Anda di halaman 1dari 87

ISSN 1978 – 130X

JURNAL
KEARSIPAN
VOL 5 / ANRI / 12 / 2010

DAFTAR ISI
1. UPAYA MENYINGKAP FILSAFAT KEARSIPAN
(Suatu Kajian Awal Filsafat Kearsipan)
Drs. Banu Prabowo, M.Si. ..........................................................1-34

2. MEMAHAMI ARSIP DARI SUDUT ILMU: Kajian Awal


Tentang Ilmu Kearsipan
Drs. Imam Gunarto ...................................................................35-61

3. SISTEM PENGELOLAAN ARSIP DI INDONESIA


Drs. Bambang P. Widodo, M.Si. ..............................................62-84

4. ARCHIVES MANAGEMENT AS A REFLECTION OF


BUREAUCRACY DEVELOPMENT: The Case of
Transitional Dutch East Indies, 1816-1830
Nadia Fauziah Dwiandari SIP., M. Phil. .................................85-106

5. IMPLEMENTASI DATABASE MANAGEMENT SYSTEM


Kemas Jakfarudin, SE.,M.Si. ................................................107-132

6. MENGENAL SUMBER SEJARAH


Dra. Mona Lohanda M. Phil. ................................................133-143

7. USAHA MENINGKATKAN KUALITAS DAN


KUANTITAS SDM KEARSIPAN
Drs. Sumrahyadi, MIMS.......................................................144-164
PENGANTAR REDAKSI

Penerbitan Jurnal Kearsipan Volume 5 dengan tema, “ Arsip : Ilmu


dan Praktik". Diawali dengan kajian yang dilakukan oleh Banu Prabowo
dengan judul Upaya Menyikap Filsafat Kearsipan yang menjawab tiga
permasalahan yaitu : apa obyek kajian ilmu kearsipan, bagaimana cara
memperolah ilmu kearsipan dan apa manfaat ilmu kearsipan, sehingga
kearsipan akan mendapat perhatian serius sebagai ilmu, kajian ini menjadi
lengkap oleh Imam Gunarto yang mengajak memahami arsip dari sudut
filsafat, sehingga mengapa arsip harus dikelola, apa hakekat arsip, fungsi
dan tujuan kearsipan, teori dan metodologi serta hubungan ilmu kearsipan
dengan ilmu-ilmu lain akan dibahas secara mendalam baik dari segi
antologi, epistomologi dan aksiologi ilmu.

Selain itu bagaimana arsip harus dikelola dari segi praktik, Bambang
Parjono W, melakukan pengkajian tentang sistem pengelolaan arsip di
Indonesia, sehingga akan dianalisis titik temu antara konsep Life Cycle
of Records dengan Continum Records serta dideskripsikan model yang
perlu dikembangkan terkait implementasi pengelolaan arsip di Indonesia.

Penataan arsip pada Algemene Secretary (Sekretariat Negara)


sebagai lembaga yang bertanggungjawab menata produk administrasi
pada zaman Hindia Belanda ditulis oleh Nadia F. Dwiandri dengan judul
Archives Management as a Reflection of Bureaucracy Development :
The Case of Transitional Dutch East Indies, 1816 - 1830, sehingga
menggambarkan hubungan antara konteks di belakang penciptaan arsip
dan sistem penataan arsip. Bagaimana aplikasi Teknologi Informasi dan
Komunikasi (Database Management System) kearsipan pada instasi
pemerintah dan swasta di lingkungan kota Palembang didapatkan bukti
empiris oleh Kemas Jakfarudin.
Peran SDM kearsipan dalam kegiatan kearsipan oleh Sumrahyadi
dipaparkan dalam tulisan Usaha Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas
SDM kearsipan. Akhirnya arsip sebagai sumber primer dalam penulisan
sejarah di tulis oleh Mona Lohanda dengan judul Mengenal Sumber
Sejarah, sehingga diperoleh gambaran bagaimana sebuah historiografi
yang baik.

Tulisan-tulisan yang mengungkap arsip dari sudut ilmu dan praktik


di atas semoga pengetahuan, penerapan dan penelitian/kajian yang telah
disampaikan dapat bermanfaat uantuk pengembangan dan kemajuan
ilmu penegtahuan di bidang kearsipan.

REDAKSI
UPAYA MENYINGKAP FILSAFAT KEARSIPAN
(Suatu Kajian Awal Filsafat Kearsipan)

Drs. Banu Prabowo, MSi

Abstract :

The philosophy of archival science is the foundation of archival science


development. The article encompasses three philosophy elements of
archival science: ontology, epistemology, and axiology. The question
answered from ontology is "what should be known", or about "being".
The question answered from epistemology is "how to get science", and
the question answered from axiology is about "the practice of archival
science for human living".

Key words : philosophy, ontology, epistemology, axiology, paradigm,


system, life cycle, records continuum.

A. Latar Belakang Masalah


“Masalah kearsipan itu kan cuma masalah bagaimana menemukan
kembali dengan cepat, dibolak-balik ilmu arsip itu ya .. cuma itu-itu,
saja”. Begitulah kata sebagian orang di masyarakat kita. Begitu
sederhanakah ilmu arsip itu, kalau begitu apa bedanya dengan resep
masak, cara membuat kue? Tulisan ini mencoba membongkar filsafat
kearsipan, sehingga kearsipan tidak disalah mengerti hanya sekedar
bagaimana menemukan berkas dengan cepat, tepat saja. Apakah filsafat
kearsipan itu? Apakah Kearsipan itu ilmu? Jika disebut ilmu apa
ketentuannya?

1
B. Rumusan Masalah

Filsafat adalah suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh,


suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya (Yuyun,
2003:4). Sedangkan Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang mempunyai
ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan
lainnya .

Ciri-ciri ilmu pada hakekatnya adalah didasarkan atas jawaban


yang diberikan oleh ilmu terhadap tiga pertanyaan: apakah yang ingin
kita ketahui, bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan, apakah nilai
pengetahuan tersebut bagi kita. Dalam bahasa ilmu maka dikenal :
Ontologi, Epistemologi, aksiologi.

Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui, seberapa


jauh kita ingin tahu? Dengan kata lain pengkajian mengenai teori tentang
ada, atau perhatian atas yang ada (being), apa yang ingin diketahui
(known) (Jerome R.Ravertz, 2009:86). Epistemologi membahas tentang
bagaimana kita mendapat pengetahuan tentang obyek tersebut (teori
pengetahuan) atau metode-metode yang dipakai dalam mempelajari
fenomena (Ravertz, 2009: 88) Aksiologi adalah teori tentang nilai, atau
manfaat ilmu.

Dengan demikian rumusan masalah dalam kajian ini adalah:


apakah obyek kajian kearsipan, bagaimana pengetahuan kearsipan
diperoleh, dan apakah kemanfaatan ilmu kearsipan itu?

C. Maksud dan Tujuan

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri spesifik mengenai


apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi).
Demikian juga dengan kearsipan.

2
Penelitian ini berupaya mendiskripsikan filsafat ilmu kearsipan
dan ingin menjawab tiga permasalahan: apa obyek kajian ilmu kearsipan,
bagaimana cara memperoleh ilmu kearsipan, dan apa manfaat ilmu
kearsipan. Dengan kajian ini diharapkan kesalahpahaman tentang kearsipan
dapat diluruskan, dengan demikian diharapkan selanjutnya "Kearsipan"
mendapat perhatian serius terutama dalam pengembangan dan pengkajian
kearsipan sebagai ilmu.

D. Kerangka Teori
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri
tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan
lainnya (Yuyun, 2003:4). Ciri-ciri ilmu didasarkan atas jawaban yang
diberikan oleh ilmu terhadap tiga pertanyaan :
- apakah yang ingin kita ketahui (Ontologi) ?
- bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan (Epistemologi) ?
- apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita (Aksiologi) ?

1. Ontologi ilmu
Ontologi berasal dari kata Yunani, yang terdiri atas dua kata,
Ontos artinya ada dan logos artinya ilmu, jadi secara etimologis,
ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang yang ada. (Makmur,
2006:41). Ontologi ingin menjawab pertanyaan tentang: apakah
yang ingin diketahui, atau obyek ilmu. Obyek kajian atau bidang
telaah adalah apa yang terjangkau fitrah pengalaman manusia
(empiris). Fakta empiris adalah fakta yang dapat dialami langsung
oleh manusia dengan mempergunakan panca indera, ruang lingkup
kemampuan pancaindera membentuk dunia empiris.
Jadi, Ontologi bicara tentang obyek kajian ilmu, apa yang
menjadi bidang telaah ilmu. Pertanyaan selanjutnya adalah apa
yang menjadi ciri ilmu itu? Ilmu mempunyai ciri bahwa: obyek
yang ditelaah terjangkau oleh manusia, mempunyai asumsi tentang
obyek empiris.

3
Obyek yang ditelaah yang terjangkau oleh manusia/orientasi
terhadap dunia empiris. Kehidupan sesudah kematian bukan
merupakan ilmu karena tidak terjangkau oleh manusia. Mempunyai
asumsi tentang obyek empiris. Ada tiga asumsi: Mempunyai
keserupaan, suatu obyek tidak mengalami perubahan dalam jangka
waktu yang panjang, determinisme (Jujun, 2003:7-8)
Asumsi pertama: obyek-obyek tertentu mempunyai
keserupaan satu sama lain, berdasarkan ini, maka dapat
dikelompokkan beberapa obyek yang serupa kedalam satu golongan.
Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap
obyek-obyek yang ditelaah. (h.8). Obyek kajian dikenal: obyek
kajian karena isi disebut Obyek Material, sedangkan Obyek kajian
karena bentuk terjadinya disebut Obyek Formal (Faried Ali,
2006:1).
Arsip, Museum, dan Perpustakaan adalah kelompok klasifikasi
yang sama, yang memiliki obyek material yang sama yaitu Recorded
Information (informasi yang terekam). Namun ketiga bidang ilmu
tersebut memiliki Obyek Formal yang berbeda. Obyek forma
kearsipan adalah informasi yang terekam yang dihasilkan oleh
sebuah lembaga, badan, organisasi atau perorangan sebagai bagian
dari kegiatannya, baik kegiatan bisnis, tugas maupun karena
kewajiban hukum.
Obyek formal arsip mempunyai karakteristik alami
(naturalness) yaitu terkumpul karena tujuan praktis kegiatan
administrasi. Arsip bukanlah dokumen yang secara sengaja
dikumpulkan sebagaimana museum, dan bukan merupakan karya
yang sengaja dibuat sebagaimana bahan pustaka.
Pengertian Records dalam terminologi kearsipan yang
dikeluarkan oleh organisasi profesi kearsipan International Council
on Archives (ICA, 1988) menyebutkan bahwa arsip (records)
adalah: informasi yang terekam dalam media apapun yang diterima,
dibuat dan dikelola oleh suatu badan, lembaga, organisasi atau

4
individu dalam rangka pelaksanaan kegiatan atau kewajiban
hukumnya. Pengertian record(s) menurut International Standard
Organization (ISO) 15489, record (s) adalah information created,
received and maintained as evidence by an organization or person,
in pursuance of legal obligation or in the transaction of business.
Arsip adalah informasi yang dibuat, diterima, dan dipelihara sebagai
bukti dan informasi oleh organisasi atau orang sesuai kewajiban
hukum atau dalam transaksi dari suatu bisnis/urusan.
Asumsi yang kedua anggapan bahwa suatu benda tidak
mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan itu
tidak bisa dilaksanakan jika obyek selalu berubah-ubah. Oleh sebab
itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian relatif, artinya: sifat-
sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu
tertentu . Obyek Ilmu Arsip: informasi yang terekam dari hasil
kegiatan organisasi. Organisasi mempunyai sifat tidak berubah-
ubah, fungsi organisasi menurut Mintzberg selalu terkait dengan
lima fungsi (Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Lembaga
Administrasi Negara, 2004:63): Strategic Apex fungsi yang
dilaksanakan oleh pimpinan tingkat puncak, the operating core
adalah fungsi untuk melaksanakan secara langsung tugas pokok
organisasi, the middle line yaitu: fungsi penghubung antara strategic
apex dengan operating core, sedangkan the technostructure adalah:
fungsi untuk merumuskan, membuat standardisasi-standardisasi
atau kebijakan-kebijakan tertentu yang harus dilaksanakan oleh
setiap unit organisasi, the support staff adalah fungsi yang sifatnya
memberikan dukungan kepada unit-unit organisasi lainnya dalam
rangka pencapaian tujuan organisasi( hal 63).
Asumsi yang ketiga: determinisme, kita menganggap bahwa
setiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang kebetulan
(Jujun, 2003: 8), tiap gejala mempunyai pola-pola tertentu yang
bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Ilmu tidak
mengemukakan bahwa x selalu mengakibatkan y, melainkan

5
mengemukakan bahwa x punya peluang yang besar mengakibatkan
y. Contoh: Setiap pemusnahan arsip yang berpedoman pada Jadwal
Retensi Arsip dan mengikuti prosedur pemusnahan mempunyai
kemungkinan yang besar tidak akan menyisakan permasalahan
hukum.

2. Epistemologi Ilmu
Epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara
mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita
memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang
diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. (Jujun, 2003:9).
Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama itu
terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh
dengan metode keilmuan sudah sah disebut sebagai ilmu.
Metode keilmuan memiliki dua pola : berpikir secara rasional,
dan berpikir secara empirisme (Jujun, 2003:10). Faham
rasionalisme : menyatakan bahwa ide kebenaran sebenarnya sudah
ada. Pikiran manusia dapat mengetahui ide seperti itu, tetapi tidak
menciptakannya, dan tidak pula mempelajari lewat pengalaman
dengan kata lain ide tentang kebenaran yang menjadi dasar
pengetahuan diperoleh lewat berpikir secara rasional, terlepas dari
pengalaman manusia. Metode ini dikenalkan oleh Plato dengan
konsep ide dan dunia ide. Pada abad ke 17 muncul Rene Descartes
(Ravertz, 2009:89).
Paham empirisme, pengetahuan tidak ada secara apriori
dibentuk manusia melainkan harus diperoleh dari pengalaman,
lalu berkembanglah dengan apa yang disebut pola berpikir empiris
(Jujun, 2003:10).
Aristoteles (Bagus Takwim,2003:28) menyebutkan bahwa
manusia memperoleh pengetahuan dari alam melalui proses inderawi
yang kemudian diolah menjadi ide. Berangkat dari penginderaan
manusia mempersepsi segala hal yang ada di alam semesta, lalu

6
dengan abstraksi menghasilkan ide. Pada abad ke-18 dikenal
seorang empirisis Inggris, John Locke (Ravertz, 2009: 89)
Dua hal penting dalam keilmuan: Ilmu berkembang atau
dikembangkan melalui pengolahan pikiran para ilmuwan atau
pakar-pakar disiplin ilmu yang bersangkutan dan Setiap ilmu pasti
mempunyai Teori. Hal pertama terkait dengan apa yang dikenal
dengan konsep "Paradigma", sedangkan hal yang kedua terkait
dengan "Teori" .

a. Paradigma dalam Kearsipan


Kata paradigma terkenal sejak Thomas Kuhn menerbitkan
tulisannya yg berjudul: the structure of scientific revolution
tahun 1962 yang dikenal dengan Khun's paradigma.
Menurut Kuhn, ilmu berkembang atau dikembangkan melalui
pengolahan pikiran para ilmuwan atau pakar pakar disiplin ilmu
yang bersangkutan. Dalam memahami perubahan paradigma harus
dipelajari bagaimana secara historis perubahan berpikir dihubungkan
dengan karakteristik sosiologis masyarakat ilmiah (Asmawi
Rewansyah, 2010:25). Perubahan berpikir yang menghasilkan
perubahan paradigma dipengaruhi oleh tuntutan perkembangan
masyarakat dan perubahan-perubahan lingkungan .
Ciri pokok paradigma adalah suatu pemikiran berdasarkan
asumsi-asumsi terhadap dunia nyata disekelilingnya, lebih khusus
lagi adalah sikap berpikir terhadap fenomena yang berkembang
dari waktu ke waktu (Rewansyah, 2010 : 25)
Dalam sejarah kearsipan pergeseran paradigma yang terjadi
dapat dibagi menjadi tiga tahap: Paradigma Life Cycle, Paradigma
Records Continuum.

b. Teori Sistem
Setiap ilmu pasti mempunyai Teori. Sebagaimana yang
dikatakan Jujun S. Soemantri bahwa teori merupakan pengetahuan
ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu
dari sebuah disiplin keilmuan. (1987:143), sedangkan Kerlinger
mengatakan bahwa teori adalah seperangkat konstruk (konsep),

7
batasan, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis
tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar
variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala
itu (2004:14). Secara ringkas ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang
memberikan penjelasan mengapa suatu gejala terjadi. Sedangkan
pengetahuan ilmiah mempunyai fungsi: menjelaskan, meramalkan
dan mengontrol.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa teori
merupakan penguraian hubungan antar gejala, yang berfungsi
sebagai penjelasan, peramalan suatu gejala.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum yang berfungsi
memberikan kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi
(Yuyun, 147). Prinsip yang berfungsi sebagai pernyataan yang
berlaku secara umum bagi sekelompok gejala tertentu yang mampu
menjelaskan kejadian yang terjadi; Postulat yaitu: asumsi dasar
yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya
(Yuyun,155); Asumsi adalah pernyataan yang kebenarannya secara
empiris dapat diuji (Yuyun, 157)
Penggunaan suatu teori pada suatu disiplin ilmu dengan cara
meminjam teori lain dalam keilmuan disebut dengan hibridisasi
ilmu (Nuri Suseno: 2), Konsep sistem misalnya, berasal dari disiplin
ilmu fisika, kemudian biologi menggunakan konsep ini.
Perkembangan selanjutnya ilmu sosial meminjam teori sistem
yaitu sosiologi. Ilmu lain pun meminjam konsep "teori sistem."
Kata Sistem berasal dari bahasa Yunani: to systeme berarti
susunan. Beberapa unsur dalam chaos awal disusun dengan cara
tertentu. Suatu "sistem" didefinisikan sebagai suatu keseluruhan
dalam arti kesatuan yang lebih daripada sekedar jumlah bagian-
bagiannya … suatu jumlah unsur-unsur dan juga hubungan diantara
mereka satu sama lain. Untuk membentuk suatu keseluruhan yang
teratur, didalamnya terjadilah seleksi, relasi dan kontrol atas
unsur-unsur pembentuknya (F. Budi Hardiman, 2008:2)

8
Ludwig von Bertalanffy tahun 1930-an mengubah paradigma
konsep sistem, ia mendobrak konsep sistem tidak hanya pada ilmu
biologi, tetapi juga ilmu-ilmu sosial seperti ekonomi, psikologi
pedagogi, dan sebagainya. Ia mengembangkan "teori sistem umum".
Dari dia dikenal berbagai konsep dasar dalam teori sistem seperti:
sistem terbuka, tertutup, organisasi diri, kibernetika/sistem otomatis,
misal: sistem saraf, otak (Hardiman, 2008:2).
Teori sistem Parson: tatanan sosial bukanlah tatanan koersif
dan juga bukan produk transaksi para faktor strategis yang
egosentris, melainkan merupakan hasil konsensus nilai-nilai yang
melibatkan tiga komponen sekaligus, yaitu: masyarakat, kebudayaan,
dan kepribadian. Kebudayaan merupakan pola nilai dan norma
dominan yang menstruktur proses-proses tindakan sosial, maka
teori sistemnya disebut "teori sistem struktural-fungsional. Struktur
memungkinkan bertahannya bangunan sosial dengan fungsi-fungsi
yang terdiferensiasi didalamnya (Hardiman, 2008:3).
Menurut Luhmann (Hardiman, 2008: 5) Perkembangan teori
sistem umum dalam tiga tahap. Tahap Pertama: teori sistem umum
berfokus pada penjelasan tentang hubungan antara keseluruhan
dan bagian-bagian. Tahap kedua: teori sistem bukan sebagai
susunan tertutup, tetapi terbuka karena terjadi proses pertukaran
antara sistem dan lingkungannya. Tahap ketiga: terjadi peralihan
paradigma lagi. Konsep otopoiesis muncul untuk menjelaskan apa
itu sistem.
Kata Otopoiesis berasal dari kata Yunani autos (sendiri), dan
poiein (membuat), maka artinya: membuat sendiri, menciptakan
sendiri, organisasi diri. Ciri otopoiesis: sistem-sistem sosial
menghasilkan keutuhan mereka sendiri dan komponen-komponen
yang menghasilkan keutuhan mereka itu. Luhmann mengatakan:
setiap perubahan suatu system adalah perubahan lingkungan
sistem-sistem lainnya, setiap pertumbuhan kompleksitas disuatu

9
tempat akan memperbesar kompleksitas lingkungan untuk
sistem-sistem lainnya (Hardiman,6).
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa teori
sistem merupakan suatu Kesatuan yang utuh yang terdiri atas sub
system-sub system yang saling terkait. Subsistem subsistem tersebut
dapat merupakan suatu sistem tersendiri.
Bagaimana teori dalam kearsipan? Pada kajian ini penulis
akan mengkaji teori sistem kearsipan. Sesuai dengan konsep teori
sistem.

