Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“Non Perfoming Financing (Amwal Mustamirah Ghairu Najihah)”

Disusun guna memenuhi tugas


Mata kuliah : Manajemen Keuangan Islam

Di Susun Oleh :
Intan Ayu S. M
F12418169

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Djoko Subagyo, MM

PASCA SARJANA UIN SUNAN AMPEL SURABAYA


KELAS KHUSUS PROGRAM MAGISTER (S-2)
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, tidak dijumpai
definisi atau pengertian dari “pembiayan bermasalah” yang diterjemahkan sebagai
Non Performing Financing (NPF) atau Amwal Mustamirah Ghairu Najihah.
Pembiayaan merupakan aktivitas yang sangat penting dan pengelolaan pembiayaan
yang baik sangat diperlukan oleh suatu bank, karena dengan pembiayaan akan
diperoleh sumber pendapatan utama yang menjadi penunjang kelangsungan usaha
bank. Sebaliknya, apabila pengelolaan tidak baik dapat menimbulkan berbagai
permasalahan, seperti aset yang dimiliki bank tidak bergerak, bank tidak dapat
memberikan bagi hasil kepada nasabah hingga berhentinya usaha bank.
Untuk itu makalah ini akan membahas tentang pembiayan bermasalah mulai dari
pengertian, faktor-faktor pembiayaan bermasalah sampai pada solusinya dalam
perbankan sehingga yang sedang mempelajari dapat lebih memahami tentang materi
Non Performing Financing (NPF) atau Amwal Mustamirah Ghairu Najihah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Non Performing Financing (NPF) ?
2. Apa faktor penyebab Non Performing Financing (NPF)?
3. Bagaimana penyelesaian Non Performing Financing (NPF) ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Non Performing Financing (NPF).
2. Mengetahui faktor penyebab Non Performing Financing (NPF).
3. Mengetahui solusi penyelesaian Non Performing Financing (NPF).

1
BAB II

A. Pengertian Non Perfoming Financing (NPF)

Sehubungan dengan fungsi bank syariah sebagai lembaga intermediary dalam


kaitannya dengan penyaluran dana masyarakat atau fasilitas pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah tersebut, bank syariah menanggung risiko kredit atau risiko
pembiayaan. Hal tersebut dijelaskan kembali dalam UU Pasal 37 ayat (1) tentang
Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyaluran dana berdasarkan prinsip
syariah oleh bank syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan atau kemacetan
dalam pelunasannya sehingga berpengaruh terhadap kesehatan bank syariah dan
UUS. Risiko bagi bank syariah dalam pemberian fasilitas pembiayaan adalah tidak
kembalinya pokok pembiayaan dan tidak mendapat imbalan, ujrah, atau bagi hasil
sebagaimana telah disepakati dalam akad pembiayaan antara bank syariah dan
nasabah penerima fasilitas.1

Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia tidak dijumpai
definisi atau pengertian dari “pembiayaan bermasalah” yang diterjemahkan sebagai
Non Perfoming Financing (NPF) atau Amwal Mustamirah Ghairu Najihah. Istilah
“pembiayaan bermasalah” dalam perbankan syariah adalah padanan istilah “kredit
bermasalah” di perbankan konvensional. Istilah kredit bermasalah elah lazim
digunakan oleh dunia perbankan Indonesia sebagai terjemahan problem loan atau
Non Performing Loan (NPL) yang merupakan isitilah yang juga lazim digunakan
dalam perbankan internasional. Namun dalam Statistik Perbankan Syariah yang
diterbitkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia dijumpai istilah Non
Performing Financing (NPF) atau dalam Kamus Perbankan Syariah disebut duyunun
ma’dumah yang diartikan sebagai “Pembiayaan non-lancar mulai dari kurang lancar
sampai dengan macet”.2

1
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2012), 89
2
Tabel 26 Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics), Oktober 2011.

2
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembiayaan bermasalah adalah
pembiayaan yang kualitasnya berada dalam golongan kurang lancar (golongan III),
diragukan (golongan IV), dan macet (golongan V). Pembiayaan bermasalah tersebut
dari segi produktivitasnya (performance-nya) yaitu dalam kaitannya dengan
kemampuan menghasilkan pendapatan bagi bank, sudah berkurang atau menurun
bahkan sudah tidak ada lagi.

Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah wajib dikembalikan oleh nasabah
penerima fasilitas setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, ujrah, tanpa
imbalan, atau bagi hasil.3 Fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah
merupakan aktiva produktif syariah untuk memperoleh penghasilan.4 Artinya apabila
fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah kuaitasnya lancar, maka bank
syariah akan mendapatkan kembali dana yang disalurkan kepada nasabah berikut
pendapatan berupa bagi imbalan. Selanjutnya dana tersebut dapat digulirkan kembali
kepada masyarakat yang membutuhkan dana dalam bentuk pembiayaan, dan
seterusnya bank akan mendapat imbalan. Karena itu, kualitas pembiayaan yang lancar
merupakan sumber dana bagi bank dalam meghasilkan pendapatan sumber dana
untuk ekspansi usaha bagi masyarakat.5

B. Faktor Penyebab Non Perfoming Financing (NPF)

Dalam penyaluran kredit, tidak selamanya kredit yang diberikan bank kepada
debitur akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan di dalam perjanjian kredit.
Gagalnya pengembalian sebagian kredit yang diberikan dan menjadi kredit
bermasalah sehingga mempengaruhi pendapatan bank. Kondisi lingkungan eksternal
dan internal (dari sisi nasabah atau debitur dan dari sisi bank) dapat mempengaruhi
kelancaran kewajiban debitur kepada bank sehingga kredit yang telah disalurkan
kepada debitur berpotensi atau menyebabkan kegagalan.

3
Pasal 1 angka 25 UU Perbankan Syariah.
4
Pasal 1 angka 2, Peraturan Bank Indonesia No. 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
5
Wangsawidjaja., 92

3
Adapun kondisi lingkungan eksternal yang dapat mempengaruhi kegagalan
dalam pemberian kredit antara lain: 6

1. Perubahan kondisi ekonomi dan kebijakan atau peraturan yang mempengaruhi


segmen atau bidang usaha debitur. Perubahan tersebut merupakan tantangan
terus-menerus yang dihadapi oleh pemilik dan pengelola perusahaan. Kunci
sukses dari usaha adalah kemampuan mengantisipasi perubahan dan fleksibel
dalam mengelola usahanya.
2. Tingkat persaingan yang tinggi, perubahan teknologi, dan perubahan
preferensi pelanggan sehingga mengganggu prospek usaha debitur atau
menyebabkan usaha debitur sulit untuk tumbuh sesuai dengan target
bisnisnya.
3. Faktor risiko geografis terkait dengan bencana alam yang mempengaruhi
usaha debitur.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, kredit bermasalah disebabkan karena nasabah


tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada bank karena faktor intern nasabah,
faktor intern bank, dan atau karena faktor ekstern bank dan nasabah. Faktor-faktor
tersebut adalah: 7

1) Faktor Intern Bank


a. Kemampuan dan naluri bisnis analis kredit belum memadai.
b. Analis kredit tidak memiliki intergritas yang baik.
c. Para anggota komite kredit tidak mandiri.
d. Pemutus kredit “takluk” terhadap tekanan yang datang dari pihak eksternal.
e. Pengawasan bank setelah kredit diberikan tidak memadai.
f. Pemberian kredit yang kurang cukup atau berlebihan jumlahnya
dibandingkan dengan kebutuhan yang sesungguhnya.
g. Bank tidak memiliki sistem dan prosedur pemberian dan pengawasan kredit
yang baik.

6
Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2015), 92-93.
7
Opcit., 92-94.

4
h. Bank tidak mempunyai perencanaan kredit yang baik.
i. Pejabat bank, baik yang melakukan analis kredit maupun yang terlibat
dalam pemutusan kredit, mempunyai kepentingan pribadi terhadap usaha
atau proyek yang dimintakan kredit oleh calon nasabah.
j. Bank tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai watak calon
debitur.
2) Faktor Intern Nasabah
a. Penyalahgunaan kredit oleh nasabah yang tidak sesuai dengan tujuan
perolehannya.
b. Perpecahan di antara para pemilik atau pemegang saham.
c. Key person dari perusahaan sakit atau meninggal dunia yang tidak dapat
digantikan oleh orang lain dengan segera.
d. Tenaga ahli yang menjadi tumpuan proyek atau perusahaan meninggalkan
perusahaan.
e. Perusahaan tidak efesien, yang terlihat dari overhead cost yang tinggi
sebagai akibat pemborosan.
3) Faktor Ekstern Bank dan Nasabah
a. Feasibility study yang dibuat konsultan, yang menjadi dasar bank untuk
mempertimbangkan pemberian kredit, telah dibuat tidak benar.
b. Laporan yang dibuat oleh akuntan publik yang menjdi dasar bank untuk
mempertimbangkan pemberian kredit, tidak benar.
c. Kondisi ekonomi atau bisnis yang menjadi asumsi pada waktu kredit
diberikan berubah.
d. Terjadi perubahan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku
menyangkut proyek atau sektor ekonomi nasabah.
e. Terjadi perubahan politik di dalam negeri.
f. Terjadi perubahan di negara tujuan ekspor dari nasabah.
g. Perubahan teknologi dari poyek yang dibiayai dan nasabah tidak menyadari
terjadinya perubahan tersebut atau nasabah tidak segera melakukan
penyesuaian.

