Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

POST PARTUM DENGAN PRE-EKLAMPSIA BERAT

A. POST PARTUM
1. Pengertian
“Post partum adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai
alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil. Lama masa nifas ini yaitu 6 – 8
minggu.” (Mochtar, 1998)
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung
selama kira-kira 6 minggu.

2. Nifas Dibagi dalam 3 Periode


a. Puerperium Dini
Kepulihan dimana ibu boleh berdiri dan berjalan-jalan.
b. Puerperium Intramedial
Kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6–8 minggu.
c. Puerperium Remote
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama
hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi waktu untuk sehat
sempurna bisa berminggu-minggu bulanan atau tahunan. (Mochtar, 1998).

3. Perubahan Fisiologi dan Psikologi Post Partum


a. Perubahan Fisiologis
 Uterus
Secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya
kembali seperti sebelum hamil. Pada waktu bayi lahir tinggi fundus uteri
setinggi pusat dan berat uterus 1000 gram, waktu uri lahir
tinggi fundus uteri 2 jari di bawah pusat dengan berat uterus 750 gram. 1
jam setelah lahir tinggi fundus uteri setinggi umbilikus dengan konsistensi
lembut dan kontraski masih ada. Setelah 12 jam tinggi fundus uteri 1 cm di
atas umbilikus setelah 2 hari tinggi fundus uteri turun 1 cm. Satu minggu
setelah persalinan tinggi fundus uteri pertengahan pusat simfisis dengan
berat uterus 500 gram, dua minggu setelah persalinan tinggi fundus uteri
tidak teraba di atas simfisis dengan berat uterus 350 gram. 6 minggu
setelah persalinan tinggi fundus uteri bertambah kecil dengan berat uterus
50 gram, dan 8 minggu setelah persalinan tinggi fundus uteri kembali
normal dengan berat 30 gram. (Mochtar, 1998)
 Lochea
Adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam masa
nifas.
Locea Rubra (Cruenta)
Berasal dari kavum uteri dan berisi darah segar dan sisa-sisa selaput
ketuban, sel-sel desidua, vernik kaseosa, lanugo dan mekonium, selama 2
hari pasca persalinan.
Lochea Sanguinolenta
Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir. Hari ke 3 – 7 pasca
pesalinan.
Lochea Serosa
Berwarna pink (merah muda) kecoklatan. Cairan tidak berdarah lagi. Pada
hari ke 7 – 14 pasca persalinan.
Lochea Alba
Berwarna kuning putih. Setelah 2 minggu. Tanda bahaya jika setelah
lochea rubra berhenti warna darah tidak muda, bau seperti menstruasi.
Lochea Purulenta jika terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau
busuk, Locheostiasis Lochea tidak lancar keluarnya. Pengeluran rata-rata
lochea 240 – 270 ml. (Mochtar, 1998).
 Servik dan Vagina
Segera setelah melahirkan servik lunak dan dapat dilalui oleh 2 jari,
sisinya tidak rata karena robekan saat melahirkan. Bagaimanapun juga
servik tidak dapat kembali secara sempurna ke masa sebelum hamil.
Osteum externum akan menjadi lebih besar karena adanya. Dalam
beberapa hari bentuk servik mengalami distersi, struktur internal kembali
dalam 2 minggu. Struktur eksternal melebar dan tampak bercelah.
Sedangkan vagina akan menjadi lebih lunak dengan sedikit rugae dan akan
kembali mengecil tetapi akan kembali ke ukuran semula seperti sebelum
hamil dalam 6 – 8 minggu meskipun bentuknya tidak akan sama persis
hanya mendekati bentuk awalnya saja.
 Perineum
Selama persalinan Perinum mendapatkan tekanan yang besar, yang
kemudian setelah persalinan menjadi edema. Perawat perlu mengkaji
tingkat kenyamanan sehubungan dengan adanya luka episiotomi, laserasi
dan hemoroid. Perawat perlu melaporkan adanya edema, khimosis,
kemerahan dan pengeluaran (darah, pus, serosa). Dan apabila ada luka
episiotomy kaji tanda-tanda infeksi dan luka episiotomy ini akan sembuh
dalam 2 minggu. (Pillitteri, 1999).
 Proses Laktasi
Di awal kehamilan, peningkatan estrogen yang diproduksi oleh placenta
menstimulasi perkembangan kelenjar susu. Pada hari pertama post partum
terdapat perubahan pada mammae ibu post partum. Semenjak masa
kehamilan kolostrum telah disekresi. Pada 3 hari pertama post partum
mammae terasa penuh atau membesar oleh karena kelahiran plasenta
diikuti dengan meningkatnya kadar prolaktin menstimulasi produksi susu.
(Pillitteri, 1999).
 Tanda-tanda Vital
Jumlah denyut nadi normal antara 50 – 70 x/menit. Takikardi
mengidentifikasi perdarahan penyakit jantung infeksi dan kecemasan.
Tekanan darah terus selalu konsisten dengan keadaan sebelum melahirkan.
Penurunan tekanan darah secara drastis dicurigai adanya peradarahan.