3. Aksiologi Ilmu

Jujun S. Suriasumantri mengartikan aksiologi sebagai teori


nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh (1987:234). Selanjutnya ia mengatakan bahwa landasan
aksiologi adalah kemaslahatan manusia artinya segenap wujud
pengetahuan secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup manusia
(1987: 294).
Sedangkan Makmur mengatakan bahwa Konsep aksiologi
ilmu dimulai dari penerapan atau penggunaan sampai pengembangan
dan pemanfaatan ilmu dalam kehidupan manusia. Dan yang menjadi
landasan dalam tataran aksiologi ilmu adalah: bagaimana ilmu
digunakan sehingga memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kebahagiaan dan kesejahteraan merupakan perwujudan harapan
manusia yang diinginkan ( 2007:83).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa aksiologi
mempertanyakan apa kemanfaatan suatu ilmu bagi kehidupan
manusia.
Dasar dari pandangan aksiologi adalah pemikiran Francis
Bacon seorang perintis filsafat pengetahuan. Bagi Bacon
pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang menghasilkan
sesuatu yang mencari keuntungan, yang memperbesar kemampuan

10
dan kekuasaan manusia. Knowledge is power menjadi semboyannya
(Christ Verhaak,1993:15). Bacon memberi tiga contoh: Mesiu
(gun powder) yang menghasilkan kemenangan dalam perang
modern, dengan sedikit orang bisa mengalahkan beratus bahkan
beribu pasukan dengan senjata tradisional; Kompas (magnetism)
yang memungkinkan manusia mengarungi lautan ke Asia dan
Amerika tanpa perlu menyusuri pantai-pantai; Percetakan (printing)
yang mengalahkan segala penyebaran buku yang ditulis tangan.

E. Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu (Sofyan
Effendi, 1984:4) yaitu: Kearsipan sebagai ilmu, dengan mengambil fokus
kajian Filsafat Kearsipan.
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah dengan metode
kepustakaan yaitu dengan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk
memperoleh data penelitian. Adapun alasan pembatasan metode ini
adalah karena studi ini merupakan studi pendahuluan (prelimanary
research) untuk memahami lebih mendalam gejala baru yang tengah
berkembang di lapangan atau dalam masyarakat (Mestika Zed, 2008:2).
Mestika mengatakan bahwa studi pustaka adalah serangkaian kegiatan
yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca,
dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (2008:3).

F. Hasil dan Analisis


Hasil kajian ini akan disajikan berturut turut mulai dari Ontologi
ilmu kearsipan yang meliputi: Obyek kajian arsip dinamis, obyek kajian
arsip statis, Epistemologi dan aksiologi ilmu kearsipan.

11
1. Obyek Kajian Arsip Dinamis
Ontologi atau obyek kajian dapat dibedakan menjadi obyek
kajian material dan formal. Obyek kajian material dari records
management adalah "recorded information", sedangkan obyek
kajian formalnya adalah Informasi yang terekam
(recorded information) yang terkait dengan kegiatan organisasi
atau pun orang. Records atau arsip dinamis (Peter Walne, 1988:128)
adalah: recorded information (document) regardless of form or
medium created, received and maintained by an agency, institution,
organisation or individual in pursuance of its legal obligations or
on transaction of business.
Bagaimana suatu organisasi terkait dengan arsip.
Arsip diciptakan awalnya untuk memenuhi kebutuhan organisasi,
bukan memenuhi kebutuhan peneliti (National Archives of Australia,
Fact Sheet: What are archives? 4, November 2002).
Ketika membahas obyek kajian arsip hal yang pertama harus
dipahami adalah pengertian organisasi. Banyak definisi tentang
organisasi (Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, Gadjah Mada Universty
Press, 2006) tetapi dalam kajian ini penulis lebih condong memilih
pengertian bahwa Organisasi merupakan kumpulan orang yang
melakukan kerjasama melalui pembagian kerja untuk mencapai
suatu tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain Organisasi
terdiri atas tiga unsur (lihat bagan di bawah): Kumpulan Orang,
Kerjasama, Mencapai Tujuan.
Kumpulan orang sedikitnya dua orang, kita ambil contoh
adalah keluarga, minimal terdiri dari pasangan suami dan istri,
mereka sepakat untuk mencapai tujuan bersama yaitu kebahagiaan
atau pada masa Orde Baru (ORBA) biasa dirumuskan dengan
slogan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS).
Jumlah kumpulan yang lebih banyak maka disebut masyarakat
(society). Konsep society ini bisa dalam artian sosial maupun
masyarakat yang berprofit atau dikenal dengan organisasi sosial

12
ataupun organisasi bisnis, jelas mereka mempunyai tujuan.
Organisasi bisnis tujuannya adalah profit dan kelangsungan hidup.
Dalam mencapai tujuan ini mereka melakukan kegiatan yang
merupakan unsur kegiatan substantif, dan fasilitatif. Baik substantif
maupun fasilitatif dikelola dengan suatu proses manajemen, yang
secara sederhana dibagi menjadi planning, organizing, actuating,
dan controlling. Substantif terkait dengan kegiatan pokok, misal
perusahaan mempunyai kegiatan substantif: produksi, marketing.
Sedangkan kegiatan fasilitatif adalah kegiatan pendukung
seperti : personalia, keuangan, perlengkapan, dsb.
Jumlah kumpulan yang lebih besar dari masyarakat adalah
negara. Konsep negara itu sendiri dapat kita pahami melalui
pendapat beberapa ahli, Miriam Budiardjo misalnya mengatakan
negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah
oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga
negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui
penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah
(Miriam, 2008:49). Negara terdiri dari beberapa unsur: wilayah,
penduduk, pemerintah, dan kedaulatan.
Dalam rangka mencapai tujuan negara maka perlu manajemen
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Manajemen
pemerintahan secara sederhana meliputi perencanaan, organizing,
actuating, controlling agar tujuan yang ditetapkan bisa tercapai.
Proses kegiatan lembaga negara, badan pemerintahan dari
paradigma kearsipan akan terlihat bahwa lembaga negara, badan
pemerintah membuat dan menerima informasi yang terekam
(recorded information) dalam bentuk kertas maupun non kertas.
Selanjutnya informasi yang terekam tersebut menjadi bahan
pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan.

13
Sumber : Banu Prabowo, Manajemen Dokumen Perusahaan, Kumpulan
Makalah , 2005.

Untuk lebih detail melihat obyek kajian forma records


management dapat digunakan teori Mintzberg yang selalu
mengaitkan organisasi dengan lima fungsi: Strategic Apex, The
operating core, The middle line, The technostructure, The support
staff (Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Lembaga Administrasi
Negara, 2004:63).
Strategic Apex adalah fungsi yang dilaksanakan oleh pimpinan
tingkat puncak dalam suatu organisasi yang diberi tanggungjawab

14
terhadap organisasi tersebut. Dalam lembaga eksekutif fungsi
strategic apex berada ditangan presiden, dalam kementrian berada
di tangan menteri, dalam perusahaan adalah pimpinan
perusahaan (Direktur Utama).
The operating core adalah fungsi untuk melaksanakan secara
langsung tugas pokok organisasi, dalam lembaga pemerintah
negara(eksekutif ) berada di kementrian. Dalam sebuah perusahaan
berada di unit bisnis, misal perbankan pada: Treasury, Dana dan
Jasa, Perkreditan. Pada organisasi pemerintah daerah berada pada
dinas-dinas.
The middle line yaitu: fungsi penghubung antara strategic
apex dengan operating core, dalam pemerintah pusat dilaksanakan
oleh kantor kementrian koordinator.
The technostructure adalah: fungsi untuk merumuskan,
membuat standardisasi-standardisasi atau kebijakan-kebijakan
tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap unit organisasi, fungsi
ini pada pemerintah pusat dilaksanakan oleh sebagian LPND,
Badan Litbang, Badan Diklat.
The support staff adalah fungsi yang sifatnya memberikan
dukungan kepada unit-unit organisasi lainnya dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi fungsi ini dilaksanakan oleh sekretariat.
Dalam konteks kearsipan lima fungsi diatas terutama digunakan
untuk menjawab functional analysis (Gerald Ham, 1993:51) yaitu
untuk mengetahui: siapa menciptakan arsip apa, dan untuk tujuan
apa ? Terkait dengan hal tersebut tiga basis pertanyaan dasar yang
harus diperhatikan adalah:
- pada tingkat apa level pembuat kebijakan?
- apa arti penting fungsi unit organisasi pencipta arsip?
- arsip apa yang tekait dengan fungsi yang signifikan dalam
organisasi?

15
2. Obyek Kajian Arsip Statis
Kearsipan merupakan pengetahuan terapan yang berkaitan
dengan informasi yang terekam, penyajian informasi, seperti yang
dikatakan Michael Swift sebagaimana dikutip Mona Lohanda
(Makalah Penelitian dalam Kearsipan, 16 Juni 2001): Profesi
kearsipan itu bergerak dibidang pengetahuan teknis bagaimana
informasi diciptakan, disimpan, dilacak, dirawat, dan ditransmisikan.
Jadi, pada dasarnya keahlian tersebut berpokok pada
“The identification and preservation of information of long
term value”
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa obyek kajian
forma arsip statis adalah: terkait dengan apa yang harus diidentifikasi
dan dilestarikan, dan apa itu arsip statis:
Pertama: Apa yang harus diidentifikasi dan dilestarikan.
Fokus dari obyek kajian arsip statis adalah arsip sebagai hasil
dari tata kelola (governance), tugas kearsipan adalah melestarikan
arsip sebagai bukti (evidence) dari tata kelola (governance) bukan
sekedar government (dominasi pada instansi pemerintah, stakeholder
adalah government institution).
Konsep governance mempunyai pijakan teoritis pada konsep
Total Archives yang diarsitekturi oleh Hugh Taylor Kanada tahun
1970 (Terry Cook, 1997). Arsip adalah hasil dari interaksi warga
negara dengan negara, bukti pertanggungjawaban pelayanan,
perlindungan negara terhadap masyarakatnya, dan refleksi dari
fungsi atau aktifitas masyarakat (society). Ada tiga komponen
governance: negara atau pemerintah, privat atau swasta, masyarakat
atau society (Asmawi Rewansyah, Reformasi Birokrasi dalam
rangka Good Governance, 2010: 87). The State (negara / pemerintah)
sebagai peletak dasar equity, justice, peace, creating a conductive
political and legal environment for development; The Private
Sector sebagai peletak dasar economic growth, job opportunitis
and development; The Civil Society peletak dasar bagi
liberty,equality, responsibility, and self expression
(Rewansyah, 2010: 88)

16
Jadi, obyek kajian arsip statis adalah arsip yang memiliki nilai
kesejarahan yang dihasilkan dari bukti tata kelola (governance)
yang meliputi: negara/ pemerintah, society, dan private sector,
bukan hanya kegiatan government yang bercirikan: didominasi
oleh instansi pemerintah, stakeholder dalam proses pengelolaan
seluruh aspek kehidupan masyarakat adalah government institution.
Kedua: Arsip Statis (Archives) adalah arsip yang memiliki
nilai abadi untuk tujuan riset, bangunan atau ruang dimana
arsip-arsip statis disimpan, organisasi yang bertanggungjawab atas
pemeliharaan dan pengendalian bahan-bahan arsip (Fact Sheet,
National Archives of Australia, Juni 2003). Pengertian ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan Judith Ellish dalam Bukunya yang
berjudul Keeping Archives (Ellis, 1993: 463): Arsip (records) yang
memiliki nilai abadi, Istilah ini digunakan untuk menggambarkan
arsip yang sudah dinyatakan dilestarikan secara permanen. Disebut
juga arsip permanen (permanent records); Arsip bisa merupakan
Tempat (gedung /ruang/ tempat penyimpanan) arsip-arsip statis
dikelola; Arsip juga bisa dikatakan suatu organisasi atau bagian
dari organisasi yang bertanggungjawab menilai, mengakuisisi,
melestarikan, dan membuat arsip-arsip statis tersedia untuk
digunakan.
Hal tersebut hampir sama dengan pengertian arsip statis yang
dikemukakan Betty Ricks (Ricks,1992: 566) yaitu fasilitas dimana
arsip-arsip suatu organisasi dilestarikan karena nilai abadinya atau
nilai kesejarahannya.
Jadi obyek kajian dalam arsip statis adalah recorded information
yang memiliki nilai kesejarahan, Schelenberg menyebut dengan
arsip yang mempunyai nilai guna se kunder yaitu Evidential values
dan informational values (Gerald Ham, Selecting and appraising
Archives and Manuscripts, The Society of American Archivists
Chicago, 1983: 8). Dengan kata lain arsip digunakan sebagai bahan
mentah untuk memahami sejarah sehingga dengan mudah bisa

17
memahami masa lalu, sebagaimana dikatakan Leopold van Ranke
(1795-1886) bahwa dengan mengumpulkan, menilai, dan
memverifikasi semua sumber yang tersedia seorang sejarawan
dimampukan untuk menyusun kembali peristiwa-peristiwa yang
terjadi masa lalu secara tepat, akurat, ilmiah, rasional (Eddy
Kristiyanto OFM, 2008:15).
Hal tersebut diatas tak lepas dari karakteristik arsip yang jujur
dan tidak memihak: Archival documents are impartial and can not
tell ... anything but the truth (Duranti, 1994:334). Disamping itu
arsip juga merupakan bukti tangan pertama untuk menyusun fakta
sebagaimana dikatakan oleh Jenkinson (Luciana Duranti,
1994 : 335): Archival documents provide ”first –hand evidence
because they form an actual part of corpus , of the facts of the
case.
Kunci menjadikan arsip sebagai sumber sejarah melalui
pengumpulan, penilaian, verifikasi sumber. Hal ini selanjutnya
menghasilkan ruang lingkup kajian arsip statis diantaranya
adalah: akuisisi arsip.

3. Epistemologi Kearsipan
Epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara
mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita
memperoleh pengetahuan. Bagaimana pengetahuan kearsipan
diperoleh, akan terlihat dari pembahasan tentang paradigma
kearsipan (pra life cycle, life cycle, records continuum), teori sistem
dan sistem kearsipan, aksiologi kearsipan.

a. Paradigma Pra Life Cycle


Pelopor Utama adalah Trio Arsiparis Belanda Samuel Muller,
Johan Feith, Robert Fruin dengan publikasi karya terkenal mereka
Manual for Arrangement and description of Archives tahun 1898.

18
Sumbangan terpenting adalah dikemukakannya prinsip penting
baik terkait dengan sifat dasar arsip (archives) dan perlakuan
atasnya. Ketiga orang tersebut menyatakan dalam aturan pertama
mereka bahwa dasar yang harus dibangun adalah pengertian arsip.
Arsip adalah keseluruhan dokumen tertulis, gambar dan bahan
tercetak yang secara resmi diterima atau dibuat oleh badan
administrasi atau dari pejabatnya (Terry Cook, 1997). Mereka
mengemukakan dua pilar dari teori kearsipan klasik: arsip harus
di simpan secara hati-hati, terpisah dan tidak boleh dicampur
dengan arsip dari pencipta arsip yang lain, atau ditempatkan
kedalam pengaturan artifisial berdasar atas kronologi, geografi
atau subyek, dan pengaturan arsip harus berdasar atas organisasi
asal arsip dimana harus cocok dengan unit kerja yang menciptakan.
Secara singkat disebut Provenance dan original order. Original
order berarti menyusun kembali arsip berdasar atas pemberkasan
asli dan sistem klasifikasi yang digunakan oleh penciptanya.
Pengaturan ini dipercaya akan memudahkan pengaturan dan
mengembalikan ke konteks asal. Provenance adalah arsip disimpan
secara terpisah atau tidak boleh bercampur dengan pencipta lain.
Pandangan Jenkinson menghasilkan prinsip bahwa semua
materi yang dicipta dan diterima oleh administrasi adalah archives.
Bagi Schelenberg archives hanyalah sebagian kecil yang sudah
dipilih dari sejumlah besar records yang akan disimpan sebagai
arsip statis.

b. Paradigma Life Cycle


Lahirnya Konsep Life Cycle
Arsiparis Amerika tidak puas dengan rumusan prinsip kearsipan
yang berdasar atas analisis terhadap dokumen tua yang jumlahnya
terbatas, juga tidak puas dengan menyandarkan: ”descriptive
science” dari Casanova, Jenkinson, dan penulis Belanda. Arsip
Nasional Washington dibentuk tahun 1934, ia mewarisi timbunan
arsip negara federal yang belum dikerjakan sejumlah sekitar satu
juta meter, dengan tingkat pertumbuhan lebih dari 60.000 meter

19
setahun. Tahun 1943 tingkat pertumbuhan arsip mencapai 600.000
meter per tahun .
Permasalahan dari prinsip Jenkinson adalah: terlalu banyak
records yang akan dikelola secara buruk dan bahkan bisa hilang
sebelum arsiparis mengambil untuk menyimpannya.
Dari kasus itu kemudian lahir konsep daur hidup arsip dimana
records pertama-tama diorganisir dan secara aktif digunakan oleh
penciptanya, kemudian disimpan di records center karena sudah
jarang digunakan, kemudian ketika kegunaan operasional sudah
berakhir dipilih yang bernilai statis dan diserahkan ke lembaga
kearsipan atau dimusnahkan untuk arsip yg tidak bernilaiguna.
Daur hidup arsip merupakan cara yang populer dalam
memandang arsip. Konsep daur hidup berasal dari ilmu alam
yaitu: suatu keseluruhan proses rangkaian sejarah hidup suatu
organisme, katak misalnya mulai dari telur katak, kecebong,
katak muda, sampai katak dewasa, dan akhirnya mati
(Sue Mc Kemmish,1997:5)
Daur hidup arsip mencakup dua hal: daur hidup pertama dan
kedua. Daur hidup (a life cycle) pertama sebagai daur hidup arsip
dinamis (a record), sedangkan daur hidup kedua sebagai daur hidup
arsip statis (the archives life cycle).
Kennedy (1998:9) membagi menjadi lima fase utama daur
hidup yang pertama yaitu: penciptaan, distribusi, penggunaan,
pengelolaan, penyusutan. Sedang daur hidup yang kedua dimulai
saat daur hidup pertama selesai, ini disebut daur hidup arsip statis
dimana arsiparis mengidentifikasi dan menilai arsip-arsip bernilai
abadi (continuing value), mengelola, menyajikan arsip kepada
pengguna.
Elemen program manajemen arsip menurut Kennedy
(1998: 3) terdiri atas: Sistem pengelolaan arsip (recordkeeping
systems), analisis kebutuhan manajemen arsip dinamis, penilaian
dan penyusutan arsip, Manajemen penangkapan dan penciptaan
arsip dinamis, manajemen arsip aktif, kebijakan dan prosedur,