5
h. Munculnya produk pengganti yang dihasilkan oleh perusahaan lain yang
lebih baik dan murah.
i. Terjadinya musibah terhadap proyek nasabah karena keadaan kahar (force
majeure).
j. Kurang kooperatifnya pihak perusahaan asuransi, yang tidak cepat
memenuhi tuntutan ganti rugi nasabah yang mengalami musibah.

Adapun dalam buku lain disebutkan NPL disebabkan oleh adanya risiko kredit
yang antara lain: 8
1) Risiko Usaha
2) Risiko Geografis
3) Risiko Keramaian/Keamanan/Tawuran/Perkelahian
4) Risiko Politik/Kebijakan Pemerintah
5) Risiko Ketidakpastian (Uncertainty)
6) Risiko Inflasi
7) Risiko Persaingan
C. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah

Dalam literaturnya sebelum melakukan penyelesaian pembiayaan bermasalah


(NPF) dilakukan terlebih dahulu pembinaan kredit bermasalah, penyelamatan
pembiayaan bermasalah (NPF) barulah penyelesaian pembiayaan bermasalah (NPF).
Pembinaan kredit bermasalah merupakan upaya awal yang dilakukan terhadap
debitur kredit bermasalah sehingga dapat menjaga dan mengamankan kepentingan
bank atas fasilitas kredit yang telah disalurkan, serta dapat memperoleh hasil yang
optimal sebagaimana yang diharapkan sesuai dengan tujuan awal pemberian kredit.
Langkah yang dapat dilakukan dalam tahapan pembinaan kredit bermasalah ini antara
lain melalui: 9

8
Achmat Firdaus dan Maya Ariyanti, Manajemen Perkreditan Bank Umum (Bandung; ALFABETA,
2011), 35-36.
9
Ikatan Bankir Indonesia,.94-95

6
1) Melakukan pendampingan kepada debitur bermasalah. Pendampingan ini
bertujuan untuk mengetahui apakah permasalahan kredit yang terjadi murni
karena aktivitas usaha (risiko bisnis) atau karena kecurangan yang dilakukan
debitur terhadap fasilitas kredit yang telah diterimanya (tidak sesuai dengan
tujuan diberikannya kredit). Sebagai contoh, jika berdasarkan hasil analisis
bank permasalahan yang dihadapi debitur adalah karena ketidakefisienan
dalam proses produksi, bank dapat memberikan masukan untuk melakukan
efisiensi dalam proses produksi, seperti efisiensi dalam pos persediaan dengan
melakukan strategi just in time, dan sebagainya.
2) Aktivitas pembinaan juga termasuk dalam hal melakukan aktivitas penagihan
secara intensif terhadap debitur bermasalah.

Berikutnya adalah tahap penyelamatan pembiayaan bermasalah. Penyelamatan


pembiayaan (restrukturisasi pembiayaan) adalah istilah teknis yang biasa
dipergunakan di kalangan perbankan terhadap upaya dan langkah-langkah yang
dilakukan bank dalam mengatasi pembiayaan bermasalah. Restrukturisasi
pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah
agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui penjadwalan kembali
(rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali
(restructuring). Terdapat beberapa peraturan Bank Indonesia yang berlaku bagi BUS
dan UUS dalam melakukan restrukturisasi pembiayaan, yaitu: 10

1) Peraturan Bank Indonesia No. 101/18/PBI/2008 tanggal 25 September 2008


tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah, sebagaimana telah diubah dengan PB No. 13/9/PBI/2011
tanggal 8 Februari 2011.
2) Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 dan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/35/DPbS tanggal 22 Oktober 2008
perihal Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha

10
Wangsawidjaja, 447-448.

7
Syariah, sebagaimana telah diubah dengan SEBI No. 13/18/DPbS tanggal 30
Mei 2011.

Dari ketentuan-ketentuan Bank Indonesia dalam uraian di atas, tindakan yang


dapat dilakukan bank dalam penyelamatan kredit bermasalah antara lain:

1) Rescheduling (penjadwalan ulang) Rescheduling yaitu perubahan syarat kredit


hanya menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa
tenggang (grace period) dan perubahan besarnya angsuran kredit. Tidak
kepada semua debitur dapat diberikan kebijakan ini oleh bank, hanya kepada
debitur yang menunjukkan itikad dan karakter yang jujur dan memiliki
kemauan untuk membayar atau melunasi kredit (willingness to pay). Di
samping itu, usaha debitur juga tidak memerlukan tambahan dana.
2) Reconditioning (persyaratan ulang) Reconditioning yaitu perubahan sebagian
atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban
nasabah yang harus dibayarkan kepada bank, antara lain meliputi:
a. Perubahan tingkat suku bunga
b. Pemberian keringanan tunggakan bunga
c. Perubahan struktur permodalan perusahaan nasabah
d. Perubahan syarat disposisi kredit
e. Penambahan jaminan
3) Restructuring (penataan ulang)
Restructuring yaitu perubahan persyaratan pembiayaan yang antara lain
meliputi:
a. Penambahan dana fasilitas BUS atau UUS
b. Konversi akad pembiayaan
c. Konversi pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu
Menengah
d. Konversi pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara pada
perusahaan nasabah yang dapat disertai dengan rescheduling atau
reconditioning.

8
Dari kedua tindakan di atas yaitu pembinaan kredit bermasalah dan
penyelamatan pembiayaan bermasalah (NPF), kadangkala tidak cukup membantu
nasabah untuk pulih dalam menjalankan aktivitas bisnisnya maupun mencegah
kemungkinan timbulnya kerugian lebih lanjut bagi bank terkait dengan fasilitas
kredit yang diberikan kepada debitur. Bank harus dapat mengambil keputusan
untuk mengakhiri hubungannya dengan debitur melalui penyelesaian kredit.
Penyelesaian kredit atau dalam istilah perbankan syariah adalah penyelesaian
pembiayaan bermasalah (NPF) yang dilakukan antara lain :

1) Upaya pelunasan atau penyelesaian kredit bermasalah, dapat dilakukan


melalui:
a. Setoran dari debitur atau pemegang saham
b. Penjualan barang agunan
c. Take over fasilitas kredit debitur oleh reditur lain (bank lain atau investor)
d. Eksekusi hak tanggungan melalui balai lelang
e. Litigasi (penyelesaian melalui pengadilan)
2) Langkah-langkah yang dilakukan oleh bank dalam upaya penyelesaian kredit
tersebut antara lain:
a. Bank melakukan penagihan kepada debitur untuk penyelesaian
kewajibannya kepada bank (tunggakan pokok, angsuran, denda, dan
biaya lainnya)
b. Kredit yang telah berada pada kolektibilitas 5 telah dapat diusulkan untuk
dihapus buku
c. Untuk memudahkan penetapan action plan atau action step dalam upaya
penagihan kepada debitur, debitur yang telah dihapus buku di
kelompokkan berdasarkan potensi penagihan yang dapat direalisasi.11

11
katan Bankir Indonesia, 97-101

9
PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, tidak


dijumpai definisi atau pengertian dari “pembiayan bermasalah” yang diterjemahkan
sebagai Non Performing Financing (NPF) atau Amwal Mustamirah Ghairu Najihah.
Kondisi lingkungan eksternal dan internal (dari sisi nasabah atau debitur dan dari sisi
bank) dapat mempengaruhi kelancaran kewajiban debitur kepada bank sehingga
kredit yang telah disalurkan kepada debitur berpotensi atau menyebabkan kegagalan.
Dari ketentuan-ketentuan Bank Indonesia dalam uraian di atas, tindakan yang dapat
dilakukan bank dalam penyelamatan kredit bermasalah antara lain: rescheduling
reconditioning dan restructuring.

10
DAFTAR PUSTAKA
Achmat Firdaus dan Maya Ariyanti, Manajemen Perkreditan Bank Umum. Bandung;
ALFABETA, 2011.
Ikatan Bankir Indonesia, Bisnis Kredit Perbankan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka,
2015.
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2012.
Peraturan Bank Indonesia No. 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

11

Anda mungkin juga menyukai