Goosebumps 19MasalahBesar PDF
Goosebumps 19MasalahBesar PDF
Stine:
Masalah Besar
(Goosebumps # 19)
Billy dan adiknya, Sheena mengunjungi Dr. Deep di sebuah kepulauan kecil laut
Karibia. Tempat itu benar-benar menyenangkan untuk penyelaman bawah laut, dan
Billy sudah siap bertualang.
Hanya ada satu larangan: jangan dekat gosong karang! Padahal gugus karang itu
sangat memikat dan laut di sekitarnya begitu tenang. Billy tidak dapat menahan
dirinya lebih lama lagi.
Ternyata dia tidak sendirian di laut. Sesuatu yang misterius ada di bawah sana.
Sesuatu yang berwarna gelap dan bersisik.
Sesuatu yang berbentuk setengah manusia setengah ikan....
Goosebumps
ENAM puluh meter di bawah permukaan laut—di situlah aku kini berada.
Aku tengah terlibat dalam perburuan terbesar seumur hidupku.
Perburuan Pari Putih Raksasa.
Begitulah orang-orang di Markas Penjaga Pantai menjulukinya. Tapi aku
memanggilnya "Joe".
Ikan pari rakasa itu telah menyengat sepuluh orang saat mereka sedang berenang di
laut. Orang-orang sampai tak berani masuk ke air.
Seluruh kawasan pesisir dilanda ketakutan.
Karena itulah aku dipanggil.
William Deep, Jr., dari Baltimore, Maryland.
Ya, William Deep, Jr., penjelajah dunia bawah air yang di usia kedua belas sudah
tersohor di seantero dunia. Orang yang telah berhasil memecahkan masalah-
masalah mengerikan di samudera.
Akulah yang menangkap Hiu Putih Raksasa yang meneror Pantai Myrtle. Dan aku
membuktikan bahwa dia tidak sehebat yang disangka orang!
Akulah yang bertarung melawan gurita raksasa yang memangsa seluruh anggota
Regu Kejuaraan Selancar California.
Aku pula yang menggulung belut listrik yang membuat pantai-pantai di Miami jadi
tidak aman.
Tapi kini aku tengah mengejar lawan paling berat yang pernah kuhadapi. Joe, si
Pari Putih Raksasa.
Di suatu tempat, jauh di bawah permukaan laut, dia telah menanti kedatanganku.
Aku telah melengkapi diriku dengan segala sesuatu yang kubutuhkan: baju selam,
sepatu katak, masker selam, tabung, oksigen, serta pelontar panah beracun.
Tunggu dulu... rasanya ada yang bergerak di belakang sana. Di balik kerang
raksasa itu.
Aku membidikkan senjataku dan bersiap-siap menghadapi serangan dadakan.
Lalu, tiba-tiba saja, masker selamku mulai berembun. Aku tak bisa bernapas.
Aku berjuang keras untuk menarik napas. Namun tak ada udara yang mengisi paru-
paruku. Tabung oksigenku! Seseorang telah mengotak-atik tabung oksigenku!
Aku tak boleh membuang-buang waktu Enam puluh meter di bawah permukaan
laut—tanpa oksigen! Aku harus segera naik —secepatnya!
Aku mengayunkan kaki dan berusaha mati-matian untuk mencapai permukaan.
Aku terus menahan napas, sampai paru-paruku serasa mau pecah.
Ayunan kakiku semakin lemah, dan pandanganku mulai berkunang-kunang.
Mungkinkah aku berhasil? Ataukah aku akan bernasib nahas dan tewas di sini,
jauh di bawah permukaan laut, lalu menjadi santapan Joe si Pari?
Panik melanda diriku bagaikan gelombang pasang. Dengan kalang-kabut aku
mencari-cari rekan selamku melalui maskerku yang berembun. Kenapa dia tak
pernah kelihatan kalau aku membutuhkannya?
Akhirnya aku melihatnya berenang di permukaan, di dekat perahu kami.
Tolong! Selamatkan aku! Aku kehabisan udara!
Aku berusaha memberi isyarat dengan melambai-lambaikan tangan seperti orang
gila.
Akhirnya dia melihatku. Dia berenang ke arahku dan menarik tubuhku yang lemas
ke permukaan.
Aku langsung merenggut masker selam dari wajahku dan menghirup udara sambil
megap-megap.
"Hei, Aqua Man, kau kenapa sih?" dia bertanya. "Kau diuber ubur-ubur, ya?"
Rekan selamku sangat berani, meskipun dia perempuan. Dia selalu tertawa jika
menghadapi bahaya.
Aku masih terengah-engah. "Tak ada udara. Tabung... oksigen... rusak...."
Kemudian semuanya menjadi gelap.
KAKIKU seperti terbakar, seakan-akan menginjak bara api. Rasa nyeri yang
berdenyut-denyut menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku menjerit dan langsung terjun ke dalam air. Waktu kepalaku muncul di
permukaan, aku mendengar Sheena berteriak, "Dr. D.! Cepat!"
Walaupun sudah terendam dalam air laut yang dingin, kakiku tetap saja seperti
terbakar.
Dr. D. berenang menghampiriku. "Billy, ada apa lagi sekarang?" dia bertanya.
"Aku melihatnya melakukan sesuatu yang benar-benar tolol," ujar Sheena sambil
nyengir.
Kalau saja kakiku tidak begitu nyeri, aku pasti sudah menonjok adikku yang sok
tahu itu. "Kakiku!" aku mengerang-erang. "Aku menginjak karang... dan... dan..."
Dr. D berpegangan pada ban pelampung yang melingkar pada pinggangku. “Oh.
Itu memang menyakitkan”, dia berkomentar sambil menepuk-nepuk pundakku,
tapi tidak berbahaya kok. Sebentar lagi nyerinya akan hilang sendiri."
Dia menunjuk gosong karang. "Karang merah itu disebut koral api."
"Hah? Koral api?" Aku ikut menoleh ke gosong karang itu.
"Ya ampun, aku saja tahu itu!" kata Sheena. "Koral itu dilapisi zat beracun,"
pamanku melanjutkan. "Kalau kena kulit, rasanya seperti terbakar." Kenapa dia
baru bilang sekarang? aku bertanya dalam hati.
"Masa sih kamu tak tahu?" tanya Sheena dengan nada mengejek.
Dia memang cari gara-gara. Sebentar lagi kesabaranku sudah habis.
"Kau masih beruntung karena kakimu hanya serasa terbakar," kata Dr. D. "Koral
sering kali tajam sekali. Kalau kakimu terluka, racun itu bisa masuk ke aliran
darahmu. Nah, kalau sudah begitu, akibatnya bisa betul-betul gawat."
"Wow! Seperti apa sih akibatnya?" tanya Sheena. Sepertinya dia ingin sekali
mengetahui segala hal buruk yang bisa menimpa diriku.
Roman muka Dr. D. menjadi serius. "Kau bisa lumpuh akibat racun itu," katanya.
"Oh!"
"Jadi, mulai sekarang jauhilah gosong karang itu," Dr. D. mewanti-wanti. "Dan
jangan main-main di laguna."
"Tapi monster lautnya kan tinggal di situ!" aku memrotes. "Kita harus kembali ke
situ. Aku harus memperlihatkannya kepada Paman!"
Sheena mengapung-apung di air yang biru-kehijauan. "Mana ada, mana ada," dia
bersenandung. Ungkapan kegemarannya. "Monster laut cuma ada dalam dongeng...
ya, kan, Dr. D.?"
"Hmm, kita tidak bisa memastikannya," balas Dr. D. "Masih banyak penghuni
samudra yang belum kita ketahui, Sheena. Untuk sementara saya hanya bisa
mengatakan bahwa para ilmuwan belum pernah melihat monster laut."
"Nah, apa kubilang, She-Ra," kataku.
Sheena menyemburkan air ke arahku. Dia paling benci dipanggil She-Ra olehku.
"Anak-anak... saya serius. Saya minta kalian menjauhi tempat ini," ujar Dr. D.
"Kemungkinan besar memang tidak ada monster laut di laguna, tapi mungkin ada
hiu, ikan beracun, atau belut listrik. Laguna seperti ini merupakan tempat tinggal
bagi berbagai macam makhluk berbahaya. Jadi jangan berenang ke sana."
Dia lalu diam menatapku, seakan-akan ingin memastikan bahwa aku
memperhatikan ucapannya.
"Bagaimana kakimu sekarang, Billy?" tanyanya kemudian.
"Sudah mendingan," jawabku.
"Bagus. Nah, rasanya petualangan kita sudah cukup untuk pagi ini. Ayo, kita
kembali ke kapal. Sudah hampir waktunya makan siang."
Kami semua berenang menuju Cassandra. Tiba-tiba kakiku seperti digelitik lagi.
Rumput laut?
Bukan.
Rasanya seperti... jari.