20
program pelatihan, manajemen arsip inaktif, program perlindungan
arsip vital.
Betty Ricks melihat daur hidup arsip terdiri atas: penciptaan/
penerimaan arsip, distribusi, penggunaan, pemeliharaan, penyusutan.
Penciptaan dan penerimaan (meliputi: klasifikasi arsip,
korespondensi, formulir, laporan, input output komputer), distribusi
intern, ekstern ( meliputi: Electronical mail, sistem persuratan,
akses terhadap database ).
Penggunaan (meliputi: filing, retrieving / penemuan kembali,
transfer arsip), Penyusutan (meliputi: arsip inaktif, pemusnahan
arsip, Jadwal Retensi arsip).
Pendekatan Life Cycle mengenal dikotomi urusan yaitu
tanggungjawab pengelolaan arsip dinamis oleh manajer arsip
dinamis, sedang tanggungjawab arsip statis oleh manajer arsip
statis. Tetapi, manajemen arsip statis merupakan kelanjutan dari
manajemen arsip dinamis, hal ini ditunjukkan oleh Betty
R.Ricks(1992:306).
Records management: kendali yang sistematis arsip dinamis
dari penciptaan, penerimaan, melalui proses masing-masing,
distribusi, pengorganisasian, penyimpanan, dan penemuan kembali,
penyusutan arsip. Sedangkan archives management adalah prosedur
pengendalian untuk pelestarian arsip bersejarah dan menyediakan
jalan masuk untuk pengguna arsip agar arsip bisa dimanfaatkan.

c. Paradigma Record Continuum


Paradigma ini muncul karena permasalahan yang dihadapi
ketika menemui masalah dalam paradigma Life Cycle. Tahun-
tahun sekitar 1997 arsiparis Australia telah mengembangkan suatu
kontribusi pada diskursus kearsipan dan revitalisasi pemikiran
provenance tentang konteks dan karakteristik arsip. Paradigma ini
muncul sebagai reaksi dari skandal publik, dimana arsip-arsip
penting hilang atau secara sengaja dimusnahkan. Sue Mc Kemmish

21
dan Frank Upward telah menulis konsep akuntabilitas melalui
Records Continuum (Terry Cook, 1997).
Pendekatan ini tidak melihat arsip sebagai suatu daur hidup
tetapi sebagai suatu hal yang bersinambungan. Pada pendekatan
continuum arsip-arsip bernilai statis sudah diketahui sejak awal
karena hal tsb sudah dicakup dalam desain sistem, cara berpikir
dalam kontinum adalah adanya integrasi antara proses arsip dinamis
(recordkeeping) dan proses arsip statis. Tetapi, dalam pendekatan
life cycle, adanya disposal (penyusutan) sebagai daur hidup yang
mencakup identifikasi arsip bernilai abadi pada tahap akhir dari daur
hidup arsip menunjukkan bahwa life cycle tidak menekankan perlunya
sistem yang dirancang untuk menjamin pengambilan arsip bernilai
statis pada saat awal.
Pendekatan Kontinuum mengenal adanya empat dimensi:
Penciptaan (create), Penjaringan (Capture), Organize, Pluralize.
Dimensi pertama adalah Lingkaran terkecil : disebut dimensi
Penciptaan. Dimensi ini mencakup aktor yang melakukan tindakan
(memutuskan, berkomunikasi, bertindak), tindakan itu sendiri (act),
dokumen yang merekam tindakan, dan bekas/ jejak tindakan (trace)
yang merupakan representasi tindakan.
Dimensi kedua adalah lingkaran kedua : disebut dimensi
penangkapan (capture). Mencakup sistem pengelolaan arsip corporate
dan personal yang menangkap dokumen dlm konteks dimana tindakan
(act) dibuktikan dengan alat bukti (evidence) dari aktifitas unit yang
bertanggungjawab melakukan aktifitas. Record (the archival
document) dalam pengertian ini dikonsepkan sebagai informasi yang
terekam yang muncul dari adanya transaksi.
Dimensi ketiga adalah lingkaran ketiga disebut dimensi
pengorganisasian (Organize) dimensi ini mencakup pengorganisasian
dari proses pengelolaan arsip. Hal itu berkaitan dengan cara dimana
organisasi atau perorangan menetapkan cara pengelolaan arsip
(records) yang merupakan bentuk arsip yang mempunyai nilai
permanen (archive) sebagai memori dari fungsi organisasi atau

22
fungsi sosial. Arsip sebagai memori organisasi (corporate memory),
memori dari fungsi-fungsi suatu organisasi, baik fungsi substantif,
fasilitatif maupun fungsi sosialnya.
Dimensi ketiga ini arsip telah menjadi bagian dari sistem formal
dari penyimpanan dan penemuan kembali memori korporasi/
organisasi.
Dimensi Keempat: berkaitan dengan perhatian pada cara dimana
arsip statis (archives) yang dihasilkan sebagai bukti memori kolektif,
memori historis, memori budaya dari berbagai jenis organisasi
ataupun individu. Kennedy menyebutnya Arsip telah menjadi bagian
dari sistem arsip statis (archival systems) yang berasal dari berbagai
macam organisasi (Kennedy, 1997:12).
Pemikir continuum berbeda dengan life cycle. Kalau pemikir
life cycle memandang dua posisi yang berbeda dari profesi
arsip:manajer arsip dinamis (records manager) berkaitan dengan
memori organisasi (corporate memory),dan arsiparis (Archivist)
berkaitan dengan memori kolektif bangsa (collective memory), maka
pemikir continuum melihat dua profesi merupakan perspektif yang
bersamaan bukan bergantian tahap. Dari pendekatan tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa arsiparis di Indonesia menganut pendekatan
continuum karena tidak dibedakannya arsiparis arsip dinamis dan
arsip statis.
Dari pendekatan kontinuum diatas dapat dinyatakan
bahwa :
a. Dimensi pertama dokumen sebagai trace dari aktor yang
melakukan tindakan
b. Dimensi kedua records sebagai bukti kerja (evidence)
c. Dimensi ketiga merupakan dimensi arsip sebagai corporate
memory atau arsip sebagai memori dari suatu organisasi.
Penulis berpendapat bahwa dimensi ini merupakan dimensi
arsip Inaktif dimana organisasi kearsipan yang sesuai adalah
Unit Kearsipan
d. Dimensi keempat merupakan dimensi arsip sebagai collective

23
memory atau arsip sebagai memori kolektif yang melintas
batas organisasi . Penulis berpendapat bahwa dimensi ini
merupakan dimensi arsip statis dimana organisasi kearsipan
yang cocok adalah lembaga kearsipan.

24
4. Teori Sistem dan Sistem Kearsipan
a. Bagaimana Teori Sistem Kearsipan disebut Sistem?
Setiap sistem mempunyai sifat: terdiri dari banyak bagian, bagian
itu saling berinteraksi dan saling tergantung, sistem itu mempunyai
perbatasan yang memisahkan dari lingkungannya yang juga terdiri
dari sistem lain. Demikian juga dengan sistem kearsipan.
Dalam mengkaji teori sistem kearsipan, penulis menggunakan
model aktivitas dan entitas yang dikenalkan oleh University of
Columbia Master of Archival Studies Research Team dan U.S
Departement of Defense Records Management Task Force . Dalam
Activity and Entity Models hal yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan arsip adalah menghubungkan pengelolaan arsip dengan
komponen-komponen yang terkait erat (Genesis and preservation
of Agency’s Archival fonds, 1996).
Dalam kajian ini teori sistem disebut Teori Sistem Kearsipan.
(gambar.1). Dalam model ini dibedakan adanya empat Komponen
(lihat gambar): Input, Proses, Output, Kontrol, Sarana.
1) Komponen Input adalah: masukan atau asupan yang harus
dijadikan perhatian utama dalam Teori Sistem Kearsipan, hal
ini dimaksudkan agar Output Sistem Kearsipan yaitu: arsip
sebagai akuntabilitas dan arsip sebagai memori kolektif. Input
mencakup dua hal: Dokumen yang dihasilkan, Informasi
tentang pencipta dokumen (Records creator) dan dokumennya
(its records).
2) Komponen Proses: Sistem Kearsipan Dinamis, dan Sistem
Kearsipan Statis.
a) Komponen Proses Sistem Kearsipan Dinamis adalah
proses pengelolaan arsip dinamis yang meliputi penciptaan
/ penerimaan arsip, distribusi, penggunaan, pemeliharaan,
penyusutan. Penciptaan dan penerimaan (meliputi:
klasifikasi arsip, korespondensi, formulir, laporan, input

25
output komputer), distribusi intern, ekstern (meliputi:
Electronical mail, sistem persuratan, akses terhadap
database), Penggunaan (meliputi : filing, retrieving /
penemuan kembali, transfer arsip, alih media), Penyusutan
(meliputi: arsip inaktif, pemusnahan.
b) Komponen proses sistem kearsipan Statis adalah : Akuisisi
arsip, Pengolahan, perawatan dan pelestarian,
Pemanfaatan.
3) Komponen kontrol adalah : pengendali dalam pengelolaan
arsip agar pengelolaan arsip mengikuti ilmu, kaidah standar,
aturan hukum kearsipan termasuk komponen ini adalah:
Pengetahuan / ilmu kearsipan (archival science), Peraturan
perundang-undanganan (Juridical system), Tugas dan fungsi
organisasi (Creator’s mandate and functions), standard nasional
dan internasional (National and International standards ),
4) Komponen Sarana: merupakan faktor pendukung
kelengkapan pengelolaan arsip, tanpa faktor ini maka
pengelolaan arsip tidak bisa dilaksanakan, komponen ini
mencakup: Tempat penyimpanan arsip, Software dan hardware,
termasuk rak arsip, boks arsip, sumberdaya manusia.
5) Komponen Output adalah: keluaran atau hasil dari suatu
Proses , yang dalam hal ini adalah system kearsipan dinamis
dan system kearsipan statis. Output dari Sistem Kearsipan
adalah: Accountability, dan terbentuknya Memory Collective.
Accountability Mempersyaratkan arsip yang authenticity,
reliability, integrity, useability (ISO 15489) Otentisitas
(authenticity): Arsip yang otentik adalah arsip yang dapat
dibuktikan maksud sebenarnya yang tertulis, diciptakan dan
dikirim oleh pihak yang ditetapkan untuk mencipta dan
mengirimkan, diciptakan dan dikirim pada waktu yang
ditetapkan. Untuk menjamin keaslian arsip organisasi harus
menetapkan kebijakan dan prosedur yang mengatur

26
penciptaan, penerimaan, pengiriman, pemeliharaan, penyusutan
arsip untuk mengontrol bahwa penciptanya teridentifikasi dan
memiliki kewenangan sehingga arsip terlindung dari
penambahan, penghapusan, pengubahan, penggunaan dan
penggelapan yang tidak sah.
Handal (reliable): Arsip yang handal adalah arsip yang
isinya dapat dipercaya sebagai representasi akurat, kegiatan
atau fakta yang daripadanya dapat dibuktikan dan disandarkan
seluruh transaksi dan kegiatan yang berjalan. Keutuhan
(integrity): Keutuhan arsip mengacu kepada kelengkapan dan
ketiadaan perubahan. Arsip perlu dilindungi dari perubahan
oleh pihak yang tidak berhak.
Kebergunaan (useability) arsip yang berguna adalah
arsip yang dapat diketahui tempatnya, ditemukan kembali,
disajikan, dan diartikan. Arsip harus bisa disajikan secara
berurutan dan langsung berhubungan dengan kegiatan kerja
atau transaksi yang menghasilkannya. Hubungan kontekstual
dari arsip harus mengandung informasi yang diperlukan guna
memahami proses transaksi yang menghasilkan.
Memori kolektif, istilah ini dikenalkan oleh Maurice
Halbwachs tahun 1925. Collective memory diturunkan dari
teori sosiologi Emile Durkheim tentang collective conciousness
(kesadaran kolektif ) yang terbentuk melalui kekuatan kehendak
sekumpulan orang ketika berkumpul. Jadi memori kolektif
dapat terjadi dengan menghubungkan keberlangsungan proses
mengingat dengan dorongan yang kuat suatu kelompok.
(Hisyam, Makalah Lokakarya Memory of The World, 14-15
Sept 2006, ANRI). Agar peristiwa, fenomena kolektif tidak
terdistorsi, terlupakan, maka peran arsip sebagai memori
kolektif sangat diperlukan. Ingatan diharapkan dapat
merepresantasikan sesuai dengan apa yang pernah terjadi,
sesuai konteks. Ambisi ingatan untuk bisa sedekat mungkin

27
dengan kebenaran ditolong oleh arsip. Arsip memperpanjang
kehadiran kesaksian, kesaksian merupakan pernyataan bahwa
sesuatu telah terjadi (Haryatmoko, 2003 : 174).
Untuk memenuhi kondisi ideal memori kolektif seperti
diatas dituntut adanya Penyelamatan Arsip Statis dan
Penyediaan akses (accessibility) arsip statis. Inilah yang
menjadi tujuan dari Sistem Kearsipan Statis.

28
b. Bagaimana Teori Sistem Kearsipan dapat disebut sebagai
Teori
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum yang berfungsi memberikan
kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi, Prinsip yang
berfungsi sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok
gejala tertentu yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi; Postulat
yaitu: asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut
pembuktiannya; Asumsi adalah pernyataan yang kebenarannya secara
empiris dapat diuji (Jujun, 1987 : 147-157).
Hukum yang terdapat dari teori ini bukan hukum dalam pengertian
Peraturan seperti UU No 43 tahun 2009, UU No 8 tahun 1997), tetapi
merupakan terminologi yang terkait dengan teori ilmu tertentu, seperti
Hukum teori ekonomi mikro mengenal hukum permintaan dan penawaran.
Jadi hukum disini adalah Peramalan apa yang akan terjadi. Dari teori
sistem kearsipan diatas terlihat adanya dua Output dalam Teori Sistem
kearsipan: terciptanya accountability dan memori kolektif. Dalam teori
sistem kearsipan dinamis terdapat output authenticity, reliability, integrity
dan useability.
Sedangkan Prinsip yang berlaku terlihat dari Sisi Input yaitu :
arsip yang dibuat dan diterima, dan Organisasi penciptanya. Ini
merefleksikan prinsip dalam Kearsipan yaitu: Original Order dan
Provenance.
Postulat yang terdapat dari teori ini adalah bahwa pengelolaan arsip
yang baik akan terjadi jika Sumberdaya, sarana prasarana, mendukung.
Adanya kebijakan, standar baik nasional maupun internasional, Sistem
Perundangan Kearsipan sebagai pengontrol/ pengendali .
Asumsi yang terdapat dalam teori sistem kearsipan ini adalah postulat
diatas harus teruji secara empiris, nyata dalam praktik. Asumsi bahwa
SDM akan mendukung pengelolaan arsip harus diuji, sehingga akan
memunculkan pertanyaan SDM yang bagaimana yang akan mendukung
praktek pengelolaan arsip.
Demikian juga asumsi bahwa standar kearsipan akan mengontrol

29
praktek pengelolaan arsip harus diuji : standar yang bagaimana, perlukah
elaborasi dalam artian kontekstualisasi standar .

5. Aksiologi Kearsipan

Aksiologi diartikan sebagai kemanfaatan ilmu. Bagaimana ilmu


kearsipan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari manusia. Salah satu
contoh bagaimana aksiologi dalam kearsipan adalah ISO 15489 tentang
Records Management. Standar ini memberikan panduan bagaimana
pengelolaan arsip dinamis (records management) distandardisasi.
Disamping itu beberapa informasi berikut menunjukkan kemanfaatan
kearsipan

a. Perusahaan Produksi dan Eksplorasi Minyak dan Gas

Memerlukan tenaga yang berkemampuan di bidang Records


Supervisor yang menuntut calon yang memiliki keahlian di bidang
Records center, filing.

30
b. Perusahaan Minyak Multinasional

Memerlukan tenaga yang mempunyai kompetensi bidang Records analyst


yang menuntut keahlian dibidang: indexing, classification, disposal , Business
Records Management.

31
Aksiologi ilmu kearsipan terlihat juga dalam bisnis bidang layanan
pengelolaan dokumen perusahaan seperti : jasa-jasa commercial records
center, records management services, storage services. Dalam bisnis kearsipan
tersebut dituntut untuk mengikuti kaidah-kaidah ilmu kearsipan, tanpa mengikuti
kaidah itu, maka bisnis kearsipan hanya berdasarkan naluri saja dan akan
adanya kecenderungan pengelolaan kearsipan hanya berdasarkan common
sense belaka.

G. Penutup
Kearsipan sebagai ilmu memprasayaratkan bahwa kearsipan dapat
diungkap melalui tiga hal : ontologi, epistemologi, aksiologi. Ontologi
menunjukkan obyek kajian kearsipan, epistemologi menunjukkan cara
memperoleh pengetahuan, dan Aksiologi menunjukkan kemanfaatan kearsipan
bagi kehidupan manusia.
Mengkaji kearsipan dari sisi empiris merupakan ciri khas kearsipan yang
dimulai dari Praktek Kearsipan oleh Trio Arsiparis Belanda (Samuel Muller,
Johan Feith, Robert Fruin) yang menghasilkan prinsip provenance dan original
order, Munculnya konsep life cycle oleh Schelenberg, sampai dengan munculnya
konsep Records Continuum. Dari sisi rasionalitas maka muncullah ide tentang
Memori collective dan accountability.
Perkembangan ilmu kearsipan mau tidak mau harus didukung oleh
pendekatan keilmuan lain (meminjam konsep keilmuan lain), hal ini terlihat
dengan adanya konsep life cycle dari disiplin ilmu biologi, konsep system dari
disiplin ilmu fisika, kemudian digunakan oleh disiplin ilmu biologi sampai
akhirnya digunakan oleh ilmu sosial. Tanpa mau meminjam pendekatan keilmuan
lain kearsipan akan terasa sulit untuk berkembang menjadi ilmu yang makin
matang.

32
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Faried. Filsafat Administrasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.


Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008

Cook, Terry. What is Past is Prologue: A History of Archival Ideas Since


1898, and the Future Paradigm Shift, Archivaria, the Journal of the
Association of Canadian Archivist, 43 Spring 97.

Duranti, Luciana. The Concept of Appraisal and Archival Theory, American


Archivist/Vol.57/ spring, 1994.

Ham, Gerald. Selecting and appraising Archives and Manuscripts, The Society
of American Archivists Chicago, 1983.

Hardiman, Budi. Teori Sistem Niklas Luhmann, Jurnal Filsafat Driyarkara,


Th. XXIX no:3/2008.

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, KOMPAS, 2003.

Hisyam, Ingatan Kolektif, Dokumen dan Sejarah, Makalah Lokakarya Memory


of The World, 14-15 Sept 2006, ANRI.

Kerlinger, Fred N. Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gajah Mada


University Press, 2004.

Kennedy, Jay., and Cherryl Schauder. Records Management: a Guide to


Corporate Record Keeping. Australia: Longman, 1998.

Kristiyanto,Eddy OFM. Sejarah Sebagai Locus Philosopicus Et Teologicus,


Pidato Pengukuhan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 2008.

