Anda di halaman 1dari 61

R. L.

Stine:
Masalah Besar
(Goosebumps # 19)

Jangan Masuk Ke Dalam Air!

Billy dan adiknya, Sheena mengunjungi Dr. Deep di sebuah kepulauan kecil laut
Karibia. Tempat itu benar-benar menyenangkan untuk penyelaman bawah laut, dan
Billy sudah siap bertualang.
Hanya ada satu larangan: jangan dekat gosong karang! Padahal gugus karang itu
sangat memikat dan laut di sekitarnya begitu tenang. Billy tidak dapat menahan
dirinya lebih lama lagi.
Ternyata dia tidak sendirian di laut. Sesuatu yang misterius ada di bawah sana.
Sesuatu yang berwarna gelap dan bersisik.
Sesuatu yang berbentuk setengah manusia setengah ikan....

Goosebumps

Ya dijamin kalian akan ber-goosebump ria, alias merinding ketakutan kalau


membaca seri ini. Goosebumps memang menyajikan kisah-kisah horor yang super
seram dan mengerikan! Tidak percaya? Baca sendiri.... kalau berani!!!

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta 10270

Ebook PDF: eomer eadig


Http://ebukulawas.blogspot.com

Convert & Re edited by: Farid ZE


blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
1

ENAM puluh meter di bawah permukaan laut—di situlah aku kini berada.
Aku tengah terlibat dalam perburuan terbesar seumur hidupku.
Perburuan Pari Putih Raksasa.
Begitulah orang-orang di Markas Penjaga Pantai menjulukinya. Tapi aku
memanggilnya "Joe".
Ikan pari rakasa itu telah menyengat sepuluh orang saat mereka sedang berenang di
laut. Orang-orang sampai tak berani masuk ke air.
Seluruh kawasan pesisir dilanda ketakutan.
Karena itulah aku dipanggil.
William Deep, Jr., dari Baltimore, Maryland.
Ya, William Deep, Jr., penjelajah dunia bawah air yang di usia kedua belas sudah
tersohor di seantero dunia. Orang yang telah berhasil memecahkan masalah-
masalah mengerikan di samudera.
Akulah yang menangkap Hiu Putih Raksasa yang meneror Pantai Myrtle. Dan aku
membuktikan bahwa dia tidak sehebat yang disangka orang!
Akulah yang bertarung melawan gurita raksasa yang memangsa seluruh anggota
Regu Kejuaraan Selancar California.
Aku pula yang menggulung belut listrik yang membuat pantai-pantai di Miami jadi
tidak aman.
Tapi kini aku tengah mengejar lawan paling berat yang pernah kuhadapi. Joe, si
Pari Putih Raksasa.
Di suatu tempat, jauh di bawah permukaan laut, dia telah menanti kedatanganku.
Aku telah melengkapi diriku dengan segala sesuatu yang kubutuhkan: baju selam,
sepatu katak, masker selam, tabung, oksigen, serta pelontar panah beracun.
Tunggu dulu... rasanya ada yang bergerak di belakang sana. Di balik kerang
raksasa itu.
Aku membidikkan senjataku dan bersiap-siap menghadapi serangan dadakan.
Lalu, tiba-tiba saja, masker selamku mulai berembun. Aku tak bisa bernapas.
Aku berjuang keras untuk menarik napas. Namun tak ada udara yang mengisi paru-
paruku. Tabung oksigenku! Seseorang telah mengotak-atik tabung oksigenku!
Aku tak boleh membuang-buang waktu Enam puluh meter di bawah permukaan
laut—tanpa oksigen! Aku harus segera naik —secepatnya!
Aku mengayunkan kaki dan berusaha mati-matian untuk mencapai permukaan.
Aku terus menahan napas, sampai paru-paruku serasa mau pecah.
Ayunan kakiku semakin lemah, dan pandanganku mulai berkunang-kunang.
Mungkinkah aku berhasil? Ataukah aku akan bernasib nahas dan tewas di sini,
jauh di bawah permukaan laut, lalu menjadi santapan Joe si Pari?
Panik melanda diriku bagaikan gelombang pasang. Dengan kalang-kabut aku
mencari-cari rekan selamku melalui maskerku yang berembun. Kenapa dia tak
pernah kelihatan kalau aku membutuhkannya?
Akhirnya aku melihatnya berenang di permukaan, di dekat perahu kami.
Tolong! Selamatkan aku! Aku kehabisan udara!
Aku berusaha memberi isyarat dengan melambai-lambaikan tangan seperti orang
gila.
Akhirnya dia melihatku. Dia berenang ke arahku dan menarik tubuhku yang lemas
ke permukaan.
Aku langsung merenggut masker selam dari wajahku dan menghirup udara sambil
megap-megap.
"Hei, Aqua Man, kau kenapa sih?" dia bertanya. "Kau diuber ubur-ubur, ya?"
Rekan selamku sangat berani, meskipun dia perempuan. Dia selalu tertawa jika
menghadapi bahaya.
Aku masih terengah-engah. "Tak ada udara. Tabung... oksigen... rusak...."
Kemudian semuanya menjadi gelap.

REKAN selamku membenamkan kepalaku kembali ke bawah air.


Seketika aku membuka mata, lalu muncul di permukaan sambil menyembur-
nyembur.
"Jangan konyol, Billy," dia berkata. "Kenapa sih kau tidak bisa berenang seperti
orang biasa?"
Aku mendesah perlahan. Dia memang tidak bisa melihat orang senang.
"Rekan selamku" sebenarnya adikku yang menyebalkan, Sheena. Aku cuma
berpura-pura menjadi William Deep, Jr., penjelajah dunia bawah air yang tersohor.
Tapi seberapa susahnya sih bagi Sheena untuk sekali-sekali ikut bersandiwara?
Sebenarnya namaku memang William Deep, Jr, tapi semua orang memanggilku
Billy. Umurku dua belas tahun—rasanya sudah kusebutkan tadi.
Sheena dua tahun lebih muda. Dia dan aku mirip sekali. Kami sama-sama
berambut hitam lurus, tapi rambutku pendek sedangkan rambutnya panjang sampai
ke bahu. Kami sama-sama kurus dan berkaki panjang. Kami juga sama-sama
bermata biru tua dan mempunyai alis yang tebal dan berwarna gelap.
Selain itu, tak ada persamaan di antara kami.
Sheena sama sekali tidak punya daya khayal. Waktu kecil, dia tak pernah takut
pada monster-monster yang bersembunyi di lemari pakaian. Dia juga tidak percaya
pada Sinterklas maupun Peri Gigi. Dia selalu berdalih, "Ah, itu kan cuma dongeng
pengantar tidur untuk anak kecil."
Aku menyelam lagi dan mencubit kaki Sheena. Serangan Manusia Udang!
"Jangan macam-macam dong!" dia memekik, lalu menendang bahuku dengan
keras. Aku terpaksa muncul di permukaan untuk menghirup udara.
"Hei, kalian berdua," pamanku berkata. "Hati-hati kalau berenang di laut."
Pamanku berdiri di geladak Cassandra, kapalnya yang sekaligus berfungsi sebagai
laboratorium terapung. Dia sedang memperhatikan aku dan Sheena berenang-
renang di sekitar kapal.
Nama pamanku George Deep, tapi dia dipanggil Dr. D. oleh semua orang—bahkan
oleh ayahku, padahal mereka kakak-adik. Mungkin karena penampilannya yang
persis seperti bayangan orang mengenai ilmuwan.
Dr. D. pendek dan kurus. Dia pakai kacamata, dan roman mukanya selalu serius.
Rambutnya keriting berwarna cokelat, dan sebagian belakang kepalanya sudah
botak. Setiap orang yang melihatnya bilang, "Saya yakin Anda pasti ilmuwan."
Sheena dan aku sedang mengunjungi Dr. D. di Cassandra. Setiap tahun orangtua
kami mengizinkan kami menghabiskan liburan musim panas bersama Dr. D. Dan
percayalah, itu jauh lebih mengasyikkan daripada duduk-duduk di rumah. Kali ini
kami membuang sauh di lepas pantai sebuah pulau kecil bernama Ilandra, yang
terletak di Laut Karibia.
Dr. D. ahli biologi kelautan. Dia mengkhususkan diri pada kehidupan laut tropis.
Dia mempelajari kebiasaan ikan tropis dan mencari jenis-jenis tumbuhan dan ikan
baru yang selama ini belum dikenal.
Cassandra termasuk kapal yang cukup besar dan kokoh. Panjangnya sekitar lima
belas meter. Sebagian besar ruangan digunakan Dr. D. sebagai laboratorium dan
ruang riset. Di atas geladak terdapat ruang kemudi, tempat dia mengemudikan
kapalnya. Di sisi kanan ada sekoci, sedangkan di sisi kiri ada tangki kaca yang
besar. Kadang-kadang Dr. D. menangkap ikan besar dan memasukkannya ke
dalam tangki untuk beberapa waktu—biasanya lama juga, dan diberi tanda: untuk
penelitian lebih lanjut, atau untuk dirawat kalau kebetulan ikan itu sedang sakit
atau terluka.
Sisa geladaknya kosong, dan bisa dipakai untuk berlari-lari atau berjemur.
Riset yang dilakukan Dr. D. membawanya ke seluruh dunia. Dia tidak menikah
dan tidak punya anak. Dr. D. bilang dia terlalu sibuk mengamati ikan.
Tapi dia suka anak-anak. Karena itulah Dr. D. mengundangku dan Sheena untuk
mengunjunginya setiap musim panas.
"Hati-hati kalau berenang di laut, anak-anak," Dr. D. mengulangi.
"Jangan sembrono. Dan jangan berenang terlalu jauh dari kapal. Terutama kau,
Billy."
Dia menatapku sambil memicingkan mata. Itu artinya "Aku tidak main-main".
Sheena tak pernah ditatap seperti itu.
"Paman mendapat laporan bahwa para nelayan di sini sudah beberapa kali melihat
hiu di daerah ini," katanya.
"Hiu! Wow!" aku langsung berseru.
Dr. D. mengerutkan kening. "Billy," ujarnya, "ini serius. Jangan jauh-jauh dari
kapal. Dan jangan berenang ke gosong karang."
Dari pertama aku sudah tahu dia akan berkata begitu.
Clamshell Reef adalah gosong karang merah yang memanjang beberapa ratus
meter dari tempat kami membuang sauh. Sejak kami tiba, aku sudah tak sabar
untuk menyelidiki gosong karang itu.
"Jangan kuatir, Dr. D.," aku menyahut. "Aku takkan bikin masalah."
"Yeah," Sheena bergumam perlahan.
Aku meluruskan tangan untuk mencubitnya lagi, tapi dia keburu menyelam.
"Baiklah," kata Dr. D. "Jangan lupa... kalau kalian melihat sirip ikan hiu, usahakan
agar kalian tidak panik. Gerakan-gerakan liar justru menarik perhatian hiu.
Berenanglah pelan-pelan dan kembali ke kapal."
"Kami takkan lupa," kata Sheena, yang mendekatiku dari belakang sambil
menepuk-nepuk air sampai bercipratan ke segala arah
Aku merasa agak tegang. Dari dulu aku sudah ingin melihat ikan hiu yang hidup.
Aku sudah pernah melihat hiu di akuarium. Tapi di situ mereka terjebak dalam
tangki kaca dan hanya berputar-putar dengan gelisah.
Itu kurang seru.
Yang kuinginkan adalah melihat sirip ikan hiu di kejauhan, melesat membelah air,
mendekat, mendekat, menuju ke arah kami...
Dengan kata lain, yang kuinginkan adalah petualangan.
Cassandra membuang sauh di lepas pantai, beberapa ratus meter dari Clamshell
Reef. Guguskarang itu mengelilingi seluruh pulau. Dan diantara gosong karang
dan pantai terdapat laguna yang indah sekali.
Tak ada yang mampu mencegahku menyelidiki laguna itu—apa pun kata Dr. D.
"Ayo, Billy," Sheena berseru sambil memasang maskernya. "Ada kawanan ikan!"
Ia menunjuk riak-riak di dekat haluan perahu.
Kemudian ia langsung menggigit snorkel dan membenamkan kepalanya ke dalam
air. Aku ikut berenang menuju riak kecil tersebut.
Dalam sekejap, Sheena dan aku telah dikelilingi ratusan ikan kecil berwarna biru
manyala.
Setiap kali berada di bawah air, aku merasa seperti berada di dunia lain yang jauh.
Aku bernapas melalui snorkel, dan rasanya aku bisa hidup di sini bersama ikan-
ikan dan lumba-lumba. Siapa tahu kalau aku cukup lama di bawah air, tangan dan
kakiku bakal berubah jadi sirip dan ekor.
Ikan-ikan biru itu mulai berenang menjauh, dan aku mengikuti mereka. Semuanya
begitu indah! Aku tidak rela ditinggalkan begitu saja.
Sekonyong-konyong semua ikan melesat dan menghilang dari pandangan. Aku
berusaha mengikuti mereka, tapi mereka terlalu cepat.
Semuanya lenyap!
Jangan-jangan ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan?
Aku memandang berkeliling. Gumpalan-gumpalan rumput laut mengambang di
dekat permukaan. Kemudian aku melihat sesuatu berwarna merah.
Aku mendekat sambil memandang melalui maskerku. Beberapa meter di depanku
aku melihat tonjolan-tonjolan berwarna merah.
Karang merah.
Oh-oh, aku berkata dalam hati. Clamshell Reef. Padahal Dr. D. sudah melarangku
untuk berenang sejauh ini.
Aku mulai berbalik. Aku sadar bahwa aku harus kembali ke kapal.
Di pihak lain, aku juga tergoda untuk menyelidiki gosong karang itu.
Habis, sudah tanggung sih. Aku toh sudah sampai di situ.
Gosong karang itu menyerupai istana pasir berwarna merah. Di mana-mana
tampak gua dan terowongan bawah air. Ikan-ikan kecil berenang kian kemari.
Warnanya biru dan kuning cerah.
Barangkali aku bisa menyelidiki salah satu terowongan, aku berkata dalam hati.
Ya, apa salahnya? Rasanya tidak ada bahaya apa-apa.
Tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik kakiku.
Seekor ikankah?
Aku menoleh, tapi tidak melihat apa-apa. Kemudian aku merasakannya sekali lagi.
Kakiku kembali seperti digelitik.
Lalu dicengkeram.
Sekali lagi aku menoleh, dan sekali lagi aku tidak melihat apa-apa.
Jantungku mulai berdegup-degup. Aku yakin aku tidak terancam bahaya. Tapi aku
akan merasa lebih tenang seandainya aku bisa melihat apa yang menggelitik
kakiku.
Aku berbalik dan mulai berenang ke kapal. Namun sesuatu mencengkeram
kakiku... dan tidak mau melepaskannya!
Seketika aku dicekam ketakutan. Kemudian aku menendang sekeras mungkin.
Lepaskan! Lepaskan aku!
Aku tidak bisa melihatnya—dan aku tidak sanggup membebaskan diri!
Airnya bergolak dan bercipratan ke segala arah ketika aku menendang-nendang
dengan mengerahkan seluruh tenaga.
Dengan ngeri aku mengangkat kepala dan berteriak, "Tolong!" Tapi teriakanku
tidak sekencang yang kuharapkan.
Dan ternyata percuma saja.
Aku tetap ditarik ke bawah. Semakin dalam.
Ke dasar laut.
3

"TOLONG!" aku berteriak. "Sheena! Dr. D.!"


Aku kembali ditarik ke bawah air. Aku merasakan tentakel yang licin melilit mata
kakiku. Ketika kepalaku terbenam, aku berbalik... dan melihatnya.
Bayangan besar dan gelap.
Monster laut!
Melalui air yang bergolak, makhluk itu menatapku dengan satu mata raksasanya
yang berwarna cokelat. Monster tersebut mengambang di bawah air bagaikan
balon hijau tua berukuran sangat besar. Mulutnya menganga, dan aku melihat dua
deret giginya yang tajam-tajam.
Seekor gurita raksasa! Tentakel-tentakelnya paling tidak ada dua belas!
Dua belas tentakel yang panjang dan licin. Salah satunya melilit mata kakiku. Satu
lagi mengarah ke pinggangku.
JANGAN!
Aku mengayun-ayunkan kedua lenganku. Aku megap-megap untuk menghirup
udara.
Aku berjuang mati-matian untuk naik ke permukaan, tapi makhluk raksasa itu
menarikku ke bawah lagi.
Aku betul-betul putus asa. Sambil tenggelam, adegan-adegan dalam hidupku
seakan-akan melintas di depan mata.
Aku melihat orangtuaku. Mereka melambaikan tangan ketika aku naik bus sekolah
berwarna kuning pada hari pertama aku masuk sekolah dulu. Mom dan Dad! Aku
takkan pernah lagi bertemu mereka!
Sial betul nasibku, aku berkata dalam hati. Tewas dibunuh monster laut!
Takkan ada yang percaya.
Semuanya mulai kelihatan merah. Aku merasa pusing dan tenagaku telah terkuras
habis.
Tapi lalu ada sesuatu yang menarikku, menarikku ke atas.
Naik, ke permukaan. Menjauhi monster berlengan banyak itu. Aku membuka mata
sambil menyembur-nyemburkan air.
Dan kemudian aku melihat Dr. D.!
"Billy! Kamu tak apa-apa?" pamanku bertanya.
Dia menatapku dengan cemas.
Aku mengangguk sambil terbatuk-batuk, lalu kugerakkan kaki kiriku.
Tentakel licin itu ternyata sudah terlepas.
Makhluk mengerikan itu sudah lenyap.
"Paman mendengar kau berteriak-teriak dan melihat kau mengayun-ayunkan
tangan," ujar Dr. D. "Paman berenang secepat mungkin ke sini. Apa yang terjadi?"
Dr. D. mengenakan jaket pelampung berwarna kuning. Dia menyuruhku memakai
ban karet yang dibawanya, sehingga aku bisa mengapung tanpa mengeluarkan
tenaga.
Sepatu katakku terlepas dalam pertarungan tadi.
Masker dan snorkelku pun menggantung di leherku. Sheena menyusul dan
berenang di sampingku.
"Kakiku ditarik ke bawah!" aku berseru sambil terengah. "Kakiku dicengkeramnya
dan aku ditarik ke bawah!"
"Apa yang mencengkeram kakimu, Billy?" tanya Dr. D. "Paman tidak melihat apa-
apa di sekitar sini..."
"Monster laut raksasa," aku memberitahunya. "Monster laut yang besar sekali! Dia
menangkap kakiku dengan salah satu tentakelnya... Aduh!"
Jari kakiku seperti dicubit.
"Dia kembali lagi!" aku memekik dengan ngeri. Sheena muncul di permukaan dan
menggelengkan kepala sambil tertawa.
"Itu aku, bodoh!" dia berseru.
"Billy, Billy," Dr. D. bergumam. "Kau memang terlalu banyak berkhayal." Dia pun
menggelengkan kepala. "Paman sudah takut kau kenapa-kenapa. Tolong... jangan
ulangi lagi. Paling-paling kakimu terlilit sepotong rumput laut."
"Tapi... tapi...!" aku tergagap-gagap.
Dr. D. meraih ke dalam air dan menarik segenggam sulur hijau yang licin.
"Rumput laut ada dimana-mana di daerah sini."
"Tapi aku melihatnya!" protesku. "Aku melihat tentakelnya, dan giginya yang
tajam dan runcing!"
"Monster laut cuma ada dalam dongeng pengantar tidur," Sheena memberi
komentar.
Huh, dasar sok tahu!
"Kita bicarakan di kapal saja," ujar pamanku,sambil membuang rumput laut di
tangannya ke air.
"Ayo, kita kembali ke kapal. Dan jangan berenang di dekat gosong karang. Ambil
jalan memutar."
Dia berbalik dan mulai berenang ke Cassandra.
Baru sekarang aku sadar bahwa monster laut tadi telah menarikku ke dalam laguna.
Gosong karang merah memisahkan kami dari kapal.
Tapi ada celah yang bisa dilewati dengan berenang.
Dengan hati dongkol kuikuti Dr. D. dan Sheena.
Kenapa mereka tidak percaya padaku?
Aku melihat makhluk itu menangkapku. Bukan rumput laut yang melilit kakiku.
Dan aku tidak berkhayal.
Aku bertekad untuk membuktikan bahwa mereka keliru. Aku akan mencari
makhluk itu dan memperlihatkannya kepada mereka. Tapi kapan-kapan saja—
bukan hari ini.
Satu-satunya pikiran yang ada dalam benakku sekarang adalah kembali ke kapal
yang aman.
Aku berenang ke sisi Sheena dan berseru, "Ayo, kita balapan ke kapal."
"Oke!" dia menyahut. "Yang kalah adalah ubur-ubur berlapis cokelat!"
Sheena tak pernah bisa menolak kalau diajak balapan. Dia mulai melaju ke arah
kapal, tapi aku cepat-cepat menangkap lengannya.
"Tunggu," kataku. "Ini tidak adil. Kau pakai sepatu katak. Ayo, lepaskan."
"Salah sendiri!" dia berseru sambil membebaskan diri dari genggamanku. "Sampai
ketemu di kapal!"
Aku hanya bisa mengumpat dalam hati ketika dia melesat dan meninggalkanku
jauh di belakang.
Dia takkan kubiarkan menang, aku berkata dalam hati.
Aku menatap gosong karang di hadapanku.
Aku pasti menang kalau aku mengambil jalan pintas lewat gosong karang itu.
Aku berbalik dan mulai berenang ke arah gugus karang merah tersebut.
"Billy! Kembali ke sini!" Dr. D. memanggil. Aku berlagak tidak mendenganya.
Gosong karang itu sudah berada di depan mata. Sebentar lagi aku sudah sampai.
Aku melihat Sheena berenang di depan, dan kuayunkan kaki dengan lebih keras
lagi. Aku yakin Sheena takkan berani berenang melewati gosong karang. Dia pasti
akan mengambil jalan memutar mengelilingi gosong karang. Aku pasti bisa
mengalahkannya.
Tapi sekonyong-konyong lenganku mulai pegal. Aku tidak biasa berenang begitu
jauh.
Barangkali aku bisa berhenti di gosong karang dan beristirahat sebentar, pikirku.
Aku sampai di gosong karang, lalu berbalik. Sheena berenang ke sebelah kiri,
mengelilingi gosong karang. Berarti aku punya waktu beberapa detik untuk
melepas lelah.
Aku menjejakkan kaki di atas karang merah itu... ...dan langsung menjerit
kesakitan!
4

KAKIKU seperti terbakar, seakan-akan menginjak bara api. Rasa nyeri yang
berdenyut-denyut menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku menjerit dan langsung terjun ke dalam air. Waktu kepalaku muncul di
permukaan, aku mendengar Sheena berteriak, "Dr. D.! Cepat!"
Walaupun sudah terendam dalam air laut yang dingin, kakiku tetap saja seperti
terbakar.
Dr. D. berenang menghampiriku. "Billy, ada apa lagi sekarang?" dia bertanya.
"Aku melihatnya melakukan sesuatu yang benar-benar tolol," ujar Sheena sambil
nyengir.
Kalau saja kakiku tidak begitu nyeri, aku pasti sudah menonjok adikku yang sok
tahu itu. "Kakiku!" aku mengerang-erang. "Aku menginjak karang... dan... dan..."
Dr. D berpegangan pada ban pelampung yang melingkar pada pinggangku. “Oh.
Itu memang menyakitkan”, dia berkomentar sambil menepuk-nepuk pundakku,
tapi tidak berbahaya kok. Sebentar lagi nyerinya akan hilang sendiri."
Dia menunjuk gosong karang. "Karang merah itu disebut koral api."
"Hah? Koral api?" Aku ikut menoleh ke gosong karang itu.
"Ya ampun, aku saja tahu itu!" kata Sheena. "Koral itu dilapisi zat beracun,"
pamanku melanjutkan. "Kalau kena kulit, rasanya seperti terbakar." Kenapa dia
baru bilang sekarang? aku bertanya dalam hati.
"Masa sih kamu tak tahu?" tanya Sheena dengan nada mengejek.
Dia memang cari gara-gara. Sebentar lagi kesabaranku sudah habis.
"Kau masih beruntung karena kakimu hanya serasa terbakar," kata Dr. D. "Koral
sering kali tajam sekali. Kalau kakimu terluka, racun itu bisa masuk ke aliran
darahmu. Nah, kalau sudah begitu, akibatnya bisa betul-betul gawat."
"Wow! Seperti apa sih akibatnya?" tanya Sheena. Sepertinya dia ingin sekali
mengetahui segala hal buruk yang bisa menimpa diriku.
Roman muka Dr. D. menjadi serius. "Kau bisa lumpuh akibat racun itu," katanya.
"Oh!"
"Jadi, mulai sekarang jauhilah gosong karang itu," Dr. D. mewanti-wanti. "Dan
jangan main-main di laguna."
"Tapi monster lautnya kan tinggal di situ!" aku memrotes. "Kita harus kembali ke
situ. Aku harus memperlihatkannya kepada Paman!"
Sheena mengapung-apung di air yang biru-kehijauan. "Mana ada, mana ada," dia
bersenandung. Ungkapan kegemarannya. "Monster laut cuma ada dalam dongeng...
ya, kan, Dr. D.?"
"Hmm, kita tidak bisa memastikannya," balas Dr. D. "Masih banyak penghuni
samudra yang belum kita ketahui, Sheena. Untuk sementara saya hanya bisa
mengatakan bahwa para ilmuwan belum pernah melihat monster laut."
"Nah, apa kubilang, She-Ra," kataku.
Sheena menyemburkan air ke arahku. Dia paling benci dipanggil She-Ra olehku.
"Anak-anak... saya serius. Saya minta kalian menjauhi tempat ini," ujar Dr. D.
"Kemungkinan besar memang tidak ada monster laut di laguna, tapi mungkin ada
hiu, ikan beracun, atau belut listrik. Laguna seperti ini merupakan tempat tinggal
bagi berbagai macam makhluk berbahaya. Jadi jangan berenang ke sana."
Dia lalu diam menatapku, seakan-akan ingin memastikan bahwa aku
memperhatikan ucapannya.
"Bagaimana kakimu sekarang, Billy?" tanyanya kemudian.
"Sudah mendingan," jawabku.
"Bagus. Nah, rasanya petualangan kita sudah cukup untuk pagi ini. Ayo, kita
kembali ke kapal. Sudah hampir waktunya makan siang."
Kami semua berenang menuju Cassandra. Tiba-tiba kakiku seperti digelitik lagi.
Rumput laut?
Bukan.
Rasanya seperti... jari.
"Jangan macam-macam, Sheena!" aku berseru dengan kesal. Aku berbalik untuk
mencipratkan air ke wajahnya.
Tapi dia tidak kelihatan. Dia tidak berada di helakangku.
Dia berenang di depan, di samping Dr. D. Berarti bukan dia yang menggelitik
kakiku. Tapi aku yakin kakiku barusan terkena sesuatu.
Aku menatap ke bawah. Tiba-tiba saja aku kembali dicekam ketakutan.
Apa yang ada di bawah sana? Apa yang menjailiku seperti itu?
Apa yang sedang bersiap-siap untuk mencengkeramku dan menarikku ke bawah
untuk selama-lamanya?

ALEXANDER DUBROW, seorang mahasiswa yang bertugas sebagai asisten Dr.


D., membantu kami naik ke kapal.
"Hei, aku mendengar orang teriak-teriak tadi,"katanya. "Semuanya baik-baik saja?"
"Tidak ada apa-apa, Alexander, jawab Dr. D." Billy sempat menginjak koral api,
tapi dia tidak apa-apa."
Ketika aku memanjat tangga, Alexander meraih tanganku dan menarikku ke atas.
"Wow, Billy," ujarnya. "Koral api. Aku sendiri sempat menyenggol koral api
waktu hari pertama datang ke sini. Mataku langsung berkunang-kunang. Sungguh,
Man. Kau yakin kau tidak apa-apa?"
Aku mengangguk dan memperlihatkan kakiku.
"Rasanya sudah lebih baik sekarang. Tapi ini belum apa-apa. Aku hampir
dimangsa monster laut tadi."
"Mana ada, mana ada," Sheena bersenandung.
"Tapi aku melihatnya," aku berkeras. "Mereka tidak mau percaya. Monster itu ada
di sana. Di laguna. Badannya besar, hijau, dan..."
Alexander tersenyum. "Aku percaya, Billy," katanya. Kemudian dia mengedipkan
mata pada Sheena.
Rasanya aku juga ingin menonjok dia.
Dia cuma mahasiswa biologi. Tahu apa dia?
Alexander masih muda. Umurnya sekitar awal dua puluhan. Tapi berbeda dengan
Dr. D., penampilannya sama sekali tidak seperti ilmuwan.
Dia lebih pantas jadi pemain football. Orangnya jangkung sekali, kira-kira 190
sentimeter, dan badannya pun kekar. Rambutnya tebal, pirang, dan berombak. Dan
matanya berwarna biru. Bahunya lebar, tangannya besar dan amat bertenaga.
Karena sering bekerja di bawah terik matahari, kulitnya tampak kecokelatan.
"Moga-moga semuanya lapar," ujar Alexander. "Aku bikin chicken salad sandwich
untuk makan siang."
"Oh, sedap," Sheena bergumam perlahan sambil memutar-mutar bola mata.
Memasak memang salah satu tugas Alexander. Dia menganggap dirinya cukup
hebat sebagai juru masak. Sayangnya, yang lain tidak sependapat.
Aku turun ke kabinku di bawah geladak untuk berganti baju. Kabin itu sebenarnya
hanya berupa tempat tidur ditambah lemari untuk menyimpan barang-barangku.
Kabin Sheena sama saja. Dr. D. dan Alexander masing-masing menempati kabin
yang lebih luas, sehingga orang bisa berjalan mondar-mandir.
Kami makan di galley, sebutan Dr. D. untuk dapur kapalnya. Di situ ada meja dan
bangku built-in, serta tempat sempit untuk memasak.
Waktu aku masuk, Sheena sudah duduk di meja makan. Di hadapannya ada piring
berisi sandwich besar, begitu pula di tempat dudukku.
Kami sama-sama enggan mencicipi chicken salad buatan Alexander.
Malam sebelumnya kami makan kol panggang. Waktu sarapan tadi pagi, dia
menghidangkan panekuk gandum yang mengganjal bagaikan batu di dalam perut.
"Kau duluan," aku berbisik kepada adikku.
Sheena menggelengkan kepala. "Kau duluan. Kau kan lebih tua."
Perutku sudah keroncongan. Aku mengeluh. Tak ada pilihan selain mencicipi
masakan Alexander.
Kugigit sandwich itu dan mulai mengunyah. Hmm, lumayan juga, pikirku. Ada
ayamnya, ada mayonesnya. Rasanya seperti chicken salad sandwich biasa.
Kemudian, tiba-tiba saja, lidahku serasa terbakar.
Seluruh mulutku seperti terbakar!
Aku memekik dan menyambar es teh di hadapanku, yang langsung kutenggak
habis.
"Koral api!" aku berseru. "Kau memasukkan koral api ke chicken salad ini, ya?"
Alexander tertawa. "Aku pakai sedikit bubuk cabai. Biar ada rasa. Kau suka?"
"Kayaknya aku makan sereal saja untuk makan siang, ujar Sheena sambil
meletakkan sandwich-nya di piring. "Kalau kau tidak keberatan."
"Masa setiap kali makan, kau mau makan sereal?" balas Alexander sambil
mengerutkan kening.
"Pantas saja kau begitu kurus, Sheena. Kau cuma makan sereal. Hei, mana jiwa
petualanganmu?"
"Rasanya aku juga mau makan sereal saja," kataku dengan malu-malu. "Biar ada
variasi."
Dr. D. muncul di galley. "Kita makan apa siang ini?" dia bertanya.
"Chicken salad sandwich," jawab Alexander. "Kubuat agak pedas."
"Sangat pedas," aku memperingatkan pamanku.
Dr. D. melirik ke arahku sambil mengangkat alis. "Oh, ya?" katanya.
"Hmm, sebenarnya Paman tidak seberapa lapar. Rasanya Paman juga mau makan
sereal saja."
"Bagaimana kalau Billy dan aku menyiapkan makan malam nanti?" Sheena
menawarkan. Ia menuangkan sereal ke dalam mangkuk, lalu menambahkan susu.
"Kasihan kan kalau Alexander harus masak terus."
"Itu ide bagus, Sheena," Dr. D. menanggapinya. "Kalian bisa masak apa?"
"Aku bisa bikin biskuit," kataku.
"Dan aku pintar bikin saus cokelat," ujar Sheena.
"Hmm," Dr. D. bergumam. "Mungkin lebih baik kalau Paman saja yang memasak
nanti malam. Bagaimana kalau kita makan ikan panggang?"
"Asyik!" aku langsung berseru.
Sehabis makan siang, Dr. D. masuk ke ruang kerjanya untuk mempelajari beberapa
catatan. Alexander mengajak Sheena dan aku ke lab utama untuk menjelaskan
semuanya.
Lab ini benar-benar asyik. Ada tiga tangki kaca besar di dinding yang berisi
berbagai macam makhluk yang aneh dan menakjubkan.
Tangki paling kecil berisi dua ekor kuda laut berwarna kuning cerah serta seekor
trompet bawah air. Trompet bawah air ini sebenarnya ikan panjang berwarna
merah-putih yang berbentuk tabung.
Selain itu masih ada sekelompok ikan guppy yang berenang kian kemari.
Tangki lain berisi beberapa ekor ikan flame angel-fish, yang berwarna merah-
jingga seperti api, serta seekor harlequin tuskfish, yang memiliki loreng berwarna
jingga dan biru muda.
Tangki paling besar berisi makhluk panjang seperti ular yang berwarna kuning-
hitam, dengan mulut penuh gigi tajam.
"Ih!" ujar Sheena sambil menatap ikan panjang ini. "Yang ini mengerikan benar!"
"Ini belut black ribbon," Alexander menjelaskan.
"Ikan ini suka menggigit, tapi gigitannya tidak mematikan. Kami menjulukinya
Biff."
Aku meringis kepada Biff melalui kaca, tapi dia tidak menggubrisku.
Dalam hati aku bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau aku ketemu makhluk
seperti Biff di tengah laut. Giginya memang menyeramkan, tapi besarnya kalah
jauh dibandingkan monster laut tadi. William Deep, Jr., si penjelajah dunia bawah
air yang tersohor, pasti bisa mengatasinya.
Aku berpaling dari tangki-tangki berisi ikan dan beralih ke panel-panel kontrol.
Penuh rasa ingin tahu aku memperhatikan deretan tombol-tombol dan piringan-
piringan jarum penunjuk di hadapanku.
"Yang ini untuk apa, sih?" aku bertanya sambil memencet salah satu tombol.
Seketika terdengar suara klakson kapal yang keras sekali.
Kami semua tersentak kaget.
"Itu tombol klakson," ujar Alexander sambil tertawa.
"Dr. D. sudah melarang Billy menyentuh apa pun tanpa tanya dulu," kata Sheena.
"Sudah jutaan kali dia melarangnya. Tapi Billy memang tidak punya telinga."
"Diam, She-Ra!" aku berkata dengan ketus.
"Kau yang diam!"
“Hei, tidak apa-apa, kok," Alexander cepat-cepat melerai kami. Ia mengangkat
kedua tangan agar kami diam. "Tidak apa-apa."
Aku kembali berpaling ke panel kontrol. Sebagian besar tombol diterangi lampu,
dan jarum-jarum penunjuk tampak bergerak-gerak.
Kemudian aku melihat satu piringan yang gelap. Jarum penunjuknya pun diam
saja.
"Kalau yang ini untuk apa?" aku bertanya sambil menunjuk. "Sepertinya kau lupa
menyalakannya."
"Oh, itu pengendali untuk botol Nansen," ujar Alexander. "Itu memang lagi rusak."
"Botol Nansen? Apa itu?" tanya Sheena.
"Alat itu digunakan untuk mengambil sampel air laut dari tempat yang dalam
sekali," kata Alexander.
"Kenapa tidak diperbaiki saja?" tanyaku.
"Dananya tidak ada," jawab Alexander.
"Masa, sih?" tanya Sheena. "Dr. D. kan dapat uang dari universitas."
Sheena dan aku tahu bahwa riset Dr. D. dibiayai oleh sebuah universitas di Ohio.
"Mereka memang memberikan uang untuk riset," Alexander menjelaskan. "Tapi
uangnya sudah hampir habis. Kami masih menunggu apakah ada tambahan dana.
Untuk sementara, kami tidak punya uang untuk memperbaiki peralatan yang
rusak."
"Tapi bagaimana kalau Cassandra rusak?" tanyaku.
"Kalau begitu kapal kami terpaksa naik ke dok untuk beberapa waktu," ujar
Alexander. "Atau kami harus cari cara lain untuk mendapatkan uang."
"Oh," kata Sheena, "kalau begitu kami tidak bisa lagi menghabiskan liburan musim
panas bersama Dr. D., dong.”
Aku tidak tega membayangkan Cassandra menganggur di dok. Dan yang lebih
parah lagi adalah membayangkan Dr. D. di darat tanpa ada ikan yang bisa
dipelajarinya.
Pamanku itu memang tidak betah di darat. Dia hanya bisa merasa nyaman kalau
berada di atas kapal. Aku tahu itu, sebab suatu kali dia pernah berkunjung ke
rumah kami pada waktu Natal. Biasanya Dr. D. sangat menyenangkan. Tapi
kunjungannya waktu itu benar-benar seperti mimpi buruk.
Dr. D. tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir di rumah kami. Dia menyerukan
perintah-perintah seperti kapten kapal perang.
"Billy, duduk tegak!" dia menghardikku. "Sheena, bersihkan geladak!"
Dia seperti orang bingung. Akhirnya, pada Malam Natal, ayahku tidak tahan lagi.
Dia menyuruh Dr. D. menahan diri atau kembali ke kapalnya.
Dr. D. menghabiskan sebagian besar Hari Natal di dalam bak mandi sambil
bermain dengan kapal-kapalan milikku waktu aku masih kecil.
Asal dia berada di dalam air, dia bisa bersikap seperti biasa.
Pokoknya, aku tak mau melihat Dr. D. terdampar di darat lagi. Sekali itu sudah
cukup.
"Kalian tak perlu kuatir," Alexander berusaha meyakinkan kami. "Dr. D. selalu
bisa menemukan jalan keluar."
Aku hanya bisa berharap bahwa Alexander benar. Aku mengamati piringan lain,
yang ditandai SONAR PROBES.
"Eh, Alexander," kataku. "Tolong tunjukkan, dong, bagaimana kerjanya?"
"Beres," jawab Alexander. "Tapi sebelumnya ada beberapa tugas yang harus
kuselesaikan dulu."
Dia menghampiri tangki ikan pertama. Kemudian dia menangkap beberapa ikan
guppy dengan jaring kecil.
"Siapa yang mau memberi makan Biff hari ini?" dia bertanya.
"Bukan aku!" balas Sheena. "Ih!"
"Aku juga tidak mau!" kataku.
Aku menghampiri jendela bulat dan memandang ke luar. Rasanya aku mendengar
bunyi mesin kapal di luar. Selama ini kami jarang melihat kapal lain.
Hanya sedikit yang berlayar melewati Ilandra. Sebuah kapal putih merapat di sisi
Cassandra.
Kapal itu lebih kecil, tapi lebih baru dibandingkan kapal kami. Logo pada
haluannya bertulisan MARINA ZOO.
Aku melihat seorang pria dan seorang wanita berdiri di geladak kapal itu. Kedua-
duanya berpakaian rapi dengan celana khaki dan kemeja.
Si pria berambut pendek, sedangkan rambut rekan wanitanya dikuncir. Dia
membawa sebuah tas kerja kecil berwarna hitam.
Si pria melambaikan tangan kepada seseorang yang berdiri di geladak Cassandra.
Aku rasa dia melambai kepada Dr. D.
Kini Sheena dan Alexander sudah berdiri di sampingku. Mereka ikut mengintip ke
luar.
"Siapa mereka itu?" tanya Sheena.
Alexander berdeham. "Coba kulihat dulu ada apa ini," dia berkata.
Dia langsung menyerahkan jaring berisi ikan ikan guppy kepada Sheena.
"Nih," katanya. "Tolong beri makan Biff. Nanti aku ke sini lagi."
Dia bergegas meninggalkan laboratorium.
Sheena menatap ikan-ikan kecil yang menggeliat-geliut di dalam jaring, lalu
meringis.
"Aku tidak mau melihat bagaimana Biff melahap ikan-ikan malang ini." Dia
menyerahkan jaringnya kepadaku, lalu lari meninggalkan lab.
Aku juga tidak berminat melihat Biff makan. Tapi aku tidak tahu harus berbuat
apa.
Langsung saja kumasukkan ikan-ikan guppy itu ke tangki Biff. Kepala belut itu
melesat maju. Giginya mencengkeram seekor ikan. Sekejap saja ikan kecil itu
hilang ditelan, dan Biff mulai mengincar yang berikut.
Dia makan dengan lahap.
Aku menaruh jaring di meja lalu menyusul Sheena.
Kususuri gang sempit. Rasanya aku mau naik ke geladak saja untuk menghirup
udara segar.
Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Dr. D. bakal mengizinkan aku berenang lagi
nanti sore. Kalau boleh, mungkin aku bisa berenang ke laguna untuk mencari
monster laut.
Apakah aku takut?
Ya.
Tapi aku telah bertekad untuk membuktikan kepada paman dan adikku bahwa aku
tidak gila. Bahwa aku tidak mengada-ada.
Aku sedang lewat di depan ruang kerja Dr. D. ketika aku mendengar suara-suara.
Aku menyimpulkan bahwa Dr. D. dan Alexander sedang berbicara dengan kedua
orang dari kebun binatang.
Aku berhenti sejenak. Sumpah, aku tidak bermaksud menguping. Tapi suara pria
dari kebun binatang itu keras sekali, dan setiap kata yang diucapkannya terdengar
jelas sekali.
Dan dia membicarakan masalah paling menakjubkan yang pernah kudengar
seumur hidupku.
"Saya tidak peduli bagaimana caranya, Dr. Deep," dia bersungut-sungut.
"Pokoknya saya ingin anda menangkap putri duyung itu!"

