Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ANALISIS KELAYAKAN PEMBIAYAAN


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Operasional Perbankan Syariah
Dosen pengampu: Faizar Rahman, S.AB

Disusun Oleh:
Beni Nici Suwarno (2018392900163)
Defris Krisdiansyah (2018392900165)
Dewi Sinta Wati (2018392900166)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY
GENTENG-BANYUWANGI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunianya kami
bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat teriring salam tak lupa
kita sanjung agungkan kepada nabi kita Muhammad SAW yang mana kita nantikan
syafaatnya di yaumul kiyamah nanti. Terimakasih juga kepada semua pihak yang
telah membantu dan mendukung menyelesaikan makalah Operasional Perbankan
Syariah yang berjudul “konsep dasar pembiayaan”
Terlepas dari itu semua dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh dari
kata sempurna, oleh sebab itu saya sangat memohon kepada semua pihak terutama
Bapak Faizar Rahman serta teman-teman semua agar kiranya memberikan kritik,
saran, dan masukan kepada kami. Agar dalam penulisan makalah selanjutnya bisa
lebih baik lagi.
Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat manjadi sumber pengetahuan
dan insiprasi kepada para pembaca. Mungkin itu saja yang bisa kami sampaikan,
kurang dan lebihnya kami mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Semoga makalah ini dapat berguna dalam perkembangangan kreativitas dan
peningkatan aktivitas bagi kita semua.

Banyuwangi, 17 Juni 2021


Mengetahui,

Penyusun

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Analisis pembiayaan adalah kegiatan yang menelaah aspek-aspek penting dan
patut diketahui dari nasabah yang akan dibiayai oleh bank. Tujuan analisis
pembiayaan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan sesungguhnya terhadap
kondisi nasabah yang akan dibiayai. Dengan demikian, rekomendasi yang benar dan
objektif dapat diberikan.
Salah satu fungsi bank selain sebagai pengumpul dana adalah juga sebagai
penyalur dana dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang membutuhkan
dana. Bank sebagai perantara memiliki sebuah sistem bagi para peminjam atau yang
membutuhkan dana dengan sebuah program atau sistem pembiayaan. Tidak hanya di
bank konvensional saja pembiayaan juga disediakan di bank syariah. Tentu saja
sistemnya sangat berbeda dengan sistem di bank konvensional, bank syariah lebih
menitikberatkan pada profit-sharing yang saling menguntungkan antara dua belah
pihak. Baik bagi penyedia dana maupun bagi yang membutuhkan dana.
Dengan sedemikian berkembangnya perekonomian suatu Negara. Semakin
meningkat pula permintaan/kebutuhan pendanaan untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan. Nemun, dana pemerintah yang bersumber dari APBN sangat terbata
suntuk menutup kebutuhan dana di atas, karenanya pemerintah menggandeng dan
mendorong pihak swasta untuk ikut serta berperan dalam membiayai pembangunan
potensi ekkonomi bangsa. Pihak swastapun, secara individual maupun kelembagaan,
kepemilikan dananya juga terbatas untuk memenuhi operasional dan pengembangan
usahanya. Dengan keterbatasan kemampuan financial lembaga Negara dan swasta
tersebut, maka perbankan nasional memegang peranan penting dan strategis dalam
kaitannya penyediaan permodalan sector-sektor produktif.
Bank sebagai lembaga perantara jasa keuangan, yang tugas pokoknya adalah
menghimpun dana dari masyarakat, diharapkan dengan dana dimaksud dapat
1
memenuhi kebutuhan dana pembiayaan yang tidak disediakan oleh dua lembaga
sebelumnya (swasta atau Negara). Indonesia sebagai Negara yang mayoritas
penduduknya beragama islam, telah lama mendambakann kehadiran sestem lembaga
keuangan yang sesuai tuntutan kebutuhan tidak sebatas financial namun juga tuntutan
moralitasnya. System bank mana yang dimaksud adalah perbankan yang terbebas dari
praktik bunga.