Lohanda, Mona. Makalah Penelitian dalam Kearsipan, ANRI, 16 Juni 2001.

Makmur. Filsafat Administrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Mc Kemmish, Sue. Yesterday, Today and Tomorrow: A Continuum of


Responsibility, RMAA Perth 1997.

33
Prabowo, Banu. Manajemen Dokumen Perusahaan, Kumpulan Makalah , 2005.

Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan LAN. Teknik Penyusunan Organisasi


Berkinerja Tinggi, Jakarta: LAN RI, 2004.

Ravertz, Jerome R. Filsafat Ilmu,Sejarah dan Ruang Lingkup Pembahasan,


terj. Saut Pasaribu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009.

Rewansyah, Asmawi.Reformasi Birokrasi dalam rangka Good Governance,


Bogor, CV Yusaintanas Prima, 2010.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai.


Jakarta: LP3ES,1984.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-6962.1-2003 Dokumentasi dan


Informasi-Manajemen Rekaman. Bagian 1: Umum.

Suriasumantri, Yuyun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Suseno, Nuri. Makalah Multikulturalisme dalam Teori Pol Kontemporer,


Bahan Kuliah UI , 2004.

Sutarto. Dasar-Dasar Organisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press, 2006.

Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi, Yogyakarta: Jalasutra, 2003.

Tim Redaksi Driyarkara. Hakekat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu,


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993

The International Organization for Standardization (ISO) 15489-1 Information


and Documentation-Records Management- Part 1: General.

The International Organization for Standardization (ISO) 15489-Information


and Documentation-Records Management- Part 2: Guidelines.

Verhaak,Christ. ”Francis Bacon: Perintis Filsafat Ilmu Pengetahuan,


”Hakekat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu, ed. Tim Redaksi
Driyarkara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Walne, Peter. Dictionary of Archival Terminology, ICA, 1988.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 2008.

34
MEMAHAMI ARSIP DARI SUDUT FILSAFAT ILMU:
Kajian Awal Tentang Ilmu Kearsipan

Oleh : Drs. Imam Gunarto

Abstract :

Archival study is like learning how to walk in the middle of pointed


bridge on its both front and back sides. Turning to its back side, reaching
its edge in order to manage, unite and represent the records of human
footsteps. Staring straight to its front side, gaing forms and directions
of basic needs for human in the future. Archives do not only record past
time actions and facts but also serve functional sources to be used by
next generations.Archives, as archives activator, ought to resemble
themselves like Janus, god from Greek mythology, who has two faces,
namely backside (past time) and frontage (future).
One of Archival characteristics as scince was marked by the
emergence of archives management principles, namely respect des fonds,
which first appeared in 1841. Later, it was also known as provenance,
specifically, a nation of keeping archives to be bond stably to its creators’
context. Then, the second principle was discovered, that is, original
order. It is an arrangement principle which is conditioned in order that
archives grouped based on its institutuions/creators’ unit. By using the
principle, archives have to be organized harmoniously according to the
systems and rules used by their creators. Those two principles are
implemented to nmaintain archival characters : authenticity, reliability,
integrity, and accessibility; therefore, archives are able to be functioned
as evidence or proofs of something or event. After World War II, archival
problems emerged since archives had been outnumbered in a short time.
In modern development, archives are not in physical forms, but they are

35
now in electronic forms. Thus, it imposes paradigm transformation in
continuum in order to “replace” life cycle of archives. At glance, theories
and methodologies of archival development have shown results that
archival field is now exploring its form in struggling as a science which
has equal position with other sciences.

Keyword : archival, archival science, archives management, archival


philosophy, postivivism, postmodernism, ontology, epistemology, axiology,
provenance, original order, authenticity, reliability, integrity, accessiblity,
life cycle of archives, continuum.

A. Latar Belakang
Berbagai tulisan tentang arsip pada umumnya membicarakan
mengenai bagaimana arsip itu dikelola atau manajemen arsip. Pembahasan
arsip dari sudut teori sangatlah jarang, apalagi pembahasan arsip dari
sudut ilmu (archival science) dan filsafat (archival philosophy). Kalaupun
terdapat tulisan-tulisan tentang falsafah dan ilmu kearsipan, pada akhirnya
lebih banyak menyoroti tentang bagaimana mengelola arsip (archival
manajemen). Asumsi ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa
berbagai peraturan, pedoman, dan standar kearsipan hanya berisi hal-
hal yang menyangkut bagaimana mengelola arsip, bukan mengapa arsip
harus dikelola.1 Rupanya hal ini dianggap menjadi salah satu sebab
mengapa ilmu kearsipan termarjinalkan dibanding dengan ilmu-ilmu
lain.
Banyak di antara kita yang belum dapat membedakan pembahasan
arsip sebagai manajemen dan arsip sebagai ilmu. Apakah gambaran yang
demikian ini merupakan petunjuk bahwa kearsipan masih belum diakui
sebagai ilmu yang mandiri? Atau karena dianggap sebagai ilmu praktis
(practical science), sehingga kearsipan tidak terlalu membutuhkan
landasan filosofis?

1
Luciana Duranti, tanpa tahun, “The Power of Archives” dalam, Inter PARES 2 Project

36
Minat filosofi terhadap hakikat pemahaman secara ilmu pada
umumnya muncul karena sebagai proses umum dan kecenderungan yang
memandang ilmu-ilmu alam sebagai hal yang mewakili pola teladan dari
semua pengetahuan yang benar. Menganalogikan ungkapan “filsafat
sejarah” yang diungkapkan Patrick Gardiner, maka pembahasan tentang
“filsafat kearsipan” dapat digunakan untuk menunjukan usaha dalam
memberikan keterangan atau tafsiran yang luas mengenai seluruh proses
kearsipan. Secara khas, filsafat kearsipan berurusan dengan pertanyaan-
pertanyaan: apa arti, makna, dan tujuan kearsipan atau hukum-hukum
pokok mana yang mengatur perkembangan dan perubahan dalam
kearsipan.2
Di antara tokoh kearsipan kontemporer yang banyak menyinggung
kearsipan pada tataran teoritis adalah Luciana Duranti yang mewakili
aliran positivisme atau modernisme yang berkembang di Amerika Utara
dan Australia. Tokoh lain adalah Erik Ketelaar dan Oldo Bucci yang
mewakili aliran pasca modernis yang berkembang di daratan Eropa.3
Pokok persoalan yang dibahas dalam filsafat kearsipan adalah hakikat
kearsipan yang dipandang sebagai suatu disiplin atau cabang ilmu
pengetahuan yang khusus, yang berurusan dengan tujuan penyelidikan-
penyelidikan kearsipan, cara-cara arsiparis mengaktualisasikan dan
merepresentasikan arsip sebagai informasi, cara mereka menyampaikan
dan menyokong penjelasan-penjelasan dan hipotesa-hipotesa,
anggapan -anggapan dan prinsip-prinsip yang menggarisbawahi tata cara
kegiatan kearsipan dan hubungan-hubungan antara ilmu kearsipan dengan
bentuk-bentuk penyelidikan lain. Pertanyaan-pertanyaan yang dikaji dan
menjadi bahan renungan, pemikiran, dan penalaran yang akan mendalam
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
epistemologi dan konseptual.

2 Petrick Gradiner, 1985, “Filsafat Sejarah”, dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi, Arah dan Perspektif,
diredaksi oleh Taufik Abdullah dan Abdurachman Suryomihardjo, Jakarta: Gramedia, hlm, 125-126.
3 Noerhadi Magetsari, 2008, “Organisasi dan Layanan Kearsipan ” Jurnal Kearsipan , Vol.3, ANRI,
hlm 1-17.

37
Pengkajian yang mendalami kearsipan dari sudut falsafah akan
memberi dukungan fundamental yang kuat bagi berkembangnya kearsipan
dalam ranah tradisi keilmuan, sehingga mampu sejajar dengan cabang
ilmu lainnya.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas pengkajian
kecil ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan apa hakekat dari arsip, fungsi dan tujuan kearsipan,
teori dan metodologi serta hubungan ilmu kearsipan dengan ilmu-ilmu
lain.
Hasil pengkajian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk
memberi gambaran umum tentang berarsipan sebagai ilmu pengetahuan
yang mandiri.

B. Kerangka Teori
Wacana yang dibangun dalam tulisan ini didasarkan pada tiga konsep
pokok di bidang kearsipan, yaitu konsep arsip, kearsipan, dan ilmu
kearsipan. Konsep arsip dalam Undang-Undang nomor 43 Tahun 2009
tentang Kearsipan secara ekplisit dinyatakan sebagai rekaman kegiatan
atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan
diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan,
perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan
perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.4
Konsep kearsipan dalam undang-undang tersebut dinyatakan sebagai
hal ihwal tentang arsip. Istilah hal ihwal arsip memiliki pengertian segala
sesuatu yang berkaitan dengan masalah arsip. Konsep tentang arsip dan
kearsipan yang termaktub dalam undang-undang tersebut merupakan
konsep umum yang dalam implementasinya dapat memiliki variasi dan
perbedaan yang ditentukan oleh konteksnya.

4 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan pasal 1 nomor 2.

38
Konsep tentang ilmu kearsipan menurut Luciana Duranti adalah :
the body of knowledge about nature and characteristics of archives and
archival work systematically organized into theory, methodology, and
practice”.5 Penekanannya pada teori dan metodologi yang mendasari
hal-hal yang bersifat praktis, nampaknya berbeda dengan Ketelaar dan
Bucci yang menganggap bahwa teori dan metodologi kearsipan harus
berpegang pada prinsip bahwa arsip merupakan sesuatu yang
menggambarkan dinamika sosial.6 Duranti menyatakan dirinya menganut
aliran positivisme. Kearsipan agar dapat diperlakukan sebagai ilmu
haruslah menerapkan metode yang bersifat universal, yaitu metode
science. Dalam implementasinya Duranti membedakan archival science
dan diplomatic science. Archival science berkenaan dengan pengetahuan
yang sistematis tentang series dan fonds yang dikaitkan dengan perekaman
sejarah administrasi dan sejarah legalitasnya, sedangkan diplomatic
science merupakan pengetahuan yang sistematis tentang hakikat dan
karakteristik dari setiap arsip. Hubungan antara keduanya menunjukan
suatu pola dasar bahwa ilmu kearsipan merupakan jembatan yang
digunakan untuk menerapkan teori kearsipan yang bersandar pada hakikat
dan karakter arsip sebagai rekaman sejarah dan legalitasnya. 7

C. Metodologi Penelitian

Tulisan ini lebih tepat barangkali disebut sebagai hasil analisis dari
fakta-fakta pikiran yang telah dipetakan dalam berbagai pustaka. Peta
fakta-fakta pikiran yang ditemukan dalam berbagai pustaka, tentu tidak
dapat mewakili keseluruhan kebenaran akan kondisi dan tingkat kedalaman
pemahaman mengenai arsip sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
jika hal ini dapat disebut sebagai metode penelitian, maka yang dipakai
dalam membangun wacana dalam tulisan ini adalah metode pustaka
dengan pendekatan analisis deskriptif untuk menggambarkan sifat atau

5 Luciana Duranti, 1989, “Diplomatics: New Uses for an Old Science (Part One)”, dalam Archivaria 28,
hlm. 8-11.
6 Noerhadi Magetsari, op.cit.
7 Luciana Duranti, op.cit.

39
suatu keadaan yang sementara sedang berjalan ketika penelitian sedang
dilakukan didasarkan oleh suatu ketentuan, standar, aturan, norma,
pendapat, perspektif, dan pandangan para ahli yang disajikan dalam
berbagai pustaka. Dalam melaksanakan analisis deskriptif disertai dengan
komparasi dan analogi antar disiplin ilmu sehingga diharapkan dapat
diketahui kedudukan dan posisi ilmu kearsipan.

D. Pembahasan
1. Hakekat Arsip

Hakekat arsip berhubungan dengan konsep dan pengertian arsip itu


sendiri. Pengertian arsip dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009
tentang Kearsipan memuat empat unsur yang harus ada, yaitu: benda,
aktivitas, pelaku, dan konteks. Unsur pertama adalah benda dalam ujud
fisik yang berupa rekaman kegiatan atau peristiwa baik dalam media
kertas, film/video, kaset rekaman suara, media simpan elektronik, dan
berbagai macam variasi dan karakteristiknya. Selain benda dalam ujud
fisik adalah benda dalam wujud informasi. Benda dalam wujud informasi
berada dalam tataran ide dan hasil olah pikir yang dituangkan dalam
benda fisiknya. Unsur kedua adalah aktivitas membuat dan menerima
rekaman sebagai bentuk komunikasi atau hubungan antara pihak yang
satu dengan lainnya.
Disamping itu juga termasuk aktivitas mengklasifikasikan,
menyimpan, memelihara, menyusutkan, melestarikan, memberi pelayanan
kepada pengguna arsip dan aktivitas lainnya.
Unsur ketiga adalah pelaku kegiatan baik organisasi atau individu.
Unsur keempat adalah konteks dimana para pelaku melaksanakan
aktivitasnya yaitu hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ketiadaan salah satu unsur tersebut mengakibatkan tidak adanya arsip.
Pandangan kearsipan secara tradisional menganggap arsip sebagai
benda fisik yang memuat informasi tentang masa lalu. Kebenaran arsip
tidak dapat dilepaskan dari kebenaran fisik yang menjadi media rekamnya.

40
Fungsionalitas arsip sebagai bukti atau eviden yang dipertautkan dengan
pelaku atau pencipta arsip dan konteksnya belum dieksplorasi secara
mendalam. Autentisitas dan reliabilitasnya lebih banyak dipertautkan
dengan informasi yang melekat pada benda fisiknya dengan sedikit
mengkaitkan kepada aktivitas apa yang menghasilkan arsip.
Membawa pandangan itu ke zaman sekarang, kita akan menghadapi
kumpulan arsip yang ditayangkan dalam layar komputer yang mungkin
memiliki 2000 (dua ribu) versi perubahan tiap tahun, tiap versi memiliki
nilai informasi internal yang berbeda. Sebuah arsip/dokumen adalah
salah satu dari 2000 (dua ribu) pandangan, yang mungkin akan mengurangi
makna dari eviden/bukti tentang suatu fungsi atau aktivitas, hubungan
sistem dengan unit organisasi dan fungsi mereka, rasionalisasi di belakang
penciptaan sistem sebagai sebuah kesatuan dan fungsi khusus, karakter
dan tujuan atribut data, dasar dan alasan aliran data atau migrasi ke
sistem lain, karakteristik bukti/ eviden dan jaringan software, serta
pertanyaan siapa yang menggunakan data, kapan dan mengapa, tidak
pernah akan terjawab.
Pada akhir abad 20 terjadi revolusi yang sangat besar di bidang
kearsipan karena penggunaan komputer untuk pelaksanaan komunikasi
dan administrasi di berbagai kantor dan masyarakat. Arsip tidak lagi
dipandang sebagai bentuk fisik atau sebagai artefak, namun lebih
mengarah pada apa yang ada dibalik benda fisik tersebut.
Perubahan lingkungan yang ekstrim mempengaruhi paradigma kita
terhadap arsip. Aktualisasi terhadap seluruh konsep yang telah berkembang
perlu dilaksanakan dengan terlebih dahulu melakukan kajian yang
mendalam tentang hakikat arsip. Kebenaran arsip yang semula bertumpu
pada bentuk fisik mengalami falsifikasi ala Popper Karl R. Popper,8
bahwa, kebenaran arsip bertumpu pada informasi dan konteksnya.
Bahkan dalam definisi praktis yang terbaru arsip merupakan rekaman

8 Karl R. Popper, 2002, Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya, terjemahan oleh Uzair Fauzan,
Jakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 509-523.

41
informasi yang memiliki unsur-unsur isi, konteks, dan struktur
yang berfungsi sebagai eviden.9
Arsip harus memiliki isi, yaitu informasi yang dikandung di dalam
arsip. Informasi itu harus berada di dalam konteksnya baik konteks
tempat, waktu, dan pelakunya yang mencerminkan sistem administrasi,
sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain-lain. Arsip juga harus memiliki
struktur, berupa simbol struktur huruf, angka, gambar, tanda, petunjuk,
suara, bahasa, dan lain-lain baik dalam bentuk fisik maupun virtual.

2. Fungsi dan Tujuan


Tinjauan tentang fungsi dan tujuan kearsipan tidak dapat dilepaskan
dari siapa yang menggunakan dan membutuhkan arsip. Dalam tataran
idealogi, para penggiat arsip harus berpegang pada aspek masa lalu,
masa kini dan masa yang akan datang secara bersama-sama, yang
ketiganya melekat pada fungsi dan tujuan kearsipan itu sendiri. Penggiat
arsip harus dapat mentransformasikan arsip yang merekam informasi
tentang masa lalu untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang,
sehingga terjadi transfer informasi berkelanjutan dari generasi ke generasi.
Ia merupakan perantara pesan antara generasi masa lalu, masa kini dan
masa depan.
Dalam perspektif penggunaannya arsip memiliki tiga fungsi pokok,
yaitu: sebagai bukti, sebagai memori kolektif, dan sebagai pembentuk
hak dan kewajiban. Fungsi pertama, arsip sebagai bukti atau bukti tentang
segala sesuatu yang direkam baik benda atau peristiwa. Segala sesuatu
yang pernah dilakukan manusia meninggalkan jejak. Jejak-jejak itu
terekam dalam berbagai media atau bentuk, baik yang kelihatan maupun
yang tidak kelihatan, baik yang tetap maupun yang berubah. Salah satu
jejak itu adalah arsip. Dengan demikian, arsip dapat membuktikan tentang
sesuatu atau peristiwa yang pernah terjadi. Berkaitan dengan fungsinya
sebagai bukti, penggunaan arsip dapat dilakukan oleh penciptanya sendiri

9ISO 15489:2001 tentang Records Management

42
untuk menyelesaikan pekerjaannya, untuk membuktikan sesuatu kepada
pihak lain atau pengadilan jika terjadi persengketaan, dan kepentingan-
kepentingan lain yang bersifat langsung (current).
Fungsi yang kedua adalah arsip sebagai memori kolektif. Kumpulan
arsip dari individu-individu atau organisasi di dalam suatu komunitas
merupakan memori bersama dari komunitas tersebut. Ide tentang arsip
sebagai memori kolektif kadang-kadang diartikan sebagai sebuah metapora
untuk mendiskusikan aturan sosial dan budaya. Ide ini sesungguhnya
lebih dari sekedar metafora, jika didukung oleh teori yang memandang
bahwa kumpulan dokumen/arsip memiliki makna tempat dan waktu
yang meluas pada tingkatan komunikasi manusia. Para antropolog,
sosiolog, linguis, dan ilmuwan lainnya mengatakan bahwa material
berupa benda, artefak, dan dokumen memainkan peranan khusus dalam
komunikasi manusia.10 Arsip dan sumber-sumber komunikasi yang lain
seperti sumber lisan dan tradisi ritual membantu transfer informasi dari
generasi ke generasi. Sebuah pertanyaan tentang mengapa kita perlu
mengelola arsip adalah pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi arsip
sebagai memori kolektif. Pertanyaan ini tentunya harus ditempatkan
dalam fondasi teori.
Memori kolektif memiliki pengertian ganda, pertama dalam konteks
sosiologi dan psikologi, memori kolektif mengacu kepercayaan dan ide
yang membantu masyarakat untuk bersama-sama menciptakan semangat
solidaritas dan komunikasi sosial. Sedangkan yang kedua, memiliki
pengertian banyak kegiatan individual dan organisasional yang
dikumpulkan dan dikelola sebagai rekaman masa lalu, untuk kepentingan
masa kini dan mendatang.11

10 Kennet E. Foote, 2003, “To Remember and Forget: Archives, Memory, and Culture,” dalam Randall C.
Jimerson, 2003, American Archival Studies, Reading in Theory and Practice, (editor), The Society of
American Archivists, Chicago, hlm. 29-30.
11
Ibid., hlm. 31-46.

