Anda di halaman 1dari 77

PANDUAN PRAKTIKUM

KEPERAWATAN HIV/AIDS

PENYUSUN
Ns. Suratini, M.Kep.,Sp.Kep.Kom

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHTAN
UNIVERSITAS ‘ASIYIYAH
YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

PANDUAN PRAKTIKUM KEPERAWATAN HIV/AIDS BAGI


SEMESTER V REGULER PROGRAM STUDI ILKEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
‘ASYIYAHYOGYAKARTA

Buku Praktikum Keperawatan keluarga digunakan sebagai panduan dalam


pelaksanaan Praktikum Keperawatan HIV/AIDS Pada Semester V Reguler Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

Yogyakarta, September 2018

Disetujui Oleh, Disusun Oleh, koordinator MA


Ketua Prodi Ilmu Keperawatan
koordinator MA

Ns. Suratini., Ns. Diah Nur Anisa


M.kep.,Sp.Kep.m,
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur
kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nyalah penulis dapat me- nyelesaikan pembuatan
panduan Praktikum Keperawatan HIV/AIDS. Tujuan
penyusunan buku ini adalah memberikan panduan
mahasiswa dalam menerapkan intervensi yang sering
ditemui dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien HIV/AIDS.
Panduan praktikum ini diberikan pada mahasiswa
Program Studi Ilmu Keperawatan semester III Anvulen
intervensi yang dan ketrampilan-ket- rampilan yang sering
digunakan ketika melakukan interaksi dengan pasein
HIV/AIDS. Praktikum di laboratorium akan dilanjutkan
dengan prak- tikum kepada keluarga dengan
mempraktikkan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi, evaluasi dan dokumentasi.
Pada praktikum keperawatan keluarga ini, lebih mem-
fokuskan kepada bagaimana mahasiswa menggunakan
kemampuan asuhankeperawatan keluarga dengan
menggunakan tahapan proses keperawatan sesuai dengan
masalah yang muncul pada pasien HIV/AIDS.
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang
telah mem- bantu dalam penyusunan panduan praktikum
keperawatan HIV/AIDS. Semoga buku panduan ini dapat
meningkatkan kualitas proses pem- belajaran keperawatan
HIV/AIDS dan mendukung tercapainya kompe- tensi mata
kuliah keperawatan HIV/AIDS.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa panduan ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu diperlukan saran dan kritik
yang bersifat membangun untuk perbaikan penyusunan yang
akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Yogyakarta, September 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................... iii


KATA PENGANTAR ....................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................... vii
VISI DAN MISI ................................................................................... viii
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. DESKRIPSI MATA AJAR ......................................................... 1
B. KOMPETENSI ............................................................................... 2
C. INDIKATOR KOMPETENSI .......................................................... 2
D. TATA TERTIB PRAKTIKUM .......................................................... 2
E. TIM PENGAJAR ............................................................................ 3
F. EVALUASI ............................................................................................. 3
G. MATERI PRAKTIKUM
VISI DAN MISI

Visi:
Menjadi Program Studi Ners Unggul dalam bidang paliatif care
tingkat regional pada tahun 2021

Misi:
(1) Menyelenggarakan Pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat bidang keperawatan yang berbasis nilai-nilai
islam untuk mencerdasakan kehidupan bangsa
(2) Mengembangkan sumberdaya manusia dalam bidang
kesehatan yang berakhlak mulia, berilmu pengetetahuan,
menguasai tehnologi, profesional dan berjiwa entrepreneur
yang menjadi kekuatan penggerak dalam menghadapi
tuntutan zaman
(3) Mengembangkan pemikiran islam berkemajuan yang
berkemajuan dan berwawasan kesehatan.
(4) Menyelenggarakan tata kelola Program Studi Ners yang
baik, amanah dan berkelanjutan
(5) Mengembangkan jejaring dengan institusi di dalam maupun
diluar negeri
BAB I.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mata kuliah ini mempelajari tentang trend issue dan perilaku yang
berisiko tertular/menularkan HIV AIDS (termasuk pengguna
NAPZA), pengkajian bio, psiko, sosial spiritual dan kultural,
pemeriksaan fisik dan diagnostik, tanda dan gejala, dan
penatalaksanaan pasien dengan HIV/AIDS, prinsip hidup klien
dengan ODHA, family centered pada ODHA dan stigma pada
ODHA, prinsip komunikasi konseling pada klien dengan HIV/AIDS,
konseling pada klien dengan HIV/AIDS, prinsip perawatan pada
bayi dan anak penderita HIV /AIDS atau dengan orang tua
HIV/AIDS.
Ayat Alquran Berkaitan dengan keperawatan
Al Quran Surat at Tahrim ayat 6:
Arti: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan ke-
luargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya ke-
pada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
QS. At Tahriim 66:6.
Al Quran Surat Al Anfal Ayat 28

Arti: dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hany-


alah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala
yang besar. QS. Al Anfal 008:28.
B. Capaian Pembelajaran
Kompetensi utama mata kuliah ini adalah mahasiswa mam-
pu memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif dan
kontinyu kepada pasien HIV/AIDS dengan berbagai masalah
kesehatan yang dihadapi

Setelah mengikuti pembelajaran praktikum


1. Mahasiswa mampu melakukan intervensi VCT Pada pasein
dengan HIV/AIDS
2. Mahasiswa mampu melakukan Intervensi PITC pada pasien
HIV/AIDS
3. Mahasiswa mampu melakukan managemen kasus
HIV/AIDS secara umum
4. Mahasiswa mampu melakukan aktivitas kelompok dukungan
sebaya pada pasien HIV/AIDS.

C. Tata tertib
1. Mahasiswa hadir 10 menit sebelum praktikum dimulai mem-
persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. Mahasiswa wajib mengenakan baju praktikum, berpakaian
rapi, tidak ketat dan tidak memakai kaos oblong
3. Mahasiswa wajib mengikuti seluruh materi praktikum, absensi
100 %.
4. Bagi mahasiswa yang tidak bisa mengikuti praktikum sesuai
jadwal diharapkan menghubungi koordinator mata kuliah/
dosen pengampu sebelum pelaksanaan kegiatan praktikum
dengan membawa surat ijin.
5. Jika mahasiswa tidak bisa hadir pada jadwal praktikum kelom-
poknya, mahasiswa dapat menukar waktu dengan meng-
ikuti jadwal kelompok lain yang belum mengikuti praktikum
dengan materi yang telah ditinggalkan.
6. Mahasiswa wajib melakukan praktikum mandiri sebelum ujian
dilakukan.

D. Tim Pengajar Praktikum


Pengajar dalam praktikum Keperawatan HIV/AIDS ini adalah
1. Widiastuti, S.Kep,Ns
2. Ardani, S.Kep.,Ns
3. Idayati dwi Agustini, S.Kep.,Ns
4. Arniyati, S.kep.,Ns

E. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi berupa ujian ketrampilan (skill) yang telah dipelajari
saat praktikum dengan nilai minimal dinyatakan lulus adalah 75.
Jika nilai yang diperoleh mahasiswa kurang dari 75 maka akan
dilakukan inhal.
MATERI PRAKTIKUM HIV/AIDS

A. VOLUNTARY CONSELING TEST ( VCT)

1. Pengertian
VCT atau Voluntary Counseling and Testing atau konseling dan test
sukarela adalah kegiatan konseling bersifat sukarela dan rahasia,
yang dilakukan oleh seorang konselor VCT yang terlatih, yang
dilakukan sebelum dan sesudah test darah untuk HIV di laboratorium.
Tes HIV dilakukan setelah klien terlebih dulu menandatangani inform
consent (surat persetujuan tindakan). Jadi,VCT atau Voluntary
Counseling and Testing adalah tes HIV yang dilakukan secara
sukarela. Karena pada prinsipnya tes HIV tidak boleh dilakukan
dengan paksaan atau tanpa sepengetahuan orang yang
bersangkutan.

VCT penting untuk dilakukan karena untuk dapat mengakses ke


semua layanan yang dibutuhkan terkait pencegahan dan pengobatan
HIV, AIDS dan untuk memberikan dukungan demi kebutuhan klien
seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV,
dan pemahaman yang benar dan faktual tentang HIV, AIDS.

2. Tempat
VCT bisa didapat di tempat layanan kesehatan atau klinik yang
menyediakan layanan VCT, puskesmas, dan Rumah Sakit.
3. Pelaksana
VCT tidak hanya diperuntukkan bagi penderita HIV saja tapi semua
manusia bisa mendapatkan layanan VCT. Jadi VCT diperuntukkan
untuk :

a. Mereka yang mau melakukan test HIV


b. Mereka yang pernah berperilaku berisiko terhadap penularan
HIV di masa lalu dan ingin merencanakan masa depannya

c. Para homo atau orang yang melakukan hubungan seksual


berisiko. Hubungan berisiko ini bukan hanya hubungan
dengan pekerja seks, gigolo ataupun waria. Hubungan
seksual dengan orang yang tidak diketahui status HIV nya
bisa juga dianggap hubungan berisiko.

d. Orang yang pernah menerima transfusi darah.

e. Pengguna narkoba suntik.

f. Orang yang mengalami Infeksi Menular Seksual berulang.


4. Prosedur Tindakan VCT
Ada beberapa tahapan dalam melakukan VCT yaitu tahapan
pertama adalah pemberian informasi tentang HIV dan AIDS, cara
penularan, cara pencegahannya dan periode jendela. Kemudian
konselor dilaksanakan penilaian risiko klinis. Pada kegiatan ini, klien
harus jujur tentang hal-hal berikut :

a. Kapan terakhir kali melakukan aktivitas seksual

b. Apakah menggunakan narkoba suntik

c. Melakukan hal-hal yang berisiko pada pekerjaan – misalnya


dokter ataupun calon dokter atau tenaga kesehatan lainnya

d. Apakah pernah menerima produk darah, organ atau sperma

Untuk konselor VCT biasanya terikat sumpah untuk merahasiakan


status si klien. Jadi jangan khawatir untuk menceritakan semua yang
pernah anda lakukan. Apalagi pada saat melakukan VCT, tempatnya
tidak terbuka dan tertutup sehingga privacy klien akan tetap terjamin.
Namun, jika ada konseling yang menanyakan klinis tentang anda di
muka umum, jangan mau, anda harus menolaknya, kalau perlu
dihajar! Karena ada saja konselor brengsek dan kurang ajar yang
mengejar target biar dapet duit, biasanya konslor seperti ini bisa
ditemui di puskesmas atau rumah sakit.

Jika tahapan pertama (pre konseling) sudah selesai, selanjutnya


konselor akan menawarkan kepada klien apakah bersedia untuk
melakukan tes HIV. Jangan khawatir, kalau misalnya ragu untuk
melakukan tes dan tidak mau, juga tidak masalah. Konselor tidak
akan memaksa klien untuk melakukan tes HIV. Bisa kembali lagi
kapan saja. Jika anda konseling yang melakukan pemaksaan,
laporkan saja ke kepolisian dengan tuduhan perbuatan tidak
menyenangkan dan pemaksaan, biar kapok.