"Jangan macam-macam, Sheena!" aku berseru dengan kesal. Aku berbalik untuk
mencipratkan air ke wajahnya.
Tapi dia tidak kelihatan. Dia tidak berada di helakangku.
Dia berenang di depan, di samping Dr. D. Berarti bukan dia yang menggelitik
kakiku. Tapi aku yakin kakiku barusan terkena sesuatu.
Aku menatap ke bawah. Tiba-tiba saja aku kembali dicekam ketakutan.
Apa yang ada di bawah sana? Apa yang menjailiku seperti itu?
Apa yang sedang bersiap-siap untuk mencengkeramku dan menarikku ke bawah
untuk selama-lamanya?
PUTRI duyung!
Apakah dia serius?
Mula-mula aku sendiri juga tidak percaya. Masa sih dia meminta pamanku
menangkap putri duyung?
Kalau Sheena sempat mendengarnya, dia pasti langsung bersenandung, "Mana ada,
mana ada." Tapi orang yang berbicara dengan pamanku adalah orang dewasa,
seorang pria yang bekerja untuk sebuah kebun binatang, dan dia bicara soal putri
duyung. Berarti dia memang serius!
Jantungku mulai berdegup-degup. Kemungkinan aku akan termasuk orang pertama
di bumi yang melihat putri duyung! aku berkata dalam hati.
Dan kemudian sebuah pikiran yang lebih mengasyikkan lagi terlintas dalam
benakku, Wah, bagaimana kalau aku yang menemukannya?
Aku bakal terkenal! Aku bakal masuk TV! William Deep, Jr., si penjelajah dunia
bawah air yang tersohor!
Nah, setelah mendengar percakapan itu, aku tidak bisa berlalu begitu saja. Aku
harus mendengar kelanjutannya.
Sambil menahan napas aku menempelkan telingaku ke daun pintu.
"Mr. Showalter, Miss Wickman, saya harap Anda mengerti," aku mendengar Dr.
D. berkata. "Saya ilmuwan, bukan pelatih sirkus. Pekerjaan saya bersifat ilmiah.
Saya tidak bisa membuang-buang waktu dengan mengejar makhluk dongeng."
"Kami sangat serius, Dr. Deep," ujar Miss Wickman. "Di perairan ini memang ada
putri duyung. Dan kalau ada yang bisa menemukannya, Andalah orangnya."
Aku mendengar Alexander bertanya, "Dari mana Anda tahu bahwa ada putri
duyung di sini?"
"Seorang nelayan dari salah satu pulau di dekat sini melihatnya," jawab pria dari
kebun binatang. "Dia mengaku sempat mendekati putri duyung itu —dan dia yakin
dia tidak salah lihat. Dia melihatnya di dekat gosong karang... gosong karang ini,
di lepas pantai Ilandra."
Gosong karang! Barangkali putri duyung itu hidup di dalam laguna!
Aku semakin merapat ke pintu. Aku harus mendengar setiap kata yang
diucapkannya.
"Nelayan-nelayan ini sangat percaya takhayul, Mr. Showalter," kata pamanku.
"Sudah bertahun-tahun saya mendengar cerita semacam ini….tapi takk pernah ada
alasan kuat untuk mempercayai kebenarannya."
"Pertama-tama kami juga tidak percaya," ujar Miss Wickman. "Tapi kemudian
kami menanyakan hal ini kepada beberapa nelayan lain, dan mereka pun mengaku
pernah melihat putri duyung tersebut. Dan saya pikir mereka bicara apa adanya.
Ciri-ciri yang mereka sebutkan cocok satu sama lainnya—sampai ke detail yang
paling kecil."
Aku mendengar kursi kerja pamanku berderak-derak. Aku membayangkan dia
membungkuk ke depan ketika bertanya, "Dan bagaimana tepatnya ciri-ciri yang
mereka sebutkan?"
"Mereka bilang putri duyung itu menyerupai gadis muda," Mr. Showalter
memberitahunya. "Kecuali...," ia berdeham, "...ekor ikannya. Dia kecil, berbadan
langsing, dengan rambut pirang yang panjang."
"Mereka bilang bahwa ekornya mengilap dan berwarna hijau cerah,"
Miss Wickman menambahkan. "Saya tahu ini kedengarannya tidak masuk akal, Dr.
Deep. Tapi setelah bicara dengan para nelayan, kami jadi yakin bahwa mereka
benar-benar melihat putri duyung!"
Suasana hening sejenak.
Jangan-jangan ada ucapan yang tak terdengar olehku. Aku merapatkan telingaku
ke daun pintu. Pamanku berkata, "Dan kenapa Anda ingin menangkap putri
duyung itu?"
"Anda tentu mengerti bahwa putri duyung itu akan menjadi atraksi spektakuler di
kebun binatang kami," Miss Wickman menjelaskan.
"Orang orang akan berdatangan dari seluruh dunia untuk melihatnya. Marina Zoo
akan meraih keuntungan jutaan dolar."
"Kami bersedia membayar mahal untuk jasa-jasa Anda, Dr. Deep," Mr. Showalter
angkat bicara. "Saya dengar Anda mulai kehabisan uang. Bagaimana kalau pihak
universitas menolak untuk memberikan dana tambahan? Rasanya sayang kalau
pekerjaan Anda yang demikian penting terpaksa berhenti karena hal sepele seperti
itu."
"Marina Zoo akan memberikan satu juta dolar kepada Anda," ujar Miss Wickman.
"Kalau Anda bisa menangkap putri duyung itu. Saya percaya uang sebanyak itu
bisa menopang riset Anda untuk waktu yang lama."
Satu juta dolar! aku berkata dalam hati. Mana mungkin Dr. D. menolak uang
sebanyak itu?
Jantungku berdebar-debar. Aku menempelkan telinga ke pintu untuk mendengar
jawaban pamanku.
SAMBIL bersandar pada pintu, aku mendengar Dr.D. bersiul perlahan. "Uih, itu
cukup banyak, Miss Wickman," aku mendengarnya berkata.
Suasana kembali hening. Kemudian dia melanjutkan, "Tapi kalau memang ada
putri duyung, saya akan merasa berdosa sekali kalau saya menangkapnya untuk
dipamerkan di sebuah kebun binatang."
"Saya jamin kami akan merawatnya dengan baik," balas Mr. Showalter. "Lumba-
lumba dan paus-paus piaraan kami diurus dengan sebaik mungkin. Tapi putri
duyung itu tentu saja akan memperoleh perlakuan istimewa."
"Dan jangan lupa, Dr. Deep," Miss Wickman menimpali, "kalau bukan Anda yang
menangkap putri duyung itu, maka orang lain akan melakukannya. Dan tak ada
jaminan bahwa mereka akan memperlakukannya sebaik kami."
“Hmm, benar juga," aku mendengar pamanku bergumam. "Riset saya akan maju
pesat kalau saya bisa menemukannya."
Kalau begitu Anda setujur Mr. Showalter bertanya dengan berapi-api.
Jawab ya, Dr. D.! aku berkata dalam hati. Terima saja tawaran mereka!
Kutempelkan seluruh tubuhku ke daun pintu.
"Ya," jawab pamanku. "Kalau memang ada putri duyung di sini, saya akan
menemukannya."
Bagus! pikirku.
"Bagus," kata Miss Wickman.
"Keputusan yang tepat," Mr. Showalter menambahkan penuh semangat. "Dari
pertama saya sudah tahu bahwa kami mendatangi orang yang tepat untuk pekerjaan
ini."
"Kami akan kembali dalam beberapa hari untuk melihat bagaimana kemajuan yang
Anda capai. Saya harap saat itu Anda sudah bisa memberikan kabar gembira
kepada kami," kata Miss Wickman.
"Waktunya singkat sekali," aku mendengar Alexander berkomentar.
"Kami tahu," balas Miss Wickman. "Tapi semakin cepat dia ditemukan, semakin
baik."
"Dan tolong," Mr. Showalter menambahkan, "tolong Anda rahasiakan urusan ini.
Tak seorang pun boleh tahu tentang putri duyung ini. Anda tentu bisa
membayangkan apa yang terjadi seandainya..."
GEDUBRAK!
Aku kehilangan keseimbangan dan menabrak pintu.
Di luar dugaanku, pintunya membuka... dan aku terjerembap di tengah ruangan.
***
Malam itu aku menyelinap dari kabinku dan masuk ke air yang gelap.
Tanpa bersuara aku berenang ke arah laguna.
Aku menoleh dan memperhatikan Cassandra. Kapal itu mengapung dengan tenang.
Semua jendela kabin tampak gelap.
Bagus, aku berkata dalam hati. Semuanya sedang tidur. Tak ada yang tahu aku
pergi. Tak ada yang tahu aku ada di luar sini. Tak ada yang tahu aku berenang di
laut, sendirian, di tengah malam buta.
Dengan mantap aku mengayunkan tangan dan kaki di bawah cahaya bulan yang
keperakan. Aku mengitari gosong karang, lalu masuk ke laguna yang gelap.
Begitu melewati gosong karang, aku mengurangi kecepatan.
Aku memandang berkeliling. Ombak-ombak beralun pelan di sekitarku. Air laut
tampak berkilau,seolah-olah jutaan berlian kecil mengambang di permukaannya.
Di mana si putri duyung?
Aku tahu dia ada. Aku tahu aku akan menemukannya di sini.
Jauh di bawahku, aku mendengar bunyi bergemuruh.
Aku memasang telinga. Mula-mula bunyi itu terdengar perlahan, tapi makin lama
makin keras. Ombak pun bertambah besar.
Sepertinya ada gempa. Gempa di dasar laut.
Laut mulai bergolak. Aku harus berjuang keras agar tidak terbenam.
Ada apa ini?
Sekonyong-konyong sebuah gelombang raksasa muncul di tengah-tengah laguna.
Gelombang itu menjulang tinggi, bagaikan disembur dari perut bumi.
Tinggi, semakin tinggi. Menjulang di atas kepalaku. Setinggi bangunan!
Gelombang pasang? Bukan.
Gelombang itu pecah.
Makhluk berwarna gelap muncul dari bawahnya.
Air membasahi tubuhnya yang berbentuk aneh.
Mata tunggalnya menatapku dengan pandangan mengancam.
Tentakel-tentakelnya menjulur-julur. Aku menjerit.
Monster itu mengedipkan matanya yang cokelat.
Aku berbalik dan berusaha berenang menjauh. Tapi monster itu terlalu gesit.
Tentakelnya bergerak dengan cepat... dan menangkap diriku. Tentakel itu
mencengkeram pinggangku dengan erat.
Kemudian tentakel lain yang licin dan dingin melingkar pada leherku dan mulai
mencekik.
"AKU... aku tidak bisa napas!" aku berkata dengan susah payah.
Dengan sekuat tenaga aku menarik-narik tentakel yang melilit leherku.
"Tolong! Toloong!"
Aku membuka mata... dan menatap langit-langit. Aku berada di tempat tidur.
Di kabinku.
Tubuhku terlilit seprai.
Aku menarik napas panjang dan menunggu sampai detak jantungku kembali
normal. Rupanya aku berrmimpi.
Cuma bermimpi.
Aku menggosok-gosok mata, turun dari tempat tidur, lalu memandang ke luar
lewat jendela kabin. Matahari baru muncul di cakrawala.
Langit masih tampak merah, sedangkan permukaan laut terlihat keungu-unguan.
Sambil memicingkan mata aku memandang ke arah laguna. Semuanya serba
tenang. Tak ada monster laut.
Dengan lengan piama aku menyeka keringat yang membasahi keningku.
Tak perlu takut, aku berkata dalam hati. Itu cuma mimpi. Mimpi buruk.
Aku menggelengkan kepala untuk mengusir monster laut itu dari pikiranku.
Aku tidak boleh takut. Aku tidak boleh membiarkan apa pun menghalangi
pencarian putri duyung.
Apakah yang lain sudah bangun? Jangan-jangan aku sempat memekik keras-keras
waktu bermimpi tadi.
Aku pasang telinga. Yang terdengar hanya bunyi berderak dari kapal, serta suara
ombak yang menerpa lambung kapal.
Sinar matahari pagi membangkitkan semangatku.
Air yang gelap tampak mengundang sekali.
Aku cepat-cepat mengenakan celana renang dan menyelinap keluar dari kabin.
Aku bergerak dengan hati-hati, supaya tidak ada yang mendengarku.
Di galley aku melihat cangkir kopi yang sudah setengah kosong di atas alat
penghangat. Itu menandakan bahwa Dr. D. sudah bangun.
Aku mengendap-endap menyusuri gang dan pasang telinga. Aku mendengar Dr. D.
kasak-kusuk di lab utama.
Tanpa bersuara aku meraih snorkel, sepatu katak, dan masker selam.
Kemudian aku naik ke geladak. Tak ada siapa-siapa.
Semuanya aman.
Perlahan-lahan aku turun lewat tangga, masuk dalam air, lalu berenang ke laguna.
Aku tahu aku seharusnya tidak pergi diam-diam seperti itu. Tapi semangatku yang
menggebu-gebu tidak bisa diredam lagi. Biarpun aku sering membayangkan diriku
sebagai William Deep, Jr., si penjelajah dunia bawah air, aku tak pernah bermimpi
bakal melihat putri duyung!
Sambil berenang ke laguna, aku berusaha mengira-ngira seperti apa dia.
Mr. Showalter bilang bahwa putri duyung itu menyerupai gadis muda dengan
rambut pirang yang panjang dan ekor ikan berwarna hijau.
Ajaib juga, pikirku.
Setengah manusia, setengah ikan.
Aku berusaha membayangkan bagaimana rasanya kalau kakiku diganti dengan
ekor ikan.
Wah, aku bakal jadi perenang paling jago di seluruh dunia kalau aku punya ekor
ikan, aku meyimpulkan. Aku bisa memenangkan medali emas di Olimpiade tanpa
perlu berlatih.
Apakah dia cantik? aku bertanya dalam hati. Dan, apakah dia bisa bicara? Mudah-
mudahan saja bisa. Kalau begitu kan dia bisa menceritakan segala rahasia samudra
padaku.
Hmmm bagaimana caranya dia bernapas di dalam air?
Apakah dia berpikir seperti manusia, atau seperti ikan?
Begitu banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Ini bakal jadi petualangan terbesar dalam hidupku, aku berkata dalam hati. Setelah
aku jadi orang terkenal, aku akan menulis buku untuk menceritakan semua
petualanganku di bawah air. Aku bahkan sudah tahu judulnya, Courage of the
Deep, oleh William Deep, jr, Dan siapa tahu kelak ada produser yang berminat
untuk mengangkatnya ke layar perak.
Aku memandang ke depan dan menyadari bahwa aku sudah berada di dekat
gosong karang. Kali ini aku sengaja menjaga jarak. Satu kali terkena koral api
sudah lebih dari cukup.
Aku sudah tidak sabar untuk menyelidiki laguna itu. Aku begitu bersemangat,
sehingga aku lupa soal mimpi buruk yang menghantuiku semalam.
Kugerakkan kakiku dengan hati-hati, sambil berjaga-jaga agar aku tidak
menyentuh koral merah.
Aku sudah hampir melewati gosong karang ketika aku merasakan sesuatu
mengenai kakiku.
"Oh!" aku langsung berseru, dan tahu-tahu aku sudah menelan seteguk air laut.
Seketika aku terbatuk-batuk.
Tapi kemudian aku merasakan sesuatu menggenggam mata kakiku.
Aku merasakan kulitku tergores sesuatu yang tajam.
Kali ini aku yakin bahwa itu bukan rumput laut. Soalnya rumput laut tidak punya
cakar!
10
SAMBIL berenang dengan cepat, aku mengangkat kepala untuk mencari tempat
yang aman untuk melewati gosong karang api.
Sekali lagi aku melihat sesuatu melompat dari air. Kali ini di seberang laguna. Di
dekat pantai. Itu pasti si putri duyung! pikirku dengan semangat menggebu-gebu.
Aku sampai melotot agar bisa melihat lebih jelas.
Sepertinya aku melihat sebuah sirip.
Kini aku telah memasuki perairan laguna yang dalam dan tenang. Aku memandang
berkeliling.
Tapi masker selamku ternyata kemasukan air, sehingga aku tidak bisa melihat apa-
apa.
Brengsek! aku mengumpat. Kenapa harus sekarang?
Aku berhenti untuk menghirup udara, lalu melepas maskerku. Aku hanya bisa
berharap bahwa aku tidak kehilangan jejak si putri duyung gara-gara ini.
Aku menyeka air dari mataku. Lalu, sambil membiarkan maskerku menggelantung
pada pergelangan tanganku, aku memandang ke laguna.
Saat itulah aku melihatnya. Beberapa ratus meter dari tempatku berada.
Bukan ekor ikan berwarna hijau si putri duyung. Sirip yang kulihat berbentuk
segitiga berwarna putih-kelabu yang menyembul tegak lurus dari permukaan air.
Sirip punggung seekor hiu martil.
Sementara aku membelalakkan mata, sirip itu berbalik, lalu melesat ke arahku...
kencang dan lurus bagaikan torpedo.
12
DI mana Sheena?
Apakah dia masih di belakangku?
Aku menengok ke belakang. Aku melihatnya di kejauhan, berenang ke arah kapal.
Tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan Sheena, soalnya sirip kelabu tadi
sudah semakin dekat.
Aku mengayun-ayunkan tangan. Dengan kalang kabut aku mencoba berenang
menjauh.