PUTRI duyung!
Apakah dia serius?
Mula-mula aku sendiri juga tidak percaya. Masa sih dia meminta pamanku
menangkap putri duyung?
Kalau Sheena sempat mendengarnya, dia pasti langsung bersenandung, "Mana ada,
mana ada." Tapi orang yang berbicara dengan pamanku adalah orang dewasa,
seorang pria yang bekerja untuk sebuah kebun binatang, dan dia bicara soal putri
duyung. Berarti dia memang serius!
Jantungku mulai berdegup-degup. Kemungkinan aku akan termasuk orang pertama
di bumi yang melihat putri duyung! aku berkata dalam hati.
Dan kemudian sebuah pikiran yang lebih mengasyikkan lagi terlintas dalam
benakku, Wah, bagaimana kalau aku yang menemukannya?
Aku bakal terkenal! Aku bakal masuk TV! William Deep, Jr., si penjelajah dunia
bawah air yang tersohor!
Nah, setelah mendengar percakapan itu, aku tidak bisa berlalu begitu saja. Aku
harus mendengar kelanjutannya.
Sambil menahan napas aku menempelkan telingaku ke daun pintu.
"Mr. Showalter, Miss Wickman, saya harap Anda mengerti," aku mendengar Dr.
D. berkata. "Saya ilmuwan, bukan pelatih sirkus. Pekerjaan saya bersifat ilmiah.
Saya tidak bisa membuang-buang waktu dengan mengejar makhluk dongeng."
"Kami sangat serius, Dr. Deep," ujar Miss Wickman. "Di perairan ini memang ada
putri duyung. Dan kalau ada yang bisa menemukannya, Andalah orangnya."
Aku mendengar Alexander bertanya, "Dari mana Anda tahu bahwa ada putri
duyung di sini?"
"Seorang nelayan dari salah satu pulau di dekat sini melihatnya," jawab pria dari
kebun binatang. "Dia mengaku sempat mendekati putri duyung itu —dan dia yakin
dia tidak salah lihat. Dia melihatnya di dekat gosong karang... gosong karang ini,
di lepas pantai Ilandra."
Gosong karang! Barangkali putri duyung itu hidup di dalam laguna!
Aku semakin merapat ke pintu. Aku harus mendengar setiap kata yang
diucapkannya.
"Nelayan-nelayan ini sangat percaya takhayul, Mr. Showalter," kata pamanku.
"Sudah bertahun-tahun saya mendengar cerita semacam ini….tapi takk pernah ada
alasan kuat untuk mempercayai kebenarannya."
"Pertama-tama kami juga tidak percaya," ujar Miss Wickman. "Tapi kemudian
kami menanyakan hal ini kepada beberapa nelayan lain, dan mereka pun mengaku
pernah melihat putri duyung tersebut. Dan saya pikir mereka bicara apa adanya.
Ciri-ciri yang mereka sebutkan cocok satu sama lainnya—sampai ke detail yang
paling kecil."
Aku mendengar kursi kerja pamanku berderak-derak. Aku membayangkan dia
membungkuk ke depan ketika bertanya, "Dan bagaimana tepatnya ciri-ciri yang
mereka sebutkan?"
"Mereka bilang putri duyung itu menyerupai gadis muda," Mr. Showalter
memberitahunya. "Kecuali...," ia berdeham, "...ekor ikannya. Dia kecil, berbadan
langsing, dengan rambut pirang yang panjang."
"Mereka bilang bahwa ekornya mengilap dan berwarna hijau cerah,"
Miss Wickman menambahkan. "Saya tahu ini kedengarannya tidak masuk akal, Dr.
Deep. Tapi setelah bicara dengan para nelayan, kami jadi yakin bahwa mereka
benar-benar melihat putri duyung!"
Suasana hening sejenak.
Jangan-jangan ada ucapan yang tak terdengar olehku. Aku merapatkan telingaku
ke daun pintu. Pamanku berkata, "Dan kenapa Anda ingin menangkap putri
duyung itu?"
"Anda tentu mengerti bahwa putri duyung itu akan menjadi atraksi spektakuler di
kebun binatang kami," Miss Wickman menjelaskan.
"Orang orang akan berdatangan dari seluruh dunia untuk melihatnya. Marina Zoo
akan meraih keuntungan jutaan dolar."
"Kami bersedia membayar mahal untuk jasa-jasa Anda, Dr. Deep," Mr. Showalter
angkat bicara. "Saya dengar Anda mulai kehabisan uang. Bagaimana kalau pihak
universitas menolak untuk memberikan dana tambahan? Rasanya sayang kalau
pekerjaan Anda yang demikian penting terpaksa berhenti karena hal sepele seperti
itu."
"Marina Zoo akan memberikan satu juta dolar kepada Anda," ujar Miss Wickman.
"Kalau Anda bisa menangkap putri duyung itu. Saya percaya uang sebanyak itu
bisa menopang riset Anda untuk waktu yang lama."
Satu juta dolar! aku berkata dalam hati. Mana mungkin Dr. D. menolak uang
sebanyak itu?
Jantungku berdebar-debar. Aku menempelkan telinga ke pintu untuk mendengar
jawaban pamanku.

SAMBIL bersandar pada pintu, aku mendengar Dr.D. bersiul perlahan. "Uih, itu
cukup banyak, Miss Wickman," aku mendengarnya berkata.
Suasana kembali hening. Kemudian dia melanjutkan, "Tapi kalau memang ada
putri duyung, saya akan merasa berdosa sekali kalau saya menangkapnya untuk
dipamerkan di sebuah kebun binatang."
"Saya jamin kami akan merawatnya dengan baik," balas Mr. Showalter. "Lumba-
lumba dan paus-paus piaraan kami diurus dengan sebaik mungkin. Tapi putri
duyung itu tentu saja akan memperoleh perlakuan istimewa."
"Dan jangan lupa, Dr. Deep," Miss Wickman menimpali, "kalau bukan Anda yang
menangkap putri duyung itu, maka orang lain akan melakukannya. Dan tak ada
jaminan bahwa mereka akan memperlakukannya sebaik kami."
“Hmm, benar juga," aku mendengar pamanku bergumam. "Riset saya akan maju
pesat kalau saya bisa menemukannya."
Kalau begitu Anda setujur Mr. Showalter bertanya dengan berapi-api.
Jawab ya, Dr. D.! aku berkata dalam hati. Terima saja tawaran mereka!
Kutempelkan seluruh tubuhku ke daun pintu.
"Ya," jawab pamanku. "Kalau memang ada putri duyung di sini, saya akan
menemukannya."
Bagus! pikirku.
"Bagus," kata Miss Wickman.
"Keputusan yang tepat," Mr. Showalter menambahkan penuh semangat. "Dari
pertama saya sudah tahu bahwa kami mendatangi orang yang tepat untuk pekerjaan
ini."
"Kami akan kembali dalam beberapa hari untuk melihat bagaimana kemajuan yang
Anda capai. Saya harap saat itu Anda sudah bisa memberikan kabar gembira
kepada kami," kata Miss Wickman.
"Waktunya singkat sekali," aku mendengar Alexander berkomentar.
"Kami tahu," balas Miss Wickman. "Tapi semakin cepat dia ditemukan, semakin
baik."
"Dan tolong," Mr. Showalter menambahkan, "tolong Anda rahasiakan urusan ini.
Tak seorang pun boleh tahu tentang putri duyung ini. Anda tentu bisa
membayangkan apa yang terjadi seandainya..."
GEDUBRAK!
Aku kehilangan keseimbangan dan menabrak pintu.
Di luar dugaanku, pintunya membuka... dan aku terjerembap di tengah ruangan.

AKU jatuh ke lantai kabin.


Dr. D., Mr. Showalter, Miss Wickman, dan Alexander menatapku sambil melongo.
Rupanya mereka tidak menduga bahwa aku akan mampir.
"Ehm... halo, semuanya," aku bergumam. Wajahku terasa panas, dan aku tahu
bahwa aku tersipu-sipu. "Hari yang bagus untuk berburu putri duyung."
Mr. Showalter langsung berdiri dan mendelik ke arah pamanku.
"Bagaimana ini?!" dia berseru dengan gusar. "Urusan ini seharusnya dirahasiakan."
Alexander melintasi ruangan dan membantuku berdiri. "Jangan kuatir tentang
Billy," katanya sambil merangkul pundakku. "Dia bisa dipercaya."
"Maafkan kejadian ini, Dr. D. berkata kepada kedua tamunya. "Ini keponakan saya,
Billy Deep. Dia dan adiknya berlibur di sini selama beberapa minggu."
"Apakah mereka bisa menjaga rahasia kita?" tanya Miss Wickman.
Dr. D. melirik kepada Alexander. Alexander mengangguk.
"Ya, saya yakin rahasia kita tetap aman," ujar Dr.D. “Billy takkan mengatakan apa
pun kepada siapa pun. Ya, kan, Billy?"
Ia menatapku sambil memicingkan mata. Aku benci kalau dia menatapku seperti
itu. Tapi kali ini aku tidak bisa menyalahkannya.
Aku menggelengkan kepala. "Aku takkan menceritakan apa pun. Sungguh."
"Sekadar untuk berjaga-jaga, Billy," kata Dr. D., "Jangan singgung urusan putri
duyung ini di depan Sheena. Dia masih terlalu kecil untuk menyimpan rahasia
besar seperti ini."
"Aku berjanji," ujarku dengan serius. Aku mengangkat tanganku seakan-akan
mengucapkan sumpah. "Aku takkan menceritakan apa pun kepada Sheena."
Wah, ini benar-benar asyik!
Aku tahu rahasia terbesar di seluruh dunia—dan Sheena tidak tahu apa-apa!
Tapi pria dari wanita dari kebun binatang itu bertukar pandangan. Aku langsung
tahu bahwa mereka masih kuatir.
Alexander berkata, "Billy bisa dipercaya. Dia serius sekali untuk anak seumurnya."
Tentu saja aku serius, aku berkata dalam hati. Aku William Deep, Jr., penangkap
putri duyung yang tersohor di seluruh dunia.
Mr. Showalter dan Miss Wickman tampak lebih tenang.
"Oke," ujar Miss Wickman. Dia bersalaman dengan Dr. D., Alexander, dan aku.
Mr. Showalter mengumpulkan beberapa berkas Dan memasukkan semuanya ke
dalam tas kerja.
"Kalau begitu, sampai ketemu dalam beberapa hari," kata Miss Wickman. "Mudah-
mudahan kita beruntung.”
Aku tidak butuh keberuntungan, pikirku, ketika aku memperhatikan mereka melaju
menjauh dengan kapal mereka.
Aku tidak butuh keberuntungan, sebab aku punya keahlian. Dan keberanian.
Kepalaku serasa berputar-putar karena kelewat gembira.
Apakah aku akan mengajak Sheena tampil di TV setelah aku menangkap putri
duyung itu seorang diri?
Kemungkinan besar tidak.

***

Malam itu aku menyelinap dari kabinku dan masuk ke air yang gelap.
Tanpa bersuara aku berenang ke arah laguna.
Aku menoleh dan memperhatikan Cassandra. Kapal itu mengapung dengan tenang.
Semua jendela kabin tampak gelap.
Bagus, aku berkata dalam hati. Semuanya sedang tidur. Tak ada yang tahu aku
pergi. Tak ada yang tahu aku ada di luar sini. Tak ada yang tahu aku berenang di
laut, sendirian, di tengah malam buta.
Dengan mantap aku mengayunkan tangan dan kaki di bawah cahaya bulan yang
keperakan. Aku mengitari gosong karang, lalu masuk ke laguna yang gelap.
Begitu melewati gosong karang, aku mengurangi kecepatan.
Aku memandang berkeliling. Ombak-ombak beralun pelan di sekitarku. Air laut
tampak berkilau,seolah-olah jutaan berlian kecil mengambang di permukaannya.
Di mana si putri duyung?
Aku tahu dia ada. Aku tahu aku akan menemukannya di sini.
Jauh di bawahku, aku mendengar bunyi bergemuruh.
Aku memasang telinga. Mula-mula bunyi itu terdengar perlahan, tapi makin lama
makin keras. Ombak pun bertambah besar.
Sepertinya ada gempa. Gempa di dasar laut.
Laut mulai bergolak. Aku harus berjuang keras agar tidak terbenam.
Ada apa ini?
Sekonyong-konyong sebuah gelombang raksasa muncul di tengah-tengah laguna.
Gelombang itu menjulang tinggi, bagaikan disembur dari perut bumi.
Tinggi, semakin tinggi. Menjulang di atas kepalaku. Setinggi bangunan!
Gelombang pasang? Bukan.
Gelombang itu pecah.
Makhluk berwarna gelap muncul dari bawahnya.
Air membasahi tubuhnya yang berbentuk aneh.
Mata tunggalnya menatapku dengan pandangan mengancam.
Tentakel-tentakelnya menjulur-julur. Aku menjerit.
Monster itu mengedipkan matanya yang cokelat.
Aku berbalik dan berusaha berenang menjauh. Tapi monster itu terlalu gesit.
Tentakelnya bergerak dengan cepat... dan menangkap diriku. Tentakel itu
mencengkeram pinggangku dengan erat.
Kemudian tentakel lain yang licin dan dingin melingkar pada leherku dan mulai
mencekik.