B. Rumusan Masalah
a. Analisis kelayakan pembiayaan oleh bank syariah?
b. Apakah resiko pembiayaan?

C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui analisis terhadap kelayakan pembiayaan oleh bank
syariah.
b. Untuk mengetahui apa saja resiko pembiyaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tujuan analisis
Analisis pembiayaan memiliki tujuan untuk memperoleh informasi yang real
dari nasabah, terkait kondisinya, sehingga ketika bank telah mengetahui informasi
dari nasabah maka akan menyetujui pembiayaan yang telah diajukan. Analisis ini
dapat dilakukan dengan dua carayaitu kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif yaitu
menggunakan data keuangan nasabah. Sedangkan kualitatif menggunakan data non
keuangan dari nasabah. Pada nasabah yang melakukan pembiyaan dengan jumlah
yang kecil maka akan menggunakan analisis kualitatif karena data keungan nasabah
pembiayaan dengan jumlah kecil biasanya data keuangannya tidak akurat dan tidak
lengkap. Sedangkan pada nasabah yang melakukan pembiayaan dalam jumlah yang
besar akan menggunakan analisis kuantitatif karena laporan keuangannya sudah jelas
dan tersusun.
Analisis pembiayaan memiliki tujuan, antara lain tujuan khusus dan tujuan
umum. Tujuan khusus dari analisis pembiayaan yaitu untuk menentukan jumlah
pembiayaan yang layak, untuk mengurangi resiko gagal bayar, untuk mengetahui
apakah calon nasabah ini mendapatkan pembiayaan atau tidak. Sedangkan tujuan
umum yaitu untuk memenuhi pelayanan akan kebutuhan masyarakat, untuk
mendorong dan memperlancar perdagangan, jasa-jasa, produksi, serta konsumsi yang
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

B. Prinsip Analisis
Analisis pembiayaan memiliki beberapa prinsip yaitu 5C, yakni character,
capacity, capital, collateral, condition.

1. Character ( Karakter )

Analisa ini merupakan analisa kualitatif yang tidak dapat dideteksi secara
numerik. Namun demikian, hal ini merupakan pintu gerbang utama proses
persetujuan pembiayaan. Kesalahan dalam menilai karakter calon nasabah dapat
berakibat fatal pada kemungkinan pembiayaan terhadap orang yang beritikad buruk
seperti berniat membobol bank, penipu, pemalas, pemabuk, pelaku kejahatan dan lain
lain.

2. Capacity (Kapasitas/kemampuan)

Kapasitas calon nasabah sangat penting diketahui untuk memahami


kemampuan seseorang untuk berbisnis. Hal ini dapat dipahami karena watak yang

3
baik semata mata tidak menjamin seseorang mampu berbisnis dengan baik. Untuk
perorangan hal ini dapat terindikasi dari referensi ataupun curriculum vitae yang
dimilikinya. Hal ini dapat menggambarkan pengalaman kerja/bisnis yang
bersangkutan. Untuk perusahaan, hal ini dapat terlihat dari laporan keuangan dan past
performance usaha. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan perusahaan
memenuhi semua kewajibannya termasuk pembayaran pelunasan pembiayaan. Untuk
mengetahu kapasitas nasabah, bank harus memperhatikan:

 Angka angka hasil produksi.

 Angka angka penjualan dan pembelian.

 Perhitungan rugi laba perusahaan saat ini dan proyeksinya.

 Data finansial perusahaan beberapa tahun terakhir yang tercermin


dalam neraca laporan keuangan.

Untuk pembiayaan konsumtif, analisa diarahkan pada kemampuan sumber


penghasilan calon nasabah membiayai seluruh pengeluaran bulanannya. Untuk itu,
yang perlu dianalisa adalah:

 Perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja.

 Lama bekerja.

 Penghasilan.

