Anda di halaman 1dari 109

Tahun

BAB 2
PENDEKATAN DAN METODOLOGI

2.1. DASAR HUKUM

 Undang Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dalam Pasal
3 : “untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan
tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya, harus
menjamin keandalan bangunan gedung dari segi berturut-turut: (1)
keselamatan, (2) kesehatan, (3) kenyamanan, dan (4) kemudahan “
 PP No.36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No.28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 16 Ayat (1) : “keandalan
bangunan gedung adalah keadaan bangunan gedung yang memenuhi
berturut-turut persyaratan (1) keselamatan, (2) kesehatan, (3) kenyamanan, dan
(4) kemudahan”

PERATURAN TEKNIS

 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 29/PRT/M/2006 tentang


Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung
 Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor:
11/KPTS/2000 Tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan
Kebakaran Di Perkotaan (disingkat KepMeneg PU No. 11/KPTS/2000)
 Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor:
10/KPTS/2000 Tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya
Kebakaran Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan (disingkat
KepMeneg PU No. 10/KPTS/2000).

Metodelogi
1
Tahun

 PerMen PU No 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikasi Laik Fungsi


Bangunan Gedung
 PerMen PU No 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan
Bangunan
 PerMen PU No 26/PRT/M/2007 tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan
Gedung
 Keputusan Direktur Jenderal Perumahan Dan Permukiman Departemen
Pemukiman Dan Prasarana Wilayah Nomor: 58/KPTS/DM/2002 Tentang
Petunjuk Teknis Rencana TindakanDarurat Kebakaran Pada Bangunan
Gedung (disingkat KepDirJen Kimpraswil No. 58/KPTS/DM/2002)
 PerMen PU No 24/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pemeliharaan dan
Perawatan Bangunan Gedung
 PerMen PU No 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan
RISPK di Perkotaan
 PerMen PU No 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem
Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan

MAKSUD :

 Untuk melakukan pemeriksaan/persyaratan keandalan bangunan


gedung untuk selanjutnya dapat ditindak lanjuti oleh pemilik/pengelola
gedung yaitu Biro Pengelolaan Barang Milik Negara – Sekretaris Jendral
DPR –RI.
 Menjadi referensi peningkatan kinerja pembinaan teknis bangunan
gedung

UNSUR – UNSUR KESELAMATAN YG DIPERIKSA :

Metodelogi
2
Tahun

 Kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh dalam


mendukung beban muatan
 Pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi
kebakaran pasif dan/ atau aktif.
 Pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir.
 Kehandalan system proteksi terhadap arus hubung singkat, beban lebih
didalam jaringan instalasi listrik bangunan

UNSUR-UNSUR KESEHATAN YG DIPERIKSA :

 Sistem Ventiasi dan Pengkondisian Udara : kadar udara segar dalam


ruangan (vemtilasi) baik cara alami maupun cara buatan, dan kondisi
udara ruangan pada tingkat yang tidak mengganggu kesehatan.
 Sistem pencahayaan : kebutuhan pencahayaan yang harus disediakan
pada bangunan gedung melalui pencahayaan alami dan/ atau
pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat.
 Sistem sanitasi : sanitasi yang harus disediakan di dalam dan di luar
bangunan gedung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan
air kotor dan/ atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air
hujan.
 Bahan bangunan harus aman bagi kesehatan pengguna bangunan
gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

UNSUR –UNSUR KENYAMANAN YANG DIPERIKSA :

 Dimensi ruang dan tata letak ruang yang memberikan kenyamanan


bergerak dalam ruangan.

Metodelogi
3
Tahun

 Sirkulasi antar ruang dalam bangunan gedung untuk terselenggaranya


fungsi bangunan gedung.
 Kondisi termal (yaitu kelembaban dan temperatur ) dalam rentang yang
sesuai dengan standar kenyamanan di dalam ruang untuk
terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
 Kenyamanan pandangan : hak pribadi orang dalam melaksanakan
kegiatan di dalam bangunan gedungnya tidak terganggu dari bangunan
gedung lain di sekitarnya.
 Tingkat getaran dan kebisingan :tingkat kenyamanan yang ditentukan
oleh suatu keadaan yang tidak mengakibatkan pengguna dan fungsi
bangunan gedung terganggu oleh getaran dan/ atau kebisingan yang
timbul baik dari dalam bangunan gedung maupun lingkungannya.

UNSUR – UNSUR KEMUDAHAN YANG DIPERIKSA

 Kemudahan hubungan horizontal antar ruang : Tersedianya pintu dan/


atau koridor antar ruang.
 Sarana transportasi vertikal berupa penyediaan tangga, ram dan
sejenisnya serta lift dan/ atau tangga berjalan dalam bangunan gedung.
 Akses evakuasi dalam keadaan darurat : meliputi sistem peringatan
bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi apabila
terjadi bencana kebakaran dan/ atau bencana lainnya.
 Sarana dan prasarana pada bangunan gedung untuk kepentingan umum
meliputi penyediaan fasilitas : untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan
bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan
informasi.
 Fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia yang
mudah, aman, dan nyaman dalam bangunan gedung dan lingkungannya.

Metodelogi
4
Tahun

TAHAP PERSIAPAN (DATA GEDUNG)

 Data Umum : Nama Bangunan, Lokasi/ Alamat, Fungsi, Luas Lahan, Luas
bangunan / Jumlah lantai, Pemilik
 Data Penunjang: Tahun Pembangunan, Perencana, Kontraktor, Pengawas,
Nilai bangunan, Riwayat kepemilikan, riwayat perbaikan / penambahan
fungsi dan sebagainya
 Data Arsitektur : Gambar-gambar/ As built drawings, Data lapangan
 Data Struktur : Gambar-gambar/ As built drawings, Data lapangan
 Data Proteksi Kebakaran : Gambar-gambar/ As built drawings, Data
lapangan
 Data Mekanikal : Gambar-gambar/ As built drawings,Data lapangan
 Data Elektrikal :Gambar-gambar/ As built drawings, Data lapangan
 Data Elektronika :Gambar-gambar/ As built drawings, Data lapangan

TAHAP PELAKSANAAN (BERDASARKAN OBJECT)

 ARSITEKTUR : TATA LETAK RUANG, SARANA DAN PRASARANA UMUM,


FASILITAS UNTUK PENYANDANG CACAT, DAN BAHAN BANGUNAN YG
SEHAT
 STRUKTUR : STRUKTUR BAWAH, STRUKTUR ATAS DAN ATAP
 PROTEKSI KEBAKARAN : AKSES PEMADAM KEBAKARAN, SISTEM
PROTEKSI KEBAKARAN, SUMBER POTENSI KEBAKARAN DLL
 MEKANIKAL VENTILASI DAN PENGKONDISIAN UDARA : EQUIPMENT
(FCU,AHU, COOLING TOWER DLL)
 MEKANIKAL PLUMBING : POMPA AIR BERSIH, TANKI AIR BERSIH DLL
 MEKANIKAL LIFT : PANEL LIFT, MOTOR LIFT, DLL

Metodelogi
5
Tahun

 ELEKTRIKAL : GARDU LISTRIK MVMDP, PANEL LVMDP,


TRANSFORMATOR, TATA CAHAYA, OUTLET DAYA, JARINGAN INSTALASI
DALAM GEDUNG, DLL
 ELEKTRONIKA : TELEPON, DATA/WIFI, CCTV, TATA SUARA, FIRE ALARM,
MATV, BAS (BUILDING AUTOMATIC SYSTEM, DLL

SUBSTANSI PELAKSANAAN :

 ARSITEKTUR : PEMERIKSAAN VISUAL


 STRUKTUR : DENGAN VISUAL DAN PENGUJIAN (DGN ALAT UJI
STRUKTUR : SCHMIDT TEST DAN UPV)
 PROTEKSI KEBAKARAN : VISUAL (AKSES TANGGA DARURAT ) DAN
PENGUJIAN ( TERHADAP PRESSURE FAN, LAMPU DARURAT, ALARM,
HYDRAN, SPRINKLER DLL)
 MEKANIKAL VENTILASI DAN PENGKONDISIAN UDARA : VISUAL
(REMBESAN PADA KOMPRESOR, FILTER UDARA KE FCU/AHU DLL) DAN
PENGUKURAN (KONDISI TERMAL)
 MEKANIKAL PLUMBING : VISUAL (TERHADAP POMPA AIR BERSIH,
PERALATAN PENGOLAHAN LIMBAH, DLL)
 MEKANIKAL LIFT : VISUAL (TERHADAP RUANG MESIN LIFT, RUANG
LUNCUR DLL)
 ELEKTRIKAL : VISUAL (TERHADAP PANEL HVDP, TRANSFOMATOR DLL)
DAN PENGUKURAN PENGUKURAN (BEBAN LISTRIK PADA PANEL,
PENTANAHAN DLL)
 ELEKTRONIKA : VISUAL DAN PENGETESAN KUALITAS DARI PERALTAN
(TELEPON, TATA SUARA, DATA/WIFI, CCTV, FIRE ALARM, MATV, BAS JIKA
ADA)
ANALISA DAN REKOMENDASI (SETELAH PEMERIKSAAN VISUAL DAN
PENGUJIAN)

Metodelogi
6
Tahun

 Dari hasil survey awal & pemeriksaan detail dirangkum kemudian


dilakukan analisa menyeluruh
 Membuat rekomendasi atas tingkat kerusakan yang ada terkait dengan
faktor
 keselamatan, kesehatan, kemudahan, kehandalan dan kenyamanan
 Membuat rekomendasi atas tindakan yang diperlukan untuk perbaikan
agar dapat dipenuhi ke lima faktor di atas.
 Membuat catatan lain yang diperlukan dan kesimpulan secara umum dari
keseluruhan hasil survey, pemeriksaan dan pengujian
Peralatan Uji
a) Bidang Struktur :
– Schmidth Hammer
– UPV ( Ultrasonic Pulse Velocity )
– Rebar Locator / cover meter
– Roll Meter
– Theodolite
b) Bidang Arsitektur :
– Roll Meter
– Jangka Sorong
– Sound Level
c) Bidang Utilitas & Proteksi Kebakaran :
– Thermometer digital
– Rh Test
– Anemometer
– Avometer digital
– Infra Red Fotometri
– Lux Meter
– Megger Test
– Grounding Test

Metodelogi
7
Tahun

– Pitot Tube
– Uji kualitas Air / Udara
– Airflow meter
PENDETEKSIAN KELAINAN PADA KONSTRUKSI ATAS BANGUNAN
GEDUNG
• Pondasi Dalam :

• Dinding/kolom, akibat turunnya pondasi :

• Kolom :

Metodelogi
8
Tahun

• Dinding :

• Pelat :

• Baja :

Metodelogi
9
Tahun

• Atap Dak :

• Penyangga :

• Lantai :

Metodelogi
10
Tahun

2.2. Pendekatan dan Metodelogi

Audit Struktur Bangunan merupakan salah satu bagian/lingkup dalam


audit/pemeriksaan/asesmen konstruksi bangunan secara keseluruhan yang
tertuang dalam Permen PUPR nomor 06/PRT/M/2008 tanggal 27 Juni 2008
tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Konstruksi yang didalamnya
terdapat salah satu yaitu Audit Struktur Bangunan.

Audit/pemeriksaan konstruksi pada dasarnya harus mempunyai tahapan yang


terbagi dalam proses penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap :

a). perencanaan pekerjaan konstruksi,

b). pelaksanaan beserta pengawasan pekerjaan konstruksi, dan

c). operasi serta pemeliharaan.

Dalam proses semuanya audit tersebut outputnya memastikan


terselenggaranya konstruksi sesuai dengan apa yang dipersyaratkan terhadap
setiap tingkat resiko (Resiko Kegagalan, Kecelakaan Kerja, Resiko lainnya) dan
outcomenya adalah konstruksi yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan
perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Berbeda dengan audit/assessment konstruksi yang pemeriksaan dilakukan


keseluruhan dan kompleks dari mulai penyelenggaraan awal jasa konstruksi ,

Metodelogi
11
Tahun

audit/Assessment struktur bangunan dilakukan pada tahap sebelum difungsikan


dan berkala selama masa operasi untuk memastikan pengaruh penggunaan
bangunan, lingkungan, cuaca, termasuk gempa dan pengaruh lainnya yang
dapat menurunkan performa struktur.

Pada prinsipnya audit/Assessment struktur konstruksi bangunan dapat


digunakan untuk bangunan gedung, bendungan, jembatan, dermaga dan
konstruksi bangunan lainnya untuk memastikan struktur dalam keadaan aman
digunakan sesuai dengan fungsi dan beban rencananya.

Audit struktur diperlukan saat sebelum difungsikan untuk memastikan apakah


kekuatan struktur yang terbangun sesuai dengan rencana dan juga perlu
dilakukan berkala selama masa operasi untuk memastikan pengaruh
penggunaan bangunan, lingkungan, cuaca, termasuk gempa dan pengaruh
lainnya yang dapat menurunkan performa struktur.

Audit Struktur Bangunan dilakukan untuk mewujudkan hasil pekerjaan


konstruksi dengan kondisi handal, baik dan memenuhi kriteria teknis bangunan
yang layak baik dari segi mutu (keamanan bangunan),manfaat, kenyamanan,
sehingga dapat melayani kebutuhan sesuai dengan fungsinya serta menghindari
dari terjadinya Kegagalan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan. Seperti contoh
pekerjaan konstruksi dengan Resiko Tinggi mencakup pekerjaan konstruksi
yang pelaksanaannya berisiko sangat membahayakan keselamatan umum, harta
benda, jiwa manusia dan lingkungan. Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko
Sedang:mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya dapat berisiko
membahayakan keselamatan umum, harta benda, dan jiwa manusi. Dan
pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Kecil mencakup pekerjaan konstruksi yang
pelaksanaannya tidak membahayakan keselamatan umum dan harta benda.