Dan jika klien mau melakukan tes HIV, konselor akan memberikan
informed consent atau izin/persetujuan/pernyataan dari klien untuk
melakukan tes HIV, di surat pernyataan ini klien menyatakan bahwa
klien yang bersangkutan telah menerima informasi yang berhubungan
dengan tes VCT ini dan telah menjalani penilaian risiko klinis (seperti
yang telah dijelaskan diatas). Klien juga menyatakan kalau dirinya
bersedia untuk dilakuan tes HIV.

Pada saat melakukan tes HIV, darah kita akan diambil secukupnya.
Dan pemeriksaan darah ini bisa memakan waktu antara setengah jam
sampai satu minggu tergantung jenis tes HIV yang dipakai – Biasanya
klien disuruh pulang dan kembali lagi mengambil hasil tes beberapa
hari setelahnya.

Kalau klien berubah pikiran dan tidak mau ngambil hasil tes terserah
dan tidak masalah yang penting sebagai konselor, telah melakukan
sesuai standart kerja. Tapi kalau klien memutuskan untuk mengambil
hasil tes, klien akan menjalani tahapan post konseling.

Pada tahapan ini (post konseling), konselor akan memberitahukan


hasil tes. Kalau hasil tesnya negatif, balik lagi ke penilaian risiko klinis
-inilah pentingnya bagi kita untuk menjawab dengan jujur- Kalau dari
penilaian risiko klinis, klien masih dalam masa periode jendela –
periode jendela adalah periode di mana orang yang bersangkutan
sudah tertular HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem
kekebalan terhadap HIV dan hasil tes HIV nya masih negatif, meski
belum terdeteksi tapi sudah bisa menularkan – klien akan dianjurkan
untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya. Selain itu,
bersama-sama dengan klien konselor akan membantu klien untuk
merencanakan program perubahan perilaku. Pada tahapan terakhir ini
diharap klien sudah mengerti tentang semua yang berhubungan
denga HIV AIDS, jika disuatu saat klien tidak berubah, sebagai
konselor yang baik, maka harus tetap membimbing klien, menuju jalan
yang benar,, selain mendapat pahala karena telah ikhlas dalam
bekerja dan membantu orang lain, Konselor juga akan dikenal banyak
orang

Hasil Positif
Kalau hasil tes positif, klien bebas untuk mendiskusikan perasaannya
dengan konselor. Konselor juga akan menginformasikan fasilitas
untuk tindak lanjut dan dukungan. Misalnya, jika klien membutuhkan
terapi ARV ataupun dukungan dari kelompok orang-orang senasib
sebaya. Selain itu, konselor juga akan memberikan informasi tentang
cara hidup sehat dan bagaimana cara agar tidak menularkan ke orang
lain.
PENTING
Hasil tes HIV adalah rahasia yang seharusnya hanya diketahui oleh
konselor dan klien saja. Klien dapat menuntut apabila ternyata hasil
HIV bocor ke orang lain yang tidak berwenang. Kalaupun klien dirujuk
dan artinya informasi tentang status HIV klien harus diberitahukan ke
orang lain, harus dengan persetujuan klien
Proses VCT yang benar memegang teguh privacy dan juga
memastikan kalau klien melakukan VCT dengan sukarela. Kalau anda
dipaksa untuk melakukan tes HIV tanpa konseling, jangan mau. Anda
dapat menuntut pihak yang memaksa anda untuk melakukan tes VCT
B. PROVIDER INISIATIF KONSELING DAN TESTING

1. Tujuan Umum

Pedoman ini bertujuan untuk memberikan tuntunan kepada para


petugas kesehatan dalam menerapkan layanan tes dan konseling hiV di
sarana kesehatan dengan pendekatan PITC.

2. Tujuan Khusus

Pedoman ini bertujuan untuk menyelaraskan antara etika medis,


klinis, kesehatan masyarakat dan hak‐hak azasi manusia. Hal
tersebut meliputi:

a. memberdayakan Odha agar mengetahui status hiV mereka


dengan penuh kesadaran dan kesukarelaan untuk mencari dan
mendapatkan layanan pencegahan, pengobatan, perawatan dan
dukungan terkait hiV dan terlindung dari stigma, diskriminasi
dan dan kekerasan.
b. mengoptimalkan hasil pengobatan dan pencegahan.
c. Mendorong hak otonomi, privasi dan konfidensialitas.
d. Mendorong kebijakan dan praktik berbasis bukti ilmiah dan
memungkinkan lingkunganuntuk penerapannya
e. meningkatkan peran dan tanggung jawab petugas kesehatan
dalam hal menyediakan akses terhadap tes hiV, konseling dan
intervensi lain yang dibutuhkan

3. Sasaran

a. Para pengambil kebijakan,


b. Perencana dan pengelola program pengendalian hiV/aiDs,
c. Petugas layanan kesehatan.
4. Ruang Lingkup

lingkup dari pedoman adalah penerapan konseling dan testing hiV atas
prakarsa petugas kesehatan dengan menekankan pemeriksaan
kesehatan terkait dengan infeksi oportunistik dan merujuk pada
pelayanan berkelanjutan.

Pedoman tidak membahas konseling secara rinci dan petugas


kesehatan diarahkan untuk merujuk pedoman nasional Kts yang
berlaku.

Petugas kesehatan yang dimaksud dalam buku ini adalah dokter yang
merawat, perawat yang diberi wewenang oleh dokter yang
bersangkutan serta bidan.
5. Terminologi

terminologi yang digunakan di dalam pedoman ini adalah sebagai berikut.

Voluntary Counseling and Testing, atau VCT atau Konseling dan tes‐HIV
secara sukarela KTS (atau disebut juga sebagai Client‐initiated HIV testing
and counseling) adalah layanan konseling dan tes hiV yang dibutuhkan oleh
klien secara aktif dan individual. Pada Kts ini biasanya menekankan
pengkajian dan penanganan faktor risiko dari klien oleh konselor, membahas
masalah keinginan untuk menjalani tes hiV dan implikasinya serta
pengembangan strategi untuk mengurangi faktor risiko. Kts dilaksanakan
dalam berbagai macam tatanan layanan, yang salah satunya adalah di sarana
layanan kesehatan, klinik Kts mandiri di luar sarana layanan kesehatan,
layanan Kts yang diberikan secara bergerak atau mobile Kts, di masyarakat
atau bahkan di rumah

Provider‐initiated HIV testing and counselling (PITC) adalah suatu tes hiV dan
konseling yang diprakarsai oleh petugas kesehatan kepada pengunjung sarana
layanan kesehatan sebagai bagian dari standar pelayanan medis. tujuan
utamanya adalah untuk membuat keputusan klinis dan/atau menentukan
pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui
status hiV seseorang seperti misalnya arti. apabila seseorang yang datang ke
sarana layanan kesehatan menunjukkan adanya gejala yang mengarah ke hiV
maka tanggung jawab dasar dari petugas kesehatan adalah menawarkan tes
dan konseling hiV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalakasana
klinis. sebagai contoh petugas kesehatan memprakarsai tes dan konseling hiV
kepada pasien tB dan pasien suspek tB, pasien ims, pasien gizi buruk, pasien
dengan gejala atau tanda io lainnya.

PITC juga bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi HIV yang tidak nampak
pada pasien dan pengunjung sarana layanan kesehatan. Oleh karenannya
kadang‐kadang tes dan konseling hiV juga ditawarkan kepada pasien dengan
gejala yang mungkin tidak terkait dengan hiV sekalipun. Pasien tersebut dapat
mendapatkan manfaat dari pengetahuan tentang status hiV positifnya guna
mendapatkan layanan pencegahan dan terapi yang diperlukan secara lebih
dini. Dalam hal ini tes dan konseling hiV ditawarkan kepada semua pasien yang
berkunjung ke sarana layanan kesehatan selama brinteraksi dengan petugas
kesehatan. seperti halnya Kts, PITC pun harus mengedepankan “three C’ –
informed consent,counselling and confidentiality atau suka rela, konseling dan
konfidensial. Option‐in adalah pilihan pasien untuk menyatakan
persetujuannya secara jelas atas
pelaksanaan tes HIV setelah menerima informasi pra‐tes. Informed consent
yang diberikan dalam hal tersebut analog dengan yang dipersyaratkan pada
tindakan khusus seperti pemeriksaan atau tindakan klinis invasif.

Dengan pendekatan option‐out berarti pasien harus secara jelas menyatakan


penolakan dilaksanakannya tes HIV setelah menerima informasi pra‐tes apabila
dia tidak meinginkan tes hiV tersebut. Informed consent yang diberikan dalam hal
tersebut analog dengan yang dipersyaratkan pada tindakan umum lain seperti
pemeriksaan foto ronsen dada, tes darah dan pemeriksaan non‐invasif lain.
Dalam hal ini petugas kesehatan akan melaksanakan tindakan tersebut
kecuali pasien menolaknya.
PENERAPAN PITC DI BERBAGAI TINGKAT EPIDEMI

A. Penerapan PITC pada semua Jenis Epidemi

Petugas kesehatan dianjurkan untuk menawarkan tes‐HIV dan konseling


sebagai bagian dari prosedur baku perawatan kepada semua pasien seperti
berikut tanpa memandang tingkat epidemi daerahnya:

1. Semua pasien dewasa atau anak yang berkunjung ke sarana


kesehatan dengan gejala dan tanda atau kondisi medis yang
mengindikasikan pada aiDs. seperti misalnya ‐ meskipun tidak selalu
atau terbatas pada tuberkulosis dan kondisi khusus lainnya terutama
kelompok kondisi medis yang ada dalam sistem pentahapan klinis
infeksi hiV (stadium klinis).
2. Bayi yang baru lahir dari ibu HIV‐positif sebagai perawatan lanjutan
yang rutin pada bayi tersebut
3. Anak yang dibawa ke sarana kesehatan dengan menunjukkan tanda
tumbuh kembang yang kurang optimal atau gizi kurang dan tidak
memberikan respon pada terapi gizi yang memadai.

Penerapan PITC di Daerah Epidemi Meluas

Di daerah dengan tingkat epidemi yang meluas dengan lingkungan yang


memungkinkan atau kondusif serta tersedia sumber daya yang memadai
termasuk ketersediaan paket layanan pencegahan, pengobatan dan perawatan
hiV, maka petugas kesehatan memprakarsai tes‐HIV dan konseling kepada
semua pasien yang berkunjung/berobat di semua sarana kesehatan. hal tersebut
diterapkan di layanan medis atau bedah, sarana pemerintah ataupun swasta,
pasien rawat inap atau rawat jalan, dan layanan medis tetap ataupun bergerak.
Tawaran tes‐HIV dan konseling merupakan bagian dari prosedur layanan baku dari
petugas kesehatan kepada pasiennya, tanpa memandang adanya gejala atau
tanda yang terkait dengan aiDs pada pasien yang berobat di sarana kesehatan.

untuk mengatasi kendala dalam hal sumber daya maka perlu pentahapan dalam
penerapan PITC. hal berikut perlu dipertimbangkan untuk menentukan urutan
prioritas penerapan PITC:

a. Sarana layanan rawat jalan dan rawat inap pasien TB


b. Sarana layanan KIA
c. Sarana layanan Kesehatan Anak (<10 th)
d. Sarana layanan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana (KB)
e. Sarana layanan dengan tindakan invasif
f. Sarana layanan kesehatan remaja
g. Sarana layanan kesehatan bagi kelompok dengan perilaku berisiko tertular HIV

h. Saranan layanan hemodialysis

i. Sarana kesehatan di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan

Penerapan PITC di Epidemi Terkonsentrasi atau Tingkat Rendah

Di daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi tidak semua pasien
ditawari tes dan konseling hiV, karena pada umumnya orang berisiko rendah
untuk tertular hiV. Di daerah tersebut prioritas ditujukan hanya pada semua
pasien dewasa atau anak yang berobat di sarana kesehatan dengan
menunjukkan gejala atau tanda klinis yang mengindikasikan aiDs, termasuk
tuberkulosis dan pada pasien anak yang diketahui terlahir dari ibu HIV‐positif.

Bila tersedia data yang menunjukkan bahwa prevalensi hiV pada pasien tB
sangat rendah, maka tawaran tes‐HIV dan konseling pada pasien TB pun bukan
merupakan prioritas.

Keputusan atau pemilihan sarana kesehatan untuk menerapkan PITC di aerah


dengan tingkat epidemi hiV yang terkonsentrasi atau rendah harus didasarkan
atas penilaian epidemiologi dan konteks sosial. Dapat dipertimbangkan untuk
menerapkan PITC di sarana kesehatan sebagai berikut:

1. Klinik IMS
2. Layanan kesehatan bagi masyarakat dengan perilaku berisiko
3. Layanan KIA
4. Layanan TB
LINGKUNGAN YANG KONDUSIF
PITC harus disertai dengan penyediaan paket layanan yang terkait dengan hiV
seperti layanan pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan. meskipun
tidak semua layanan harus tersedia di satu tempat yang sama dengan tempat
dilaksanakannya tes‐HIV, namun setidaknya ada sarana kesehatan untuk hiV
yang terjangkau dan siap menerima rujukan dengan penyediaan terapi
antiretroviral (art) bagi yang sudah memerlukannya.

Terapi profilaksis dengan antiretroviral dan infant feeding merupakan komponen


penting pada program pencegahan penularan dari ibu ke anak. sarana intervensi
tersebut harus tersedia sebagai bagian dari pelayanan standar bagi ibu hamil yang
terdiagnosis terinfeksi hiV melalui PITC.

upaya yang sama harus juga dilakukan untuk menyakinkan ketersediaan


dukungan psikososial serta kemapanan kebijakan dan peraturan perundangan
untuk meoptimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak buruk hiV. hal
tersebut meliputi:

1. Kesiapan masyarakat dan mobilisasi sosial.


2. Ketersediaan sumber daya dan infrastruktur yang memadai.
3. Pelatihan bagi petugas kesehatan.
4. Kode etik bagi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan.
5. kesehatan bagi ODHA.
6. Sistem monitoring dan evaluasi yang kuat.

Pelaksanaan PITC optimal dalam jangka panjang memerlukan penerapan


peraturan perundangan guna membatasi stigma dan diskriminasi yang muncul
akibat status hiV, perilaku berisiko, dan gender seseorang yang terpantau dan
terus didorong untuk dilaksanakan. Kebijakan nasional harus terus mendorong
pengungkapan status hiV kepada pasangan secara sukarela dan penuh
tanggung jawab.

Perlu dikembangkan kebijakan dasar hukum yang jelas tentang;

1. umur atau alasan tertentu yang menyangkut pemberian persetujuan untuk


tes‐HIV bagi dirinya atau orang lain (perwalian).
2. Cara terbaik untuk mendapatkan persetujuan tes‐HIV dari remaja.
PROSES PITC DAN UNSUR PENDUKUNGNYA

Informasi Pra-Tes HIV dan Persetujuan Pasien

sesuai dengan kondisi setempat, informasi prates dapat diberikan secara individual,
pasangan atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani tes hiV (informed consent)
harus selalu diberikan secara individual, pribadi dengan kesaksian petugas
kesehatan.

Undang‐undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004, secara jelas memuatnya


dalam Pasal 45 mengenai Persetujuan tindakan Kedokteran atau Kedokteran gigi.
Dalam pasal 45 Undang‐undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 tersebut
dijelaskan bahwa Persetujuan tindakan Kedokteran atau Kedokteran gigi diberikan
setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap.

A. Informasi minimal sebelum tes HIV

informasi minimal yang perlu disampaikan oleh petugas kesehatan ketika


menawarkan tes‐HIV kepada pasien adalah sebagai berikut:

1. Alasan menawarkan tes‐HIV dan konseling


2. Keuntungan dari aspek klinis dan pencegahan dari tes‐HIV dan potensi
risiko yangakan dihadapi, seperti misalnya diskriminasi, pengucilan, atau
tindak kekerasan.
3. Layanan yang tersedia bagi pasien baik yang hasil tes HIV negatif ataupun
positif, termasuk ketersediaan terapi antiretroviral
4. nformasi bahwa hasil tes akan diperlakukan secara konfidensial dan tidak
akan diungkapkan kepada orang lain selain petugas kesehatan yang
terkait langsung pada perawatan pasien tanpa seizin pasien
5. Informasikan bahwa pasien mempunyai hak untuk menolak menjalani
tes‐HIV. tes akan dilakukan kecuali pasien menggunakan hak tolaknya
tersebut.
6. Informasikan bahwa penolakan untuk menjalani tes‐HIV tidak akan
mempengaruhi akses pasien terhadap layanan yang tidak tergantung pada
hasil tes hiV.
7. Dalam hal hasil tes HIV–positif, maka sangat dianjurkan untuk
mengungkapkannya kepada orang lain yang berrisiko untuk tertular hiV
dari pasien tersebut.
8. Kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada petugas kesehatan

Pada umumnya dengan komunikasi verbal sudah cukup memadai untuk memberikan
informasi dan mendapatkan informed‐consent untuk melaksanakan tes‐HIV.
ada beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan terhadap dampak buruk
seperti diskriminasi, pengucilan, tindak kekerasan, atau penahanan. Dalam hal
tersebut maka perlu diberi informasi lebih dari yang minimal di atas, untuk
meyakinkan informed‐consent nya.

B. Perhatian khusus bagi perempuan hamil

Informasi pra‐tes bagi perempuan yang kemungkinan akan hamil atau dalam
kondisi
hamil harus meliputi:

1. Risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak


2. Cara yang dapat dilakukan guna mengurangi risiko penularan HIV dari
ibu ke anaknya, termasuk terapi antiretroviral profilaksis dan konseling
tentang makanan bayi.
3. Keuntungan melakukan diagnosis HIV secara dini bagi bayi yang
dilahirkan.

C. Perhatian khusus bagi bayi, anak dan remaja

Perlu ada pertimbangan khusus bagi anak dan remaja di bawah umur secara
hukum (pada umumnya <18 tahun). Sebagai individu di bawah umur yang belum
punya hak untuk membuat/memberikan informed‐consent, mereka punya hak
untuk terlibat dalam semua keputusan yang menyangku kehidupannya dan
mengemukakan pandangannya sesuai tingkat perkembangan umurnya. Dalam
hal ini diperlukan informed‐consent dari orang tua atau wali/pengampu.

D. Pasien dengan penyakit berat

Pasien yang mengalami kondisi kritis atau tidak sadarkan diri, tentu tidak
mampu untuk memberikan persetujuan secara pribadi. Dalam keadaan yang
demikian, maka dipertimbangkan betul manfaat tes hiV dan kepentingan pasien.
apabila tes hiV betul‐betul dibutuhkan atas kepentingan pasien maka persetujuan
dapat dimintakan kepada keluarga semenda (ibu, ayah, anak kandung).

E. Penolakan untuk menjalani tes HIV


Penolakan untuk menjalani tes‐HIV tidak boleh mengurangi kualitas layanan lain
yang tidak terkait dengan status hiVnya. Pasien yang menolak menjalani tes
perlu ditawari untuk menjalani sesi konseling di Klinik Kts di masa yang akan
datang jika memungkinkan. Penolakan tersebut harus dicatat di lembar catatan
medisnya agar diskusi dan tes hiV diprakarsai kembali pada kunjungan yang
akan datang.
1. Konseling Pasca-Tes HIV

Konseling pasca‐tes merupakan bagian integral dari proses tes‐HIV. Semua


pasien yang menjalani tes‐HIV harus mendapatkan konseling pasca‐tes pada saat
hasil tes disampaikan, tanpa memandang hasil tes HIV‐nya. Konseling pasca‐tes
harus diberikan secara individual dan oleh petugas yang sama yang
memprakarsai tes hiV semula. Konseling tidak layak untuk diberikan secara
kelompok.

Perlu diingat bahwa tidaklah dapat diterima apabila seorang petugas memprakarsai
untuk tes hiV dan kemudian harus menunda memberikan hasilnya kepada pasien
karena tidak sempat. meskipun pasien mungkin belum siap untuk menerima hasil,
atau menolak untuk menerima hasil tes, petugas kesehatan harus selalu
berusaha dengan berbagai alasan yang tepat dengan cara simpatik untuk
meyakinkan pasien menerima dan memahami arti hasil tes HIV dan menjaga
konfidensialitas.

setelah dapat ditegakkan diagnosis dan terapi, tujuan lain dari konseling ini
adalah perubahan perilaku klien khususnya terkait perilaku berisiko yang dapat
memperburuk kondisi penyakitnya atau penularan hiV/aiDs dan penyakit infeksi
lainnya kepada orang lain. sementara perubahan perilaku sehubungan dengan
risiko penularan kepada orang lain dapat dilaksanakan melalui rujukan kepada
konselor terlatih.

2. Konseling hasil tes HIV negatif

Konseling bagi yang hasilnya negatif, minimal harus meliputi hal sebagai berikut:

a) Penjelasan tentang hasil tesnya, termasuk penjelasan tentang periode


jendela, yaitu belum terdeteksinya antibodi‐HIV dan anjuran untuk menjalani
tes kembali ketika terjadi pajanan hiV.
b) Informasi dasar tentang cara mencegah terjadinya penularan HIV
c) Pemberian kondom laki‐laki atau perempuan Baik petugas kesehatan
maupun pasien selanjutnya membahas dan menilai perlunya rujukan untuk
mendapatkan konseling pasca‐tes lebih mendalam atau dukungan
pencegahan lainnya.

