Anda di halaman 1dari 65

Rhinitis Alergi dan Asma

Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt.


Introduction
• Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang
dialami oleh 5 - 50 % populasi
• Prevalensinya meningkat dari waktu ke waktu
• Meskipun bukan penyakit mematikan, penyakit ini sangat
mengganggu aktivitas harian, produktivitas kerja, dan
kualitas hidup pasien
• Biaya total yang dikeluarkan akibat penyakit ini bisa
sangat besar, melibatkan biaya langsung dan tidak
langsung
• Rhinitis alergi sering terjadi secara bersamaan (komorbid)
dengan asma, atau merupakan faktor risiko terjadinya
asma
Klasifikasi rhinitis (ARIA, 2008)
 Infeksius  Hormonal
 Virus  Penyebab lain
 bakteri  Iritan
 Allergi  Food
 Intermiten  Emosional
 persisten  Atropik

 Okupasional  Idiopatik (rhinitis


 Intermitten vasomotor)
 persisten  Perubahan suhu dan
kelembaban, bau
 Drug-induced (rhinitis menyengat, dll
medicamentosa)
 Aspirin Rhinitis = inflamasi
 Dekongestan topikal pada membran mukosa
hidung
First description of hay fever
John Bostock, Med Chir Trans, 1819; 10: 161

"About the beginning or middle of


June in every year …..
…. A sensation of heat and fulness is
experienced in the eyes ….

…. To this succeeds irritation of the


nose producing sneezing ….

…. To the sneezings are added a


further sensation of tightness of the
chest, and a difficulty of breathing"
Takrif/definisi

Rhinitis alergi

inflamasi pada membran


mukosa hidung yang
disebabkan oleh adanya
alergen yang terhirup yang
dapat memicu respon
hipersensitivitas yang
diperantarai oleh IgE
Faktor pemicu
Allergic march : proses kejadian alergi pada
kehidupan seseorang
Klasifikasi berdasarkan waktu

Berdasarkan waktunya, ada 3 golongan rhinitis alergi :


 Seasonal allergic rhinitis (SAR) terjadi pada waktu
yang sama setiap tahunnya  musim bunga, banyak
serbuk sari beterbangan
 Perrenial allergic rhinitis (PAR) terjadi setiap saat
dalam setahun  penyebab utama: debu, animal
dander, jamur, kecoa
 Occupational allergic rhinitis  terkait dengan
pekerjaan

Klasifikasi ini tidak


dipakai lagi
Based on ARIA 2008 :

The classification "seasonal" and "perennial"


allergic rhinitis

has been changed to

"intermittent" and "persistent" allergic rhinitis

ARIA = Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma


Klasifikasi rhinitis alergi menurut guideline ARIA (2008)

Berdasarkan lamanya terjadi gejala


Klasifikasi Gejala dialami selama
Intermiten kurang dari 4 hari seminggu, atau kurang dari 4 minggu
setiap saat kambuh
persisten lebih dari 4 hari seminggu, atau lebih dari 4 minggu setiap
saat kambuh
Berdasarkan Keparahan dan kualitas hidup
ringan tidak mengganggu tidur, aktivitas harian, olahraga, sekolah,
atau pekerjaan
tidak ada gejala yang mengganggu
sedang sampai terjadi satu atau lebih kejadian di bawah ini:
berat 1.gangguan tidur,
2.gangguan aktivitas harian, kesenangan atau olahraga,
3.gangguan pada sekolah atau pekerjaan, atau
4.gejala yang mengganggu

ARIA = Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma


Gejala dan tanda

 Bersin berulangkali
 Hidung berair (rhinorrhea)
 Hidung tersumbat
 Tenggorokan, hidung,
kerongkongan gatal
 Mata merah, gatal, berair
 Post-nasal drip
Pattern of symptoms in intermittent and persistent
allergic rhinitis

Characteristic Intermittent Persistent


Obstruction Variable Always, predominant
Secretion Watery, common Seromucous, postnasal drip,
variable
Sneezing Always Variable
Smell Variable Common
disturbance
Eye symptoms Common Rare
Asthma Variable Common
Chronic Occasional Frequent
sinusitis
[van Cauwenburge et al, 2000]
Patogenesis alergi
Diagnosis