Audit Struktur Bangunan sangat penting dan sangat utama harus dilakukan
karena dalam proses pembangunan konstruksi dari tahun ke tahun semakin
besar (demand yang besar), bencana terhadap kualitas struktur konstruksi, umur

Metodelogi
12
Tahun

bangunan, semakin kompleks (teknologi dan ilmu pengetahuan) dan bangunan


yang dituntut dengan kontruksi yang mempunyai kelestarian dan keberlanjutan
lingkungan (umur pakai/lifetime yang lama) contohnya pada bangunan
bersejarah, bangunan mempunyai nilai bench mark ikon suatu negara tinggi
(misal jembatan Golden Gate di San Francisco Amerika yang umurnya lebih dari
1 abad) tentunya perlu dilakukan pemeriksaan/audit yang tentunya yang
menyangkut hajat hidup orang banyak dan sesuai dengan UU jasa Konstruksi
no.2 tahun 2017 pada bab standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan
Keberlanjutan Konstruksi pasal 59 (3) yang menyebutkan bahwa standar
dimaksud adalah

a. standar mutu bahan;

b. standar mutu peralatan;

c. standar keselamatan dan kesehatan kerja;

d. standar prosedur pelaksanaan Jasa Konstruksi;

e. standar mutu hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi;

f. standar operasi dan pemeliharaan;

g. pedoman pelindungan sosial tenaga kerja dalam

h. pelaksanaan jasa konstruksi sesuai dengan ketentuan

i. peraturan perundang-undangan; dan

j. standar pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan, sehingga struktur yang sudah dilakukan
audit terhindar dari Kegagalan Konstruksi ataupun Kegagalan Bangunan
yang dapat berdampak besar pada Keamanan, Keselamatan, Kesehatan,
dan Keberlanjutan hidup manusia.

Faktor- faktor yang berpengaruh dan berubah ubah pada suatu bangunan yang
dapat menurunkan kinerja konstruksinya dalam pelaksanaan harus dilakukan

Metodelogi
13
Tahun

Audit Struktur Bangunan secara periodik dan berkala meliputi: cuaca, iklim dan
lingkungan, vibrasi akibat beban yang bekerja atau penambahan
beban/perubahan beban rencana, kondisi tanah, adanya bencana alam
misalnya: gempa bumi, banjir, tanah longsor, dll, faktor mutu bahan dan mutu
struktur, kualitas pemeliharaan gedung.

Audit Struktur Bangunan harus dilakukan pemeriksaan kelayakan struktur


bangunan untuk mengetahui kondisi aktual struktur diperlukan serangkaian
investigasi/pemeriksaan, mulai dari investigasi/pemeriksaan visual, pengujian ,
analisis struktur dan kesimpulan dari audit struktur bangunan untuk
menentukan kelayakan suatu bangunan dan tindakan apa yang harus diambil
pasca hasil dari pemeriksaan audit struktur tersebut.

Metodelogi
14
Tahun

2.1.1. Rumusan Permasalahan Secara Umum

Pendekatan permasalahan perlu mempertimbangkan “optimasi” pengoperasian


suatu bangunan, yang sangat tergantung kepada kemampuan bangunan dalam
memenuhi fungsi dan kegiatan yang akan ditampungnya.

2.3. Acuan dan Standar Perencanaan

Dalam melaksanakan perencanaan, jika tidak ditetapkan lain oleh Pemberi


Tugas, referensi seperti di bawah ini akan diterapkan sebagai dasar perhitungan
dan perencanaan :

 Persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung (SNI 2847-2013)


 Spesifikasi untuk bangunan baja struktural (SNI 1729:2015)
 Beban Minimum untuk perancangan bangunan gedung dan struktur lain (SNI
1727:2013)
 Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung
dan non gedung (SNI 1726:2012)

Metodelogi
15
Tahun

 Seismic Evaluation and Retrofit of Existing Buildings (ASCE 41-13)


 Computer and Structure, Inc. CSI Analysis Reference Manual for SAP2000,
ETABS, and SAFE, July 2016
 Standar dan data beban lain yang relevan.
 Standar Test Method for Rebound Number of Hardened Concrete (ASTM C
805)
 Recommendations for non-destructive methods of testing for concrete (BS
4408)
 Standard Testing Method for Pulse Velocity Through Concrete (ASTM C597-
09)

2.4. Metodologi
Setiap struktur bangunan gedung harus dalam kondisi yang baik dan memenuhi
kriteria teknis bangunan yang layak baik dari segi mutu (keamanan bangunan),
kenyamanan, sehingga dapat melayani kebutuhan sesuai dengan fungsinya.

Metodelogi
16
Tahun

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja suatu gedung adalah:

 Cuaca, iklim dan lingkungan

 Vibrasi akibat beban yang bekerja atau penambahan beban

 Kondisi tanah

 Adanya Bencana alam, misalnya: Gempa Bumi, Banjir, Tanah


Longsor, dll

 Faktor mutu bahan dan mutu struktur

 Kualitas pemeliharaan Gedung

Untuk mengetahui kondisi aktual struktur diperlukan serangkaian investigasi,


mulai dari investigasi visual, pengujian sampai dengan analisis struktur.

Berikut tahapan yang dijalankan dalam proses penilaian kelayakan gedung atau
bangunan lainnya:

1. Pengamatan Visual

Pengamatan visual diperlukan sebagai Indikasi awal ada atau tidaknya


kerusakan, dimana hal-hal yang menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan
(seperti: adanya keretakan, lendutan, korosi dll) ditabulasi dan didentifikasi,
untuk dilakukan pengujian lanjutan.

Metodelogi
17
Tahun

2. Pengujian
Metode pengujian struktur bangunan dapat dilakukan berdasarkan:
– pendekatan destruktif (DestructiveTest)
– pendekatan non-destruktif (Non-DestructiveTest)

Ditinjau dari faktor-faktor keamanan, ekonomis, kemudahan pelaksanaan dan


keandalan, metode pengujian Non DestructiveTest (NDT) menjadi pilihan yang
lebih menguntungkan. Dengan metode Non DestructiveTest struktur tidak perlu
dirusak untuk keperluan pengujian.

Pengujian Non DestructiveTest (NDT) dilakukan dengan kaidah-kaidah teknik


yang bisa mengakomodasi kondisi struktur gedung. Dengan melakukan
pengujian NDT ini, jika kondisi struktur/ bangunan masih dalam keadaan baik,
maka masih dapat difungsikan tanpa harus melakukan perbaikan akibat
dilakukannya tes (tidak seperti jika dilakukan dengan destructivetest).

Pengujian nondestructivetest yang dapat dilakukan untuk audit struktur


diantaranya:

1. Hammer Test

Tujuannya Untuk Memperkirakan mutu beton. HammerTest cukup praktis dan


murah

Metodelogi
18
Tahun

2. UPVT

UltrasonicPulseVelocityTest (UPVT) untuk mengidentifikasi mutu integritas


beton dengan pendekatan rambatan gelombang ultrasonic

3. Covermeter Test

Disebut juga dengan RebarScanning. Tujuannya untuk mengidentikasi tebal


selimut beton dan visualisasi tulangan dalam beton

Metodelogi
19
Tahun

4. Pulse Echo Test

Adalah proses pemeriksaan beton untuk mengetahui kondisi dan integritas


beton dengan alat PulseEcho yang bisa memvisualisasikan kondisi 3D didalam
struktur beton

5. Impact Echo Test

Untuk mendeteksi celah di dalam struktur dan ketebalan suatu lapisan struktur.
Ini bisa diterapkan pada lapisan struktur perkerasan, lantai jembatan, pelat lantai
gedung dan lainnya

Metodelogi
20
Tahun

6. Brinell Test

Adalah untuk menentukan kekerasan suatu material serta daya tahan material
tersebut

7. Core Drill

CoreDrill adalah mengambil sampel beton dengan cara pengeboran, untuk diuji
di laboratorium guna mengetahui kuat tekan beton

Metodelogi
21
Tahun

8. Half Cell Potential Test

Atau biasa disebut juga dengan Uji Korosi. Yaitu metode untuk mengetahui
tingkat korosi besi tulangan yang berada di dalam beton

9. Uji Tingkat Karbonasi Beton

Menguji tingkat karbonasi pada beton struktur sehingga bisa diketahui umur
bangunan tersebut

Metodelogi
22
Tahun

10. Uji Verticality

Pengukuran, dengan menggunakan Total Station, untuk mengetahui tingkat


presisi ketegakan struktur bangunan

Selain ditinjau dari aspek struktur penyelidikan kelayakan juga akan


mengidentifikasi utilitas, estetika, serta kondisi sosial dan lingkungan sekitar
bangunan, apakah masih mendukung terhadap keberadaan dan fungsi
bangunan.

3. Analisis struktur
Berdasarkan data hasil pengujian dibuatlah model struktur dengan
bantuan software analisis struktur seperti SAP2000, ETABS, STAADpro ataupun
MIDAS GEN.

Dari hasil analisis struktur ini akan diketahui apakah kinerja struktur mampu
menahan beban-beban yang bekerja sesuai dengan fungsi bangunan. Jika
Kinerja (Kapasitas Struktur) melebihi Beban yang bekerja (dengan faktor
keamanan tertentu), maka bangunan dikatakan LAYAK FUNGSI.

Metodelogi
23
Tahun

Jika tidak maka di desain perkuatan yang diperlukan, LAYAK FUNGSI DENGAN
SYARAT misalnya dilakukan perkuatan.

Namun jika tidak dimungkinkan dilakukan perkuatan, maka struktur bangunan


dikatagorikan TIDAK LAYAK FUNGSI dan harus dirobohkan

Secara garis besar metodologi evaluasi struktur bangunan yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut :

MULAI
Tahap Persiapan

Persiapan dan Mobilisasi

Survey Pendahuluan

Tahap Pengumpulan Data


Laporan Pendahuluan

Survey Lapangan

Perhitungan Struktur

Penggambaran
Tahap Perhitungan & Pelaporan

Laporan Akhir

SELESAI

Gambar 3.1. Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan

Metodelogi
24
Tahun

2.1. Persiapan

Setelah menandatangani Kontrak, kami melakukan persiapan peralatan


pendukung, komunikasi maupun sarana transportasi dan memobilisasi personil
yang dibutuhkan sesuai dengan jadual layanan tenaga ahli yang telah disetujui
untuk tercapainya layanan konsultansi, yaitu :

1. Administrasi
2. Keuangan
3. Personil
4. Fasilitas kantor
5. Alat penyelidikan tanah
6. Data sekunder yang telah ada

Selain itu disusun pula rencana koordinasi dengan instansi terkait dan
penyiapan surat-surat pengantarnya.

Kepada tenaga–tenaga pelaksana survey akan diberikan penjelasan-penjelasan


tambahan yang menyangkut pelaksanaan pekerjaan ini, agar dapat bekerja
seefektif mungkin.

2.2. Survey Pendahuluan

Sebelum melakukan mobilisasi, terlebih dahulu akan melaksanakan kunjungan


lapangan dan survey pendahuluan bersama-sama dengan Tim Teknis, sehingga
benar–benar dapat memahami kondisi lapangan, serta bersama-sama dengan
Tim Teknis akan menentukan awal dan akhir proyek yang tepat.

2.3. Pengukuran

Survey Bangunan eksisting merupakan pekerjaan untuk mengukur permukaan


bumi sehingga nantinya dapat digambarkan ke dalam bidang peta. Berbagai
metode dalam mengukur topografi muka bumi, antara lain dengan cara offset,
planetable dan tachimetry. Pengukuran permukaan bumi dengan cara tachimetri
merupakan cara yang paling banyak digunakan dalam praktik survey pemetaan
terutama untuk daerah yang luas dan detail-detail yang bentuknya tidak
beraturan, selain itu ketinggian dari permukaan bumi maupun obyek tertentu
dapat dipetakan.

Untuk menentukan posisi dari suatu obyek seperti batas tanah, pojok bangunan
maupun obyek lainnya, diperlukan data jarak dan sudut. Alat yang dapat
menentukan data jarak dan sudut adalah alat theodolit. Alat theodolit terdapat
beberapa macam, antara lain theodolit yang dilengkapi dengan alat penunjuk

Metodelogi
25
Tahun

arah yaitu kompas dan alat theodolit yang tidak dilengkapi dengan kompas.
Sedangkan jarak dapat diukur secara langsung dengan pita ukur ataupun secara
cara tidak langsung dengan cara optis, yaitu mengukur jarak dengan membaca
bacaan rambu yang dikalikan dengan faktor skala jarak pada alat (yang
kemudian disebut dengan jarak optis).

2.4. Pengujian alat uji stuktur Bangunan

2.4.1. Rebound Hammer Test (Uji Homogenitas Beton)

Hammertest yaitu suatu alat pemeriksaan mutu beton tanpa merusakbeton.


Disamping itu dengan menggunakan metode ini akan diperoleh cukupbanyak
data dalam waktu yang relatif singkat dengan biaya yang murah.

Metode pengujian ini dilakukan dengan memberikan beban intact(tumbukan)


pada permukaan beton dengan menggunakan suatu massa yangdiaktifkan
dengan menggunakan energi yang besarnya tertentu. Jarak pantulanyang
timbul dari massa tersebut pada saat terjadi tumbukan dengan
permukaanbeton benda uji dapat memberikan indikasi kekerasan juga setelah
dikalibrasi,dapat memberikan pengujian ini adalah jenis "Hammer". Alat ini
sangat bergunauntuk mengetahui keseragaman material beton pada struktur.
Karenakesederhanaannya, pengujian dengan menggunakan alat ini sangat
cepat,sehingga dapat mencakup area pengujian yang luas dalam waktu yang
singkat.

Alat ini sangat peka terhadap variasi yang ada pada permukaan beton,
misalnyakeberadaan partikel batu pada bagian-bagian tertentu dekat
permukaan.

Oleh karena itu, diperlukan pengambilan beberapa kali pengukurandisekitar


setiap lokasi pengukuran, yang hasilnya kemudian dirata-
ratakanBritishStandards (BS) mengisyaratkan pengambilan antara 9 sampai 25
kalipengukuran untuk setiap daerah pengujian seluas maksimum 300 mm2.

Secara umum alat ini bisa digunakan untuk:

- Memeriksa keseragaman kwalitas beton pada struktur.

- Mendapatkan perkiraan kuat tekan beton.

2.4.2. Ultrasonic Pulse Velocity (Density & Crack Depth)

Ultrasonic Pulse Velocity Test, UPVT adalah suatu uji non destructive untuk
mengidentifikasi mutu integritas beton dengan pendekatan rambatan
gelombang ultrasonic pada beton.

