Anda di halaman 1dari 9

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diskolorasi gigi dan gingiva merupakan masalah penting yang terkait dengan kesehatan

didalam dan sekitar rongga mulut (Samorodnitzky-naveh et al., 2007) Rehap, 2017. Selain itu,

diskolorasi juga terkait dengan masalah estetika gigi yang sangat penting bagi seseorang dalam

pergaulan (Alkhatib et al., 2004, Samorodnitzky-naveh et al., 2007). Banyak orang merasa

kurang percaya diri karena memiliki gigi tidak berwarna putih. Diskolorasi gigi tidak hanya

menjadi masalah kesehatan, tetapi menjadi masalah sosial dalam hal estetika dan pergaulan di

masyarakat karena akan mempengaruhi penampilan senyuman seseorang (Mechanic, 2012).

Diskolorasi gigi yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh kebersihan mulut yang

buruk, pencemaran atau polusi lingkungan karena bahan kimia, obat kumur, perawatan gigi,

keadaan sistemik dan obat-obatan. Penyebab diskolorasi gigi dan gingiva yang lain adalah

konsumsi teh yang berlebihan, kopi, merokok, mengunyah tembakau, sirih pinang dan lain

sebagainya (Kumar et al., 2012, Furber et al., 2013).

Di Kecamatan Kualin dan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi

Nusa Tenggara Timur (NTT), pada penelitian pendahuluan Matheus (2013) namun tidak

dipublikasikan didapat hasil lebih dari 30% penduduk diperkirakan menderita diskolorasi gigi

dan gingiva dimana gigi berubah warna menjadi coklat kehitaman serta pada dasar gingiva

terdapat garis kehitaman. Secara geografis daerah tersebut sangat terpencil dan masih tertinggal

sehingga estetika gigi tidak mendapat perhatian oleh masyarakat, dan sektor kesehatan setempat.

Laporan secara resmi dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur tentang angka

kejadian diskolorasi gigi dan gingiva ini belum ada. Pada penelitian pendahuluan dengan

wawancara beberapa nara sumber, termasuk petugas di Puskesmas Kualin, ditemukan bahwa
diskolorasi gigi dan gingiva penduduk desa tersebut dijumpai sangat banyak dan kebiasaan

penduduk setempat adalah mengunyah sirih pinang.

Pada waktu kunjungan ke lokasi terlihat kecamatan tersebut merupakan daerah

tandus/karang, berbukit-bukit dengan ketinggian sekitar 0-500 meter diatas permukaan laut

sehingga keberadaan sumber air tanah sangat terbatas. Sebagian besar penduduk hidup di sekitar

pantai dan ke arah bukit dan mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari dari sumur atau perigi di

sekitar tempat tinggal mereka. Menurut informasi penduduk setempat sumber air minum tersebut

mengandung berbagai logam berat dengan kadar yang tinggi.

Pencemaran kadar logam berat diduga menjadi salah satu penyebab diskolorasi gigi dan

gingiva. Meskipun demikian, diskolorasi terkait dengan masing-masing jenis logam berat belum

banyak dilaporkan dalam publikasi ilmiah yang ada, kecuali pencemaran timah hitam (lead) dan

merkuri (Hg) (Skerfving and Bergdahl, 2007, Landrigan et al., 2007, Lohani et al., 2008,

Gerlach et al., 2002, Saeed et al., 2017, Shetty et al., 2015).

Ciri khusus kelainan hanya terjadi pada gigi permanen bagi sekelompok penduduk yang

tempat tinggalnya mengelompok di suatu wilayah tertentu. Gambar satu contoh terjadinya

diskolorasi gigi dan gingiva yang terjadi dan akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.

A B C

Gambar 1. A. Tidak terdapat diskolorasi gigi dan gingiva pada gigi desidui, B dan C Tampak diskolorasi
gigi dan gingiva pada rahang atas dan rahang bawah gigi permanen pada penduduk Nusa Tenggara
Timur.