 Perlu pemeriksaan fisik, riwayat pengobatan, dan


riwayat keluarga
 Jika diperlukan, lakukan test : skin test/skin prick test
atau RAST (Radioallergosorbent test)
 Caranya skin test?
Menyuntikkan ekstrak alergen (senyawa test) secara
subkutan  tunggu reaksinya
 Skin prick test : kulit digores dengan jarum steril,
ditetesi senyawa alergen  tunggu reaksinya
Skin test untuk
mengetahui alergen
penyebab
Skin prick test

A drop of a solution containing a possible allergen is placed


on the skin. Then a series of scratches or needle pricks lets
the solution enter the skin. If the skin gets a red, raised
itchy area (called a wheal), it usually means that the
person is allergic to that allergen.
Tatalaksana terapi

Non-farmakologi:
Hindari pencetus (alergen)

Farmakologi :
 Jika tidak bisa menghindari pencetus, gunakan
obat-obat anti alergi baik OTC maupun ethical
 Jika tidak berhasil, atau obat-obatan tadi
menyebabkan efek samping yang tidak bisa
diterima, lakukan imunoterapi
Tata laksana terapi (1)

1. Menghindari pencetus (alergen)


 Amati benda-benda apa yang menjadi pencetus
(debu, serbuk sari, bulu binatang, dll)
 Jika perlu, pastikan dengan skin test
 Jaga kebersihan rumah, jendela ditutup, hindari
kegiatan berkebun. Jika harus berkebun,
gunakan masker wajah
Tatalaksana terapi (2)

2. Menggunakan obat untuk mengurangi gejala


 Antihistamin
 Dekongestan
 Kortikosteroid nasal
 Sodium kromolin
 Ipratropium bromida
 Leukotriene antagonis

3. Imunoterapi : terapi desensitisasi


Treatment of allergic rhinitis (ARIA)
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma

moderate
severe
mild persistent
moderate persistent
severe
mild intermittent
intermittent intra-nasal steroid
local chromone
oral or local non-sedative H1-blocker
intra-nasal decongestant (<10 days) or oral decongestant
allergen and irritant avoidance
immunotherapy
Treatment options for allergic rhinitis adapted from ARIA, 2008

Type of allergic First-line Alternative or add-on Comment


rhinitis treatments treatments*
Mild Oral Intranasal decongestants Allergen avoidance may
intermittent antihistamines, eliminate need for drugs.
Intranasal
antihistamines
Mild Oral Intranasal decongestants, Sodium cromoglicate is a
persistent or antihistamines, Sodium cromoglicate useful alternative to
moderate- Intranasal antihistamines and
severe corticosteroids, corticosteroids, especially
intermittent intranasal in children.
antihistamines
Moderate- Intranasal Oral antihistamines, Ipratropium bromide is
severe corticosteroids intranasal antihistamines, useful for persistent runny
persistent sodium cromoglicate, nose. Leukotriene
Ipratropium bromide, antagonists may be useful if
Leukotriene antagonists† there is coexisting asthma.
Maps of rhinitis medication
OBAT-OBAT YANG
DIGUNAKAN
Anti Histamin H1

 Lini pertama pengobatan alergi, bentuk oral atau nasal


 Tidak selektif  efek antikolinergik
 Diabsorpsi baik dan dimetabolisme di hepar
 Generasi pertama : berefek sedatif, durasi aksi pendek
 Generasi kedua : tidak berefek sedatif, durasi aksi lebih
panjang
 Generasi ketiga?
Macam Anti Histamin

Nama Obat Penggunaan umum Efek samping Durasi


Rinitis Alergi Sedasi Preme- Mual/ Sedasi Antikoli aksi
kulit dikasi muntah nergik (jam)

Klorfeniramin   sedang minimal 6-12


Bromfeniramin   sedang minimal 4-6
Deksklofeniramin   sedang minimal 4-6
Difenhidramin   kuat sedang 4-6
Dimenhidrinat  sedang sedang 4-6
Prometazin     kuat sedang 4-6
Astemizol   minimal minimal > 12
Cetirizin   minimal minimal > 12
Loratadin   minimal minimal > 12
Terfenadin   minimal minimal > 12
Triprolidin   sedang minimal 6-12
Fexofenadin   minimal minimal > 12
Desloratadin   minimal minimal > 12
Levocetirizin   minimal minimal > 12
Dekongestan

 golongan simpatomimetik  beraksi pada reseptor adrenergik pada


mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa
yang membengkak, dan memperbaiki pernafasan
 Penggunaan dekongestan topikal tidak menyebabkan atau sedikit
sekali menyebabkan absorpsi sistemik
 Penggunaan agen topikal yang lama (lebih dari 3-5 hari) dapat
menyebabkan rinitis medikamentosa (rebound rhinitis), di mana hidung
kembali tersumbat akibat vasodilatasi perifer  batasi penggunaan
Obat dekongestan topikal dan durasi aksinya

Obat Durasi aksi

Aksi pendek Sampai 4 jam


Fenilefrin HCl
Aksi sedang 4 – 6 jam
Nafazolin HCl
Tetrahidrozolin HCl
Aksi panjang Sampai 12 jam
Oksimetazolin HCl xylometazolin
Xylometazolin HCl
(Schwinghammer, 2001)
Dekongestan oral

 Onset lambat, tapi efek lebih lama dan kurang menyebabkan


iritasi lokal  tidak menimbulkan resiko rhinitis
medikamentosa
 Contoh :
 Fenilefrin
 Fenilpropanilamin
 Pseudo efedrin
 Efedrin
Kombinasi antihistamin-dekongestan
 loratadin – pseudoefedrin
 triprolidin – pseudoefedrin
 fexofenadin – pseudoefedrin
 cetirizine – pseudoefedrin
 Desloratadin - pseudoefedrin
Intranasal corticosteroids (INCS)

 Obat lini pertama untuk rhinitis alergi persisten


 Kekuatiran thd efek sistemik seperti penghambatan pertumbuhan
tidak terbukti
 Efek samping lokal juga minimal
 Berbagai jenis steroid intranasal memiliki efektivitas yang serupa
 Berbagai jenis yang tersedia : beclometasone, betamethasone,
budesonide, flunisolide, fluticasone, mometasone, and
triamcinolone.
 Bisa berbentuk spray atau drop/tetes, pilihan tergantung kecocokan
pasien dan harganya
Mekanisme :

 menghambat respon alergi fase awal


maupun fase lambat.
 Efek utama pada mukosa hidung :
 mengurangi inflamasi dengan
memblok pelepasan mediator,
 menekan kemotaksis neutrofil,

 mengurangi edema intrasel,

 menyebabkan vasokonstriksi ringan,


dan
 menghambat reaksi fase lambat yang
diperantarai oleh sel mast
Sodium kromolin

 suatu penstabil sel mast  mencegah


degranulasi sel mast dan pelepasan mediator,
termasuk histamin.
 tersedia dalam bentuk semprotan hidung untuk
mencegah dan mengobati rinitis alergi.
 Efek sampingnya : iritasi lokal (bersin dan rasa
perih pada membran mukosa hidung
 Dosisnya untuk pasien di atas 6 tahun adalah 1
semprotan pada setiap lubang hidung 3-4 kali
sehari pada interval yang teratur.
Ipratropium bromida

 Merupakan agen antikolinergik berbentuk


semprotan hidung
 bermanfaat pada rinitis alergi yang persisten
atau perenial
 memiliki sifat antisekretori jika digunakan
secara lokal dan bermanfaat untuk mengurangi
hidung berair yang terjadi pada rinitis alergi.
 tersedia dalam bentuk larutan dengan kadar
0,03%, diberikan dalam 2 semprotan (42 mg) 2-
3 kali sehari.
 Efek sampingnya ringan, meliputi sakit kepala,
epistaxis, dan hidung terasa kering.
Comparison of standard drugs used in allergic rhinitis