Tapi waktu ikan hiu itu melewatiku, aku langsung berhenti.
Barangkali dia akan pergi kalau aku diam saja.
Barangkali dia takkan menggangguku.
Dengan jantung berdebar-debar aku mulai berenang ke arah lain, yaitu ke arah
gosong karang.
Menjauhi hiu itu.
Pandanganku terus melekat pada siripnya.
Ikan itu mulai berputar dan akhirnya kembali menuju ke arahku.
"Ohhh!" aku mendesah ketika menyadari bahwa hiu itu berenang mengelilingiku.
Aku jadi bingung ke arah mana aku harus berenang. Hiu itu berenang di antara aku
dan kapal Dr. D. Mungkin akan lebih aman kalau aku berbalik dan memanjat ke
gosong karang.
Sirip itu kembali mendekat.
Aku melesat ke arah gosong karang. Aku tahu hahwa aku harus mempertahankan
jarak antara aku dan hiu itu.
Tiba-tiba siripnya muncul di hadapanku... di antara aku dan gosong karang.
Hiu itu terus mengelilingiku dalam lingkaran yang semakin kecil.
Semakin lama, kecepatannya pun terus bertambah.
Aku terjebak. Tapi aku tidak bisa diam saja. Aku tidak bisa mengapung sambil
menunggu sampai hiu itu memangsaku.
Aku harus melawan. Dengan panik aku menendang-nendang sewaktu mendekati
gosong karang.
Aku sudah hampir sampai. Tapi hiu itu pun berenang dalam lingkaran yang
semakin kecil.
Napasku terengah-engah. Aku tidak sanggup berpikir dengan tenang.
Aku terlalu ketakutan. Dua kata terus mengiang-ngiang di telingaku, Ikan hiu. Ikan
hiu.
Terus-menerus. Ikan hiu. Ikan hiu.
Hiu itu tetap mengelilingiku. Ekornya menyambar dan membasahi kepalaku
dengan percikan air. Ikan hiu. Ikan hiu.
Dengan mata terbelalak aku menatap monster itu. Dia begitu dekat, sehingga aku
bisa melihat dengan jelas. Dia besar... panjang badannya paling tidak tiga meter.
Kepalanya lebar dan mengerikan,seperti kepala martil, dengan satu mata pada
masing-masing ujungnya.
Aku mendengar suaraku sendiri, merintih-rintih, "Jangan... jangan..."
Tiba-tiba kakiku terbentur sesuatu.
Ikan hiu. Ikan hiu.
Perutku serasa diaduk-aduk. Aku mendongakkan kepala dan menjerit sejadi-
jadinya.
"Aaaauuu!"
Rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhku.
Hiu itu telah menabrakku dengan moncongnya. Badanku terangkat dari air, lalu
jatuh berdebam. Air bercipratan ke segala arah.
Aku diam seperti patung.
Hiu itu lapar.
Dia mencari mangsa.
Dia kembali berenang mengelilingiku, lalu meluncur tepat ke arahku.
Mulutnya menganga lebar. Aku melihat giginya tajam dan runcing... deretan demi
deretan.
Suaraku terdengar parau ketika aku berteriak, "JANGAN!"
Dengan panik aku memukul-mukul permukaan air. Aku menendang-nendang
dengan sekuat tenaga.
Gigi-gigi tajam itu lewat di samping kakiku. Jaraknya hanya beberapa senti.
Gosong karang. Aku harus naik ke gosong karang. Itu satu-satunya kesempatan
yang kumiliki.
Tanpa membuang-buang waktu aku berenang ke gosong karang. Hiu itu langsung
mengejar. Tapi sekali lagi aku berhasil mengelak dari sambaran giginya.
Aku meraih tonjolan koral merah di hadapanku. Seketika tanganku seperti
terbakar. Koral api!
Aku tidak peduli.
Puncak gosong karang berada tepat di atas permukaan air. Aku berusaha menarik
diriku ke atasnya. Seluruh tubuhku terasa perih.
Aku sudah hampir berhasil. Sedikit lagi. Dalam beberapa detik aku sudah aman.
Aku mengerahkan seluruh tenaga untuk naik ke gosong karang... tapi sekonyong-
konyong aku kembali ke dalam air.
Perutku membentur gosong karang. Kakiku nyeri seperti ditusuk-tusuk.
Aku berusaha membebaskan kakiku. Tapi sia-sia. Kakiku dicengkeram oleh gigi
hiu itu.
Pikiranku berteriak-teriak dengan ngeri.
Ikan hiu. Ikan hiu.
Dia berhasil menangkapku!
13
SELURUH tubuhku seperti terbakar. Aku tak sanggup mencegah tubuhku merosot
kembali ke dalam air. Hiu itu tahu bahwa aku tak mungkin lolos. Aku tak punya
tenaga lagi untuk melawannya.
Tiba-tiba ada cipratan air di dekatku.
Hiu itu lalu melepaskan kakiku dan melesat ke arah cipratan itu.
Tapi aku tak sempat menarik napas lega. Hiu itu segera kembali menerjang ke
arahku.
Aku memejamkan mata dan memekik dengan suara melengking.
Satu detik berlalu. Kemudian satu detik lagi.
Tidak terjadi apa-apa.
Aku mendengar suara benturan.
Dengan waswas aku membuka mata.
Ternyata di antara aku dan hiu itu ada sesuatu beberapa meter di hadapanku.
Aku membelalakkan mata. Air di sekitarku bergolak hebat. Sebuah ekor panjang
berwarna hijau mengilap muncul dari air, lalu menghilang lagi.
Hiu itu diserang ikan lain!
Hiu itu berputar, lalu balik menyerang. Ekor hijau tadi menghantam kepalanya
dengan keras, dan hiu itu lenyap di bawah air.
Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi. Aku hanya melihat gelombang-gelombang
berbuih putih di sekelilingku.
Di mana-mana air tampak bergolak, bercipratan,dan berbuih. Di tengah kekacauan
itu aku mendengar pekikan binatang bernada melengking. Lho, hiu kan tidak
bersuara? aku brkata dalam hati. Dari mana suara itu berasal?
Hiu itu muncul di permukaan. Mulutnya yang penuh gigi menganga lebar. Dia
menggigit sesuatu, satu kali, dua kali. Tapi gigitannya selalu luput dari sasaran.
Ekor ikan yang panjang dan hijau tadi naik dari air, lalu menghunjam dengan
keras, menghantam si hiu tepat di kepalanya.
Hiu itu langsung mengatupkan mulut dan kembali menghilang dari pandangan.
Kemudian aku mendengar bunyi benturan yang keras. Seketika airnya berhenti
bergolak.
Sedetik kemudian sebuah sirip kelabu menyembul beberapa meter di hadapanku,
segera melesat ke arah berlawanan.
Hiu itu kabur!
Sambil melongo aku menatap ekor ikan berwarna hijau yang tampak melengkung
di atas permukaan air.
Setelah air di sekelilingku kembali tenang, aku mendengar suara merdu—indah,
tapi sekaligus agak sedih. Seperti suara orang bersiul, sekaligus berdengung.
Kedengarannya seperti suara paus. Tapi makhluk ini jauh lebih kecil dibandingkan
paus.
Ekor hijau itu berputar. Kemudian kepala makhluk tersebut muncul dari bawah air.
Sebuah kepala dengan rambut panjang berwarna pirang.
Si putri duyung!
14
15
"BILLY... Astaga!"
Aku mengintip lewat lubang-lubang jaring dan mengenali Sheena dan Dr. D.
Mereka bekerja keras untuk menarik kami naik ke sekoci.
Sheena menatap aku dan si putri duyung sambil terbengong-bengong.
Dr. D. pun membelalakkan matanya. Dia bahkan lupa mengatupkan mulutnya.
"Kau menemukannya, Billy!" dia berkata. "Kau berhasil menemukan putri duyung
itu!"
"Keluarkan aku dari jaring ini!" seruku. Entah kenapa, aku tidak segembira yang
kubayangkan kalau berhasil menangkap si putri duyung.
"Orang-orang kebun binatang ternyata benar!" Dr. D. bergumam perlahan. "Ini
benar-benar luar biasa. Menakjubkan. Hari bersejarah...."
Dengan keras kami membentur dasar sekoci. Si putri duyung menggeliat-geliut di
sampingku sambill berdecak-decak dengan nada gusar.
Dr. D. mengamatinya dengan saksama. Dengan hati-hati dia menyentuh ekornya.
Si putri duyung mengibaskan ekornya sehingga membentur dasar sekoci dengan
keras.
"Jangan-jangan ini hanya tipuan, ujar Dr. D. seakan-akan berbicara pada dirinya
sendiri.
"Billy... kau mau mempermainkan kami, ya?" Sheena bertanya dengan curiga.
"Ini bukan tipuan," sahutku. "Dan sekarang tolong keluarkan aku dari sini! Jaring
ini sangat tidak nyaman."
Mereka tidak menggubrisku.
Sheena mengulurkan tangan dan menyentuh sisik-sisik pada ekor si putri duyung.
"Oh," dia bergumam. "Ternyata dia putri duyung sungguhan."
"Tentu saja dia putri duyung sungguhan!" aku berseru. "Aku juga manusia
sungguhan, dan kami sama-sama tidak suka terperangkap seperti ini."
"Habis, bagaimana aku bisa percaya padamu,"balas Sheena dengan ketus. "Dari
pertama kita tiba di sini, kau selalu berkoar soal monster laut."
"Aku memang melihat monster laut!" aku berseru.
"Jangan bertengkar, anak-anak," ujar Dr. D. "Lebih baik kita bawa tangkapan kita
kembali ke kapal." Dia menyalakan mesin sekoci dan kami melaju ke arah
Cassandra.
Alexander telah menanti kami di atas geladak.
"Wow, ternyata benar!" dia berseru. "Ternyata putri duyung memang ada!"
Sheena menambatkan sekoci pada sisi Cassandra, sementara Dr. D. dan Alexander
mengangkat aku dan si putri duyung ke atas kapal.
Dr. D. membuka jaring dan membantuku keluar.
Si putri duyung mengibaskan ekornya, dan malah semakin terjerat.
Alexander menyalamiku. "Aku benar-benar bangga padamu, Billy. Bagaimana kau
bisa menangkapnya? Luar biasa." Penuh semangat dia menepuk-nepuk
punggungku. "Kau sadar bahwa ini temuan terbesar di bidang kelautan dalam abad
ini? Mungkin malah sepanjang zaman?"
"Terima kasih," kataku. "Tapi aku tidak melakukan apa-apa. Bukan aku yang
menemukan dia... dia yang menemukan aku."
Si putri duyung mengibas-ngibaskan ekornya dengan keras. Pekikannya bertambah
melengking dan sepertinya dia semakin ketakutan.
Alexander langsung cemas. "Kita harus melakukan sesuatu untuknya," dia berkata
dengan nada mendesak.
"Dr. D., dia harus dibebaskan lagi," ujarku. "Dia harus berada di dalam air."
"Saya akan mengisi tangki besar dengan air laut, Dr. D.," kata Alexander. Tanpa
menunggu jawaban langsung bergegas untuk mengisi tangki itu.
"Kita belum bisa melepaskannya, Billy," ujar Dr. D. "Sebelumnya kita harus
membuat penelitian dulu.” Matanya tampak bersinar-sinar. Namun dia juga
menyadari bahwa aku tidak setuju. "Kita takkan menyakitinya, Billy. Dia akan
kita urus dengan sebaik-baiknya."
Pandangannya beralih ke kakiku, dan dia mengerutkan kening. Dia berlutut untuk
memeriksa kakiku.
"Kakimu berdarah, Billy," katanya. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja," jawabku. "Tapi si putri duyung tidak."
Komentarku tak digubrisnya.
"Bagaimana kakimu bisa terluka?" Dr. D. bertanya.
"Aku diserang ikan hiu”, aku memberitahunya. "Tapi persis waktu hiu itu mau
menggigit kakiku, si putri duyung muncul. Dia menyelamatkan aku. Coba kalau
Paman sempat melihat bagaimana dia melawan ikan hiu itu."
Dr. D. menatap si putri duyung sambil membelalakkan mata.
"Wow," ujar Sheena. "Dia mengusir ikan hiu? Sendirian?”
Dengan geram si putri duyung mengibaskan ekornya yang panjang, sehingga
membentur-bentur geladak kapal.
"EEEEE! EEEEE!" dia memekik-mekik dengan nada melengking.
"Kakiku tidak penting!" aku berseru. "Paman harus membebaskannya!”
Dr. D. berdiri sambil menggelengkan kepala. "Billy, Paman ilmuwan. Putri duyung
ini merupakan temuan yang sangat penting. Kalau Paman membebaskannya,
berarti Paman mengecewakan segenap masyarakat ilmiah. Bahkan seluruh dunia!"
"Paman hanya memikirkan uang sejuta dolar itu!" aku bergumam.
Aku sadar bahwa tuduhanku tidak beralasan, tapi aku tak dapat menahan diri. Aku
tidak tega melihat si putri duyung merana seperti itu.
Dr. D. tampak sakit hati.
"Itu tidak adil, Billy," dia berkata. "Kau kan tahu bahwa Paman takkan berpikiran
seperti itu."
Aku tidak berani menatapnya, Aku menundukkan kepala dan berlagak memeriksa
luka di kakiku. Luka itu tidak parah. Aku menggunakan kain kasa yang diberikan
Alexander untuk menghentikan darah yang masih terus mengalir.
"Paman membutuhkan uang itu untuk melanjutkan penelitian," Dr. D.
menjelaskan. "Paman takkan memanfaatkan putri duyung ini untuk memperkaya
diri."
Itu benar. Aku tahu persis bahwa Dr. D. tak pernah berniat menjadi orang kaya.
Satu-satunya keinginannya adalah mempelajari ikan.
"Coba pikirkan, Billy. Kau menemukan putri duyung! Makhluk yang disangka
hanya ada dalam dongeng! Kita tidak bisa melepaskannya begitu saja. Kita harus
mempelajari sebanyak mungkin tentang dia,"Dr. D. berkata dengan semangat yang
meluap-luap.
Aku diam saja.
“Dia takkan disakiti, Billy. Percayalah."
Alexander kembali. "Tangkinya sudah siap, Dr.D,"
"Terima kasih." Dr. D. mengikutinya ke sisi seberang.
Aku melirik ke arah Sheena untuk memastikan di pihak mana dia berada. Apakah
dia mau menahan si putri duyung, atau melepaskannya?
Tapi Sheena hanya berdiri sambil membisu. Wajahnya tampak tegang.
Kelihatan sekali bahwa dia bingung, tidak tahu siapa yang benar.
Tapi waktu aku menatap si putri duyung, aku langsung tahu bahwa aku benar.
Dia akhirnya berhenti menggeliat-geliut dan mengibas-ngibaskan ekor. Kini dia
terbaring di geladak, terjerat di dalam jaring. Napasnya tersengal-sengal, dan dia
memandang ke laut dengan mata yang sedih dan berkaca-kaca.
Aku sampai menyesal karena aku menemukannya. Kuputuskan aku harus mencari
cara untuk membantunya pulang.
Dr. D. dan Alexander kembali lagi. Mereka menggotong si putri duyung berikut
jaring yan membelitnya. Alexander mengangkat ekornya, sementara Dr. D.
menahan kepalanya.
"Jangan takut, Putri Duyung," Dr. D. berkata dengan nada menenangkan. "Jangan
bergerak."
Sepertinya si putri duyung memahaminya. Di tidak memberontak sewaktu
diangkat. Tapi matanya berputar-putar, dan dia mengerang perlahan.
Dr. D. dan Alexander membawanya ke tangki kaca besar. Tangki itu kini berada di
geladak, dan dipenuhi air laut. Dengan hati-hati mereka menurunkannya ke dalam
air, lalu melepas jaring yang menjeratnya.
Kemudian mereka memasang tutup di atas tangki dan menguncinya.
Si putri duyung mengaduk-aduk air dengan ekornya. Lalu, berangsur-angsur,
gerakannya mulai melemah, sampai akhirnya dia diam sama sekali.
Tubuhnya tenggelam ke dasar tangki.
Dia tidak bergerak maupun bernapas.
"Oh!" aku berseru dengan gusar. "Dia mati! Dia mati! Kita membunuhnya!"
16
17
TANGANKU gemetaran ketika aku meraih ke atas untuk membuka tutup tangki.
Tangki itu lebih tinggi dari aku, dan aku belum tahu bagaimana akan
mengeluarkan si putri duyung dari situ. Tapi aku harus mencari jalan.
Ketika aku sedang berusaha mengangkat tutup tangki, si putri duyung mulai
memekik-mekik, "Eeee! EEEEEE!"
"Ssst! Jangan ribut!" aku memperingatkannya. Kemudian aku merasakan sebuah
tangan menggenggam lenganku. Aku langsung tersentak kaget. Sebuah suara berat
bertanya, "Sedang apa kau?"
Aku berbalik dan melihat Alexander berdiri di belakangku.
Aku segera menjauhi tangki, dan dia melepaskan lenganku.
"Billy, sedang apa kau tadi?" Alexander kembali bertanya.
"Aku mau membebaskan dia!" aku berseru. "Alexander, kita tidak bisa
menahannya di sini! Coba lihat, betapa sedihnya dia!"
Kami sama-sama menatap si putri duyung yang kembali meringkuk di dasar
tangki. Sepertinya dia mengerti bahwa aku ingin membantunya—dan bahwa
usahaku akhirnya gagal.