"AKU... aku tidak bisa napas!" aku berkata dengan susah payah.
Dengan sekuat tenaga aku menarik-narik tentakel yang melilit leherku.
"Tolong! Toloong!"
Aku membuka mata... dan menatap langit-langit. Aku berada di tempat tidur.
Di kabinku.
Tubuhku terlilit seprai.
Aku menarik napas panjang dan menunggu sampai detak jantungku kembali
normal. Rupanya aku berrmimpi.
Cuma bermimpi.
Aku menggosok-gosok mata, turun dari tempat tidur, lalu memandang ke luar
lewat jendela kabin. Matahari baru muncul di cakrawala.
Langit masih tampak merah, sedangkan permukaan laut terlihat keungu-unguan.
Sambil memicingkan mata aku memandang ke arah laguna. Semuanya serba
tenang. Tak ada monster laut.
Dengan lengan piama aku menyeka keringat yang membasahi keningku.
Tak perlu takut, aku berkata dalam hati. Itu cuma mimpi. Mimpi buruk.
Aku menggelengkan kepala untuk mengusir monster laut itu dari pikiranku.
Aku tidak boleh takut. Aku tidak boleh membiarkan apa pun menghalangi
pencarian putri duyung.
Apakah yang lain sudah bangun? Jangan-jangan aku sempat memekik keras-keras
waktu bermimpi tadi.
Aku pasang telinga. Yang terdengar hanya bunyi berderak dari kapal, serta suara
ombak yang menerpa lambung kapal.
Sinar matahari pagi membangkitkan semangatku.
Air yang gelap tampak mengundang sekali.
Aku cepat-cepat mengenakan celana renang dan menyelinap keluar dari kabin.
Aku bergerak dengan hati-hati, supaya tidak ada yang mendengarku.
Di galley aku melihat cangkir kopi yang sudah setengah kosong di atas alat
penghangat. Itu menandakan bahwa Dr. D. sudah bangun.
Aku mengendap-endap menyusuri gang dan pasang telinga. Aku mendengar Dr. D.
kasak-kusuk di lab utama.
Tanpa bersuara aku meraih snorkel, sepatu katak, dan masker selam.
Kemudian aku naik ke geladak. Tak ada siapa-siapa.
Semuanya aman.
Perlahan-lahan aku turun lewat tangga, masuk dalam air, lalu berenang ke laguna.
Aku tahu aku seharusnya tidak pergi diam-diam seperti itu. Tapi semangatku yang
menggebu-gebu tidak bisa diredam lagi. Biarpun aku sering membayangkan diriku
sebagai William Deep, Jr., si penjelajah dunia bawah air, aku tak pernah bermimpi
bakal melihat putri duyung!
Sambil berenang ke laguna, aku berusaha mengira-ngira seperti apa dia.
Mr. Showalter bilang bahwa putri duyung itu menyerupai gadis muda dengan
rambut pirang yang panjang dan ekor ikan berwarna hijau.
Ajaib juga, pikirku.
Setengah manusia, setengah ikan.
Aku berusaha membayangkan bagaimana rasanya kalau kakiku diganti dengan
ekor ikan.
Wah, aku bakal jadi perenang paling jago di seluruh dunia kalau aku punya ekor
ikan, aku meyimpulkan. Aku bisa memenangkan medali emas di Olimpiade tanpa
perlu berlatih.
Apakah dia cantik? aku bertanya dalam hati. Dan, apakah dia bisa bicara? Mudah-
mudahan saja bisa. Kalau begitu kan dia bisa menceritakan segala rahasia samudra
padaku.
Hmmm bagaimana caranya dia bernapas di dalam air?
Apakah dia berpikir seperti manusia, atau seperti ikan?
Begitu banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Ini bakal jadi petualangan terbesar dalam hidupku, aku berkata dalam hati. Setelah
aku jadi orang terkenal, aku akan menulis buku untuk menceritakan semua
petualanganku di bawah air. Aku bahkan sudah tahu judulnya, Courage of the
Deep, oleh William Deep, jr, Dan siapa tahu kelak ada produser yang berminat
untuk mengangkatnya ke layar perak.
Aku memandang ke depan dan menyadari bahwa aku sudah berada di dekat
gosong karang. Kali ini aku sengaja menjaga jarak. Satu kali terkena koral api
sudah lebih dari cukup.
Aku sudah tidak sabar untuk menyelidiki laguna itu. Aku begitu bersemangat,
sehingga aku lupa soal mimpi buruk yang menghantuiku semalam.
Kugerakkan kakiku dengan hati-hati, sambil berjaga-jaga agar aku tidak
menyentuh koral merah.
Aku sudah hampir melewati gosong karang ketika aku merasakan sesuatu
mengenai kakiku.
"Oh!" aku langsung berseru, dan tahu-tahu aku sudah menelan seteguk air laut.
Seketika aku terbatuk-batuk.
Tapi kemudian aku merasakan sesuatu menggenggam mata kakiku.
Aku merasakan kulitku tergores sesuatu yang tajam.
Kali ini aku yakin bahwa itu bukan rumput laut. Soalnya rumput laut tidak punya
cakar!

10

TANPA menggubris perasaan panik yang nyaris melumpuhkanku, aku


menendang-nendang dengan sekuat tenaga.
"Hei! Jangan main tendang, dong!" sebuah suara berteriak.
Si putri duyung?
Ternyata bukan.
"Kau...!" aku berseru marah ketika kepala Sheena muncul di sampingku. Dia
menaikkan masker selamnya.
"Aku kan tidak kelewat keras mencakarmu!" dia membentak. "Jangan mengamuk
begitu, dong!"
"Kenapa kau ada di sini?" aku bertanya dengan ketus.
"Kenapa kau ada di sini?" dia membalas sambil tersenyum jail. "Kau kan tahu
bahwa Dr. D. melarang kita berenang ke sini."
"Kalau begitu kau seharusnya tidak ada di sini... ya, kan?" aku berseru.
"Aku tahu kau merencanakan sesuatu, jadi aku menguntitmu ke sini," sahut Sheena
sambil memasang maskernya kembali.
"Aku tidak merencanakan apa-apa," aku berbohong. "Aku cuma mau berenang."
"Tentu, Billy. Sekarang jam setengah tujuh pagi, dan kamu cuma mau berenang di
tempat yang tidak boleh kau datangi... dan di tempat kakimu terbakar kena koral
api kemarin. Mana mungkin aku percaya!? Kau merencanakan sesuatu, atau kau
sudah gila!"
Dia menatapku sambil memicingkan mata, dan menunggu jawaban.
Wah, pilihan yang sulit. Aku merencanakan sesuatu atau aku sudah gila. Mana
yang harus kupilih?
Kalau aku mengakui bahwa aku merencanakan sesuatu, aku terpaksa bercerita soal
putri duyung itu—dan itu tidak mungkin.
"Oke," kataku sambil angkat bahu dengan sikap masa bodoh. "Kelihatannya aku
sudah gila."
"Huh, kalau itu sih aku sudah tahu dari dulu," Sheena bergumam dengan sinis.
"Ayo, kita balik ke kapal, Billy. Dr. D. pasti sudah mencari kita."
"Kau duluan saja. Nanti aku menyusul."
"Billy," Sheena mendesak. "Dr. D. pasti marah besar. Bagaimana kalau dia sudah
menurunkan sekoci untuk mencari kita?"
Aku sudah hampir menyerah dan mengikuti Sheena. Tapi tiba-tiba, dari sudut
mata, aku melihat sesuatu melompat dari air di seberang gosong karang.
Si putri duyung! aku berkata dalam hati. Itu pasti dia! Kalau aku tidak
mengejarnya sekarang, aku mungkin tak pernah lagi dapat kesempatan!
Aku berbalik, menjauhi Sheena. Aku berenang dengan cepat langsung menuju
gosong karang.
Aku mendengar Sheena berteriak, "Billy! Kembali! Billy!"
Rasanya suaranya bernada panik, tapi aku tidak ambil pusing. Aku yakin Sheena
cuma mau menakut-nakuti aku.
"Billy!" dia kembali menjerit. "Billy!" Aku terus saja berenang.
Tak ada yang bisa menghentikanku.
Tapi kemudian aku sadar bahwa aku seharusnya mendengarkannya.
11

SAMBIL berenang dengan cepat, aku mengangkat kepala untuk mencari tempat
yang aman untuk melewati gosong karang api.
Sekali lagi aku melihat sesuatu melompat dari air. Kali ini di seberang laguna. Di
dekat pantai. Itu pasti si putri duyung! pikirku dengan semangat menggebu-gebu.
Aku sampai melotot agar bisa melihat lebih jelas.
Sepertinya aku melihat sebuah sirip.
Kini aku telah memasuki perairan laguna yang dalam dan tenang. Aku memandang
berkeliling.
Tapi masker selamku ternyata kemasukan air, sehingga aku tidak bisa melihat apa-
apa.
Brengsek! aku mengumpat. Kenapa harus sekarang?
Aku berhenti untuk menghirup udara, lalu melepas maskerku. Aku hanya bisa
berharap bahwa aku tidak kehilangan jejak si putri duyung gara-gara ini.
Aku menyeka air dari mataku. Lalu, sambil membiarkan maskerku menggelantung
pada pergelangan tanganku, aku memandang ke laguna.
Saat itulah aku melihatnya. Beberapa ratus meter dari tempatku berada.
Bukan ekor ikan berwarna hijau si putri duyung. Sirip yang kulihat berbentuk
segitiga berwarna putih-kelabu yang menyembul tegak lurus dari permukaan air.
Sirip punggung seekor hiu martil.
Sementara aku membelalakkan mata, sirip itu berbalik, lalu melesat ke arahku...
kencang dan lurus bagaikan torpedo.

12

DI mana Sheena?
Apakah dia masih di belakangku?
Aku menengok ke belakang. Aku melihatnya di kejauhan, berenang ke arah kapal.
Tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan Sheena, soalnya sirip kelabu tadi
sudah semakin dekat.
Aku mengayun-ayunkan tangan. Dengan kalang kabut aku mencoba berenang
menjauh.
Tapi waktu ikan hiu itu melewatiku, aku langsung berhenti.
Barangkali dia akan pergi kalau aku diam saja.
Barangkali dia takkan menggangguku.
Dengan jantung berdebar-debar aku mulai berenang ke arah lain, yaitu ke arah
gosong karang.
Menjauhi hiu itu.
Pandanganku terus melekat pada siripnya.
Ikan itu mulai berputar dan akhirnya kembali menuju ke arahku.
"Ohhh!" aku mendesah ketika menyadari bahwa hiu itu berenang mengelilingiku.
Aku jadi bingung ke arah mana aku harus berenang. Hiu itu berenang di antara aku
dan kapal Dr. D. Mungkin akan lebih aman kalau aku berbalik dan memanjat ke
gosong karang.
Sirip itu kembali mendekat.
Aku melesat ke arah gosong karang. Aku tahu hahwa aku harus mempertahankan
jarak antara aku dan hiu itu.
Tiba-tiba siripnya muncul di hadapanku... di antara aku dan gosong karang.
Hiu itu terus mengelilingiku dalam lingkaran yang semakin kecil.
Semakin lama, kecepatannya pun terus bertambah.
Aku terjebak. Tapi aku tidak bisa diam saja. Aku tidak bisa mengapung sambil
menunggu sampai hiu itu memangsaku.
Aku harus melawan. Dengan panik aku menendang-nendang sewaktu mendekati
gosong karang.
Aku sudah hampir sampai. Tapi hiu itu pun berenang dalam lingkaran yang
semakin kecil.
Napasku terengah-engah. Aku tidak sanggup berpikir dengan tenang.
Aku terlalu ketakutan. Dua kata terus mengiang-ngiang di telingaku, Ikan hiu. Ikan
hiu.
Terus-menerus. Ikan hiu. Ikan hiu.
Hiu itu tetap mengelilingiku. Ekornya menyambar dan membasahi kepalaku
dengan percikan air. Ikan hiu. Ikan hiu.
Dengan mata terbelalak aku menatap monster itu. Dia begitu dekat, sehingga aku
bisa melihat dengan jelas. Dia besar... panjang badannya paling tidak tiga meter.
Kepalanya lebar dan mengerikan,seperti kepala martil, dengan satu mata pada
masing-masing ujungnya.
Aku mendengar suaraku sendiri, merintih-rintih, "Jangan... jangan..."
Tiba-tiba kakiku terbentur sesuatu.
Ikan hiu. Ikan hiu.
Perutku serasa diaduk-aduk. Aku mendongakkan kepala dan menjerit sejadi-
jadinya.
"Aaaauuu!"
Rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhku.
Hiu itu telah menabrakku dengan moncongnya. Badanku terangkat dari air, lalu
jatuh berdebam. Air bercipratan ke segala arah.
Aku diam seperti patung.
Hiu itu lapar.
Dia mencari mangsa.
Dia kembali berenang mengelilingiku, lalu meluncur tepat ke arahku.
Mulutnya menganga lebar. Aku melihat giginya tajam dan runcing... deretan demi
deretan.
Suaraku terdengar parau ketika aku berteriak, "JANGAN!"
Dengan panik aku memukul-mukul permukaan air. Aku menendang-nendang
dengan sekuat tenaga.
Gigi-gigi tajam itu lewat di samping kakiku. Jaraknya hanya beberapa senti.
Gosong karang. Aku harus naik ke gosong karang. Itu satu-satunya kesempatan
yang kumiliki.
Tanpa membuang-buang waktu aku berenang ke gosong karang. Hiu itu langsung
mengejar. Tapi sekali lagi aku berhasil mengelak dari sambaran giginya.
Aku meraih tonjolan koral merah di hadapanku. Seketika tanganku seperti
terbakar. Koral api!
Aku tidak peduli.
Puncak gosong karang berada tepat di atas permukaan air. Aku berusaha menarik
diriku ke atasnya. Seluruh tubuhku terasa perih.
Aku sudah hampir berhasil. Sedikit lagi. Dalam beberapa detik aku sudah aman.
Aku mengerahkan seluruh tenaga untuk naik ke gosong karang... tapi sekonyong-
konyong aku kembali ke dalam air.
Perutku membentur gosong karang. Kakiku nyeri seperti ditusuk-tusuk.
Aku berusaha membebaskan kakiku. Tapi sia-sia. Kakiku dicengkeram oleh gigi
hiu itu.
Pikiranku berteriak-teriak dengan ngeri.
Ikan hiu. Ikan hiu.
Dia berhasil menangkapku!
13

SELURUH tubuhku seperti terbakar. Aku tak sanggup mencegah tubuhku merosot
kembali ke dalam air. Hiu itu tahu bahwa aku tak mungkin lolos. Aku tak punya
tenaga lagi untuk melawannya.
Tiba-tiba ada cipratan air di dekatku.
Hiu itu lalu melepaskan kakiku dan melesat ke arah cipratan itu.
Tapi aku tak sempat menarik napas lega. Hiu itu segera kembali menerjang ke
arahku.
Aku memejamkan mata dan memekik dengan suara melengking.
Satu detik berlalu. Kemudian satu detik lagi.
Tidak terjadi apa-apa.
Aku mendengar suara benturan.
Dengan waswas aku membuka mata.
Ternyata di antara aku dan hiu itu ada sesuatu beberapa meter di hadapanku.
Aku membelalakkan mata. Air di sekitarku bergolak hebat. Sebuah ekor panjang
berwarna hijau mengilap muncul dari air, lalu menghilang lagi.
Hiu itu diserang ikan lain!
Hiu itu berputar, lalu balik menyerang. Ekor hijau tadi menghantam kepalanya
dengan keras, dan hiu itu lenyap di bawah air.
Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi. Aku hanya melihat gelombang-gelombang
berbuih putih di sekelilingku.
Di mana-mana air tampak bergolak, bercipratan,dan berbuih. Di tengah kekacauan
itu aku mendengar pekikan binatang bernada melengking. Lho, hiu kan tidak
bersuara? aku brkata dalam hati. Dari mana suara itu berasal?
Hiu itu muncul di permukaan. Mulutnya yang penuh gigi menganga lebar. Dia
menggigit sesuatu, satu kali, dua kali. Tapi gigitannya selalu luput dari sasaran.
Ekor ikan yang panjang dan hijau tadi naik dari air, lalu menghunjam dengan
keras, menghantam si hiu tepat di kepalanya.
Hiu itu langsung mengatupkan mulut dan kembali menghilang dari pandangan.
Kemudian aku mendengar bunyi benturan yang keras. Seketika airnya berhenti
bergolak.
Sedetik kemudian sebuah sirip kelabu menyembul beberapa meter di hadapanku,
segera melesat ke arah berlawanan.
Hiu itu kabur!
Sambil melongo aku menatap ekor ikan berwarna hijau yang tampak melengkung
di atas permukaan air.
Setelah air di sekelilingku kembali tenang, aku mendengar suara merdu—indah,
tapi sekaligus agak sedih. Seperti suara orang bersiul, sekaligus berdengung.
Kedengarannya seperti suara paus. Tapi makhluk ini jauh lebih kecil dibandingkan
paus.
Ekor hijau itu berputar. Kemudian kepala makhluk tersebut muncul dari bawah air.
Sebuah kepala dengan rambut panjang berwarna pirang.
Si putri duyung!

14

AKU terapung-apung di air, tanpa menggubris rasa nyeri di seluruh tubuhku.


Segenap perhatianku tertuju pada makhluk ajaib yang kini berada di hadapanku.
Di luar dugaanku, ciri-ciri putri duyung itu persis yang digambarkan orang-orang
dari kebun binatang.
Kepala dan pundaknya lebih kecil daripada kepala dan pundakku, tapi ekornya
yang berwarna hijau mengilap kelihatan panjang dan kuat sekali. Matanya yang
besar dan berwarna hijau laut tampak berbinar-binar. Kulitnya seakan-akan
berpendar dengan warna merah muda.
Aku hanya bisa menatapnya sambil membisu. Dia benar-benar ada! aku berkata
dalam hati. Dan dia cantik sekali!
Akhirnya suaraku muncul lagi.
"Kau... kau menyelamatkan aku!" ujarku sambil tergagap-gagap. “Kau
menyelamatkan nyawaku. Terima kasih!"
Dia menundukkan kepala dengan malu, lalu mendekut dengan lembut melalui
bibirnya yang berwarna kemerah-merahan. Apa yang hendak dikatakannya?
"Bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu?" aku bertanya padanya.
Aku mau melakukan apa saja yang bisa kulakukan.
Dia tersenyum, lalu mengeluarkan suara berdengung. Dia berusaha bicara
denganku. Coba kalau aku bisa memahaminya.
Kemudian dia meraih tanganku dan memeriksanya. Sambil mengerutkan kening
dia mengamati bercak-bercak merah yang ditimbulkan oleh koral api tadi.
Tangannya terasa sejuk sekali. Dia mengusap-usapkannya pada tanganku, dan
seketika perihnya mulai berkurang.
"Wow!" aku berseru. Kedengarannya pasti konyol sekali, tapi aku tidak tahu apa
lagi yang mesti kukatakan. Sentuhannya seakan-akan berkekuatan gaib. Selama dia
memegang tanganku, aku bisa mengambang tanpa perlu menggerakkan kaki.
Persis seperti dia.
Jangan-jangan aku cuma bermimpi?
Aku memejamkan mata, lalu membukanya kembali.
Aku masih terapung-apung di laut sambil berhadapan dengan putri duyung
berambut pirang. Ternyata tidak. Aku tidak bermimpi.
Dia kembali tersenyum dan menggelengkan kepala sambil bersuara merdu.
Rasanya sukar dipercaya bahwa baru beberapa menit yang lalu aku masih berjuang
mati-matian untuk mengusir ikan hiu yang kelaparan.
Aku mendongakkan kepala dan memandang berkeliling. Hiu itu sudah
menghilang. Air di sekitarku sudah kembali tenang, dan kini berkilau keemasan
karena memantulkan cahaya matahari pagi. Dan aku mengapung di lepas pantai
sebuah pulau bersama putri duyung.
Sheena takkan percaya, aku berkata dalam hati. Kapan pun, dia takkan pernah
percaya.
Tiba-tiba putri duyung itu mengibaskan ekornya dan menghilang di bawah air.
Aku tersentak kaget, dan langsung mencarinya. Tapi dia lenyap tanpa bekas... tak
ada riak gelembung udara.
Ke mana dia? aku bertanya-tanya. Kenapa dia tiba-tiba pergi? Jangan-jangan aku
takkan pernah lagi bertemu dengannya.
Aku menggosok-gosok mata dan kembali mencari-cari. Tak ada petunjuk apa pun.
Sejumlah ikan berenang melewatiku.
Dia menghilang begitu mendadak, sehingga aku curiga bahwa aku cuma
berkhayal.
Tapi tahu-tahu kakiku seperti dicubit.
"Aduh!" aku berseru sambil menarik kakiku. Aku panik lagi. Hiu tadi telah
kembali!
Lalu, di belakangku, aku mendengar suara air bercipratan, disusul suara tawa yang
mirip siulan. Aku segera berbalik.
Si putri duyung menatapku sambil tersenyum nakal. Dia menjentikkan jarinya
dengan gerakan mencubit.
"Ternyata kau!" aku berseru. Aku tertawa lega. “Kau lebih jail dibandingkan
adikku."
Dia kembali bersiul, kemudian memukul permukaan air dengan ekornya. Tiba-tiba
sebuah bayangan melintas di wajahnya. Aku cepat-cepat menoleh.
Tapi terlambat.
Sebuah jaring yang berat menimpa kami. Dengan kalang kabut aku mengayunkan
kaki dan tanganku. Tapi itu justru membuatku semakin terjerat.
Jaringnya ditarik ke atas, dan kami saling berdesakan di dalamnya.
Kami tak berdaya ketika jaringnya diangkat.
Si putri duyung membelalakkan mata dan bersuara dengan ngeri.
"EEEEE!" dia memekik.
Kami diangkat dari air.
EEEEE! Pekikan ketakutan si putri duyung terdengar seperti sirene, mengalahkan
teriakanku untuk minta tolong.