3. Capital ( Modal )

Analisa model diarahkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keyakinan


calon nasabah terhadap usahanya sendiri. Jika nasabah sendiri tidak yakin akan
usahanya, maka orang lain akan lebih tidak yakin. Untuk mengetahui hal ini, maka
bank harus melakukan hal hal sebagai berikut:

 Melakukan analisa neraca sedikitnya 2 tahun terakhir.

 Melakukan analisa ratio untuk mengetahui likuiditas, solvabilitas, dan


rentabilitas dari perusahaan dimaksud.

Untuk pembiayaan konsumtif sendiri, hal ini dapat tercermin dari uang muka yang
sanggup dibayar oleh calon nasabah.

4
4. Condition (Kondisi)

Analisa diarahkan pada kondisi sekitar yang secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap usaha calon nasabah, seperti kebijakan pembatasan
usaha properti, pelarangan ekspor pasir laut, trend PHK besar besaran usaha sejenis
dan lain lain. Kondisi yang harus diperhatikan bank antara lain:

 Keadaan ekonomi yang akan mempengaruhi perkembangan usaha


calon nasabah.

 Kondisi usaha calon nasabah, perbandingannya dengan usaha sejenis,


dan lokasi lingkungan wilayah usahanya.

 Keadaan pemasaran dari hasil usaha calon nasabah.

 Prospek usaha dimasa yang akan datang.

 Kebijakan pemerintah yang mempengarhui prospek industri dimana


perusahaan calon nasabah terkait didalamnya.

5. Collateral (Jaminan)

Analisa ini diarahkan terhadap jaminan yang diberikan. Jaminan dimaksud


harus mampu mengcover risiko bisnis calon nasabah. Analisa dilakukan antara lain:

 Meneliti kepemilikan jaminan yang diserahkan.

 Mengukur dan memperkirakan stabilitas harga jaminan yang


dimaksud.

 Memperhatikan kemampuan untuk dijadikan uang dalam waktu relatif


yang singkat tanpa harus mengurangi nilainya.

 Memperhatikan pengikatannya, sehingga secara legal bank dilindungi.

 Rasio jaminan terhadap jumlah pembiayaan. Semakin tinggi resiko


tersebut, semakin tinggi kepercayaan bank terhadap keksungguhan
calon nasabah.

 Marketabilitas jaminan. Jenis dan lokasi jaminan sangat menentukan


tingkat marketable suatu jaminan. Rumah yang berharga jutaan rupiah
bisa turun hanya karena terletak di lokasi yang sulit dijangkau.

5
C. Aspek Analisis

Selain formula 5C diatas, juga terdapat enam aspek yang perlu diperhatikan
antara lain:

1. Aspek umum

Hal hal yang harus diperhatikan antara lain:

a. Bentuk nama dan alamat perusahaan.

b. Susunan manajemen.

c. Bidang usaha.

d. Keterangan tentang jumlah pegawai/buruh

e. Kebangsaan.

f. Koresponden bank.

g. bagan organisasi.

2. Aspek ekonomi/komersil

Hal hal yang harus diperhatikan antara lain.

a. Pemasaran dan keadaan harga.

b. Persaingan.

c. Jumlah penjualan dari tiap tiap jenis produk.

d. Cara penjualan.

e. Prediksi permintaan, dan sebagainya.

3. Aspek teknis

Hal hal yang harus diperhatikan antara lain:

a. Bahan baku dan bahan pendukungnya yang dibutuhkan.

b. Tanah dan tempat pabrik.

6
c. Bangunan.

d. Urutan proses produksi.

e. Rincian mesin peralatan.

f. jumlah produksi.

g. tersedianya tenaga kerja.

h. Dan lain lain seperti power supply sistem, pengadaan air dan sebagainya.

4. Aspek yuridis

Hal yang harus diperhatikan adalah apakah semuanya memenuhi ketentuan hukum
yang berlaku, termasuk perizinan usaha.