3. Konseling hasil tes HIV positif

Bagi pasien dengan hasil tes‐HIV positif, maka petugas kesehatan


menyampaikan hal
sebagai berikut:

1. Memberikan informasi hasil tes HIV kepada pasien secara


sederhana dan jelas, dan beri kesempatan kepada pasien sejenak
untuk mencerna informasi tersebut.
2. Meyakinkan bahwa pasien mengerti akan arti hasil tes HIV
3. Memberi kesempatan pasien untuk bertanya
4. Membantu pasien untuk mengatasi emosi yang timbul karena hasil tes
positif
b) Membahas masalah yang perlu perhatian segera dan bantu pasien
menemukan jejaring sosial yang mungkin dapat memberikan dukungan
dengan segera dan dapat diterima.
c) Menjelaskan layanan perawatan lanjutan yang tersedia di sarana
kesehatan dan masyarakat, khususnya ketersediaan layanan
pengobatan, PmtCt dan layanan perawatan serta dukungan.
d) Memberikan informasi tentang cara mencegah penularan HIV, termasuk
pemberian kondom laki‐laki ataupun perempuan dan cara
menggunakannya.
e) Memberikan informasi cara pencegahan lain yang terkait dengan cara
menjaga kesehatan seperti informasi tentang gizi, terapi profilaksis, dan
mencegah malaria dengan kelambu di daerah endemis malaria.
f) Membahas kemungkinan untuk mengungkapkan hasil tes‐HIV, waktu
dan cara mengungkapkannya serta mereka yang perlu mengetahui.
g) Mendorong dan menawarkan rujukan untuk tes‐HIV dan konseling bagi
pasangan dan anaknya.
h) Melakukan penilaian kemungkinan mendapatkan tindak kekerasan atau
kemungkinan bunuh diri dan membahas langkah‐langkah untuk
mencegahnya, terutama pasien perempuan yang didiagnosis hiVpositif
i) Merencanakan waktu khusus untuk kunjungan tindak lanjut mendatang
atau rujukan untuk pengobatan, perawatan, konseling, dukungan dan
layanan lain yang diperluklan oleh pasien (misalnya, skrining dan
pengobatan tB, terapi profilaksis untuk IO, pengobatan IMS, KB,
perawatan hamil, terapi rumatan pengguna opioid, akses pada layanan
jarum suntik steril – lJss).

4. Konseling pasca-tes bagi ibu hamil

Konseling bagi perempuan hamil dengan HIV‐positif juga harus meliputi


masalah berikut:

a) Rencana persalinan
b) Penggunaan antiretroviral bagi kesehatannya sendiri ketika ada
indikasi, dan untuk pencegahan penularan dari ibu ke anak.
c) Dukungan gizi yang memadai, termasuk pemenuhan kebutuhan zat
besi dan asam folat.
d) Pilihan tentang makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan
pilihannya.
e) Tes‐HIV bagi bayinya kelak dan tindak lanjut yang mungkin diperlukan.
f) Tes‐HIV bagi pasangan.
Rujukan ke Layanan Lain yang Dibutuhkan

Hasil tes‐HIV harus dikomunikasikan dengan penjelasan tentang layanan


pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan kepada pasien. Program
bagi penyakit kronis dan PDP hiV berbasis masyarakat merupakan sumber
penting dan perlu untuk membangun dan menjaga mekanisme kerja‐sama
dengan sumber daya tersebut. Sebagai upaya minimal maka rujukan haruslah
meliputi pemberian informasi tentang pihak yang dapat dihubungi dan
alamatnya, waktu dan cara menghubunginya. rujukan akan berjalan efektif bila
petugas kesehatan membuat janji terlebih dahulu dengan tujuan dan membuat
jadwal yang dikomunikasikan dengan pasien serta dicatat pada catatan medis
pasien. Petugas dalam jejaring rujukan sebaiknya saling berkomunikasi secara rutin
termasuk bila ada perubahan petugas sehingga rujukan dapat berjalan secara
lancar dan berkesinambungan.

Frekuensi Tes HIV

Anjuran untuk melakukan tes‐HIV ulang sangat tergantung pada perilaku berisiko
yang masih terus berlangsung pada pasien. Tes‐HIV ulang setiap 6‐12 bulan
mungkin akan bermanfaat bagi individu berisiko tinggi untuk mendapat pajanan hiV.
Perempuan dengan HIV negatif sebaiknya di tes ulang sedini mungkin pada
setiap kehamilan baru. Tes‐HIV ulangan pada usia kehamilan lanjut sangat
dianjurkan pada semua perempuan hamil dengan hiV negatif di daerah dengan
tingkat epidemi meluas.
TEKNIK TES-HIV
Pada sarana kesehatan dengan sarana laboratorium terbatas sebaiknya
menggunakan tes cepat hiV pada PITC. Tes‐HIV dengan metode tes cepat
sangat layak dilakukan dan memungkinkan untuk mendapatkan hasil secara
cepat serta meningkatkan jumlah orang yang mengambil hasil, meningkatkan
kepercayaan akan hasilnya serta terhindar dari kesalahan pencatatan atau
tertukarnya hasil antar pasien. tes cepat hiV dapat dilakukan di luar sarana
laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di
sarana kesehatan primer.

tes elisa mungkin lebih layak dilakukan di sarana kesehatan dengan sarana
laboratorium yang lengkap dan tenaga yang terlatih dengan jumlah pasien yang
lebih banyak dan tidak perlu hasil tes segera (misalnya untuk pasien rawat inap di
rumah sakit) dan laboratorium rujukan.

Pemilihan antara menggunakan tes cepat hiV atau tes elisa bagi PITC harus
dipertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan tes hiV; biaya dan
ketersediaan perangkat tes, reagen dan peralatan; pengambilan sampel,
transportasi serta kesediaan pasien untuk kembali mengambil hasil.

Dalam melaksakan tes hiV, perlu merujuk pada alur pemeriksaan sesuai dengan
pedoman nasional yang berlaku. Pada tes hiV dengan metode elisa hampir
selalu menggunakan alur serial sedang pada tes cepat dapat dengan cara serial
maupun parallel.

Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang pertama memberi hasil non‐
reaktif atau negatif, maka tes antibodi akan dilaporkan negatif. apabila hasil tes
pertama menunjukkan reaktif, maka perlu dilakukan tes hiV kedua dengan
menggunakan antigen dan/atau dasar pemeriksaan yang berbeda dari yang
pertama. Perangkat tes yang persis sama namun dijual dengan nama yang
berbeda tidak boleh digunakan untuk kombinasi tersebut. hasil tes kedua yang
menunjukkan reaktif kembali maka di daerah atau di kelompok populasi dengan
prevalensi hiV 5% atau lebih dapat dianggap sebagai hasil yang positif. Di
daerah atau kelompok prevalensi rendah yang cenderung memberikan hasi
positif palsu, maka perlu dilanjutkan dengan tes hiV ketiga. Who, unaiDs dan
dalam Pedoman nasional dianjurkan untuk selalu menggunakan alur serial tersebut
karena lebih murah dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama memberi
hasil reaktif saja.

Tes HIV secara parallel lebih dianjurkan ketika menggunakan sampel darah
perifer atau dengan tusukan ujung jari daripada dengan darah vena. Dua tes hiV
dilaksanakan secara bersamaan dengan menggunakan antigen dan/atau dasar
pemeriksaan yang berbeda. Bila keduanya memberikan hasil non‐reaktif atau
reaktif maka dapat dilaporkan sebagai
negatif atau positif. Pada hasil yang berbeda (serial ataupun parallel), yaitu
salah satu reaktif dan yang lain nonreaktif maka disebut diskordan dan perlu
dirujuk kepada ahli di laboratorium rujukan.

Dalam melakukan tes hiV dari kedua alur tersebut direkomendasikan untuk
menggunakan reagen tes hiV sbb:

a. Reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99%


b. Reagen kedua memiliki spesifisitas minimal 98%.
c. Reagen ketiga memiliki spesifisitas minimal 99%.

Kombinasi tes hiV tersebut perlu dievaluasi secara nasional sebelum digunakan
secara luas.

tes virologi yang lebih canggih dan mahal hanya dianjurkan untuk diagnosis
anak umur kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV‐positif yang merencanakan
kehamilan. Tes‐HIV untuk anak umur kurang dari 18 bulan dari ibu HIV‐positif
tidak dibenarkan dengan tes antibodi, karena akan memberikan hasil positif
palsu.
PERTIMBANGAN PROGRAM
Pertimbangan untuk menerapkan PITC sangat tergantung dari penilaian
keadaan epidemiologi hiV dan infeksi oportunistik. Perlu dipastikan ketersediaan
infrastruktur yang terdiri dari sumber dana, sumber daya manusia, ketersediaan
layanan standar bagi pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan.
Ketersediaan kerangka kerja sosial, kebijakan dan peraturan untuk mencegah
dampak buruk hiV, seperti diskriminasi, stigma, dan tindak kekerasan termasuk
bagian yang perlu dipertimbangkan. sebelum menerapkan PITC perlu
mempersiapkan kondisi tersebut di atas. Penerapan di daerah memerlukan
perencanaan strategis yang melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada,
termasuk kelompok sosial dan oDha setempat.
MONITORING DANEVALUASI
monitoring dan evaluasi sangat esensial pada pelaksanaan PITC. monev
nasional bagi PITC
harus memungkinkan para pengelola program untuk:

1. Memantau kemajuan penerapan, termasuk prosedur untuk


mendapatkan informed consent dari pasien dan memastikan
terjaganya konfidensialitas serta pemberian konseling oleh tenaga
konselor Kts.
2. Mampu mengidentifikasi masalah dan cara mengatasinya demi
perbaikan selanjutnya
3. Menilai efektivitas dan dampak dari PITC dalam hal:
a) Peningkatan akses pada konseling dan tes hiV serta hasil
tesnya
b) Peningkatan akses pada pemanfaatan layanan pencegahan,
pengobatan, perawatan dan dukungan hiV.
c) Peningkatan kesadaran terhadap hiV dan pengobatannya
d) Pengurangan mortalitas dan morbiditas
e) Dampak sosial (misalnya: jumlah yang mengungkapkan status
hiV semakin meningkat; stigma dan diskriminasi serta dampak
buruk berkurang)
4. Menilai efisiensi dan kesinambungan
5. Menilai kualitas layanan laboratorium

rencana monitoring dan evaluasi seharusnya bertujuan untuk


memanfaatkan struktur atau mekanisme yang sudah ada dalam
mengumpulkan indikator, dan tidak mengembangkan sistem baru yang
terlepas. alat pengumpul data yang sederhana dan baku akan
memungkinkan untuk membuat perbandingan antar lokasi dan mengurangi
beban kerja petugas kesehatan. Pelatihan yang memadai dalam hal
pengumpulan data sangat diperlukan dan perlu dirancang bagi petugas
kesehatan dan petugas administrasi.
Pada umumnya jumlah data dari monitoring rutin akan sangat terbatas, maka
dianjurkan untuk melakukan monitoring rutin dengan evaluasi yang terfokus
pada aspek penerapan yang spesifik. Sebagai contoh, kendali mutu
dilaksanakan ditingkat sarana kesehatan. tujuan dari kendali mutu adalah
menilai kinerja petugas, kepuasan pelanggan atau klien, dan menilai
ketepatan protokol konseling dan tes hiV yang kesemuanya bertujuan
menjamin ketersediaan layanan bermutu.
Jaminan mutu layanan

testing hiV dijalankan sesuai dengan standar pelayanan laboratorium kesehatan


pemeriksa hiV dan infeksi oportunistik, terbitan Kementerian Kesehatan tahun
2006 dan Keputusan menteri Kesehatan republik indonesia nomor
370/menkes/sk/iii/2007 tentang standar Profesi Ahli Teknologi Laboratorium
Kesehatan. Untuk daerah‐daerah terpencil dapat dilakukan oleh perawat yang
terlatih (mengacu pada pedoman VCt terbitan Kementerian Kesehatan 2005.).

