi pada penderita DM tipe 1 yang disertai dengan hiperglikemia (>300

mg/dl). Terjadi akibat peningkatan asam lemak bebas dari adiposity yang

menyebabkan bergesernya sintesis badan keton dalam hati.

2. Hyperosmolar Hiperglikemic koma Nonketotic (HHNK) yaitu komplikasi

metabolic akut yang biasanya terjadi pada penderita DM tipe 2 yang disertai

dengan hiperglikemia berat (>600 mg/dl) dapat mengakibatkan hiperosmolalitas


berat, diuresis osmotic, dan dehidrasiHipoglikemia yaitu menurunnya kadar

glikosa dalam darah (<50 mg/dl).

3. Gejala yang muncul seperti gemetar, berkeringat, takikardi serta kecemasan yang

disebabkan oleh pelepasan epinefrin sebagai bentuk usaha untuk meningkatkan

kadar glukosa. Factor pencetus yang sering terjadi yaitu diberikannya insulin atau

obat hipoglikemik oral secara berlebihan, asupan nutrisi yang terlalu sedkit, atau

beraktifitas secara berlebihan.

4. Komplikasi lain yang dapat timbul seperti kebutaan, gagal ginjal, nefropaty

diabetic, penyakit makrovaskular seperti arteri coroner, infark miokard (IMA),

stroke, penyakit pembuluh darah perifer (neuropati) yang dapat mengakibatkan

timbulnya gangrene pada kaki penderita DM dan dapat juga menjadi penyebab

utama amputasi, dan meningkatnya resiko infeksi.

H. Terapi yang Dianjurkan

Penatalaksanaan DM pada dasarnya yaitu dengan cara diet, latihan fisik seperti

olahraga, obat-obatan hipoglikemik oral, terapi insulin, pengawasan glukosa dirumah,

dan tentunya pengetahuan DM itu sendiri dan perawatan diri. Penderita juga perlu

pengetahuan akan pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikannya agar control

metabolic yang optimal dapat tercapai. pada penderita DM tipe 1 selalu membutuhkan

terapi insulin dan untuk penderita DM tipe 2 didapat adanya resistensi insulin dan

defisiensi insulin relative dan dapat ditangani tanpa insulin (Price & Wilson, 2005)

I. Masalah Keperawatan yang Mungkin Timbul

1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

hipermetabolisme dan ketidakcukupan insulin

2. Kekurangan volume cairan berhuhungan dengan diauresis osmotik

3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan ulkus diabetik


4. Resiko infeksi

5. Nyeri kronis

6. Intoleransi aktifitas

7. Gangguan proses keluarga b/d pergeseran pada status kesehatan anggota keluarga
DAFTAR PUSTAKA

Bedah, D. K. M. (2014). RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL- BEDAH.

Jakarta: EGC.

Blace, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis Untuk

Hasil Yang Diharapkan (Edisi 8. B). SINGAPORE: Elsevier.

Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2017). Buku Ajar PATOFISIOLOGI. (S. K. Renata

Komalasari, S. K. Ns. Anastasia Onny Tampubolong, & S. K. Monica Ester, Ed.).

Jakarta: EGC.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, janice L., & Cheever, K. H. (2002). Buku Ajar

Keperawatan Medical Bedah (8 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.

Suddarth, B. &. (2005). Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai