S3 2017 325411 Introduction
S3 2017 325411 Introduction
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskolorasi gigi dan gingiva merupakan masalah penting yang terkait dengan kesehatan
didalam dan sekitar rongga mulut (Samorodnitzky-naveh et al., 2007) Rehap, 2017. Selain itu,
diskolorasi juga terkait dengan masalah estetika gigi yang sangat penting bagi seseorang dalam
pergaulan (Alkhatib et al., 2004, Samorodnitzky-naveh et al., 2007). Banyak orang merasa
kurang percaya diri karena memiliki gigi tidak berwarna putih. Diskolorasi gigi tidak hanya
menjadi masalah kesehatan, tetapi menjadi masalah sosial dalam hal estetika dan pergaulan di
Diskolorasi gigi yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh kebersihan mulut yang
buruk, pencemaran atau polusi lingkungan karena bahan kimia, obat kumur, perawatan gigi,
keadaan sistemik dan obat-obatan. Penyebab diskolorasi gigi dan gingiva yang lain adalah
konsumsi teh yang berlebihan, kopi, merokok, mengunyah tembakau, sirih pinang dan lain
Di Kecamatan Kualin dan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT), pada penelitian pendahuluan Matheus (2013) namun tidak
dipublikasikan didapat hasil lebih dari 30% penduduk diperkirakan menderita diskolorasi gigi
dan gingiva dimana gigi berubah warna menjadi coklat kehitaman serta pada dasar gingiva
terdapat garis kehitaman. Secara geografis daerah tersebut sangat terpencil dan masih tertinggal
sehingga estetika gigi tidak mendapat perhatian oleh masyarakat, dan sektor kesehatan setempat.
Laporan secara resmi dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur tentang angka
kejadian diskolorasi gigi dan gingiva ini belum ada. Pada penelitian pendahuluan dengan
wawancara beberapa nara sumber, termasuk petugas di Puskesmas Kualin, ditemukan bahwa
diskolorasi gigi dan gingiva penduduk desa tersebut dijumpai sangat banyak dan kebiasaan
tandus/karang, berbukit-bukit dengan ketinggian sekitar 0-500 meter diatas permukaan laut
sehingga keberadaan sumber air tanah sangat terbatas. Sebagian besar penduduk hidup di sekitar
pantai dan ke arah bukit dan mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari dari sumur atau perigi di
sekitar tempat tinggal mereka. Menurut informasi penduduk setempat sumber air minum tersebut
Pencemaran kadar logam berat diduga menjadi salah satu penyebab diskolorasi gigi dan
gingiva. Meskipun demikian, diskolorasi terkait dengan masing-masing jenis logam berat belum
banyak dilaporkan dalam publikasi ilmiah yang ada, kecuali pencemaran timah hitam (lead) dan
merkuri (Hg) (Skerfving and Bergdahl, 2007, Landrigan et al., 2007, Lohani et al., 2008,
Ciri khusus kelainan hanya terjadi pada gigi permanen bagi sekelompok penduduk yang
tempat tinggalnya mengelompok di suatu wilayah tertentu. Gambar satu contoh terjadinya
diskolorasi gigi dan gingiva yang terjadi dan akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
A B C
Gambar 1. A. Tidak terdapat diskolorasi gigi dan gingiva pada gigi desidui, B dan C Tampak diskolorasi
gigi dan gingiva pada rahang atas dan rahang bawah gigi permanen pada penduduk Nusa Tenggara
Timur.
Kelainan diskolorasi gigi dan gingiva yang ditemukan pada penduduk di provinsi NTT
secara estetika sangat berbeda dengan gigi dan mukosa orang normal (Gambar 1). Gigi tampak
diskolorasi, warna gelap dan tidak hilang saat di skaling dan root planning, warna coklat
kehitaman menyebar ke seluruh permukaan gigi namun diskolorasi gigi dan gingiva tersebut
tidak pernah didata atau dilaporkan dalam sistim pelayanan kesehatan yang berjalan dan belum
pernah ada tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah bahkan masyarakat sendiri tidak
pernah melaporkan bahwa kondisi gigi mereka terjadi kelainan yang harus ditangani oleh
pelayanan kesehatan.
dengan diskolorasi gigi dan gingiva di Nusa Tenggara Timur, zat besi, mengunyah kat, fluorosis
A B C
C
D E F
Gambar 2.A. Diskolorasi yang disebabkan oleh tembakau. B. Diskolorasi yang terjadi pada penduduk di
Nusa Tenggara Timur. C. Diskolorasi yang disebabkan oleh mengunyah kat. D. Fluorosis berat. E.
