Post Partum DGN Peb
Post Partum DGN Peb
A. POST PARTUM
1. Pengertian
“Post partum adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai
alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil. Lama masa nifas ini yaitu 6 – 8
minggu.” (Mochtar, 1998)
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung
selama kira-kira 6 minggu.
2. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap
sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara
umum yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat
kurangnya pasokan darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa
faktor predisposisi terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau
polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara
perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar,
dan diabetes mellitus.
o. Obesitas.
p. Interval antar kehamilan yang jauh.
3. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia
uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik
yaitu akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik
berperan dalam proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan
tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan
tomboksan dan aktivasi/ agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan
akan menyebabkan terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit
deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan
perfusi darah menurun dan konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati
mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan darah menurun dan
menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang di keluarkan akan
mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama angiotensinogen
menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II. Angiotensin II
bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme
menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit
menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan
perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga
menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin
II akan merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron.
Vasospasme bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan
gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak,
darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat
menyebabkan terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga
menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi
endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan pembuluh darah pecah. Pecahnya
pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya pendarahan, sedangkan sel darah
merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru-
paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya kongesti vena pulmonal,
perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya edema paru. Edema
paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada hati,
vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron,
terjadi peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa
keperawatan kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal
akan meyebabkan penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan
meningkat. Penurunan GFR tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh
tubulus sehingga menyebabkan diuresis menurun sehingga menyebabkan
terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau anuri akan memunculkan diagnosa
keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas terhadap protein yang
meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari filtrasi glomerulus
dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi spasmus arteriola
selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan risiko
cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia
sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga dapat
berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan
diagnosa keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf
parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus
gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan
terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl
meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi
akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga
muncul diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh. Pada ektremitas dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan
ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam
laktat. Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan
menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah sehingga muncul diagnosa keperawatan
intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan mengakibatkan seseorang kurang
terpajan informasi dan memunculkan diagnosa keperawatan kurang pengetahuan.
4. Patway post partum Letting go phase
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia
yaitu sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin
untuk wanita hamil adalah 12-14 gr%).
b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31
u/ml)
f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7
mg/dL
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra
uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume
cairan ketuban sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa
denyut jantung janin lemah.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung
pada derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre
eklamsia antara lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes
and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah),
meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah.
HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai
dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung
trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri
perut bagian kanan atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur
saat serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah
dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).
8. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif
1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali
tanda-tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan
yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau
ada faktor-faktor predisposisi.
3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta
pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi
protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup
dan sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
1) Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita
dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2
kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah
dengan istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti
valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan
dosis 3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan,
karena obat ini tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan
gejala pre-eklampsi berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat
inap.Monitor keadaan janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan
ultrasografi, dan sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan
induksi partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas.
2) Penanganan pre eklamsia berat
a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji
kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:
(1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular
kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama
tidak ada kontraindikasi.
(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus
dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-
eklamsia ringan kecuali ada kontraindikasi.
(3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta
berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil
mengawasi timbulnya lagi gejala.
(4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi
kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung
keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin,
maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37
minggu.
b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
(1) Penderita dirawat inap
(a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.
(b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
(c)Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr
digluteus kanan dan 4 gr digluteus kiri.
(d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.
(e)Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis
100 cc dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus
tersedia antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10
cc.
(f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan
selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½
tablet sehari.
(3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema
paru dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1
ampul IV lasix.
(4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi
partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin
(pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
(5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi
ibu dilarang mengedan.
(6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan
yang disebabkan atonia uteri.
(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi,
kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post
partum.
(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.
c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia
1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi
seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga
aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary,
fenel, hyssop dan sage.
2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan
dan kenyamanan.
3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan
suplemen mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.
9. Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur,
pertambahan berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu,
pembengkakan ditungkai, muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh
dan atau sedikit (pada pre eklamsia berat < 400 ml/24 jam).
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler
esensial, hipertensi kronik, DM.
4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion
serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan
6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan
kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi
resikonya.
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.
c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM
jika refleks positif.
d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress.
Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90
mmHg atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg
dari tekanan biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan
20 minggu). Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik >
160 mmHg, dan atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali
dengan interval 4-6 jam
b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala
kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum
kreatinin meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.
c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada
otak.
e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder terhadap
atonia uteri. (Doengoes, 2001)
2. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan perineum
dan kontraksi uterus berlebih. (Doegoes, 2001: 417)
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka
episiotomi (Doegoes, 2001: 427)
4. Gangguan eliminasi berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder terhadap
oedema uretra. (Doegoes, 2001: 434)
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan
(Doegoes, 2001: 436)
6. Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru.
(Carpenito, 2000: 513)
7. Konstipasi berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon (Doegoes, 2001:
430)
8. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, factor
eksternal perubahan lingkungan.
9. ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya manageman laktasi
sekunder terhadap pembengkakan payudara.(Carpenito, 2001: 513)
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan sekunder
terhadap atonia uteri. (Doengoes, 2001)
Tujuan :
Syok hipovolemi tidak terjadi.
Kriteria hasil:
Tekanan darah siastole 110-120 mmHg, diastole 80-85 mmHg.
Nadi 60-80 kali permenit.
Akral hangat, tidak keluar keringat dingin
Perdarahan post partum kurang dari 100 cc
Intervensi :
Monitor vital sign
Kaji adanya tanda-tanda syok hipovelomik
Monitor pengeluaran pervagina.