15

"BILLY... Astaga!"
Aku mengintip lewat lubang-lubang jaring dan mengenali Sheena dan Dr. D.
Mereka bekerja keras untuk menarik kami naik ke sekoci.
Sheena menatap aku dan si putri duyung sambil terbengong-bengong.
Dr. D. pun membelalakkan matanya. Dia bahkan lupa mengatupkan mulutnya.
"Kau menemukannya, Billy!" dia berkata. "Kau berhasil menemukan putri duyung
itu!"
"Keluarkan aku dari jaring ini!" seruku. Entah kenapa, aku tidak segembira yang
kubayangkan kalau berhasil menangkap si putri duyung.
"Orang-orang kebun binatang ternyata benar!" Dr. D. bergumam perlahan. "Ini
benar-benar luar biasa. Menakjubkan. Hari bersejarah...."
Dengan keras kami membentur dasar sekoci. Si putri duyung menggeliat-geliut di
sampingku sambill berdecak-decak dengan nada gusar.
Dr. D. mengamatinya dengan saksama. Dengan hati-hati dia menyentuh ekornya.
Si putri duyung mengibaskan ekornya sehingga membentur dasar sekoci dengan
keras.
"Jangan-jangan ini hanya tipuan, ujar Dr. D. seakan-akan berbicara pada dirinya
sendiri.
"Billy... kau mau mempermainkan kami, ya?" Sheena bertanya dengan curiga.
"Ini bukan tipuan," sahutku. "Dan sekarang tolong keluarkan aku dari sini! Jaring
ini sangat tidak nyaman."
Mereka tidak menggubrisku.
Sheena mengulurkan tangan dan menyentuh sisik-sisik pada ekor si putri duyung.
"Oh," dia bergumam. "Ternyata dia putri duyung sungguhan."
"Tentu saja dia putri duyung sungguhan!" aku berseru. "Aku juga manusia
sungguhan, dan kami sama-sama tidak suka terperangkap seperti ini."
"Habis, bagaimana aku bisa percaya padamu,"balas Sheena dengan ketus. "Dari
pertama kita tiba di sini, kau selalu berkoar soal monster laut."
"Aku memang melihat monster laut!" aku berseru.
"Jangan bertengkar, anak-anak," ujar Dr. D. "Lebih baik kita bawa tangkapan kita
kembali ke kapal." Dia menyalakan mesin sekoci dan kami melaju ke arah
Cassandra.
Alexander telah menanti kami di atas geladak.
"Wow, ternyata benar!" dia berseru. "Ternyata putri duyung memang ada!"
Sheena menambatkan sekoci pada sisi Cassandra, sementara Dr. D. dan Alexander
mengangkat aku dan si putri duyung ke atas kapal.
Dr. D. membuka jaring dan membantuku keluar.
Si putri duyung mengibaskan ekornya, dan malah semakin terjerat.
Alexander menyalamiku. "Aku benar-benar bangga padamu, Billy. Bagaimana kau
bisa menangkapnya? Luar biasa." Penuh semangat dia menepuk-nepuk
punggungku. "Kau sadar bahwa ini temuan terbesar di bidang kelautan dalam abad
ini? Mungkin malah sepanjang zaman?"
"Terima kasih," kataku. "Tapi aku tidak melakukan apa-apa. Bukan aku yang
menemukan dia... dia yang menemukan aku."
Si putri duyung mengibas-ngibaskan ekornya dengan keras. Pekikannya bertambah
melengking dan sepertinya dia semakin ketakutan.
Alexander langsung cemas. "Kita harus melakukan sesuatu untuknya," dia berkata
dengan nada mendesak.
"Dr. D., dia harus dibebaskan lagi," ujarku. "Dia harus berada di dalam air."
"Saya akan mengisi tangki besar dengan air laut, Dr. D.," kata Alexander. Tanpa
menunggu jawaban langsung bergegas untuk mengisi tangki itu.
"Kita belum bisa melepaskannya, Billy," ujar Dr. D. "Sebelumnya kita harus
membuat penelitian dulu.” Matanya tampak bersinar-sinar. Namun dia juga
menyadari bahwa aku tidak setuju. "Kita takkan menyakitinya, Billy. Dia akan
kita urus dengan sebaik-baiknya."
Pandangannya beralih ke kakiku, dan dia mengerutkan kening. Dia berlutut untuk
memeriksa kakiku.
"Kakimu berdarah, Billy," katanya. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja," jawabku. "Tapi si putri duyung tidak."
Komentarku tak digubrisnya.
"Bagaimana kakimu bisa terluka?" Dr. D. bertanya.
"Aku diserang ikan hiu”, aku memberitahunya. "Tapi persis waktu hiu itu mau
menggigit kakiku, si putri duyung muncul. Dia menyelamatkan aku. Coba kalau
Paman sempat melihat bagaimana dia melawan ikan hiu itu."
Dr. D. menatap si putri duyung sambil membelalakkan mata.
"Wow," ujar Sheena. "Dia mengusir ikan hiu? Sendirian?”
Dengan geram si putri duyung mengibaskan ekornya yang panjang, sehingga
membentur-bentur geladak kapal.
"EEEEE! EEEEE!" dia memekik-mekik dengan nada melengking.
"Kakiku tidak penting!" aku berseru. "Paman harus membebaskannya!”
Dr. D. berdiri sambil menggelengkan kepala. "Billy, Paman ilmuwan. Putri duyung
ini merupakan temuan yang sangat penting. Kalau Paman membebaskannya,
berarti Paman mengecewakan segenap masyarakat ilmiah. Bahkan seluruh dunia!"
"Paman hanya memikirkan uang sejuta dolar itu!" aku bergumam.
Aku sadar bahwa tuduhanku tidak beralasan, tapi aku tak dapat menahan diri. Aku
tidak tega melihat si putri duyung merana seperti itu.
Dr. D. tampak sakit hati.
"Itu tidak adil, Billy," dia berkata. "Kau kan tahu bahwa Paman takkan berpikiran
seperti itu."
Aku tidak berani menatapnya, Aku menundukkan kepala dan berlagak memeriksa
luka di kakiku. Luka itu tidak parah. Aku menggunakan kain kasa yang diberikan
Alexander untuk menghentikan darah yang masih terus mengalir.
"Paman membutuhkan uang itu untuk melanjutkan penelitian," Dr. D.
menjelaskan. "Paman takkan memanfaatkan putri duyung ini untuk memperkaya
diri."
Itu benar. Aku tahu persis bahwa Dr. D. tak pernah berniat menjadi orang kaya.
Satu-satunya keinginannya adalah mempelajari ikan.
"Coba pikirkan, Billy. Kau menemukan putri duyung! Makhluk yang disangka
hanya ada dalam dongeng! Kita tidak bisa melepaskannya begitu saja. Kita harus
mempelajari sebanyak mungkin tentang dia,"Dr. D. berkata dengan semangat yang
meluap-luap.
Aku diam saja.
“Dia takkan disakiti, Billy. Percayalah."
Alexander kembali. "Tangkinya sudah siap, Dr.D,"
"Terima kasih." Dr. D. mengikutinya ke sisi seberang.
Aku melirik ke arah Sheena untuk memastikan di pihak mana dia berada. Apakah
dia mau menahan si putri duyung, atau melepaskannya?
Tapi Sheena hanya berdiri sambil membisu. Wajahnya tampak tegang.
Kelihatan sekali bahwa dia bingung, tidak tahu siapa yang benar.
Tapi waktu aku menatap si putri duyung, aku langsung tahu bahwa aku benar.
Dia akhirnya berhenti menggeliat-geliut dan mengibas-ngibaskan ekor. Kini dia
terbaring di geladak, terjerat di dalam jaring. Napasnya tersengal-sengal, dan dia
memandang ke laut dengan mata yang sedih dan berkaca-kaca.
Aku sampai menyesal karena aku menemukannya. Kuputuskan aku harus mencari
cara untuk membantunya pulang.
Dr. D. dan Alexander kembali lagi. Mereka menggotong si putri duyung berikut
jaring yan membelitnya. Alexander mengangkat ekornya, sementara Dr. D.
menahan kepalanya.
"Jangan takut, Putri Duyung," Dr. D. berkata dengan nada menenangkan. "Jangan
bergerak."
Sepertinya si putri duyung memahaminya. Di tidak memberontak sewaktu
diangkat. Tapi matanya berputar-putar, dan dia mengerang perlahan.
Dr. D. dan Alexander membawanya ke tangki kaca besar. Tangki itu kini berada di
geladak, dan dipenuhi air laut. Dengan hati-hati mereka menurunkannya ke dalam
air, lalu melepas jaring yang menjeratnya.
Kemudian mereka memasang tutup di atas tangki dan menguncinya.
Si putri duyung mengaduk-aduk air dengan ekornya. Lalu, berangsur-angsur,
gerakannya mulai melemah, sampai akhirnya dia diam sama sekali.
Tubuhnya tenggelam ke dasar tangki.
Dia tidak bergerak maupun bernapas.
"Oh!" aku berseru dengan gusar. "Dia mati! Dia mati! Kita membunuhnya!"

16

SHEENA telah pindah ke sisi seberang tangki.


"Billy, lihat...!" dia berseru padaku.
Aku langsung menghampirinya.
"Si putri duyung tidak mati," Sheena melaporkan sambil menunjuk. "Lihat, tuh.
Dia... dia menangis."
Adikku benar. Si putri duyung meringkuk di dasar tangki dan menutup wajah
dengan kedua tangannya.
"Apa yang harus kita lakukan?" aku bertanya dengan bingung. Tak ada yang
menjawab.
"Kita harus mencari cara untuk memberi makan padanya," ujar pamanku. Dia
mengusap-usap dagu sambil memandang ke dalam tangki.
"Apakah dia makan seperti manusia atau seperti ikan?” aku bertanya.
"Coba kalau dia bisa memberitahu kita," kata Allexander. "Dia tidak bisa bicara,
kan, Billy?"
"Rasanya sih tidak," aku menyahut. "Dia hanya bersuara. Bersiul, berdecak, dan
berdengung."
"Saya mau ke lab dulu untuk menyiapkan beberapa peralatan," kata Alexander.
"Barangkali kita mengetahui sesuatu tentang dia dengan menggukan monitor
sonar."
"Ide bagus," Dr. D. menanggapinya dengan serius.
Alexander bergegas ke bawah.
"Dan Paman akan ke Santa Anita untuk membeli perbekalan," ujar Dr. D. Santa
Anita adalah pulau berpenghuni terdekat. "Paman akan membeli berbagai macam
makanan. Kita coba satu persatu sampai ada yang disukainya. Kalian berdua ada
titipan, mumpung Paman ke sana?"
"Bagaimana dengan selai kacang?" Sheena langsung bertanya.
"Alexander pun pasti bisa membuat sandwich selai kacang!"
Dr. D. mengangguk sambil masuk ke sekoci. "Oke, selai kacang. Ada lagi? Billy?"
Aku menggelengkan kepala.
"Baiklah," ujar Dr. D. "Paman akan kembali dalam beberapa jam."
Dia menyalakan mesin, lalu sekocinya mulai melaju ke arah Santa Anita.
"Oh, panasnya minta ampun," Sheena mengeluh
"Aku istirahat di kabin dulu, deh."
"Oke," kataku sambil menatap si putri duyung. Suasana di geladak memang panas.
Tak ada angin sama sekali, dan matahari siang yang terik seakan-akan membakar
wajahku.
Tapi aku tidak bisa turun ke bawah geladak, Aku tidak tega meninggalkan si putri
duyung sendirian.
Dia mengambang di balik kaca. Ekornya yang panjang tampak terkulai lemas.
Ketika melihatku dia menempelkan tangan dan wajahnya ke kaca dan mendesah
sedih.
Aku melambaikan tangan kepadanya.
Dia kembali mendesah dan mendengung, seolah-olah mengatakan sesuatu. Aku
mendengarkannya dan berusaha memahami maksudnya.
"Kau lapar, ya?" aku bertanya.
Dia menatapku bingung.
"Kau lapar?" aku mengulangi sambil menggosok-gosok perut. “Kalau kau
mengangguk," aku berkata sambil mencontohkannya, "itu berarti ya. Kalau kau
menggeleng, artinya tidak."
Aku menunggu bagaimana reaksinya.
Dia mengangguk-angguk.
"Ya?" ujarku. "Kau lapar?"
Dia menggelengkan kepala.
"Tidak? Kau tidak lapar?"
Dia mengangguk-angguk lagi, kemudian kembali mengeleng-geleng.
Dia cuma meniruku, aku menyadari. Dia tidak mengerti apa yang kukatakan
padanya.
Aku mundur selangkah dan mengamatinya di dalam tangki kaca.
Dia masih kecil, aku berkata dalam hati. Dia mirip aku. Itu berarti dia pasti lapar.
Dan kemungkinan besar dia suka makanan yang aku suka.
Ya, kan?
Mungkin saja. Tak ada salahnya dicoba.
Aku bergegas ke galley di bawah. Cepat-cepat kubuka salah satu lemari dan
kuambil sebungkus cokelat.
Oke, ini memang bukan makanan laut, pikirku. Tapi siapa yang tidak suka biskuit
cokelat?
Kuraih beberapa potong biskuit, dan kukembalikan bungkusannya ke tempat
semula. Waktu aku kembali ke geladak, aku berpapasan dengan Alexander. Dia
membawa sejumlah peralatan. "Lapar, ya?" dia bertanya padaku.
"Ini untuk si putri duyung," aku memberitahunya. "Menurutmu, dia suka atau
tidak?"
Alexander angkat bahu. "Entahlah."
Dia mengikutiku ke geladak sambil menggotong peralatannya.
"Apa sih yang kau bawa itu?" aku bertanya padanya.
"Aku ingin melakukan beberapa tes untuk mengetahui lebih banyak tentang putri
duyung itu,” kata Alexander. "Tapi silakan beri dia makan dulu."
Aku menempelkan sepotong biskuit ke tangki kaca. Si putri duyung menatapnya
sambil mengerutkan kening. Aku langsung tahu bahwa dia belum pernah melihat
biskuit.
"Hmmm," aku bergumam sambil menepuk-nepuk perutku. "Sedap."
Si putri duyung ikut-ikutan menepuk perut. Lalu dia menatapku dengan matanya
yang berwarna hijau laut.
Alexander membuka tutup tangki. Biskuitnya kuserahkan padanya, dan dia
menjatuhkannya ke dalam tangki.
Si putri duyung memperhatikan biskuit itu tenggelam. Dia sama sekali tidak
berusaha meraihnya. Ketika mencapai dasar tangki, biskuitnya langsung hancur
karena basah.
"Idih," kataku, "aku saja sudah tidak berselera kalau begitu."
Si putri duyung menyingkirkan remah-remah yang basah itu.
"Barangkali Dr. D. membawa sesuatu yang disukainya nanti," ujar Alexander.
"Mudah-mudahan saja," aku berkomentar.
Alexander mulai menyiapkan peralatannya. Ia mencelupkan termometer ke dalam
air, dan memasang beberapa selang plastik panjang berwarna putih.
"Oh, sial," Alexander bergumam sambil menggelengkan kepala. "Buku catatanku
ketinggalan di bawah."
Langsung saja dia bergegas ke lab.
Aku memperhatikan si putri duyung berenang di dalam tangki. Dia kelihatan sedih
sekali. Sepintas lalu dia mengingatkanku pada ikan-ikan di lab.
Bukan, aku berkata dalam hati, dia bukan ikan. Tidak seharusnya dia diperlakukan
begini.
Aku teringat bagaimana dia melawan hiu tadi. Sebenarnya dia bisa mati, pikirku.
Dia bisa saja terbunuh oleh hiu itu.
Tapi dia tetap melawannya, khusus untuk menolongku.
Si putri duyung mendesah. Kemudian aku melihatnya menyeka air mata yang
mulai mengalir di wajahnya.
Dia menangis lagi, aku menyadari. Aku merasa prihatin dan bersalah.
Dia memohon padaku. Aku merapatkan wajahku ke kaca tangki, sedekat mungkin.
Aku harus membantunya, aku memutuskan.
Aku menempelkan jari telunjuk ke bibir. "Ssst," aku mendesis. "Jangan bersuara.
Aku harus bergerak cepat!"
Aku sadar bahwa tindakanku akan membuat Dr. D. sangat marah.
Aku sadar bahwa ada kemungkinan pamanku takkan pernah memaafkanku.
Tapi aku tidak peduli.
Aku akan bertindak sesuai hati nuraniku.
Aku akan membebaskan si putri duyung.

