BAB I
KEMAJEMUKAN BANGSA
A. Keragaman sebagai Realita Asali Kehidupan Manusia
Manusia tidak bisa hidup sendirian di dunia ini. Setiap individu berbeda dengan
individu yang lain. Tuhan menciptakan setiap orang dengan keunikan tertentu, termasuk
kembar tetap ada perbedaan di antara mereka. Dengan perbedaan yang dialami, orang dapat
menemukan dan saling mengenal indentitas setiap individu, mulai dari nama sampai
karakter pribadinya.
2
Ketika bangsa Israel menjadi budak di Mesir, rasa senasib menumbuhkan dalam diri
mereka semangat untuk bersatu. Hal itu mencapai puncaknya saat karya penyelamatan Allah
diwujudkan-Nya dengan mengutus Musa untuk memimpin bangsa Israel keluar dari mesir.
Ketika mereka menentang Allah karena mereka lapar dan haus di padang gurun dan
meninggalkan nilai-nilai luhur demi kepentingan biologis, Allah tetap setia kepada mereka.
Dinamika kehidupan sebagai bangsa yang sedemikian itu tidak menghilangkan keterpilihan
mereka sebagai bangsa yang diberkati Allah. Allah tetap setia dan memilih mereka sebagai
umat-Nya.
Dari pengalaman sejarah bangsa Israel, dapat kita lihat bahwa rasa kebangsaan yang
dimiliki oleh mereka bukan hanya muncul dari kerinduaan manusiawi untuk membentuk
suatu kelompok. Rasa kebangsaan itu muncul justru karena ada keyakinan dan harapan akan
janji Allah yang diberikan kepada mereka. Dengan demikian, selain kesadaran akan adanya
ikatan pemersatu genealogis, bangsa Israel itu juga meiliki ikatan lain yaitu iman akan Allah
yang terlibat di dalam kehidupan mereka.
Dapat dikatakan bahwa Kitab Suci tidak menghilangkan kenyataan keragaman yang ada
dalam kehidupan manusia. Hati manusia diresapi dambaan mendalam akan persatuan.
Keberagaman yang terdapat dalam kehidupan manusia sudah merupakan kodrat manusia.
Keberagaman itu mencakup keberagaman individu secara fisik maupun sebagai pribadi yang
berkarakter dan mempunyai sejarah pengalaman. Keberagaman yang digambarkan secara
tersirat dalam Kitab Suci tidak hanya menyangkut hal-hal fisik saja, melainkan seluruh
kehidupan manusia dengan segala pengalaman yang dialami. Di dalam pengalaman itulah,
Allah berkarya dengan cara yang khas bagi setiap pribadi manusia.
3. Menghormati dan Menghargai setiap Pribadi?
Gereja tidak berniat sedikitpun untuk “menguburkan” adat istiadat setempat dan
menggantikannya dengan adat istiadat tradisi Timur Tengah di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Hal yang dilakukan Gereja katolik adalah masuk ke dalam budaya setempat dan
dapat diterima oleh masyarakat setempat. Membangun kesadaran atas anggota-anggotanya
untuk selalu menghargai dan menghormati keberagaman yang ada dalam kehidupan
manusia. Sebagai pengikut Kristus, umat Katolik haruslah selalu berusaha membangun
sikap hidupnya dengan senantiasa belajar bagaimana Yesus bersikap terhadap keberagaman
ini. Yesus tidak terpengaruh dengan situasi masyarakat sekitar dan tidak mau masuk ke
dalam salah satu kelompok masyarakat. Satu hal yang senantiasa dipegang oleh Yesus
ketika Ia berhadapan dengan manusia beserta situasi hidup manusia adalah menghargai dan
mengangkat martabat manusia. Sikap dan tindakanYesus itulah yang menjadi sikap dasar
anggota Gereja ketika masuk ke dalam situasi masyarakat sekitarnya. Tentu tidak sama
persis dengan apa yang dilakukan oleh Yesus tetapi paling tidak mempunyai semangat dan
prinsip serta rasa yang sama dengan Dia. Bagaimana hal itu dapat dilakukan? Gereja melalui
Konsili Vatikan II dalam “Pernyataan Tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama
Bukan Kristiani” (Nostra Aetate) artikel 5 mengatakan:
Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap
orang-orang tertentu yang diciptakan menurut citra kesamaan Allah, kita tidak
mau bersikap sebagai saudara. Hubungan manusia dengan Allah Bapa dan
hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab
berkata: Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah..........................