Lakukan massage segera mungkin pada fundus uteri.
Susukan bayi sesegera mungkin.
2. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
perineum dan kontraksi uterus berlebih. (Doegoes, 2001: 417)
Tujuan :
Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
Ekspresi wajah klien tenang.
Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang.
Skala nyeri kurang dari 4.
Nadi antara 60-80 kali permenit.
Intervensi :
Kaji sebab-sebab nyeri pada klien.
Ajarkan pada klien tentang metode distraksi dan relaksasi.
Anjurkan pada klien untuk melakukan kompres dingin
pada daerah perineum.
Kolaborasi pemberian analgesic sesuai advis dokter.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan masuknya kuman pada luka
episiotomi. (Doegoes, 2001: 427)
Tujuan :
Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi pada daerah sekitar luka episiotomi.
Tanda-tanda vital normal.
Jumlah sel darah putih normal.
Intervensi :
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.
Monitor tanda-tanda vital.
Monitor tanda-tanda infeksi pada daerah luka episiotomi.
Beri perawatan pada luka episiotomi dengan
menggunakan teknik septic dan antiseptic.
Anjurkan pada klien agar menjaga kebersihan perineum.
4. Gangguan eliminasi urin: inkonensia berhubungan dengan obstruksi uretra
sekunder terhadap oedema uretra. (Doegoes, 2001: 434)
Tujuan :
Kebutuhan eliminasi urin dapat terpenuhi.
Kriteria hasil :
Klien dapat mengosongkan kandung kemih 4-8 jam setelah melahirkan.
Klien tidak merasakan ketegangan pada kandung kemih.
Intervensi :
Kaji intake cairan klien mulai terakhir saat pengosongan
kandung kemih.
Anjurkan klien untuk merangsang BAK dengan
menggunakan air hangat.
Kaji jumlah urin yang dikeluarkan.
Jika klien tidak bisa mengeluarkan sendiri secara spontan,
kolaborasi untuk pemasangan kateter.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan setelah melahirkan.
(Doegoes, 2001: 436)
Tujuan :
Kebersihan diri klien terpenuhi.
Kriteria hasil :
Klien dapat melakukan perawatan diri secara bertahap.
Intervensi :
Kaji factor-faktor penyebab yang berperan.
Tingkatan partisipasi klien secara bertahap dan optimal.
Beri dorongan untuk mengungkapkan persaan tentang
perawatan diri.
6. Perubahan pola peran berhubungan dengan penambahan anggota baru.
(Carpenito, 2000: 513)
Tujuan :
Orang tua dapat menerima peran baru dalam keluarganya.
Kriteria hasil :
Orang tua dapat menerima keberadaan bayinya.
Orang tua dapat mendemonstrasikan perilaku peran barunya.
Orang tua mulai mengungkapkan perasaan positif mengenai bayinya.
Intervensi :
Beri kesempatan untuk membina proses ikatan dengan
bayinya.
Anjurkan ayah atau ibu untuk menggendong bayinya.
Dengarkan cerita tentang pengalamannya selama hamil
hingga melahirkan.
Berikan dukungan social yang diperlukan ibu.
7. Konstipasi berhubungan dengan penurunan sensitivitas colon. (Doegoes,
2001: 430)
Tujuan :
Pasien dapat defekasi dengan lancar.
Intervensi :
Kaji pola defekasi klien.
Auskultasi bising usus.
Ajarkan pentingnya diit seimbang.
Dorong masukan harian sedikitnya 2 liter cairan.8 sampai
10 gelas kecuali dikontraindikasikan.
Anjurkan untuk ambulasi dini sesuai toleransi.
Anjurkan makan makanan tinggi serat.
Berikan laksatif jika diperlukan.
8. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan cemas, gelisah, faktor
eksternal perubahan lingkungan.
Tujuan :
Pasien tidak mengalami gangguan pola tidur.
Kriteria hasil :
Pasien dapat mengungkapkan pemahaman tentang faktor gangguan tidur.
Meningkatkan peningkatan kemampuan untuk tidur.
Wajah klien rileks.
Intervensi :
Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan istirahat pasien.
Kaji factor-faktor penyebab gangguan pola tidur.
Berikan lingkungan yang nyaman.
Beri kesempatan ibu mengungkapkan perasaannya, batasi
kunjungan selama periode istirahat.
9. Ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan kurangnya managemen
laktasi sekunder terhadap pembengkakan payudara. (Carpenito, 2001: 513)
Tujuan :
Ibu dapt menyusui bayinya secara efektif.
Kriteria hasil :
Ibu membuat keputusan menyusui bayinya.
Ibu mengidentifikasi aktivitas yang menghalangi untuk menyusui.
Intervensi :
Kaji factor-faktor penyebab ketidakefektifan menyusui.
Dorong ibu untuk mengungkapkan masalah secara
terbuka.
Kaji keadaan ibu dan bayi.
Ajarkan penatalaksaan perawatan payudara yang baik.
Ajarkan cara menyusui yang baik, bila ada gejal mastitis
atau abses payudara (ditandai bengkak dan nyeri). Anjurkan untuk menghubungi
perawat dan dokter.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall, 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doengoes, Marillyn, E. 2000. Rencana Perawatan Maternal dan Bayi. Alih Bahasa :
Yasmin Asih. Jakarta : EGC
Gulardi Hanifa Wiknjosastro. 2000. Ilmu Kebidanan. Edisi 6. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Rostam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi. Jakarta : EGC.