Metodelogi
26
Tahun

UPVT bekerja berdasarkan pengukuran waktu tempuh gelombang ultrasonik


yang menjalar dalam struktur beton.

Gelombang ultrasonik disalurkan dari transmitter transducer yang ditempatkan


dipermukaan beton melalui material beton menuju receiver transducer dan
waktu tempuh gelombang tersebut diukur oleh Read-Out unit PUNDIT Portable
Unit Non Destructive Indicator Tester dalam m detik.

Kedua transducer tersebut dapat ditempatkan secara direct, semi direct atau
indirect. Karena jarak antara kedua transducer ini telah diketahui, maka
kecepatan gelombang ultrasonik dalam material beton dapat dihitung, yaitu
tebal beton dibagi dengan waktu tempuh.

Karena kecepatan rambat gelombang adalah merupakan fungsi dari kepadatan


material, maka dengan diketahuinya cepat rambat gelombang ultrasonik di
dalam beton, kecepatan tersebut dapat dikorelasikan ke nilai kepadatan beton,
yang selanjutnya dikorelasikan lagi ke mutu beton, berdasarkan grafik empiris
hubungan kecepatan rambat gelombang dengan mutu beton.

Selain pengukuran mutu beton, UPVT dapat juga digunakan untuk mengukur
kedalaman retak dan keberadaan honeycomb pada beton.

Peralatan UPVT

Peralatan yang digunakan untuk pengujian ini terdiri dari :

 Satu buah Read-out Unit PUNDIT (Portable Unit Non Destructive


Indicator Tester).

 Dua buah Transducer 54 Hz (masing-masing sebagai transmitter dan


receiver).

 Satu buah Calibration Bar serta kabel-kabel dan connector

Metode Pengujian UPVT

Pada metode ini, gelombang ultrasonik disalurkan dari transmitter transducer


yang ditempatkan dipermukaan beton melalui material beton menuju receiver
transducer dan waktu tempuh gelombang tersebut diukur oleh Read-Out unit
PUNDIT (Portable Unit Non Destructive Indicator Tester) dalam micro detik
(msec).

Ultrasonic Pulse Velocity Test dilaksanakan berdasarkan (BS 1881-203; ASTM


C597). Pengukuran dapat dilakukan dengan beberapa metode berikut:

Metodelogi
27
Tahun

 Direct Method yaitu transmitter dan receiver berada pada dua permukaan
yang paralel.

 Semi-direct Method, yaitu transmitter dan receiver berada padadua


permukaan yang saling tegak lurus.

 Indirect Method dimana kedua transducer berada pada permukaan yang


sama.

Pengujian identifikasi kuat tekan beton dengan Ultrasonic Pulse Velocity Test
dilakukan dengan mengukur kecepatan gelombang ultrasonik di dalam beton
yang dihitung dengan rumus:

V=L/T

dimana L adalah jarak antara transmitter dan receiver dan T adalah waktu yang
ditempuh oleh gelombang di dalam beton. Karena kedua parameter ini telah
diukur maka kecepatan gelombang dapat diketahui.

Rebar Scan

Re-bar Scan atau sering disebut Cover Meter Test adalah uji untuk mengukur
tebal selimut beton, jarak antar tulangan dan besar diameter tulangan.

Teknologi yang digunakan adalah The pulse-inductionmethod, dimana metode


ini didasarkan pada induksi gelombang elektromagnetik untuk mendeteksi baja
tulangan. Coil pada probe secara periodik dibebani arus gelombang sehingga
menghasilkan medan magnet. Pada permukaan bahan yang konduktif akan
menginduksi medan magnet dalam arah yang berlawanan. Perubahan yang
dihasilkan dalam tegangan ini yang digunakan untuk pengukuran. Baja tulangan
yang lebih dekat dengan probe atau ukuran yang lebih besar akan
menghasilkan medan magnet yang kuat.

Pemrosesan sinyal selain membantu melokalisasi pembacaan baja tulangan,


juga dapat menentukan tebal cover beton dan mengestimasi diameter tulangan.
Metode ini tidak dipengaruhi oleh bahan non konduktif seperti beton, kayu,
plastik, batu bata, dll. Namun setiap jenis bahan konduktif dalam medan
magnet akan memiliki pengaruh pada hasil pengukuran.

Metodelogi
28
Tahun

2.5. Perhitungan Struktur

2.5.1. Kuat Tekan Beton

Kuat tekan beton (f’c) dilakukan dengan melakukan uji silinder beton dengan
ukuran diameter 150 mm dan tinggi 300 mm. Pada umur 28 hari dengan tingkat
pembebanan tertentu. Selama periode 28 hari silinder beton ini biasanya
ditempatkan dalam sebuah ruangan dengan temparatur tetap dan kelembapan
100%. Mesikupun ada beton yang memiliki kuat maksimum 28 hari dari 17 Mpa
hingga 70 – 140 Mpa, Kebanyakan beton memiliki kekuatan pada kisaran 20
Mpa hingga 48 Mpa. Untuk aplikasi yang umum, digunakan beton dengan
kekuatan 20 Mpa dan 25 Mpa, sementara untuk konstruksi beton prategang 35
Mpa dan 40 Mpa. Untuk beberapa aplikasi tertentu, seperti untuk kolom pada
lantai-lantai bawah suatu bangunan tingkat tinggi, beton dengan kekuatan
sampai 60 Mpa telah digunakan dan dapat disediakan oleh perusahaan-
perusahaan pembuat beton siap campur (ready-mix concrete).

Nilai-nilai kuat tekan beton seperti yang diperoleh dari hasil pengujian sangat
dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk dari elemen uji dan cara pembebananya.
Di banyak Negara, spesimen uji yang digunakan adalah kubus berisi 200 mm.
untuk beton-beton uji yang sama, pengujian terhadap silinder-silinder 150 mm
x 300 mm menghasilkan kuat tekan yang besarnya hanya sekitar 80% dari nilai
yang diperoleh dari pengujian beton kubus.

Kekuatan beton bias beralih dari beton 20 Mpa ke beton 35 Mpa tanpa perlu
melakukan penambahan buruh dan semen dalam jumlah yang berlebihan.
Perkiraan kenaikan biaya bahan untuk mendapatkan penambahan kekuatan
seperti itu adalah 15% sampai 20%. Namun untuk mendapatkan kekuatan beton
diatas 35 atau 40 Mpa diperlukan desain campuran beton yang sangat teliti dan
perhatian penuh kepada detail-detail seperti pencampuran, penempatan, dan
perawatan. Persyaratan ini menyebabkan kenaikan biaya yang relative lebih
besar.

Metodelogi
29
Tahun

Kuat tekan beton dipengaruhi oleh :

1) Faktor air semen (water cement ratio = w/c), semakin kecil nilai w/c nya
maka jumlah airnya sedikit akan dihasilkan kuat tekan beton yang besar.

2) Sifat dan jenis agregat yang digunakan, semakin tinggi tingkat kekerasan
agregat yang digunakan maka akan dihasilkan kuat tekan beton yang
tinggi.

3) Jenis campuran.

4) Kecelakaan (workability), untuk mengukur tingkat kecelakaan/workability


adukan dilakukan dengan menggunakan metoda slump, yaitu dengan
menggunakan cetakan kerucut terpancung dengan tinggi 300 mm diisi
dengan beton segar, beton dipadatkan selapis demi selapis, kemudian
cetakan diangkat lagi. Pengukuran ini dilakukan terhadap merosotnya
adukan dari puncak beton basah sebelum cetakan dibuka (disebut nilai
slump). Semakin kecil nilai slump, maka beton lebih kaku dan workability
beton rendah. Slump yang baik untuk pengerjaan beton adalah 70 – 80 mm.
Slump > 100 mm adukan dianggap terlalu encer

5) Perawatan (curing) beton, setelah 1 jam beton dituang/ dicor maka di


sekeliling beton perlu di tutup dengan karung goni basah, agar air dalam
adukan beton tidak cepat menguap. Apabila tidak dilakukan perawatan ini,
maka kuat tekan beton akan turun.

Metodelogi
30
Tahun

2.5.1.1. Tegangan dan Regangan Beton

Tegangan didefinisikan sebagai tahanan terhadap gaya-gaya luar. Intensitas


gaya yaitu gaya per satuan luas disebut tegangan dan diberi notasi huruf Yunani
“σ” (sigma). Gaya P yang bekerja tegak-lurus (normal) pada penampang
melintang a-a ini secara actual merupakan resultan distribusi dari gaya-gaya
yang bekerja pada penampang melintang dengan arah normal.

3. Gambar 2.1. Tegangan Normal (Normal Stress) pada Batang

Dengan mengasumsikan bahwa tegangan terbagi rata diseluruh


penampang, kita dapat melihat bahwa resultannya harus sama dengan
intensitas σ dikalikan dengan luas penampang A.

Metodelogi
31
Tahun

Gambar 2.2. Arah Tegangan Normal (Normal Stress) dan Pola Retak Pada
Silinder
Dengan demikian didapatkan rumus :

P
σ=
A
Dimana :
σ = tegangan (N/mm2)
P = gaya aksial (N)
A = luas penampang (mm2)

Persamaan ini memberikan intensitas tegangan merata pada batang prismatis


yang dibebani secara aksial dengan penampang sembarang. Apabila batang ini
ditarik dengan gaya P, maka tegangannya adalah tegangan tarik (tensile stress),
apabila gayanya mempunyai arah sebaliknya, sehingga menyebabkan batang
tersebut mengalami tekan, maka terjadi tegangan tekan (compressive stress).
Karena tegangan ini mempunyai arah yang tegak lurus permukaan potongan,
maka disebut tegangan normal (normal stress). Jadi, tegangan normal dapat
berupa tegangan tarik dan tegangan tekan. Jika suatu benda ditarik atau
ditekan, gaya P yang diterima benda mengakibatkan adanya ketegangan antar
partikel dalam material yang besarnya berbanding lurus. Perubahan tegangan
partikel ini menyebabkan adanya pergeseran struktur material regangan atau
himpitan yang besarnya juga berbanding lurus. Karena adanya pergeseran,
maka terjadilah deformasi bentuk material misalnya perubahan panjang menjadi
L + ∆L ( atau L -∆L). Dimana L adalah panjang awal benda dan ∆L adalah

Metodelogi
32
Tahun

perubahan panjang yang terjadi. Rasio perbandingan antara ∆Lterhadap L inilah


yang disebut strain (regangan) dan dilambangkan dengan “ε”(epsilon).

Dengan demikian didapatkan rumus :

∆L
ε=
L
Dimana :
ε = regangan/ strain (μm/m atau με)
L = panjang benda mula- mula (m)
∆L = perubahan panjang benda (μm)

Gambar 2.3 Regangan (Strain)

Jika batang tersebut mengalami tarik, maka regangannya disebut regangan tarik
(tensile strain), yang menunjukkan perpanjangan bahan. Jika batang tersebut
mengalami tekan, maka regangannya adalah regangan tekan (compressive
strain) dan batang tersebut memendek. Regangan tarik bertanda positif dan
regangan tekan bertanda negative. Regangan (ε) disebut regangan normal
karena regangan ini berkaitan dengan tegangan normal.

2.3.1.3. Kurva Tegangan dan Regangan Beton


Hubungan tegangan-regangan beton perlu diketahui untuk menurunkan
persamaan- persamaan analisis dan desain juga prosedur- prosedur pada
struktur beton. Gambar dibawah memperlihatkan kurva tegangan- regangan
tipikal yang diperoleh dari percobaan dengan menggunakan benda uji silinder
beron dan dibebani tekanan uniaksial selama beberapa menit. Bagian pertama
kurva ini (sampai sekitar 40 % dari fc’) pada umumnya untuk tujuan praktis
dapat dianggap linier. Sesudah mendekati 70% tegangan hancur, materialnya
banyak kehilangan kekakuannya sehingga menambah ketidak linieran diagram.

Metodelogi
33
Tahun

Pada beban batas, retak yang searah dengan arah beban menjadi sangat terlihat
dan hamper semua silinder beton (kecuali yang kekuatannya sangat rendah)
akan segera hancur.

Gambar 2.4. Kurva Tegangan- Regangan Beton

Gambar 2.5. Contoh Kurva Tegangan- Regangan pada Beton dengan


Berbagai Variasi Kuat Tekan

2.3.1.4. Modulus Elastisitas Beton

A. Modulus Elastisitas Statis


Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti. Nilainya bervariasi
tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis pembebanan, dan
karakteristik dan perbandingan semen dan agregrat. Sebagai tambahan, ada
beberapa definisi mengenai modulus elastisitas :

Metodelogi
34
Tahun

1. Modulus awal adalah kemiringan diagram tegangan- regangan pada titik


asal dari kurva.

2. Modulus tangen adalah kemiringan dari salah satu tangent (garis


singgung) pada kurva tersebut dititik tertentu disepanjang kurva, missal
pada 50 % dari kekuatan maksimum beton. Kemiringan dari suatu garis
yang ditarik asal kurva ke suatu titik pada kurva tersebut di suatu tempat
diantara 25% sampai 50% dari kekuatan tekan maksimumnya disebut
Modulus sekan.

3. Modulus yang lain, disebut modulus semu (apparent modulus) atau


modulus jangka panjang ditentukan dengan menggunakan tegangan dan
regangan yang diperoleh setelah beban diberikan selama beberapa
waktu.

Beberapa SK- SNI pasal 3.15 bahwa rumus untuk menghitung modulus
elastisitas beton yang memiliki berat beton (wc) berkisar dari 1500-2500 kg/m 3.

Ec = wc1,5(0,043) √f ' c
Dimana :
Wc : berat beton (kg/m3)
Fc’ : mutu beton (Mpa)
Ec : modulus elastisitas (Mpa)

Dan untuk beton dengan berat normal beton yang berkisar 2320 kg/m3
Ec = 4700 √f ' c

B. Modulus Elastisitas Dinamis


Modulus elastisitas dinamis, yang berkorespondensi dengan regangan –
regangan yang sangat kecil, biasanya diperoleh dari uji sonik. Nilainya biasanya
lebih besar 20% - 40% daripada nilai modulus elastisitas statis dan kira- kira

Metodelogi
35
Tahun

sama dengan modulus nilai awal. Modulus elastisitas dinamis ini biasanya
dipakai pada analisis struktur dengan beban gempa atau tumbukan.

2.3.1.5. Rasio Poisson (Poisson’s Ratio)

Ketika sebuah beton menerima beban tekan, silinder tersebut tidak hanya
berkurang tingginya tetapi juga mengalami ekspansi (pemuaian) dalam arah
lateral. Perbandingan ekspansi lateral dengan pendekatan longitudional ini
disebut sebagai Perbandingan Poisson (Poisson’s ratio). Nilainya bervariasi mulai
dari 0,11 untuk beton mutu tinggi dan 0,21 untuk beton mutu rendah, dengan
nilai rata- rata 0,16. Sepertinya tidak ada hubungan langsung antara nilai
perbandingan ini dengan nilai- nilai, seperti perbandingan air- semen, lamanya
perawatan, ukuran agregrat dan sebagainya.

Pada sebagian besar desain beton bertulang, pengaruh dari perbandingan


poisson ini tidak terlalu diperhatikan. Namun pengaruh dari perbandingan harus
diperhatikan ketika kita menganalisis dan mendesain bendungan busur,
terowongan, dan struktur- struktur statis tak tentu lainnya.

2.3.1.6. Kuat Tarik Beton

Kuat tarik beton bervariasi antara 8% sampai 15% dari kuat tekannya. Alasan
utama dari kuat tarik yang kecil ini adalah kenyataan bahwa beton dipenuhi
oleh retak- retak halus. Retak- retak ini tidak berpengaruh besar bila beton
menerima beban tekan karena beban tekan menyebabkan retak menutup
sehingga memungkinkan terjadinya penyaluran tekanan. Jelas ini tidak terjadi
bila balok menerima beban tarik.

Meskipun biasanya diabaikan dalam perhitungan desain, kuat tarik tetap


merupakan sifat penting yang mempengaruhi ukuran beton dan seberapa besar
retak yang terjadi. Selain itu, kuat tarik dari batang beton diketahui selalu akan
mengurangi jumlah lendutan. Karena kuat tarik beton tidak besar, hanya sedikit

Metodelogi
36
Tahun

usaha yang dilakukan untuk menghitung modulus elastisitas tarik dari beton.
Namun, berdasarkan informasi yang terbatas ini, diperkirakan bahwa nilai
modulus elastisitas tarik beton sama dengan modulus elastisitas tekannya.

Kuat tarik beton tidak berbanding lurus dengan kuat tekan ultimitnya fc’.
Meskipun demikian, kuat tarik ini diperkirakan berbanding lurus terhadap akar
kuadrat dari fc’. Kuat tarik ini cukup sulit untuk diukur dengan beban- beban
tarik aksial langsung akibat sulitnya memegang spesimen uji untuk menghindari
konsentrasi tegangan dan akibat kesulitan dalam meluruskan beban- beban
tersebut.

Sebagai akibat dari kendala ini, diciptakanlah dua pengujian yang agak tidak
langsung untuk menghitung kuat tarik beton. Keduanya adalah uji modulus
keruntuhan dan uji pembelahan silinder.

Kuat tarik beton pada waktu mengalami lentur sangat penting ketika kita
sedang meninjau retak dan lendutan pada balok. Untuk tujuan ini, kita selama
ini menggunakan kuat tarik yang diperoleh dari uji modulus- keruntuhan.
Modulus keruntuhan biasanya dihitung dengan cara membebani sebuah balok
beton persegi (dengan tumpuan sederhana berjarak 6 meter dari as ke as) tanpa
tulangan berukuran 15 cm x 15 cm x 75 cm hingga runtuh dengan beban
terpusat yang besarnya sama pada 1/3 dari titik- titik pada balok tersebut sesuai
dengan yang disebutkan dalam ASTM C-78. Beban ini terus ditingkatkan sampai
keruntuhan terjadi akibat retak pada bagian balok yang mengalami tarik.
Modulus keruntuhannya fr ditentukan kemudian dari rumus lentur. Pada rumus-
rumus berikut ini:

6M
fr=
bh2
Dimana :
Fr : modulus keruntuhan

Metodelogi
37
Tahun

M : momen maksimum
b : lebar balok
h : tinggi balok

Tegangan yang ditentukan dengan cara ini tidak terlalu akurat karena dalam
menggunakan rumus lentur kita mengasumsikan beton berada dalam keadaan
elastis sempurna dengan tegangan yang berbanding lurus terhadap jarak dari
sumbu netral. Asumsi- asumsi ini tidak begitu baik.

Berdasarkan beratus- ratus hasil pengujian, peraturan ACI menyebutkan nilai


modulus keruntuhan fr sama dengan 7,5 √ fc ' dimana fc’ dalam satuan psi.
Kuat tarik beton juga dapat diukur dengan melakukan uji pembelahan silinder.
Sebuah silinder ditempatkan di posisinya pada mesin penguji dan kemudian
suatu beban tekan diterapkan secara merata di seluruh bagian panjang dari
silinder di dasarnya. Silinder akan terbelah menjadi dua dari ujung ke ujung
ketika kuat tarikya tercapai. Kuat tarik pada saat terjadi pembelahan disebut
sebagai kuat pembelahan-silinder (split- cylinder strength) dan dapat dihitung
dengan rumus berikut ini

2P
fr=
πLD

Dimana :
P : gaya tekan maksimum
L : panjang
D : diameter silinder

Meskipun digunakan bantalan dibawah beban- beban tersebut, beberapa


konsentrasi tegangan lokal tetap terjadi selama pengujian dilakukan. Selain itu,
terbentuk pula sejumlah tegangan yang membentuk sudut siku- siku terhadap
tegangan- tegangan tarik. Akibatnya, nilai- nilai kuat tarik yang diperoleh tidak
terlalu akurat.

Metodelogi
38
Tahun

2.3.1.7. Kuat Geser Beton

Perencanan penampang terhadap geser harus didasarkan pada :

φVn≥ vu (SNI 2847-2013 pasal 11.1)

Dengan Vu adalah gaya geser terfaktor pada penampangnya yang ditinjau dan
Vn adalah kuat geser nominal yang dihitung dari :

Vn= vc+ Vs ( SNI 2847-2013 pasal 11.2)


Dengan Vc adalah kuat geser nominal yang disumbangkan oleh beton dan Vs
adalah kuat geser nominal yang disumbangkan oleh tulangan geser.

A. Kuat Geser Yang Disumbangkan Oleh Beton

1) Kuat geser Vc harus dihitung menurut ketentuan berikut ini yaitu:

Untuk komponen struktur yang hanya dibebani oleh geser dan lentur
berlaku,
Vc=0.17  √ f ' c bw d (SNI 2847-2013 pasal 11.3)

Untuk komponen struktur yang dibebani tekan aksial

Nu
Vc=0.17 ( 1+
14 A g )  √ f ' c bw d (SNI 2847-2013 pasal 13.4)

Dimana :
N : Gaya normal luar terfaktor
Ag : Luas penampang bruto (b.h)
2) Kuat geser Vc boleh dihitung dengan perhitungan yang lebih rinci
sebagai berikut :

a. Untuk komponen struktur yang hanya dibebani oleh geser dan lentur
saja,

V ud
Vc= ( 0.16 √ f ' c +17 ρw
Mu ) bw d (SNI 2847-2013 pasal 11.5)

Metodelogi
39
Tahun

Tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari pada 0,3 fc’ bwd. Dalam
perhitungan Vc menggunakan persamaan ini, besaran Vud / Mu tidak
boleh diambil melebihi 1,0 , dimana Mu adalah momen terfaktor yang
terjadi bersamaan dengan Vu pada penampang yang ditinjau.

b. Untuk komponen struktur yang dibebani gaya aksial tekan,


persamaan diatas boleh digunakan untuk menghitung Vc dengan
nilai Mm menggantikan nilai Mu dan nilai Vud/Mu boleh diambil
lebih besar daripada 1,0 dengan :

( 4 h−d )
Mm = Mu– Nu (SNI 2847-2013 pasal 11.6)
8
Tetapi dalam hal ini, Vc tidak boleh diambil lebih besar daripada :

Vc= 0.29  √ f ' c bw d


√ 1+
0,29 N u
Ag
(SNI 2847-2013 pasal 11.7)

Besaran Nu/Ag harus dinyatakan dalam Mpa. Bila Mm yang dihitung


bernilai negatif , maka Vc harus dihitung berdasarkan rumus SNI
2847-2013 pasal 11.7.

B. Kuat Geser Yang Disumbangkan Oleh Tulangan Geser

1. Kuat leleh rencana tulangan geser tidak boleh diambil lebih besar
daripada 400 Mpa.

2. Sengkang yang digunakan sebagai tulangan geser harus diteruskan


sejauh jarak d dari serat tekan terluar dan harus dijangkarkan pada kedua
ujungnya agar mampu mengembangkan kuat leleh rencananya.

3. Batas spasi tulangan geser

Spasi tulangan geser yang dipasang tidak boleh melebihi d/2 atau 600
mm. Bila Vs melebihi (√ƒ’c/3) bwd, maka spasi maksimum tersebut harus
dikurangi setengahnya.

Metodelogi
40
Tahun

4. Tulangan geser minimum

a. Bila pada komponen struktur lentur beton bertulang bekerja gaya


geser terfaktor Vu yang lebih besar dari setengah kuat geser yang
diseumbangkan oleh beton φVc, maka harus selalu dipasang
tulangan geser minimum, kecuali balok dengan tinggi total yang tidak
lebih dari nilai terbesar diantara 250 mm atau 0,5 kali lebar badan.

b. Bila dalam hasil analisis diperlukan tulangan geser dan


memperbolehkan untuk mengabaikan pengaruh punter, maka luas
tulangan geser minimum harus dihitung dari :

bw S
Avmin =0.062 √f ' c(SNI 2847-2013 pasal 11.13)
fyt
Tapi Av tidak boleh kurang dari (0.35bws)/fyt dengan bw dan S
dinyatakan dalam millimeter.

5. Perencanaan tulangan geser

a. Bila gaya geser terfaktor Vu lebih besar daripada kuat geser φVc,maka
harus disediakan tulangan geser untuk memenuhi keseimbangan
gaya geser yang terjadi.

b. Besarnya gaya geser yang harus dipikul oleh tulangan geser, Vs


dihitung sebagai berikut :

Av f d
Vs = y
(SNI 2847-2013 pasal 11.15)
S
Dengan Av adalah luas tulangan geser yang berada dalam rentang
jarak s. Dimana :
Vs : kapasitas gaya geser dari tulangan
Av : luas tulangan geser
S : jarak antar tulangan sengkang
Kuat geser Vs, tidak boleh diambil lebih dari (2/3)(√ƒ’c) bwd

Metodelogi
41
Tahun

2.1 Material Beton Bertulang yang Digunakan

Mutu beton yang digunakan dalam perencanaan gedung ini adalah sebagai
berikut

a. Mutu Beton :

K- 350 (fc = 29.05 Mpa), untuk balok,kolom dan plat lantai.

b. Mutu Besi Tulangan :

1. (fy = 240 Mpa), untuk Ø tulangan ≤ 13 mm (tulangan geser)

2. (fy = 400 Mpa), untuk Ø tulangan> 13 mm

2.2 Analisis Pembebanan

Analisis pembebanan menggunakan beban mati, beban hidup,beban gempa


berpedoman pada Peraturan Beban Minimum Untuk Perancangan Bangunan
Gedung dan Struktur Lain SNI 1727:2013.

Dalam melakukan pemodelan, analisis dan desain suatu struktur, perlu ada
gambaran mengenai perilaku dan besar beban yang bekerja pada struktur
tersebut. Gaya statis adalah gaya yang bekerja secara terus menerus pada
struktur dan mempunyai karakter steady-states. Gaya dinamis adalah gaya yang
bekerja yang bekerja secara tiba- tiba pada struktur, pada umumnya tidak
bersifat steady-states dan mempunyai karakteristik besar dan lokasinya berubah
dengan cepat. Pemodelan beban pada struktur digunakan untuk
menyederhanakan didalam perhitungan analisis dan desain struktur.

Beban adalah gaya atau aksi lainnya yang diperoleh dari berat seluruh bahan
bangunan, penghuni, barang- barang yang ada di dalam bangunan gedung,
efek lingkungan, selisih perpindahan dan gaya kekangan akibat perubahan
dimensi.

Metodelogi
42
Tahun

Beban nominal adalah besar beban yang ditentukan dalam standar ini untuk
beban mati, hidup, tanah, angina, hujan, banjir dan gempa.

Beban- beban pada struktur bangunan bertingkat, menurut arah bekerjanya


dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Beban Vertikal (Gravitasi)

a. Beban Mati (Dead Load)

b. Beban Hidup (Live Load)

2. Beban Horizontal (Lateral)

a. Beban Gempa (Earth Quake)

b. Beban Angin (Wind Load)

2.5.1 Beban Vertikal (Gravitasi)

Beban gravitasi pada bangunan yang berupa beban mati dan beban hidup ini
akan diterima oleh lantai dan atap bangunan, kemudian didistribusikan ke balok
anak dan balok induk. Setelah itu akan diteruskan ke kolom dan ke pondasi.

2.5.2 Beban Mati (Dead Load)

Beban mati adalah berat seluruh bahan konstruksi bangunan gedung yang
terpasang, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, tangga, dinding partisi tetap,
finishing, cladding gedung dan komponen arsitektural dan struktur lainna serta
peralatan layan terpasang lain termasuk berat keran.

Dalam menentukan beban mati untuk perancangan, harus digunakan berat


bahan dan konstruksi yang sebenarnya, dengan ketentuan bahwa jika tidak ada
informasi yang jelas, nilai yang harus digunakan adalah nilai yang disetujui oleh
pihak yang berwenang.

Metodelogi
43
Tahun

Dalam menentukan beban mati rencana, harus diperhitungkan berat peralatan


layan yang digunakan dalam bangunan gedung seperti plumbing, mekanikal
elektrikal, dan alat pemanas, ventilasi, dan system pengondisian udara.

Beban mati dibagi menjadi dua yaitu :

1. Beban Mati Struktural

Adalah beban berat sendiri dari masing- masing komponen bangunan


yang ditinjau dan beban- beban yang bekerja pada pelat lantai dan pelat
atap yang besarnya telah ditentukan oleh Peraturan Muatan Indonesia.
Beban mati structural yang diperhitungkan didalam studi ini adalah
beban struktur beton bertulang, yaitu sebesar 2400 kg/m3.