43
Fungsi yang ketiga, arsip dapat digunakan untuk membentuk hak,
kewajiban, dan kekebalan antara warga negara dan pemerintahnya12.
Fungsi ini menyangkut hakekat arsip yang tercipta karena adanya transaksi
antara beberapa pihak. Ketika sebuah perjanjian ditetapkan atau akta
ditandatangani, ijazah, surat keputusan, peraturan dan arsip-arsip lain
yang sejenis diciptakan, sesungguhnya dibalik itu lahir sebuah pengakuan
yang berkekuatan hukum, bahwa individu yang disebut di dalamnya
memiliki hak dan kewajiban, bahkan kekebalan sesuai aturan hukum
yang berlaku. Terbitnya sertifikat tanah adalah pengakuan hukum akan
hak dan status kepemilikan tanah, yang memberikan kekebalan kepada
pemiliknya untuk berbuat sesuatu atas hak yang sudah dikuasainya
tersebut.
Sekilas tentang uraian fungsi arsip di atas, sebenarnya telah
memberikan petunjuk bagi kita untuk mengetahui apa tujuan kearsipan
itu. Dalam lingkup negara, kearsipan memiliki tujuan untuk
menyelamatkan bahan bukti pertanggungjawaban nasional bagi kegiatan
pemerintahan dan kenegaraan.13
Tujuan ini menitikberatkan pada dua hal pokok, yaitu keselamatan
bahan bukti atau arsip yang diasumsikan akan mengalami kerusakan
atau pada suatu saat hilang dan kemudian fungsi arsip sebagai kegiatan
pemerintahan dan kenegaraan. Keselamatan arsip menunjuk pada objek
yang harus dilestarikan sepanjang jangka simpannya dan tetap terjaga
keaslian serta reliabilitasnya. Sedangkan fungsi arsip menunjuk pada
tiga kegunaan pokok dari arsip di atas.

12
T.R. Schellenberg, 1980, Modern Archives, Principles and Techniques, terjemahan Ismail Marahimin,
13
Arsip dipandang sebagai bahan bukti pertanggungjawaban nasional yang menyangkut fungsi arsip sebagai
eviden sekaligus memori kolektif nasional yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik masa kini dan
mendatang. Bahan bukti tersebut digunakan oleh pemerintah dan negara dalam memberikan pelayanan
kepada publik masa kini dan mendatang. Bahan bukti tersebut digunakan oleh pemerintah dan negara dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat atau melindungi kepentingan rakyat, hal ini berkaitan dengan
fungsi arsip sebagai pembentuk hak dan kewajiban. Arsip Nasional RI, Jakarta, hlm. 148-151.

44
3. Kearsipan Sebagai Ilmu

Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun yang selama


ini terbatas pada obyek empiris, dan pengetahuan itu diperoleh dengan
menggunakan metode keilmuan adalah sah untuk disebut sebagai
keilmuan. Ilmu bersifat terbuka, demokratis dan menjunjung tinggi
kebenaran di atas segala-galanya.14
Sekalipun Francis Bacon mengatakan bahwa pengetahuan adalah
kekuasaan, namun ilmu sesungguhnya bersifat netral, ilmu tidak mengenal
sifat baik dan buruk, si pemiliki, pengetahuanlah yang memiliki sifat
baik dan buruk. Netralitas ilmu terletak pada dasar epistemologinya :
jika hitam katakan hitam, jika ternyata putih katakan putih, tanpa berpihak
kepada siapapun juga kecuali kepada kebenaran.15
Berbagai pengujian kembali terhadap teori kearsipan dimulai pada
premise bahwa dibelakang fisik arsip adalah “sangat tetap dan dalam”
adalah sebuah simbolisasi. Di belakang arsip yang aktual adalah ‘fungsi
atau aktivitas’ yang membimbing ke arah penciptaan arsip. Pandangan
itu diambil dari seri artikel Hugh Taylor’s yang terbaru, yang memulai
dengan perubahan dari arsip secara aktual menuju konsepsi konteks
ketika diciptakan, dari artefak fisik ke dalam tujuan intelektual yang ada
dibaliknya, dari benda ke pikiran.16
Arsip merupakan rekaman informasi yang memiliki konteks, isi,
dan struktur. Rekaman informasi (recorded information) merupakan
informasi tentang organisasi atau individu, yang untuk selanjutnya diolah
dan disajikan sebagai archives informatics. Dalam konteks ini inti
permasalahannya berkisar pada informasi apa yang harus direkam dan
apa yang tidak perlu direkam. Jadi masalahnya bukan bagaimana cara
merekam informasi, karena masalah ini bukan merupakan fungsi

14 Jujun S. Suriasumantri, 2009, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat,
Jakarta : Ilmu, yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 9.
15 Ibid., hlm. 10
16 Terry Cook, 1992, “Mind Over Matter: Towards a New Theory of Achival Appraisal”, dalam Barbara L.
Craig (ed.), The Archival Imagination, essay in honour of Hugh Taylor,
hlm. 38 – 70

45
manajemen, tetapi masalah yang berkaitan dengan kebenaran, yaitu
apakah informasi yang dibuat itu benar, dan benar-benar merepresentasikan
organisasi atau individu yang direkam. Dengan demikian, ilmu kearsipan
memerlukan teori kebenaran dan teori representasi dalam mengatasi
masalah yang dihadapi.
Teori kebenaran diperlukan untuk menentukan sahih tidaknya sebuah
pengetahuan, yang dalam konteks ini benar tidaknya arsip yang direkam
dan diselamatkan. Beberapa teori kebenaran yang kita kenal seperti
koherensi/konsitensi, korespondensi, pragmatis, dan korelasi sekiranya
dapat dipakai untuk melakukan pengujian terhadap kebenaran di bidang
kearsipan.17
Di samping teori kebenaran tersebut, terdapat pula teori representasi
yang biasanya digunakan dalam ilmu arkeologi dapat digunakan untuk
memberi landasan kebenaran tentang pelaksanaan kegiatan kearsipan.18
Teori koherensi atau konsistensi jika diterapkan dalam arsip
berhubungan dengan struktur, isi dan konteks arsip yang harus menyatu.
Ketiganya harus bersama-sama ada, bertautan secara konsisten dan
logis. Jika seseorang menerima pesan lisan belum cukup disebut sebagai
arsip, sekalipun didalamnya sudah memuat isi dan konteks. Di pihak
lain jika kita memegang kertas dengan logo garuda atau memegang foto
dengan obyek yang tidak kita pahami, juga belum tentu disebut sebagai
arsip, sekalipun ia memiliki struktur dan konteks. Contoh lain, jika kita
menerima SMS yang salah alamat, yang berarti tidak memiliki kaitan
apapun atau diperkirakan tidak akan ada kaitan dengan kita, maka SMS
itu pun tidak akan menjadi arsip kita, karena bagi kita tidak bermakna.
Teori yang kedua adalah teori korespondensi yang menganggap bahwa
sesuatu dianggap benar bila bisa ditunjukan bukti-bukti yang
mendukungnya atau dengan cara mencocokan dengan fakta lain.

17 Mulyono, 2008, Pengantar Filsafat Sistematik, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang. Hlm.
35-36.
18 Noerhadi Magetsari, op.cit, hlm

46
Kebenaran suatu arsip hanya dapat dipahami dengan cara menghubungan
dan mencocokan dengan arsip lain, karena sifat dasar arsip sebagai
informasi. Teori pragmatis yang menganggap pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan yang mendatangkan kegunaan praktis bagi kehidupan.
Dari fungsinya sebagai bukti, memori kolektif dan pembentuk hak serta
kewajiban, jelaslah bahwa arsip mendatangkan keuntungan yang sangat
besar bagi kehidupan manusia. Teori korelasi yaitu menghubungkan
antara dua atau lebih, jika diterapkan pada arsip berkorelasi dengan
teori representasi, yang dapat dipahami dalam uraian di bawah ini.
Mempermasalahkan kebenaran berarti kita memasuki ranah filsafat.
Hegel (1770-1831) mengatakan Das wahre ist das ganze yang benar
adalah yang menyeluruh. Filsafat Hegel memiliki banyak interpretasi
oleh beberapa ahli. Sir Bertrand Russell (1872-1970) menjabarkan
pengertian das Ganze yang diterjemahkan menjadi the whole (yang
menyeluruh) itu pada hakekatnya bersifat fragmentaris, terpisah-pisah.
Fragmen-fragmen itu tidak bermakna tanpa dilengkapi bagian “dunia”
lain. Berdasarkan penalaran Hegel, dari setiap potongan realitas (fragmen)
dapat terlihat bagaimana seluruh realitas sebenarnya paling tidak dalam
bentuk garis besarnya. Setiap bagian dari realitas terkait dengan potongan
realitas lainnya, pada gilirannya potongan yang lain terkait dengan
potongan yang lain lagi dan seterusnya sehingga akhirnya realitas yang
utuh dapat direkonstruksikan secara menyeluruh. Untuk memperjelas
teori representasi dalam Arkeologi, Noerhadi Magetsari memberikan
contoh tentang seorang Arkeolog yang menemukan sepotong tulang.
Sepotong tulang itu sudah dapat diidentifikasi sebagai tulang kaki anjing,
maka Arkeolog melakukan rekonstruksi, untuk menentukan seberapa
besar dan tinggi anjing tersebut. Sepotong tulang itu merupakan
representasi dari seekor anjing, bukan kambing. Sedangkan untuk
menentukan jenis kelamin, warna bulu, dan umur misalnya, Arkeolog
harus mengembangkan penyelidikan lebih dalam lagi, sehingga informasi
tentang anjing tersebut menjadi semakin lengkap dan merepresentasikan
secara lebih spesifik. Prinsip das ganze atau the whole dalam kearsipan

47
dapat dipakai dalam salah satu prinsip dasar kearsipan yaitu “hubungan
antar arsip” yang sudah dijelaskan di bagian depan. Prinsip ini
dikembangkan atas dasar hakekat arsip yang merupakan “produk” yang
tercipta karena adanya suatu peristiwa atau sebuah proses kehidupan.19
Pengujian terhadap kebenaran tentang obyek empiris, dikemukakan
oleh Jujun S. Suriasumanteri yang menyatakan bahwa sebuah pengetahuan
dianggap benar selama kita dapat menerima asumsi yang dikemukakan20
memiliki tiga asumsi mengenai objek empiris, yaitu:
1. Menganggap objek-objek tertentu memiliki keserupaan satu sama
lain. Berdasarkan hal ini kita melakukan klasifikasi, komparasi dan
kuantitasi.
2. Suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu,
kelestarian relatif ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan
keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki.
3. Determinasi, bahwa setiap gejala bukanlah suatu yang kebetulan.
Setiap gejala memiliki pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-
urutan kejadian yang sama. Namun juga memiliki konotasi yang
bersifat peluang/ probabilistik.
Arsip dan kearsipan sebagai objek empiris dari ilmu kearsipan dapat
pula diuji dengan tiga asumsi di atas, sehingga dapat memperkuat fondasi
keilmuan dari kearsipan.
Setelah ilmu kearsipan memiliki landasan teori kebenaran, hal yang
sangat penting lainnya adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi pegangan
untuk melandasi teori dan metodologi yang dikembangkan.
Arsip harus dikelola dengan memperhatikan tiga prinsip dasar yaitu:
menjaga keaslian, menjaga hubungan antar arsip dan menjaga konteks
arsip. Membicarakan tentang keaslian arsip mau tidak mau harus kembali
pada hakekat arsip yang merupakan rekaman informasi dari aktivitas
yang pernah dilakukan. Dalam kenyataannya seseorang “tidak sengaja”

19 Ibid
.
20 Jujun S. Suriasumanteri, op.cit., hlm. 6-9

48
membuat arsip, arsip tercipta dengan otomatis, begitu transaksi
dilaksanakan. Hal ini disebabkan sifat arsip yang imparsiality.21 Sifat
penciptaan arsip yang tidak disengaja itu berarti pula menjamin tidak
adanya “rekayasa” terhadap penciptaan arsip.22 Sifat ini membedakan
arsip dengan buku, yang diciptakan secara sengaja dan didasarkan suatu
skenario atau misi tertentu. Penciptaan arsip tidak disertai dengan skenario
dan misi, tetapi dimaksudkan sebagai bentuk komunikasi antara beberapa
pihak yang memiliki konteks yang saling berkait.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa arsip memiliki fungsi hakiki
sebagai bukti atau eviden. Fungsi hakiki ini hanya dapat bermakna jika
keberadaan arsip memiliki kebenaran formal maupun kebenaran material
yang harus tetap dijaga sepanjang umur arsip.23
Selanjutnya sebagai rekaman informasi arsip pada hakekatnya adalah
informasi itu sendiri. Untuk memperjelas topik ini kiranya perlu kita
bahas terlebih dahulu tentang informasi itu. David Kroenke, 1992,
menggunakan definisi informasi dalam tiga sudut pandang, yang pertama
informasi merupakan pengetahuan yang berasal dari data. Data itu
merupakan rekaman dari fakta atau gambaran, yang harus ditempatkan
dalam suatu konteks.24 Dalam ajaran positivistik, data merupakan fakta
selektif yang relevan dengan penelitian.25 Kedua, David mengambil
definisi yang dikembangkan Shanon26 yang memiliki sudut pandang
matematik, informasi didefinisikan sebagai sejumlah ketidaktentuan
yang berkurang setiap kali pesan diterima. Ketiga, dari sudut ilmu sosial,

21 T.R. Schellenberg, op.cit., dalam bukunya Schellenberg mengatakan bahwa Sir Hilary Jenkinson sebagai
bapak kearsipan Inggrislah yang mengetengahkan tentang sifat arsip yang imparsiality.
23 Dalam Ilmu Hukum dikenal adanya kebenaran formal yang berhubungan dengan autentisitas arsip yang
meliputi keaslian fisik (tulisan, tanda tangan, kertas dll) dan kebenaran material yang berhubungan dengan
reliabilitas arsip yang meliputi kebenaran informasi, validitas data, penandatangan/author dll. Dalam Ilmu
Sejarah juga dikenal metode pengujian ekstern dan intern yang memiliki pengertian sejenis.
24 David Kroenke, 1992, Management Information Systems,second Edition, McGraw-Hill, Inc, Watsonville,
California, hlm. 18.
25 Prof. Dr.H. Noeng Muhadjir, 1998, “Metode Keilmuan Kuantitatif”, dalam Internship Filasafat Ilmu
Dosen Filsafat Ilmu se Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
hlm. 7.
26 Shannon, Claude E dan Warren Weaver, The Mathematical Theory of Communication, Urbana, University
of Illinois Press, 1949 dalam David Kroenke, 1992, Management Information Systems,second Edition,
McGraw-Hill, Inc, Watsonville, California, hlm. 18.

49
informasi adalah sebuah perbedaan yang membuat perbedaan. Hal ini
merefleksikan apa yang dimaksud manusia ketika mereka bicara mereka
merasa memiliki informasi. Mengapa organisasi menyusun anggaran
dan mereka menjaga arus pengeluaran dan diperbandingkan dengan
anggaran yang ada ? Jawabannya adalah karena mereka ingin melihat
perbedaan pengeluaran yang ada dan diperbandingkan dengan unit atau
organisasi lain.27 Selanjutnya David Kroenke mengatakan bahwa karakter
informasi yang baik adalah pertinent (terkait dengan urusan yang ditangani
dan penting bagi orang yang membutuhkan), timely (dapat ditemukan
dengan cepat), akurat (tepat), mengurangi ketidakpastian, dan memiliki
unsur kejutan/surprise.28
Prinsip menjaga hubungan informasi bermula dari hakekat informasi
yang sudah dijelaskan di atas. Arsip dihasilkan dari aktivitas pelaksanaan
fungsi-fungsi yang berkaitan satu sama lain. Sehingga gambaran informasi
yang lengkap tentang suatu fungsi hanya dapat dilaksanakan bila kita
menghubungkan informasi yang satu dengan lain yang memiliki hubungan
itu. Hal ini juga kembali pada keberadaan arsip yang tidak tercipta
sebagai satu kesatuan sebagaimana halnya buku. Arsip tercipta setiap
kali terjadi transaksi baik yang berlangsung secara sekuel atau acak, di
tempat yang sama atau yang berlainan. Apabila arsip-arsip tersebut
memiliki keterkaitan informasi maka secara prinsip di antara arsip-arsip
tersebut haruslah dihubungkan, sehingga menjadi sebuah informasi yang
lengkap.
Prinsip selanjutnya adalah menjaga konteks arsip. Dalam pandangan
Ketelaar dan Oldo Bucci, arsip diciptakan dalam dinamika sosial yang
melingkunginya, sehingga secara alamiah arsip harus dikelola dengan
tetap mempertautkan dengan konteks apa, siapa, mengapa, bagaimana,
di mana dan kapan arsip itu diciptakan. Keberhasilan mempertautkan
arsip dengan konteksnya menjadikan arsip lebih bermakna dan memiliki
27 Gregory Bateson, 1978, “Step To An Ecology of Mind, New York: Ballantine“, dalam David Kroenke,
1992, Management Information Systems,second Edition, McGraw-Hill, Inc, Watsonville, California,
hlm. 271.
28 David Kroenke, op.cit., hlm. 19-20.

50
jiwa. Nilai utama dari arsip adalah bahwa mereka merekam tidak hanya
pencapaian-pencapaian tetapi juga proses hingga kepada
penyelesaiannya.29
Dalam objek yang sama Sir Hillary Jenkinson mengembangkan
empat karakter arsip yang harus dijaga oleh penggiat arsip. 30
Keempat karakter tersebut adalah pertama, naturalness atau
kealamiahan arsip. Penggiat arsip harus memiliki metode yang tepat
untuk memelihara kealamiahan arsip atau suatu kondisi apa adanya,
sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya, dari zaman ke zaman.
Kedua, interrealtedness atau keterhubungan yang digunakan untuk
menjaga kelengkapan dan integritas arsip. Penggiat arsip perlu memiliki
31
metode pendeskripsian arsip yang baik dan standar. Ketiga adalah
karakter impartiality yang memerlukan metode yang berhubungan dengan
perencanaan seleksi dan penilaian arsip. Keempat, authenticity yang
memerlukan metode yang tepat untuk menjaga identitas dan keutuhan
arsip.
Permasalahan metodologi di bidang kearsipan menurut pandangan
Luciana Duranti terkait dengan filsafat aliran positivisme yang
dikembangkan Auguste Comte seorang filsuf Perancis. Aliran positivisme
bersandar pada metode science (metode ilmu pengetahuan alam) yang
pada awalnya ditujukan untuk melandasi dan menjembatani berbagai
perbedaan di berbagai negara, bahasa, tradisi dan budaya kearsipan
masing-masing, dan usaha ini ibarat mendirikan menara babel, yang
artinya mustahil, karena mengabaikan perbedaan tradisi dan budaya
kearsipan di masing-masing negara. Oleh karena itu, pengembangan

29 T.R. Schellenberg, 1980, o.cit., hal ii


30 T.R. Schellenberg, 1980, o.cit., hal ii
31 Luciana Duranti, “ The Power of Archives” dalam Inter PARES 2 Project, mengunakan pendapat Sir
Hilary Jenkinson tentang empat karakter arsip.
Dalam hal deskripsi arsip secara internasional telah ditetapkan ISAD (international standard for archival
description) oleh International Council on Archives. Standar deskripsi ini memuat 26 unsur data yang
bersifat multilevel, yang dapat menghubungkan atau menyatukan informasi dalam hal ini arsip dari seluruh
unit di satu organisasi, atau bahkan dapat dikaitan secara universal dengan arsip-arsip yang berada di
negara lain. Dampak dari implementasi standar ini akan menjadikan informasi arsip menjadi satu koleksi
level dunia global.

51
kearsipan sebagai ilmu cenderung untuk lebih memahami dan menerima
berbagai perbedaan sebagai kenyataan yang tidak mungkin diingkari.
Oldo Bucci mempertajam pengertian ilmu kearsipan. Ia membedakan
antara ilmu (science) dengan pengetahuan (knowledge) tentang kearsipan.
Pengetahuan tentang kearsipan merupakan intisari dari pelaksanaan
pengelolaan arsip sehari-hari dalam berbagai aspeknya. Sedangkan ilmu
kearsipan merupakan konstruksi pengetahuan secara konseptual dan
32
sistematik sehingga menjadi sebuah disiplin ilmu yang terintegrasi .
Pengetahuan kearsipan membuka jalan bagi terciptanya ilmu kearsipan.
Kemudian ilmu kearsipan dilaksanakan untuk membangun struktur,
mengatur secara sistematis dan menegakan aturan dalam pengetahuan
kearsipan. Pengetahuan kearsipan perlu mengubah diri menjadi ilmu
kearsipan, demikian pula ilmu kearsipan perlu senantiasa mengembangkan
pengetahuan kearsipan pada dirinya.
Bucci menekankan pemahaman terhadap arsip yang dikembangkan
sebagai ilmu kearsipan adalah adanya penekanan pada penciptaan dan
penyimpanan arsip yang didasarkan atas konteks sosial, pengorganisasian
dan fungsionalisnya. Pemahaman arsip dapat diperoleh melalui konteksnya
dan sebagai konsekuensinya pengelolaan arsip itu harus didasarkan pada
konteknya pula.

4. Teori dan Metodologi Kearsipan

Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan


33
pengetahuan. Pengetahuan tentang cara mengelompokkan dan
menyimpan arsip yang memiliki sejar ah panjang. Jika ditarik benang
merah ke belakang, sejak 7000 tahun lalu, bangsa Sumeria telah
menghasilkan “sistem” pencatatan pertama kali berupa catatan tentang
pajak, pinjaman dan inventaris barang.

32 Eric Ketelaar, 1997, “The Diference Best Postponed? Cultures and Comparative Science”, dalam Archivaria
44, hlm. 142-148.
33 Jujun S. Suriasumantri, op.cit., hlm. 1.

52
Pada tahun 562 SM, kearsipan menjadi salah satu fungsi pemerintahan
34
yang penting di kerajaan Mesir Kuno dan Babilonia. Hingga abad
pertengahan di Eropa, kearsipan menjadi kegiatan tersendiri, walaupun
dalam pengklasifikasiannya masih dilakukan sama dengan perpustakaan.
Dimulai dari Perancis, saat terjadi revolusi Perancis, pengetahuan
kearsipan mulai menemukan prinsip-prinsip keilmuan, yaitu dengan
diterapkannya prinsip pengaturan arsip respect des fonds pada tahun
1841, bahwa arsip harus diatur berdasarkan unit atau lembaga penciptanya.
Di Prussia, prinsip pengaturan arsip ini disebut dengan provenienzprinsip
atau principle of provenance (prinsip asal-usul), dikembangkan oleh
sejarawan Heinrich von Sybel dalam tulisannya Regulative fur die
Ordnungsarbeiten im Geheime Staatsarchiv (aturan untuk penataan arsip
negara yang rahasia) tahun 1881. Pada saat yang sama juga dikembangkan
satu prinsip baru yang disebut registratur prinsip yang pada perkembangan
selanjutnya disebut prinsip aturan asli (original order), yaitu bahwa
penataan arsip harus memperhatikan tatanan asli ketika arsip digunakan
35
oleh lembaga penciptanya.
Di Belanda prinsip-prinsip tersebut diaplikasikan dan pada tahun
1898. Muller, Feith, dan Fruin menyusun buku pedoman yang sangat
popular disebut Dutch Manual yang sudah diterjemahkan dalam
berbagai bahasa. Arsiparis Belanda membandingkan kegiatan penataan
arsip seperti ahli paleontologist yang menangani tulang-tulang binatang
bersejarah. Di Inggris, prinsip-prinsip di atas juga diaplikasikan,
sebagaimana tertuang dalam tulisan Sir Hilary Jenkinson yang berjudul
Manual of Archive Administration tahun 1922. Demikian pula
perkembangan kearsipan di Amerika, juga menggunakan prinsip-prinsip
dasar di atas. Dr. Waldo G. Leland dalam kertas kerjanya American
Archival Problems, 1909, menyatakan bahwa pada umumnya prinsip
yang dianut oleh kebanyakan lembaga arsip di Eropa, “herkomst beginsel”,

34 Blasius Sudarsono,”Records Management, Mengenal Standar Nasional Indonesia 19-6962.1-


2003” Makalah Sarasehan Kearsipan di LIPI, 2001.
35 T.R. Schellenberg, op.cit., hlm. 227-228.

53
“respect des fonds”, atau “principe de la provenance” harus diikuti di
Amerika, supaya dapat mencerminkan proses yang menyebabkan
mereka ada.
Diskusi di atas menunjukan bahwa dalam bidang kearsipan telah
ditemukan suatu hukum dasar untuk menata arsip yang berlaku umum,
berulang-ulang dan telah diuji bertahun-tahun.
Setelah perang dunia kedua, tercipta banyak sekali arsip akibat proses
modernisasi di berbagai sektor kehidupan. Ahli sejarah masa depan mulai
merasa khawatir jika ingin meneliti zaman kita, sejarawan akan tenggelam
dalam banjir bukti-bukti tertulis,36 Kecuali timbul permasalahan yang
berhubungan dengan jumlah arsip yang sangat banyak dan berbagai
macam jenisnya, permasalahan yang paling krusial adalah menentukan
arsip apa yang harus disimpan. Penentuan arsip apa yang disimpan
berhubungan dengan masalah representasi arsip yang mampu
merefleksikan benda atau peristiwa secara tepat dan lengkap, sehingga
kebutuhan sumber penelitian dapat dipenuhi. Hal ini kemudian mendorong
munculnya teori penilaian arsip baru yang semula menggunakan
pendekatan tradisional dan berubah ke pendekatan modern.
Perkembangan prinsip pengaturan dan prinsip penilaian arsip
menunjukan adanya proses dinamisasi sebuah ilmu yang sedang mencari
bentuk. Selain konsep dan teori yang berhubungan dengan penataan dan
penilaian arsip, berkembang pula ideologi kearsipan yang dapat disebut
semacam aliran, yaitu pandangan atau ide tentang life cycle of archives
(daur hidup arsip) dan ide continuum. Ide ini muncul ketika bahwa
pengelolaan arsip merupakan proses yang terpadu. Semula pengelolaan
arsip masih terbatas pada satu aspek saja, yaitu ilmu tentang penataan
dan penyimpanan arsip yang kemudian berkembang suatu pemikiran
bahwa penataan dan penyimpanan arsip dipengaruhi secara langsung
oleh proses sebelum dan sesudahnya.

36 T.R. Schellenberg, 1956, The Apprisal of Modern Public Records, National Archives
Bulletin No.8 Oktober 1956, Terjemahan Ismail Marahimin, 1980, Jakarta : Arsip Nasional RI.

54
Pandangan kearsipan yang mulai berkembang di Eropa pada awal
abad 20 menganggap bahwa arsip hidup dalam dua fase besar, yaitu
kehidupan dinamis (current) dan kehidupan statis (non current). Dalam
fase kehidupan dinamis, arsip diibaratkan seperti kehidupan manusia
yang melalui siklus diciptakan, digunakan dan dipelihara, serta disusutkan
(lahir-hidup-mati). Sedangkan fase kehidupan statis, dimulai dari penilaian,
penyimpanan dan pelestarian, serta penggunaan dan pelayanan arsip.
Fase dinamis dialami ketika arsip masih berada di dalam lembaga
penciptanya. Fase statis dialami ketika arsip sudah berada di lembaga
kearsipan, seperti Arsip Nasional atau Arsip Daerah. Fase dinamis dan
statis dipisahkan secara ekstrim oleh kewenangan kelembagaan. Faham
daur hidup ini berkembang hampir diseluruh belahan dunia, termasuk
Indonesia.
Menjelang akhir abad 20 berkembang aliran continuum yang dimulai
dari Kanada dan kemudian berkembang secara subur di Australia. Faham
ini memandang arsip sebagai satu kesatuan yang koheren, tidak
memisahkan antara fase dinamis dan statis. Entitas arsip sebagai informasi
secara serentak mengalami perkembangan fungsi dari yang bersifat
esklusif menjadi inklusif, dari yang bersifat administratif organisatoris
menjadi berdimensi sosiokultural. Saat arsip diciptakan maka pada saat
itu pula terpikir proses layanan arsip kepada masyarakat.
Faham continuum diduga muncul akibat difusi teknologi informasi
dan komunikasi dalam praktik administrasi dan kearsipan. Munculnya
arsip elektronik yang tidak dapat diraba secara fisik mengakibatkan
tahap-tahap kearsipan tidak dapat dipisah-pisahkan dalam waktu yang
berbeda-beda. Pada saat membuat surat elektronik, sekali tekan enter
maka beberapa proses telah terjadi secara bersamaan, yaitu membuat
naskah/ surat, mengirim, menyimpan, menentukan lokasi simpan,
menentukan status akses, bahkan status penyusutannya. Dalam pandangan
daur hidup proses-proses itu berlangsung secara berurut dalam waktu
yang berbeda.

55
Pandangan continuum, belum sepenuhnya digunakan dalam praktek.
Sebagai sebuah konsep, faham ini banyak diterima para ahli arsip, namun
dalam prakteknya belum dapat diimplementasikan secara menyeluruh.
Bahkan dalam beberapa segi sering menimbulkan pertentangan.
Seorang ahli filsafat ilmu kearsipan dari Hongaria mengingatkan
bahwa adaptasi kearsipan akibat perkembangan jaman dan TIK, tidak
akan menjadi masalah jika kita tetap setia berpegang pada tugas pokok
kearsipan yaitu: menyeleksi, memproses arsip agar dapat diakses dan
mempreservasi arsip sesuai dengan jangka simpannya.
Penyesuaian/adaptasi/perubahan metode pengelolaan arsip diharapkan
tidak membimbing kita untuk melakukan kompromi yang buruk dan
merendahkan diri sendiri, sehingga kearsipan dikerjakan tanpa
membutuhkan ilmu pengetahuan. Nilai dasar kearsipan seperti
profesionalisme dan kebanggaan pada bidang ini tetap harus dijaga
sebagai suatu yang paling berharga.

5. Hubungan Ilmu Kearsipan dengan Ilmu-ilmu Lain


Pandangan Luciana Duranti tentang perlunya penekanan pada aspek
perlindungan terhadap akuntabilitas lembaga kearsipan yang terpercaya
sehingga dapat mendukung proses demokrasi 37, merupakan pandangan
yang sangat menarik. Pandangan ini sedikit banyak mempertemukan
dengan pandangan sosial dinamik ala Ketelaar dari daratan Eropa. Arsip
mencerminkan dinamika sosial masyarakat, di dalam arsip tersimpan
peradaban manusia tentang berbagai disiplin ilmu. Arsip memuat sumber-
sumber yang dijadikan bahan penelitian berbagai bidang ilmu seperti:
ilmu administrasi negara, sejarah diplomatik, sejarah nasional, sejarah
dan teori ekonomi, kependudukan, biografi dan genealogi, teknologi,
ilmu hayat, dan lain-lain.
Jika selama ini arsip “hanya” dipandang berkorelasi langsung dengan
ilmu sejarah, mungkin karena arsip memang merupakan sumber primer
terpenting dalam penulisan sejarah. Namun sesungguhnya, arsip
merupakan sumber berbagai macam ilmu. Hanya saja selama ini hanya

56
sejarawan yang memenuhi sudut-sudut ruang baca arsip. Para peneliti
ilmu lain lebih tertarik pada studi lapangan atau laboratorium.
Sejarawan haruslah berterimakasih kepada arsiparis, karena ibarat
di restoran, sejarawan adalah pembeli sedangkan arsiparis adalah juru
masaknya. Jika ramuan bumbu yang disajikan oleh arsiparis salah maka
sejarawan akan menyantap hidangan yang sangat tidak enak atau mungkin
beracun. Jika arsip yang direkam, diseleksi, disimpan, dan
direpresentasikan oleh arsiparis tentang suatu peristiwa salah, maka
sejarawan juga akan mengungkapkan fakta yang salah. Dengan demikian
sejarawan dan arsiparis berpegang pada dua macam ilmu yang sejajar,
yang saling mempengaruhi satu sama lain. Arsiparis membutuhkan
karya-karya sejarah untuk memahami konteks sejarah penciptaan arsip,
sehingga teori dan metode kearsipan yang diterapkan dapat dilaksanakan
dengan tepat. Sejarawan juga membutuhkan karya-karya arsiparis berupa
finding aids yang memiliki akurasi atau ketepatan dalam merekam dan
merepresentasikan peristiwa masa lalu.
Demikian pula hubungan ilmu kearsipan dengan ilmu-ilmu lain.
Output dari penerapan ilmu kearsipan menjadi sumber yang bermanfaat
bagi penelitian-penelitian bidang ilmu lain. Sedangkan pemahaman
terhadap bidang-bidang lain akan memperluas cakrawala dan memberi
kerangka dalam pengelolaan arsip. Misalnya ilmu bahasa membantu
memahami isi arsip, ilmu huruf kuno membantu membaca isi arsip, dan
lain-lain.

E. Kesimpulan
Objek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dapat diuji dengan panca indera manusia. Proses keilmuan bertujuan
untuk memeras hakikat objek empiris tertentu untuk mendapatkan sari
berupa pengetahuan mengenai objek tersebut. Kearsipan merupakan
ilmu yang memiliki kebenaran dan dapat diuji dengan teori kebenaran
dan teori representasi. Arsip sebagai objek materi yang empiris dari
sebuah ilmu memiliki landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi

57
tersendiri yang melahirkan teori dan metodologi khusus sehingga arsip
dapat menjadi bidang pengkajian yang mendalam.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pembahasan tentang arsip dari sudut pandang falsafah masih sangat
jarang dilakukan oleh para ahli arsip, sehingga fondasi keilmuan
kearsipan kurang kokoh jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain.
2. Pembahasan falsafah kearsipan dimulai dari pencarian yang terdalam
terhadap sesuatu yang berada di balik arsip, yang diyakini “sangat
tetap dan dalam” sebagai sebuah simbolisasi, yang dapat diungkap
struktur, isi, dan konteksnya.
3. Ilmu kearsipan memiliki teori dan metodologi yang melingkupi
keseluruhan hakekat dan proses arsip untuk menjaga arsip tetap
memiliki karakter alamiahnya, yaitu: keaslian, reliabilitas, integritas,
dan aksesibilitas.
4. Untuk menjaga karakter alamiah arsip, maka diimplemen-tasikan
prinsip-prinsip dasar kearsipan, yaitu: menjaga keaslian, menjaga
hubungan antar arsip, dan menjaga konteks arsip menggunakan
prinsip penataan provenance dan original order.
5. Dalam perkembangan yang mutakhir, ilmu kearsipan menghadapi
problem yang sangat mendasar, yaitu perubahan paradigma akibat
munculnya arsip elektronik, yang memunculkan pandangan continuum
di samping pandangan daur hidup arsip yang masih tetap subur
diimplementasikan di berbagai belahan dunia.
Akhirnya, kearsipan sebagai ilmu yang mandiri membutuhkan
perjuangan yang gigih dan panjang dari para penggiat arsip. Oleh karena
itu, sebagaimana halnya sapu lidi, “Bersatulah, hai … para penggiat
arsip!”.
Terima-kasih.
Jakarta, September 2010
Imam Gunarto

37 Luciana Duranti, “ The Power of Archives” dalam InterPARES 2 Project

58
DAFTAR PUSTAKA

Bateson, Gregory, Step To An Ecology of Mind, New York:


Ballantine, dalam David Kroenke, 1992, Management
Information Systems, second Edition, Watsonville, California,
Mc. Graw-Hill, Inc, 1978.

Cook, Terry, 1992, Mind Over Matter: Towards a New Theory of


Achival Appraisal, dalam Barbara L. Craig (ed.) The Archival
Imagination, Essay in Honour of Hugh Taylor, Otawa, Kanada.

Cook, Terry, 1997, What is Past is Prologue: A History of Archival


Ideas Since 1989, and the Future Paradigm Shift, dalam
Archivaria.

Duranti, Luciana, tanpa tahun, The Power of Archives, dalam InterPARES


2 Project.

Duranti, Luciana, 1989, Diplomatic: New Uses for an Old Science


(Part One), dalam Archivaria 28.

Foote, Kennet E., 2003, To Remember and Forget: Archives, Memory,


and Culture, Randall C. Jimerson, 2003, American Archival
Studies, Reading in Theory and Practice, editor, The Society of
American Archivists, Chicago.

Gardiner, Patrick, Filsafat Sejarah, dalam Ilmu Sejarah dan


Historiografi, Arah dan Perspektif, diredaksi oleh Taufik Abdullah
dan Abdurachman Suryomihardjo, Jakarta: Gramedia, 1985.

59
Haworth, M. Kent, Archival Description: Content and Context
in Search of Structure, dalam Daniel V. Pitti and Wendy M.
Duff, (ed.), Encoded Archival Description on the Internet,
The Haworth Press, Inc, 2001.

Hilary Jenkinson, A Manual of Archives Administration,


London: Pency Land Humpries & Co. Limited, 1965.
ISO 15489:2001 tentang Records Management.
ICA, General International Standard Archival Description /
ISAD (G), Ottawa, 2000.

Ketelaar, Eric, 1997, The Diference Best Postponed? Cultures and


Comparative Science, dalam Archivaria 44.

Kroenke, David, Management Information Systems, second


Edition, California: Mc. Graw-Hill, Inc, 1992.

Magetsari, Noerhadi, Organisasi dan Layanan Kearsipan


Jurnal Kearsipan , Vol.3, ANRI, 2008

Mulyono, Pengantar Filsafat Sistematik, Semarang : Fakultas


Sastra Universitas Diponegoro, 2008.

Muhadjir, Noeng, 1998, Metode Keilmuan Kuantitatif, Internship


Filasafat Ilmu, Dosen Filsafat Ilmu se-Indonesia, Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.

Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.

Popper, Karl R., Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya,


terjemahan oleh Uzair Fauzan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

60
Schellenberg, The Apprisal of Modern Public Records, National
Archives Bulletin No.8 Oktober 1956, Terjemahan Ismail
Marahimin, 1980, Jakarta: Arsip Nasional RI, 1956.

Schellenberg, T.R., Modern Archives, Principles and Techniques,


terjamahan Ismail Marahimin, Jakarta : Arsip Nasional RI, 1980.

Shannon, Claude E dan Warren Weaver, The Mathematical Theory of


Communication, Urbana, University of Illinois Press, 1949
dalam David Kroenke, 1992, Management Information Systems,
second Edition, Mc. Graw-Hill, Watsonville, California. :
Inc, 1992,

Sudarsono, Blasius, Records Management, Mengenal Standar


Nasional Indonesia 19-6962.1-2003, Jakarta: makalah dalam
seminar kearsipan, 1996.

Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Perspektif, sebuah Kumpulan


Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 2009.