Aku melihat kesedihan yang terpancar di wajah Alexander. Aku tahu bahwa dia
merasa kasihan pada si putri duyung. Tapi dia harus menjalankan tugas.
Dia berpaling padaku dan melingkarkan lengannya pada pundakku.
"Billy," katanya, "kau harus mengerti betapa pentingnya putri duyung ini bagi
pamanmu. Seumur hidupnya dia bekerja untuk temuan seperti ini. Dia akan patah
semangat kalau kau melepaskan putri duyung ini."
Perlahan-lahan dia menggiringku menjauhi tangki. Aku menoleh ke arah si putri
duyung.
"Tapi bagaimana dengan dia?" aku bertanya sambil menunjuk. "Dia pasti juga
patah semangat karena disekap di dalam situ."
Alexander mendesah. "Aku tahu tangki itu bukan tempat yang ideal. Tapi ini cuma
untuk sementara. Tidak lama lagi dia bakal punya tempat yang luas untuk
berenang dan bermain."
Yeah, pikirku getir, sebagai atraksi di kebun binatang, ditonton oleh jutaan orang
setiap hari.
Alexander mengangkat lengannya dari pundakku dan mengusap-usap dagunya.
"Pamanmu penuh kasih sayang pada sesama makhluk hidup, Billy," dia berkata.
"Dia akan berusaha sekuat tenaga agar segala kebutuhan putri duyung ini
terpenuhi. Tapi dia berkewajiban untuk mengadakan penelitian. Hal-hal yang bisa
dipelajarinya mungkin akan membantu kita memahami dan menjaga samudra
dengan lebih baik. Itu penting, bukan?"
Aku mengangguk perlahan.
Aku tahu Alexander benar. Aku menyayangi Dr. D., dan aku tidak mau merusak
temuan besarnya ini.
Tapi aku tetap berpendapat bahwa si putri duyung tidak seharusnya menderita
demi ilmu pengetahuan.
"Ayolah, Billy," ujar Alexander sambil mengajakku ke bawah geladak. "Tadi aku
berjanji untuk menunjukkan cara kerja sonar probes, bukan? Nah, sekarang kita
masuk ke lab, dan aku akan memperlihatkannya."
Ketika kami mulai menuruni tangga, aku sekali lagi menoleh ke arah si putri
duyung. Dia masih meringkuk di dasar tangki. Dia menundukkan kepala, dan
rambutnya yang pirang mengambang bagaikan rumput laut.
Cara kerja sonar probes ternyata tidak semenarik yang kuduga. Alat itu sekadar
berbunyi "bip" kalau Cassandra terancam kandas.
Aku rasa Alexander pun sadar bahwa aku kurang tertarik. "Kau mau makan
siang?" dia akhirnya bertanya padaku.
Oh-oh. Makan siang. Sebenarnya aku memang lapar. Tapi aku tidak berminat
makan chicken salad yang pedasnya minta ampun.
Aku ragu-ragu. "Ehm, tadi aku sarapan banyak sekali….”
"Aku akan membuatkan hidangan istimewa," Alexander menawarkan. "Kita bisa
berpiknik di geladak bersama si putri duyung. Ayo."
Aku tak punya pilihan. Dengan enggan aku mengikutinya ke dapur.
Dia membuka lemari es kecil dan mengeluarkan sebuah mangkuk.
"Bumbunya kubiarkan meresap dari pagi," dia berkata.
Aku mengintip ke dalam mangkuk. Isinya ternyata irisan-irisan sesuatu yang
bewarna putih dan kenyal seperti karet. Semuanya setengah terendam dalam kuah
kental berwarna kelabu.
Apa pun itu, aku yakin aku tak bisa menelannya.
"Ini cumi-cumi bumbu cuka," Alexander menjelaskan. "Kutambahkan sedikit tinta
cumi supaya lebih gurih. Karena itulah kuahnya jadi kelabu."
"Hmmm," aku berkata sambil memutar-mutar bola mata. "Sudah lama aku tak
pernah makan tinta cumi."
"Jangan menyindir. Coba dulu, deh." Dia menyerahkan mangkuknya kepadaku.
"Nih, tolong bawa ke atas. Aku akan membawa roti dan es teh."
Aku membawa mangkuk berisi cumi itu ke geladak dan menaruhnya di dekat
tangki si putri duyung.
"Bagaimana keadaanmu?" aku bertanya padanya.
Dia menggoyangkan ekornya sedikit. Kemudian dia membuka dan menutup
mulutnya, seakan-akan mengunyah.
"Hei," ujarku, "kau lapar, ya?"
Dia terus memperagakan gerakan mengunyah Aku menatap mangkuk berisi cumi
di hadapanku.
Siapa tahu? pikirku. Mungkin saja dia suka cumi.
Aku memanjat ke sebuah peti dan membuka tutup tangki. Kemudian aku
melempar sepotong cumi yang kenyal seperti karet.
Si putri duyung langsung menyambar potongan itu dengan mulutnya.
Dia mengunyah, lalu tersenyum.
Dia suka!
Aku memberikan beberapa potong lagi. Dia melahap semuanya.
Aku menggosok-gosok perut. "Kau suka?" aku bertanya padanya. Kemudian aku
menganggukkan kepala.
Dia tersenyum lagi, lalu ikut mengangguk-angguk.
Dia mengerti!
"Sedang apa kau, Billy?" tanya Alexander. Dia sudah kembali ke geladak sambil
membawa dua piring dan roti tawar.
"Alexander, lihat!" aku berseru. "Aku bisa berkomunikasi dengannya!"
Sekali lagi kulemparkan sepotong cumi ke dalam tangki. Si putri duyung langsung
melahapnya. Kemudian dia mengangguk-anggukkan kepala.
"Itu artinya dia suka!" kataku.
"Wow," Alexander bergumam. Dia meletakkan piring-piring, mengeluarkan buku
notes, dan membuat catatan.
"Wah, ini asyik juga," ujarku. "Aku sudah jadi ilmuwan. Ya, kan, Alexander?"
Dia mengangguk, tapi terus menulis. “Maksudnya, aku orang pertama di dunia
yang berkomunikasi dengan putri duyung... ya, kan?" aku mendesak.
"Kalau dia cukup lama tinggal bersama kita, kau mungkin bisa bicara dengannya
dengan menggunakan bahasa isyarat," Alexander berkomentar. "Bayangkan
betapa banyak hal baru yang bisa kita pelajari!"
Dia bicara sambil menulis, "Suka makan cumi-cumi." Kemudian diletakkannya
pensilnya dan berkata, "Hei, itu kan makan siang kita!"
Oh-oh, pikirku. Mudah-mudahan dia tidak tersinggung.
Alexander menatapku. Dia menatap mangkuk cumi. Dia menatap si putri duyung.
Kemudian dia mulai tertawa.
"Akhirnya ada juga yang suka masakanku!" dia berseru.
Kira-kira satu jam kemudian, Dr. D. kembali dengan membawa perbekalan.
Untung saja dia membeli banyak makanan laut di Santa Anita. Kami memberikan
sebagian kepada si putri duyung untuk makan malam. Sementara si putri duyung
makan, Dr. D. memeriksa alat-alat ukur yang dipasang Alexander di tangki kaca.
"Hmm, ini menarik," Dr. D. berkomentar. "Dia mengirim sinyal sonar melalui air.
Persis seperti paus."
"Apa artinya?" tanya Sheena.
"Artinya, kemungkinan besar masih ada putri duyung yang lain," ujar Dr. D. "Dia
mencoba menghubungi mereka melalui suara bawah air."
Putri duyung yang malang, aku berkata dalam hati. Dia memanggil teman-
temannya. Dia minta diselamatkan.
Seusai makan malam aku masuk ke kabinku dan memandang ke luar lewat jendela
bulat yang kecil.
Matahari sedang terbenam di ufuk barat. Cahayanya yang keemasan membuat
permukaan laut berkilau-kilau. Angin sejuk bertiup lewat jendela.
Aku menyaksikan matahari berangsur-angsur menghilang. Langit langsung gelap,
seakan-akan seseorang memadamkan lampu.
Si putri duyung sendirian di geladak, pikirku. Dia pasti ketakutan. Dia jadi
tawanan. Terperangkap di dalam tangki ikan di tengah kegelapan.
Tiba-tiba pintu kabinku membuka. Sheena menyerbu masuk. Napasnya terengah-
engah, matanya membelalak.
"Sheena!" aku menegurnya dengan kesal. "Kenapa sih kau tidak ketuk pintu dulu
sebelum masuk?"
Dia tidak menggubrisku. "Billy!" dia berseru sambil tersengal-sengal. "Dia kabur!
Si putri duyung kabur!"
18
19
20
21
22
"ALEXANDER!" Dr. D. berseru. "Saya tahu kau bukan orang yang kejam. Jangan
biarkan mereka lakukan ini."