3
Ajakan Gereja di atas dimaksudkan agar kita sebagai anggota Gereja juga turut dalam
membangun persaudaraan dan perdamaian, terutama dengan “memelihara cara hidup yang
baik di tengah-tengah masyarakat dan hidup dalam damai dengan semua orang (bdk. 1ptr
2:12; NA art. 5). Dengan demikian, kiranya dapat kita lihat bahwa dasar dari segala tindakan
seorang pengikut Kristus adalah kodratnya sebagai makhluk sosial dan sikap saling
menghormati martabat satu dengan yang lain. Dua hal yang perlu diusahakan oleh umat
Katolik dalam bersikap menghadapi kemajemukan adalah:
a. Membongkar sikap eksklusif
Upaya-upaya konkret untuk membangun kehidupan bersama harus dikembangkan
dengan menghapus semangat primodial dan semangat sektarian. Dengan demikian
diperlukan pula usaha-usaha untuk menghapus sekat-sekat dan pengkotak-kotakan
masyarakat yang ada.
b. Membangun sikap inklusif
Dalam masyarakat majemuk, setiap orang harus berani menerima perbedaan
sebagai suatu rahmat. Perbedaan/keanekaragaman adalah keindahan dan
merupakan faktor yang memperkaya. Adanya perbedaan itu memberi
kesempatan untuk berpartisipasi menyumbangkan keunikan dan kekhususannya
demi kesejahteraan bersama, bukan sebagai modal untuk memunculkan suatu
konflik/perselisihan.
Perlu dikembangkan sikap saling menghargai, toleransi, menahan diri, rendah
hati dan rasa solidaritas demi kehidupan yang tenteram, harmonis dan dinamis.
Setiap orang bahu-membahu menata masa depan yang lebih cerah, adil, makmur
dan sejahtera.
Mengusahakan tata kehidupan yang adil dan beradab
Mengusahakan kegiatan dan komunikasi lintas suku, agama dan ras.
5
a) Eskatologis: Kerajaan Allah di mana harapan Israel telah mencapai pemenuhan
secara definitif. Kerajaan Allah harus bertumbuh “dalam suasana permusuhan” (bdk.
Mat.13:24-30)
b) Revelatoris: Kerajaan Allah mengungkapkan tentang siapa Allah itu.
c) Soteriologis: Kerajaan Allah itu keselamatan universal, yang akan terlaksana
bilamana manusia menjalin relasi pribadi dengan Allah (relasional).
d) Kristologis: Kerajaan Allah tampak definitif dalam sabda dan tindakan Yesus dan
dalam relasi dengan-Nya. (Origenes: YESUS adalah autobasileia atau Kerajaan
Allah yang mempribadi).
Pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah ternyata sangat kontroversial dan
revolusioner sehingga membawa Yesus pada kematian di salib. Lalu siapa yang melanjutkan
pewartaan Kerajaan Allah? Tentu saja para rasul dan para penggantinya. Perutusan untuk
mewartakan Kerajaan Allah itu secara simbolis ada dalam Perjamuan malam terakhir.
Mereka diajak berpartisipasi dalam keprihatinan Yesus yakni menyerahkan diri bagi banyak
orang demi Kerajaan Allah. Gereja, murid-murid Yesus adalah para pengganti dan pewaris
“Yang XII”, untuk ambil bagian dalam keprihatinan utamaYesus yaitu Kerajaan Allah.
Gereja sebagai sarana historis yang dikehendaki Allah ada bukan untuk dirinya sendiri. Dia
ada untuk mengabdi dan melayani rencana ilahi yaitu rencana atau proyek Kerajaan Allah
untuk menyelamatkan umat manusia. Allah tidak menghendaki Gereja melayani proyek-
proyek Kerajaan Allah tersebut secara tertutup dalam batas-batas dirinya, sebagai umat yang
mempunyai misi untuk mewartakan Kerajaan Allah kepada semua orang dan untuk memberi
kesaksian tentang kedatangan serta janji Kerajaan Allah tersebut.