2. Beban Mati Tambahan atau Super Imposed Dead Load (SIDL)

Selain berat sendiri elemen structural, pada beban mati juga terdapat
beban lain yang berasal dari elemen arsitektural bangunan.

a. Adukan /cm ( asumsi t = 2 cm) = 42 kg/m2

b. Keramik (asumsi t = 0.5 cm) = 11 kg/m2

c. Plafond dan rangka plafond = 18 kg/m2

d. Mekanikal & Elektrikal = 25 kg/m2

Jumlah = 96 kg/m2

a. Dinding = 250 kg/m2

b. Beban air hujan di dak = 50 kg/m2

Metodelogi
44
Tahun

2.5.3 Beban Hidup (Live Load)

Beban yang diakibatkan oleh pengguna dan penghuni bangunan gedung atau
struktur lain yang tidak termasuk beban konstruksi dan beban lingkungan,
seperti beban angin, beban hujan, beban gempa, beban banjir atau beban mati.

Beban pada atap yang diakibatkan :

1. Pelaksanaan pemeliharaan oleh pekerja, peralatan, dan material

2. Selama masa layan struktur yang diakibatkan oleh benda bergerak,


seperti tanaman atau benda dekorasi kecil yang tidak berhubungan
dengan penghunian.

Beban hidup yang digunakan dalam perancangan bangunan gedung dan


struktur lain harus beban maksimum yang diharapkan terjadi akibat penghunian
dan penggunaan bangunan gedung, akan tetapi tidak boleh kurang dari beban
merata minimum yang ditetapkan dalam Tabel 4-1 halaman 25- 28 pada
Peraturan Beban Minimum Untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur
Lain SNI 1727 : 2013 oleh BSN (Badan Standarisasi Nasional).

Tabel 2.1. Beban Hidup SNI 1727 2013 Beban Minimum untuk
Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur lain, Beban Hidup
Terdistribusi merata minimum, Lo dan Beban Hidup Terpusat Minimum

Metodelogi
45
Tahun

Metodelogi
46
Tahun

Metodelogi
47
Tahun

Metodelogi
48
Tahun

( Sumber : Buku Pedoman SNI 1727 : 2013, hal 25-28)

2.5.4 Beban Horizontal (Lateral)

Efek beban lateral, seperti beban angina dan beban gempa cukup mendominasi
pada bangunan tinggi, dan menentukan pemilihan dari system struktur.

2.5.4.1 Beban Gempa (Earth Quake)

Gempa bumi merupakan suatu gerakan tiba- tiba dari tanah yang berasal dari
gelombang pada suatu tempat dan menyebar dari daerah tersebut ke segala
arah. Gempa bumi dalam hubungannya dengan suatu wilayah berkaitan dengan
gerakan muka bumi dna pengaruhnya terhadap daerah yang bersangkutan.
Masing- masing daerah mempunyai bentuk maupun wilayah yang berbeda.

Metodelogi
49
Tahun

Beban gempa adalah beban yang bekerja pada suatu struktur akibat dari
pergerakan tanah yang disebabkan karena adanya gempa bumi ( baik itu
gempa tektonik atau vulkanik) yang mempengaruhi struktur tersebut.

Analisis struktur terhadap beban gempa dapat dilakukan dengan metode


Analisis Beban Gempa Statik Ekivaleb dan metoda Analisa Beban Gempa
Dinamik yang terdiri dari ( Analisis Ragam Riwayat Waktu dan Analisis Ragam
Spektrum Respon).

Pada praktek perencanaan struktur, metode yang sering digunakan adalah


metode Analisis Statik Ekivalen dan Analisis Respon Spektra. Pada kedua
metode analisis ini, beban gempa yang diperhitungkan bukan berupa
percepatan gempa seperti pada Analisis Riwayat Waktu, tetapi berupa
percepatan spektra (Sa) yang ditentukan dari Kurva Spektrum Respon Desain,
setelah terlebih dahulu dihitung periode getar (T) dari struktur. Dengan adanya
standar gempa yang baru (SNI Gempa 1726 : 2012) yang berlaku di Indonesia,
maka kurva Spektrum Respon yang terdapat didalam standar gempa yang lama
(SNI gempa 2002), sudah tidak digunakan lagu didalam perencanaan struktur.

Pedoman perumusan gempa rencana pada SNI 1726-2012 mengacu pada ASCE
7-05 yang ditentukan berdasarkan perioda ulang gempa 2475 tahun
(probabilitas terlamapui 2% dalam 50 tahun), sedangkan sni 1726-2002
memakai konsep wilayah gempa (Seismic zone) yang ditentukan berdasarkan
perioda ulang gempa 500 tahun (probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun).

A. Analisis Beban Gempa Statik Ekivalen


Analisis ini adalah suatu cara analisis struktur, dimana pengaruh gempa pada
struktur dianggap sebagai beban static horizontal untuk menirukan pengaruh
gempa yang sesungguhnya akibat gerakan tanah dengan tujuan
penyederhanaan dan kemudahan dalam perhitungan.

Metodelogi
50
Tahun

Struktur bangunan gedung harus diklarifikasikan sebagai struktur gedung


beraturan dan struktur gedung tidak beraturan. Untuk struktur gedung
beraturan, pengaruh gempa rencana dapat ditinjau sebagai pengaruh beban
gempa static ekivalen. Sedangkan untuk struktur gedung tidak beraturan
pengaruh gempa rencana harus ditinjau sebagai pengaruh pembebanan gempa
dinamik.

Perhitungan pada beban gempa static ekivalen hanya memperhatikan


konstribusi dari mode ke-1 saja, sehingga hanya cocok untuk bangunan yang
cenderung kaku, yaitu bangunan yang memiliki ketinggian tidak lebih dari 40
meter atau 10 tingkat. Sebagai konsekuensinya, semakin tinggi bangunan akan
semakin fleksibel dan kontribusi higher mode menjadi lebih besar, sehingga
analisisnya harus dilakukan berdasarkan analisis respon dinamik.

Berikut dijelaskan mengenai langkah pembebanan metode static ekivalen.

Metodelogi
51
Tahun

Gambar 2.6. Flowchart Pembebanan Gempa Metode Statik Ekivalen sesuai SNI
1726 -2012

B. Analisis Beban Gempa Dinamik

Metodelogi
52
Tahun

Pada struktur bangunan tingkat tinggi atau struktur dengan bentuk atau
konfigurasi yang tidak teratur. Analisis dinamik dapat dilakukan dengan cara
elastis maupun inelastis. Pada cara elastis dibedakan Analisis Ragam Riwayat
Waktu (Time History Modal Analysis), dimana pad acara ini diperlukan rekaman
percepatan gempa dan Analisis Ragam Spektrum Respon (Respons Spectrum
Modal Analysis), dimana pad acara ini respon maksimum dari tiap ragam getar
yang terjadi didapat dari Spektrum Respon Rencana (Design Spectra).

Analisis struktur terhadap beban gempa mengacu pada Standar Perencanaan


Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung SNI
1726:2012. Analisis struktur terhadap beban gempa pada Rumah Sakit Hastien
Rengasdengklok Kabupaten Karawang dilakukan dengan Metode Analisis
Dinamik yaitu dengan Analisis Ragam Spektrum Respon.

Berikut ini dijelaskan cara pembuatan Kurva Spektrum Respon Desain


berdasarkan SNI Gempa 1726:2012.

1. Menentukan Kategori Resiko ( I – IV) dan Faktor Keutamaan (Ie)


Untuk berbagai kategori resiko bangunan gedung dan non- gedung sesuai
Tabel 1, pengaruh gempa rencana harus dikalikan dengan Faktor Keutamaan Ie
menurut Tabel 2 pada SNI 1726 : 2012.

Metodelogi
53
Tahun

Tabel 2.2 Kategori Reiko Bangunan Gedung dan Non Gedung untuk Beban
Gempa SNI 1726:2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur
Bangunan Gedung dan Non Gedung

Metodelogi
54
Tahun

(Sumber : Buku Pedoman SNI 1726 : 2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, Tabel 1- Kategori
Resiko Bangunan Gedung dan Non Gedung untuk Beban Gempa, hal 14 -15)

Tabel 2.3. Faktor Keutamaan Gempa SNI 1726:2012 Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

Sumber : Buku Pedoman SNI 1726 : 2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, Tabel 2- Kategori
Resiko Bangunan Gedung dan Non Gedung untuk Beban Gempa, hal 15)

Metodelogi
55
Tahun

2. Menentukan Spektra Percepatan Gempa (SS dan S1)

Percepatan gempa di batuan dasar pada periode pendek (S S) dan percepatan


gempa di batuan dasar pada perioda 1 detik (S 1) ditentukan berdasarkan Peta
Respon Spektral Percepatan Periode Pendek (Gambar 2.7) dan Periode 1 Detik
(Gambar 2.8).

Gambar 2.7. Peta Respon Spektra Percepatan Periode 0,2 Detik di batuan
dasar untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun

Dari peta zonasi gempa tersebut kita menentukan nilai percepatan spektra
periode 0,2 detik (SS) dilihat berdasarkan warna wilayah yang kita tinjau. Seperti
pada perencanaan ini Rengasdengklok Kabupaten Karawang berada pada warna
pink muda dengan nilai antara 0,6 – 0,7 g.

Metodelogi
56
Tahun

Gambar 2.8. Peta Respon Spektra Percepatan Periode 1 Detik di batuan


dasar untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun

Seperti halnya pada perhitungan percepatan spektra periode 0,2 detik (S S),
perhitungan percepatan spektra periode 1 detik dengan (S 1) pun sama dengan
melihat warna pada peta zonasi gempa berdasarkan wilayah yang akan ditinjau.
Rengasdengklok Kabupaten Karawang berada pada warna hijau dengan nilai
antara 0,25 – 0,3 g.

3. Menentukan Kelas Situs


Dalam perumusan kriteria desain seismic suatu bangunan di permukaan tanah,
maka kondisi tanah situs tersebut harus diklarifikasikan terlebih dahulu. Profil
tanah di situs diklarifikasikan sesuai dengan Tabel 3 SNI 1726:2012, berdasarkan
profil tanah lapisan 30 m paling atas.

Tabel 2.4. Klasifikasi SNI 1726:2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa
untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

Kelas Situs vs (m/detik) NatauNch su (kPa)

Metodelogi
57
Tahun

SA (batuan
> 1500 N/A N/A
keras)
SB (Batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A
SC (tanah keras,
350 sampai 750 >50 t 100
sangat padat)
SD (tanah
175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100
sedang)
<175 <15 <50
Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari

SE (tanah lunak) 3 m tanah dengan karakteristik sebagai berikut :


1. Indeks plastisitas, P 20
2. Kadar air, w 40%
3. Kuat geser niralir su _25kPa
SF (tanah Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu
khusus, yang atau lebih dari karakteristik berikut :
1. Rawan dan berpotensu gagal atau runtuh akibat
membutuhkan
beban gempa seperti mudah likuifasi, lempung
investigasu
sangat sensitif, tanah tersementasi lemah
geoteknik
2. Lempung sangat organik dan atau gambut
spesifik dan
(Ketbalan H m)
analisis respon 3. Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H
spesifik situs 7,5 m dengan Indeks Plastisitas PI 75)
yanf mengikuti 4. Lapisan lempung lunak/setengah teguh dengan
6.10.1) ketebalan H 35 m dengan su_ 50 kPa
Catatan : N/A tidak dapat dipakai

(Sumber : Buku Pedoman SNI 1726 : 2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, Tabel 3 – Klasifikasi
Situs, hal 17-18)

4. Menentukan Faktor Amplifikasi Getan Gempa (Koefisien Situs)


Untuk penentuan respon spectral percepatan gempa di permukaan tanah,
diperlukan suatu factor amplifikasi seismic pada periode 0,2 detik dan periode 1

Metodelogi
58
Tahun

detik. Faktor amplifikasi getaran gempa untuk periode pendek (Fa) dan periode
1 detik (Fv), berdasarkan pada Tabel 4 dan Tabel 5 SNI 1726:2012.

Tabel 2.5. Koefisien Situs (Fa) SNI 1726:2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

(Sumber : Buku Pedoman SNI 1726 : 2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, Tabel 4 – Koefisien
Situs, hal 22)

Tabel 2.6. Koefisien Situs (Fv) SNI 1726:2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

Metodelogi
59
Tahun

(Sumber : Buku Pedoman SNI 1726 : 2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, Tabel 5 – Koefisien
Situs, hal 22)

5. Menentukan Spektral Percepatan Maksimum


Spektrum respon percepatan maksimum pada periode pendek (Ss) dan periode
1 detik (S1) yang disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs, ditentukan
dengan persamaan :

S MS = Fa S S

S M1 = Fv S 1

Dimana :

Ss : Respon spektral percepatan gempa untuk periode pendek


S1 : Respon spektral percepatan gempa untuk periode 1,0 detik
2
S DS = S MS
3
2
SD1 = S M1
3

6. Kurva Spektrum Respons Desain

Metodelogi
60
Tahun

Berdasarkan pasal 6.4 pada SNI 1726:2012 tentang spectrum respons desain
dijelaskan bahwa: Bila spektrum respons desain diperlukan oleh tata cara ini dan
prosedur gerak tanah dari spesifik kelas situs tidak digunakan maka kurva
spectrum respons desain harus dikembangkan dengan mengacu gambar dan
mengikuti ketentuan dibawah ini.

Gambar 2.9. Spektrum Respons Desain SNI 1726:2012 Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

1. Untuk periode yang lebih kecil dari T 0 ( T < T0 ) dan lebih kecil dari atau
sama dengan Ts ( T ≤ Ts), spectrum respons percepatan desain (Sa) :

Sa = SDS (0,4+ 0,6 TT )


0

2. Untuk periode yang lebih besar dari atau sama dengan T0 ( T ≥ T0) dan
lebih kecil dari atau sama dengan Ts ( T ≤ Ts ), spektrum respons
percepatan desain (Sa) :

Sa = SDS

3. Untuk periode lebih besar dari Ts ( T ≥ Ts ), spektrum respons percepatan


desain (Sa) :

SD1
Sa =
T
Keterangan :

Metodelogi
61
Tahun

SDS : Parameter respons spektral percepatan desain pada periode


pendek
SD1 : Parameter respons spektral percepatan desain pada periode 1
detik,
T : Periode getar fundamental struktur,
SD 1
T0 = 0,2
S DS
SD1
Ts =
S DS

2.5.5 Kombinasi Pembebanan

Struktur dan komponen struktur harus direncanakan hingga semua penampang


mempunyai kuat rencana minimum sama dengan kuat perlu. Yang dihitung
berdasarkan kombinasi beban dan gaya terfaktor yang sesuai dengan tata cara
ini. Komponen struktur juga harus memnuhi ketentuan lain yang tercantum
dalam tata cara ini untuk menjamin perilaku struktur yang cukup baik pada
tingkat beban kerja.