Alexander memalingkan wajah. Sepertinya dia tidak berani bertatapan dengan
pamanku. "Sori, Dr. D.," dia bergumam. "Saya tidak bisa mencegah mereka. Kalau
saya coba, saya malah ikut dibunuh."
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia melompat ke kapal para penculik.
Dasar brengsek! aku mengumpat dalam hati.
Dua laki-laki bertopeng mengangkat Dr. D. tinggi-tinggi, lalu melemparkannya ke
dalam tangki. Air bercipratan ke segala arah ketika dia jatuh di sampingku.
"Paman baik-baik saja?" aku bertanya padanya. Dia menggosok-gosok bagian
belakang kepalanya dan mengangguk.
Kemudian giliran Sheena. Mereka mencampakkannya dengan mudah.
Dia meluncur sambil mengayun-ayunkan kaki dan tangan, lalu tercebur ke dalam
air.
Orang-orang itu memasang tutup tangki, lalu menguncinya dari luar.
Aku menatap mereka dengan mata terbelalak. Dengan ngeri aku menyadari bahwa
kami tak mungkin lolos.
Kedalaman air di dalam tangki sekitar dua meter. Kami semua menggerak-
gerakkan kaki agar tetap terapung di permukaan.
Masalahnya, tangki itu terasa sempit sekali bagi kami bertiga.
"Nah, beres," salah satu penculik berkata. "Ayo, kita pergi dari sini."
"Tunggu!" Dr. D. berseru. "Kalian tidak bisa meninggalkan kami begitu saja!"
Ketiga penculik itu saling berpandangan. "Hmm, benar juga," ujar salah satu dari
mereka.
Mereka kembali menghampiri tangki.
Ternyata mereka bukan pembunuh berdarah dingin seperti yang kuduga semula,
aku berkata dalam hati. Mereka tidak sampai hati meninggalkan kami terperangkap
di sini.
Tapi apa yang hendak mereka lakukan?
Orang pertama tadi memberi isyarat kepada kedua rekannya. Mereka
menempelkan tangan masing-masing ke sisi tangki.
"Satu, dua, tiga...," orang pertama menghitung. Pada hitungan ketiga, mereka
mendorong tangki itu ke laut.
Kami berjumpalitan di dalamnya. Kemudian kami membentur dinding kaca ketika
tangkinya jatuh ke laut.
Air laut mulai merembes masuk.
"Kita... kita tenggelam!" Dr. D. berseru.
Kami memperhatikan kapal para penculik melaju pergi. Tangki kami terombang-
ambing karena gelombang yang ditimbulkannya, lalu mulai terbenam.
"Kita tenggelam!" Sheena menjerit. "Kita bakal mati tenggelam!"
23
24
SUASANA menjadi hening. Kapal para penculik tampak terayun pelan mengikuti
irama gelombang di teluk itu.
"Ke mana para putri duyung itu?" tanya Sheena sambil berbisik.
Aku angkat bahu. Mereka sama sekali tidak kelihatan. Aku menduga mereka
berenang jauh di bawah permukaan, dan bersembunyi.Tiba-tiba aku melihat riak-
riak kecil di sisi kapal para penculik.
Perlahan-lahan, tanpa suara, sekoci kami meluncur mendekati kapal itu. Aku
mengamati riak di sisi kapal sambil bertanya-tanya apa yang menimbulkannya.
Kemudian, dalam cahaya bulan yang remang-remang, aku melihat rambut pirang,
sekelebat saja.
"Si putri duyung!" aku berbisik. "Dia di situ!"
Putri duyung itu terapung-apung di air, terikat ke buritan kapal para penculik.
"Rupanya mereka tidak punya tangki untuk menahannya," Dr. D. berbisik penuh
semangat. "Malah kebetulan."
Tiba-tiba kami melihat sosok-sosok lain membelah air yang gelap.
Beberapa putri duyung melompat dari air, mengelilingi rekan mereka yang
tertangkap. Aku melihat sirip ekor terangkat tinggi bagaikan kipas raksasa. Aku
melihat tangan-tangan kecil menarik-narik tali yang membelit si putri duyung.
Permukaan air bergolak pelan.
"Teman-temannya membebaskan dia," aku berbisik.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sheena.
"Kita akan memastikan bahwa dia bisa lolos dengan selamat," jawab Dr. D.
"Setelah itu kita juga pergi. Para penculik takkan pernah tahu bahwa kita datang ke
sini."
Kami memperhatikan para putri duyung berusaha melepaskan tali yang mengikat
teman mereka. Sementara itu sekoci kami sudah merapat di lambung kapal para
penculik.
"Cepat!" Sheena mendesak para putri duyung. "Barangkali mereka perlu bantuan,"
ujarku. Dr. D. membelokkan sekoci ke arah mereka.
Tiba-tiba aku melihat cahaya di kapal para penculik. Aku menahan napas.
Seseorang telah menyalakan sebatang korek api untuk menyalakan obor.
Dan kemudian sebuah suara menggelegar dengan geram, "Hei, sedang apa kalian?"
26
26
DALAM sekejap sekoci kami sudah terbakar. Lidah api berwarna kuning dan
jingga cerah menerangi kegelapan malam. Api segera menyebar ke bagian depan
sekoci.
Sheena memekik dan berusaha mundur untuk menjauhi api yang berkobar-kobar.
Karena panik, dia hendak melompat ke air tapi Dr. D. menghalaunya.
"Jangan tinggalkan sekoci! Kau akan tenggelam!"
Apinya meretih-retih dan semakin besar.
Dr. D. mengambil jaket pelampung berwarna kuning dari dasar sekoci, lalu
menggunakannya untuk memukul-mukul api.
"Billy... ambil jaket pelampung!" dia berseru. "Sheena... ambil ember! Siram
apinya dengan air... cepat!"
Aku menemukan sebuah jaket pelampung dan mengikuti contoh pamanku. Sheena
menimba air laut dan menyiramnya ke tengah api.
Tiba-tiba aku mendengar suara Alexander. "Naikkan putri duyungnya ke kapal.
Setelah itu kita kabur dari sini!" dia memberi perintah.
"Dr. D.!" aku berseru. "Mereka akan kabur!"
Kemudian aku mendengar para penculik berseru-seru. "Si putri duyung! Mana
dia?"
Aku menoleh ke sisi kapal. Si putri duyung ternyata sudah menghilang. Teman-
temannya berhasil membebaskannya.
Salah satu penculik mengulurkan tangannya dari kapal dan menggenggam kerah
bajuku. "Apa yang kau lakukan pada putri duyung itu?" dia bertanya dengan nada
memaksa.
"Lepaskan dia!" Dr. D. membentaknya.
Aku berusaha melepaskan diri dari genggaman si penculik. Tapi dia
mencengkeramku dengan erat. Kemudian aku melihat penculik lainnya
mengayunkan pentungan ke kepala Dr. D.
Dr. D. segera mengelak. Si penculik berusaha memukul perutnya. Dr. D. kembali
menghindar.
Aku meronta-ronta sambil menendang-nendang. Sheena menarik-narik tangan si
penculik untuk membantuku.
Tapi penculik ketiga menangkap pergelangan tangan adikku, dan
mencampakkannya ke dasar sekoci.
"Jangan sakiti mereka!" Dr. D. memohon. "Alexander! Bantu kami!"
Alexander tidak beranjak dari tempatnya di geladak. Dia cuma berdiri sambil
menyilangkan tangannya yang kekar. Dengan tenang dia memperhatikan
pertarungan yang berlangsung di depan matanya.
Api sudah hampir berhasil dipadamkan, tapi mendadak kembali membesar.
"Sheena... apinya!" aku berseru. "Padamkan apinya!" Dia menyambar ember dan
kembali menyiram air laut ke mana-mana.
Salah satu penculik menendang ember di tangan Sheena sampai terpental ke laut.
Sheena segera memungut sebuah jaket pelampung, lalu memukul-mukul api
sampai padam.
"Lompat ke sekoci mereka dan lempar mereka ke laut!" aku mendengar salah satu
penculik berseru.
Rekannya mulai turun ke sekoci kami. Tapi tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan
dan jatuh ke depan dengan tangan menggapai-gapai.
Dia berseru kaget ketika kapalnya tiba-tiba oleng ke kiri. Kapal itu seakan-akan
dihantam gelombang besar.
Para penculik yang lain pun berteriak-teriak kebingungan. Kapal mereka mulai
berayun ke kiri-kanan. Mula-mula pelan, lalu semakin kencang. Sambil
berpegangan pada tepi sekoci, aku mempehatikan mereka menggenggam pagar
kapal agar tidak tercampak ke laut.
Dr. D. berdiri untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Kapal itu terombang-ambing dengan hebat, seolah-olah dipermainkan ombak
raksasa.
Para putri duyung. Kini aku bisa melihat mereka.