5. Aspek manfaat dan kesempatan kerja.

Hal hal yang harus diperhatikan antara lain:

a. Manfaat ekonomi bagi penduduk dan pengaruh terhadap struktur


perekonomian setempat.

b. Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap.

c. Apakah termasuk sektor yang diprioritaskan oleh pemerintah.

6. Aspek keuangan

Hal hal yang harus diperhatikan antara lain:

a. Neraca dan Laporan Rugi Laba.

b. Laporan sumber dan penggunaan modal kerja.

c. Rencana penerimaan dan pengeluaran kas.

d. Proyeksi laporan keuangan.

e. Perhitungan kebutuhan pembiayaan.

f. Rencana angsuran pembiayaan.

7
D. Definisi Risiko Pembiayaan dan Cakupannya

Risiko pembiayaan sering kali dikaitkan dengan risiko gagal bayar. Risiko ini
mengacu pada potensi kerugian yang dihadapi bank ketika pembiayaan yang
diberikannya macet. Debitur mengalami kondisi di mana dia tidak mampu memenuhi
kewajiban mengembalikan modal yang diberikan oleh bank. Selain pengembalian
modal, risiko ini juga mencakup ketidakmampuan debitur menyerahkan porsi
keuntungan yang seharusnya diperoleh dari bank dan telah diperjanjikan di awal.
Konsekuensi penggunaan definisi ini adalah risiko pembiayaan hanya berlaku untuk
akad berbasis utang, yakni qardhul hasan, jual beli muajjal, dan jual beli salam.
Debitur yang melakukan pembiayaan menggunakan skema akad-akad ini,
diwajibkan untuk membayar kembali kepada bank sesuai dengan termin yang yang
telah diperjanjikan. Kegagalan debitur melunasi kewajibannya dianggap sebagai
kondisi gagal bayar, gagal dalam membayar cicilan pokok maupun porsi keuntungan
(khusus akad jual beli).
Sedangkan akad berbasis syirkah, yakni mudharabah dan musyarakah, tidak
dapat dimasukkan ke dalam kategori risiko ini. Debitur, dalam kedua akad ini, tidak
diwajibkan untuk mengembalikan modal yang diberikan oleh bank. Apalagi
keharusan menyetorkan porsi keuntungan dari hasil usaha berdasarkan nisbah yang
disepakati bersama. Realisasi bagi hasil, dan pengembalian modal, secara mutlak
bergantung pada realisasi hasil bisnis debitur. Jika debitur memperoleh keuntungan,
maka bank berhak atas keuntungan dan kembalinya modal sebesar 100%. Ketika
debitur mengalami kegagalan bisnis, maka tidak ada lagi utang, sebaliknya, yang ada
adalah bagi rugi yang harus ditanggung oleh bank. Jika keuntungan saja tidak bisa
diperoleh, maka kembalinya modal pun tidak bisa dijamin. Bank Indonesia, melalui
PBI Nomor 13/23/PBI/2011, cenderung memilih untuk memasukkan risiko
pembiayaan pada akad mudhrabah dan musyarakah pada kelompok risiko investasi.
Selain risiko gagal bayar, risiko pembiayaan kadang merujuk pada risiko
kredit. Istilah inilah yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam PBI Nomor