Oral Nasal Nasal Nasal Nasal Nasal


antihist. antihist. steroids decong. ipratropium cromoglicate
Runny ++ ++ +++ 0 ++ +
nose
Sneezing ++ ++ +++ 0 0 +
Itching ++ ++ +++ 0 0 +
Blockage + + +++ ++++ 0 +
Eye ++ 0 ++ 0 0 +
symptoms
Onset of 1h 15 min 12 h 5–15 min 15–30 min Variable
action
Duration 12–24 h 6–12 h 12–48 h 3–6 h 4–12 h Variable
Parameter efikasi

 kondisi subyektif subyek uji berupa gejala hidung tersumbat,


hidung berair, bersin-bersin, dan hidung gatal, yang diukur
menggunakan TNSS (Total nasal symptom score), dengan
skoring sbb:
 0 = tidak ada gejala

 1 = gejala ada, tapi ringan, dapat ditoleransi dengan mudah

 2 = gejala sedang, cukup mengganggu, tapi masih bisa


ditoleransi
 3 = gejala berat, sulit ditoleransi, menganggu aktivitas harian
dan atau tidur
 Hasil lab: swab eosinofil, kadar IgE spesifik
Imunoterapi (allergy shot) : terapi desensitisasi

 Bersifat kausatif

 Imunoterapi merupakan proses yang lambat


dan bertahap dengan menginjeksikan
alergen yang diketahui memicu reaksi alergi
pada pasien dengan dosis yang semakin
meningkat.
 Tujuannya adalah agar pasien mencapai
peningkatan toleransi terhadap alergen,
sampai dia tidak lagi menunjukkan reaksi
alergi jika terpapar oleh senyawa tersebut.
Caranya ?

 Larutan alergen yang sangat encer


(1:100.000 sampai 1:1000.000.000 b/v)
diberikan 1 – 2 kali seminggu.
 Konsentrasi kemudian ditingkatkan
sampai tercapai dosis yang dapat
ditoleransi.
 Dosis ini kemudian dipertahankan setiap
2-6 minggu, tergantung pada respon klinik.
 Terapi dilakukan sampai pasien dapat
mentoleransi alergen pada dosis yang
umumnya dijumpai pada paparan alergen.
Parameter efektifitas ?
ditunjukkan dengan :
 berkurangnya produksi IgE,
 meningkatnya produksi IgG,
 perubahan pada limfosit T,
 berkurangnya pelepasan
mediator dari sel yang
tersensitisasi, dan
 berkurangnya sensitivitas
jaringan terhadap alergen.
Namun :
 imunoterapi terbilang mahal
dan butuh waktu lama,
 membutuhkan komitmen yang
besar dari pasien
Asma
Definisi dan deskripsi

Asthma is a heterogeneous disease, usually characterized by


chronic airway inflammation. It is defined by the history of
respiratory symptoms such as wheeze, shortness of breath,
chest tightness and cough that vary over time and in intensity,
together with variable expiratory airflow limitation [GINA 2015]

Gambaran penyakit asma:


 Gejala asma dapat membaik secara spontan atau dengan
pengobatan, dan mungkin tidak terjadi dalam beberapa
minggu atau bulan
 Sebaliknya, pasien juga mungkin mengalami serangan akut
yang berat dan mengancam jiwa
Faktor pemicu asma

 ISPA (rhinovirus, influenza,


pneumonia, dll)
 Alergen (debu, serbuk sari bunga,
tengu, kecoa, jamur, dll)
 Lingkungan (udara dingin, gas SO2,
NO2, asap rokok, dll)
 Emosi : cemas, stress
 Olahraga: terutama pada suhu dingin
dan kering
 Obat/pengawet : Aspirin, NSAID,
sulfit, benzalkonium klorida, beta
bloker
 Stimulus pekerjaan
Asthma Pathophysiology