Upaya memperjuangkan nilai Kerajaan Allah seperti mewujudkan perdamaian dan
persatuan bangsa dapat terlaksana dalam fungsi-fungsi Gereja sebagai berikut:
a. Fungsi Diakonia
Gereja merupakan jawaban terhadap kebutuhan manusia yang menemukan dirinya
dalam situasi yang tertindas dan egois. Jemaat Kristen dipanggil untuk memberi
kesaksian bahwa adanya kemungkinan di mana orang membaktikan dirinya pada orang
lain dan memiliki keprihatinan Allah dan Kerajaan cinta kasih. Dalam proyek Kerajaan
Allah, diakonia nampak sebagai fungsi yang paling penting (Mat 25:31-46).
b. Fungsi Koinonia
Gereja merupakan jawaban kerinduan manusia akan persaudaraan, perdamaian,
persatuan dan komunikasi di antara umat manusia di mana saja dan kapan saja.
Dihadapan dengan dunia yang terpecah-pecah oleh egoisme, kebencian, gila hormat dan
kekayaan dan orang terisolir tanpa adanya komunikasi satu sama lain, Gereja harus
memberi kesaksian akan adanya suatu kemungkinan kehidupan yang didasari
persaudaraan dan persatuan, seperti yang dicita-citakan oleh Kerajaan Allah.
c. Fungsi Kerygma
Fungsi kerygma Gereja adalah menyampaikan warta pembebasan dan berperan sebagai
kunci penafsiran kehidupan dan sejarah manusia. Dunia yang penuh dengan
kemalangan, penderitaan, kejahatan tak jarang membuat orang putus asa dan bersikap
fatal. Dalam menghadapi dunia semacam ini, Gereja dipanggil untuk menjadi saksi dan
pembawa harapan dengan mewartakan Yesus Kristus, pemulai dan penjamin
perealisasian Kerajaan Allah.
d. Fungsi Liturgia Gereja
Adalah tindakan-tindakan ritual yang merupakan pengungkapan pengalaman
pembebasan dan keselamatan. Gereja dipanggil untuk menciptakan tempat dan
6
kesempatan dalam mana kehidupan sejarah setelah ditebus dan diselamatkan, dirayakan,
diangkat dan dijadikan proyek serta tempat perealisasian Kerajaan Allah.
Keempat fungsi Gereja tersebut di atas tidak dapat dipisahkan. Satu fungsi selalu
memiliki serta memperlihatkan kehadiran ketiga fungsi yang lain. Contoh; dalam liturgi
terungkap kesatuan umat (koinonia) dan terjadi pewartaan (kerygma) yang harus
menjurus ke pelayanan (diakonia) Fungsi diakonia (pelayanan) Gereja merupakan muara
dari ketiga fungsi Gereja lainnya. Melalui fungsi diakonia Gereja mewujudkan Kerajaan
Allah di tengah-tengah masyarakat yang pluralis. Perwujudan Kerajaan Allah melalui
fungsi diakonia itu antara lain;
1. Memberikan pelayanan kesehatan yang terbuka untuk semua orang melalui rumah
sakit katolik.
2. Memberikan pelayanan pendidikan melalui lembaga pendidikan (sekolah Katolik)
yang menerima murid dari berbagai kalangan
3. Memberikan pelayanan pemberdayaan ekonomi masyarakat melaui gerakan Credit
Union (CU)
4. Memberikan pelayanan kasih kepada anak-anak yang kurang beruntung melalui
Panti Asuhan dan Rumah Singgah
5. Memberikan pelayanan kasih kepada orang-orang yang termarginalkan melalui
pendampingan khusus, dsb.
C. Membangun Persaudaraan Sejati
Persaudaraan sejati tidak akan tumbuh dengan sendirinya melainkan harus diusahakan
bahkan diperjuangkan. Memang benar bahwa ada persaudaraan karena pertalian darah.
Namun persaudaraan semacam ini belumlah cukup jika belum diarahkan untuk saling
mendukung, menguatkan dan memperkembangkan diri menuju kesempurnaan dengan Allah
sebab manusia adalah gambar dan rupa Allah.
1. Beberapa Fakta Permusuhan/Pertikaian di Masyarakat
a. Fakta-fakta pertikaian atau perang di Indonesia:
Pertikaian yang bernuansa balas dendam antara dua kampung yang terjadi di
Timika, Papua.
