Anda di halaman 1dari 5

Dahulu kala, ada seorang pemuda yang hidup di bulan.

Lelaki itu bernama Jangga. Ia tinggal bersama Ibu dan adiknya.


Jangga suka sekali berburu. Setiap hari dia pergi berburu
bersama dengan anjingnya. Ibunya berpesan untuk tidak pergi
berburu terlalu lama. Tapi Jangga sering mengabaikan pesan
Ibunya.

Jangga : “Ibu, aku mau pergi berburu.”


Ibu : “Pergilah, tapi ingat pesan Ibu untuk tidak pergi terlalu
lama.”
Adik : “Boleh aku ikut, Bu?”
Jangga : “Tidak, karena kau hanya akan merepotkanku.”
Adik : “Ibu, izinkan aku ikut..”
Ibu : “Bagaimana Ibu mengizinkanmu kalau kakakmu keberatan?”
Jangga : “Betul, Bu. Lebih baik kau tolong Ibu di ladang!”
Adik : “Ugh, baiklah.”
Jangga : “Baiklah, Bu. Aku pergi sekarang.”
Ibu : “Hati-hati, Nak.”
Jangga : “Baik, Bu.”

Jangga terus berjalan, namun dia tidak menemukan apapun


hingga matahari hampir terbenam.
Jangga : “Mengapa tidak ada hewan yang dapat kutemukan?! Ah,
sudah hampir gelap. Lebih baik aku pulang.”
Sayangnya, Ia tersesat. Dia tak dapat menemukan jalan
kembali ke rumahnya. Ketika dia berjalan kaki, tiba-tiba dia
melihat seorang wanita tua. Jangga mengikuti wanita tua itu
hingga sampai ke rumahnya. Karena malam sudah semakin larut,
Jangga pun memutuskan untuk bermalam di rumah wanita tua
itu.
Jangga : (mengetuk pintu) Tok, tok, tok.
Pak Tua : (membuka pintu) “...”
Jangga : “Aku tersesat dalam perjalanan pulang berburu.
Izinkanlah aku bermalam disini.”
Pak Tua : “Masuklah.”
Jangga pun dipersilakan masuk. Di dalam rumah tersebut,
ada wanita tua yang diikutinya, serta seorang wanita cantik.
Jangga : (terpana)
Pak Tua : “Boleh aku tahu namamu, anak muda?”
Jangga : “Oh, namaku Jangga. Aku tinggal di bulan. Aku sedang
pergi berburu, tapi aku tersesat.”
Pak Tua : “Jangga, kau benar-benar jauh dari rumahmu. Kau
sekarang berada di bumi.”
Wanita tua : “Ayah, siapa anak muda ini?”
Pak Tua : “Dia Jangga. Dia berasal dari bulan, tapi dia tersesat
ketika berburu.”
Wanita tua : “Malangnya kau anak muda. Tinggallah di sini untuk
sementara waktu sampai kau menemukan jalan pulang.”
Jangga : “Baiklah. Terima kasih.”
Wanita tua : “Tak apa-apa. Ini puteri kami, Sinta.”
Jangga : “Namaku Jangga.”
Sinta : “Namaku Sinta.”
Hari demi hari pun berlalu dan Jangga pun jatuh cinta
dengan putri mereka. Kemudian mereka pun menikah.
Jangga masih menikmati berburu dengan anjingnya. Dia
sering pergi berburu ke hutan. Sinta, istrinya, sering
menyuruhnya untuk tidak pergi berburu terlalu lama. Namun,
Jangga sering mengabaikannya.
Suatu saat, istri Jangga mengandung. Dia sering meminta
Jangga untuk tinggal di rumah dan tidak pergi berburu. Sekali lagi,
Jangga mengabaikannya. Istrinya pun sering marah padanya.

Suatu pagi...
Jangga : “Adinda, aku berangkat berburu.”
Sinta : “Jangan pergi, Kakanda! Aku merasa seperti akan
melahirkan hari ini!”
Jangga : “Jangan khawatir. Jika bayi itu laki-laki, namakan bayi itu
Jangga Hatuen Bulan. Artinya seorang lelaki yang berasal
dari bulan. Dan jika bayi itu perempuan, namakan bayi
itu Hendan Bawi Bulan. Artinya seorang wanita yang
berasal dari bulan. Aku pergi.”
Jangga pun pergi meninggalkan istrinya, Sinta. Tidak lama
setelah Jangga pergi, Sinta pun melahirkan seorang anak laki-laki.
Sinta menjadi sangat marah karena Jangga tidak ada di sisinya. Ia
berniat untuk melarang Jangga melihat bayi itu.
Beberapa lama kemudian, Jangga pun kembali pulang. Dia
mendengar tangisan seorang bayi. Dia sangat senang.
Bayi : “Huwaa~ Huwaa~”
Jangga : “Bayikuhh!!! Dimana bayiku??! Aku mau melihat bayiku.”
Sinta : “Tidak!! Kau tidak boleh bertemu dengannya. Aku tidak
mau kau bertemu dengannya!”
Jangga : “Apa?!!”
Sinta : “Pergi kau dari sini! Enyahlah kau Jangga!”
Jangga terkejut, sedih, dan juga marah! Dia pergi keluar
rumah, sambil menarik tali kekang anjingnya. Setelah itu Jangga
pun berdoa memanggil ibunya.
Jangga : “Aku hanya ingin melihat anakku! Tuhan, apa salahku?!!
Ibu...!!”
Tiba-tiba....................., petir menyambar tempat itu. Dan
muncullah ibu Jangga dari kejauhan.
Ibu Jangga : “Puteraku....”
Jangga : “Ibu.....”
Ibu Jangga : “Kemana kau selama ini anakku? Aku mencarimu
kemana-mana.”
Jangga : “Aku tersesat Ibu. Maafkan aku.”
Ibu Jangga : “Sudahlah anakku. Mari kita pulang.”
Jangga : “Tapi Ibu, aku telah memiliki anak.”
Ibu Jangga : “Jiwa anakmu telah terikat padamu. Kemanapun kau
pergi, anakmu akan bersama denganmu. Lebih baik kita
pulang. Anakmu telah sampai di rumah.”
Jangga : “Baik Ibu.”
Ibu Jangga dan Jangga perlahan berjalan kembali ke bulan.
Sinta yang berada di dalam rumah pun terkejut ketika menyadari
anaknya telah tiada. Ia berjalan keluar rumah dan memanggil
Jangga.
Sinta : “Jangga! Anak kita telah tiada! Jangga!”
(Jangga dan ibunya berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi)
Sinta : “Jangga! Jangan tinggalkan aku sendiri! Jangga...!”
Teriakan Sinta sudah tidak berarti apa-apa. Jangga dan
ibunya telah kembali ke bulan untuk menemui jiwa dari bayinya.
Sinta pun tak hentinya menangis akan kepergian Jangga serta
puteranya.
Para dewa yang mendengar tangisan Sinta tidak
menyukainya. Para Dewa yang marah lalu mengubah Sinta
menjadi seekor burung. Orang-orang menamai burung itu
burung pungguk.

Penutup: Sampai saat ini, selama bulan berbentuk


sempurna, kita bisa mendengar suara burung pungguk. Kita juga
bisa melihat gambar seekor anjing di bulan. Dari legenda ini,
orang membuat pepatah, yang berbunyi: “Bagai pungguk
merindukan bulan” yang artinya menunggu dengan sia-sia.

Anda mungkin juga menyukai