Kelainan diskolorasi gigi dan gingiva yang ditemukan pada penduduk di provinsi NTT

secara estetika sangat berbeda dengan gigi dan mukosa orang normal (Gambar 1). Gigi tampak
diskolorasi, warna gelap dan tidak hilang saat di skaling dan root planning, warna coklat

kehitaman menyebar ke seluruh permukaan gigi namun diskolorasi gigi dan gingiva tersebut

tidak pernah didata atau dilaporkan dalam sistim pelayanan kesehatan yang berjalan dan belum

pernah ada tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah bahkan masyarakat sendiri tidak

pernah melaporkan bahwa kondisi gigi mereka terjadi kelainan yang harus ditangani oleh

pelayanan kesehatan.

Secara kontras pada Gambar 2A dengan diskolorasi akibat tembakau dibandingkan

dengan diskolorasi gigi dan gingiva di Nusa Tenggara Timur, zat besi, mengunyah kat, fluorosis

berat, maupun tetrasiklin (Gambar 2B-2F).

A B C
C

D E F

Gambar 2.A. Diskolorasi yang disebabkan oleh tembakau. B. Diskolorasi yang terjadi pada penduduk di
Nusa Tenggara Timur. C. Diskolorasi yang disebabkan oleh mengunyah kat. D. Fluorosis berat. E.
Diskolorasi yang disebabkan oleh zat besi (Hattab et al., 1999). F. Diskolorasi yang disebabkan karena
konsumsi tetrasiklin (Schuurs, 2013)

Diskolorasi gigi dan gingiva tersebut hanya didapatkan pada gigi permanen dan tidak

terjadi pada gigi desidui. Kelainan juga tampak tidak mengikuti pola penyakit gigi yang sudah

dikenal selama ini, misalnya diskolorisasi karena karies dan akibat obat-obatan tertentu. Melihat

gambaran dan gejala klinis yang terjadi, diskolorasi gigi dan gingiva ini perlu dikaji lebih lanjut.

Dari gambaran yang ada, jelas diskolorasi gigi dan gingiva sangat patognomonis dan berbeda
dengan diskolorasi yang terjadi dan pernah dilaporkan sebelumnya (Hattab et al., 1999, Schuurs,

2013, Patel et al., 2013).

Diskolorasi gigi dan gingiva di Kecamatan Kualin dan Kolbano di Propinsi Nusa

Tenggara Timur pada penelitian pendahuluan dari data penduduk diketahui berpenduduk dewasa

lebih kurang 21.000 jiwa ditemukan sepertiga dari jumlah penduduk (7000) jiwa pada gigi

permanennya. Kelainan tersebut tidak dianggap masalah bagi penduduk setempat, sehingga

pelayanan kesehatan gigi di daerah tersebut tidak pernah mempermasalahkan kejadian tersebut,

baik untuk mencegah, mengobati atau memperbaiki kelainan gigi tersebut.

Hal ini menimbulkan pernyataan belum diketahui secara pasti, apakah penyakit ini terjadi

secara turun menurun pada sekelompok penduduk yang terisolasi sehingga terjadi perkawinan

sekerabat, terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva akibat pencemaran dan deposit logam berat,

apakah perubahan yang bersifat endogen atau eksogen. Penelitian yang pertama kali harus

dilakukan ialah eksplorasi terhadap proses terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva.

Diskolorasi gigi yang disebabkan oleh faktor endogen adalah penggabungan pigmen yang

menyebabkan diskolorasi gigi pada jaringan keras gigi saat proses odontogenesis. Diskolorasi

gigi yang terjadi saat proses odontogenesis adalah amelogenesis imperfecta, biliary anomaly,

penyakit Coeliac, hipokalsifikasi gigi insisivus molar (Cheese molar), kemoterapi, sipilis

congenital, porphyria congentinal, dentin dysplasia, dentinogenesis imperfecta, anemia

hemolitik, dan lain-lain (Schuurs, 2013, Patel et al., 2013, Hattab et al., 1999).

Diskolorasi gigi dan gingiva yang terjadi setelah gigi erupsi secara endogen terjadi

karena infiltrasi jaringan keras gigi oleh bahan-bahan kromatik yang terjadi di dentin melalui

pulpa sehingga tampak pada permukaan enamel. Penyebab kedua adalah dentin sklerotik dan

kerusakan pulpa. Trauma yang terjadi pada gigi yang baru erupsi dapat menyebabkan
pendarahan pada pulpa. Tipe lepramatosa, Mycobacterium leprae banyak di dalam tubulus

dentin dan pulpa dan menyebabkan diskolorasi gigi insisivus. Kelainan ini tampak gambaran

berwarna kemerahan (sekitar 10%). Pulpa nekrosis dapat menyebabkan gigi berwarna gelap.

Akar gigi menjadi lebih gelap daripada mahkota gigi karena warna dentin yang gelap tampak

pada enamel. Bertambahnya usia dan sclerosis dentin akan menjadikan mahkota gigi berwarna

kuning dan coklat (Cheek and Heymann, 1999, Sánchez et al., 2004, Vogel and Austin, 1977).

Hal ini dapat menyebabkan pewarnaan pada tulang dan kuku, air susu ibu berwarna hitam, bibir

berwarna coklat dan pigmentasi warna biru kehitaman (makula) pada lidah (Patel et al., 2013).

Diskolorasi gigi yang terjadi setelah gigi erupsi yang terjadi secara eksogen disebabkan

oleh bahan-bahan kromogenik dari sekitar rongga mulut, misalnya bahan tumpatan pada kavitas

dan bahan pengisi pada pulpa gigi. Tabel 1 dan 2 menunjukkan 2 kelompok diskolorasi gigi yang

disebabkan oleh faktor eksogen karena semen atau pasta endodontik dan debu industri (Schuurs,

2013).

Tabel 1. Diskolorasi gigi yang dihasilkan oleh berbagai semen endodontik/pasta


Diskolorasi Bahan
Coklat-kuning PastaIodoform
Abu-abu (diskolorasi sedang) AH26 (bebas perak), duo percha
Pink Diaket, gutta-percha
Oranye-merah/kuning-coklat Semen Groossman, semen zincoxid-eugenol, N2,
tubliseal, Endomethasone
Pink (kemudian menjadi merah) PastaRiebler
Kuning kehijauan (diskolorasi sedang) Cavit

Tabel 2. Diskolorasi gigi akibat paparan berbagai debu industri kimia


Warna Bahan Kimia
Hitam Perak, besi, mangan
Abu-abu Mercury, timah hitam
(biru-) hijau Tembaga, nikel, antimony
Oranye Asap asam kromat
Kuning Cadmium
Hijau, Merah, oranye Asam para-amino salisilat, tembaga, nikel
Faktor risiko karena keturunan adalah salah satu kemungkinan penyebab lain terjadinya

diskolorisasi gigi dan gingiva (Schuurs, 2013, Patel et al., 2013). Mengingat terjadinya penyakit

yang diteliti ini terjadi pada suku tertentu dan bertempat tinggal di wilayah terbatas, maka tidak

bisa disingkirkan kemungkinan penyebab yang terkait dengan faktor kebiasaan makan,

keturunan dan pencemaran lingkungan yang terjadi setempat.

Upaya pencegahan dapat dilakukan, apabila faktor risiko sudah diketahui penyebabnya,

dan hasil tersebut akan ditentukan upaya pencegahannya. Dalam penelitian ini diskolorasi gigi

dan gingiva didefinisikan sebagai warna gigi seseorang berubah menjadi lebih tua atau sampai

berwarna kehitaman. Cara mendiagnosis kelainan ini berbasis klinis dengan menggunakan shade

guide (Paravina et al., 2001, Luo et al., 2007, Macpherson et al., 2000).

B. Rumusan Masalah

Di Kecamatan Kualin dan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi NTT

terdapat masalah berupa kelainan diskolorasi gigi dan gingiva yang mempunyai morfologi secara

patognomonis (khas) dan belum pernah dilaporkan di dalam publikasi ilmiah sebelumnya.