61
MODEL SISTEM PENGELOLAAN ARSIP
DI INDONESIA

Drs. Bambang P. Widodo, M. Si

Abstract :

This qualitative and descriptive research is to find the relation of records


life cycle using records continum model and to describle models that
need to be developed for the implementation of records management in
Indonesia.
The growth of information need and development in information and
technology has altered the system from communication using life cycle
records management system to records continum, these matters initiated
the writer to do the research. The approach transformation has influenced
position of records management creators or archivists. They now hold
position as managers of records and archives in Indonesia.

The research shows that the increasing ofinformation usage in


organizations and societies has emerged the pratice of records continuum
model. Though, the function concept of life cycle records cannot be lifet
behind whenever the model is applied. It is the basic of technical
intellectuality in doing records appraisal and preservation.

Key Words : records life cycle/records continum model / accountability


/ archivists / records appraisal/preservation.

62
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prinsip dasar dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik (Good Governance) diantaranya adalah adanya transparansi dan
akuntabilitas. Transparansi yang dimaksud adalah transparansi informasi
dalam hal keterbukaan ataupun pemenuhan kebutuhan informasi bagi
publik guna mendapatkan informasi dari berbagai sumber yang terpercaya.
Adanya transparansi informasi menjamin hak setiap orang untuk
memperoleh informasi, termasuk mengenai penyelenggaraan
pemerintahan. Transparansi informasi merupakan bentuk akuntabilitas
dari pemerintah di dalam mengelola tata kepemerintahan.
Agar tujuan transparansi dan akuntabilitas dapat memenuhi sasaran
perlu dibangun sistem pengelolaan informasi yang andal untuk menjamin
keabsahan, akurasi, obyektivitas dan ketepatan waktu pada saat
penyampaian serta menjamin akses publik terhadap informasi. Sejalan
perkembangan teknologi dan informasi di dalam tata kelola pemerintahan,
telah memberi kesempatan kepada publik untuk lebih awal memperoleh
informasi. Pemenuhan akan kebutuhan informasi, telah membawa
berbagai perubahan dalam tata cara memandang, memperoleh,
mengumpulkan dan mengelola informasi.
Salah satu sumber informasi yang objektif, akurat dan lengkap
adalah arsip, dalam arti sebagai informasi yang terekam (dokumen)
apapun bentuk atau mediumnya, dibuat, diterima dan dipelihara oleh
suatu organisasi, institusi atau individu menurut kewajiban hukumnya
atau dalam rangka transaksi kegiatan (Walne(ed), 1988). Data yang
terekam di dalam arsip merupakan bahan baku di dalam sistem informasi
sekaligus merupakan bukti (evidence) dari suatu peristiwa, transaksi
ataupun perumusan kebijakan di dalam penyelenggaraan pemerintahan,
dan bukti-bukti yang ditampilkan dalam penyelenggaraan pemerintahan
tersebut merupakan akuntabilitas kinerja pemerintahan.

63
Pengelolaan arsip baik ketika masih arsip dinamis (Records) dan
arsip statis (archives) merupakan rangkaian usaha yang terorganisir dan
terstruktur melalui pendekatan yang logis terhadap kehidupan arsip,
premisnya adalah setiap tahapan dapat diamati selama periode kehidupan
arsip (Daur hidup arsip/ Life cycle of records). Sejalan dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, berimbas pula
terhadap proses administrasi dalam format arsip elektronik maupun
digital, bukan lagi hanya kertas. Pendekatan pengelolaan arsip dinamis
yang semula berbasis life cycle of records konon mulai bergeser
menyesuaikan paradigma baru-hak publik untuk mengakses informasi
secara elektronik, yaitu pendekatan pengelolaan arsip keberlanjutan
(records continuum) dimana pengendalian arsip dimulai sejak
penciptaannya (dan sebelum penciptaan) sampai pada preservasi dan
penggunaan informasi yang dapat diakses publik.

B. Permasalahan

Pergeseran akan kebutuhan informasi, menyebabkan manajemen


arsip dinamis diartikan sebagai pengelolaan arsip yang terjadi pada setiap
organisasi menuntut kesiapan sistem dan program yang menjamin bahwa
informasi yang diperlukan, apapun bentuknya dapat disimpan dan
disajikan kepada organisasi maupun publik. Saat ini, dengan semakin
meningkatnya kebutuhan informasi telah menggiring pemikiran awal
yang semula terpaku dengan kegiatan menyimpan arsip beralih ke arah
kegiatan yang berorientasi kepada kepentingan si pengguna (user). Sistem
pengelolaan arsip mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
teknologi infomasi dan komunikasi, kegiatan administrasi dengan
sendirinya menghasilkan beberapa jenis arsip, yang secara teknis
membutuhkan kompetensi dan persyaratan khusus bagi yang mengelolanya
sesuai dengan jenis dan karakteristik arsip.
Pendekatan daur hidup arsip (life cycle of records) mengalami
perubahan dan perlahan bergeser ke pendekatan pengelolaan arsip

64
keberlanjutan (records continuum), dimana pengendalian arsip dinamis
dimulai sejak penciptaannya (dan sebelum penciptaannya) sampai pada
preservasi dan penggunaan informasi yang dapat di akses publik. Adanya
kemungkinan perubahan pendekatan dalam records management tersebut
mau tidak mau bersinggungan dengan Arsiparis (istilah profesi di
Indonesia) baik yang terdapat di Pencipta Arsip maupun Lembaga
Kearsipan sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan
arsip dinamis dan juga arsip statis. Bila selama ini pemahaman arsiparis
terpaku dengan pendekatan life cycle of records maka ke depan dan
seterusnya perlu disiapkan kemampuan intelektual dan penguasaan teknis
kearsipan yang mendukung aplikasi dalam records continuum model.
Dalam kerangka pemikiran tersebut, tulisan ini mencoba mencari
titik temu dari kedua pendekatan (Life Cycle of Records dan Records
Continuum) yang sekiranya dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
pengguna dan pengelola yang ada di Indonesia. Orientasi inilah yang
menimbulkan berbagai kajian baru dalam manajemen arsip dinamis,
model sistem pengelolaan arsip manakah yang lebih cocok untuk
diterapkan didalam penyelenggaraan kearsipan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan


maka tujuan kajian ini adalah :
1. Menganalisis titik temu antara konsep life cycle of records dengan
continuum records;
2. Mendeskripsikan model yang perlu dikembangkan terkait
dengan implementasi pengelolaan arsip di Indonesia;

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah menjadi bahan masukan


untuk mengembangkan dan memajukan ilmu kearsipan baik dari segi
teoritis maupun praktis, sehingga mampu memperkaya khazanah pustaka
maupun penelitian di bidang kearsipan umumnya dan pengelola kearsipan
atau Arsiparis khususnya.

65
TINJAUAN LITERATUR

A. Sistem Manajemen Arsip


Pengelolaan arsip di Indonesia masih banyak dipahami hanya
dengan mengelola arsip secara fisik dan bukan sebagai informasi.
Mengelola arsip berarti juga perlu memperhatikan bentuk media yang
diciptakan, karena media arsip yang berbeda memerlukan perlakuan
yang berbeda pula sesuai dengan karakteristiknya. Dengan demikian
arsip memerlukan pengelolaan (management) yang spesifik. Pengertian
Records Management menurut Patricia E. Wallace adalah sebagai
pengendalian secara efisien dan sistematis atas daur hidup arsip dari
penciptaan sampai dengan pemusnahan akhir atau penyimpanan arsip
secara permanen. Konsep efisiensi erat kaitannya dengan permasalahan
dana, sumber daya manusia, prasarana dan sarana serta pengawasan.
Efisiensi berarti usaha untuk mewujudkan records management yang
efektif terhadap proses daur hidup arsip. Berdasarkan daur hidup arsip,
maka dapat dikatakan bahwa manajemen kearsipan pada dasarnya
merupakan suatu sistem.
Sistem adalah suatu seri dari sekumpulan elemen yang saling
berkaitan yang bersama-sama menyelenggarakan dan mendukung
aktivitas, fungsi dan pelaksanaan tertentu (Robek; 9187,69). Sebagai
suatu sistem, manajamen kearsipan memperlihatkan adanya tiga unsur
dasar yang meliputi in-put (masukan) berupa informasi, prasarana dan
sarana, SDM dan biaya. Proses pengolahan (proccessing) yang mencakup
daur hidup arsip, untuk kemudian out-put (keluaran) menghasilkan
informasi yang siap disajikan bagi pengguna informasi. Ketiga unsur ini
mengarah kepada suatu tujuan penyelenggaraan kearsipan. Sebagai suatu
sistem, manajemen kearsipan mengatur seluruh daur hidup arsip yang
memiliki sasaran yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang tepat,
kepada orang yang benar, dengan waktu yang cepat dan biaya yang
serendah mungkin. Dengan demikian, manajemen kearsipan sebagai
sistem tidak dipandang sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, namun

66
harus dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
manajemen informasi.

B. Konsep Siklus/Daur Hidup Arsip (Life


Cycle of Records)
Istilah siklus/daur hidup secara tradisional maupun sains merupakan
konsep yang menggambarkan keseluruhan rangkaian proses yang
membentuk ‘hidup’nya suatu organisme, Perjalanan kehidupan suatu
organisme dapat lihat dari tiap generasinya. Sebagaimana hal di atas,
pada konsep daur hidup arsip (Life cycle of records) terdapat ciri
pengulangan atas generasi arsip dinamis yang dapat dideskripsikan ke
dalam tahap-tahap tertentu, yaitu kelahiran (creation), kehidupan (use/
maintenance) dan akhirnya sampai kepada kematian (disposal). Daur
hidup arsip mulai dikembangkan di USA tahun 1934, manajemen
kearsipan yang pada awalnya merupakan suatu rangkaian kegiatan
kearsipan yang sporadis dan tidak saling berkaitan kini mulai beralih
menjadi suatu rangkaian usaha yang teroganisir, terstruktur dan adanya
pendekatan-pendekatan yang logis untuk fase penciptaan, pemeliharaan
dan pemusnahan arsip (Boedi Martono; 1997, 10).
Sebagai suatu siklus, tiap tahapan merupakan suatu proses kegiatan
yang mandiri (sebagai sub sistem) yang tetap saling berhubungan dan
menjalin suatu rangkaian yang utuh untuk mencapai tujuan, yakni
pengelolaan arsip dinamis yang efisien dan efektif. Arsip yang tercipta
atau diterima merupakan bukti dari aktivitas atau hubungan yang pernah
terjalin antara organisasi/ individual dengan pihak lain. Sebagai sumber
informasi yang mengandung continuing value, maka arsip perlu dipelihara
dan dilestarikan. Pendekatan Life cycle of records secara sistematis akan
menggolongkan arsip ke dalam fungsinya berupa arsip aktif, inaktif dan
statis. Secara fungsional life cycle of records menghasilkan dua siklus
kegiatan, sebagaimana yang digambarkan oleh Michael Ropper, yakni
pengelolaan arsip dinamis (records management) dan pengelolaan arsip
statis (archives administration/archives management).

67
Siklus yang ditampilkan dalam bentuk lingkaran dibagi menjadi
dua bagian, siklus manajemen arsip dinamis, dengan komponen
penciptaan, penggunaan dan pemeliharaan serta penyusutan, dengan
siklus manajemen arsip statis pada sisi berikutnya, yang dimulai dari
akuisisi, pengaturan dan pendeskripsian, preservasi, akses dan layanan,
serta pemanfaatan dan pendayagunaan arsip.

Records Management

Archives Management/ Archives Administration


Gambar 1. Life cycle of records, Michael Ropper

68
Pembagian komponen Michael Ropper ini seakan mewakili dari
semua pendapat mengenai Life cycle of records, Pada tahap Records
Creation, terdiri dari : form design, form management, preparation and
management of correspondence, reports management, management and
information systems, directives management, word and text processing.
Tahap Records Use and Maintenance, terdiri dari : filing and retrieval
systems, files management, mail and telecommunication management,
selection and management of office copying machines, system analysis,
vital records programs and records centres, sementara tahap Records
Disposal meliputi : identification and description of records series,
development of records retention and disposal schedule, records appraisal,
records destruction, transfer of records to archives.
Siklus di atas ini, memperlihatkan bahwa pengelolaan dan
penyimpanan arsip dinamis aktif, inaktif dan statis sebenarnya merupakan
proses yang berkesinambungan sesuai fungsinya yang menghubungkan
antara records management dan archives management. Munculnya
beberapa pendapat mengenai konsepsi pengelolaan arsip dinamis dan
pengelolaan arsip statis merupakan wujud dari suatu model siklus hidup
arsip. Ada beberapa model siklus arsip yang dikembangkan, baik teori
yang dikemukakan oleh Suzan Z. Diamond, Michael Ropper, Betty R.
Ricks, Helen Harding maupun Minna M. Johnson dan Norman F. Kallaus,
beberapa pendapat tersebut sepenuhnya mengambarkan tahapan kegiatan
kearsipan yang menjamin keberlangsungan didalam penciptaan arsip
sampai dengan proses ketetapan akhir, yaitu untuk dimusnahkan atau
disimpan secara permanen sebagai arsip statis.
Begitupun, model Patricia E. Wallace dkk, memperlihatkan adanya
pengelolaan arsip dinamis dan arsip statis yang dideskripsikan dengan
delapan tahapan, yaitu creation, distribution, utilization, active storage,
transfer, inactive storage, disposition and permanent storage (archives).
Namun, secara jelas tetap ada pemisahan tanggungjawab pengelolaan
antara records manager dengan archivist. Dalam uraiannya suatu siklus
hidup arsip identik dengan pengelolaan arsip dinamis saja (records

69
management), meskipun saat ini siklus hidup arsip sudah mulai dikenalkan
dan berhubungan dengan pengelolaan arsip statis (archives management),
seperti yang dikemukakan Jay Kennedy dan Cherryl Schauder.
Arsip yang tercipta atau diterima merupakan bukti dari aktivitas atau
hubungan yang pernah terjalin antara organisasi/ individual dengan pihak
lain. Sebagai sumber informasi yang mengandung continuing value,
maka arsip perlu dipelihara dan dilestarikan. Dengan demikian, life cycle
of records secara sistematis akan menggolongkan arsip ke dalam fungsinya
berupa arsip aktif, inaktif dan statis. Secara fungsional life cycle of
records menghasilkan dua siklus kegiatan, yakni pengelolaan arsip
dinamis (records management) dan pengelolaan arsip statis (archives
administration/ archives management). Namun demikian, pengelolaan
dan penyimpanan arsip dinamis aktif, inaktif dan statis sebenarnya
merupakan proses yang berkesinambungan sesuai fungsinya yang
menghubungkan antara records management dan archives management.

C. Konsep Records Continuum Model


Pergeseran sifat medium arsip dari medium kertas (tangible) ke
medium elektronik dan digital mengakibatkan pemeliharaan (preservasi)
arsip menjadi concern bagi sekelompok Ilmuwan yang dipimpin Sue
Mc Kemmish Records Continuum Research Group dari Monash
University. Dalam Life cycle of records, preservasi hanya dilakukan pada
mediumnya saja hasil dari penilaian fisik arsip dinamis, karena ketika
itu sebagian besar arsip diciptakan memakai medium kertas. Beda dengan
arsip elektronik, adanya perubahan pesat media simpan (hardware /
software) beresiko terhadap data/ dokumen arsip elektronik yang sulit
dikendalikan, banyak duplikasi, bisa musnah dan hilang atau memancing
tindakan pemalsuan dokumen. Kerusakan terhadap arsip elektronik
tersebut, selain mengakibatkan pemborosan dana akibat pembelian
storage tambahan, juga menyebabkan akuntabilitas publik terhadap
organisasi rendah karena untuk mengakses informasi yang akurat, andal,

70
otentik dan lengkap sulit diperoleh akibat telah musnah/ hilangnya arsip
sebagai bukti transaksi organisasi.
Dengan latar belakang permasalahan di atas, menurut Jay Kennedy
dan Cherryl Schauder (1998) diperlukan pendekatan manajemen arsip
dinamis lain yang mensyaratkan adanya pengelolaan dan penyimpanan
dari medium yang berbeda antara jenis arsip yang satu dengan yang lain.
Namun perbedaan pengelolaan tersebut haruslah memperlihatkan satu
kesatuan rangkaian yang saling keberlanjutan secara utuh (records
continuum) dan bukan memutuskan hubungan antara sesama ’subjek’nya.
Konsep records continuum model bergulir dan mengalami evolusi
dalam tiga periode. Pertama asal usul konsep continuum, yang dikenalkan
oleh Ian Mac Lean (tahun 1950-an), bahwa seorang records manager
akan menjadi archivist sejati apabila mampu mengelola kesinambungan
pengelolaan arsip dinamis dan arsip statis. Kedua, penggunaan kata
continuum yang meluas, menurut Jay Atherton (tahun1980-an) tidak
terbatas hanya keterlibatan records manager dan archivist saja tetapi
juga memperlihatkan akhir dari life cycle of records adalah arsip statis
(archives).
Pada periode ketiga-terakhir, yang dikembangkan Frank Upward
(1990-an), memunculkan implementasi records continuum untuk
mengelola arsip dinamis, baik yang berupa medium kertas maupun
elektronik. Periode ini merumuskan empat prinsip dalam records
continuum model, yaitu : (1) Konsep ’records’ diartikan sebagai arsip
’inklusif’, bisa arsip dinamis maupun arsip statis; (2) Fokus ’records’
bukan lagi semata-mata fisik medium, tetapi memiliki kriteria khusus
yakni isi (content), konteks (context) dan struktur (structure); (3) Dukungan
lembaga dan keterlibatan profesi pengelola arsip dinamis dan arsip statis
didalam pengelolaan arsip dinamis, dan ; (4) Ilmu Kearsipan sebagai
fondasi untuk mengelola arsip dinamis yang terintegrasi di masa lalu,
masa kini dan masa yang akan datang; (http : //arsiparis.blogspot.com,
Life Cycle of Records versus Records Continuum Model).

71
Menurut Australian Records Management Standard, Records
Continuum Model didefinisikan “The whole extend of a records existened
refer to a consistent and coherent regime of management processes from
the time of creation of records (and before creation, in the design of
recordskeeping), through to the preservation and use of records as
archives” (AS 4390; 1996). Keseluruhan cakupan eksistensi sebuah
arsip yang mengacu kepada proses pengelolaan arsip yang konsisten dan
koheren sejak penciptaan arsip dinamis (dan sebelum penciptaannya,
dalam mendesain recordkeeping system) sampai pada preservasi dan
pemanfaatan arsip dinamis sebagai arsip statis. Dari definisi tersebut,
konsep ini menghendaki adanya integrasi di dalam mengelola arsip
dinamis dan arsip statis, dimana pembuatan arsip dinamis menjadi titik
sentral perhatian, ini berbeda dengan Life cycle of records yang
memvisualisasikan dalam tahap-tahap berurutan. Dengan kata lain,
setiap arsip yang akan diciptakan harus mampu memperlihatkan bukti
sebuah aktivitas, sistem dan peraturan untuk memperolehnya, cara
memelihara dan menyimpan serta juga akses informasinya. Semua arsip
yang tercipta mengalami ‘proses’ tertentu selama masa hidupnya, proses
yang dimaksud bukan tahap-tahap urutan dengan fungsi yang berbeda
melainkan proses keberlanjutan (continuum) didalam mengatur arsip
yang dilakukan oleh pengelola arsip dinamis (records manager) dan
pengelola arsip statis (archivist), dimana di Indonesia kedua pengelola
asip (dinamis dan statis) dilakukan oleh Arsiparis.
Proses continuum (keberlanjutan) dengan melibatkan pengelola arsip
(dinamis dan statis) terbentuk akibat adanya kegiatan fungsionalisasi
dari tiap-tiap dimensi, tanpa lagi dibedakan antara fisik medium, baik
itu yang ditampilkan lewat kertas, maya atau virtual (perantara teknologi
elektronik dan digital).
Dimensi yang dimaksud, menurut Jay Kennedy dan Cherryl Schauder
(1998, 11) terdiri dari :
Dimensi I - Document Creation, pembuatan dokumen (harus memiliki
kriteria isi, konteks dan struktur) sebagai bagian dari proses komunikasi;

72
Dimensi II – Adding information for evidential purposes (records
capture), dokumen/ arsip dinamis yang tercipta diberi tengara informasi
(metadata) yang didukung atau berhubungan dengan dokumen-dokumen
lain;
Dimensi III – Organising Memory, pengelolaan arsip bersifat ’ke
dalam’ berupa memori organisasi dan menyediakan akses untuk
kepentingan organisasi; Dimensi IV – Pluralising Memory, pengelolaan
arsip bersifat ’keluar’ berupa memori kolektif dan menyediakan akses
informasi untuk kepentingan dan akuntabilitas publik.
Dimensi-dimensi tersebut dalam kegiatan operasionalnya dapat
berlangsung secara integral sehingga pada tahap penciptaannya telah
bernilaiguna primer dan bahkan sekunder, secara fungsional sangat
dipengaruhi oleh kemampuan teknis dan intelektual dari pengelolanya,
terutama ketika kegiatan penilaian (appraisal) harus sudah dimulai sejak
masa dinamisnya.