Faktor beban diperlukan dalam analisis beban suatu gedung agar struktur dan
komponen struktur memnuhi syarat kekuatan dan layak pakai terhadap
bermacam- macam kombinasi pembebanan. Berdasarkan SNI 1726:2012 , faktor
– faktor beban untuk beban mati nominal, beban hidup nominal, dan beban
gempa nominal sama seperti pada SNI 1726:2002. Akan tetapi, pada kombinasi
yang terdapat beban gempa didalam persamaannya harus didesain berdasarkan
pengaruh beban seismik yang ditentukan seperti berikut ini.

 Untuk penggunaan dalam kombinasi beban (3) dan (4), E harus didefinisikan
sebagai :

E = Eh + Ev

 Untuk penggunaan dalam kombinasi beban (5) dan (6), E harus didefinisikan
sebagai :

Metodelogi
62
Tahun

E = Eh - Ev

Dimana :

E : Pengaruh beban seismik

Eh : Pengaruh beban seismic horizontal yang akan didefinisikan selanjutnya

Ev : Pengaruh beban seismik vertical yang akan didefinisikan selanjutnya

Eh adalah pengaruh gaya seismic horizontal. Pengaruh beban seismik E h harus


ditentukan dengan rumus berikut ini.

Eh = ρ ԚE

Dimana :

Ԛ : Pengaruh gaya seismik

ρ : Faktor redudansi, untuk desain seismik D sampai F nilainya 1,3

Ev adalah pengaruh gaya seismic vertical. Pengaruh beban seismik Ev harus


ditentukan dengan rumus berikut ini.

Ev : 0,2 SDSDL

Dimana :

SDS : Parameter percepatan spektrum respons desain pada periode pendek


DL : Pengaruh beban mati

Dengan demikian, berdasarkan SNI 1726:2012 pasal 7.4, faktor- faktor dan
kombinasi beban gempa nominal adalah :

1. 1,4 DL

2. 1,2 DL + 1,6 LL

3. 1,2 DL + 1 LL ± 0,3 (ρ ԚE + 0,2 SDSDL) ±1 (ρ ԚE + 0,2 SDSDL)

Metodelogi
63
Tahun

4. 1,2 DL + 1 LL ± 1 (ρ ԚE + 0,2 SDSDL) ±0,3 (ρ ԚE + 0,2 SDSDL)

5. 0,9 DL ± 0,3 (ρ ԚE - 0,2 SDSDL) ±1 (ρ ԚE - 0,2 SDSDL)

6. 0,9 DL ± 1 (ρ ԚE - 0,2 SDSDL) ±0,3 (ρ ԚE - 0,2 SDSDL)

Dimana :

DL : Beban Mati, termasuk SIDL


LL : Beban hidup
EX : Beban gempa arah-x
EY : Beban gempa arah-y
ρ : Faktor redudansi, untuk desain seismik D sampai F nilainya 1,3
SDS : Parameter percepatan spektrum respons desain pada periode pendek
ԚE : Pengaruh gaya seismic horizontal dari V, yaitu gaya geser desain total di
dasar struktur dalam arah yang ditinjau. Pengaruh tersebut harus
dihasilkan dari penerapan gaya horizontal scara serentak dalam dua arah
tegak lurus satu sama lain.

Faktor redundansi (ρ) harus dikenakan pada system penahan gaya seismic
masing- masing dalam kedua arah orthogonal untuk semua struktur.

Kondisi dimana nilai ρ diizinkan 1 sebagai berikut.

- Struktur dirancang untuk kategori desain seismik B atau C

- Perhitungan simpangan antarlantai dan pengaruh P-delta: desain komponen


nonstruktural.

- Desain struktur nongedung yang tidak mirip dengan bangunan gedung.

- Desain elemen kolektrol, sambungan lewatan , dan sambungannya dimana


kombinasi beban dengan faktor kuat lebih berdasarkan pasal 7.4.3 SNI
1726:2012 yang digunakan.

Metodelogi
64
Tahun

- Desain elemen struktur atau sambungan dimana kombinasi beban dengan


faktor kuat- lebih berdasarkan Pasal 7.4.3 disyaratkan untuk didesain.

- Beban diafragma ditentukan dengan menggunakan persamaan (43) yang


terdapat pada SNI 1726:2012, yaitu :

∑ ¿ x Fi
i
Fpx = n
Wpx
∑ ¿ x wi
i

Dimana :
Fpx : adalah gaya desain diafragma
Fi : adalah gaya desain yang diterapkan ditingkat i
Wi : adalah tributari berat sampai tingkat i
Wpx : adalah tributari berat sampai diafragma di tingkat x
Dimana Fpx tidak boleh kurang dari :
Fpx = 0,2 SDS Iex Wpx
Dan Fpx tidak boleh melebihi :
Fpx = 0,4 SDS Iex Wpx

- Struktur dengan sistem peredaman

- Desain dinding geser struktural terhadap gaya keluar bidang, termasuk


sistem angkurnya.

Untuk struktur yang dirancang bagi kategori desain seismic D,E,dan F factor
redudansi (ρ) harus sama dengan 1,3; kecuali jika satu dari dua kondisi berikut
dipenuhi dimana ρ diizinkan diambil sebesar 1 :

- Masing- masing tingkat yang menahan lebih dari 35% geser dasar dalam
arah yang ditinjau sesuai dengan tabel berikut

Metodelogi
65
Tahun

Tabel 2.7. Persyaratan masing- masing tingkat yang menahan lebih dari 35%
gaya geser dasar

Elemen Penahan Gaya


Lateral Persyaratan
Rangka dengan bressing Pelepasan bressing individu, atau sambungan
yang terhubung, tidak akan mengakibatkan
reduksi kuat tingkat sebesar lebih dari 33%
atau sistem yang dihasilkan tidak mempunyai
ketidakteraturan torsi yang berlebihan
(ketidakteraturan struktur horizontal tipe 1b)
Rangka pemikul momen Kehilangan tahanan momen disambungan
balok ke kolom di kedua ujung balok tunggal
tidak akan mengakibatkan lebih dari reduksi
kuat tingkat sebesar 33% atau sistem yang
dihasilkan tidak mempunyai ketidakteraturan
torsi yang berlebihan (ketidakteraturan
horizontal struktur tipe 1b)
Dinding geser atau Pelepasan dinding geser atau pier dinding
dinding dengan rasio dengan rasio tinggi terhadap panjang lebih
tinggi terhadap panjang besar dari 1 di semua tingkat atau sambungan
lebih besar dari 1 kolektor yang terhubung, tidak akan
mengakibatkan lebih dari reduksi kuat tingkat
sebesar 33% atau sistem yang dihasilkan
mempunyai ketidakteraturan torsi yang
berlebihan (Ketidakteraturan horizontal
struktur tipe 1b)
Kolom Kantilever Kehilangan tahanan momen di sambungan
dasar semua kantilever tunggal tidak akan
mengakibatkan lebih dari reduksi kuat tingkat

Metodelogi
66
Tahun

sebesar 33% atau sistem yang dihasilkan


mempunyai ketidakteraturan torsi yang
berlebihan (ketidakteraturan horizontal tipe
1b)
Lainnya Tidak ada persyaratan

- Struktur dengan denah beraturan di semua tingkat dengan sistem penahan


gaya seismik terdiri dari paling sedikit dua bentang parimeter penahan gaya
seismik yang merangka pada masing- masing sisi struktur dalam masing-
masing arah ortogonal di setiap tingkat yang menahan lebih dari 35% geser
dasar. Jumlah bentang untuk dinding geser harus dihitung sebagai panjang
dinding geser dibagi dengan tinggi tingkat atau dua kali panjang dinding
geser dibagi dengan tingkat tinggi untuk konstruksi rangka ringan.

Mutu Beton (Destructive - Coredrill)

Metoda core drill adalah suatu metoda pengambilan sampel beton pada suatu
struktur bangunan. Sampel yang diambil (bentuk silinder) selanjutnya dibawa ke

Metodelogi
67
Tahun

laboratorium untuk dilakukan pengujian seperti Kuat tekan, Karbonasi dan


Pullout test. Pengujian kuat tekan (ASTM C-39) dari sampel tersebut diatas
biasanya lebih dikenal dengan pengujian “Beton Inti”. Alat uji yang digunakan
adalah mesin tekan dengan kapasitas dari 2000 kN sampai dengan 3000 kN.
Uji core drill atau bor inti ialah cara uji beton keras dengan cara mengambil
contoh silinder beton dari daerah yang kuat tekannya diragukan. Pengambilan
contoh dilakukan dengan alat bor yang mata bornya berupa “pipa” dari intan,
sehingga diperoleh contoh beton berupa silinder.

Silinder beton yang diperoleh tergantung ukuran diameter mata-bornya,


umumnya antara 50 mm sampai 150 mm. Namun sebaiknya diameter silinder
tidak kurang dari 3 kali ukuran maksimum agregat betonnya.

Jika uji bor inti dipilih maka beberapa hal yang perlu diperhatikan (SK SNI-61-
1990-03): (1) Umur beton minimal 14 hari. (2) Pengambilan contoh silinder
beton dilakukan di daerah yang kuat tekannya diragukan, biasanya berdasarkan
data hasil uji contoh beton dari masing-masing bagian struktur. Dari satu
daerah beton diambil satu titik pengambilan contoh. (3) Dari satu pengambilan
contoh (daerah beton yang diragukan mutunya) diambil 3 titik pengeboran.
Pengeboran harus ditempat yang tidak membahayakan struktur, misalnya
jangan dekat sambungan tulangan, momen maksimum, dan tulangan utama. (4)
Pengeboran harus tegak lurus dengan permukaan beton. (5) Lubang bekas
pengeboran harus segera diisi dengan beton yang mutunya minimal sama.

Bila beton yang diambil berada dalam kondisi kering selama masa layannya,
benda uji silinder beton (hasil bor inti) harus diuji dalam kondisi kering. Bila
beton yang diambil berada dalam kondisi sangat basah selama masa layannya,
maka silinder harus direndam dahulu minimal 40 jam dan diuji dalam kondisi
basah.

Metodelogi
68
Tahun

Kuat tekan beton pada titik pengambilan contoh (daerah beton yang diragukan)
dapat dinyatakan tidak membahayakan jika kuat tekan 3 silinder beton
(minimum 3 silinder beton) yang diambil dari daerah beton tersebut memenuhi
2(dua) persyaratan sebagai berikt: (1) Kuat tekan rata-rata dari 3 silinder
betonnya tidak kurang dari 0,85 fc’ (2) Kuat tekan masing-masing silinder
betonnya tidak kurang dari 0,75 fc’.

Metode core drill adalah suatu metoda pengambilan sampel beton pada suatu
struktur bangunan. Sampel yang diambil (bentuk silinder) selanjutnya dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan pengujian seperti Kuat tekan.

Pengambilan sample beton dengan coredrill (pengeboran inti) dan uji kuat
tekan beton di laboratorium untuk Pengambilan contoh dilakukan dengan alat
bor yang mata bornya berupa “pipa” dari intan, sehingga diperoleh contoh
beton berupa silinder.

Metodelogi
69
Tahun

Coredrill yang dilakukan pada struktur beton

Contoh alat pengambilan sample beton dengan metode coredrill tersebut yaitu
sebagai berikut:

Metodelogi
70
Tahun

Silinder beton yang diperoleh tergantung ukuran diameter mata-bornya,


umumnya antara 2” sampai 8”. Dan disarankan diameter silinder tidak kurang
dari 3 kali ukuran maksimum agregat betonnya.

Metodelogi
71
Tahun

Sampel beton dari pengambilan dengan metode coredrill pada bagian struktur
bangunan yang diduga terdapat retakan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sample beton adalah
sebagai berikut:

1. Umur beton minimal 14 hari.

2. Pengambilan contoh silinder beton dilakukan di daerah yang kuat


tekannya diragukan, biasanya berdasarkan data hasil uji contoh beton dari
masing-masing bagian struktur, atau dari hasil NDT (Non Destructive Testing)
dengan concretehammer ataupun UPVT (UltrasonicPulseVelocityTest). Dari satu
daerah beton diambil satu titik pengambilan contoh. Pengambilan contoh pada
bangunan sudah lama berdiri, maka biasanya coredrill dilakukan pada bagian-
bagian elemen struktur beton yang ingin diketahui kuat tekannya

Metodelogi
72
Tahun

3. Dari satu pengambilan contoh diambil 3 titik pengeboran. Pengeboran


harus ditempat yang tidak membahayakan struktur, misalnya jangan dekat
sambungan tulangan, momen maksimum, dan tulangan utama.

4. Benda uji yang cacat karena terlalu banyak terdapat rongga, adanya
serpihan/agregat kasar yang lepas, tulangan besi yang lepas dan
ketidakteraturan dimensi, tidak boleh digunakan untuk

5. Diameter benda uji untuk uji kuat tekan tidak boleh kurang dari 90 mm;

6. Rasio tinggi sample (L) dengan diameter (D) lebih besar atau sama
dengan 0,95 , dimana L = panjang dan D =diameter benda uji;

7. Pengeboran harus tegak lurus dengan permukaan beton.

8. Lubang bekas pengeboran harus segera diisi dengan beton yang


mutunya minimal sama.