Mereka mengelilingi kapal para penculik dan menggoyang-goyangkannya dengan
keras.
Keras. Semakin keras. Para penculik tak dapat berbuat apa-apa selain berpegangan
pada pagar kapal.
"Tugas kita sudah selesai!" Dr. D. berseru gembira. Dia menyalakan mesin, dan
kami melaju menjauh.
Ketika menoleh ke belakang, aku melihat kapal para penculik masih terombang-
ambing. Dan aku melihat putri duyung kami berenang bersama teman-temannya.
"Dia lolos!" aku berseru. "Dia selamat!"
"Moga-moga dia tidak apa-apa," kata Sheena. "Besok kita akan mencarinya lagi,"
ujar Dr. D. sambil mengarahkan sekoci kembali ke Cassandra. "Sekarang kita
sudah tahu di mana dia bisa ditemukan."
Sheena dan aku saling berpandangan.
Oh, jangan, aku berkata dalam hati.
Apakah Dr. D. bermaksud menangkap si putri duyung sekali lagi... untuk
diserahkan kepada orang-orang dari kebun binatang?
Sheena dan aku bertemu di galley keesokan paginya. Berhubung Alexander sudah
tidak ada, kami terpaksa membuat sarapan sendiri.
"Apakah si putri duyung kembali ke laguna?" Sheena bertanya padaku.
"Kemungkinan besar," jawabku. "Dia kan tinggal di situ."
Adikku makan sesuap sereal, lalu mengunyah sambil termenung-menung.
"Sheena," kataku, "kalau ada orang yang menawarimu sejuta dolar, apakah kau
mau menunjukkan tempat tinggal para putri duyung?"
"Kalau orang itu mau menangkap mereka, tidak," sahut Sheena.
"Aku juga tidak," ujarku. "Itulah yang membuatku bingung. Aku suka sekali pada
Dr. D. Aku tidak bisa Percaya bahwa dia..."
Aku terdiam karena mendengar sesuatu. Bunyi mesin.
Sheena memasang telinga. Rupanya dia juga mendengarnya.
Kami langsung meletakkan sendok masing-masing dan bergegas naik ke geladak.
Dr. D. berdiri di buritan. Pandangannya tertuju ke laut.
Sebuah kapal sedang mendekat. Sebuah kapal berwarna putih dengan tulisan
MARINA ZOO di sisinya.
"Orang-orang dari kebun binatang!" seru Sheena. "Mereka datang!"
Apa yang akan dilakukan oleh Dr. D.? aku bertanya-tanya dengan perasaan galau.
Apakah dia akan memberitahu tempat tinggal para putri duyung kepada mereka?
Apakah dia akan menerima uang satu juta dolar itu?
Sheena dan aku bersembunyi di balik ruang kemudi. Kami memperhatikan kapal
Marina Zoo merapat di sisi Cassandra. Aku mengenali Mr. Showalter dan Miss
Wickman.
Mr. Showalter melemparkan tambang kepada Dr. D. Miss Wickman langsung
melompat ke kapal kami.
Orang-orang dari kebun binatang itu tersenyum dan bersalaman dengan Dr. D.
Pamanku mengangguk dengan serius.
"Kami dapat berita dari para nelayan di Santa Anita bahwa Anda berhasil
menemukan putri duyung itu," kata Mr. Showalter. "Kami sudah siap untuk
membawanya sekarang."
Miss Wickman membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah amplop. "Ini cek
senilai satu juta dolar, Dr. Deep," dia berkata sambil tersenyum. "Kami
membuatnya atas nama Anda dan Laboratorium Penelitian Cassandra."
Dia menyodorkan amplop itu kepada pamanku.
Aku mengintip dari balik ruang kemudi. Jangan diterima, Dr. D., aku memohon
dalam hati. Jangan diterima.
"Terima kasih banyak," ujar pamanku. Dia mengulurkan tangan dan menerima cek
itu.
28
"UANG satu juta dolar sangat besar artinya untuk saya dan pekerjaan saya," kata
Dr. D. "Kebun binatang sangat bermurah hati. Karena itu saya pun sangat
menyesal karena saya terpaksa melakukan ini."
Dia memegang amplop itu dengan kedua tangan dan merobeknya.
Kedua orang dari kebun binatang itu tampak terbengong-bengong.
"Saya tidak bisa menerima uang itu," ujar Dr. D.
"Apa maksud Anda, Dr. Deep?" Mr. Showalter bertanya dengan bingung.
"Anda telah meminta saya mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak ada," balas
pamanku. "Sejak kedatangan Anda sebelum ini, saya telah menyelidiki perairan
dengan saksama. Saya telah memeriksa setiap inci di laguna dan perairan sekitar
dengan peralatan saya. Dan sekarang saya bahkan lebih yakin dari sebelumnya
bahwa putri duyung itu tidak ada."
"Yaaay!" aku berseru dalam hati. Rasanya aku ingin melompat-lompat dan menari-
nari—tapi aku tetap bersembunyi di balik ruang kemudi bersama Sheena.
"Tapi bagaimana dengan cerita-cerita para nelayan?" protes Miss Wickman.
"Nelayan-nelayan di sini sudah sejak dulu bercerita tentang putri duyung," Dr. D.
memberitahunya. "Saya rasa mereka benar-benar percaya bahwa mereka pernah
melihat putri duyung pada hari-hari yang berkabut. Tapi apa yang mereka lihat
sebenarnya hanya ikan, lumba-lumba, atau dugong, bahkan orang-orang yang
sedang berenang. Sebab yang namanya putri duyung itu tidak ada. Mereka hanya
hidup di dalam dongeng."
Mr. Showalter dan Miss Wickman kelihatan kecewa.
"Anda yakin?" tanya Mr. Showalter.
"Ya, saya yakin sepenuhnya," jawab pamanku dengan tegas.
"Peralatan saya sangat sensitif. Ikan yang paling kecil pun bisa saya deteksi."
"Kami menghargai pendapat Anda, Dr. Deep," Mr. Showalter berkata dengan
sedih. "Anda pakar paling terkemuka dalam bidang kehidupan laut tropis. Karena
itulah kami menghubungi Anda."
"Terima kasih," ujar Dr. D. "Kalau begitu saya berharap Anda mau menerima
saran saya dan mengakhiri perburuan putri duyung ini."
"Kelihatannya tidak ada pilihan lain," kata Miss Wickman. "Terima kasih atas
bantuan Anda, Dr. Deep."
Mereka bersalaman lagi. Kemudian kedua wakil kebun binatang itu kembali ke
kapal mereka dan pergi.
Keadaan sudah aman. Sheena dan aku langsung menghambur keluar dari tempat
persembunyian kami.
"Dr. D.!" Sheena berseru sambil memeluknya. "Terima kasih!"
Dr. D. mengembangkan senyum lebar. "Terima kasih kembali," katanya. "Mulai
sekarang, tak seorang pun boleh menyinggung soal putri duyung itu kepada orang
lain. Oke?"
"Oke," Sheena langsung menyahut.
"Oke," kataku. Lalu kami bersalaman.
Putri duyung itu tetap akan menjadi rahasia kami.
Aku telah berjanji untuk tidak menyinggung soal putri duyung itu kepada siapa
pun. Tapi aku ingin menemuinya sekali lagi. Aku ingin mengucapkan selamat
tinggal padanya.
Sehabis makan siang, Sheena dan Dr. D. masuk ke kabin masing-masing untuk
beristirahat. Habis, semalam kami nyaris tak sempat memejamkan mata. Aku pun
berlagak mengantuk.
Tapi begitu mereka tertidur, aku menyelinap keluar dari kabinku dan masuk ke air
yang biru jernih.
Aku berenang ke laguna untuk mencari si putri duyung.
Matahari berada tinggi di langit. Cahayanya menerangi air laguna yang tenang
sehingga berkilau-kilau seakan-akan berlapis emas.
Putri duyung? Di mana kau? aku bertanya-tanya. Aku baru saja melewati gosong
karang ketika aku merasakan kakiku ditarik pelan-pelan.
Sheena? aku langsung menyimpulkan. Jangan-jangan dia menguntitku lagi.
Aku berbalik untuk menangkapnya.
Ternyata tidak ada siapa-siapa.
Hmm, paling-paling rumput laut, aku berkata dalam hati. Aku terus berenang.
Beberapa detik kemudian, kakiku kembali ditarik. Kali ini lebih keras.
Hei... itu pasti si putri duyung! Sekali lagi aku berbalik untuk mencarinya. Riak-
riak kecil tampak pada permukaan air.
"Putri duyung?" aku memanggil.
Sebuah kepala muncul dari dalam air.
Sebuah kepala raksasa, licin, berwarna hijau. Dengan satu mata besar.
Dan mulut penuh gigi runcing.
"Monster laut!" aku memekik. "Monster laut!"
Apakah kali ini mereka mau percaya padaku?
END