Diskolorasi yang disebabkan oleh zat besi (Hattab et al., 1999). F. Diskolorasi yang disebabkan karena
konsumsi tetrasiklin (Schuurs, 2013)
Diskolorasi gigi dan gingiva tersebut hanya didapatkan pada gigi permanen dan tidak
terjadi pada gigi desidui. Kelainan juga tampak tidak mengikuti pola penyakit gigi yang sudah
dikenal selama ini, misalnya diskolorisasi karena karies dan akibat obat-obatan tertentu. Melihat
gambaran dan gejala klinis yang terjadi, diskolorasi gigi dan gingiva ini perlu dikaji lebih lanjut.
Dari gambaran yang ada, jelas diskolorasi gigi dan gingiva sangat patognomonis dan berbeda
dengan diskolorasi yang terjadi dan pernah dilaporkan sebelumnya (Hattab et al., 1999, Schuurs,
Diskolorasi gigi dan gingiva di Kecamatan Kualin dan Kolbano di Propinsi Nusa
Tenggara Timur pada penelitian pendahuluan dari data penduduk diketahui berpenduduk dewasa
lebih kurang 21.000 jiwa ditemukan sepertiga dari jumlah penduduk (7000) jiwa pada gigi
permanennya. Kelainan tersebut tidak dianggap masalah bagi penduduk setempat, sehingga
pelayanan kesehatan gigi di daerah tersebut tidak pernah mempermasalahkan kejadian tersebut,
Hal ini menimbulkan pernyataan belum diketahui secara pasti, apakah penyakit ini terjadi
secara turun menurun pada sekelompok penduduk yang terisolasi sehingga terjadi perkawinan
sekerabat, terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva akibat pencemaran dan deposit logam berat,
apakah perubahan yang bersifat endogen atau eksogen. Penelitian yang pertama kali harus
dilakukan ialah eksplorasi terhadap proses terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva.
Diskolorasi gigi yang disebabkan oleh faktor endogen adalah penggabungan pigmen yang
menyebabkan diskolorasi gigi pada jaringan keras gigi saat proses odontogenesis. Diskolorasi
gigi yang terjadi saat proses odontogenesis adalah amelogenesis imperfecta, biliary anomaly,
penyakit Coeliac, hipokalsifikasi gigi insisivus molar (Cheese molar), kemoterapi, sipilis
hemolitik, dan lain-lain (Schuurs, 2013, Patel et al., 2013, Hattab et al., 1999).
Diskolorasi gigi dan gingiva yang terjadi setelah gigi erupsi secara endogen terjadi
karena infiltrasi jaringan keras gigi oleh bahan-bahan kromatik yang terjadi di dentin melalui
pulpa sehingga tampak pada permukaan enamel. Penyebab kedua adalah dentin sklerotik dan
kerusakan pulpa. Trauma yang terjadi pada gigi yang baru erupsi dapat menyebabkan
pendarahan pada pulpa. Tipe lepramatosa, Mycobacterium leprae banyak di dalam tubulus
dentin dan pulpa dan menyebabkan diskolorasi gigi insisivus. Kelainan ini tampak gambaran
berwarna kemerahan (sekitar 10%). Pulpa nekrosis dapat menyebabkan gigi berwarna gelap.
Akar gigi menjadi lebih gelap daripada mahkota gigi karena warna dentin yang gelap tampak
pada enamel. Bertambahnya usia dan sclerosis dentin akan menjadikan mahkota gigi berwarna
kuning dan coklat (Cheek and Heymann, 1999, Sánchez et al., 2004, Vogel and Austin, 1977).
Hal ini dapat menyebabkan pewarnaan pada tulang dan kuku, air susu ibu berwarna hitam, bibir
berwarna coklat dan pigmentasi warna biru kehitaman (makula) pada lidah (Patel et al., 2013).
Diskolorasi gigi yang terjadi setelah gigi erupsi yang terjadi secara eksogen disebabkan
oleh bahan-bahan kromogenik dari sekitar rongga mulut, misalnya bahan tumpatan pada kavitas
dan bahan pengisi pada pulpa gigi. Tabel 1 dan 2 menunjukkan 2 kelompok diskolorasi gigi yang
disebabkan oleh faktor eksogen karena semen atau pasta endodontik dan debu industri (Schuurs,
2013).
diskolorisasi gigi dan gingiva (Schuurs, 2013, Patel et al., 2013). Mengingat terjadinya penyakit
yang diteliti ini terjadi pada suku tertentu dan bertempat tinggal di wilayah terbatas, maka tidak
bisa disingkirkan kemungkinan penyebab yang terkait dengan faktor kebiasaan makan,
Upaya pencegahan dapat dilakukan, apabila faktor risiko sudah diketahui penyebabnya,
dan hasil tersebut akan ditentukan upaya pencegahannya. Dalam penelitian ini diskolorasi gigi
dan gingiva didefinisikan sebagai warna gigi seseorang berubah menjadi lebih tua atau sampai
berwarna kehitaman. Cara mendiagnosis kelainan ini berbasis klinis dengan menggunakan shade
guide (Paravina et al., 2001, Luo et al., 2007, Macpherson et al., 2000).