Kenaikan tekanan darah sistole 30 mmHg dan distol 15 mmHg atau
keduanya dicuriagi kehamilan dengan hipertensi atau eklamsi. Kenaikan
suhu tubuh hingga 38o C pada 24 jam pertama atau lebih diduga terjadi
infeksi atau karena dehidrasi. Perawat perlu mengkaji tanda-tanda vital,
karena sebagai petunjuk adanya peradarahan, infeksi atau komplikasi post
partum lainnya. (Sherwen, 1999).
 Sistem Pernafasan
Diafragma turun dan paru kembali ke tingkat sebelum melahirkan dalam 6
– 8 minggu post partum. Respiratory rate 16 – 24 kali per menit.
Keseimbangan asam basa akan kembali normal dalam 3 minggu post
partum. Dan metabolisme basal akan meningkat selama 14 hari post
partum. Pada umumnya tidak ada tanda-tanda infeksi pernafasan atau
distress pernafasan pada beberapa wanita mempunyai faktor predisposisi
penyakit emboli paru. Secara tiba-tiba terjadi dyspneu. Emboli paru dapat
terjadi dengan gejala sesak nafas disertai hemoptoe dan nyeri pleura.
(Sherwen, 1999).
 Sistem Muskuloskeletal
Pada kedua ekstremitas atas dan bawah dikaji apakah ada oedema atau
perubahan vaskular. Ekstermitas bawah harus diobservasi akan adanya
udema dan varises. Jika ada udema observasi apakah ada pitting udema,
kanaikan suhu, pelebaran pembuluh vena, kemerahan yang diduga sebagai
tanda dari tromboplebitis. Ambulasi harus sesegera mungkin dilakukan
untuk meningkatkan sirkulasi dan mencegah kemungkinan komplikasi.
(Sherwen, 1999).
 Sistem Persyarafan
Ibu post partum hiper refleksi mungkin terpapar kehamilan dengan
hipertensi. Jika terdapat tanda-tanda tersebut perawat harus mengkaji
adanya peningkatan tekanan darah, proteinuria, udema, nyeri epigastritik
dan sakit kepala. (Sherwen, 1999).
 Sistem Perkemihan
Untuk mengkaji sistem perkemihan pada masa post partum secara akurat
harus meliputi riwayat : kebiasaan berkemih, infeksi saluran kemih,
distensi kandung kemih, retensi urine. Kemampuan untuk berkemih,
frekuensi, jumlah, warna, konsistensi, rasa lampias. Kemampuan untuk
merasakan penuhnya kandung kemih dan pengetahuan tentang personal
hygiene. Pada umumnya dalam 4 – 8 jam setelah melahirkan ibu post
partum, mempunyai dorongan untuk mengosongkan kandung kemih.
Dalam waktu 48 jam kemudian ibu post partum akan sering berkemih tiap
3 – 4 jam sekali untuk menghidari distensi kandung kemih. (Pillitteri,
1999).
 Sistem Pencernaan
Karakteristik dari fungsi normal usus adalah adanya bising usu 5 – 35
/menit. Kurangnya pergerakan usus pada hari pertama post partum adalah
hal yang biasa terjadi. Sebagai akibat terjadinya udema saat kelahiran,
kurang asupan makan (puasa) sesaat sebelum melahirkan selanjutnya pada
beberapa hari pertama post partum. Khususnya saat berada di rumah sakit.
Beberapa ibu tidak mendapatkan kembali kebiasaan makannya. Jika terjadi
konstipasi, abdomen akan mengalami distensi, maka feses akan terpalpasi.
(Sherwen, 1999).
b. Perubahan Psikologis
 Taking in Phase
Timbul pada jam pertama kelahiran 1 – 2 hari selama masa ini ibu
cenderung pasif, ibu cenderung dilayani dalam memenuhi cenderung
sendiri. Hal ini disebabkan rasa tidak nyaman pada perineal, nyeri setelah
melahirkan.
 Taking Hold Phase
Ibu post partum mulai berinisiatif untuk melakukan tindakan sendiri, telah
suka membuat keputusan sendiri. Ibu mulai mempunyai ketertarikan yang
kuat pada bayinya pada hari 4 – 7 hari post partum.
 Letting Go Phase
Ibu post partum dapat menerima keadaan dirinya apa adanya. Proses ini
perlu menyesuaikan diri terjadi pada hari terakhir minggu pertama.
4. Penatalaksanaan Post Partum (Novak, 1999).
 Early Ambulation
Ibu post partum diharapkan sedini mungkin melakukan early ambulation,
dimana ibu 8 jam pertama istirahat tidur terlentang, setelah 8 jam
diperbolehkan miring ke kiri atau ke kanan untuk mencegah trombosis dan
boleh bangun dari tempat tidur setelah 24 jam sampai 48 jam post partum.
 Perawatan Payudara
Perhatikan kebersihan mammae, putting bila ada luka segera obati, dan pada
ibu yang belum mampu mengeluarkan ASI dilakukan perawatan payudara
post partum.
 Pemberian Nutrisi
Nutrisi ibu diberikan harus memenuhi gizi seimbang porsinya lebih banyak
daripada waktu hamil, disamping untuk mempercepat pulihnya kesehatan
setelah kelahiran juga untuk meningkatkan produksi ASI.
 Aktivitas Seksual
Pasangan dianjurkan untuk menunggu sampai terdapat pengeluaran lochea
akhir minggu ke 4. Perhatikan posisi, sebaiknya wanita pada posisi atas untuk
menghindari adanya penetrasi yang telalu dalam.