8
13/23/PBI/2011. Sebenarnya istilah risiko kredit lebih cocok digunakan untuk
perbankan konvensional. Mengingat skema pembiayaan mereka yang menggunakan
konsep kredit. Bank memberikan sejumlah dana kepada debitur dan kemudian
meminta pengembalian disertai sejumlah keuntungan yang diperjanjikan. Melihat
skema ini, istilah kredit bisa juga digunakan untuk pembiayaan di bank Islam, yakni
untuk akad qardhul hasan, jual beli muajjal, dan jual beli salam, sedangkan untuk
pembiayaan mudharabah dan musyarakah, tidak cocok menggunakan istilah kredit.
Lebih jauh, mengingat bahwa bank Islam seharusnya lebih dominan dalam
akad berbasis syirkah, di samping jugan untuk membedakan dengan bank
konvensional, maka sebagian kalangan mengkritik penggunaan istilah risiko kredit
untuk bank Islam.
Dari kedua istilah di atas, risiko pembiayaan ini muncul akibat kegagalan
debitur menyelesaikan kewajibannya. Karena muncul dari sisi debitur, risiko ini
disebut jugan counter party risk. Apa pun istilah yang digunakan, dalam memahami
konsep risiko pembiayaan pada bank Islam, perlu dipahami proses bisnis dari skema
pembiayaan bank Islam itu sendiri. Dengan memahami proses bisnis, selain
mendefinisikan secara lebih komprehensif, kita juga akan mampu mengidentifikasi
titik-titik risiko pada setiap tahapan proses dan sekaligus faktor pemicu terjadinya
risiko tersebut. Akhirnya dapat diharapkan bahwa pembangunan sistem mitigasi
risiko menjadi lebih terarah, tersistematis dan bersifat holistik.
Risiko pembiayaan yang dihadapi oleh bank Islam dapat ditemui pada waktu:
 melakukan penilaian (assessment) atas proposal pembiayaan yang diajukan
debitur
 memutuskan menerima atau menolak proposal tersebut
 menetapkan kontrak pembiayaan terkait jenis akad yang digunakan, limit
(pagu) pembiayaan, harga, tenor, dan jaminan
 periode penyelesaian kontrak
 pada waktu terminasi kontrak.

9
Semua periode ini membutuhkan serangkaian kebijakan manajemen risiko dan
mekanisme mitigasinya agar berbagai risiko yang dihadapi dapat dikendalikan.
Karena muncul selama periode penyelesaian kontrak, risiko pembiayaan disebut juga
dengan istilah risiko penyelesaian (settlement risk).

E. Faktor Penentu Risiko Pembiayaan

a. Akad Qardhul Hasan


Qardhul hasan termasuk kategori akad tolong-menolong murni (li tabarru’). Bank
Islam tidak diperbolehkan sama sekali untuk mengambil keuntungan dalam bentuk
dan alasan apa pun. Dalam konteks manajemen risiko, langkah terbaik yang bisa
dilakukan oleh bank hanyalah mencegah risiko tidak kembalinya modal yang
dipinjamkan. Modal yang dipinjamkan dapat berupa uang atau barang. Pemberian
pinjaman dalam bentuk uang menciptakan risiko turunnya nilai uang di kemudian
hari. Perbedaan nilai intrinsik atau daya beli uang menjadi sebab bank konvensional
membebankan biaya bunga untuk menutupi risiko penurunan nilai uang tersebut.
Penyebab utamanya adalah tingkat inflasi yang bernilai positif. Meskipun
kenyataannya, suku bunga nominal juga menjadi kontributor bagi tingkat inflasi itu
sendiri. Artinya bahwa terdapat hubungan timbal balik antara tingkat bunga dan
inflasi.
b. Akad Jual Beli Muajjal
Dalam jual beli muajjal, bank selaku penjual diharuskan telah memiliki barang
atau objek jual beli pada waktu kontrak. Dalam praktiknya, memungkinkan terjadinya
selisih waktu kontrak dan pengiriman barang karena alasan teknis. Sedangkan debitur
sebagai pembeli menunda pembayaran sebagian atau keseluruhan harga yang telah
disepakati secara cicilan maupun pembayaran sekaligus (lump sum). Sekali harga
ditetapkan, maka sejumlah itulah yang harus dibayar dan menjadi utang bagi debitur.
Tidak boleh ada perubahan harga setelah itu. Bahkan jika bank meminta pelunasan