Gambar 2 : Dimensi-dimensi dalam Records Continum Model

73
Dengan demikian, secara konsep records continuum memberikan
cara pandang mengenai perlu dan pentingnya pengelolaan arsip dinamis,
perlu pengawasan terhadap pengelolaan arsip dinamis serta perlu
pemeliharaan informasi yang terkandung dalam pengelolaan arsip dinamis.
Cara pandang ini meletakkan keberadaan arsip secara integral sejak
tercipta bernilaiguna primer dan sekunder. Records continuum model ini
merupakan gabungan atau integrasi proses pengelolaan arsip dinamis
dan pengelolaan arsip statis dengan tetap mengenal tahap-tahap kehidupan
sebagaimana life cycle of records, namun bukan lagi sebagai fungsi
melainkan dalam konstruksi ruang dan waktu. Keberhasilan sekelompok
ilmuwan dari Australia untuk mengembangkan manajemen arsip dinamis
melalui pendekatan records continuum, pada akhirnya telah menjadi
rujukan internasional mengenai manfaat Records Management. Menurut
Sue Mc Kemmish (1998:4) pengelolaan arsip dinamis yang terintegrasi
dapat memfasilitasi governance, akuntabilitas, membangun identitas,
memori serta menyediakan sumber informasi yang bernilai tambah.

METODOLOGI

Jenis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang mencoba


mendeskripsikan tentang gejala yang terjadi pada objek sesuai dengan
fokus penelitian. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan
naturalistik untuk meneliti kondisi objek yang alami, dengan objek
penelitiannya adalah model sistem pengelolaan arsip di Indonesia.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara: (1) Penelitian Pustaka,
guna memperoleh data primer dan sekunder sehingga diharapkan dapat
memperjelas berbagai hal yang ditemukan dalam penelitian kualitatif;
(2) Observasi dilapangan untuk mengetahui dan melengkapi data primer,
hal ini diamati penulis selama 4 (empat) tahun terakhir selaku arsiparis
madya yang melakukan pembinaan, pengkajian dan pengembangan
sistem kearsipan di lembaga pemerintah pusat dan daerah serta badan
swasta .

74
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis isi
(content analysis) dimana proses analisis data dimulai sejak sebelum
dan selama proses dilapangan (model spradley) bersamaan dengan
pengumpulan data dan dituangkan dalam bentuk narasi deskriptif yang
diperoleh dari berbagai sumber dan teknik. Langkah berikutnya membuat
rangkuman inti secara induktif.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pembahasan dimaksudkan untuk menganalisis titik temu antara


konsep life cycle of records dengan continuum records serta
mendeskripsikan faktor-faktor yang perlu dikembangkan terkait dengan
implementasi pengelolaan arsip di Indonesia. Dalam penulisan ini setiap
pembahasan dikaitkan dengan peran dan fungsi Arsiparis selaku
penanggungjawab dan pengelola kearsipan di Indonesia.

A. Titik Temu Konsep Life Cycle Of Records Dan


Records Continuum

Secara konsep records continuum memberikan cara pandang


mengenai perlu dan pentingnya pengelolaan arsip dinamis, perlu
pengawasan dan tanggungjawab terhadap pengelolaan arsip dinamis
serta perlu pemeliharaan informasi yang terkandung dalam pengelolaan
arsip dinamis.

75
System Design

Records continuum model ini merupakan gabungan atau integrasi


proses pengelolaan arsip dinamis dan pengelolaan arsip statis dengan
tetap mengenal tahap-tahap kehidupan sebagaimana life cycle of records,
namun bukan sebagai fungsi melainkan dalam bentuk responsibility
yang mengelola arsip dinamis, dapat dilihat gambar di atas.
Cara pandang ini meletakkan keberadaan arsip secara integral sejak
tercipta dan akan bernilaiguna primer dan sekunder.

76
Dengan demikian, pendekatan Records continuum model tetap
menekankan adanya pengelolaan arsip dinamis dan arsip statis tetap
menjadi satu kesatuan pengelolaan. Records continuum model bukan
berarti mengabaikan tahap-tahap dalam life cycle of records, justru peran
Records Manager dan Archivist atau Arsiparis yang akan menjembatani
permasalahan yang terjadi secara terpadu, terutama dalam masalah
pengelolaan arsip elektronik maupun digital. Tahapan-tahapan pada life
cycle of records merupakan acuan bagi records continuum model,
sekaligus titik temu untuk mengendalikan arsip dinamis, tidak hanya
kepentingan organisasi tetapi juga kepentingan publik. Keberlanjutan
proses pengelolaan arsip dinamis dan arsip statis sangat ditentukan oleh
kesiapan dari Arsiparis di dalam mengelola arsip dinamis dan arsip statis
yang terintegrasi.
Pendekatan Records Continuum mempunyai empat fungsi pengelolaan
arsip dinamis, fungsi-fungsi dimaksud adalah ; (1) Control, adanya
pengawasan setiap penciptaan arsip; (2) Accessibility, menjamin
ketersediaan akses baik untuk organisasi maupun publik; (3) Disposal,
memungkinkan adanya kriteria penilaian dan pemusnahan, serta; (4)
Storage, kemampuan memelihara dan mempertahankan keotentikan
arsip sepanjang waktu;
Fungsi-fungsi yang dimaksud, mempertegas bahwa antara life cycle
of records maupun records continuum model memiliki persamaan, bahwa
pengelolaan arsip dinamis bermuara kepada arsip statis yang dihasilkan.
Untuk menghasilkan arsip statis yang benar-benar berkualitas dibutuhkan
tindakan penilaian arsip (records appraisal) sebagai salah satu instrument
di dalam melaksanakan penyusutan. Menurut Jay Kennedy dan Cherryl
Schauder (1998), penilaian arsip merupakan proses evaluasi kegiatan
untuk menentukan arsip yang perlu diambil dan disimpan guna memenuhi
kebutuhan kegiatan, persyaratan tanggungjawab dan harapan masyarakat.
Beberapa definisi lain tentang penilaian arsip (records appraisal)
mengerucut pada suatu kesimpulan bahwa penilaian arsip merupakan
analisis informasi terhadap sekelompok arsip untuk menentukan nilai

77
guna dan masa simpan arsip bagi kepentingan operasional organisasi
dan kepentingan masyarakat luas. Rumusan ini memperlihatkan bahwa
pertimbangan dalam penilaian arsip bertujuan tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan organisasi, menopang syarat-syarat akuntabilitas organisasi
tetapi juga untuk kepentingan pengguna arsip (stakeholders).
Disposal dalam pendekatan Records Continuum merupakan salah
satu fungsi dan bagian dari pengelolaan arsip dinamis, yaitu dengan
melakukan kegiatan penilaian (dalam rangka seleksi musnah atau simpan
sebagai memori organisasi dan memori kolektif) yang sudah dilakukan
sejak sebelum (pre-creation) atau pada saat penciptaan arsip dinamis
(records creation). Penilaian yang dimaksud, dengan memanfaatkan
‘tools’ dalam menganalisis fungsi dan organisasi serta menilai content
dan context, tanpa harus menghilangkan ciri-ciri yang dimiliki arsip
statis, yakni imparsialitas (kebenaran yang melekat), otentisitas, natural
dan interrelationship (saling ketergantungan).
Sementara penilaian pada life cycle of records dilakukan pada fase
terakhir dari arsip dinamis. Penilaian dilakukan sepenuhnya dalam rangka
disposal untuk menentukan nilaiguna primer dan sekunder dan / atau
selanjutnya ditetapkan musnah, disimpan organisasi atau permanen.
Proses penilaian ini hanya dapat dilakukan oleh mereka-mereka yang
melaksanakan kegiatan penyusutan (khususnya di Unit kearsipan) tanpa
melibatkan pencipta arsip.

B. Sistem Pengelolaan Arsip Yang Perlu


Dikembangkan Di Indonesia
Ketika paket kebijakan pengelolaan arsip pertama kali muncul di
akhir tahun 70-an, model life cycle of records dijadikan dasar untuk
digunakan dalam program pengembangan manajemen arsip dinamis,
termasuk di Indonesia yang mengenalkan kebijakan Sistem Kearsipan
Pola Baru maupun kebijakan-kebijakan kearsipan lainnya yang
menggantikan Sistem Kearsipan Pola Baru. Kebijakan sistem kearsipan

78
pola baru ini dilatarbelakangi oleh terus bertambahnya arsip dalam bentuk
kertas yang memerlukan tempat untuk menyimpannya dengan tetap
menitikberatkan kepada tiga tahapan daur hidup arsip, mulai dari tahap
penciptaan, penggunaan dan pemeliharaan serta penyusutan arsip, sesuai
teori Michael Rooper.
Sistem Kearsipan Pola Baru yang dikeluarkan oleh Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI) merupakan kebijakan kearsipan yang disusun
bersama-sama antara ANRI dengan Lembaga Administrasi Negara
(LAN). Kebijakan kearsipan ini mengutamakan perlunya instrumen
pendukung dalam pengelolaan arsip dinamis, yaitu Sistem Kartu Kendali
(pada tahap creation), Klasifikasi (tahap use and maintenance) dan
Jadwal Retensi Arsip (tahap disposal).
Dalam kurun waktu 10-15 tahun pertama, Sistem Kearsipan Pola
Baru coba diterapkan diseluruh instansi pemerintah baik pusat dan daerah,
terutama penggunaan perangkat 3 (tiga) instrumen pendukung. Pada
tahun-tahun awal, sosialisasi mengenai penggunaan instrumen pendukung
lebih menitikberatkan kepada instrumen kartu kendali. Hal ini dapat
dilihat dari hampir seluruh instansi pemerintah pusat menggunakan kartu
kendali dalam pengendalian suratnya. Sementara, penggunaan kartu
kendali di pemerintah daerah didukung oleh Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 100 Tahun 1979 tentang Tata Kearsipan Departemen
Dalam Negeri. Namun seiring dengan perjalanan waktu penggunaan
kartu kendali pada akhirnya berhenti di Unit Kearsipan dan tidak berlanjut
ke Unit Pengolah.
Begitu gencarnya sosialisasi penggunaan formulir kartu kendali atau
dikenal dengan ‘Sistem Kartu Kendali’ ketika itu menyebabkan kebijakan
Sistem Kearsipan Pola Baru identik dengan Sistem Kartu Kendali.
Sedangkan instrumen lain, yaitu Klasifikasi dan Jadwal Retensi Arsip
belum banyak yang mengenal sebagai bagian instrumen dari Sistem
Kearsipan Pola Baru. Jika instrumen kartu kendali diterapkan pada tahap
penciptaan, maka berikutnya pada tahap penggunaan dan pemeliharaan
dikenalkan instrumen pendukungnya yaitu Klasifikasi dan Jadwal

79
retensi Arsip. Kedua sarana ini muara akhirnya bertujuan untuk
mendayagunakan arsip untuk kepentingan pencipta arsip maupun
menyelamatkan arsip-arsip yang memiliki nilai untuk kepentingan
nasional.
Sejalan dengan perkembangan kearsipan, konsep Life Cycle of
Records yang mengilhami Sistem Pola Baru Kearsipan mulai ditinggalkan,
utamanya pemakaian instrumen kartu kendali. Tidak digunakannya
sistem kartu kendali berimbas kepada kebijakan Sistem Kearsipan Pola
Baru yang mulai sirna sebagai suatu kebijakan kearsipan nasional.
Terlebih, Sistem Kearsipan Pola Baru pada saat itu kurang didukung
oleh legalitas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kearsipan. Namun demikian secara prinsip, beberapa
instrumen dalam Sistem Kearsipan Pola Baru masih digunakan, yaitu
Klasifikasi dan Jadwal Retensi Arsip. Bahkan, Jadwal Retensi Arsip
merupakan instrument wajib yang harus dimiliki oleh lembaga Negara,
pemerintahan daerah, perguruan tinggi negeri, serta BUMN dan BUMD
ketika akan melakukan penyusutan arsip (Pasal 48 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan). Dalam Undang-
Undang RI Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan ini dukungan
terhadap suatu kebijakan kearsipan nasional sudah tercantum secara rinci
meliputi pengelolaan arsip dinamis dan pengelolaan arsip statis.
Di Indonesia, kini kebijakan kearsipan nasional sudah memperoleh
legalitas formal (Pasal 7 Undang-Undang RI Nomor 43 tahun 2009),
salah satunya pembangunan Sistem Kearsipan Nasional (SKN). Adanya
SKN yang mulai dicanangkan sejak tahun 2004 sebagai sistem
pengendalian arsip dinamis dan arsip statis yang terintegrasi sejak awal
penciptaan diharapkan menjadi format baku di dalam menyelenggarakan
kearsipan nasional yang merujuk kepada pendekatan records continuum
model. Aplikasi SKN nantinya lebih mendayagunakan ketentuan
fungsional sistem, baik itu records system dan archival preservation
system, yaitu sistem informasi kearsipan dinamis (SIKD) dan sistem
informasi kearsipan statis (SIKS) dengan mengedepankan fungsional

80
ISO 15489-Information and Documentation-Records Management.
Baik konsep life cycle of records dan konsep dasar records continuum
menuntut adanya integrasi didalam mengelola arsip dinamis dan arsip
statis, telah membuka peran Arsiparis untuk bersama-bersama
bertanggungjawab (responsibility) terhadap arsip yang tercipta dan perlu
dipadukan dalam kerangka kerja pengelolaan arsip dinamis sehingga
mampu menjamin keandalan, keotentikan serta kelengkapan arsip,
termasuk tersedianya informasi yang dapat dan mudah diakses publik.
Bila selama ini dalam konsep life cycle of records, pengelolaan arsip
dinamis terbatas pada penciptaan, penggunaan dan pemeliharaan serta
penyusutan arsip yang menjadi tanggung jawab pencipta arsip maka
ketika arsip statis pengelolaannya menjadi tanggungjawab lembaga
kearsipan. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya rantai yang terputus
dalam pengelolaan arsip antara pencipta arsip dan lembaga kearsipan.
Maka adanya SKN yang menggunakan pendekatan records continuum
diharapkan adanya tanggungjawab bersama (pencipta arsip dan lembaga
kearsipan), terutama dalam preservasi arsipnya. Hal demikian
membutuhkan dukungan dari Arsiparis selaku penanggungjawab
pengelolaan arsip. Dengan demikian arsip sebagai sumber informasi,
baik itu sebagai sumber informasi organisasi dan sumber informasi
publik sudah dikelola sejak dini dan dilaksanakan secara berlanjut atau
berkesinambungan.
Ranah pekerjaan yang luas bagi Arsiparis tersebut, harus diimbangi
dengan kemampuan intelektual dan penguasaan teknis kearsipan, baik
itu pengelolaan arsip dinamis dan arsip statis, Meskipun profesi Arsiparis
bertanggungjawab terhadap pengelolaan arsip dinamis dan arsip statis,
namun dalam praktiknya sebagian kecil saja yang mampu dan menguasai
kedua ranah tersebut. Dan, ini menjadi tantangan karena situasi yang
mengharuskan penguasaan terhadap pengelolaan arsip dinamis dan arsip
statis justru semakin menepiskan terciptanya Arsiparis yang memiliki
keahlian khusus atau special. Contohnya, pada aspek teknis kearsipan,
proses penilaian arsip (records appraisal) yang mengalami perubahan,

81
tidak lagi hanya terpaku kepada penentuan nilai guna primer dan sekunder
ataupun terhadap fisik arsip, tetapi juga melihat tindakan preservasi
fisik dan informasinya;

PENUTUP

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa bergesernya paradigma, dengan


perkembangan teknologi informasi menyebabkan perwujudan
pertanggungjawaban pendayagunaan informasi tidak hanya kepada
organisasi tetapi juga publik, dan itu sangat dipengaruhi oleh kepada
kemampuan organisasi untuk mengelola informasi arsip yang diciptakan
guna dimanfaatkan oleh user (baik organisasi dan publik). Adanya
kecenderungan peningkatan pencarian dan pemanfaatan informasi dalam
kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat, kiranya menggiring kita
untuk mencoba pendekatan records continuum model tanpa harus
meninggalkan fungsi-fungsi dari konsep life cycle of records.
Keberhasilan mengintegrasikan konsep life cycle of records dan
records continuum diharapkan menghadirkan model sistem pengelolaan
arsip di Indonesia yang mandiri dan bertumpu kepada kemampuan
intelektual dan penguasaan teknis Arsiparis selaku pengelola arsip dinamis
dan arsip statis. Apabila model ini berhasil, berarti penyelenggaraan
kearsipan telah mendekati makna tujuan dari manajemen kearsipan secara
keseluruhan, yaitu “preserving the past, preparing the future and protecting
the present”. (George D. Darnell).

82
DAFTAR PUSTAKA

Burhan, HM, Bungin, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi,


Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2008

Kennedy, Jay and Cherryl, Schauder, Records Management; A


Guide to Corporate Recordkeeping (2nd ed),
South Melbourne, Australia, 1998

Boedi, Martono, Arsip Korespondensi; Penciptaan dan


Pemeliharaan, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997.

Ricks, Betty, R; Swafford, Ann, J; Gow, Kay, E, Information and Records


Management: (3nd ed) Glencoe : Enciano, CA, 1992,
Robek Mary, F (and) Gerald, F, Brown, Information and Records
Management, Ohio-Glencoe, 1987

Sulistyo-Basuki, Manajemen Arsip Dinamis; Pengantar memahami dan


mengelola informasi dan dokumen, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003

Bambang, Widodo, P, The Records Continuum Model; Pendekatan


Manajemen Kearsipan Baru, Jakarta: Artikel Info Arsip Edisi
ke-3/April, 2000

Wallace, Patricia, E, E, Records Management Integrated Information


Systems, (Third Edition), New Jersey-USA: Prentice Hall,
Englewood Cliffs, 1992.

83
Walne, Peter (ed), Dictionary of Archival Terminologi, German,
Italian, Russian and Spanish, Muenchen-Newyork-London
Patis; English and French with Equivatent in Dutch, 1992.

http : //arsiparis.blogspot.com, Life Cycle of Records versus Records


Continuum Model.

http//www.sims.monash.edu.au/rcrg/publications/recordscontinuum/
smckp2.html.

84

Anda mungkin juga menyukai