B. Rumusan Masalah
Di Kecamatan Kualin dan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi NTT
terdapat masalah berupa kelainan diskolorasi gigi dan gingiva yang mempunyai morfologi secara
patognomonis (khas) dan belum pernah dilaporkan di dalam publikasi ilmiah sebelumnya.
Kelainan tersebut belum pernah didefinisikan dan dibakukan dalam klasifikasi penyakit atau
kelainan gigi secara internasional (belum tertulis dalam Buku International Classification of
Diseases ke-X atau ICD X). Morfologi dan komposisi jaringan keras diskolorasi gigi tersebut
belum pernah dilakukan analisis secara fisik dan kimiawi sebelumnya. Kelainan tersebut juga
belum diketahui dengan pasti tingkat kejadiannya (prevalensi) di masyarakat, penyebab, dan
patofisiologi sampai terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva tersebut. Sampai saat ini ini belum
ada penelitian epidemiologis yang melaporkan faktor-faktor risiko apakah yang berhubungan
dengan terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva, apakah terkait dengan faktor keturunan, kondisi
lingkungan fisik, perilaku makan dan minum, kebiasaan dan kondisi sosial ekonomi penderita.
Oleh karena itu, masalah tersebut mengundang berbagai pertanyaan penelitian sebagai berikut:
3. Unsur apa yang terdapat pada jaringan keras gigi yang menimbulkan diskolorasi?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan penelitian secara umum ialah menentukan angka kejadian (prevalensi), komposisi
jaringan keras gigi dan gingiva, dan faktor-faktor risiko terjadinya kelainan diskolorasi gigi
2. Tujuan khusus
gigi.
gingiva.
c. Menentukan kandungan beberapa logam berat yang diduga sebagai faktor pencemar
Dari hasil penelitian ini akan diketahui penyakit dengan klasifikasi baru, patofisiologi,
penyebab dan faktor risiko terjadinya kelainan diskolorasi gigi dan gingiva. Dari hasil penelitian
ini dapat diperoleh masukan berupa tindakan untuk mengurangi prevalensi dan pengaruh
pencemaran logam berat dan mencegah terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva di Kecamatan
Kualin dan Kolbano Provinsi NTT. Untuk masyarakat pada umumnya diharapkan akan dapat
diberikan pengetahuan bagaimana mencegah terjadinya diskolorasi gigi dan gingiva, sedangkan
untuk para ilmuwan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk
melakukan penelitian lanjutan dan cara penanggulangan diskolorasi gigi dan gingiva serta
perhatian terhadap penyakit ini serta upaya-upaya pencegahan yang bisa dilakukan, misalnya
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang diskolorasi gigi dan diskolorasi gingiva seperti ini belum pernah
dilakukan di Indonesia. Adapun penelitian sejenis dalam hal ini pewarnaan pada gigi dan gingiva
yang pernah dilakukan di Indonesia diantaranya ialah penelitian Farihatini et al. (2013) tentang
keasaman dan konsentrasi timah yang tinggi dalam air minum yang berhubungan dengan erosi
gigi permanen pada anak-anak yang tinggal di dekat area pertambangan timah, Soetiarto (2003)
tentang analisis karies spesifik yang berhubungan dengan rokok kretek, Sudibyo (2003) tentang
pewarnaan pada gingiva yang berwarna kehitaman akibat keracunan kronis timah hitam,
Musadad and Irianto (2009) melakukan studi ekologi tentang pengaruh kualitas air minum dalam
kaitannya dengan karies gigi, Utami (2015) membandingkan status gigi anak-anak yang
mengkonsumsi air hujan dengan mereka yang menggunakan sumber air minum, Wulandari
(2009) menggunakan Spektrometri Serapan Atom (GFAAS) menunjukkan bahwa gigi desidui
yang mengandung timbal (Pb) yang tinggi memiliki risiko tiga kali lebih tinggi mengalami
karies.