17

TANGANKU gemetaran ketika aku meraih ke atas untuk membuka tutup tangki.
Tangki itu lebih tinggi dari aku, dan aku belum tahu bagaimana akan
mengeluarkan si putri duyung dari situ. Tapi aku harus mencari jalan.
Ketika aku sedang berusaha mengangkat tutup tangki, si putri duyung mulai
memekik-mekik, "Eeee! EEEEEE!"
"Ssst! Jangan ribut!" aku memperingatkannya. Kemudian aku merasakan sebuah
tangan menggenggam lenganku. Aku langsung tersentak kaget. Sebuah suara berat
bertanya, "Sedang apa kau?"
Aku berbalik dan melihat Alexander berdiri di belakangku.
Aku segera menjauhi tangki, dan dia melepaskan lenganku.
"Billy, sedang apa kau tadi?" Alexander kembali bertanya.
"Aku mau membebaskan dia!" aku berseru. "Alexander, kita tidak bisa
menahannya di sini! Coba lihat, betapa sedihnya dia!"
Kami sama-sama menatap si putri duyung yang kembali meringkuk di dasar
tangki. Sepertinya dia mengerti bahwa aku ingin membantunya—dan bahwa
usahaku akhirnya gagal.
Aku melihat kesedihan yang terpancar di wajah Alexander. Aku tahu bahwa dia
merasa kasihan pada si putri duyung. Tapi dia harus menjalankan tugas.
Dia berpaling padaku dan melingkarkan lengannya pada pundakku.
"Billy," katanya, "kau harus mengerti betapa pentingnya putri duyung ini bagi
pamanmu. Seumur hidupnya dia bekerja untuk temuan seperti ini. Dia akan patah
semangat kalau kau melepaskan putri duyung ini."
Perlahan-lahan dia menggiringku menjauhi tangki. Aku menoleh ke arah si putri
duyung.
"Tapi bagaimana dengan dia?" aku bertanya sambil menunjuk. "Dia pasti juga
patah semangat karena disekap di dalam situ."
Alexander mendesah. "Aku tahu tangki itu bukan tempat yang ideal. Tapi ini cuma
untuk sementara. Tidak lama lagi dia bakal punya tempat yang luas untuk
berenang dan bermain."
Yeah, pikirku getir, sebagai atraksi di kebun binatang, ditonton oleh jutaan orang
setiap hari.
Alexander mengangkat lengannya dari pundakku dan mengusap-usap dagunya.
"Pamanmu penuh kasih sayang pada sesama makhluk hidup, Billy," dia berkata.
"Dia akan berusaha sekuat tenaga agar segala kebutuhan putri duyung ini
terpenuhi. Tapi dia berkewajiban untuk mengadakan penelitian. Hal-hal yang bisa
dipelajarinya mungkin akan membantu kita memahami dan menjaga samudra
dengan lebih baik. Itu penting, bukan?"
Aku mengangguk perlahan.
Aku tahu Alexander benar. Aku menyayangi Dr. D., dan aku tidak mau merusak
temuan besarnya ini.
Tapi aku tetap berpendapat bahwa si putri duyung tidak seharusnya menderita
demi ilmu pengetahuan.
"Ayolah, Billy," ujar Alexander sambil mengajakku ke bawah geladak. "Tadi aku
berjanji untuk menunjukkan cara kerja sonar probes, bukan? Nah, sekarang kita
masuk ke lab, dan aku akan memperlihatkannya."
Ketika kami mulai menuruni tangga, aku sekali lagi menoleh ke arah si putri
duyung. Dia masih meringkuk di dasar tangki. Dia menundukkan kepala, dan
rambutnya yang pirang mengambang bagaikan rumput laut.
Cara kerja sonar probes ternyata tidak semenarik yang kuduga. Alat itu sekadar
berbunyi "bip" kalau Cassandra terancam kandas.
Aku rasa Alexander pun sadar bahwa aku kurang tertarik. "Kau mau makan
siang?" dia akhirnya bertanya padaku.
Oh-oh. Makan siang. Sebenarnya aku memang lapar. Tapi aku tidak berminat
makan chicken salad yang pedasnya minta ampun.
Aku ragu-ragu. "Ehm, tadi aku sarapan banyak sekali….”
"Aku akan membuatkan hidangan istimewa," Alexander menawarkan. "Kita bisa
berpiknik di geladak bersama si putri duyung. Ayo."
Aku tak punya pilihan. Dengan enggan aku mengikutinya ke dapur.
Dia membuka lemari es kecil dan mengeluarkan sebuah mangkuk.
"Bumbunya kubiarkan meresap dari pagi," dia berkata.
Aku mengintip ke dalam mangkuk. Isinya ternyata irisan-irisan sesuatu yang
bewarna putih dan kenyal seperti karet. Semuanya setengah terendam dalam kuah
kental berwarna kelabu.
Apa pun itu, aku yakin aku tak bisa menelannya.
"Ini cumi-cumi bumbu cuka," Alexander menjelaskan. "Kutambahkan sedikit tinta
cumi supaya lebih gurih. Karena itulah kuahnya jadi kelabu."
"Hmmm," aku berkata sambil memutar-mutar bola mata. "Sudah lama aku tak
pernah makan tinta cumi."
"Jangan menyindir. Coba dulu, deh." Dia menyerahkan mangkuknya kepadaku.
"Nih, tolong bawa ke atas. Aku akan membawa roti dan es teh."
Aku membawa mangkuk berisi cumi itu ke geladak dan menaruhnya di dekat
tangki si putri duyung.
"Bagaimana keadaanmu?" aku bertanya padanya.
Dia menggoyangkan ekornya sedikit. Kemudian dia membuka dan menutup
mulutnya, seakan-akan mengunyah.
"Hei," ujarku, "kau lapar, ya?"
Dia terus memperagakan gerakan mengunyah Aku menatap mangkuk berisi cumi
di hadapanku.
Siapa tahu? pikirku. Mungkin saja dia suka cumi.
Aku memanjat ke sebuah peti dan membuka tutup tangki. Kemudian aku
melempar sepotong cumi yang kenyal seperti karet.
Si putri duyung langsung menyambar potongan itu dengan mulutnya.
Dia mengunyah, lalu tersenyum.
Dia suka!
Aku memberikan beberapa potong lagi. Dia melahap semuanya.
Aku menggosok-gosok perut. "Kau suka?" aku bertanya padanya. Kemudian aku
menganggukkan kepala.
Dia tersenyum lagi, lalu ikut mengangguk-angguk.
Dia mengerti!
"Sedang apa kau, Billy?" tanya Alexander. Dia sudah kembali ke geladak sambil
membawa dua piring dan roti tawar.
"Alexander, lihat!" aku berseru. "Aku bisa berkomunikasi dengannya!"
Sekali lagi kulemparkan sepotong cumi ke dalam tangki. Si putri duyung langsung
melahapnya. Kemudian dia mengangguk-anggukkan kepala.
"Itu artinya dia suka!" kataku.
"Wow," Alexander bergumam. Dia meletakkan piring-piring, mengeluarkan buku
notes, dan membuat catatan.
"Wah, ini asyik juga," ujarku. "Aku sudah jadi ilmuwan. Ya, kan, Alexander?"
Dia mengangguk, tapi terus menulis. “Maksudnya, aku orang pertama di dunia
yang berkomunikasi dengan putri duyung... ya, kan?" aku mendesak.
"Kalau dia cukup lama tinggal bersama kita, kau mungkin bisa bicara dengannya
dengan menggunakan bahasa isyarat," Alexander berkomentar. "Bayangkan
betapa banyak hal baru yang bisa kita pelajari!"
Dia bicara sambil menulis, "Suka makan cumi-cumi." Kemudian diletakkannya
pensilnya dan berkata, "Hei, itu kan makan siang kita!"
Oh-oh, pikirku. Mudah-mudahan dia tidak tersinggung.
Alexander menatapku. Dia menatap mangkuk cumi. Dia menatap si putri duyung.
Kemudian dia mulai tertawa.
"Akhirnya ada juga yang suka masakanku!" dia berseru.
Kira-kira satu jam kemudian, Dr. D. kembali dengan membawa perbekalan.
Untung saja dia membeli banyak makanan laut di Santa Anita. Kami memberikan
sebagian kepada si putri duyung untuk makan malam. Sementara si putri duyung
makan, Dr. D. memeriksa alat-alat ukur yang dipasang Alexander di tangki kaca.
"Hmm, ini menarik," Dr. D. berkomentar. "Dia mengirim sinyal sonar melalui air.
Persis seperti paus."
"Apa artinya?" tanya Sheena.
"Artinya, kemungkinan besar masih ada putri duyung yang lain," ujar Dr. D. "Dia
mencoba menghubungi mereka melalui suara bawah air."
Putri duyung yang malang, aku berkata dalam hati. Dia memanggil teman-
temannya. Dia minta diselamatkan.
Seusai makan malam aku masuk ke kabinku dan memandang ke luar lewat jendela
bulat yang kecil.
Matahari sedang terbenam di ufuk barat. Cahayanya yang keemasan membuat
permukaan laut berkilau-kilau. Angin sejuk bertiup lewat jendela.
Aku menyaksikan matahari berangsur-angsur menghilang. Langit langsung gelap,
seakan-akan seseorang memadamkan lampu.
Si putri duyung sendirian di geladak, pikirku. Dia pasti ketakutan. Dia jadi
tawanan. Terperangkap di dalam tangki ikan di tengah kegelapan.
Tiba-tiba pintu kabinku membuka. Sheena menyerbu masuk. Napasnya terengah-
engah, matanya membelalak.
"Sheena!" aku menegurnya dengan kesal. "Kenapa sih kau tidak ketuk pintu dulu
sebelum masuk?"
Dia tidak menggubrisku. "Billy!" dia berseru sambil tersengal-sengal. "Dia kabur!
Si putri duyung kabur!"

18

AKU langsung melompat turun dari tempat tidur. Jantungku berdebar-debar.


"Dia tidak ada di sana!" seru Sheena. "Dia tidak ada di dalam tangki!"
Aku menghambur keluar dari kabin, berlari menaiki tangga, dan bergegas ke
geladak.
Sebagian dari diriku berharap bahwa si putri duyung benar-benar berhasil kabur ke
laut. Tapi bagian yang lain berharap bahwa dia bisa tinggal selama-lamanya
bersama kami. Kalau begitu pamanku bakal jadi ilmuwan paling terkenal di dunia,
dan aku jadi keponakan paling terkenal dari seorang ilmuwan!
Mudah-mudahan dia baik-baik saja, aku berharap-harap dengan cemas.
Setelah sampai di geladak, aku terpaksa menunggu beberapa saat sebelum mataku
terbiasa dengan kegelapan malam. Titik-titik cahaya tampak berpendar di
sekeliling kapal.
Sambil memicingkan mata, aku memandang ke arah tangki besar.
Aku berlari begitu kencang, sehingga nyaris tercebur ke laut. Sheena berada persis
di belakangku.
"Hei—!" aku berseru ketika melihat bahwa si putri duyung masih berada di dalam
tangki.
Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa Sheena sedang tertawa. "Kena
kamu!" dia berseru dengan riang. "Kamu ketipu lagi, Billy!"
Aku menggerutu dengan kesal. aku jadi korban keisengan adikku.
"Bagus, Sheena," aku berkata dengan gusar. "Bagus sekali."
"Ah, kamu cuma kesal karena kamu ketipu lagi. Kamu memang paling gampang
ditipu."
Si putri duyung menoleh ke arahku, dan aku melihatnya mengembangkan senyum
tipis. "Looorroo, loorroo," dia mendekut padaku.
"Dia cantik sekali," ujar Sheena.
Si putri duyung pasti berharap bahwa aku mau melepaskannya sekarang, aku
berkata dalam hati. Barangkali...
Sheena bisa membantuku, aku menyadari. Berdua pasti lebih mudah.
Tapi maukah adikku itu diajak kerja sama? "Sheena—" aku angkat bicara.
Sekonyong-konyong aku mendengar suara langkah di belakang kami.
"Hei, anak-anak." Ternyata Dr. D. "Sudah hampir waktunya tidur," dia berseru.
"Kalian sudah siap turun ke kabin?"
"Di rumah, kami selalu tidur lebih malam dari ini," Sheena merengek.
"Mungkin saja. Tapi di rumah kalian juga selalu bangun lebih siang. Ya, kan?"
Sheena menggelengkan kepala. Kami semua berdiri di depan tangki kaca dan
memperhatikan si putri duyung. Dia menggerak-gerakkan ekornya sebentar, lalu
kembali meringkuk di dasar tangki.
"Kalian tidak perlu mengkhawatirkan dia," ujar Dr. D. "Nanti malam Paman akan
menengoknya lagi untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja."
Si putri duyung menempelkan tangannya yang mungil ke dinding kaca. Dia
menatap kami dengan pandangan memohon, memohon untuk dibebaskan.
"Dia akan merasa lebih enak kalau sudah sampai di Marina Zoo," kata Dr. D.
"Mereka sudah membuatkan laguna khusus untuknya, lengkap dengan gosong
karang dan sebagainya. Persis seperti laguna di Ilandra sini. Dia akan bebas
berenang dan bermain. Dia akan merasa seperti di rumah."
Mudah-mudahan saja, aku berkata dalam Tapi aku tidak yakin.
Cassandra terayun-ayun mengikuti gerakan ombak malam itu, tapi aku tetap tidak
bisa tidur.
Aku terbaring di tempat tidurku sambil menatap langit-langit. Cahaya bulan yang
pucat masuk melalui jendela kabin dan mengenai wajahku.
Aku tidak bisa mengalihkan pikiranku dari si putri duyung.
Aku berusaha membayangkan bagaimana rasanya terperangkap di dalam tangki
kaca selama sehari penuh. Mestinya tidak jauh berbeda dengan terperangkap di
kabin sempit ini, aku menyimpulkan sambil memandang berkeliling. Kabinku
memang hanya sebesar lemari.
Pasti tidak enak, aku berkata dalam hati sambil menarik-narik kerah piamaku. Aku
membuka jendela supaya udara segar bisa masuk.
Tangki kaca itu masih lumayan, aku meneruskan lamunanku. Aku tahu Dr. D.
sangat memperhatikan kebutuhan si putri duyung. Dr. D. takkan menyakitinya.
Tapi bagaimana kalau dia sudah dibawa pergi oleh orang-orang dari kebun
binatang? Siapa yang akan menjaga dan merawatnya?
Memang, orang-orang kebun binatang sudah bikin laguna tiruan. Tapi namanya
juga tiruan. Hasilnya pasti tidak sama dengan laguna yang asli. Dan dia bakal
dijadikan tontonan. Kemungkinan besar dia juga akan disuruh untuk melakukan
berbagai permainan; melompat lewat gelang, misalnya, seperti anjing laut yang
sudah terlatih.
Dan setelah itu dia bakal dijadikan bintang iklan di TV. Dan ditampilkan dalam
film-film TV dan bioskop.
Dia bakal jadi tawanan. Tawanan yang kesepian selama sisa hidupnya.
Ini semua salahku. Kenapa aku membiarkan semuanya ini terjadi?
Aku harus melakukan sesuatu, aku akhirnya memutuskan. Aku tidak bisa
membiarkan mereka membawanya pergi.
Tiba-tiba aku mendengar sesuatu—bunyi berdengung bernada rendah.
Aku langsung pasang telinga. Mula-mula aku pikir itu suara si putri duyung. Tapi
kemudian aku menyadari bahwa suara itu suara mesin.
Mula-mula suara itu terdengar sayup-sayup, di kejauhan. Tapi makin lama, makin
dekat.
Sebuah kapal.
Aku duduk dan mengintip lewat jendela kabin.
Sebuah kapal sedang merapat di sebelah Cassandra. Siapa itu? Orang-orang dari
kebun binatang?
Di tengah malam buta?
Bukan. Kapalnya berbeda. Yang ini jauh lebih besar.
Ketika mengintip lewat jendela, aku melihat dua sosok gelap naik ke Cassandra.
Lalu dua lagi.
Jantungku mulai berdebar-debar. Siapa orang-orang itu? aku bertanya dalam hati.
Sedang apa mereka?
Apa yang harus kulakukan?
Apakah aku harus menyusup keluar dan memata-matai mereka?
Bagaimana kalau aku sampai kepergok?
Tak lama kemudian aku kembali mendengar bunyi-bunyi yang ganjil.
Bunyi benturan. Disusul pekikan tertahan karena kesakitan.
Suara-suara itu berasal dari geladak, tempat si putri duyung terperangkap tak
berdaya di dalam tangki kaca.
Ya Tuhan! aku berseru dalam hati. Tiba-tiba saja bulu kudukkuberdiri. Mereka
menyakiti si putri duyung!

19

AKU berlari ke geladak. Sheena menyusul tepat di belakangku.


Tapi kemudian kakiku tersandung gulungan tambang, dan aku terpaksa
berpegangan pada pagar kapal. Lalu aku kembali bergegas ke tangki kaca.
Si putri duyung meringkuk di dasar tangki. Dia mendekap dadanya sendiri, seakan-
akan hendak melindungi diri.
Aku melihat empat laki-laki dewasa berdiri didekat tangki. Semuanya berpakaian
serba hitam.
Mereka bahkan memakai masker hitam untuk menutupi wajah.
Salah satu dari mereka menggenggam sebuah pentungan.
Dan di geladak sebuah sosok tergeletak dalam posisi tengkurap.
Dr. D.!
Sheena menjerit menghampiri paman kami. Dia berlutut di sampingnya. "Mereka
memukul kepalanya!" dia berseru. "Dr. D. pingsan!"
Aku menahan napas. "Siapa kalian?" aku bertanya. "Kenapa kalian ada di kapal
kami?
Pertanyaanku tak digubris oleh keempat laki-laki itu.
Dua dari mereka menggelar sebuah jaring lalu merentangkannya di atas tangki.
Kemudian mereka melepaskannya sehingga menyelubungi si putri duyung.
"Berhenti!" teriakku. "Mau apa kalian?"
"Jangan ribut," gumam orang dengan pentungan di tangan. Dia mengangkat
senjatanya dengan sikap mengancam.
Tak berdaya aku menyaksikan mereka menjerat si putri duyung dengan jaring
mereka.
Mereka mau menculiknya!
"Eeeee! EEEEEeee!" si putri duyung memekik ketakutan. Dia mulai melambai-
lambaikan tangan untuk membebaskan diri dari jaring itu.
"Berhenti! Jangan ganggu dia!" aku. berteriak.
Salah satu dari keempat laki-laki itu tertawa dengan suara parau. Yang lainnya
tetap tidak memedulikanku.
Sheena membungkuk di atas tubuh Dr. D., berusaha membangunkannya. Aku
berlari ke tangga dan berseru ke bawah, "Alexander! Alexander! Tolong!"
Alexander berbadan kekar dan kuat—mungkin cukup kuat untuk menghalau
orang-orang itu.
Aku kembali ke tangki kaca. Si putri duyung sudah terbelit di dalam jaring.
Keempat laki-laki bertopeng itu berusaha mengangkatnya keluar. Tapi dia
menggeliat-geliut dan melawan dengan sekuat tenaga.
"EEEEE!" dia memekik. Suaranya yang melengking membuat telingaku terasa
sakit.
"Hei, kau! Suruh dia diam!" salah satu penculik berseru dengan garang.
"Sudah, pindahkan saja dia," orang dengan pentungan di tangan menyahut.
"Berhenti!" aku menjerit. "Kalian tidak boleh membawanya."
Aku tidak tahan lagi.
Tanpa berpikir panjang, aku menerjang keempat orang itu. Aku belum tahu apa
yang akan kulakukan. Aku cuma tahu bahwa aku harus menghentikan mereka.
Salah satu dari mereka mendorongku dengan sebelah tangan. "Jangan macam-
macam," dia mengancam, "atau kau akan menyesal."
"Lepaskan dia! Lepaskan dia!" aku berteriak-teriak.
"Mumpung masih sempat, ucapkan selamat jalan kepada putri duyung ini," orang
itu berkata. "Setelah ini kau takkan pernah melihatnya lagi."
Aku berpegangan pada pagar kapal. Jantungku berdegup-degup.
Napasku terengah-engah.
Aku tidak tega mendengar si putri duyung memekik-mekik ketakutan.
Aku tidak bisa membiarkan mereka membawanya. Aku harus melakukan sesuatu.
Dia pernah menyelamatkan nyawaku. Sekarang giliranku untuk
menyelamatkannya.
Tapi apa yang bisa kulakukan?
Mereka berhasil mengangkat si putri duyung dari tangki. Tiga penculik memegang
jaring yang menjeratnya.
Putri duyung itu menggeliat-geliut dan mengibas-ngibaskan ekornya dengan liar.
Percikan-percikan air bercipratan ke segala arah.
Aku harus menyeruduk mereka, pikirku. Aku akan menyeruduk mereka sampai
jatuh. Kemudian aku akan mendorong si putri duyung ke laut agar dia bisa
berenang ke tempat aman.
Aku menarik napas panjang. Lalu, sambil menunduk seperti pemain football, aku
menerjang ke arah para penculik.