Smooth Muscle Airway


Dysfunction Inflammation

Bronchoconstriction Inflammatory cell


infiltration/activation
Bronchial hyperreactivity
 Mucosal edema
Hypertrophy/hyperplasia
 Cellular proliferation
Inflammatory mediator release  Epithelial proliferation

Symptoms/Exacerbations
Inflamasi
Bronkokonstriksi
Hiperresponivitas
Hiperskresi mukus

http://www.laucke.com.au/health/images/asthma.jpg
Patofisiologi lanjutan
 Inflamasi  kata kunci untuk menjelaskan perubahan patologis yang
terjadi pada asma
 Inflamasi: reaksi pertahanan diri terhadap invasi organisme asing
dengan tujuan perbaikan jaringan  respon yang menguntungkan
…………. tetapi,
 Pada asma : inflammatory response terjadi secara tidak tepat 
adverse effects
 Inflamasi pada asma dikarakterisir oleh infiltrasi eosinofil dan limfosit
ke jaringan saluran nafas
 Terjadi pengelupasan (shedding) epithelial cells bronkus dan
penebalan lapisan subepitelial
Specimen of Bronchial Mucosa from a Subject without Asthma (Panel A) and a
Patient with Mild Asthma (Panel B) (Hematoxylin and Eosin).
• In the subject without asthma, the epithelium is intact; there is no thickening
of the sub-basement membrane, and there is no cellular infiltrate.
• In the patient with mild asthma, there is evidence of goblet-cell hyperplasia in
the epithelial-cell lining. The sub-basement membrane is thickened, with
collagen deposition in the submucosal area, and there is a cellular infiltrate.
Asthma Inflammation: Cells and Mediators

Source: Peter J. Barnes, MD


GEJALA DAN TANDA

Penanda utama untuk mendiagnosis adanya asma a.l.:


 mengi pada saat menghirup nafas,
 riwayat batuk yang memburuk pada malam hari, dada
sesak yang terjadi berulang, dan nafas tersengal-
sengal,
 hambatan pernafasan yang reversibel secara
bervariasi selama siang hari,
 adanya peningkatan gejala pada saat olahraga, infeksi
virus, paparan terhadap alergen, dan perubahan
musim, dan
 terbangun malam-malam dengan gejala-gejala seperti
di atas.
Gejala ASMA: hanya puncak dari
gunung es1
• Batuk
GEJALA ASMA • Sesak napas
• Mengi (wheezing)
• Dada rasa tertekan

• Bronkokonstriksi
Obstruksi saluran napas • Edema bronkus
• Hiper-sekresi mukus
• Keterlibatan sel-sel
Hiper-responsif bronkus inflamasi – eosinofil, dll

Inflamasi saluran napas

1. Warner O. Am J Resp Crit Care Med 2003; 167: 1465–1466.


Tujuan Terapi

Tujuan : memungkinkan pasien menjalani hidup yang normal


dengan hanya sedikit gangguan atau tanpa gejala

Beberapa tujuan yang lebih rinci antara lain adalah :


 Mencegah timbulnya gejala yang kronis dan menganggu,
seperti batuk, sesak nafas
 mengurangi penggunaan beta agonis aksi pendek

 Menjaga fungsi paru “mendekati” normal

 Menjaga aktivitas pada tingkat normal (bekerja, sekolah,


olah raga, dll)
lanjutan

 Mencegah kekambuhan dan meminimalisasi


kunjungan darurat ke RS
 Mencegah progresivitas berkurangnya fungsi paru,
dan untuk anak-anak mencegah berkurangnya
pertumbuhan paru-paru
 Menyediakan farmakoterapi yang optimal dengan
sesedikit mungkin efek samping
Pharmacological therapy

Reliever/acute Controller/maintenance

merelaksasi otot polos bronkus mengatasi inflamasi dan


dan mengatasi mencegah gejala asma (harus
bronkokonstriksi dipakai secara rutin)

 short-acting ß2-agonists  Corticosteroids inhalation


(beclomethasone dipropionate ,
inhalation (salbutamol, terbutalin)
budesonide, fluticasone, etc)
 Systemic corticosteroids
 Long-acting ß2-agonists inhalation
 Anticholinergics (ipratropium (salmeterol, formoterol)
bromide)
 cromolyn sodium/nedocromil
 Epinefrin injection  leukotriene modifiers
 Aminofilin injection  Imunomodulator (anti-IgE)
Bentuk sediaan obat asma
 Oral
 Inhalasi
 Injeksi
Perbandingan bentuk sediaan inhalasi dan oral