9. Apabila ada kandungan tulangan besi dalam benda uji beton inti,
letaknya harus tegak lurus terhadap sumbu benda uji;

10. Jumlah kandungan tulangan besi dalam benda uji beton inti tidak boleh
lebih dari 2 batang;

11. Apabila jumlah kandungan tulangan besi dalam benda uji beton inti lebih
dari 2 batang, benda uji harus dikerjakan dengan gergaji beton dan gerinda,
sehingga memenuhi ketentuan dan bila tidak terpenuhi, benda uji tersebut
tidak boleh digunakan untuk uji kuat tekan

Benda uji beton inti sesudah kaping yaitu harus memenuhi ketentuan 2,00 ≥
L/D ≥ 1,00 dimana tebal lapisan untuk kaping tidak boleh melebihi 10 mm.

Metodelogi
73
Tahun

Metodelogi
74
Tahun

Metodelogi
75
Tahun

Metodelogi
76
Tahun

Ultrasonic Pulse Velocity Test

Ultrasonic Pulse Velocity Test, UPVT adalah suatu uji non destructive untuk
mengidentifikasi mutu integritas beton dengan pendekatan rambatan
gelombang ultrasonic pada beton.

Gelombang ultrasonik disalurkan dari transmittertransducer yang ditempatkan


dipermukaan beton melalui material beton menuju receivertransducer dan
waktu tempuh gelombang tersebut diukur oleh Read-Out unit PUNDIT Portable
Unit Non DestructiveIndicator Tester dalam m detik.

Kedua transducer tersebut dapat ditempatkan secara direct, semi direct atau
indirect. Karena jarak antara kedua transducer ini telah diketahui, maka
kecepatan gelombang ultrasonik dalam material beton dapat dihitung, yaitu
tebal beton dibagi dengan waktu tempuh.

Karena kecepatan rambat gelombang adalah merupakan fungsi dari kepadatan


material, maka dengan diketahuinya cepat rambat gelombang ultrasonik di
dalam beton, kecepatan tersebut dapat dikorelasikan ke nilai kepadatan beton,
yang selanjutnya dikorelasikan lagi ke mutu beton, berdasarkan grafik empiris
hubungan kecepatan rambat gelombang dengan mutu beton.

Selain pengukuran mutu beton, UPVT dapat juga digunakan untuk mengukur
kedalaman retak dan keberadaan honeycomb pada beton.

Metodelogi
77
Tahun

Peralatan UPVT

Peralatan yang digunakan untuk UPV Test terdiri dari :

 Satu buah Read-out Unit PUNDIT (Portable Unit Non DestructiveIndicator


Tester).

 Dua buah Transducer 54 Hz (masing-masing sebagai transmitter dan receiver).

 Satu buah Calibration Bar serta kabel-kabel dan connector

Alat untuk melakukan UPVT seperti pada gambar berikut:

Metode Pengujian UPVT

Dalam pengujian material beton menggunakan UPV Test, gelombang


ultrasonik disalurkan dari transmittertransducer yang ditempatkan dipermukaan
beton melalui material beton menuju receivertransducer dan waktu tempuh
gelombang tersebut diukur oleh Read-Out unit PUNDIT (Portable Unit Non
DestructiveIndicator Tester) dalam micro detik (msec).

UltrasonicPulseVelocityTest dilaksanakan berdasarkan standar pengujian BS


1881-203; ASTM C597. Pengukuran dapat dilakukan dengan beberapa metode
berikut:

 DirectMethod yaitu transmitter dan receiver berada pada dua permukaan yang
paralel.

 Semi-directMethod, yaitu transmitter dan receiver berada pada dua permukaan


yang saling tegak lurus.

 IndirectMethoddimana kedua transducer berada pada permukaan yang sama.

Seperti ditunjukkan pada gambar berikut:

Metodelogi
78
Tahun

Pengujian identifikasi kuat tekan beton dengan UltrasonicPulseVelocityTest


dilakukan dengan mengukur kecepatan gelombang ultrasonik di dalam beton
yang dihitung dengan rumus: V=L/T

dimana L adalah jarak antara transmitter dan receiver dan T adalah waktu yang
ditempuh oleh gelombang di dalam beton. Karena kedua parameter ini telah
diukur maka kecepatan gelombang dapat diketahui. Kuat tekan beton dapat
dihitung dengan menggunakan kurva hubungan antara kecepatan gelombang
dan mutu beton seperti pada gambar berikut:

Metodelogi
79
Tahun

Grafik diatas merupakan hubungan empirik antara velocity hasil UPVT dengan
kuat tekan beton hasil hasil uji tekan (crushing).

Hubungan pada grafik diatas tidak selalu dapat dianggap sama antara satu
bangunan dengan bangunan lain, atau suatu daerah dengan daerah lain,
sehingga disarankan dalam penggunaan grafik tersebut tetap harus diverifikasi
dengan pengambilan sample beton melalui coredrill dan uji tekan, untuk
mendapatkan faktor koreksi dari hubungan empirik tersebut.

Metodelogi
80
Tahun

Hammer Test

ConcreteHammerTest atau SchmidtHammerTest merupakan suatu metode uji


yang mudah dan praktis untuk memperkirakan mutu beton.

Alat yang digunakan untuk Uji Kekuatan Beton dengan HammerTest seperti
pada gambar berikut:

Metodelogi
81
Tahun

Prinsip kerja ConcreteHammer adalah dengan memberikan beban impact


(tumbukan) pada permukaan beton dengan menggunakan suatu massa yang
diaktifkan dengan menggunakan energy yang besarnya tertentu.

Karena timbul tumbukan antara massa tersebut dengan permukaan beton,


massa tersebut akan dipantulkan kembali. Jarak pantulan massa yang terukur
memberikan indikasi kekerasan permukaan beton. Kekerasan beton dapat
memberikan indikasi kuat tekannya.

Gambar berikut mengilustrasikan prinsip kerja ConcreteHammer


atau SchmidtHammer:

Cara Penggunaan Hammer Test

Karena prinsip kerja dan cara penggunaan alat sangat mudah, maka secara luas
alat ini banyak digunakan untuk memperkirakan mutu beton, terutama pada
struktur bangunan yang sudah jadi. Dan dengan proses uji yang cepat maka alat
inipun secara praktis dapat menguji secara keseluruhan struktur bangunan

Metodelogi
82
Tahun

ataupun bagian struktur secara luas untuk mengindikasikan keseragaman mutu


beton.

Sebagai catatan karena alat ini hanya membaca kekerasan beton pada lapisan
permukaan (+4 cm), sehingga untuk elemen struktur dengan dimensi yang
besar, concretehammertest hanya menjadi indikasi awal bagi mutu dan
keragaman mutu.

Selain itu pada saat pengujian permukaan beton yang akan diuji harus
dibersihkan dan diratakan karena alat ini peka terhadap variasi yang ada di
permukaan beton.

Contoh pembersihan dan perataan permukaan seperti pada gambar berikut:

Hubungan Empirik dari Nilai HammerRebound dengan kuat tekan seperti


ditunjukkan pada grafik berikut.

Metodelogi
83
Tahun

Pada grafik diatas terlihat beberapa hubungan korelasi antara Nilai


HammerRebound, yang tergantung dari arah beban impact ke struktur beton, A,
B atau C. Berikut adalah beberapa dokumentasi aplikasi uji SchmidtHammer
dengan beberapa arah impacthammer ke beton.

1. Arah A (0 derajat)

Metodelogi
84
Tahun

2. Arah B (-90 derajat)

3. Arah C (90 derajat)

Metodelogi
85
Tahun

Crack Depth Test Digital

Dalam dunia kontruksi, terutama pada Teknik sipil banyak mengalami


perkembangan baik dari sisi ilmu pengetahuan maupun perkembangan bisnis.
Bila membicarakan Teknik sipil engineering tidak terlepas dari pembangunan
baik jalan, gedung, jembatan, maupun pembangunan lainnya. Erat kaitannya
dalam pembangunan adalah material beton, Beton sendiri mempunyai sifat
yang kuat dan keras sehingga sering digunakan sebagai bahan dalam
pembuatan bangunan-bangunan. Secara harfiah beton bisa diartikan sebagai
salah satu bahan material dalam pembuatan bangunan teknik sipil yang
merupakan campuran monolit dari kerikil, pasir, semen dan air. Seperti kita
ketahui Beton memiliki permasalahan dalam aplikasi yang sering ditemukan
sehari hari, masalah tersebut adalah keretakan beton atau dalam bahasa
tekniknya Crack ada beberapa jenis keretakan dalam beton yang dapat diukur
yaitu CrackDepth (kedalaman keretakan) dan CrackWidth (Lebar keretakan).
Hal pertama yang menjadi pertimbangan mengapa beton menjadi bahan
dominan dalam pembuatan suatu bangunan sipil adalah beton memiliki
durability atau tingkat keawetan yang tinggi dibandingkan bahan material lain.
Dan dalam segi pemeliharaan dan perbaikan beton juga lebih unggul dari
bahan material lain, Namun seperti yang saya sampaikan sebelumnya keretakan
beton ternyata mempengaruhi tingkat kekuatan beton itu sendiri ada beberapa
hal yang mempengaruhi crackdepth dan crackwidth pada beton yaitu
A. Penyebab crackdepth dan crackwidth Yang Terjadi Saat Pembuatan
Beton.

1. Sifat dari beton itu sendiri


Untuk melihat bagaimana sifat dari beton yang dapat
menimbulkan crackdepth dan crackwidth kita harus melihat proses dari awal
pembuatan beton itu sendiri. Pada saat awal pembuatan beton dengan
pencampuran bahan penyusunnya seperti kerikil, pasir, air dan semen, dan

Metodelogi
86
Tahun

dalam proses pengerasannya beton akan mengalami pengurangan volume dari


volume awal. Ini disebabkan karena air yang terkandung pada campuran beton
akan mengalami penguapan sehingga mengurangi volume beton. Apabila pada
kondisi saat beton mengalami penyusutan ada suatu tahanan maka retakan pun
tidak dapat dihindari.
2. Suhu
Ternyata suhu tidak dapat diabaikan juga, Suhu dapat
menyebabkan crackdepth dan crackwidth pada beton. Maksud suhu disini
adalah suhu campuran beton saat mengalami perkerasan. Karena pada saat
campuran beton mengalami perkerasaan suhu yang timbul akibat reaksi dari air
dengan semen akan terus meningkat. Sehingga pada saat suhu campuran beton
ini terlalu tinggi, pada saat beton sudah keras sering timbul retak – retak pada
permukaan beton.
3. Korosi pada tulangan
Sebenarnya untuk mengantisipasi retakan yang terjadi akibat dari sifat beton itu
sendiri, beton diberi tulangan pada bagian dalamnya yang terbuat dari baja.
Sehingga diharapkan dengan adanya tulangan tersebut retakan akibat dari sifat
beton disebar pada keseluruhan beton menjadi bagian – bagian yang sangat
kecil sehingga retakan tersebut dapat diabaikan. Tetapi apabila tulangan yang
dipakai pada saat pembuatan beton sudah meengalami korosi, tulangan
tersebut itu pun akan menyebabkan retakan pada saat beton mengeras, dan
untuk mengukur korosi pada tulangan beton ini dapat
menggunakan rebarcorrosiondetection
4. Proses pembuatan yang kurang baik
Banyak sekali penyebab crackdepth dan crackwidth yang terjadi pada beton
disebabkan oleh proses pembuatan yang kurang baik. Seperti contoh pada saat
beton mengalami perkerasandimana banyak mengeluarkan air, maka perlu
adanya perawatan pada beton agar pengeluaran air dari campuran beton tidak

Metodelogi
87
Tahun

berlebihan. Tetapi akibat tidak adanya perawatan, sehingga pada sat beton
terbentuk banyak terjadi retakan.

B. Penyebab crackdepth dan crackwidth Beton Yang Terjadi Setelah Beton


Selesai

1. Pengaruh lingkungan
Karena beton pada bangunan mengalami kontak langsung dengan cuca luar.
Sehingga bangunan sipil yang berumur cukup lama banyak
mengalami crackdepth dan crackwidth Salah satu pengaruh lingkungan yang
menyebabkan beton retak adalah akibat dari air hujan. Akibat sekian lama beton
pada bangunan tua menerima air hujan secara langsung, lama – kelamaan air
hujan masuk meresap kedalam beton yang kemudian mencapai tulangan pada
beton. Apabila saat air hujan telah mengenai baja tulangan, maka akan terjadi
reaksi antara baja tulangan dengan tulangan yang menyebakan baja tulangan
menjadi korosi. Akibat korosinya baja tulangan beton akan mengalami retak –
retak, makanya pengujian korosi dan
penggunaan rebarcorrosiondetection sangat diperlukan.
2. Pembebanan
Setelah beton sudah jadi dan bangunan sipil telah siap untuk dipakai. Maka
beton tersebut akan menerima beban – beban. Apabila beton menerima beban
sesuai dengan kapasitas kekutannya, beton akan baik – baik saja. Tetapi
kadangkala beton akan menerima beban diluarkemapuannya untuk menahan
beban tersebut, sehingga crackdepth dan crackwidth pada beton pun tidak
bisa di hindari.

Metodelogi
88
Tahun

Scan Pembesian dan ketebalan Test

Re-bar Scan atau sering disebut Cover Meter Test adalah uji untuk mengukur tebal
selimut beton, jarak antar tulangan dan besar diameter tulangan.

Teknologi yang digunakan adalah The pulse-inductionmethod, dimana metode


ini didasarkan pada induksi gelombang elektromagnetik untuk mendeteksi baja
tulangan.

Coil pada probe secara periodik dibebani arus gelombang sehingga


menghasilkan medan magnet. Pada permukaan bahan yang konduktif akan
menginduksi medan magnet dalam arah yang berlawanan.

Perubahan yang dihasilkan dalam tegangan ini yang digunakan untuk


pengukuran. Baja tulangan yang lebih dekat dengan probe atau ukuran yang
lebih besar akan menghasilkan medan magnet yang kuat.

Pemrosesan sinyal selain membantu melokalisasi pembacaan baja tulangan,


juga dapat menentukan tebal cover beton dan mengestimasi diameter tulangan.
Metode ini tidak dipengaruhi oleh bahan non konduktif seperti beton, kayu,
plastik, batu bata, dll.

Metodelogi
89
Tahun

Namun setiap jenis bahan konduktif dalam medan magnet akan memiliki
pengaruh pada hasil pengukuran.

Gambar berikut ini adalah alat yang digunakan pada saat pengukuran.