B. PRE EKLAMSIA BERAT


1. Pengertian
Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang
memperlihatkan gejala trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-kadang
hanya hipertensi dan edema atau hipertensi dan proteinuria (dua gejala dari trias
dan satu gejala yang harus ada yaitu hipertensi).
Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya hipertensi
disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20
minggu atau segera setelah persalinan.
Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana
hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki
tekanan darah normal dan diartikan juga sebagai penyakit vasospastik yang
melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi dan
proteinuria (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005).
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring
terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi
sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih.
Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak
periksa 1 jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.
2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau
lebih dalam seminggu.
3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada
urin kateter atau midstream (aliran tengah).
b. Pre eklamsia berat
Pre eklamsia berat ditandai dengan:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan,
dan rasa nyeri pada epigastrium.
5) Terdapat edema paru dan sianosis
6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
7) Perdarahan pada retina.
8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.

2. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap
sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara
umum yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat
kurangnya pasokan darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa
faktor predisposisi terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau
polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara
perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar,
dan diabetes mellitus.
o. Obesitas.
p. Interval antar kehamilan yang jauh.

3. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia
uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik
yaitu akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik
berperan dalam proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan
tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan
tomboksan dan aktivasi/ agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan
akan menyebabkan terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit
deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan
perfusi darah menurun dan konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati
mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan darah menurun dan
menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang di keluarkan akan
mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama angiotensinogen
menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II. Angiotensin II
bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme
menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit
menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan
perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga
menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin
II akan merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron.
Vasospasme bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan
gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak,
darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat
menyebabkan terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga
menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi
endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan pembuluh darah pecah. Pecahnya
pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya pendarahan, sedangkan sel darah
merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru-
paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya kongesti vena pulmonal,
perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya edema paru. Edema
paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada hati,
vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron,
terjadi peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa
keperawatan kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal
akan meyebabkan penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan
meningkat. Penurunan GFR tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh
tubulus sehingga menyebabkan diuresis menurun sehingga menyebabkan
terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau anuri akan memunculkan diagnosa
keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas terhadap protein yang
meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari filtrasi glomerulus
dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi spasmus arteriola
selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan risiko
cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia
sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat
berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan
diagnosa keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf
parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus
gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan
terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl
meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi
akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga
muncul diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan
ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam
laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan
menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul diagnosa keperawatan
intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan seseorang kurang
terpajan informasi dan memunculkan diagnosa keperawatan kurang pengetahuan.
4. Patway post partum Letting go phase

Estrogen & Progesteron


menurun
Kehadiran anggota
Involusi uterus baru
Oksitosin meningkat Prolaktin
meningkat
Kontraksi
uterus lambat Kontraksi uterus cemas
Isapan bayi Isapan bayi
Laserasi jalan lahir adekuat tidak adekuat
Atonia uteri Pelepasan jaringan
endometrium perubahan
Oksitosin meningkat Pembendungan ASIpola peran
Servik & vagina
perdarahan Vol. darah turun
Lokhea
keluar Port of the entri Duktus & alveoli Payudara bengkak
Vol. Cairan turun Anemia akut kontraksi

Kurang perawatan Resiko infeksi


Perub. Perfusi Hb O2 turun
efektif Tidak efektif Gang. Rasa
jaringan nyaman nyeri
hipoksia Invasi bakteri
ASI keluar ASI tidak keluar
Kuman
Daya tahan mudah masuk
Resiko syok
tubuh turun
hipovolemik

Kelemahan umum Intoleransi Defisit


aktivitas perawatan diri
5. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat
badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada
pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre
eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah.
Gejala-gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre
eklampsia yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya
yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam
praktik medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda
dalam penegakkan diagnosa pre eklamsia.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia
yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin
untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%).
b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31
u/ml)
f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7
mg/dL
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra
uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume
cairan ketuban sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa
denyut jantung janin lemah.