Pertiakaian yang bernuansa hak intelektual dan hak cipta antara bangsa
Indonesia dan Malesia, dll.
b. Alasan Terjadinya Pertikaian dan perang
Fanatisme sempit yaitu sikap fanatik yang dihayati tidak disertai dengan
keterbukaan terhadap segala sesuatu yang ada di luar keyakinannya dan
menganggap bahwa hanya keyakinannyalah yang paling benar.
Sikap arogan/angkuh. Misalnya ada suku bangsa yang merasa diri lebih kuat
dan dapat bertindak secara sepihak dan sewenang-wenang, dll.
c. Akibat pertikaian dan perang
Kehancuran secara jasmani dan fisik. Perang menyebabkan sekian banyak
orang mati, sarana prasarana hancur, dsb. Dengan demikian berlaku pepatah
ini; “Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Kehancuran secara rohani. Dalam perang dapat terjadi segala kejahatan
terhadap kemanusiaan. Perang menyisakan trauma dan luka perkosaan
terhadap martabat dan peradaban manusia.
2. Pengertian Persaudaraan Sejati
Pada hakikatnya, persaudaraan sejati tampak dalam hubungan antar sesama yang
didasarkan pada sikap menjunjung tinggi keluhuran martabat manusia. Contoh paling
7
tepat menggambarkan persaudaraan sejati tersebut adalah; Orang Samaria yang murah
hati sebagaimana tertuang dalam Injil Lukas 10:25-37).
Dalam Luk 10:25-37, Yesus menyampaikan perumpamaan tentang sesama manusia
dengan memilih tokoh orang Samaria. Orang Samaria adalah warga keturunan Yahudi-
Yunani tetapi oleh orang-orang Yahudi mereka dianggap najis. Mengapa? Darah orang
Samaria telah bercampur dengan darah orang Yunani sehingga sudah tidak asli lagi.
Yesus sengaja memilih tokoh yang dianggap rendah oleh orang-orang Yahudi yang
justru memberi pertolongan kepada orang Yahudi yang berada dalam keadaan sakratul
maut karena perampokan yang menimpa dirinya. Sementara seorang imam dan Lewi
yang melintasi jalan itu, tidak memberi pertolongan apapun.
Pada akhir kisah, Yesus bertanya kepada ahli Taurat itu katanya “siapakah di antara
ketiga orang ini menurut pendapatmu sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan
penyamun itu? Dan ahli Taurat menjawab “orang yang telah menunjukkan belas kasihan
kepadanya. Lalu Yesus menutup pembicaraan dengan pesan singkat “pergilah dan
perbuatlah demikian. Jadi, dari kisah ini dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa yang
disebut “saudara sejati” adalah orang yang menunjukkan belas kasih kepada sesamanya.
Persaudaraan sejati berarti sikap dan/atau tindakan seseorang kepada sesamanya dengan
dilandasi cinta kasih.
3. Teladan Yesus dalam membangun Persaudaraan sejati
Yesus berkata, ‘Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera kuberikan kepadaMu
dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu” (Yoh.14:27). Orang pada
zaman Yesus mengharapkan damai secara politis yakni diusir penjajah dari negeri mereka sehingga
tidak ada perang dan penindasas lagi. Yesus menegaskan; “Aku bukan pembawa damai seperti
yang kalian pikirkan. Aku memang pembawa damai sebab inilah salah satu ciri khas mesias sejati
(bdk. Luk 1:79). Yesus mengajarkan perdamaian yang jauh lebih mendalam. Yesus membersihkan
dunia dari segala macam kejahatan dan kedurhakaan. Ini bukan damai lahiriah yang tergantung
pada manusia melainkan damai batiniah yang sepenuhnya berakar dalam kebenaran, yaitu di
dalam diri Yesus. Damai yang dimaksudkan Yesus adalah bukan hanya tidak ada perang atau
kekacauan. Lebih dari itu, damai berarti suatu rasa ketenangan hati karena orang memiliki
hubungan yang bersih dengan Tuhan, sesama dan dunia. Damai sejahtera yang menampakkan
Kerajaan Allah. Damai Tuhan inilah yang seharusnya berada dan tinggal dalam tiap hati orang.
Damai yang demikian kuatnya sehingga setiap kejahatan dibalas dengan kebaikan: kalau orang
menampar pipi kirimu, berikanlah pula pipi kananmu (lih. Mat 5: 39).
9
10