Inhalasi Oral
Dosis Kecil Besar
Efek Samping Sedikit Banyak
Mula kerja obat Cepat Lambat
Tempat kerja obat Langsung Tidak
Lama kerja obat sama Sama
Mencegah EIA* Baik Tidak
Cara pakai Perlu Tidak perlu
(koordinasi)

Obat inhalasi dianjurkan oleh guideline asma & PPOK (Internasional & Nasional)

*) EIA : Exercise Induced Asthma


Farmakokinetik dari obat-obat inhalasi

Metered Delivered dose Pulmonary


dose to patient availability

Liver
At inhalation, Portal
vein
systemic
availability is the
sum of the
pulmonary and
the oral GUT Systemic
component availability
Metabolis
m
Pedersen & O’Byrne, 1997
TATALAKSANA TERAPI SERANGAN AKUT

GINA 2014, Box 4-3 (2/3) © Global Initiative for Asthma


GINA 2014, Box 4-3 (3/3) © Global Initiative for Asthma © Global Initiative for Asthma
Prinsip terapi serangan akut

 short-acting ß2-agonists (salbutamol,) merupakan terapi pilihan untuk


meredakan gejala serangan akut dan pencegahan bronkospasmus akibat exercise
 Systemic corticosteroids  digunakan jangka pendek untuk mengatasi eksaserbasi
yang sedang sampai berat untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah
eksaserbasi berulang
 Oksigen  diberikan via kanula hidung atau masker utk menjaga SaO2 >90 %(>95
% utk wanita hamil dan pasien dgn gangguan jantung), saturasi oksigen perlu
dimonitor sampai diperoleh respon thd bronkodilator
 Anticholinergics (ipratropium bromide)  memberi manfaat klinis sebagai
tambahan inhalasi beta agonis pada serangan akut yang berat, merupakan
bronkodilator alternatif bagi pasien yang tidak bisa mentoleransi beta agonis
The control-based asthma management cycle

NEW
!

GINA 2014, Box 3-2 © Global Initiative for Asthma


STEPWISE in ASTHMA MANAGEMENT

STEP 5

STEP 4

PREFERRED
STEP 3 Refer for
STEP 1 STEP 2
CONTROLLER add-on
CHOICE treatment
Med/high e.g.
ICS/LABA anti-IgE
Low dose
Low dose ICS ICS/LABA*

Other Consider low Med/high dose ICS Add tiotropium# Add


controller Leukotriene receptor antagonists (LTRA) tiotropium#
dose ICS Low dose ICS+LTRA High dose ICS
options Low dose theophylline* (or + theoph*) + LTRA Add low
(or + theoph*) dose OCS

RELIEVER As-needed short-acting beta2-agonist (SABA) As-needed SABA or


low dose ICS/formoterol**

*For children 6-11 years, theophylline is not recommended, and preferred Step 3 is medium dose ICS
**For patients prescribed BDP/formoterol or BUD/formoterol maintenance and reliever therapy
# Tiotropium by soft-mist inhaler is indicated as add-on treatment for patients with a history of
exacerbations; it is not indicated in children <18 years.