mutu layanan testing dan konseling diatur melalui beberapa peraturan antara
lain:

a. Kepmenkesno. 1507/menKes/sK/X/2005mengenai Pedoman Pelayanan


Konseling dan testing hiV/aiDs secara sukarela (Voluntary Counselling and
Testing).
b. Kepmenkes no. 241/menkes/sK/iV/2006 mengenai standar Pelayanan
laboratorium Kesehatan Pemeriksa hiV dan infeksi oportunistik.
c. Kepmenkes no. 832/menkes/sK/X/2006 mengenai Penetapan rumah sakit
rujukan Bagi orang Dengan hiV/aiDs (oDha) dan standar Pelayanan rumah
sakit rujukan odha dan satelitnya.

Sumber Daya Manusia

Pelatihan dan Peningkatan Kapasitas :


Profesi menganjurkan pelatihan bagi tenaga medis dan penyegaran ilmu dan
keterampilan dalam Konseling dan testing hiV melalui Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan/CPD/Cme.

Perlindungan SDM:
tenaga kesehatan yang melakukan konseling dan testing hiV di sarana layanan
kesehatan dilindungi melalui uu Praktek Kedokteran dan prosedur standar
layanan kesehatan setempat serta manual rekam medis tahun 2006 dari Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) serta Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Mutu Konseling

Perangkat untuk menilai mutu layanan termasuk mengevaluasi kinerja seluruh


staf, penilaian mutu konseling melalui kegiatan supervisi, melakukan pertemuan
berkala dengan para konselor, kotak saran, penilaian oleh pengguna jasa,
mengukur seberapa jauh konselor mengikuti aturan protokol.
Perangkat jaminan mutu konseling:

a. Formulir kepuasan pelanggan


b. Syarat Minimal layanan sesuai yang ditentukan oleh Kementerian
Kesehatan dan WHO
c. Pengamatan langsung ketika proses konseling berjalan seizin pasien/klien.

Mutu Tes HIV

Mutu tes HIV dilakukan melalui

1. Pemantapan mutu internal bertujuan untuk mencegah kesalahan


pemeriksaan dan mengawasi proses agar mendapatkan hasil
pemeriksaan yang tepat dan benar. Kegiatan ini meliputi tersedianya
protap untuk seluruh kegiatan, format pencatatan, sediaan kontrol sampel.
2. Pemantapan mutu eksternal dilakukan secara berjenjang dan berkala,
meliputi :
a) uji silang (cross check) sampel,
b) supervisi dan
c) uji profisiensi (panel tes)
PEDOMAN PRAKTIS PENYELENGGARAAN TES HIV DAN KONSELING ATAS
PRAKARSA PETUGAS
Panduan komunikasi pada Tes HIV dan Konseling atas prakarsa
Petugas Kesehatan

Pemberian informasi kunci tentang HIV

Jelaskan cara penularan hiV

hiV adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh. orang yang terinfeksi hiV
mungkin tidak merasa sakit pada awalnya, tetapi perlahanlahan sistem kekebalan
tubuh akan rusak. Dia akan menjadi sakit dan tidak mampu melawan infeksi. sekali
seseorang terinfeksi hiV, dia dapat menularkan virus tersebut ke orang lain.

a. HIV dapat ditularkan melalui :


b. Cairan tubuh yang terinfeksi HIV seperti : semen, cairan vagina atau darah
c. selama hubungan seksual yang tidak aman.
d. Tranfusi darah yang terinfeksi HIV.
e. Pengguna napza suntik yang bertukar jarum suntik tidak steril.
f. Alat tato / skin piercing.
g. Dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya selama:
2. kehamilan;
3. melahirkan dan persalinan; dan
4. menyusui hiV tidak dapat ditularkan lewat berpelukan
atau berciuman, atau gigitan nyamuk.

Pemeriksaan darah khusus (tes HIV) dapat dilakukan untuk


mencari tahu apakah seseorang terinfeksi HIV.
Tes HIV dan Konseling

tes hiV dan konseling atas prakarsa petugas kesehatan


terdiri dari 3 tahap :
• Informasi pra‐tes dan edukasi (hal. 23)
• Tes HIV (hal. 36)
• Konseling pasca‐tes. (hal.26)

Saat dan cara menyarankan tes

Perlu ditawarkan tes hiV dan konseling:


• Setiap kali pasien datang dengan gejala atau tanda
yang mengarah pada infeksi hiV, atau
• Setiap pasien yang aktif secara seksual yang belum
diketahui status hiVnya dan akan medapatkan manfaat
dari hasil tes dan konseling hiV.
Dalam situasi klinik ada dua keadaan di mana tes hiV perlu
ditawarkan:
• Pemeriksaan diagnostik sebagai kelengkapan dalam
mendiagnosis pasien
• Penawaran rutin bagi pengunjung klinik untuk layanan
kesehatan selain hiV (anC, penyakit lain, keluarga
berencana, ims dsb.)
Pada kedua situasi di atas, setiap pasien berhak untuk
menolak untuk menjalani pemeriksaan lab – disebut
“opt-out”.
Tes Diagnostik

tes diagnostik sebagai bagian dari proses klinis dalam menentukan diagnosis
pasien. Bila ada gejala yang sesuai dengan infeksi hiV, jelaskan bahwa akan
dilakukan pemeriksaan hiV dalam rangka menegakkan diagnosis.
tes diagnostik hiV sebaiknya ditawarkan seperti tersebut diatas kepada semua
pasien dengan kondisi seperti pada “Pertimbangkan Penyakit terkait – hiV”
(lamPiran 1, halaman 41)
Contoh : “Kami akan mencari penyebab penyakit anda. untuk mendiagnosis dan
mengobati penyakit anda, kami perlu melakukan pemeriksaan infeksi tifoid, tB
dan hiV, kecuali bila anda keberatan.
Contoh lain: ”penyakit anda mungkin terkait dengan hiV, kalau kita tahu, maka
anda akan mendapat pengobatan yang tepat dan obat hiV tersedia gratis di
indonesia dan di sarana ini
Atau dengan kalimat yang sesuai dengan budaya dan penerimaan masyarakat setempat yang
intinya serupa dengan yang terkandung dalam kalimat di atas.

Penawaran tes HIV secara rutin

Penawaran tes hiV secara rutin dan konseling berarti menawarkan tes hiV kepada
semua pasien pengunjung layanan medis yang masih aktif secara seksual tanpa
memandang keluhan utamanya.
Contoh : “salah satu kebijakan di layanan kami adalah menawarkan ke setiap
pasien untuk mendapatkan kesempatan menjalani pemeriksaan hiV agar kami
dapat segera memberikan perawatan dan pengobatan selagi anda di sini dan
merujuk untuk tindak lanjut setelah anda pulang, kecuali bila anda keberatan.

Kami akan memberikan konseling dan menyampaikan hasilnya.


Baik pemeriksaan untuk diagnostik maupun sebagai penawaran
rutin, maka seharusnya pasien selalu diberi informasi pra‐tes di
bawah.
informasi dapat disampaikan secara individu atau secara kelompok
oleh tenaga kesehatan dan pekerja sosial.
Informasi pra-tes dan edukasi untuk pasien dewasa*

v Informasi pra‐tes dapat diberikan oleh seorang dokter, perawat, atau konselor.
informasi dapat disampaikan secara individu atau secara kelompok oleh
tenaga kesehatan.
v Informasi pra‐test sebaiknya terpusat pada tiga komponen di bawah ini:
- Berikan informasi penting hiV/aiDs
- Jelaskan prosedur untuk menjamin konfidensialitas
- yakinkan kesediaan pasien untuk menjalani tes dan mintalah
persetujuan.
Perlu diinformasikan bahwa apabila diperlukan konseling lebih lanjut
maka akan dirujuk.

1. Memberikan informasi penting HIV


Katakan: “hiV adalah virus atau kuman yang dapat merusak bagian tubuh
manusia yang diperlukan untuk melindungi dari serangan penyakit. test hiV
dapat menentukan apakah anda telah terinfeksi oleh virus tersebut.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan darah sederhana yang dapat
memperjelas diagnosis. setelah menjalani tes, kami akan memberikan layanan
konseling untuk membahas lebih dalam tentang hiV/aiDs. Bila hasil tes anda
positif, kami akan memberikan informasi dan layanan untuk mengendalikan
penyakit anda. termasuk obat antiretroviral dan atau obat lain untuk mengatasi
penyakit. Di samping itu, kami akan membantu dengan dukungan dalam hal
pencegahan penyakit dan membuka diri.
Bila hasilnya negatif, kami akan lebih memusatkan upaya agar anda bertahan tetap
negatif.”
2. Penjelasan prosedur untuk menjamin konfidensialitas
Katakan: “hasil tes hiV ini bersifat rahasia dan hanya anda dan tim medis yang
akan memberikan perawatan kepada anda yang tahu. artinya, petugas kami tidak
diizinkan untuk memberi tahukan hasil tes anda kepada orang lain tanpa seizin
anda. untuk memberitahukannya kepada orang lain sepenuhnya menjadi hak
anda.
3. Meyakinkan kesediaan pasien untuk menjalani tes dan meminta
persetujuan pasien (informed consent).

Informed consent artinya pasien telah diberi informasi secukupnya tentang


hiV/aiDs dan tes hiV, sepenuhnya memahaminya dan karenannya menyetujui untuk
menjalani tes hiV.
1. Kami perlu menginformasikan bahwa kami akan mengambil sampel darah
anda untuk tes hiV, bagaimana pendapat anda?
atau
2. Kami akan melakukan tes HIV hari ini, bila anda keberatan tolong beritahu kami.
atau
3. Menurut kami Tes HIV ini akan banyak bermanfaat bagi kami dalam
memberikan perawatan karena itu kami akan mengambil darah andakecuali anda
keberatan. apakah anda setuju?

Bila pasien masih mempunyai pertanyaan, berilah informasi yang ia perlukan.

Bila pasien masih ragu untuk menjalani tes HIV, rujuklah ke sarana KTS
untuk mendapatkan konseling pra‐tes secara lengkap. Sesi konseling
tersebut harus membahas kendala yang dihadapi untuk menjalani tes dan
menawarkannya kembali.

Bila pasien telah siap, maka mintalah persetujuan yang sebaiknya tertulis: “untuk
melakukan tes hiV kami perlukan persetujuan tertulis anda sebagai dasar kami
mengambil tindakan ”

Ingat: pasien berhak untuk menolak menjalani tes hiV karena tes
hiV tidak boleh dipaksakan.
v Bila pasien perlu informasi tambahan, bahas keuntungan dan
pentingnya mengetahui status HIVnya.
Hal yang perlu disampaikan:
• Hasil tes akan membantu tenaga kesehatan untuk membuat diagnosis
yang lebih tepat dan memastikan terapi tindak lanjut secara efektif.
• Bila hasil tes anda negatif, diagnosis HIV dapat disingkirkan dan
memberikan konseling untuk membantu anda agar tetap negatif.
• Bila hasil anda positif, anda akan dibantu untuk melindungi diri dari
reinfeksi dan mencegah pasangan anda terinfeksi
• Anda akan diberi perawatan dan terapi untuk mengendalikan penyakit, di
antaranya:
- profilaksis kotrimoksasol;
- pemeriksaan berkala dan dukungan;
- pengobatan infeksi; dan
- terapi antiretroviral (ART)‐ jelaskan tempat untuk mendapatkan dan
cara penggunaannya. (lihat Buku Bagan Perawatan hiV Kronik)

• Anda akan mendapatkan tindakan untuk mencegah penularan dari ibu ke


bayi, dan mendapat penjelasan agar mampu membuat perencanaan yang
tepat tentang kehamilan yang datang.
• Kita juga akan bahas dampak psikologis dan emosional dari infeksi HIV dan
memberikan dukungan untuk membuka status infeksi anda kepada orang
yang menurut anda perlu mengetahuinya.
• Diagnosis dini akan membantu anda menghadapi penyakit ini
danmerencanakan masa depan anda dengan lebih baik.
Konseling pasca-tes

v Bila hasil tes positif dan telah dikonfirmasi:


• Jelaskan bahwa berarti pasien tersebut telah terinfeksi
• Berikan konseling pasca‐tes dan dukungan
• Tawarkan perawatan berkelanjutan dan rencanakan kunjungan tindak lanjut
• Berikan nasehat pentinganya melakukan perilaku seks dengan kondom
agar tidak menularkan kepada orang lain dan terhindar dari ims lain, dan
terhindar dari infeksi virus hiV jenis lain. Buat rencana pengurangan perilaku
berisiko bersama pasien
• Berikan saran kepada pria dewasa untuk tidak melakukan hubungan
seksual di luar nikah, untuk menghindari penularan kepada orang lain.
• Bila perlu, rujuklah pasien untuk mendapatkan layanan pencegahan da
perawatan lebih lanjut, seperti kepada dukungan sebaya dan layanan
khusus untuk kelompok rentan.

v Bila hasil tes negatif


• Berikan kesempatan pada pasien untuk merasa lega atau bereaksi positif
yang lain.
• Berikan konseling tentang pentingnya tetap negatif dengan cara
menggunakan kondom secara benar dan konsisten, atau perilaku seksual
yang lebih aman lainnya.
• Buat rencana pengurangan perilaku berisiko bersama pasien
• Apabila pajanan baru saja terjadi atau pasien termasuk dalam kelompok
risiko tinggi, jelaskan bahwa hasil negative tersebut dapat berarti tidak
terinfeksi hiV atau sudah terinfeksi namun belum sempat terbentuk antibodi
untuk melawan virus (disebut Periode Jendela = “Window Period”, 3‐6 bulan).
Tawarkan tes HIV ulang pada 8 minggu kemudian.Bila perlu, rujuklah pasien
untuk mendapatkan layanan pencegahan dan perawatan lebih lanjut, seperti
kepada dukungan sebaya dan layanan khusus untuk kelompok rentan.
v Bila pasien belum dites atau telah dites tidak ingin mengetahui
hasilnya atau belum membuka hasilnya
• Jelaskan prosedur yang menjamin kerahasiaan.
• Tekankan kembali pentingnya menjalani tes dan keuntungan untuk
mengetahui hasilnya.
• Gali kembali kendala untuk menjalani tes, mengetahui, dan
membuka
status (rasa takut, persepsi yang salah, dan sebagainya).
Dukungan untuk membuka diri

a. Bahas keuntungan mebuka diri.


b. Tanya pasien apakah telah mengungkapkan hasilnya atau mau
c. mengungkapkan hasil tersebut kepada orang lain.
d. Bahas kekhawatiran untuk mengungkap status HIV kepada pasangan,
e. anak dan keluarga lain, atau teman.
f. Nilai kesiapan untuk mengungkap status HIV dan kepada siapa (mulai
g. dengan yang paling rendah risiko). Jajagi jejaring sosial.
h. Jajagi ketersediaan dukungan dan kebutuhan sosial (kelompok
i. dukungan).
j. Ajarkan cara mengungkapkan status (dengan peragaan dan latihan).
k. Bantu pasien untuk merencanakan pengungkapannya.
l. Memotivasi kehadiran pasangan untuk mempertimbangkan tes HIV; gali
m. hambatan untuk menjalani tes.
n. Yakinkan kembali bahwa anda akan menjamin kerahasiaan hasil tes
o. pasien.
p. Bila salah satu risiko pengungkapan hasil adalah kekerasan rumah tangga,
q. maka bantulah menciptakan lingkungan yang aman.
v Bila pasien tidak ingin mengungkapkan hasil tersebut:
a. Yakinkan kembali akan jaminan atas kerahasiaan hasil tes pasien.
b. Telusuri kesulitan dan kendal pengungkapan. Atasi kekhawatiran dan
kendala komunikasi ‐ latih pasien berkomunikasi.
c. Terus memotivasi. Bahas kemungkinan membahayakan orang lain.
d. Hubungkan bantuan tambahan sesuai keperluan (misalnya konselor
sebaya).
v Khusus untuk perempuan, bahas manfaat dan kerugian mengungkap
hasil positif, melibatkan serta menguji HIV pasangan.
Pria dalam keluarga dan masyarakat biasanya sebagai pembuat keputusan,
sehingga keterlibatan mereka akan:
• Memberikan dampak lebih besar dalam hal penerimaan penggunaan
kondom dan praktek seksual yang lebih aman untuk mecegah infeksi.
• Membantu mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.
• Membantu menurunkan risiko kecurigaan dan tindak kekerasan.
• Membantu meningkatkan dukungan pada pasangannya.
• Memotivasi mereka untuk mau menjalani tes HIV.
Kerugian melibatkan dan melakukan tes atas pasangan: bahaya pelimpahan
kesalahan, tindak kekerasan dan pengucilan.
Bila memungkinkan tenaga kesehatan hendaknya berupaya memberikan
konseling pasangan secara bersama.
v Konseling ini dapat dilakukan oleh konselor di klinik VCT.

Konseling tentang perilaku seksual yang lebih aman dan penggunaan


kondom

v Perilaku seksual yang lebih aman adalah semua praktek seksual


yang mengurangi risiko penularan HIV dan IMS lain.
• Perlindungan dapat diperoleh dengan:
- Hindari aktifitas seksual di luar nikah.
- gunaan kondom dengan benar dan konsisten; kondom harus dipakai
sebelum aktifitas seksual penetratif, bukan hanya sebelum ejakulasi.
- Memilih aktifitas seksual yang tidak memungkinkan semen, cairan dari
vagina atau darah untuk masuk ke mulut, anus atau vagina pasangan, dan
tidak menyentuh kulit pasangan bila ada sayatan atau luka terbuka.
v Bila HIV positif:
• Jelaskan pada pasien bahwa dia terinfeksi dan dapat menularkan infeksi
tersebut ke pasangannya. Kondom harus digunakan seperti di atas.
• Bila status pasangan tidak diketahui, konsultasikan tentang manfaat
melibatkan dan menguji pasangan (hal. 20‐21).
• Untuk perempuan: jelaskan pentingnya menghindari infeksi selama
kehamilan dan menyusui. risiko terinfeksi pada bayi adalah lebih tinggi
bila ibunya baru saja terinfeksi.
v Bila HIV negatif ATAU hasilnya tidak diketahui:
• Bahas risiko infeksi HIV dan cara menghindarinya.
• Bila status pasangan tidak diketahui, berikan konseling tentang manfaat
pemeriksaan pasangan.
• Untuk perempuan: jelaskan pentingnya tetap negatif selama kehamilan
dan menyusui. risiko bayi untuk terinfeksi lebih besar bila ibunya baru terinfeksi.
Pastikan pasien mengetahui cara menggunakan kondom dan tempat untuk
mendapatkannya. Berikan kemudahan untuk mendapatkan kondom di klinik
dengan cara yang jelas.
Tanyakan: apakah anda dapat menggunakan kondom? gali hambatannya.
Pemberian edukasi dan konseling IMS

v Berbicara secara pribadi, dengan cukup waktu, dan pastikan


kerahasiaannya.
v Jelaskan:
• Penyakit tersebut
• Cara penularan penyakit tersebut.
• Cara pencegahannya
• Terapi.
• Bahwa kebanyakan IMS dapat disembuhkan, kecuali HIV, herpes dan kutil
kelamin.
• Perlunya mengobati pasangan (kecuali untuk vaginitis):
- Kemungkinan pasangan seksual terakhir juga terinfeksi tetapi tidak
menyadari.
- Bila pasangan tidak diobati, dapat mengalami komplikasi.
- hubungan seksual dengan pasangan yang tidak diberi terapi, infeksi
terulang.
- meskipun tanpa gejala pasangan perlu diterapi, demi kesehatan
pasangan dan pasien.
v Dengarkan pasien: apakah ada stress atau kecemasan terkait dengan
IMS?
v Dorong perilaku seksual yang aman untuk mencegah HIV dan IMS.
• Konseling untuk memiliki pasangan tetap (atau pantangan) dan memilih
pasangan secara cermat.
• Jelaskan cara menggunakan kondom (hal. 28 ).
v Beri pendidikan tentang HIV.
v Sarankanpemeriksaandankonseling HIV (hal. 21).
v Pemberitahuan pasangan atau suami/istri.
• Tanyakan kepada pasien: “dapatkah anda melakukannya?” tanyakan:
apakah mungkin anda:
- membicarakan infeksi tersebut kepada pasangan?
- meyakinkan pasangan anda untuk mendapatkan terapi?
- membawa/mengirimkan pasangan anda ke sarana kesehatan?

Rujuk untuk konseling tentang:


• Perhatian pada herpes (tidak
ada obatnya)
• Kemungkinan mandul karena
infeksi panggul
• Penilaian perilaku berisiko
• Pasien yang bermitra seksual
multipel
• Jelaskan peran anda sebagai tenaga kesehatan.
• Strategi untuk membahas dan memperkenalkan penggunaan kondom?
• Risiko kekerasan atau reaksi stigmatisasi dari pasangan dan keluarga.

Pengurangan Dampak Buruk bagi PENASUN

v Ketika berbicara dengan para PENASUSN, pastikan bahwa:


• Berbicara secara pribadi dan jaga konfidensialitas, bila tidak, pasien tidak
akan pernah kembali untuk perawatan selanjutnya. Penggunaan napza
suntikan adalah ilegal dan para penasun biasanya takut bila berhubungan
dengan yang berwajib
• Bersikap tidak menghakimi
• Bangun kepercayaan
• Empati

v Beri edukasi tentang pencegahan


• Konseling dan promosi pemakaian kondom secara konsisten untuk
mencegah penularan hiV, hepatitis viral dan ims
• Pertimbangkan risiko terhadap infeksi HIV, tawarkan tes dan konseling
hiV

v Jelaskan tentang risiko penggunaan suntikan:


• HIV, hepatitis B dan C dapat ditularkan melalui pemakaian semua jenis
alat suntik – jarum, semprit dan kapas atau pengusap secara bergantian
dengan teman
• Ada banyak penyakit penyerta yang terkait dengan Penasun dan/atau
penggunaan obat lain: termasuk di antaranya adalah infeksi, gangguan
mental, hati, dan ginjal
• Penggunaan napza dapat mempengaruhi kemampuan atau fungsi
anggota tubuh dalam kehidupan sehari‐hari

v Jelaskan tentang risiko penggunaan suntikan:


• Sediakan peralatan suntik steril (jarum, semprit, cairan pelarut) dan
informasi tentang cara peyuntikan yang aman bila tersedia dan mampu,
bila tidak rujuk ke program yang menawarkan alat suntik steril (jarum,
semprit dan cairan pelarut) dan informasi tentang cara penyuntikan yang
aman
• Cara mensterilkan alat dengan bahan pemutih. Ingat cara ini hanya
ditawarkan bila tidak tersedia alat suntik steril
• Hindari pemakaian alat suntik, pisau cukur, alat tato, dsb secara
bergantian
• Dorong untuk menghentikan pemakaian napza suntik

v Jelaskan cara penyuntikan yang aman dan cara melindungi


pembuluh vena:
• Lakukan disinfeksi kulit tempat suntikan; hal tersebut akan mengurangi
risiko terjadinya infeksi kulit yang dalam yang dapat mengenai pembuluh
vena
• Pindah tempat suntikan secara reguler
• Gunakan jarum/semprit baru (jarum bekas akan merusak pembuluh
vena)
• Kurangi frekuensi penyuntikan setiap hari/minggu

v Jelaskan cara menghindari terjadinya infeks

Tawarkan dan dorong untuk mengikuti program detoksifikasi/ program


terapi
rumatan opioid oral atau Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)

v sebelum menawarkan program tersebut di atas harus sudah terjalin hubungan


yang saling percaya antara tenaga kesehatan dengan kliennya yang penasun
– yang mungkin akan memakan beberapa waktu atau kunjungan

v Berikan informasi kepada pasien tentang adanya program yang akan


membantunya berhenti menggunakan napza

Detoksifikasi opioid/ terapi rumatan opioid (PTRM)


v Bila klien penasun tertarik untuk mengikutinya: rujuk ke layanan terkait
Konseling dasar

Semua petugas dapat melakukan konseling di seputar masalah klinis yang


meliputi:
v edukasi kepada pasien
v memberikan dukungan emosional
v memberikan dukungan kepada pasien yang mengalami gangguan mental
seperti depresi atau ensietas.
v mencakup berbagai aspek perawatan hiV (tes hiV, pengungkapan status hiV,
perilaku seksual yang lebih aman dan penggunaan kondom, kepatuhan terhadap
perawatan dan terapi)
v mengatasi situasi krisis

Unsur konseling dasar


v menjalin hubungan yang baik dengan klien.
v mencari tahu suasana hati klien saat ini.
v memberi tanggapan dengan empati.
v memberikan tanggapan yang membuat pasien memahami kondisinya.
v memberi informasi.
v Membantu pasien mencari dan mendapatkan bantuan dari teman‐temannya.
v mengajarkan ketrampilan khusus untuk menghadapi situasinya:
• Teknik relaksasi seperti bernafas dengan dalam atau relaksasi otot secara
progresif atau bayangan positif.
• Pemecahan masalah. v memberikan dorongan. v memperbesar harapan
v Kiat‐kiat yang bermanfaat dalam konseling:
• Gunakan pertanyaan terbuka.
- Pertanyaan terbuka: masalah apakah yang mengganggu jadual minum obat
and saat ini?
- Pertanyaan tertutup: apakah anda sudah minum obat hari ini
• Mendengarkan dengan seksam, memperhatikan komunikasi baik verbal
maupun non‐verbal
• Klarifikasikan sesuatu yang belum anda fahami.
• Gunakan latihan dengan main peran untuk mengasah ketrampilan dan
percaya diri klien menjalankan rencananya.
• Beri kesempatan klien untuk bertanya
• Tanyakan hasrat untuk bunuh‐diri (terutama menghadapi klien yang
mengalami keadaan kritis dan penyakit mental).
Membantu pasien menyusun prioritas masalah dan menemukan jalan
keluarnya.
Waspada terhadap terapi untuk pasien.
Mengetahui sumber daya lain untuk rujukan.
Mengetahui sumber daya dukungan sosial bagi klien.
Advokasi kepada pasien
Rujuk ke layanan pengobatan, pencegahan yang sesuai.

Jaga privasi.
Jangan terlalu banyak interupsi.
Upayakan pasien senyaman mungkin.
Membuat kesepakatan waktu – lama konseling.
Buat rencana untuk tindak lanjut bila diperlukan

Konseling bagi klien depresi dan keluarganya


v Periksa gejala depresi yang mungkin dialami oleh pasien
v Berikan informasi yang penting.
• Jelaskan bahwa gejala yang dialami merupakan bagian dari penyakit yang
disebut depresi.
• Depresi adalah umum dan dapat diterapi dengan efektif.
• Depresi bukanlah tanda kelemahan atau malas.
• klien mencoba keras untuk mengatasinya.
• Sampaikan bahwa anda dapat memahami sress yang dirasakan klien dan
ingin membantu meringankan bebannya
v Jajagi seberapa berat depresi klien anda saat ini dibanding dengan
perasaan yang pernah dialami sebelumnya dalam rangka menjelaskan
rencana terapi untuknya.
v Tanyakan tentang adanya niat untuk melukai diri sendiri atau
membayangkan kematian.
v Bila ada risiko bunuh diri, atau membahayakan orang lain lihat Bagan
Pemeriksaan Darurat.
v Rencanakan kegiatan jangka pendek yang meningkatkan
kegembiraan klien anda atau membangun kepercayaan dirinya.
v Identifikasi masalah atau tekanan sosial saat ini. Fokus pada upaya kecil
yang spesifik yang mungkin dapat dilakukan klien dalam mengatasi
masalahnya.
• Bila ada perasaan duka karena kematian seseorang, lihat Buku
Bagan
Perawatan Paliatif.
• Bila HIV+, berikan dukungan.
• Bila baru diagnosis TB dan khawatir tentang HIV, berikan dukungan.
• Ajarkan teknik penyelesaian masalah yang baru.
Dorong pasien untuk tidak pesimis atau menyalahkan diri:
o Jangan melakukan tindakan pesimistik (mengakhiri perkawinan,
meninggalkan pekerjaan).
o Jangan terpusat pada pemikiran negatif atau perasaan bersalah.
Bila konseling tidak cukup membantu pertimbangkan intervensi
tambahan di bawah ini:
o Berikan amitriptilin, terutama bila ada gangguan tidur dan nafsu makan
yang cukup berat.
• bila menggunakan anti depresant, periksa kepatuhan dan dosis.
Dosisnya mungkin perlu ditambah.
• Ingatkan pasien bahwa untuk mendapatkan efek obat secara penuh butuh
waktu 2‐3 minggu.
• Setelah membaik, bahas tindakan yang akan datang bila tanda
depresi kembali muncul. rujuk ke kelompok dukungan. rujuk ke konselor
ahli. Bila masih ada risiko bunuh diri atau depresi berat yang tidak ada
respon terhadap terapi, lakukan konsultasi atau segera rujuk.
Pemeriksaan Laboratorium

Melaksanakan Tes Cepat HIV, interprestasi hasil dan konseling

Ambil darah dari ujung jari


o selalu gunakan sarung tangan untuk mengambil atau mengelola darah.
o gosok ujung jari agar pembuluh darah melebar (jari tengah atau jari manis).
o Bersihkan jari dengan alkohol dan biarkan mengering.
o Pegang jari di lebih rendah daripada siku.
o tusuk jari dengan lancet steril yang belum terpakai.
o teteskan satu tetes seperti tertulis pada petunjuk teknis kemasan tes (misalnya
gunakan pipet untuk Uni-Gold HIV™ atau sample loop untuk Stat Pack™).
ulangi prosedur ini sesuai dengan
pemeriksaan yang digunakan, misalnya, Determine hiV 1/2 1-2 kali dan dua kali.
o Buang lancet yang telah dipakai di dalam wadah yang aman.
o Selesaikan prosedur pemeriksaan yang spesifik.
o Desinfeksi jari dan tutupi dengan plester.
o terapkan kewaspadaan universal untuk pembuangan sampah. Cara yang
umum adalah autoclaving pada suhu 120°C selama 60 menit atau dengan
pembakaran.
Test-Kit (Kit tes-HIV)
o setidaknya gunakan dua macam tes yang berbeda.
o ikuti pedoman nasional pemeriksaan tes hiV – sesuai strategi ii atau iii untuk
diagnosis.
o Patuhi tanggal kedaluwarsa – jangan digunakan kit yang telah kedaluwarsa.
o ikuti dengan ketat prosedur penyimpanan.
o Bila sebelumnya kit disimpan pada suhu 2-8°C, biarkan kit tersebut mencapai
suhu ruangan dengan mengeluarkannya dari lemari pendingin kira-kira 20 menit
sebelum digunakan.
o Validasi kit tes hiV sesuai petunjuk dari produsen dan kontrol positif dan negatif
yang disediakan. Bila mungkin gunakan kontrol untuk setiap pemeriksaan baru,
batch baru atau bila anda meragukan kondisi penyimpanannya.
o Patuhi prosedur pemeriksaan dengan ketat.
o Patuhi sangat ketat waktu membaca yang direkomendasikan.
o selalu beri label spesimen dan/atau alat pemeriksaan dengan jelas.
o siapkan lembar kerja dimana nomor spesimen jelas tertulis dan segera catat
hasilnya, jangan ditunda.
Mempersiapan Kit tes HIV
o Bila disimpan di lemari pendingi, keluarkan kit dan diamkan selama setidaknya
20 menit untuk mencapai suhu kamar (20 – 25oC)
o siapkan lembar kerja, tuliskan nomor batch kit; tanggal keadluwarsa; nama
pemeriksa dan tanggal pemeriksaan.
o Periksa kembali bahwa tanggal kedaluwarsanya belum terlampaui
o lakukan validasi bahwa kit masih bagus dengan menggunakan kontrol positif
dan negatif; setelah itu anda siap melaksanakan tes pada sediaan klinik yang
ada.
o tuliskan nomor spesimen pada lembar kerja.
o Keluarkan peralatan tes dari pembungkusnya
o tuliskan nomor spesimen pada peralatan tes tsb.
o laksanakan tes dengan mengikuti petunjuk teknis yang ada pada kit.

Berikut adalah contoh pemeriksaan dengan menggunakan kit UNI-Gold

HIVTM

DAN Determine HIVTM1/2.

Uni-Gold HIVTM
o tulis nomor spesimen pada lember kerja.
o ambil alat pemeriksaan uni-gold hiV dari bungkus pelindung.
o tulis nomor spesimen pada alat pemeriksaan.
o Kumpulkan seluruh darah dari tusukan jari (lihat dokumen).
o tambahkan dua tetesan darah pada port sampel.
o tambahkan dua tetesan dari reagent pencuci ke port sampel.
o Biarkan selama sepuluh menit agar terjadi reaksi.
o Baca hasilnya pada akhir menit kesepuluh. Jangan baca setelah 20 menit
karena hasilnya tidak lagi stabil.
o interprestasikan hasilnya.
satu garis pada daerah kontrol: hasil negatif Dua garis pada daerah
kontrol dan
satu pada daerah pemeriksaan: hasil positif

tidak ada garis: hasil invalid


o catat hasil pemeriksaan interpretasi
pada lembar kerja
o konseling pasca
pemeriksaan.

Determine HIVTM1/2
o siapkan Kit tes-hiV (lihat halaman sebelumnya).
o ambil darah dari tusukan ujung jari dengan menggunakan tabung kapiler
ber eDta m m
o teteskan darah dari abung kapiler 50μl pada sampel pad (tanda panah).
o tunggu sampai darah terserap dan tambahkan satu tetes chase buffer
pada sampel pad.
o Biarkan selama 15 menit agar terjadi reaksi.
o Baca hasilnya antara 15-16 menit setelah penambahan sampel.
o interprestasikan hasil

satu garis pada daerah kontrol: hasil negatif Dua garis pada daerah
kontrol dan
satu pada daerah pemeriksaan: hasil positif

tidak ada garis: hasil invalid


o Catat hasil pemeriksaan pada interpretasi
lembar kerja . hasil tes
o Konseling pasca-tes (lihat
dokumen)
Pada akhir hari kerja, simpan bahan dengan benar. Bersihkan daerah pemeriksaan
dengan desinfektan.
NEGATIVE
a line in the control
POSITIVE
a negative test
result.
in the test region,
plus a line forming

indicates a positive
result.

INCONCLUSIVE
no line appears in
the control region.
the test, should be

of line developing in
the test region.

negative
Bagan 3.
Bagan Alur Tes Cepat HIV di Layanan Tes dan Konseling HIV

Konseling Prates

tertulis

tes Cepat Pertama


[A1] tes [A1]
hasil ya tes Cepat Kedua hasil tes[A2]
PositiF ? [A2] PositiF ?
tidak

ya
ulangi tes [A1] dan ya
[A1] & [A2] (+)
[A2]
tidak

salah satu [A1] atau ya tes Cepat Ketiga


[A2] HIV (+) ? [A3]
tidak

[A1] (+), [A2] (+),


[A3] (+) ?

tidak
tidak
[A1] (+); dan salah
satu [A2] atau
[A3] (+) ?
ya
tidak

apakah risiko tidak [A1] (+), [A2] (-),


tinggi ? [A3] (-) ?

tidak ya ya

Konseling hasil HIV


Anggap
Konseling Hasil HIV positif
Negatif Mulai Perawatan
Ulangi Tes
lihat Perawatan Kronik hiV
C. MANAGEMEN KASUS

1. Pengertian
Manajemen kasus adalah : pelayanan yang mengkaitkan dan
mengkoordinasi bantuan dari berbagai lembaga dan badan penyedia dukungan medis,
psikososial, dan praktis bagi individu-individu yang membutuhkan bantuan itu

2. Tujuan
Tersedianya akses pelayanan & koordinasi:
a. yang mencakup bantuan berbasis masyarakat
b. memungkinkan orang-orang yang mempunyai masalah untuk menjalani
kehidupan secara normal dalam lingkungan alamiah
c. Menyadari bahwa hidup dengan HIV merupakan tantangan biopsikososial dan
spiritual.
d. Karena krisis dapat terjadi dalam seluruh spektrum masa penyakit dan
kemungkinan kebutuhan Odha akan berubah
e. Pencegahan dan pengurangan resiko merupakan komponen pelayanan MK HIV
f. Program terpadu, memperhatikan peningkatan mutu melalui evaluasi hasil
g. Menjaga kerahasiaan Odha
h. Memperhatikan kompetensi budaya

3. Manager Kasus
Profesional yang :
a. Bekerja dan peduli pada program penanggulanganHIV/AIDS
b. Mampu menjaga kerahasiaan Odha
c. mampu bekerja erat dengan tim perawatan kesehatan
d. mampu memfasilitasi Odha pada akses perawatan dandukungan
e. mencakupkan upaya pengurangan resiko dan pendidikan HIV dalam intervensi
yang
4. Fungsi Kegiatan
a. Intake/Penerimaan Awal
b. Asesmen
c. Perencanaan Pelayanan
d. Pengkaitan dan Rujukan
e. Monitoring dan Evaluasi

5. Penerimaan Awal
a. Membangun hubungan kolaboratif dengan klien
b. Pengumpulan informasi
c. Memberi informasi : persyaratan,batas layanan, hak dan tanggungjawab klien
Selama Intake, dilakukan asesmen awal kebutuhan klien untuk :

a. Menjembatani kesenjangan antara kebutuhan pelayanan dan


sumber daya yan tersedia

b. Melakukan tinjauan hak-hak dan kewajiban klien

c. Mendaftarkan klien dalam sistem penyedia pelayanan atas


persetujuan klien
6. Asesment
a. Asesmen risiko penularan mencakup :
1) Upaya mengidentifikasi hambatan bagi klien untuk mengurangi risiko penularan
2) Upaya pendidikan mengenai penularan HIV dan cara-cara memperkecil resiko.
b. Asesmen kemampuan klien mengikuti perawatan, yaitu :
1) Upaya mengidentifikasi kebutuhan perawatan dan dukungan
7. Perencanaan pelayanan
Mengidentifikasi dan mendokumentasikan:
a. Pelayanan yang dibutuhkan klien, tujuan dan hasil yang ingin dicapai
b. Langkah - langkah pelayanan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan klien
c. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan klien
d. Melaksanakan strategi perencanaan pelayanan dalam rangka mencapai kebutuhan
klien
e. Mengkoordinasikan pelayanan dan rujukan-rujukan itu sendiri
f. Mengadvokasi pelayanan terhadap klien jika dia tidak sanggup mendapatkannya
g. Mengkoordinasikan dengan manajer kasus lain dengan siapa klien akan bekerja
h. Membuat perjanjian dan pelaksanaan rujukan kepada lembaga lain
8. Monitoring dan Evaluasi
a. Memastikan semua kegiatan dilaksanakan sesuai rencana dan sesuaijadwal yang
ditentukan.
b. Meyakinkan bahwa klien diakses secara tepat kepada lembaga yang
dibutuhkan/sesuai
c. Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan yang mungkin diperoleh klien selama
menerima pelayanan
d. Menentukan apakah klien masih membutuhkan pelayanan manajemen kasus
e. Mengases kembali dan memperbaiki rencana pelayanan supaya selalu tepat
f. Menyediakan dokumentasi yang tepat
9. Manfaat
a. Ekonomis, memanfaatkan sumber perawatan dan dukungan melalui koordinasi
dengan lembaga formal dan informal
b. Pendekatan individual yang potensial meningkatkan kesadaran Odha untuk:
1) Mentaati saran petugas kesehatan secara benar
2) Mengurangi penyebaran HIV pada orang lain
3) Pendekatan berbasis pemberdayaan yang menghilangkan ketergantungan
Odha pada lembaga
c. Manfaat Bagi ODHA
1) Menjamin kontinuitas pelayanan (holistik, terpadu dan berkesinambungan)
2) Memperoleh akses pelayanan yang tepat sesuai kebutuhan
3) Memperoleh pengetahuan tentang HIV/AIDS sehingga mengurangi resiko HIV
(seperti munculnya infeksi oportunistik)
4) Penyediaan pelayanan yang menekankan hubungan yang aman, konfidensial,
dan menghargai

KETERKAITAN PENCEGAHAN, VCT,


PERAWATAN, DUKUNGAN &
PENGOBATAN

MANAJEMEN KASUS

PERAWATAN
PENCEGAHAN VCT DUKUNGAN
DAN
PENGOBATAN
Jaringan Manajemen Kasus
Konseling
dan tes HIV
Dukungan Sukarela
Ekonomi
VCT
Dukungan
Pemerintah

LSM
Manajer Tokoh Agama
Tokoh Adat
Kasus Organisasi
masyarakat

POKJA Perawatan
Odha Odha
AIDS di sanggar
Rumah Sakit Perawatan
VCT / Kelompok sendiri/
Dokter Dukungan keluarga
DAFTAR PUSTAKA

1. Flaskerud, JH, Ungvarski, PJ. HIV/AIDS: a guide to nursing care. 3rd ed. WB
Saunders, Philadelphia; 1995.
2. Herdman, T. Heather. Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2012-
2014 .2011
3. Jemmott, JB III, Jemmott, LS. Interventions for adolescents in community
settings. in: DiClemente R, Peterson J (Eds.) Preventing AIDS: theory and
practice of behavioral interventions. Plenum, New York; 1994.
4. Nursing Diagnosis: Definition and Classification North American Nursing
Diagnosis
5. Association. 2010 Paul A. Volberding, , Merle A. Sande, , Joep Lange,
Warner C. Greene, PhD and Joel E. Gallant, Global HIV/AIDS Medicine. WB
Saunders, 2008

Anda mungkin juga menyukai