10
lebih awal (sebelum jatuh tempo), maka bank dilarang melakukan pemotongan
jumlah utang (diskon atau remitting).
Dalam jual beli muajjal, memungkinkan bagi penjual untuk menyampaikan harga
beli barang (jual beli bil amanah) ataupun tidak (jual beli al musawamah). Harga
perolehan yang disampaikan dapat meliputi harga beli, biaya transportasi, biaya
perawatan, biaya penyimpanan, biaya perbaikan, beban pajak, dan semua yang terkait
pada barang tersebut. Penyampaian informasi ini sebaiknya dikuatkan dengan bukti
autentik, seperti kuitansi atau selainnya.
c. Akad Jual Beli Salam
Pada asalnya, jual beli salam digunakan untuk produk hasil pertanian, seperti
kurma, anggur, gandum, beras, jagung, kedelai, dan sebagainya. Akad jual beli salam
mengharuskan bank mengeluarkan modal di awal waktu. Bedanya dengan jual beli
muajjal adalah bank menyerahkan modal tersebut dalam bentuk uang tunai dan
penyelesaian kontrak berupa penyerahan barang atau hasil pertanian oleh debitur.
Dalam akad jual beli salam, bank bertindak sebagai pembeli dan debitur sebagai
penjual. Debitur tidak dipersyaratkan untuk memiliki lahan pertanian.
Masing-masing alternatif memberikan konsekuensi risiko yang berbeda.
Normalnya, modal yang diterima dari bank akan digunakan debitur untuk menanam
dan mengolah ladangnya. Ketika terjadi gagal panen, debitur tentu akan mencari
solusi pemenuhan kontrak dengan membeli beras ke pasar, itupun dengan asumsi
bahwa debitur masih memiliki cukup dana. Jika tidak, debitur akan mengalami gagal
bayar berupa ketidakmampuan menyerahkan beras ke bank. Untuk mengurangi risiko
ini, bank dapat meminta agunan dan jaminan pihak ketiga. Jika dalam bentuk uang,
bank hanya berhak menerima uang sebesar yang diberikannya kepada debitur, atau
alternatifnya memaksa debitur menyerahkan beras sesuai kontrak.
d. Akad Istishna’
Dalam kitab-kitab fikih, istishna’ sering kali ditemukan pada bab jual beli salam.
Transaksi jual beli terjadi sebelum barang diproduksi atau dibangun. Harga dan
spesifikasi barang harus sudah disepakati ketika kontrak dan tidak berubah
11
setelahnya. Ini berbeda dengan bentuk murabahah purchase order (MPO), di mana
pada waktu pesan tidak boleh ada kesepakatan harga. Dan karena merupakan akad
jual beli, hanya bentuk salam atau salaf yang mungkin diterapkan pada istishna’. Hal
ini mengingat bahwa barang belum tersedia pada waktu kontrak. Inilah pendapat
jumhur ulama, seperti Imam Malik, Shafi’e, Ahmad, Zufar (Hanafi) dan lainnya,
mereka memasukkan istishna’ dalam bab salam. Pembeli harus membayar penuh
harga pada waktu akad jual beli (Az Zuhaily (2003), hlm. 271-272). Bila
pengklasifikasian ini digunakan, konsekuensinya adalah istishna’ harus diperlakukan
sebagaimana jual beli salam. Pembeli harus menyerahkan pembayaran penuh di awal
waktu. Perbedaan kedua akad ini (jual beli salam dan istishna’) hanyalah pada objek
jual belinya. Jika salam diperuntukkan untuk hasil pertanian, istishna’ digunakan
pada barang hasil kontruksi atau produksi, seperti pakaian, rumah, mobil, gedung,
dan sebagainya.
Dalam praktiknya, tidak satupun bank Islam di Indonesia yang menerapkan
istishna’ secara murni. Kendala utamanya adalah debitur sebagai pembeli barang
tidak memiliki cukup uang untuk membayar harganya secara tunai. Cara paling tepat
untuk “menjelaskan” praktik istishna’ dengan bentuk muajjal seperti pada perbankan
Islam di Indonesia hanyalah mengikuti definisi istishna’ dan mazhab Hanafi. Mereka
menganggap bahwa dalam “istishna” pada hakikatnya terdapat dua akad, yakni jual
beli barang dan ijarah. Dengan melakukan analogi dan ihtihsan, mereka menyatakan
bahwa istishna’ melibatkan juga jasa tenaga, usaha dan komitmen penjual. Hal ini
membuat kontrak istishna’ menjadi mirip dengan “sewa”, di mana memungkinkan
untuk menunda pembayaran pada kontrak sewa tanpa dianggap sebagai bentuk jual
beli utang dengan utang.
e. Akad Ijarah
Ijarah merupakan bentuk pertukaran di mana objeknya adalah jasa. Cakupan akad
ini sangat luas, seperti jasa penitipan (sepeda motor, mobil, uang, dan saving box),
jasa penyewaan (sewa rumah, sewa mobil, dan sewa mesin), jasa transportasi
(amgkot, bus, kereta api, pesawat terbang, dan ojek), dan karyawan bekerja pada
12
perusahaan. Bahkan wakalah bil ujrah pun termasuk dalam ijarah. Bank Islam
menggunakan ijarah dalam beberapa bentuk. Berdasarkan penyerahan jasa
(kemanfaatan) dan uang, ijarah yang digunakan oleh bank adalah berbentuk muajjal,
di mana bank menyediakan jasa atau persewaan terlebih dahulu dan debitur
membayarnya secara tertunda.