GINA 2015, Box 3-5, Steps 4 and 5 © Global Initiative for Asthma
Prinsip terapi jangka panjang

 Obat anti inflamasi (kortikosteroid) merupakan treatment yang


esensial utk asma
 Mengajari dan memantau teknik inhalasi obat kepada pasien
sangat penting
 Treatment harus disusun untuk setiap pasien sesuai dengan
keparahan penyakitnya dan dimodifikasi secara fleksibel tahap
demi tahap
 Penggunaan kortikosteroid oral jangka pendek kadang-kadang
diperlukan
 Aspirin dan NSAID harus digunakan dengan hati-hati karena 10-
20% pasien asma alergi terhadap obat ini
 Beta bloker sering memicu kekambuhan gejala asma
 Terapi desensitisasi bermanfaat bagi sebagian pasien
Menilai keparahan asma
 How?
 Keparahan asma dinilai secara retrospektif dari tingkat pengobatan yang
dibutuhkan untuk mengontrol gejala dan kekambuhan
 When?
 Penilaian keparahan asma dilakukan setelah pasien menggunakan obat
pengontrol selama beberapa bulan (3 – 6 bulan)
 Keparahan asma tidak bersifat statis  dapat berubah dalam hitungan bulan
atau tahun dan dapat dipengaruhi oleh ketersediaan pengobatan
 Categories of asthma severity
 Mild asthma: terkontrol dengan baik dengan terapi Steps 1 atau 2 (SABA
prn atau low dose ICS)
 Moderate asthma: terkontrol dengan baik dengan terapi Step 3 (low-dose
ICS/LABA)
 Severe asthma: membutuhkan terapi Step 4/5 (moderate or high dose
ICS/LABA ± add-on), atau tetap tidak terkontrol walaupun mendapatkan
pengobatan

GINA 2014
Levels of Asthma Control
(Assess patient impairment)
Controlled Partly controlled
Characteristic Uncontrolled
(All of the following) (Any present in any week)

Twice or less More than


Daytime symptoms
per week twice per week

Limitations of activities None Any 3 or more


features of
partly
Nocturnal symptoms / controlled
None Any
awakening asthma
present in any
Need for rescue / Twice or less More than week
“reliever” treatment per week twice per week
< 80% predicted or
Lung function
Normal personal best (if
(PEF or FEV1)
known) on any day
Assessment of Future Risk (risk of exacerbations, instability, rapid decline in
lung function, side effects)

© Global Initiative for Asthma


Terapi pada penderita khusus
Wanita hamil

 Pencegahan asma pada wanita hamil sama dengan pada pasien lainnya
 misalnya dgn beklomethason inhalasi aman digunakan dalam
kehamilan
 Sodium kromoglikat juga digunakan sebagai profilaksis asma  dgn
inhalasi, cukup aman pada kehamilan
 Treatment: salbutamol, terbutalin  jika digunakan scr inhalasi, tidak
mempengaruhi uterus
 Kortikosteroid oral jangka pendek, spt prednisolon 20-50 mg sehari utk
4-7 hari cukup aman
 Jika perlu, sebelum proses melahirkan: injeksi hidrokortison i.m. atau i.v
100 mg setiap 8 jam selama 24 jam cukup menjamin tersedianya
kortikosteroid eksogen
 teofilin sebaiknya tidak digunakan pada masa akhir kehamilan efek
stimulant : irritability, jitteriness, dan takikardi pada neonatus
Memantau respon dan penyesuaian terapi

 How often should asthma be reviewed?


1-3 bulan setelah terapi dimulai, kemudian setiap 3-12 bulan
 Selama kehamilan : setiap 4-6 minggu
 Setelah suatu serangan : dalam 1 minggu pertama
 Stepping up asthma treatment
 Sustained step-up, untuk sedikitnya 2-3 bulan jika asma tidak terkontrol
(poorly controlled)
 Penting : cek penyebab yg umum, inhaler technique, kepatuhan
 Short-term step-up, selama 1-2 minggu, misalnya ada inefeksi virus atau
paparan alergen
 Day-to-day adjustment
Untuk pasien yang mendapat low-dose ICS/formoterol untuk

pemeliharaan dan pelega
 Stepping down asthma treatment
 Pertimbangkan step-down jika asma terkontrol baik dalam 3 bulan
 Usahakan memperoleh dosis minimal efektif pasien untuk kontrol dan
mencegah serangan
*Approved only for low dose beclometasone/formoterol and low dose budesonide/formoterol
GINA 2014
Selesai

Anda mungkin juga menyukai