7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung
pada derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre
eklamsia antara lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes
and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah),
meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah.
HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai
dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung
trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri
perut bagian kanan atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur
saat serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah
dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).

8. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif
1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali
tanda-tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan
yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau
ada faktor-faktor predisposisi.
3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta
pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi
protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup
dan sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
1) Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita
dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2
kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah
dengan istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti
valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan
dosis 3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan,
karena obat ini tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan
gejala pre-eklampsi berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat
inap.Monitor keadaan janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan
ultrasografi, dan sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan
induksi partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas.
2) Penanganan pre eklamsia berat
a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji
kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:
(1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular
kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama
tidak ada kontraindikasi.
(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus
dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-
eklamsia ringan kecuali ada kontraindikasi.
(3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta
berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil
mengawasi timbulnya lagi gejala.
(4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi
kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung
keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin,
maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37
minggu.
b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
(1) Penderita dirawat inap
(a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.
(b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
(c)Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr
digluteus kanan dan 4 gr digluteus kiri.
(d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.
(e)Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis
100 cc dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus
tersedia antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10
cc.
(f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan
selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½
tablet sehari.
(3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema
paru dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1
ampul IV lasix.
(4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi
partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin
(pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
(5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi
ibu dilarang mengedan.
(6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan
yang disebabkan atonia uteri.
(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi,
kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post
partum.
(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.
c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia
1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi
seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga
aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary,
fenel, hyssop dan sage.
2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan
dan kenyamanan.
3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan
suplemen mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.

9. Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur,
pertambahan berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu,
pembengkakan ditungkai, muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh
dan atau sedikit (pada pre eklamsia berat < 400 ml/24 jam).
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler
esensial, hipertensi kronik, DM.
4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion
serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan
6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan
kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi
resikonya.

b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.
c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM
jika refleks positif.
d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress.
Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90
mmHg atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg
dari tekanan biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan
20 minggu). Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik >
160 mmHg, dan atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali
dengan interval 4-6 jam
b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala
kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum
kreatinin meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.
c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada
otak.
e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap
atonia uteri. (Doengoes, 2001)
2. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan perineum
dan kontraksi uterus berlebih. (Doegoes, 2001: 417)
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka
episiotomi (Doegoes, 2001: 427)
4. Gangguan eliminasi berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder terhadap
oedema uretra. (Doegoes, 2001: 434)
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan
(Doegoes, 2001: 436)
6. Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru.
(Carpenito, 2000: 513)
7. Konstipasi berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon (Doegoes, 2001:
430)
8. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, factor
eksternal perubahan lingkungan.
9. ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya manageman laktasi
sekunder terhadap pembengkakan payudara.(Carpenito, 2001: 513)