20

"BILLY... jangan!" Sheena menjerit.


Aku menyeruduk salah satu penculik yang memegang jaring.
Kepalaku menghantam perutnya dengan keras.
Tapi ternyata orang itu tidak bergeser sedikit pun.
Dia menangkapku dengan tangannya yang bebas, mengangkatku tinggi-tinggi, lalu
mencampakkanku ke tangki kaca.
Aku tenggelam dalam air yang hangat, lalu timbul sambil terbatuk-batuk.
Melalui dinding kaca, aku melihat para penculik menggotong si putri duyung ke
kapal mereka. Bajingan-bajingan itu sudah mau kabur!
Aku berusaha memanjat ke luar dari tangki, tapi dindingnya terlalu tinggi. Aku
terus merosot pada kaca yang basah, tak sanggup meraih tepi atas.
Aku tahu hanya ada satu orang yang bisa menghentikan orang-orang bertopeng itu.
Alexander.
Di mana dia? Apakah dia tidak mendengar hiruk-piruk di geladak?
"ALEXANDER!" aku berteriak sekencang mungkin. Tapi suaraku memantul-
mantul pada dinding-dinding kaca yang mengelilingiku, sehingga tidak terdengar
ke luar.
Kemudian, akhirnya, dia muncul di geladak. Aku melihat rambutnya yang pirang
dan badannya yang kekar. Dia berjalan ke arahku.
Akhirnya!
"Alexander!" aku berseru sambil berjuang untuk tidak terbenam di dalam air.
Aku mendengar mesin kapal yang satu lagi mulai bergemuruh. Satu per satu para
penculik turun dari kapal kami.
Tiga dari mereka telah meninggalkan Cassandra. Hanya satu yang masih berdiri di
geladak.
Melalui dinding kaca aku melihat Alexander berlari menghampiri orang itu dan
menggenggam pundaknya.
Cepat! pikirku. Tangkap dia, Alexander! Tangkap dia!
Aku belum pernah melihat Alexander memukul seseorang. Tapi aku yakin dia
sanggup kalau memang terpaksa.
Tapi Alexander tidak memukul laki-laki bertopeng itu. Dia malah bertanya, "Putri
duyungnya sudah dipindahkan?"
Laki-laki bertopeng itu mengangguk.
"Bagus," kata Alexander. "Dan uang saya juga sudah disiapkan?"
"Sudah."
"Oke," Alexander bergumam. "Kalau begitu sudah waktunya untuk pergi dari
sini!"

21

AKU nyaris tersedak.


Aku tidak bisa percaya bahwa Alexander bersekongkol dengan orang-orang
bertopeng itu. Habis, dari pertama dia bersikap begitu baik padaku. Tapi sekarang
aku mendadak sadar bahwa dialah yang mengatur semuanya. Dialah yang
memberitahu para penculik bahwa si putri duyung ada di kapal kami.
"Alexander," aku berseru, "tega-teganya kau!"
Dia menatapku dari balik dinding kaca.
"Hei,Billy, ini cuma bisnis," dia berkata sambil angkat bahu. "Pihak kebun
binatang mau membayar sejuta dolar untuk si putri duyung. Tapi bosku yang baru
berani membayar dua puluh juta! Dia menatapku sambil tersenyum.
"Kau kan pandai berhitung, Billy. Coba, mana yang akan kaupilih."
"Dasar bajingan!" aku berseru. Rasanya aku ingin menonjok wajahnya. Aku
berjuang keras agar bisa keluar dari tangki. Tapi akibatnya hidungku malah
kemasukan air.
Alexander mengikuti para penculik bertopeng ke kapal mereka. Tak berdaya aku
menggedor-gedor dinding kaca.
Kemudian aku melihat Sheena berdiri. Pandanganku beralih ke bawah, dan aku
melihat Dr. D. mulai bergerak-gerak.
Alexander tidak memperhatikannya. Dengan tenang dia melangkahi sosok Dr. D.
Tampaknya dia sama sekali tidak peduli bahwa Dr. D. mungkin mengalami cedera
yang parah.
Aku memperhatikan pamanku mengulurkan tangan dan menangkap mata kaki
Alexander.
"Hei!" Alexander tersandung dan jatuh berdebam.
Sheena menjerit dan merapat ke dinding kapal. Barangkali masih ada harapan, aku
berkata dalam hati. Jantungku berdegup-degup.
Barangkali mereka takkan lolos.
Alexander duduk sambil menggosok-gosok sikunya yang membentur geladak.
"Tangkap mereka!" dia berseru kepada dua penculik bertopeng.
Kedua orang itu cepat-cepat naik ke Cassandra dan meringkus Dr. D.
Sheena berlari menghampiri mereka, lalu memukul-mukul keduanya dengan
tangannya yang kecil.
Tentu saja itu tak ada gunanya. Penculik bertopeng ketiga menangkapnya, lalu
memuntir kedua lengannya ke belakang.
"Tendang dia, Sheena!" teriakku dari balik dinding kaca.
Dia berusaha menendang orang yang memegangnya, tapi orang itu malah
memegangnya lebih erat lagi, sehingga Sheena tidak bisa bergerak.
"Lepaskan mereka! Lepaskan mereka!" aku menjerit-jerit.
"Mau diapakan mereka ini?" salah satu penculik bertanya.
"Terserah, yang penting cepat," balas Alexander.
"Kita harus pergi dari sini."
Orang yang memegang Sheena menoleh ke arahku. Aku sedang mengayun-
ayunkan kaki agar tetap terapung.
"Jangan sampai mereka menghubungi polisi atau Penjaga Pantai," dia berkata
sambil mengerutkan kening. "Lebih baik kita bunuh mereka."
"Lemparkan saja ke dalam tangki!" rekannya mengusulkan.

22

"ALEXANDER!" Dr. D. berseru. "Saya tahu kau bukan orang yang kejam. Jangan
biarkan mereka lakukan ini."
Alexander memalingkan wajah. Sepertinya dia tidak berani bertatapan dengan
pamanku. "Sori, Dr. D.," dia bergumam. "Saya tidak bisa mencegah mereka. Kalau
saya coba, saya malah ikut dibunuh."
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia melompat ke kapal para penculik.
Dasar brengsek! aku mengumpat dalam hati.
Dua laki-laki bertopeng mengangkat Dr. D. tinggi-tinggi, lalu melemparkannya ke
dalam tangki. Air bercipratan ke segala arah ketika dia jatuh di sampingku.
"Paman baik-baik saja?" aku bertanya padanya. Dia menggosok-gosok bagian
belakang kepalanya dan mengangguk.
Kemudian giliran Sheena. Mereka mencampakkannya dengan mudah.
Dia meluncur sambil mengayun-ayunkan kaki dan tangan, lalu tercebur ke dalam
air.
Orang-orang itu memasang tutup tangki, lalu menguncinya dari luar.
Aku menatap mereka dengan mata terbelalak. Dengan ngeri aku menyadari bahwa
kami tak mungkin lolos.
Kedalaman air di dalam tangki sekitar dua meter. Kami semua menggerak-
gerakkan kaki agar tetap terapung di permukaan.
Masalahnya, tangki itu terasa sempit sekali bagi kami bertiga.
"Nah, beres," salah satu penculik berkata. "Ayo, kita pergi dari sini."
"Tunggu!" Dr. D. berseru. "Kalian tidak bisa meninggalkan kami begitu saja!"
Ketiga penculik itu saling berpandangan. "Hmm, benar juga," ujar salah satu dari
mereka.
Mereka kembali menghampiri tangki.
Ternyata mereka bukan pembunuh berdarah dingin seperti yang kuduga semula,
aku berkata dalam hati. Mereka tidak sampai hati meninggalkan kami terperangkap
di sini.
Tapi apa yang hendak mereka lakukan?
Orang pertama tadi memberi isyarat kepada kedua rekannya. Mereka
menempelkan tangan masing-masing ke sisi tangki.
"Satu, dua, tiga...," orang pertama menghitung. Pada hitungan ketiga, mereka
mendorong tangki itu ke laut.
Kami berjumpalitan di dalamnya. Kemudian kami membentur dinding kaca ketika
tangkinya jatuh ke laut.
Air laut mulai merembes masuk.
"Kita... kita tenggelam!" Dr. D. berseru.
Kami memperhatikan kapal para penculik melaju pergi. Tangki kami terombang-
ambing karena gelombang yang ditimbulkannya, lalu mulai terbenam.
"Kita tenggelam!" Sheena menjerit. "Kita bakal mati tenggelam!"

23

KAMI bertiga berusaha mati-matian untuk mendobrak tutup tangki.


Aku menggedor-gedornya dengan tangan terkepal. Dr. D. berusaha mendorongnya
dengan pundak.
Tapi tangki kaca itu malah terbalik, dan kami kembali berjumpalitan.
Tutup tangkinya terbuat dari anyaman kawat baja, dan dijepit ke tepi tangki bagian
atas. Dari dalam kami tak dapat meraih jepitannya, jadi kami tak punya pilihan
selain berusaha mendobraknya.
Kami mendorong dengan sekuat tenaga. Namun sia-sia.
Perlahan-lahan tangki itu tenggelam ke bawah permukaan laut yang gelap dan
berombak. Bulan menghilang di balik awan tebal, sehingga keadaan menjadi gelap
gulita.
Kami hanya punya waktu satu atau dua menit sebelum tangki itu sepenuhnya
terbenam.
Sheena mulai menangis. "Aku takut!" dia berkata sambil tersedu-sedu. "Aku takut
sekali!"
Dr. D. menggedor-gedor dinding kaca dengan tangan terkepal untuk
memecahkannya.
Aku menelusuri tepi tangki untuk mencari titik lemah dalam anyaman baja.
Tiba-tiba aku menemukan sesuatu.
Sebuah gerendel kecil.
"Lihat!" aku berseru sambil menunjuk gerendel itu.
Dengan kalang kabut aku berusaha membukanya. Tapi gerendel itu tidak bergerak
sedikit pun. "Aduh, macet!"
"Biar Paman yang coba." Dr. D. menarik-nariknya dengan keras. Tapi dia juga
tidak berhasil.
Sheena melepaskan jepit rambutnya yang berwarna merah. "Mungkin bisa
dicungkil pakai ini," dia berkata.
Dr. D. meraih jepitan rambut itu dan menggunakannya untuk mengorek-ngorek di
sekeliling gerendel.
"Berhasil!" dia berseru.
Mungkin masih ada harapan, pikirku. Mungkin kita masih bisa lolos dari sini!
Dr. D. berhenti mengorek-ngorek, lalu menarik gerendel itu.
Gerendelnya bisa dibuka!
"Kita bebas!" teriak Sheena.
Kami kembali mendorong tutup tangki. Sekali, dua kali.
"Ayo, anak-anak, lebih keras lagi," Dr. D. mendesak.
Kami mendorong sekali lagi. Tapi tutup tangkinya tidak beranjak dari tempatnya.
Ternyata selain gerendel tadi masih ada dua gerendel lain yang menahannya.
Dua gerendel yang tak terjangkau oleh kami. Kami patah semangat.
Tak ada suara apa pun selain isak tangis Sheena dan debur ombak di luar.
Permukaan air sudah hampir mencapai tepi atas tangki. Tidak lama lagi kami bakal
terbenam sepenuhnya.
Tiba-tiba laut menjadi gelap dan bergolak. Tangki kami terombang-ambing dengan
keras.
"Suara apa itu?" tanya Sheena.
Aku memasang telinga.
Sayup-sayup aku mendengar bunyi yang aneh, pelan sekali, seakan-akan berasal
dari tempat yang jauh.
Bunyi siulan yang melengking tinggi. "Kedengarannya seperti sirene," Dr. D.
bergumam. "Seperti banyak sirene."
Bunyi menyeramkan itu bercampur baur dengan debur ombak.
Bertambah keras. Bertambah dekat.
Sampai akhirnya mengelilingi kami. Kedengarannya seperti bunyi logam
bergesekan.
Tiba-tiba saja sosok-sosok gelap mulai mengitari tangki.
Kami menempelkan wajah ke dinding kaca.
"Suara itu. Rasanya Paman belum pernah mendengar suara seperti itu," ujar Dr. D.
"Kira-kira apa, ya?"
"Su... suara itu datang dari segala arah!" aku tergagap-gagap.
Laut di sekeliling kami seperti diaduk-aduk oleh sosok-sosok gelap itu. Aku
sampai melotot agar dapat melihat lebih jelas.
Sekonyong-konyong sebuah wajah muncul dari air yang gelap. Wajah itu
menempel di kaca, persis di depan wajahku!
Aku menahan napas dan menjauh.
Kemudian aku melihat lebih banyak wajah. Kami dikelilingi wajah-wajah kecil
yang kekanak-kanakan. Wajah-wajah gadis cilik. Tapi mereka menatap kami
dengan pandangan mengancam.
"Kawanan putri duyung!" aku berseru.
"Lusinan!" Dr. D. bergumam terpesona.
Mereka mengaduk-aduk air dengan ekor mereka yang panjang.
Rambut mereka tampak mengambang di air yang hitam pekat. Tangki kami
semakin terguncang-guncang.
"Mau apa mereka?" Sheena bertanya dengan suara bergetar.
"Mereka kelihatan marah," bisik Dr. D.
Aku mengamati para putri duyung yang berputar-putar bagaikan hantu. Mereka
mengulurkan tangan dan mulai memegang tangki.
Semuanya mengibas-ngibaskan ekor dengan keras. Laut yang gelap sampai
bergolak dan berbuih.
Tiba-tiba aku tahu apa maksud mereka.
"Balas dendam," aku bergumam. "Mereka mau balas dendam. Kita menangkap
teman mereka. Dan sekarang mereka mau membuat perhitungan dengan kita."

24

TANGAN-TANGAN mungil mulai menempel pada dinding kaca.


"Mereka menarik kita ke bawah!" seru Dr. D. Aku menahan napas.
Pandanganku melekat pada tangan-tangan gelap di luar.
Kemudian, tiba-tiba saja, tangki kami mulai bergerak naik, keluar dari air.
"Hah? Ada apa ini?" tanya Sheena.
"Mereka... mereka mendorong kita ke atas!" aku berseru gembira.
"Mereka bukan mau balas dendam... mereka mau menyelamatkan kita!" Dr. D.
menimpali.
Tangki itu didorong sampai merapat ke lambung Cassandra. Akumelihat tangan-
tangan mungil para putri duyung bergerak-gerak di atas kami.
Jepitan-jepitan yang memegang anyaman baja dibuka. Kemudian tutup tangki
dilepas.
Sambil mendesah lega, Dr. D. mengangkat Sheena. Dia langsung memanjat ke atas
kapal.
Aku segera menyusul, dan berdua kami membantu Dr. D. naik.
Kami basah kuyup dan menggigil karena kedinginan. Tapi kami selamat.
Para putri duyung berenang mengitari kapal. Mereka menatap kami dengan mata
mereka yang pucat.
"Terima kasih," Dr. D. berkata kepada mereka. "Kalian menyelamatkan kami."
Aku sadar bahwa ini sudah kedua kalinya nyawaku diselamatkan putri duyung.
Kini aku semakin berutang budi.
"Kita harus menyelamatkan putri duyung yang diculik," kataku. "Entah apa yang
akan dilakukan Alexander dan para bajingan itu padanya!"
"Yeah!" seru Sheena. "Kita saja hendak dibunuhnya!"
"Paman ingin sekali menyelamatkan dia," Dr. D. bergumam. "Tapi Paman tidak
tahu apa yang bisa kita lakukan. Bagaimana kita bisa melacak kapal para penculik
dalam gelap? Mereka pasti sudah kabur entah ke mana."
Tapi aku yakin pasti ada cara. Aku menghampiri pagar kapal dan menengok ke
bawah, ke arah para putri duyung yang berenang di sisi kapal sambil mendekut-
dekut.
"Tolonglah kami!" aku memohon kepada mereka. "Kami mau mencari teman
kalian. Bantulah kami mencarinya."
Aku menunggu sambil menahan napas. Apakah mereka akan mengerti
permintaanku? Apakah mereka dapat membantu—entah dengan cara apa?
Para putri duyung mulai berceloteh satu sama lainnya. Lalu salah satu dari
mereka—dia berambut gelap dan ekornya lebih panjang dari ekor teman-
temannya—berenang maju lalu membalik badan.
Dia mulai bersiul-siul dan berdecak-decak kepada teman-temannya.
Aku mendapat kesan bahwa dia sedang memberikan perintah.
Kami bertiga terheran-heran ketika mereka membentuk barisan panjang yang
membentang jauh ke tengah laut.
"Barangkali mereka mau menunjukkan jalan ke tempat para penculik," aku
menduga-duga.
"Mungkin," jawab Dr. D. sambil termenung-menung. "Tapi bagaimana mereka
bisa menemukan kapal itu?" Dia mengusap-usap dagu. "Ah, aku tahu. Mereka
pasti akan memakai sonar. Coba kalau aku punya kesempatan untuk mempelajari
suara-suara yang mereka buat..."
"Lihat, Dr. D.!" Sheena memotong. "Mereka mulai berenang menjauh!"
Kami memperhatikan sosok-sosok gelap itu membelah air dengan lincah.
"Cepat!" aku berseru. "Kita harus mengikuti mereka."
"Itu terlalu berbahaya," ujar Dr. D. sambil mendesah. "Kita bertiga takkan sanggup
melawan Alexander dan keempat laki-laki bertopeng itu!" Dia berjalan mondar-
mandir di geladak. "Kita harus menghubungi polisi," dia lalu memutuskan.
"Tapi apa yang harus kita katakan kepada mereka? Bahwa kita mengejar putri
duyung yang diculik? Mereka pasti takkan percaya."
"Dr. D., kita harus mengikuti para putri duyung," aku memohon. "Kalau kita
tunggu terlalu lama, kita bakal kehilangan jejak."
Dia menatapku sambil membisu. "Oke, jangan buang-buang waktu lagi," dia
akhirnya berkata.
Aku bergegas ke buritan untuk melepaskan tali penambat sekoci. Dr. D.
menurunkannya ke air dan melompat masuk. Sheena dan aku segera menyusul.
Cepat-cepat Dr. D. menyalakan mesin... kemudian kami melaju mengikuti barisan
putri duyung yang tampak berkilau-kilau.
Mereka semua berenang begitu kencang, sehingga sekoci kami yang kecil nyaris
tak sanggup mengimbangi kecepatan mereka.
Kira-kira lima belas sampai dua puluh menit kemudian, kami tiba di sebuah teluk
kecil yang sunyi. Bulan muncul dari balik awan.
Cahayanya yang pucat menerangi sebuah kapal yang berlabuh di dekat pantai.
Dr. D. cepat-cepat mematikan mesin, agar para penculik tidak mendengar
kedatangan kami.
"Sepertinya mereka sedang tidur," dia berbisik.
"Bagaimana Alexander bisa tidur setelah apa yang dilakukannya terhadap kita?"
tanya Sheena. "Dia meninggalkan kita agar kita mati tenggelam!"
"Demi uang orang tega melakukan hal-hal yang mengerikan," balas Dr. D. sedih.
"Tapi ada baiknya mereka menyangka kita sudah mati. Berarti kita bisa
mengejutkan mereka."
"Di mana putri duyungnya?" aku berbisik, memandang kapal yang gelap itu,
terapung-apung di bawah cahaya bulan yang berkabut.
Tanpa suara kami mendekati kapal para penculik.
Nah, kita sudah menemukan mereka, aku berkata dalam hati. Tapi ada satu
masalah kecil.
Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?
25