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bank syariah berfungsi sebagai lembaga intermediasi (intermediary
institution), yaitu berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan
kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk
pembiayaan. Pada sisi aktiva neraca bank syariah bagian terbesar dana operasional
setiap bank syariah disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Kenyataan ini
menggambarkan bahwa pembiayaan adalah sumber pendapatan bank yang terbesar,
namun sekaligus merupakan sumber risiko operasi bisnis yang terbesar. Pembiayaan
bermasalah bahkan menjadi kategori macet menjadi masalah bagi bank syariah,
karena dengan adanya pembiayaan bermasalah bukan saja menurunkan pendapatan
bagi bank syariah tetapi juga menggerogoti jumlah dana operasional dan likuiditas
keuangan bank syariah, yang akhirnya akan menggoyahkan kesehatan bank syariah
dan pada akhirnya akan merugikan nasabah penyimpan/nasabah investor. Hal ini
dikarenakan sebagian besar dana yang dipergunakan oleh bank syariah dalam
menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan adalah dana nasabah
penyimpan/nasabah investor, sehingga dana nasabah penyimpan/nasabah investor
wajib mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, diperlukan manajemen risiko
untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalian risiko yang sesuai
dengan kegiatan usaha perbankan syariah. Langkah-langkah yang dilakukan bank
syariah tersebut dalam rangka memitigasi risiko harus mempertimbangkan kesesuaian
dengan Prinsip Syariah.

Kegiatan usaha bank syariah oleh karena senantiasa dihadapkan pada risiko-
risiko yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan
dan perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan syariah yang
semakin pesat mengakibatkan risiko kegiatan usaha perbankan syariah semakin

14
kompleks salah satunya, yaitu risiko pembiayaan maka seyogyanya bank syariah
dalam menjalankan kegiatan usahnya harus berhati-hati dalam mengelola risiko-
risiko tersebut, karena akan berdampak pada kesehatan bank syariah, yang pada
akhirnya tidak menutup kemungkinan bank syariah akan kesulitan likuditas dan
berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat sehingga masyarakat akan menarik
dananya secara bersamaan, apabila hal ini terjadi maka akan sangat berpengaruh pada
keberadaan bank syariah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Nurul Ichsan, Pengantar Perbankan Syariah, Jakarta: Kalam Mulia, 2013.
Karim, Adimarwan A., Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013.
Naja, H. R. Daeng, Akad Bank Syariah, Yogyakarta: Yustisia, 2011.
Rachmadi, Usman, S. M., Produk dan Akad Perbankan Syari’ah, Implementasi dan
Aspek Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009.
Sudarsono, H., Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Ekonisia, 2007

16

Anda mungkin juga menyukai