Kelainan tersebut belum pernah didefinisikan dan dibakukan dalam klasifikasi penyakit atau

kelainan gigi secara internasional (belum tertulis dalam Buku International Classification of

Diseases ke-X atau ICD X). Morfologi dan komposisi jaringan keras diskolorasi gigi tersebut

belum pernah dilakukan analisis secara fisik dan kimiawi sebelumnya. Kelainan tersebut juga

belum diketahui dengan pasti tingkat kejadiannya (prevalensi) di masyarakat, penyebab, dan

patofisiologi sampai terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva tersebut. Sampai saat ini ini belum

ada penelitian epidemiologis yang melaporkan faktor-faktor risiko apakah yang berhubungan

dengan terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva, apakah terkait dengan faktor keturunan, kondisi
lingkungan fisik, perilaku makan dan minum, kebiasaan dan kondisi sosial ekonomi penderita.

Oleh karena itu, masalah tersebut mengundang berbagai pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Berapa prevalensi diskolorasi gigi di Kecamatan Kualin dan Kolbano?

2. Berapa prevalensi diskolorasi gingiva di Kecamatan Kualin dan kolbano?

3. Unsur apa yang terdapat pada jaringan keras gigi yang menimbulkan diskolorasi?

4. Faktor-faktor risiko apakah yang berhubungan dengan kejadian diskolorasi gigi?

5. Faktor-faktor risiko apakah yang berhubungan dengan kejadian kelainan gingiva?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan penelitian secara umum ialah menentukan angka kejadian (prevalensi), komposisi

jaringan keras gigi dan gingiva, dan faktor-faktor risiko terjadinya kelainan diskolorasi gigi

dan kelainan gingiva.

2. Tujuan khusus

a. Menentukan prevalensi serta distribusi frekuensi secara epidemiologis pada diskolorasi

gigi.

b. Menentukan prevalensi serta distribusi frekuensi secara epidemiologis pada diskolorasi

gingiva.

c. Menentukan kandungan beberapa logam berat yang diduga sebagai faktor pencemar

dalam sampel gigi serta memastikan sumber-sumber pencemarannya.

d. Menentukan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya diskolorasi gigi.

e. Menentukan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan diskolorasi gingiva.


D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini akan diketahui penyakit dengan klasifikasi baru, patofisiologi,

penyebab dan faktor risiko terjadinya kelainan diskolorasi gigi dan gingiva. Dari hasil penelitian

ini dapat diperoleh masukan berupa tindakan untuk mengurangi prevalensi dan pengaruh

pencemaran logam berat dan mencegah terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva di Kecamatan

Kualin dan Kolbano Provinsi NTT. Untuk masyarakat pada umumnya diharapkan akan dapat

diberikan pengetahuan bagaimana mencegah terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva, sedangkan

untuk para ilmuwan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk

melakukan penelitian lanjutan dan cara penanggulangan diskolorasi gigi dan gingiva serta

kemungkinan upaya-upaya pencegahannya. Kepada Pemerintah diharapkan dapat memberikan

perhatian terhadap penyakit ini serta upaya-upaya pencegahan yang bisa dilakukan, misalnya

mengurangi paparan terhadap faktor risiko yang ditemukan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang diskolorasi gigi dan diskolorasi gingiva seperti ini belum pernah

dilakukan di Indonesia. Adapun penelitian sejenis dalam hal ini pewarnaan pada gigi dan gingiva

yang pernah dilakukan di Indonesia diantaranya ialah penelitian Farihatini et al. (2013) tentang

keasaman dan konsentrasi timah yang tinggi dalam air minum yang berhubungan dengan erosi

gigi permanen pada anak-anak yang tinggal di dekat area pertambangan timah, Soetiarto (2003)

tentang analisis karies spesifik yang berhubungan dengan rokok kretek, Sudibyo (2003) tentang

pewarnaan pada gingiva yang berwarna kehitaman akibat keracunan kronis timah hitam,

Musadad and Irianto (2009) melakukan studi ekologi tentang pengaruh kualitas air minum dalam

kaitannya dengan karies gigi, Utami (2015) membandingkan status gigi anak-anak yang
mengkonsumsi air hujan dengan mereka yang menggunakan sumber air minum, Wulandari

(2009) menggunakan Spektrometri Serapan Atom (GFAAS) menunjukkan bahwa gigi desidui

yang mengandung timbal (Pb) yang tinggi memiliki risiko tiga kali lebih tinggi mengalami

karies.

Anda mungkin juga menyukai