SUASANA menjadi hening. Kapal para penculik tampak terayun pelan mengikuti
irama gelombang di teluk itu.
"Ke mana para putri duyung itu?" tanya Sheena sambil berbisik.
Aku angkat bahu. Mereka sama sekali tidak kelihatan. Aku menduga mereka
berenang jauh di bawah permukaan, dan bersembunyi.Tiba-tiba aku melihat riak-
riak kecil di sisi kapal para penculik.
Perlahan-lahan, tanpa suara, sekoci kami meluncur mendekati kapal itu. Aku
mengamati riak di sisi kapal sambil bertanya-tanya apa yang menimbulkannya.
Kemudian, dalam cahaya bulan yang remang-remang, aku melihat rambut pirang,
sekelebat saja.
"Si putri duyung!" aku berbisik. "Dia di situ!"
Putri duyung itu terapung-apung di air, terikat ke buritan kapal para penculik.
"Rupanya mereka tidak punya tangki untuk menahannya," Dr. D. berbisik penuh
semangat. "Malah kebetulan."
Tiba-tiba kami melihat sosok-sosok lain membelah air yang gelap.
Beberapa putri duyung melompat dari air, mengelilingi rekan mereka yang
tertangkap. Aku melihat sirip ekor terangkat tinggi bagaikan kipas raksasa. Aku
melihat tangan-tangan kecil menarik-narik tali yang membelit si putri duyung.
Permukaan air bergolak pelan.
"Teman-temannya membebaskan dia," aku berbisik.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sheena.
"Kita akan memastikan bahwa dia bisa lolos dengan selamat," jawab Dr. D.
"Setelah itu kita juga pergi. Para penculik takkan pernah tahu bahwa kita datang ke
sini."
Kami memperhatikan para putri duyung berusaha melepaskan tali yang mengikat
teman mereka. Sementara itu sekoci kami sudah merapat di lambung kapal para
penculik.
"Cepat!" Sheena mendesak para putri duyung. "Barangkali mereka perlu bantuan,"
ujarku. Dr. D. membelokkan sekoci ke arah mereka.
Tiba-tiba aku melihat cahaya di kapal para penculik. Aku menahan napas.
Seseorang telah menyalakan sebatang korek api untuk menyalakan obor.
Dan kemudian sebuah suara menggelegar dengan geram, "Hei, sedang apa kalian?"
26

AKU cepat-cepat mengelak ketika obor menyala itu disorongkan ke wajahku.


Di belakang obor itu, aku melihat salah satu penculik mendelik ke arahku.
Kelihatannya dia terburu-buru memasang topengnya, sehingga hanya bagian atas
wajahnya yang tertutup.
Aku mendengar bunyi orang menaiki tangga, disusul seruan-seruan kaget.
Alexander dan ketiga penculik lain muncul di geladak.
"Bagaimana kalian bisa sampai di sini?" tanya orang yang memegang obor.
"Kenapa kalian belum mati?"
"Kami datang untuk membebaskan si putri duyung," Dr. D. menyahut dengan
lantang. "Kalian tidak bisa menahannya di sini!"
Obor itu berayun di atas kepalaku. Aku langsung berdiri di sekoci dan berusaha
menepisnya ke air.
"Billy, jangan!" seru Dr. D.
Si penculik menarik obornya. Aku jatuh ke depan, menimpa Sheena.
"Kembalikan putri duyung itu!" Dr. D. menuntut.
"Hah, enak saja," balas si penculik. "Kalian datang jauh-jauh, tapi ternyata sia-sia.
Dan lihat... sekoci kalian dimakan api."
Dia menempelkan obornya ke sekoci untuk membakarnya.

26

DALAM sekejap sekoci kami sudah terbakar. Lidah api berwarna kuning dan
jingga cerah menerangi kegelapan malam. Api segera menyebar ke bagian depan
sekoci.
Sheena memekik dan berusaha mundur untuk menjauhi api yang berkobar-kobar.
Karena panik, dia hendak melompat ke air tapi Dr. D. menghalaunya.
"Jangan tinggalkan sekoci! Kau akan tenggelam!"
Apinya meretih-retih dan semakin besar.
Dr. D. mengambil jaket pelampung berwarna kuning dari dasar sekoci, lalu
menggunakannya untuk memukul-mukul api.
"Billy... ambil jaket pelampung!" dia berseru. "Sheena... ambil ember! Siram
apinya dengan air... cepat!"
Aku menemukan sebuah jaket pelampung dan mengikuti contoh pamanku. Sheena
menimba air laut dan menyiramnya ke tengah api.
Tiba-tiba aku mendengar suara Alexander. "Naikkan putri duyungnya ke kapal.
Setelah itu kita kabur dari sini!" dia memberi perintah.
"Dr. D.!" aku berseru. "Mereka akan kabur!"
Kemudian aku mendengar para penculik berseru-seru. "Si putri duyung! Mana
dia?"
Aku menoleh ke sisi kapal. Si putri duyung ternyata sudah menghilang. Teman-
temannya berhasil membebaskannya.
Salah satu penculik mengulurkan tangannya dari kapal dan menggenggam kerah
bajuku. "Apa yang kau lakukan pada putri duyung itu?" dia bertanya dengan nada
memaksa.
"Lepaskan dia!" Dr. D. membentaknya.
Aku berusaha melepaskan diri dari genggaman si penculik. Tapi dia
mencengkeramku dengan erat. Kemudian aku melihat penculik lainnya
mengayunkan pentungan ke kepala Dr. D.
Dr. D. segera mengelak. Si penculik berusaha memukul perutnya. Dr. D. kembali
menghindar.
Aku meronta-ronta sambil menendang-nendang. Sheena menarik-narik tangan si
penculik untuk membantuku.
Tapi penculik ketiga menangkap pergelangan tangan adikku, dan
mencampakkannya ke dasar sekoci.
"Jangan sakiti mereka!" Dr. D. memohon. "Alexander! Bantu kami!"
Alexander tidak beranjak dari tempatnya di geladak. Dia cuma berdiri sambil
menyilangkan tangannya yang kekar. Dengan tenang dia memperhatikan
pertarungan yang berlangsung di depan matanya.
Api sudah hampir berhasil dipadamkan, tapi mendadak kembali membesar.
"Sheena... apinya!" aku berseru. "Padamkan apinya!" Dia menyambar ember dan
kembali menyiram air laut ke mana-mana.
Salah satu penculik menendang ember di tangan Sheena sampai terpental ke laut.
Sheena segera memungut sebuah jaket pelampung, lalu memukul-mukul api
sampai padam.
"Lompat ke sekoci mereka dan lempar mereka ke laut!" aku mendengar salah satu
penculik berseru.
Rekannya mulai turun ke sekoci kami. Tapi tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan
dan jatuh ke depan dengan tangan menggapai-gapai.
Dia berseru kaget ketika kapalnya tiba-tiba oleng ke kiri. Kapal itu seakan-akan
dihantam gelombang besar.
Para penculik yang lain pun berteriak-teriak kebingungan. Kapal mereka mulai
berayun ke kiri-kanan. Mula-mula pelan, lalu semakin kencang. Sambil
berpegangan pada tepi sekoci, aku mempehatikan mereka menggenggam pagar
kapal agar tidak tercampak ke laut.
Dr. D. berdiri untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Kapal itu terombang-ambing dengan hebat, seolah-olah dipermainkan ombak
raksasa.
Para putri duyung. Kini aku bisa melihat mereka.
Mereka mengelilingi kapal para penculik dan menggoyang-goyangkannya dengan
keras.
Keras. Semakin keras. Para penculik tak dapat berbuat apa-apa selain berpegangan
pada pagar kapal.
"Tugas kita sudah selesai!" Dr. D. berseru gembira. Dia menyalakan mesin, dan
kami melaju menjauh.
Ketika menoleh ke belakang, aku melihat kapal para penculik masih terombang-
ambing. Dan aku melihat putri duyung kami berenang bersama teman-temannya.
"Dia lolos!" aku berseru. "Dia selamat!"
"Moga-moga dia tidak apa-apa," kata Sheena. "Besok kita akan mencarinya lagi,"
ujar Dr. D. sambil mengarahkan sekoci kembali ke Cassandra. "Sekarang kita
sudah tahu di mana dia bisa ditemukan."
Sheena dan aku saling berpandangan.
Oh, jangan, aku berkata dalam hati.
Apakah Dr. D. bermaksud menangkap si putri duyung sekali lagi... untuk
diserahkan kepada orang-orang dari kebun binatang?
Sheena dan aku bertemu di galley keesokan paginya. Berhubung Alexander sudah
tidak ada, kami terpaksa membuat sarapan sendiri.
"Apakah si putri duyung kembali ke laguna?" Sheena bertanya padaku.
"Kemungkinan besar," jawabku. "Dia kan tinggal di situ."
Adikku makan sesuap sereal, lalu mengunyah sambil termenung-menung.
"Sheena," kataku, "kalau ada orang yang menawarimu sejuta dolar, apakah kau
mau menunjukkan tempat tinggal para putri duyung?"
"Kalau orang itu mau menangkap mereka, tidak," sahut Sheena.
"Aku juga tidak," ujarku. "Itulah yang membuatku bingung. Aku suka sekali pada
Dr. D. Aku tidak bisa Percaya bahwa dia..."
Aku terdiam karena mendengar sesuatu. Bunyi mesin.
Sheena memasang telinga. Rupanya dia juga mendengarnya.
Kami langsung meletakkan sendok masing-masing dan bergegas naik ke geladak.
Dr. D. berdiri di buritan. Pandangannya tertuju ke laut.
Sebuah kapal sedang mendekat. Sebuah kapal berwarna putih dengan tulisan
MARINA ZOO di sisinya.
"Orang-orang dari kebun binatang!" seru Sheena. "Mereka datang!"
Apa yang akan dilakukan oleh Dr. D.? aku bertanya-tanya dengan perasaan galau.
Apakah dia akan memberitahu tempat tinggal para putri duyung kepada mereka?
Apakah dia akan menerima uang satu juta dolar itu?
Sheena dan aku bersembunyi di balik ruang kemudi. Kami memperhatikan kapal
Marina Zoo merapat di sisi Cassandra. Aku mengenali Mr. Showalter dan Miss
Wickman.
Mr. Showalter melemparkan tambang kepada Dr. D. Miss Wickman langsung
melompat ke kapal kami.
Orang-orang dari kebun binatang itu tersenyum dan bersalaman dengan Dr. D.
Pamanku mengangguk dengan serius.
"Kami dapat berita dari para nelayan di Santa Anita bahwa Anda berhasil
menemukan putri duyung itu," kata Mr. Showalter. "Kami sudah siap untuk
membawanya sekarang."
Miss Wickman membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah amplop. "Ini cek
senilai satu juta dolar, Dr. Deep," dia berkata sambil tersenyum. "Kami
membuatnya atas nama Anda dan Laboratorium Penelitian Cassandra."
Dia menyodorkan amplop itu kepada pamanku.
Aku mengintip dari balik ruang kemudi. Jangan diterima, Dr. D., aku memohon
dalam hati. Jangan diterima.
"Terima kasih banyak," ujar pamanku. Dia mengulurkan tangan dan menerima cek
itu.

28

"UANG satu juta dolar sangat besar artinya untuk saya dan pekerjaan saya," kata
Dr. D. "Kebun binatang sangat bermurah hati. Karena itu saya pun sangat
menyesal karena saya terpaksa melakukan ini."
Dia memegang amplop itu dengan kedua tangan dan merobeknya.
Kedua orang dari kebun binatang itu tampak terbengong-bengong.
"Saya tidak bisa menerima uang itu," ujar Dr. D.
"Apa maksud Anda, Dr. Deep?" Mr. Showalter bertanya dengan bingung.
"Anda telah meminta saya mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak ada," balas
pamanku. "Sejak kedatangan Anda sebelum ini, saya telah menyelidiki perairan
dengan saksama. Saya telah memeriksa setiap inci di laguna dan perairan sekitar
dengan peralatan saya. Dan sekarang saya bahkan lebih yakin dari sebelumnya
bahwa putri duyung itu tidak ada."
"Yaaay!" aku berseru dalam hati. Rasanya aku ingin melompat-lompat dan menari-
nari—tapi aku tetap bersembunyi di balik ruang kemudi bersama Sheena.
"Tapi bagaimana dengan cerita-cerita para nelayan?" protes Miss Wickman.
"Nelayan-nelayan di sini sudah sejak dulu bercerita tentang putri duyung," Dr. D.
memberitahunya. "Saya rasa mereka benar-benar percaya bahwa mereka pernah
melihat putri duyung pada hari-hari yang berkabut. Tapi apa yang mereka lihat
sebenarnya hanya ikan, lumba-lumba, atau dugong, bahkan orang-orang yang
sedang berenang. Sebab yang namanya putri duyung itu tidak ada. Mereka hanya
hidup di dalam dongeng."
Mr. Showalter dan Miss Wickman kelihatan kecewa.
"Anda yakin?" tanya Mr. Showalter.
"Ya, saya yakin sepenuhnya," jawab pamanku dengan tegas.
"Peralatan saya sangat sensitif. Ikan yang paling kecil pun bisa saya deteksi."
"Kami menghargai pendapat Anda, Dr. Deep," Mr. Showalter berkata dengan
sedih. "Anda pakar paling terkemuka dalam bidang kehidupan laut tropis. Karena
itulah kami menghubungi Anda."
"Terima kasih," ujar Dr. D. "Kalau begitu saya berharap Anda mau menerima
saran saya dan mengakhiri perburuan putri duyung ini."
"Kelihatannya tidak ada pilihan lain," kata Miss Wickman. "Terima kasih atas
bantuan Anda, Dr. Deep."
Mereka bersalaman lagi. Kemudian kedua wakil kebun binatang itu kembali ke
kapal mereka dan pergi.
Keadaan sudah aman. Sheena dan aku langsung menghambur keluar dari tempat
persembunyian kami.
"Dr. D.!" Sheena berseru sambil memeluknya. "Terima kasih!"
Dr. D. mengembangkan senyum lebar. "Terima kasih kembali," katanya. "Mulai
sekarang, tak seorang pun boleh menyinggung soal putri duyung itu kepada orang
lain. Oke?"
"Oke," Sheena langsung menyahut.
"Oke," kataku. Lalu kami bersalaman.
Putri duyung itu tetap akan menjadi rahasia kami.
Aku telah berjanji untuk tidak menyinggung soal putri duyung itu kepada siapa
pun. Tapi aku ingin menemuinya sekali lagi. Aku ingin mengucapkan selamat
tinggal padanya.
Sehabis makan siang, Sheena dan Dr. D. masuk ke kabin masing-masing untuk
beristirahat. Habis, semalam kami nyaris tak sempat memejamkan mata. Aku pun
berlagak mengantuk.
Tapi begitu mereka tertidur, aku menyelinap keluar dari kabinku dan masuk ke air
yang biru jernih.
Aku berenang ke laguna untuk mencari si putri duyung.
Matahari berada tinggi di langit. Cahayanya menerangi air laguna yang tenang
sehingga berkilau-kilau seakan-akan berlapis emas.
Putri duyung? Di mana kau? aku bertanya-tanya. Aku baru saja melewati gosong
karang ketika aku merasakan kakiku ditarik pelan-pelan.
Sheena? aku langsung menyimpulkan. Jangan-jangan dia menguntitku lagi.
Aku berbalik untuk menangkapnya.
Ternyata tidak ada siapa-siapa.
Hmm, paling-paling rumput laut, aku berkata dalam hati. Aku terus berenang.
Beberapa detik kemudian, kakiku kembali ditarik. Kali ini lebih keras.
Hei... itu pasti si putri duyung! Sekali lagi aku berbalik untuk mencarinya. Riak-
riak kecil tampak pada permukaan air.
"Putri duyung?" aku memanggil.
Sebuah kepala muncul dari dalam air.
Sebuah kepala raksasa, licin, berwarna hijau. Dengan satu mata besar.
Dan mulut penuh gigi runcing.
"Monster laut!" aku memekik. "Monster laut!"
Apakah kali ini mereka mau percaya padaku?

END

Ebook PDF: eomer eadig


Http://ebukulawas.blogspot.com

Convert & Re edited by: Farid ZE


blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Anda mungkin juga menyukai