Scanner digunakan untuk melakukan scanning pada permukaan beton yang


ingin diketahui tebal selimut betonnya, jarak antar tulangan dan diameter
tulangannya. Seluruh data scan akan terecord, selanjutnya data disimpan dan
ditampilkan pada monitor PS 200.

Faktor ketelitian dalam penggunaan ferroscan PS 200, seperti pada tabel


berikut:

Metodelogi
90
Tahun

Untuk identifikasi lebih lanjut dapat dilakukan dengan bantuan software,


sehingga data dapat ditampilkan dalam bentuk data tabel penulangan dan
visualisasi yang lebih baik, seperti pada gambar berikut:

Uji Resistivty Canin

Metodelogi
91
Tahun

Metode pengujian beton tidak merusak (Non-Destructive Testing, NDT) semakin


banyak diterima dan diaplikasikan dalam rekayasa teknik sipil dan struktur
sebagai alat untuk mengevaluasi kekuatan, keseragaman, keawetan dan sifat-
sifat lainnya dari struktur beton eksisting.

Dasar-dasar metode NDT terus dieksplorasi baik kelebihan, kekurangan, metode


maupun interpretasi hasil ujinya.

Half Cell Potential Test

Salah satu metode NDT adalah uji korosi tulangan dalam beton dengan
menggunakan prinsip halfcellpotential dengan alat keluaran proceq yaitu
CANIN+ (corrosionanalysis).

CANIN+ dengan batang half-cell mengukur potensi korosi pada tulangan baja
di dalam beton baja mengacu pada metode yang dijelaskan dalam berbagai
standar (misalnya ASTM C876-91).

Metodelogi
92
Tahun

Skematik alat seperti pada gambar berikut:

Metode Pengukuran Canin+ untuk Uji Korosi Tulangan dalam Beton


Untuk mengukur voltase ini, perlu menghubungkan kabel ground ke bagian
yang terbuka dari tulangan baja di dalam beton. Pembacaan dilakukan dengan
menempelkan batang half-cell pada permukaan beton yang sudah diberi tanda
misalkan titik-titik dengan grid berjarak tertentu. Hasil pembacaan akan
ditampilkan pada unit display sebagai grafik beda potensial.

Prinsip Pengukuran Resistivitas pada Canin+ untuk Memperkirakan


Potensi Korosi Tulangan dalam Beton

CANIN + dengan probe resistivitas mengukur tahanan (resistivity) listrik pada


beton sesuai dengan prinsip Wenner. Gambar di bawah menunjukkan secara

Metodelogi
93
Tahun

skematik prinsip pengukuran resistivitas dan rumus yang digunakan oleh


instrumen untuk menghitung dan menampilkan nilai resisitivitas.

Photo dokumentasi di bawah ini menunjukkan cara pengukuran Canin+ untuk


mengetahui potensi korosi pada tulangan dalam beton.

Metodelogi
94
Tahun

Pengolahan data selanjutnya dilakukan pada PC dengan bantuan


softwareProVista, yang memberikan dasar untuk interpretasi penilaian potensi
korosi yang terjadi pada tulangan di dalam beton.

Output pembacaan seperti pada tabel berikut:

Metodelogi
95
Tahun

Mutu Baja dan Kekerasan Baja (Brinnel Test)

Salah satu material penyusun struktur adalah: Baja. Baik itu profil baja maupun
tulanganrebar di dalam beton. Uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui kuat
tarik baja adalah dengan memotong salah satu bagian struktur untuk dilakukan
uji tarik di laboratorium.

Lalu bagaimana Menentukan Kuat Tarik Baja Struktur yang sudah terpasang
tanpa harus memotongnya? Ada beberapa metode yang dapat dilakukan.
Diantaranya akan diuraikan berikut ini.

Menentukan Kuat Tarik Baja Struktur


Pengujian kekerasan dengan metode Brinell bertujuan untuk menentukan
kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja
(identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (speciment).
Metoda uji kekerasan diperkenalkan oleh Johan August Brinell pada tahun
1900an ini merupakan uji kekerasan lekukan yang pertamakali dan sudah
banyak digunakan dan di susun standarisasinya.

Uji kekerasan ini berupa pembentukan lekukan pada permukaan logam


memakai bola baja yang ditekan dengan beban tertentu. Beban diterapkan
selama waktu tertentu, biasanya 30 detik, dan diameter lekukan diukur dengan

Metodelogi
96
Tahun

mikroskop, setelah beban tersebut dihilangkan. Permukaan logam yang akan


diuji harus relatif halus, rata dan bersih dari debu atau karat.

Angka kekerasan brinell (HB) dinyatakan sebagai beban P dibagi luas


permukaan lekukan. Pada prakteknya, luas ini dihitung dari pengukuran
mikroskopik. Selanjutnya Angka Kekerasan Brinell BHN dapat ditentukan dari
persamaan berikut:

Parameter-parameter dasar pada pengujian Brinell (Dieter, 1987), diilustrasikan


dalam gambar berikut:

LEEB HARDNESS

Dikembangkan pada pertengahan 1970-an, metode Leeb (atau Equotip)


diterima secara luas sebagai instrumen portabel pertama untuk mengukur
kekerasan komponen logam dalam hitungan detik. Nama “Rebound” nama
berasal dari sifat dasar dari tes.

Metode ‘Rebound” atau pantulan didasarkan pada pengukuran tegangan yang


menunjukkan hilangnya energi dari “impactbody” setelah menumbuk benda uji.
Dalam alat uji yang menggunakan prinsip Rebound, pegas mendorong
impactbody melalui tabung pengarah sehingga menumbuk benda uji.

Metodelogi
97
Tahun

ImpactBody menumbuk benda uji tanpa hambatan, magnet yang ada


menghasilkan tegangan dalam sistem kumparan yang mengelilingi tabung
pengarah impactbody. Indentor yang biasanya terbuat dari ”tungsten carbide”
atau “diamondball”, yang terletak di ujung impactbody, menumbuk benda uji,
menyebabkan impactbody memantul dari permukaan benda uji dengan
kecepatan yang lebih lambat.

Lebih lunak benda uji, akan lebih besar bekas lekukan yang terjadi pada benda
uji yang menyebabkan kehilangan energy yang lebih besar dan kecepatan
pantulan yang lebih lambat, yang pada akhirnya menghasilkan tegangan lebih
rendah.

beberapa alat Hardness Tester seperti pada gambar di bawah ini:

Nilai kekerasan (HL) dihitung dari rasio kecepatan tumbukan dan rebound. Nilai
kekerasan (HL) ini kemudian dapat diubah oleh perangkat lunak untuk
menampilkan konvensional nilai kekerasan konvensional dalam skala HRC, HV
atau HB.

Gambar diatas menunjukkan konsep dasar perhitungaan dalam skala Leeb (HL),
sedangkan gambar di bawah ini beberapa dokumentasi kegiatan uji kekerasan
(Hardness tester).

KONVERSI ANGKA KEKERASAN HL KE SKALA BRINELL

Metodelogi
98
Tahun

Seperti yang dijelaskan diatas skala brinell tetap merupakan skala yang sudah
dipakai cukup luas, untuk mengkonversi Angka Kekerasan Leeb (HL) ke brinell
(HB) pada logam dapat menggunakan table di bawah ini.

Atau dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

HB = 0.436 HL + 514.317

Metodelogi
99
Tahun

PERKIRAAN KEKUATAN (TARIK) BAJA DARI ANGKA KEKERASAN BRINELL

Selenjutnya kuat tarik baja dapat ditentukan dengan menggunakan table


berikut ini:

Metodelogi
100
Tahun

Tabel Perkiraan Kekuatan Tarikan Baja

Metodelogi
101
Tahun

Atau dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

HB = 0.436 HL + 514.317

Metodelogi
102
Tahun

PERKIRAAN KEKUATAN (TARIK) BAJA DARI ANGKA KEKERASAN BRINELL

Selenjutnya kuat tarik baja dapat ditentukan dengan menggunakan table


berikut ini:

Atau dengan menggunakan persamaan berikut:

Kuat Tarik Baja (MPa) = 3.482 HB –28.772

Metodelogi
103
Tahun

Berikut ini adalah beberapa proyek audit struktur yang pernah kami kerjakan, yang salah
satu ujinya menggunakan hardnesstest atau brinelltest sebagaimana terlihat pada
dokumentasi berikut:

Audit Dermaga Tanjung Buton

Audit Struktur Main Tower Conveyor Sebuku

BrinellTest Pada MAIN TOWER CONVEYOR SEBUKU

Metodelogi
104
Tahun

Audit Struktur Gedung LPDB Kementerian UKM

BrinellTest pada AUDIT STRUKTUR GEDUNG LPDB KEMENTERIAN UKM

Audit Struktur Dermaga Sebuku

Bri
nellTest Pada Jetty Pulau sebuku

Metodelogi
105
Tahun

Audit Jembatan Barelang

BrinellTest pada AUDIT JEMBATAN BARELANG

Metodelogi
106
Tahun

SISTEM MEKANIKAL DAN ELEKTRIKAL (ME) SUATU BANGUNAN


(GEDUNG)

Bangunan suatu gedung terdiri dari 3 komonen penting, yaitu struktur,


arsitektur dan ME (Mekanikal & Elektrikal). Ketiganya satu sama lain saling
terkait. Jika struktur mengedepankan kekuatan, arsitek lebih mengedepankan
keindahan, maka ME (mekanikal & Elektrikal) lebih mengedepankan pada
fungsi. Sekuat apapun bangunan dan seindah apapun bangunan, jika tidak
ditunjang dengan sistem ME (mekanikal & elektrikal) maka bangunan tersebut
tidak ada fungsinya.

Jadi sangat jelas antara ketiga komponen dalam suatu gedung yang saling
terkait satu sama lain. Dengan demikian sistem mekanikal dan Elektrikal
termasuk salah satu komponen yang sangat penting. Jadi intinya, suatu
bangunan yang telah dirancang oleh para arsitek akhirnya harus dipakai, dihuni
dan dinikmati. Untuk itu suatu gedung haus dilengkapi dengan prasarana yang
sesuai dengan kebutuhan gedung itu sendiri, seperti perkantoran, rumah sakit,
bank, bandara dan lain-lain.

A. Sistem Mekanikal & Elektrikal (ME) yang Umum Digunakan pada Suatu
Gedung

Sistem mekanikal dan elektrikal (ME) suatu bangunan / gedung sangat


tergantung pada maksud tujuan fungsi suatu gedung itu dibangun. ME atau
Utilitas suatu gedung perkantoran mempunyai perbedaan dengan gedung
rumah sakit, atau bandara, pembangkit listrik atau pabik. Tetapi secara prinsip
mempunyai berbagai persamaan.

Pada umumnya sistem ME yang sering digunakan dalam suatu gedung,


diantaranya:

1. Sistem Plumbing (pemipaan air bersih, air kotor/bekas, air hujan)

2. Sistem Pemadam Kebakaran (Fire Fighting)

Metodelogi
107
Tahun

3. Sistem transfortasi vertikal (lift)

4. Sistem Tata Udara

5. Sistem Elektrikal (Tata Cahaya/penerangan, Outlet daya/stopkontak)

6. Sistem Ditribusi Daya Listrik

7. Sistem Penangkal petir

8. Sistem Grounding/pembmian

9. Sistem Fire Alarm (Fire Protection)

10. Sistem telepon

11. Sistem tata suara (sound system)

12. Sistem data/wifi

13. Sistem CCTV

14. Sistem MATV

15. BAS (Building Automatic sistem), sistem ini digunakan untuk mengontrol
suatu sistem tersebut diatas), terutama menyalakan dan mematikan ac (AHU &
fan) atau panel listrik secara automatic. Tetapi sistem ini kadang masih jarang
digunakan pada kebanyakan gedung, sehingga yang utama yang digunakan
dalam sustu gedung adalah ke-14 sistem tersebut.

B. Sistem Mekanikal & Elektrikal (ME) khusus suatu Gedung

Maksud dan fungsi utama dari suatu gedung menjadi landasan dasar dalam
menentukan kekhususan sistem ME dalam suatu bangunan/ gedung. Gedung
rumah sakit misalnya akan mempunyai sistem yang khusus yang digunakan di
gedung tersebut yang tidak digunakan di gedung lain. Demikian juga bandara
atau mall / plaza.

Salah satu kekhususan sistem yang ada di rumah sakit diantaranya adalah
sistem instalasi gas (oksigen) dan compressor, disamping sistem ipal-nya juga

Metodelogi
108
Tahun

harus mempunyai sistem penanganan khusus. Di bandara diantara sistem ME


yang khusus yaitu sistem FIDS (Flight information display sistem), sistem belalai
gajah (garbarata) dan yang tak kalah petingnya adalah sistem sekuriti. Sedang
yang ada di mall atau plaza sistem yang khususnya misalnya sisstem instalasi
gas untuk food court. Disamping itu dalam menentukan suatu sistempun sangat
tergantung pada maksud dan fungsi gedung itu sendiri. Mislanya untuk sistem
AC, sistemnya akan berbeda, Jika hanya untuk perkantoran biasanya digunakan
sistem AC split. Sedang untuk bandara atau mall atau perkantoran dalam skala
besar biasanya digunakan sistem AC terpusat.

Audit elektrikal lebih cenderung ke pengujian dan pengetesan semua peralatan


peralatan apakah masih berfungsi dengan baik atau tidak, handal dan masih
aman atau tidak, pengecekan keseimbangan beban didalam pendistribusianya,
cek semua aramature lampu lampu, outlet daya dll,

Pengetesan terhadap resistansi grounding/pembumian peralatan, apakah masih


baik atau tidak nilai resistansi nya,

Untuk audit elektronnika nya pengujian dan pengetesan tergantung dari item
pekerjaan yang akan di testnya, lebih cenderung apakah alat tersebut masih
berfungsi dan laik pakai atau tidak, jika sudah tidak laik atau tidak berfungsi
alangkah baik nya diganti dengan yang baru disesuaikan dengan spesifikasi
existing, dan atau di upgrade ke yang lebih baik lagi,

Pada intinya semua pengujian dan pengetesan yang dilakukan hanya untuk
mencapai agar system yang terpasang di bangunan tersebut masih tetap Aman,
Handal berfungsi dengan baik serta mudah dalam perawatanya dan
pengoperasianya,

Metodelogi
109

Anda mungkin juga menyukai