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder
terhadap atonia uteri. (Doengoes, 2001)
Tujuan :
Syok hipovolemi tidak terjadi.
Kriteria hasil:
 Tekanan darah siastole 110-120 mmHg, diastole 80-85 mmHg.
 Nadi 60-80 kali permenit.
 Akral hangat, tidak keluar keringat dingin
 Perdarahan post partum kurang dari 100 cc
Intervensi :
 Monitor vital sign
 Kaji adanya tanda-tanda syok hipovelomik
 Monitor pengeluaran pervagina.
 Lakukan massage segera mungkin pada fundus uteri.
 Susukan bayi sesegera mungkin.
2. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
perineum dan kontraksi uterus berlebih. (Doegoes, 2001: 417)
Tujuan :
Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
 Ekspresi wajah klien tenang.
 Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang.
 Skala nyeri kurang dari 4.
 Nadi antara 60-80 kali permenit.
Intervensi :
 Kaji sebab-sebab nyeri pada klien.
 Ajarkan pada klien tentang metode distraksi dan relaksasi.
 Anjurkan pada klien untuk melakukan kompres dingin
pada daerah perineum.
 Kolaborasi pemberian analgesic sesuai advis dokter.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka
episiotomi. (Doegoes, 2001: 427)
Tujuan :
Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
 Tidak ada tanda-tanda infeksi pada daerah sekitar luka episiotomi.
 Tanda-tanda vital normal.
 Jumlah sel darah putih normal.
Intervensi :
 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.
 Monitor tanda-tanda vital.
 Monitor tanda-tanda infeksi pada daerah luka episiotomi.
 Beri perawatan pada luka episiotomi dengan
menggunakan teknik septic dan antiseptic.
 Anjurkan pada klien agar menjaga kebersihan perineum.
4. Gangguan eliminasi urin: inkonensia berhubungan dengan obstruksi uretra
sekunder terhadap oedema uretra. (Doegoes, 2001: 434)
Tujuan :
Kebutuhan eliminasi urin dapat terpenuhi.
Kriteria hasil :
 Klien dapat mengosongkan kandung kemih 4-8 jam setelah melahirkan.
 Klien tidak merasakan ketegangan pada kandung kemih.
Intervensi :
 Kaji intake cairan klien mulai terakhir saat pengosongan
kandung kemih.
 Anjurkan klien untuk merangsang BAK dengan
menggunakan air hangat.
 Kaji jumlah urin yang dikeluarkan.
 Jika klien tidak bisa mengeluarkan sendiri secara spontan,
kolaborasi untuk pemasangan kateter.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan.
(Doegoes, 2001: 436)
Tujuan :
Kebersihan diri klien terpenuhi.
Kriteria hasil :
 Klien dapat melakukan perawatan diri secara bertahap.
Intervensi :
 Kaji factor-faktor penyebab yang berperan.
 Tingkatan partisipasi klien secara bertahap dan optimal.
 Beri dorongan untuk mengungkapkan persaan tentang
perawatan diri.
6. Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru.
(Carpenito, 2000: 513)
Tujuan :
Orang tua dapat menerima peran baru dalam keluarganya.
Kriteria hasil :
 Orang tua dapat menerima keberadaan bayinya.
 Orang tua dapat mendemonstrasikan perilaku peran barunya.
 Orang tua mulai mengungkapkan perasaan positif mengenai bayinya.
Intervensi :
 Beri kesempatan untuk membina proses ikatan dengan
bayinya.
 Anjurkan ayah atau ibu untuk menggendong bayinya.
 Dengarkan cerita tentang pengalamannya selama hamil
hingga melahirkan.
 Berikan dukungan social yang diperlukan ibu.
7. Konstipasi berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon. (Doegoes,
2001: 430)
Tujuan :
Pasien dapat defekasi dengan lancar.
Intervensi :
 Kaji pola defekasi klien.
 Auskultasi bising usus.
 Ajarkan pentingnya diit seimbang.
 Dorong masukan harian sedikitnya 2 liter cairan.8 sampai
10 gelas kecuali dikontraindikasikan.
 Anjurkan untuk ambulasi dini sesuai toleransi.
 Anjurkan makan makanan tinggi serat.
 Berikan laksatif jika diperlukan.
8. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, faktor
eksternal perubahan lingkungan.
Tujuan :
Pasien tidak mengalami gangguan pola tidur.
Kriteria hasil :
 Pasien dapat mengungkapkan pemahaman tentang faktor gangguan tidur.
 Meningkatkan peningkatan kemampuan untuk tidur.
 Wajah klien rileks.
Intervensi :
 Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan istirahat pasien.
 Kaji factor-faktor penyebab gangguan pola tidur.
 Berikan lingkungan yang nyaman.
 Beri kesempatan ibu mengungkapkan perasaannya, batasi
kunjungan selama periode istirahat.
9. Ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya managemen
laktasi sekunder terhadap pembengkakan payudara. (Carpenito, 2001: 513)
Tujuan :
Ibu dapt menyusui bayinya secara efektif.
Kriteria hasil :
 Ibu membuat keputusan menyusui bayinya.
 Ibu mengidentifikasi aktivitas yang menghalangi untuk menyusui.
Intervensi :
 Kaji factor-faktor penyebab ketidakefektifan menyusui.
 Dorong ibu untuk mengungkapkan masalah secara
terbuka.
 Kaji keadaan ibu dan bayi.
 Ajarkan penatalaksaan perawatan payudara yang baik.
 Ajarkan cara menyusui yang baik, bila ada gejal mastitis
atau abses payudara (ditandai bengkak dan nyeri). Anjurkan untuk menghubungi
perawat dan dokter.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall, 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doengoes, Marillyn, E. 2000. Rencana Perawatan Maternal dan Bayi. Alih Bahasa :
Yasmin Asih. Jakarta : EGC
Gulardi Hanifa Wiknjosastro. 2000. Ilmu Kebidanan. Edisi 6. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Rostam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai