Anda di halaman 1dari 79

KARIOTIPE TIKUS (RODENTIA, MURIDAE) DAN KELELAWAR

PEMAKAN BUAH (MEGACHIROPTERA, PTEROPODIDAE) DARI


GUNUNG BAWAKARAENG, SULAWESI SELATAN

HUSNI MUBAROK

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kariotipe Tikus


(Rodentia, Muridae) dan Kelelawar Pemakan Buah (Megachiroptera,
Pteropodidae) dari Gunung Bawakaraeng, Sulawesi Selatan adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014

Husni Mubarok
NIM G352120021
RINGKASAN

HUSNI MUBAROK. Kariotipe Tikus (Rodentia, Muridae) dan Kelelawar


Pemakan Buah (Megachiroptera, Pteropodidae) dari Gunung Bawakaraeng,
Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh DYAH PERWITASARI dan IBNU
MARYANTO.

Mamalia Sulawesi tidak hanya kaya spesies tetapi tingkat endemisitasnya


tinggi. Endemisitas tikus (Muridae) dan kelelawar pemakan buah (Pteropodidae)
Sulawesi masing-masing mencapai 75.7% dan 10.7%. Studi kromosom maupun
data kariotipe untuk spesies tikus dan kelalawar pemakan buah di Indonesia masih
sangat kurang. Setidaknya hanya tujuh spesies tikus dan empat spesies kelelawar
pemakan buah yang telah dilaporkan status kromosomnya. Hal ini terkait dengan
teknik analisis kariotipe yang lebih cocok dilakukan secara laboratorium daripada
di lapang. Tikus dan kelelawar telah diperkirakan memiliki laju evolusi kariotipe
yang tinggi, sehingga informasi kariotipe baru dan kaitannya dengan filogenetik
menjadikan kariotipe sangat penting.
Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu: (1) untuk menganalisis
kariotipe tikus dan kelelawar pemakan buah Sulawesi menggunakan kromosom
sumsum tulang dengan teknik G-banding (Giemsa); (2) untuk menganalisis
perbedaan teknik kariotipe laboratorium dan lapang.
Dua jenis analisis kariotipe dilakukan pada penelitian ini yaitu analisis
kariotipe laboratorium dan lapang. Analisis laboratorium digunakan sebagai
penelitian uji coba sebelum ke lapang. Analisis kariotipe di laboratorium
menggunakan spesimen mencit dengan berbagai perlakuan yang mencakup: (1)
perbedaan pengaruh pemberian kolkisin 0.005% dengan waktu 2 dan 3 jam; (2)
preservasi sumsum tulang pada larutan Phosphate-Buffered Saline (PBS) selama 2
sampai 15 hari dan (3) preservasi suspensi sel sumsum tulang pada larutan Carnoy
selama 2 hari (48 jam) dan 4 hari (96 jam).. Analisis kariotipe di lapang dilakukan
pada spesimen yang tertangkap di kawasan gunung Bawakaraeng, Sulawesi
Selatan tanpa diikuti perlakuan seperti di laboratorium.
Spesimen disuntik menggunakan larutan ragi untuk meningkatkan mitosis
dan inhibitor kolkisin untuk menangkap kromosom pada tahap mitosis tersebut.
Fiksasi sumsum tulang spesimen dilakukan dengan menggunakan larutan Carnoy.
Pewarnaan kromosom menggunakan perwarna Giemsa 4%. Kromosom pada
tahap metafase terbaik dipotret dan diketahui jumlah diploid (2n), FN, FNa dan
morfologinya. Kualitas kromosom pada perservasi PBS dan Carnoy diamati untuk
mengetahui apakah teknik preservasi ini dapat diaplikasikan di lapang.
Penelitian ini menunjukkan kualitas kromosom pada analisis kariotipe
laboratorium lebih optimal dibandingkan dengan lapang. Mencit memiliki 2n= 40,
FN=40, FNa=38 dan bentuk keseluruhan kromosom telosentrik. Satu spesies tikus
menunjukkan hasil kariotipe yang paling baik yaitu R. hoffmanni betina (2n= 44,
FN = 61, FNa = 59, bentuk kromosom X telosentrik). Dua spesies kelelawar
menunjukkan hasil kariotipe yang paling baik yaitu B. bidens jantan (2n = 30, FN
= 53, FNa = 50, bentuk kromosom X sub metasentrik dan Y telosentrik) dan T.
suhaniahae betina (2n = 38, FN = 64, FNa = 60, bentuk kromosom X
metasentrik). T. nigriscens memiliki 2n=38 dan D. viridis 2n=34. Kariotipe empat
spesimen lapang merupakan data kariotipe baru.
Kualitas kromosom dengan kolkisin 0.005% selama 2 jam menunjukkan
hasil yang lebih baik dibandingkan waktu 3 jam. Sementara itu, kromosom pada
preservasi PBS menunjukkan degradasi selama batas waktu preservasi, sehingga
preservasi PBS tidak dapat diaplikasikan di lapang. Hal tersebut berbeda dengan
preservasi Carnoy yang menunjukkan tampilan kromosom yang baik. Suspensi sel
dengan preservasi Carnoy yang telah dibuat di lapang dapat dianalisis kembali di
kondisi laboratorium. Teknik kariotipe merupakan teknik yang rentan terhadap
kondisi lingkungan dan waktu. Satu spesies tikus dari delapan spesies dan dua
spesies kelelawar dari lima spesies yang menunjukkan hasil preparat yang
optimal. Hasil preparat kromosom spesimen lapang yang kebanyakan tidak
menunjukkan hasil yang optimal diduga karena suhu lingkungan yang rendah.
Kondisi lingkungan di laboratorium terutama suhu dapat secara mudah diatur
daripada lapang.

Kata kunci: Kariotipe, G-banding, Tikus, Kelelawar, Gunung Bawakaraeng


SUMMARY
HUSNI MUBAROK. Karyotypes of Rats (Rodentia, Muridae) and Fruit Bats
(Chiroptera, Pteropodidae) from Mt. Bawakaraeng, South Sulawesi. Supervised
by DYAH PERWITASARI and IBNU MARYANTO.

Mammalian fauna of Sulawesi are not only rich in species but also high
endemism level. Indonesian rats (Muridae) and bats (Pteropodidae) show highest
endemism in Sulawesi among all islands over 75.7% and 10.7%, respectively.
Both study of chromosome and karyotype data for rats and fruit bats in Indonesia
are poorly known. Only several karyotype data of Indonesian fruits bats and rats
have been studied. At least seven species of rats and four species of fruit bats were
recorded succesfully. It due to karyotype techniques in laboratory are more
applicable than those in the field. Rats and bats have been estimated to have a
high rate of karyotype evolution, therefore the new karyotype information and its
relationship to phylogenetic make karyotype become important.
This study study aimed to analyze karyotype of Sulawesi rats and fruit bats
using bone marrow chromosomes with G-banding (Giemsa) technique; and to
analyze the differences between karyotyping techniques in the laboratory and
field.
Two types of karyotype analysis were conducted, those are karyotyping in
laboratory and in field condition. Laboratory karyotyping using mice were used as
a preliminary study. Some treatments were also conducted in laboratory, including
(1) The differences of mitotic inhibitation using Colchicine 0.005% for 2 and 3
hours; (2) Bone marrow preservation using Phosphate-Buffered Saline (PBS) for
2 until 15 days and (3) Fixation of bone marrow using Carnoy for two days (48
hours) and four days (96 hours). Whereas, all of living specimens that were
trapped in Mt. Bawakaraeng regions are used for karyotype analysis in the field.
Specimens were injected using yeast solution to increase index mitosis and
Colchicine 0.005% to inhibit cellular process in metaphase. Bone marrow fixation
of specimens were conducted by Carnoy solutions. Staining were done using
Giemsa 4% . The best chromosome in metaphase stage were observed. Diploid
number (2n), FN, FNa and its morphology were also determined. Quality of
chromosomes in PBS and Carnoy were observed and determined whether or not
this technique were applicable in field.
This study showed the quality of chromosomes in laboratory are more
optimal than those in the field. Mice has 2n= 40, FN=40, FNa=38 and telocentric
chromosomes. Only one species of rat showed the best karyotype namely female
R. hoffmanni (2n= 44, FN = 61, FNa = 59, telocentric X chromosomes).
Futhermore, two species of fruit bats that showed the best karyotype, including
male B. bidens (2n = 30, FN = 53, FNa = 50, X sub metacentric X chromosome
and telocentric Y chromosome) and female T. suhaniahae (2n = 38, FN = 64,
FNa = 60, metacentric X chromosomes). While, T. nigriscens has 2n=38 and D.
viridis has 2n=34. Karyotypes of four species are described for the first time.
The chromosomes quality of Colchicine 0.005% treatment during 2 hours
showed the best result than 3 hours. Whereas, chromosomes in PBS showed
degradation trend along the preservation times. PBS were not be applicable in the
field. On the other hand, chromosomes in Carnoy showed the better result than
those in PBS. Cell suspension of bone marrow using Carnoy from the field can be
re-analyzed in laboratory. Karyotype techniques are affected by environmental
condition and times. Only one species of rats and two spesies of fruit bats were
showed optimal chromosome preparations result in the field. Mostly chromosome
preparations from the field were not optimal. This result suspected to be due the
low temperature of environment. While, environmental condition in laboratory
can be easily controlled.

Keywords: Karyotypes, G-banding, Rats, Bats, Mt. Bawakaraeng


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARIOTIPE TIKUS (RODENTIA, MURIDAE) DAN KELELAWAR
PEMAKAN BUAH (MEGACHIROPTERA, PTEROPODIDAE)
DARI GUNUNG BAWAKARAENG, SULAWESI SELATAN

HUSNI MUBAROK

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
Judul Tesis : Kariotipe Tikus (Rodentia, Muridae) dan Kelelawar Pemakan
Buah (Megachiroptera, Pteropodidae) dari Gunung Bawakaraeng, Sulawesi
Selatan

Nama : Husni Mubarok


NIM : G352120021

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir R.R. Dyah Perwitasari, MSc Prof (Ris) Dr Ir Ibnu Maryanto


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Biosains Hewan

Dr Ir R.R. Dyah Perwitasari, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


30 Oktober 2014
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam rangkaian penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini yaitu
kromosom, dengan judul Kariotipe Tikus (Rodentia, Muridae) dan Kelelawar
Pemakan Buah (Megachiroptera, Pteropodidae) dari Gunung Bawakaraeng,
Sulawesi Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir R.R. Dyah Perwitasari, MSc
dan Bapak Prof (Ris) Dr Ir Ibnu Maryanto selaku pembimbing, serta Bapak Prof
Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc selaku penguji luar komisi ujian tesis yang telah
memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) untuk Beasiswa Unggulan,
Pemerintah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Balai Konservasi dan Sumber
Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Selatan, Kepala Laboratorium Biologi
Universitas Negeri Makassar, Seluruh staf Bidang Zoologi LIPI, Bu Tini dari
Laboratorium Mikroteknik Biologi IPB, Joe Chun-Chia Huang PhD Candidate of
Biology Texas Tech University yang telah memberikan masukan, Teman-teman
Ellena Yusti, Rizaldy Trias, Agmal Qodri dan keluarga Tata’ yang telah
membantu dalam pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

Husni Mubarok
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1  PENDAHULUAN 1 
Latar Belakang 1 
Tujuan Penelitian 4 
2  METODE 4 
Lokasi dan Waktu Penelitian 4 
Koleksi Spesimen 6 
Identifikasi Spesimen 8
Analisis Kariotipe 14
Analisis Data 16
3  HASIL 18 
Identifikasi dan Pengukuran Morfologi Luar Tikus (Muridae) dan
Kelelawar (Pteropodidae) 18 
Analisis Kariotipe Laboratorium 31
Analisis Kariotipe Lapang 36
4  PEMBAHASAN 48
Identifikasi dan Pengukuran Morfologi Luar Tikus (Muridae) dan
Kelelawar (Pteropodidae) 48 
Analisis Kariotipe Laboratorium 51
Analisis Kariotipe Lapang 53
Perbandingan Teknik Kariotipe Lapang dan Laboratorium 56
5  SIMPULAN 56 
6  SARAN 57 
DAFTAR PUSTAKA 57 
RIWAYAT HIDUP 63
DAFTAR TABEL

1 Karakter pengukuran morfologi luar (mm) dan singkatan pengukuran


spesimen tikus 9 
2 Karakter pengukuran morfologi luar (mm) dan singkatan pengukuran
spesimen kelelawar 9 
3 Karakter pengukuran tengkorak (mm) dan singkatan pengukuran spesimen
tikus 11 
4 Karakter pengukuran tengkorak (mm) dan singkatan pengukuran spesimen
kelelawar 12 
5 Kriteria tipe kromosom menggunakan Levan Plugin 17 
6 Jumlah spesies, individu dan jenis kelamin tikus dan kelelawar yang
tertangkap dari kawasan Gunung Bawakaraeng 18 
7 Pengukuran morfologi luar (mm) spesimen tikus yang tertangkap 19
8 Pengukuran morfologi luar (mm) spesimen kelelawar yang tertangkap 20
9 Pengukuran tengkorak (mm) spesimen tikus yang tertangkap 24
10 Pengukuran tengkorak (mm) spesimen kelelawar yang tertangkap 26
11 Pengukuran dan tipe kromosom M. musculus betina 32
12 Status kromosom tikus dan kelelawar dari Gunung Bawakaraeng,
Sulawesi Selatan 37
13 Pengukuran dan tipe kromosom R. hoffmanni betina MZB 37043 40
14 Pengukuran dan tipe kromosom B. bidens jantan MZB 37354 43
15 Pengukuran dan tipe kromosom T. suhaniahae betina MZB 37355 46

DAFTAR GAMBAR

1 Situs pengambilan spesimen 5 


2 Tata letak perangkap tikus 6 
3 Penempatan jaring kabut (mist net) pada koridor terbang kelelawar  
(Kunz dan Kurta 1988) 7 
4 Karakter pengukuran morfologi luar spesimen tikus (a) panjang kepala
dan badan (HBL); (b) panjang ekor (T); (c) panjang telapak kaki belakang
(HF); (d) panjang telinga (E) (Herbreteau et al. 2011) 9
5 Karakter pengukuran morfologi luar spesimen kelelawar (Rahman dan
Abdullah 2010) 10
6 Karakter pengukuran tengkorak tikus (Musser dan Durden 2002) 13
7 Karakter pengukuran tengkorak kelelawar (Maharadatunkamsi dan
Maryanto 2002)
8 Beberapa spesimen tikus (a) R. hoffmanni, (b) B. heinrichi, (c)
T. celebensis, (d) R. exulans, (e) R. dommermani. Skala bar 10 mm 20
9 Spesimen kelelawar (a) B. bidens, (b) T. nigriscens, (c) S. wallacei, (d)
D. viridis, (e) T. suhaniahae. Skala bar 10 mm 23
10 Tengkorak spesimen tikus (a) R. hoffmanni dorsal (a1), ventral (a2); (b)
B. heinrichi dorsal (b1), ventral (b2); (c) T. celebensis dorsal (c1), ventral
(c2). Skala bar 10 mm 28
11 Tengkorak spesimen tikus (a) R. dommermani dorsal (a1), ventral (a2);
(b) R. exulans dorsal (b1), ventral (b2). Skala bar 10 mm 29
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

12 Tengkorak spesimen kelelawar B. bidens dorsal (a1), ventral (a2).


Skala bar 10 mm 29
13 Tengkorak spesimen kelelawar (a) T. suhaniahae dorsal (a1), ventral
(a2), (b) T. nigriscens dorsal (b1), ventral (b2), (c) S. wallacei dorsal
(c1), ventral (c2). Skala bar 10 mm 30
14 Kariotipe M .musculus betina perbesaran 1000 kali; Skala bar 2.16µm 31
15 Kromosom pada M. musculus (betina); Perbesaran 100 kali; Skala bar
2.16µm 33
16 Kromosom perbedaan inhibitasi mitosis kolkisin 0.005% (a) kromosom
mencit perlakuan 2 jam (a1, a2), (b) kromosom mencit perlakuan 3 jam;
perbesaran 400 kali 34
17 Kromosom perlakuan preservasi PBS (a) kromosom mencit perlakuan
2 hari (a1,a2,a3), (b) kromosom mencit perlakuan 4 hari (b1, b2);
perbesaran 400 kali; Skala bar 2,5 µm 35
18 Kromosom perlakuan preservasi Carnoy (a) kromosom mencit perlakuan
langsung (fresh) (a1,a2), (b) kromosom mencit perlakuan 2 hari (48 jam)
(b1, b2), (c) kromosom mencit perlakuan 4 hari (96 jam); Perbesaran 400
kali; Skala bar 2,5 µm 36
19 Jumlah tipe kromosom pada spesimen tikus dan kelelawar 37
20 Kariotipe R. hoffmanni betina MZB 37043 perbesaran 1000 kali; Skala bar
3.26 µm 39
21 Beberapa kromosom R. hoffmanni MZB 37043 yang muncul pada
preparat yang telah dibuat; Perbesaran 1000 kali; Skala bar 2.26 µm 39
22 Kariotipe B. bidens jantan MZB 37354 perbesaran 1000 kali; Skala bar
2.17 µm. Panah menunjukkan kromosom tambahan 42
23 Beberapa kromosom B. bidens jantan MZB 37354 yang muncul pada
preparat yang telah dibuat; Perbesaran 100 kali; Skala bar 2.17 µm 42
24 Kariotipe T. suhaniahae betina MZB 37355 perbesaran 1000 kali;
Skala bar 3.16 µm 45
25 T. suhaniahae betina MZB 37355 yang muncul pada preparat;
Perbesaran 100 kali; Skala bar 3.16 µm 45
 
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tikus dan kelelawar termasuk dalam mamalia kecil (small mammals).


Tikus (Ordo Rodentia) memiliki setidaknya 28 famili. Famili Muridae merupakan
famili terbesar yang mencakup sub famili Murinae dengan dua genus terbesarnya
yaitu Rattus dan Mus (Feldhamer et al. 1999). Murinae tersebar mulai dari
Etiopia, Paleartik, Oriental, Australia dan Neartik. Kelelawar (Ordo Chiroptera)
memiliki 17 famili yang terbagi menjadi subordo Megachiroptera dan
Microchripotera (Feldhamer et al. 1999). Megachiroptera hanya memiliki satu
famili yaitu Pteropodidae atau Old World fruit bats yang memiliki 42 genus dan
175 spesies (Corbet & Hill 1992; Feldhamer et al. 1999; Suyanto 2001; Maryanto
& Yani 2003). Pteropodidae tersebar mulai dari selatan dan timur padang Sahara
Afrika, India, Asia Tenggara, Australia sampai Pulau Caroline dan Cook di
Pasifik. Habitat Pteropodidae yaitu hutan atau daerah bersemak pada area tropis
dan subtropis yang banyak terdapat buah-buahan (Feldhamer et al. 1999).
Mamalia Sulawesi tidak hanya kaya spesies tetapi tingkat endemisitasnya
tinggi. Persentase tikus (Muridae) yang terdistribusi di Indonesia sekitar 55% dari
720 spesies mamalia (LIPI-Bappenas-KLH 2014). Endemisitas tikus dari 16 pulau
di Indonesia menunjukkan Sulawesi merupakan pulau yang paling tinggi tingkat
endemisitasnya yaitu 75.7%, lebih tinggi dari Irian 73.4%. Endemisitas kelelawar
pemakan buah mencapai 10.7% dengan jumlah spesies mencapai 28 spesies
(Maryanto dan Higashi 2011).
Endemisitas tikus dan kelelawar pemakan buah di Sulawesi juga
ditunjukkan dengan penemuan spesies baru seperti spesies tikus baru
Paucidentomys vermidax dari gunung Latimojong, Sulawesi Selatan dan
Margaretamys christinae dari Pegunungan Mekongga, Sulawesi Tenggara
(Esselstyn et al. 2012; Mortelliti et al. 2012). Sementara itu, spesies baru
kelelawar pemakan buah Sulawesi yaitu Rousettus linduensis dan Thoopterus
suhaniahae. R. linduensis ditemukan di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi
(Maryanto dan Yani 2003). T. suhaniahae merupakan spesies simpatrik dengan T.
nigrescens yang juga tersebar di Sulawesi (Maryanto et al. 2012).
Keberhasilan evolusi tikus dan kelelawar membuat takson ini paling
menarik untuk studi di tingkat kromosom yaitu pola dan mekanisme perubahan
kromosomnya (Romanenko et al. 2007; Wilson dan Reeder 2005). Kromosom
merupakan mode pengemasan material inti (DNA), molekul dua utas DNA yang
sangat panjang dilipat secara terus menerus membentuk untaian nukleosom dan
struktur superkoil. Sebuah kromosom terdiri dari dua kromatid (sister chromatids)
yang masing-masing terdiri dari dua utas DNA. Komponen struktural dan
fungsional kromosom meliputi sentromer, telomer dan daerah nukleolar (NORs)
yaitu satelit dan batang satelit (Gersen dan Keagle 2005). Kromosom memiliki
lengan pendek (p) dan lengan panjang (q). Tipe kromosom beragam sesuai dengan
letak sentromer yang membagi kedua lengan yaitu metasentrik, sub metasentik,
telosentrik, sub telosentrik dan akrosentrik (Levan et al. 1964).
Gambaran lengkap kromosom pada metafase sel yang disusun secara
teratur disebut dengan kariotipe (Eldridge 1985). Kromosom kariotipe
dikelompokkan berdasarkan panjang lengan pendek (p), panjang lengan panjang
2

(q), panjang total (pq), posisi sentromer dan rasio lengan kromosom (Gersen dan
Keagle 2005). Jumlah sel diploid (2n) dan Fundamental Number (FN) juga
ditentukan dalam kariotipe. Sel diploid (2n) merupakan jumlah kromosom sel
tubuh yang diperoleh dari pembelahan mitosis (Czepulkowski 2001).
Kromosom yang digunakan dalam analisis kariotipe dapat diperoleh dari
berbagai jaringan hewan. Beberapa penelitian menggunakan sumsum tulang
(Baker et al. 1982; Daele V et al. 2004; Todehdehghan et al. 2011), jaringan paru-
paru atau ekor (Li et al. 2008) dan darah (Manosroi et al. 2003). Sumber tersebut
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam teknik pembuatan
kromosomnya. Kromosom dari sumsum tulang lebih banyak digunakan dalam
penelitian kariotipe. Hal ini dikarenakan sumsum tulang merupakan jaringan yang
memiliki sel kekebalan (imun) yang aktif membelah sehingga memberikan
banyak mitosis (Dobigny dan Xuereb 2011).
Identifikasi morfologi kromosom kariotipe dapat dilakukan berdasarkan
kromosom yang telah diwarnai. Setiap lengan kromosom memiliki dua daerah
besar berbentuk pita yang disebut Band dan Sub Band (Gersen dan Keagle 2005).
Perwarnaan kedua daerah tersebut disebut dengan Banding. Pola Banding spesifik
pada tiap pasangan kromosom. Beberapa teknik pewarnaan kromosom yaitu Cd
Staining (Centromeric dot/Kinetochore Staining), G-Banding (Giemsa), Q-
Banding (Quinacrine Banding), R-Banding (Reverse Banding), C-Banding
(Constitutive Heterochromatin Banding), T-Banding (Telomere Banding), NOR
Staining (Silver Staining for Nucleolar Organizer Regions), DAPI/DA Staining
dan Fluorescence In Situ Hybridization (FISH) (Gersen dan Keagle 2005). Teknik
kariotipe G-banding merupakan teknik yang lebih banyak dan lebih sering
digunakan untuk mempelajari susunan kromosom mamalia termasuk tikus dan
kelelawar. Koopman (1982) melaporkan data kariotipe setidaknya 190 spesies
kelelawar Amerika Selatan dengan 133 spesies menggunakan teknik G-banding
dan 52 spesies dengan C-banding.
Rodentia dan kelelawar telah diperkirakan memiliki laju evolusi kariotipe
yang tinggi (Wilson et al. 1975). Jumlah informasi kariotipe baru dan kaitannya
dengan filogenetik antar takson Rodentia (Muridae) terus bertambah secara cepat
membuat penelitian kariotipe menjadi penting. Kelelawar menempati posisi yang
sangat penting dalam evolusi mamalia, karena mereka terkait erat dengan
Insektivora yang pada akhirnya berhubungan dengan Primata (Makino 1948).
Oleh karena itu, studi kromosom kelelawar telah banyak dilakukan untuk
mempelajari kajian tersebut. Wilson et al. (1975) menggunakan data kariotipe
kelelawar dan spesies mamalia lain untuk mengembangkan teori evolusi mamalia.
Lebih lanjut, Baker dan Bickham (1980) menggunakan teknik G-banding dan C-
banding pada 78 spesies kelelawar dari 4 famili (Phyllostomatidae, Noctilionidae,
Mormoopidae dan Vespertilionidae) untuk menjelaskan fenomena Megaevolusi
Kariotipe.
Analisis kariotipe tikus (Rodentia, Muridae) dan kelelawar pemakan buah
(Megachiroptera, Pteropodidae) di kawasan Asia Tenggara telah dilakukan pada
beberapa spesies. Harada dan Kobayashi (1980) melakukan studi kromosom
Rattus rattus, Mus musculus (Rodentia, Muridae) dan Pteropus vampyrus,
Cynopterus bachyotis, Aethalops alecto (Pteropodidae) di Sabah, Malaysia Timur.
Penelitian tersebut memberikan sumbangan data terhadap kajian sistematik
mamalia kecil Sabah.
3

Penelitian Li et al. (2008) pada tiga spesies Muridae pulau Hainan Cina
yaitu Niviventer fulvescens, N. lotipes dan Rattus nitidus menunjukkan N.
fulvescens (2n=46, FN=64) memiliki kesamaan kariotipe dengan N. fulvescens
Asia Tenggara sementara N. lotipes (2n=52, FN=66) yang sebelumnya diduga
satu spesies dengan N. tenaster (2n=46, FN=54) dari Burma dan Vietnam ternyata
memiliki kariotipe yang berbeda Hasil penelitian kariotipe tersebut digunakan
untuk menentukan status taksonomi yang jelas dari N. Lotipes.
Hood et al. (1988) telah melakukan studi pada Rousettus amplexicaudatus,
P. lylei, C. sphinx, Megaerops niphanae, Eonycteris spelaea dan Macroglossus
sobrinus di Thailand. Hasil studi tersebut menunjukkan kariotipe P. lylei (2n = 40;
FN = 72) merupakan informasi baru untuk genus Pteropus. Lebih lanjut, kariotipe
M. niphanae (2n = 26; FN = 42) memiliki jumlah yang berbeda dengan M.
niphanae dari semenanjung Malaysia (2n = 24) dan identik dengan spesies
terdekatnya M. ecaudatus. Hal tersebut menunjukkan terdapat variasi kromosom
antar spesies Megaerops dikarenakan terjadinya translokasi Robertsonian.
Translokasi Robertsonian (Robertsonian Translocation) adalah perubahan
susunan kromosom yang dibentuk oleh penggabungan (fusion) atau pembelahan
(fission) lengan panjang dari dua kromosom akrosentrik atau telosentrik (Capanna
dan Castiglia 2004).
Studi kromosom maupun data kariotipe untuk spesies tikus (Rodentia,
Muridae) dan kelalawar pemakan buah (Pteropodidae) di Indonesia masih sangat
kurang, termasuk untuk spesies baru maupun spesies endemik di Sulawesi.
Beberapa data kariotipe tikus di Indonesia yang telah diteliti yaitu Bunomys
chrysocomus, Maxomys hellwaldi, Rattus argentiventer, Rattus hoffmanni
linduensis, Rattus marmosurus facetus; Margaretamys beccarii dan
Margaretamys elegans (Muridae) (Duncan 1976; Musser 1981); sedangkan
kelelawar pemakan buah meliputi Cynopterus brachyotis javanicus, Cynopterus
sphinx titthaecheilus, Eonycteris spelaea spelaea, Macroglossus minimus minimus
(Ando et al. 1980). Data kariotipe untuk genus tikus dan kelelawar lain seperti
Taeromys, Paruromys, Boneia, Dobsonia, Nyctimene, Styloctenium, Thoopterus,
belum dipelajari. Penelitian ini diharapkan memberikan data kariotipe untuk
spesies tikus dan kelelawar pemakan buah Sulawesi serta teknik pembuatannya.
Preparasi kromosom selama ini lebih banyak dilakukan di laboratorium.
Hal ini disebabkan tekniknya memerlukan alat dan bahan yang tidak
memungkinkan untuk kondisi lapangan. Teknik pembuatan preparat kromosom
dilakukan secara cepat (fresh) dan dalam kondisi yang steril (terutama untuk
kromosom dari darah). Penelitian ini juga mengembangkan teknik pembuatan
kariotipe yang sesuai dengan kondisi lapang berdasarkan penelitian laboratorium
yang meliputi pengujian kualitas kromosom berdasarkan perbedaan waktu injeksi
kolkisin dan preservasi sumber maupun suspensi sel kromosom. Kolkisin
merupakan metabolit sekunder (alkaloid) yang dapat menangkap perakitan
mikrotubulus pada tahap metafase dan menghambat (inhibitasi) fungsi seluler
seperti proses mitosis (Choi et al. 1999; Salai et al. 2001). Setiap organisme
mempunyai respon yang berbeda terhadap pemberian perlakuan kolkisin. Jika
konsentrasi larutan kolkisin dan lamanya waktu perlakuan kurang mencapai
keadaan yang tepat, maka perbanyakan kromosom belum dapat diperoleh.
Konsentrasi yang terlalu tinggi dan waktu perendaman atau injeksi terlalu lama
4

dengan kolkisin akan memperlihatkan pengaruh negatif yaitu banyak sel yang
mati atau terdegradasi (Brues dan Cohen 1936).
Levan (1938) telah melakukan penelitian efek kolkisin pada mitosis ujung
akar bawang bombay (Allium fistulosum) dan bawang merah (A. cepa). Penelitian
tersebut menggunakan berbagai konsentrasi dan waktu perendaman kolkisin.
Perendaman kolkisin selama 7 menit sampai satu jam menghasilkan pembelahan
kromosom yang baik. Sementara itu, perendaman kolkisin 12 sampai 24 jam
menyebabkan benang-benang pembelahan (spindel) beregenerasi dan banyak
menghasilkan kromosom yang abnormal. Perendaman 36 sampai 48 jam
menyebabkan mitosis kembali ke keadaan normal. Penggunaan kolkisin pada
hewan dilakukan penyuntikan. Waktu yang dibutuhkan setelah penyuntikan
(injeksi) kolkisin untuk spesimen hewan rata-rata berkisar antara dua sampai tiga
jam (Baker et al. 1982; Dobigny dan Xuereb 2011). Penelitian ini menganalisis
waktu inhibitasi mitosis dengan kolkisin yang tepat untuk hasil kromosom yang
optimal.
Preservasi sumber kromosom telah dilakukan oleh Pennock et al. (1968).
Sumber kromosom yang diperservasi meliputi tulang tungkai, tulang belakang
(minus spinal cord) dan gonad kadal Genus Uta (Family Iguanidae) dengan
menggunakan larutan Phosphate-Buffered Saline (PBS). Namun, penelitian
tersebut tidak menjelaskan berapa waktu preservasinya. Penelitian tersebut
dilakukan dalam kondisi lapangan dan menghasilkan kualitas preparat kromosom
yang baik. Penelitian ini mengadopsi teknik tersebut dan melakukan serangkaian
pengembangan teknik sehingga didapatkan perbandingan teknik antara kondisi
laboratorium dan lapang.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kariotipe tikus dan kelelawar
pemakan buah Sulawesi menggunakan kromosom sumsum tulang dengan teknik
G-banding (Giemsa); (2) menganalisis perbedaan teknik kariotipe laboratorium
dan lapang.

2 BAHAN DAN METODE

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Gunung Bawakaraeng (S 05°19′01″; E


119°56′40″) pada bulan September sampai Desember 2013. Pengambilan
spesimen dilakukan pada kisaran ketinggian 1200 sampai 2165 meter di atas
permukaan laut (mdpl) (ketinggian gunung 2830 mdpl). Empat situs pengambilan
ditentukan pada ketinggian dan habitat berbeda (Gambar 1) yang meliputi
perkebunan warga (1453 mdpl), hutan pinus (1545 mdpl), hutan peralihan
sekunder ke primer (1835 mdpl) dan hutan primer (2165). Koordinat dan
ketinggian situs diukur dengan menggunakan Global Positioning System (GPS).
5

G.Bawakaraeng
G. Lompobatang

Gambar 1 Situs pengambilan spesimen. (1) Perkebunan warga (1453 mdpl;


(S05°15′029″ E119°53′56.0″); (2) Hutan pinus (1545 mdpl;
S05°15′29.3″ E119°54′31.8″); (3) Hutan peralihan sekunder ke
primer (1835 mdpl; S05°16′42.5″ E119°54′58.5″); (4) Hutan primer
(2165 mdpl; S05°17′11.4″ E119°55′47.6″) (Sumber: GoogleMap
2014)
6

2.2 Koleksi Spesimen

2.2.1 Spesimen Tikus

Pengambilan spesimen menggunakan perangkap dengan teknik garis


transek menurut Maryanto et al. (2009). Sepuluh garis transek dengan panjang
100 m diletakkan di setiap habitat (interval 20 m) dengan 20 perangkap (10
Kasmin cage trap 28x12x12 cm dan 10 snap trap 8x15cm) di setiap garis secara
bergantian pada interval 5 m. Jumlah perangkap pada keseluruhan transek yaitu
200 perangkap. Umpan yang digunakan yaitu kelapa bakar dan ikan kering.
Perangkap diletakkan selama empat malam sehingga memberikan standar
penangkapan 800 perangkap per habitat (Maryanto et al. 2009).
Spesimen yang masuk perangkap cage trap diberi label dan diaklimatisasi
untuk pembuatan kariotipe. Spesimen yang tertangkap pada snap trap
diidentifikasi lebih lanjut. Keseluruhan spesimen disimpan di divisi Zoologi,
Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Gambar 2 Tata letak perangkap tikus


7

2.2.2 Spesimen Kelelawar

Kelelawar ditangkap dengan menggunakan 6 jaring kabut (Mist Net)


dengan panjang 12 x 3 m dan 9 x 2.5 m pada masing-masing situs pengambilan.
Jaring ditempatkan pada koridor terbang kelelawar seperti di sekitar pohon buah
atau aliran sungai. Ketinggian jaring 2 sanpai 3 m di atas permukaan tanah
(Gambar 3). Pengambilan spesimen dilakukan selama empat malam penangkapan,
dimulai pada pukul 17.00 sampai 21.00. Faktor abiotik dan biotik seperti suhu,
kelembaban udara, kecepatan angin dan komposisi vegetasi diukur sebagai data
pendukung. Spesimen yang tertangkap diaklimatisasi sebelum dilakukan
perlakuan analisis kariotipe.

Gambar 3 Penempatan jaring kabut (mist net) pada koridor terbang kelelawar
(Kunz dan Kurta 1988)
8

2.3 Identifikasi Spesimen

Identifikasi spesimen dilakukan berdasarkan Corbet dan Hill (1992),


Suyanto (2001), Musser (1981) dan spesimen dari Museum Zoologicum
Bogoriense (MZB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor.
Identifikasi sampai tingkat spesies, termasuk penentuan jenis kelamin, umur,
status reproduksi, serta pengukuran morfologi luar dan tengkorak. Spesimen
dikatalog dan disimpan di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB).

2.3.1 Jenis Kelamin, Umur dan Status Reproduksi

Spesimen Tikus
Individu jantan dan betina dibedakan dengan melihat organ reproduksi luar
yaitu keberadaan skrotum yang menutupi testis (jantan dewasa) dan vagina
(betina). Identifikasi jenis kelamin dilakukan dengan melihat jarak antara anus dan
organ reproduksi luar (Herbreteau et al. 2011). Betina memiliki jarak antara anus
dan organ reproduksi luar yang lebih dekat dibandingkan dengan jantan.
Kematangan seksual dan tahap perkembangan remaja (juvenile), sub dewasa (sub-
adult) atau dewasa (adult) ditentukan melalui pengamatan organ reproduksi luar
dan atau reproduksi dalam serta perkembangan gigi geraham ketiga (M3) pada
rahang bawah.

Spesimen Kelelawar
Kelelawar jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat alat
reproduksi luarnya yaitu penis dan testis pada jantan, vagina dan kelenjar susu
pada betina (Racey 1988). Penis yang ereksi dan ukuran testis yang besar
menunjukkan jantan yang sudah mampu bereproduksi (dewasa). Abdomen yang
penuh dan menonjol pada betina menunjukkan kebuntingan. Betina yang
menyusui dilihat dari kelenjar susu yang membesar dan apabila ditekan akan
mengeluarkan air susu (Racey 1988). Kelelawar remaja dapat dibedakan dari
dewasa dengan melihat adanya tulang rawan lempeng epifisis (cartilaginous
epiphyseal plates) pada tulang jari. Hal tersebut membuat persendian jari lebih
menonjol (Anthony 1988).

2.3.2 Pengukuran Morfologi Luar

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong digital dengan


tingkat ketelitian 0.001 mm. Data pengukuran hanya digunakan untuk keperluan
identifikasi spesies.

Spesimen Tikus
Pengukuran morfologi luar dilakukan berdasarkan Herbreteau et al.
(2011). Pengukuran mencakup empat karakter pengukuran yang disajikan Tabel 1
dan Gambar 4.
9

Spesimen Kelalawar
Pengukuran dilakukan sebagai acuan identifikasi berdasarkan Rahman dan
Abdullah (2010). Pengukuran morfologi luar meliputi 16 karakter pengukuran
yang disajikan Tabel 2 dan Gambar 5.

Tabel 1 Karakter pengukuran morfologi luar (mm) dan singkatan pengukuran


spesimen tikus
Karakter pengukuran Singkatan
Panjang kepala dan tubuh (Head and Body Length) HBL
Panjang ekor (Tail) T
Panjang telapak tangan kaki belakang (Hind Foot) HF
Tinggi telinga (Ear) E

Tabel 2 Karakter pengukuran morfologi luar (mm) dan singkatan pengukuran


spesimen kelelawar
Karakter pengukuran Singkatan
Panjang kepala dan badan (Head and Body Length) HBL
Panjang ekor sampai ventral (Tail to Ventral) TV
Panjang lengan atas (Forearm) FA
Panjang tibia TB
Tinggi telinga E
Panjang telapak kaki belakang (Hind Foot) HF
Panjang digit metacarpal kedua D2MCL
Panjang digit metacarpal ketiga D3MCL
Panjang digit phalange pertama D3P1L
Panjang digit phalange kedua D3P2L
Panjang digit metacarpal keempat D4MCL
Panjang digit pertama phalange keempat D4P1L
Panjang phalange kedua D4P2L
Panjang digit metacarpal kelima D5MCL
Panjang digit pertama phalange kelima D5P1L
Panjang phalange kedua D5P2L
10

a b
c

d
Gambar 4 Karakter pengukuran morfologi luar spesimen tikus (a) panjang kepala
dan badan (HBL); (b) panjang ekor (T); (c) panjang telapak kaki
belakang (HF); (d) panjang telinga (E) (Herbreteau et al. 2011)

HBL

Gambar 5 Karakter pengukuran morfologi luar spesimen kelelawar (Rahman dan


Abdullah 2010)
11

2.3.3 Pengukuran Tengkorak

Pengukuran tengkorak dilakukan menggunakan jangka sorong digital


dengan tingkat ketelitian 0.001 mm. Data pengukuran hanya digunakan untuk
keperluan identifikasi. Sebelum diukur tengkorak dibersihkan menggunakan
metode Hot Water Maceration (Chaval et al. 2011). Tengkorak yang sudah
dipisahkan dari kulit direbus dalam air mendidih selama 15 sampai 30 menit.
Jaringan otot dan mata pada tengkorak yang telah lunak selanjutnya dibersihkan.

Spesimen Tikus
Pengukuran tengkorak spesimen tikus dilakukan berdasarkan Musser dan
Durden (2002). Pengukuran mencakup 15 karakter pengukuran yang disajikan
Tabel 3 dan Gambar 6.

Tabel 3 Karakter pengukuran tengkorak (mm) dan singkatan pengukuran


spesimen tikus
Karakter pengukuran Singkatan
Panjang tengkorak terbesar (Occipitonasal Length) ONL
Panjang rostrum (Length of Rostrum) LR
Lebar rostrum (Breadth of Rostrum) BR
Lebar interorbital (Interorbital Breadth) IB
Lebar tempurung otak (Breadth of Braincase) BBC
Lebar zigomatik (Zygomatic Breadth) ZB
Panjang diastema (Length of Diastema) LD
Panjang tulang palatal (Length of Bony Palate) LBP
Lebar gigi geraham atas pertama (Breadth of First Upper Molar) BBP
Panjang incisive foramina (Length of Incisive Foramina) LIF
Panjang postpalatal (Postpalatal Length) PPL
Lebar mesopterygoid fossa (Breadth of Mesopterygoid Fossa) BMF
Tinggi tempurung otak (Height of Braincase) HBC
Panjang baris geraham rahang atas (Crown Length of Maxillary CLM1-3
Molar Row)
Lebar lempeng zigomatik (Breadth of Zygomatic Plate) BZP
12

Spesimen Kelalawar
Pengukuran tengkorak spesimen kelelawar dilakukan menurut
Maharadatunkamsi dan Maryanto (2002). Pengukuran tengkorak meliputi 16
karakter pengukuran yang disajikan Tabel 4 dan Gambar 7.

Tabel 4 Karakter pengukuran tengkorak (mm) dan singkatan pengukuran


spesimen kelelawar
Karakter pengukuran Singkatan
Panjang tengkorak terbesar (Greatest Skull Length) GSL
Lebar interorbital (Least Interorbital Width) LIW
Lebar postorbital (Postorbital Width) POW
Lebar zigomatik (Zygomatic Breadth) ZB
Lebar tempurung otak (Braincase Width) BW
Lebar mesopterygoid fossa (Mesopterygoid Fossa Width) MSF
Panjang bulla (Bullae Length) BL
Panjang palatal (Palatal Length) PL
Panjang ramus angular process RAP
(Ramus Angular Process Length)
Panjang gigi (Dentary Length) DL
Lebar antar gigi taring pertama rahang atas C1 - C1 (RA)
(Width between Upper Canine)
Lebar antar gigi taring pertama rahang bawah C1 - C1 (RB)
(Width between Lower Canine)
Lebar antar gigi geraham ketiga rahang atas M3 - M3 (RA)
(Width between Upper Third Molar)
Lebar antar gigi geraham ketiga rahang bawah M3 - M3 (RB)
(Width between Lower Third Molar)
Panjang gigi taring pertama sampai molar ketiga rahang atas C1 - M3 (RA)
(Upper First Canine to Third Upper Molar Length)
Panjang gigi taring pertama sampai molar ketiga rahang C1 - M3 (RB)
bawah(Lower First Canine to Third Lower Molar Length)
13

Gambar 6 Karakter pengukuran tengkorak tikus (Musser dan Durden 2002)

Gambar 7 Karakter pengukuran tengkorak kelalawar (Maharadatunkamsi dan


Maryanto 2002)
14

2.4 Analisis Kariotipe

Dua jenis analisis kariotipe dilakukan pada penelitian ini yaitu analisis
kariotipe laboratorium dan lapang. Analisis laboratorium digunakan sebagai
penelitian uji coba sebelum ke lapang. Analisis laboratorium menggunakan
spesimen mencit (M. musculus) dengan berbagai perlakuan yang mencakup (1)
perbedaan pengaruh pemberian kolkisin 0.005% dengan waktu 2 dan 3 jam; (2)
preservasi sumsum tulang pada larutan Phosphate-Buffered Saline (PBS) dan (3)
preservasi suspensi sel sumsum tulang pada larutan Carnoy. Analisis kariotipe
lapang dilakukan pada spesimen yang tertangkap di kawasan Gunung
Bawakaraeng.

2.4.1 Analisis Kariotipe Laboratorium dan Lapang

Analisis kariotipe laboratorium dan lapang dilakukan menurut Baker et al.


(1982) dan Dobigny dan Xuereb (2011) yang dikombinasikan dan dimodifikasi
yang mencakup aklimatisasi spesimen, peningkatan kualitas mitosis, inhibitasi
mitosis (penangkapan mitosis), pengambilan sumsum, perlakuan pada larutan
hipotonik, fiksasi sel, persiapan preparat dan pewarnaan.

Aklimatisasi Spesimen
Spesimen yang akan digunakan diaklimatisasi terlebih dahulu.
Aklimatisasi dilakukan dengan cara meletakkan spesimen pada kandang yang
telah diberi pakan dan air minum. Spesimen yang digunakan pada analisis
kariotipe laboratorium yaitu dua mencit betina dewasa. Analisis kariotipe lapang
menggunakan spesimen kelelawar dan tikus yang didapatkan dari perangkap cage
trap.

Peningkatan Kualitas Mitosis


Spesimen ditimbang terlebih dahulu. Larutan ragi (yeast solution) dibuat
dari 3 g ragi ditambahkan 2 g glukosa dan 12 ml akuades (modifikasi Baker et al.
1982). Larutan ragi diinjeksikan ke spesimen secara subkutan pada bagian
punggung untuk menghindari kerusakan internal. Dosis yang dipakai yaitu 0.1 ml/
10 g berat badan. Spesimen dibiarkan 12 sampai 24 jam sebelum dilakukan tahap
selanjutnya.

Inhibitasi Mitosis (Penangkapan Mitosis)


Mitosis tahap metafase diperoleh dengan menginjeksi spesimen dengan
inhibitor mitosis kolkisin 0.005% secara intraperitoneal dengan dosis 0.1 ml/ 10 g
berat badan dan dibiarkan 2 sampai 3 jam sebelum dilakukan dislokasi leher
(Baker et al. 1982).

Pengambilan Sumsum Tulang


Spesimen didislokasi leher, dibedah dan diambil tulang femur (pada
mencit dan tikus) atau humerus (pada kelelawar). Tulang dibersihkan dari otot
yang menempel. Sumsum tulang diambil dengan cara memasukkan Syringe
kedalam femur yang telah dilubangi kedua ujungnya (Baker et al. 1982; Dobigny
dan Xuereb 2011).
15

Perlakuan Menggunakan Larutan Hipotonik


Sumsum yang didapatkan selanjutnya direndam dalam larutan hipotonik
KCl 0.075 M yang dibuat dari 0.56 g KCl yang ditambah 100 ml akuades selama
30 sampai 45 menit. Sumsum digerus dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1200 rpm selama 10 menit (Dobigny
dan Xuereb 2011).

Fiksasi Sel
Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan pelet sel direndam dalam larutan
fiksatif Carnoy selama 15 menit. Larutan fiksatif Carnoy dibuat dari metanol yang
dicampurkan dengan asam asetat glasial dengan perbandingan 3:1 (Dobigny dan
Xuereb 2011). Campuran pelet sel dengan larutan fiksatif Carnoy disentrifugasi
kembali dengan kecepatan 1200 rpm selama 10 menit. Larutan Carnoy dibuang
dan diganti dengan yang baru sebanyak 0.5 ml, selanjutnya dikocok perlahan
sehingga terbentuk suspensi sel (Baker et al. 1982).

Persiapan Preparat
Suspensi sel yang terbentuk pada langkah sebelumnya dihisap dengan
pipet Pasteur dan diteteskan pada gelas objek yang telah dibersihkan dengan
alkohol 70%. Jarak penetesan antara pipet dengan gelas objek yaitu sekitar 10 cm,
dilakukan dengan cara satu kali tetes dan dibiarkan menyebar merata (Baker et al.
1982). Selanjutnya preparat dikeringkan di atas api bunsen hingga kering.

Pewarnaan
Pewarnaan preparat dengan menggunakan Giemsa 4% selama 30 menit
(Baker et al. 1982; Dobigny dan Xuereb 2011). Preparat dibilas dengan air
mengalir dan dikeringkan pada suhu ruangan.

2.4.2 Analisis Kariotipe Laboratorium: Perbedaan Inhibitasi Mitosis Mencit


dengan Kolkisin 0.005% selama 2 Jam dan 3 Jam

Spesimen yang digunakan yaitu dua mencit betina dewasa. Spesimen


diinjeksi dengan inhibitor mitosis kolkisin 0.005% secara intraperitoneal dengan
dosis 0.1 ml/ 10 g berat badan selama 2 jam dan 3 jam. dilihat kualitas
kromosomnya dan dibandingkan waktu terbaik untuk pemberian kolkisin.

2.4.3 Analisis Kariotipe Laboratorium: Pembuatan Larutan Phosphate-


Buffered Saline (PBS)

Pembuatan larutan PBS dilakukan menurut metode modifikasi Pennock et


al. (1968) berdasarkan Dulbecco dan Vogt's (1954). Larutan garam (saline
solution) dibuat dengan melarutkan 8 g NaCl, 0.2 g KCl, 1.15 g Na2HPO4 dan 0.2
g KH2PO4 dengan 800 ml H2O. Larutan tersebut ditambahkan 0.01 μg/ml
Vinblastine Sulfat (Velban) dan di autoklaf (20 menit, 121°C). Larutan PBS
disimpan dalam suhu ruang atau dalam freezer untuk menghindari tumbuhnya
bakteri.
16

2.4.4 Analisis Kariotipe Laboratorium: Preservasi Sumsum Tulang Mencit


pada Larutan PBS

Spesimen yang digunakan yaitu empat mencit jantan dan empat mencit
betina dewasa. Keseluruhan sampel diambil dari kandang pemuliaan hewan,
Fakultas Peternakan IPB. Tulang femur yang telah diambil dan dibersihkan,
disimpan dalam larutan PBS sampai terendam seluruhnya. Kedua ujung tulang
dipotong sehingga larutan PBS dapat masuk sampai sumsum tulang. Preservasi
dilakukan selama 2, 4, 6, 8, 12 dan 15 hari. Preparat kromosom dibuat dengan
terlebih dahulu mensentrifugasi sumsum tulang yang dipreservasi dengan
kecepatan 1200 rpm selama 10 menit.

2.4.5 Analisis Kariotipe Laboratorium: Preservasi Suspensi Sel Sumsum


Tulang Mencit pada Larutan Carnoy

Suspensi sel yang telah dibuat pada tahap fiksasi sel analisis kariotipe
laboratorium disimpan selama 2 hari (48 jam) sampai 4 hari (96 jam). Tahapan
yang sama seperti tahap fiksasi sel juga dilakukan dan selanjutnya suspensi
terlebih dulu disentrifugasi dengan kecepatan 1200 rpm selama 10 menit sebelum
dibuat preparatnya.

2.4.6 Pengamatan Kromosom


Preparat yang telah kering diamati di mikroskop dengan perbesaran 400
sampai 1000 kali. Kromosom yang berada pada metafase terbaik selanjutnya
dipotret dengan menggunakan kamera OptiLab Profesional.

2.5 Analisis Data

Kromosom yang dibuat kariotipe diambil dari lima tahap metafase yang
paling baik per spesimen seperti yang dilakukan oleh Daele et al. (2004).
Kromosom disusun berdasarkan lokasi sentromer menurut Levan et al. (1964).
Lokasi sentromer meliputi median, sub median, sub terminal, dan terminal. Lokasi
sentromer didapatkan dengan menghitung rasio lengan (AR) dan panjang total
kromosom (pq) sesuai morfologi kromosom.

panjang lengan panjang (q) (%)


AR (%) = pq (%) = p + q
panjang lengan pendek (p) (%)

Hasil pemotretan kromosom diolah menggunakan Adobe Photoshop CS3


dengan 35 kali perbesaran (35%). Panjang lengan panjang (q), lengan pendek (p),
panjang total (pq) dan rasio lengan (AR) kromosom diukur menggunakan ImageJ
software (Abramoff et al. 2004; Software dapat diunduh secara gratis pada situs
http://rsbweb.nih.gov/ij/download.html). Tipe kromosom juga dapat diketahui
secara langsung menggunakan Levan Plugin pada ImageJ software dengan
mengukur panjang kedua lengan. (Sakamoto dan Zacaro 2009; Plugin dapat
diunduh pada situs http://rsbweb.nih.gov/ij/plugins/index.html). Jumlah diploid
17

(2n), indeks sentromer (CI), fundamental number (FN) dan fundamental number
autosom (FNa) juga dihitung.
Indeks sentromer (CI) merupakan rasio panjang lengan pendek dan
panjang total lengan kromosom (Loganathan et al. 2012). Lebih lanjut indeks
sentromer sangat penting dalam bidang geometri klasifikasi kromosom, selain tipe
banding. Indeks sentromer dihitung dengan perhitungan sebagai berikut:

Panjang lengan pendek (p)


CI = x 100 %
Panjang total kromosom (pq)

Fundamental number (FN) kromosom juga dihitung. FN merupakan


jumlah total keseluruhan lengan kromosom baik autosom maupun kromosom
kelamin. FNa adalah jumlah total lengan kromosom tubuh (autosom) tanpa
kromosom kelamin (Baker dan Patton 1967). Kriteria penentuan morfologi tipe
kromosom yang ditentukan berdasarkan Levan Plugin berbeda dengan kriteria
yang dijelaskan oleh Levan et al. (1964) serta Green dan Sessions (1991).
Perbedaan tersebut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kriteria tipe kromosom dengan menggunakan Levan Plugin (Sakamoto


dan Zacaro 2009)
Rasio Lengan Levan et al. Green dan Sessions
Levan Plugin
(AR) (1964) (1991)
1.0 M
M M
1.0 ≤ x < 1.7 m
1.7 ≤ x < 3.0 SM SM SM
3.0 ≤ x < 7.0 ST ST ST
7.0 ≤ x < α A
T T
α T
M, m: Metasentrik; SM: Sub Metasentrik; ST: Sub Telosentrik; A: Akrosentrik; T: Telosentrik
18

3 HASIL

3.1 Identifikasi dan Pengukuran Morfologi Luar Tikus (Muridae) dan


Kelelawar (Pteropodidae)

Delapan spesies (24 individu) tikus dan lima spesies (15 individu)
kelelawar didapatkan untuk analisis kariotipe lapang. Spesies tikus yang didapat
meliputi Rattus hoffmanni (Matschie, 1897), Bunomys andrewsi (Allen JA, 1911),
Bunomys chrysocomus (Hoffman, 1887), Paruromys sp., Bunomys heinrichi (Tate
& Archbold, 1935), Taeromys celebensis (Gray, 1867), Rattus dommermani
(Thomas, 1921) dan Rattus exulans (Peale, 1848). Spesies kelelawar yang didapat
meliputi Boneia bidens (Jentink, 1879), Thoopterus suhaniahae Maryanto et al.
2012, Thoopterus nigrescens (Gray, 1870), Styloctenium wallacei (Gray, 1866)
dan Dobsonia viridis (Heude, 1897) (Tabel 6).
Kebanyakan spesies yang didapat merupakan spesies endemik Sulawesi,
termasuk spesies yang baru ditemukan seperti T. suhaniahae. Keseluruhan
spesimen tikus dan kelelawar untuk analisis kariotipe lebih banyak didapat di
perkebunan warga kecuali R. hoffmanni dan T. suhaniahae yang juga didapat di
hutan pinus. Selanjutnya, Bunomys chrysocomus dan Paruromys sp. hanya
didapat di hutan primer. Spesimen kelelawar tidak didapat di hutan peralihan dan
hutan primer.

Tabel 6 Jumlah spesies, individu dan jenis kelamin tikus dan kelelawar yang
tertangkap dan digunakan dalam analisis kariotipe di Gunung
Bawakaraeng
Spesies Jumlah Individu Jantan Betina Lokasi
Famili Muridae
R. hoffmanni 9 5 4 (1),(2)
B. andrewsi 1 1 - (1)
B. chrysocomus 1 - 1 (4)
Paruromys sp. 1 - 1 (4)
B. heinrichi 1 - 1 (1)
T. celebensis 2 1 1 (1)
R. dommermani 8 1 7 (1)
R. exulans 1 1 - (1)

Famili Pteropodidae
B. bidens
T. suhaniahae 3 3 - (1)
T. nigrescens 8 6 2 (1), (2)
S. wallacei 1 - 1 (1)
D. viridis 1 1 - (1)
2 1 1 (1)
(1)
Perkebunan Warga; (2) Hutan Pinus; (3) Hutan Transisi (sekunder ke primer);(4) Hutan Primer

Spesimen katalog meliputi MZB 37043; MZB 37044; MZB 37045; MZB
37046; MZB 37047; MZB 37048; MZB 37049; MZB 37050; MZB 37051; MZB
37052; MZB 37286; MZB 37287; MZB 37089; MZB 37226; MZB 37235; MZB
37212; MZB 37213; MZB 37214; MZB 37215; MZB 37216; MZB 37217; MZB
19

37122; MZB 37354; MZB 37355; MZB 37297; MZB 37356; MZB 37357; MZB
37358; MZB 37359; MZB 37360; MZB 37315; MZB 37318; MZB 37311; MZB
37312.

Pengukuran Morfologi Luar

Spesimen Tikus (Muridae)

Paruromys sp. memiliki ukuran tubuh yang lebih besar diantara spesimen
yang tertangkap. R. dommermani memiliki rata-rata ukuran tubuh yang lebih
besar dan ekor yang lebih panjang diantara spesimen Rattus (R. hoffmanni dan R.
exulans). B. andrewsi memiliki ukuran morfologi luar yang lebih besar dari B.
chrysocomus dan B. heinrichi kecuali pada karakter panjang ekor (T). T.
celebensis cenderung memiliki ekor yang panjangnya dua kali lipat panjang
tubuhnya (Tabel 7). Beberapa spesimen tikus ditunjukkan Gambar 8.

Tabel 7 Pengukuran morfologi luar (mm) spesimen tikus yang tertangkap


B. B.
R. hoffmanni
Karakter andrewsi chrysocomus
N Mean St.dev Min Maks N Mean N Mean
HBL 9 132.26 22.93 110.41 180.31 1 165.25 1 125.80
T 9 146.93 10.24 129.95 160.02 1 130.50 1 134.20
HF 9 32.82 1.55 29.34 34.10 1 35.26 1 32.60
E 9 19.12 1.93 17.10 22.60 1 24.92 1 20.90
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 1

Tabel 7 Pengukuran morfologi luar (mm) spesimen tikus yang tertangkap


(lanjutan)
Paruromys sp. B.heinrichi T. celebensis
Karakter
N Mean N Mean N Mean St.dev Min Maks
HBL 1 187.20 1 129.30 2 135.05 5.02 131.50 138.60
T 1 235.10 1 131.80 2 201.65 15.77 190.50 212.80
HF 1 45.20 1 33.30 2 40.90 2.55 39.10 42.70
E 1 27.40 1 22.30 2 21.65 2.76 19.70 23.60
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 1

Tabel 7 Pengukuran morfologi luar (mm) spesimen tikus yang tertangkap


(lanjutan)
R. dommermani R. exulans
Karakter
N Mean St.dev Min Maks N Mean
HBL 8 141.64 14.05 121.10 155.90 1 89.40
T 8 173.98 21.27 154.40 210.00 1 151.70
HF 8 34.90 1.55 33.00 36.75 1 32.30
E 8 20.48 2.86 16.13 23.10 1 22.10
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 1
20

Gambar 8 Beberapa spesimen tikus (a) R. hoffmanni, (b) B. heinrichi, (c) T.


celebensis, (d) R. exulans, (e) R. dommermani. Skala bar 10 mm
21

Spesimen Kelalawar (Pteropodidae)

Hasil pengukuran 16 karakter pengukuran morfologi luar spesimen


kelelawar menunjukkan spesimen yang memiliki rata-rata ukuran tubuh yang
lebih besar (untuk keseluruhan jenis kelamin) yaitu S. wallacei (Tabel 8). B.
bidens dan D. viridis juga memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih besar.
Beberapa spesimen kelelawar tidak memiliki ekor seperti T. suhaniahae, T.
nigrescens dan S. wallacei. Perbedaan karakter morfologi luar yang menonjol
antara T. suhaniahae dan T. nigrescens yaitu ukuran tubuh (HBL), lengan atas
(FA), panjang digit metacarpal kedua (D2MCL) dan Panjang digit pertama
phalange keempat (D4P1L). Beberapa spesimen kelelawar penelitian ini
ditunjukkan Gambar 9.
.

Tabel 8 Pengukuran morfologi luar (mm) spesimen kelelawar yang tertangkap


B. bidens T. suhaniahae
Karakter
N Mean St.dev Min Maks N Mean St.dev Min Maks
HBL 3 122.36 12.02 109.10 132.53 8 96.85 2.82 90.49 99.12
TV 3 26.00 3.40 22.95 29.66 8 00.00 00.00 00.00 00.00
FA 3 100.90 1.93 99.43 103.08 8 74.21 2.59 70.38 77.48
TB 3 55.37 1.23 54.40 56.76 8 30.71 1.35 28.63 32.65
E 3 21.50 1.20 20.74 22.88 8 16.09 1.98 12.96 19.25
HF 3 25.18 0.78 24.28 25.65 8 16.39 0.77 15.06 17.49
D2MCL 3 50.16 9.45 39.95 58.61 8 31.78 3.08 28.29 38.11
D3MCL 3 60.82 1.78 59.25 62.76 8 45.16 2.22 41.47 48.93
D3P1L 3 48.47 2.51 46.37 51.25 8 36.41 2.85 31.48 39.82
D3P2L 3 60.65 7.85 52.67 68.37 8 41.63 5.73 28.38 46.21
D4MCL 3 58.68 1.34 57.83 60.22 8 42.44 2.78 38.50 46.76
D4P1L 3 37.97 1.72 36.33 39.76 8 29.64 1.40 27.92 31.48
D4P2L 3 40.01 4.33 35.02 42.74 8 27.97 1.96 25.47 31.70
D5MCL 3 61.20 2.24 58.98 63.45 8 44.20 1.94 41.66 46.87
D5P1L 3 29.37 0.96 28.55 30.42 8 24.99 1.53 22.23 27.52
D5P2L 3 33.78 2.52 32.16 36.69 8 25.23 2.53 22.92 29.60
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 2
22

Tabel 8 Pengukuran morfologi luar (mm) spesimen kelelawar yang tertangkap


(lanjutan)
T. nigrescens S. wallacei D. viridis
Karakter
N Mean N Mean N Mean St.dev Min Maks
HBL 1 98.63 1 145.22 2 139.59 1.11 138.80 140.37
TV 1 0.00 1 0.00 2 23.20 0.57 22.80 23.60
FA 1 72.32 1 94.55 2 118.04 0.04 118.01 118.07
TB 1 30.42 1 45.26 2 58.64 0.62 58.20 59.08
E 1 17.84 1 22.53 2 26.52 1.32 25.58 27.45
HF 1 16.83 1 27.20 2 22.90 0.14 22.80 23.00
D2MCL 1 27.34 1 41.13 2 46.75 2.19 45.20 48.30
D3MCL 1 44.08 1 59.24 2 70.95 0.64 70.50 71.40
D3P1L 1 38.64 1 50.40 2 51.55 0.92 50.90 52.20
D3P2L 1 43.68 1 63.44 2 75.75 9.55 69.00 82.50
D4MCL 1 41.28 1 55.49 2 67.70 6.22 63.30 72.10
D4P1L 1 27.20 1 39.31 2 44.85 3.61 42.30 47.40
D4P2L 1 29.04 1 38.51 2 46.40 0.28 46.20 46.60
D5MCL 1 42.76 1 61.87 2 73.60 2.69 71.70 75.50
D5P1L 1 23.56 1 30.92 2 39.15 0.21 39.00 39.30
D5P2L 1 24.56 1 31.81 2 42.15 0.07 42.10 42.20
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 2
23

a b

c d

e
Gambar 9 Spesimen kelelawar (a) B. bidens, (b) T. nigriscens, (c) S. wallacei, (d)
D. viridis, (e) T. suhaniahae. Skala bar 10 mm
24

Pengukuran Tengkorak

Spesimen Tikus (Muridae)

Spesimen yang memiliki ukuran tengkorak terbesar yaitu Paruromys sp.,


R. dommermani memiliki rata-rata ukuran tengkorak yang lebih besar
dibandingkan dua spesimen Rattus lainnya, namun panjang incisive foramina
(LIF) tidak terlalu berbeda yaitu 6 sampai 7 mm. Lebar lempeng zigomatik (BZP)
antara R. dommermani dengan R. hoffmanni tidak terlalu berbeda dengan selang
nilai sekitar 0.6 mm. Panjang baris geraham rahang atas (CLM1-3) tidak begitu
berbeda antar spesimen Rattus.
B. andrewsi memiliki ukuran tengkorak yang lebih besar dari B.
chrysocomus dan B. heinrichi. Ukuran tengkorak B. chrysocomus dan B. heinrichi
tidak terlalu berbeda. B. heinrichi memiliki panjang baris geraham rahang atas
(CLM1-3) yang lebih besar diantara spesimen Bunomys. T. celebensis
menunjukkan hasil pengukuran tengkorak yang mendekati ukuran Paruromys sp.
(Tabel 9). Beberapa tengkorak spesimen tikus disajikan pada Gambar 10 dan
Gambar 11.

Tabel 9 Pengukuran tengkorak (mm) spesimen tikus yang tertangkap


R. hoffmani B. andrewsi B. chrysocomus
Karakter
N Mean Std.Dev Min Maks N Mean N Mean
ONL 9 38.41 1.19 36.78 40.13 1 40.72 1 37.66
LR 9 12.41 1.24 9.93 14.12 1 15.98 1 14.39
BR 9 6.37 0.88 4.70 7.56 1 7.43 1 6.69
IB 9 5.62 0.20 5.29 5.92 1 6.83 1 6.12
BBC 9 16.17 0.44 15.83 17.07 1 16.42 1 16.22
ZB 9 19.17 0.76 18.08 20.17 1 20.40 1 18.31
LD 9 10.24 0.72 8.99 11.14 1 11.42 1 9.89
LBP 9 7.54 0.34 7.26 8.20 1 7.80 1 7.53
BBP 9 2.08 0.17 1.79 2.28 1 2.12 1 2.20
LIF 9 6.97 0.31 6.64 7.56 1 7.96 1 6.96
PPL 9 12.93 0.39 12.31 13.69 1 14.41 1 12.50
BMF 9 3.21 0.46 2.38 3.86 1 2.89 1 3.08
HBC 9 11.36 0.31 10.83 11.87 1 11.42 1 11.30
CLM1-3 9 6.82 0.35 6.23 7.29 1 7.23 1 6.69
BZP 9 4.11 0.35 3.33 4.54 1 3.71 1 3.84
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 3
25

Tabel 9 Pengukuran tengkorak (mm) spesimen tikus yang tertangkap (lanjutan)


Paruromys sp. B. heinrichi T. celebensis
Karakter
N Mean N Mean N Mean Std.Dev Min Maks
ONL 1 52.74 1 37.44 2 47.81 0.34 47.57 48.05
LR 1 17.56 1 13.19 2 15.60 0.18 15.47 15.73
BR 1 8.13 1 7.02 2 8.29 0.44 7.98 8.60
IB 1 7.41 1 6.40 2 6.06 0.10 5.99 6.13
BBC 1 19.32 1 15.58 2 18.93 0.04 18.90 18.96
ZB 1 23.70 1 18.55 2 24.08 0.55 23.69 24.47
LD 1 14.50 1 10.52 2 14.01 0.57 13.61 14.41
LBP 1 13.16 1 7.98 2 9.42 0.58 9.01 9.83
BBP 1 2.89 1 2.25 2 2.72 0.08 2.66 2.78
LIF 1 6.06 1 7.72 2 9.01 0.54 8.62 9.39
PPL 1 18.20 1 14.02 2 17.98 0.47 17.64 18.31
BMF 1 4.33 1 3.24 2 3.86 0.81 3.28 4.43
HBC 1 14.53 1 11.25 2 13.64 0.29 13.43 13.84
CLM1-3 1 9.23 1 7.31 2 8.79 0.11 8.71 8.86
BZP 1 5.89 1 3.91 2 5.48 0.23 5.32 5.64
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 3

Tabel 9 Pengukuran tengkorak (mm) spesimen tikus yang tertangkap (lanjutan)


R. dommermani R. exulans
Karakter
N Mean Std.Dev Min Maks N Mean
ONL 8 42.32 1.72 39.16 44.66 1 35.96
LR 8 14.01 0.91 12.59 15.28 1 12.61
BR 8 7.12 0.63 6.18 8.10 1 6.54
IB 8 6.04 0.31 5.70 6.43 1 5.16
BBC 8 16.71 0.45 16.09 17.35 1 15.29
ZB 8 20.32 1.00 18.56 21.61 1 16.86
LD 8 11.29 0.72 10.20 12.12 1 8.73
LBP 8 8.39 0.27 7.98 8.85 1 7.08
BBP 8 2.00 0.16 1.83 2.22 1 2.00
LIF 8 7.79 0.62 6.67 8.75 1 6.06
PPL 8 14.07 0.87 12.59 15.60 1 11.71
BMF 8 3.28 0.41 2.85 3.84 1 3.20
HBC 8 11.94 0.52 11.25 12.52 1 9.84
CLM1-3 8 6.95 0.35 6.64 7.75 1 6.92
BZP 8 4.74 0.33 4.26 5.15 1 3.81
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 3
26

Spesimen Kelalawar (Pteropodidae)

D. viridis memiliki panjang tengkorak terbesar (GSL) dan beberapa


karakter pengukuran seperti ZB dan DL yang lebih besar diantara spesimen yang
lain. Lebar zigomatik (ZB) S. wallacei memiliki selang nilai yang tidak terlalu
jauh dengan B. bidens dibandingkan dengan spesimen yang lain; namun panjang
gigi taring ke geraham (C¹-M³) lebih mendekati D. viridis. T. suhaniahae
memiliki beberapa karakter pengukuran yang lebih besar dari T. nigrescens seperti
GSL, POW, ZB dan PL (Tabel 10). Beberapa tengkorak spesimen kelelawar
penelitian ini disajikan pada Gambar 12 dan Gambar 13.

Tabel 10 Pengukuran tengkorak (mm) spesimen kelelawar yang tertangkap


B. bidens T. suhaniahae
Karakter
N Mean St.dev Min Maks N Mean St.dev Min Maks
GSL 3 46.76 1.70 45.35 48.65 8 35.19 0.39 34.75 35.91
LIW 3 8.35 0.16 8.17 8.48 8 7.96 0.45 7.45 8.84
POW 3 8.56 0.24 8.31 8.78 8 6.918 0.22 6.6 7.30
ZB 3 26.77 0.94 26.14 27.85 8 22.29 0.67 21.44 23.24
BW 3 18.53 0.40 18.10 18.89 8 14.85 0.39 14.2 15.38
MSF 3 6.48 0.11 6.37 6.58 8 4.594 0.21 4.29 4.92
BL 3 4.89 0.49 4.32 5.22 8 3.461 0.25 3.21 3.96
PL 3 23.09 0.59 22.51 23.69 8 18.58 0.79 17.35 19.67
RAP 3 12.73 1.56 11.10 14.22 8 13.91 0.26 13.52 14.19
DL 3 34.95 1.20 33.74 36.14 8 27.52 0.68 26.55 28.48
C¹-C¹ (RA) 3 9.77 0.66 9.26 10.52 8 6.853 0.34 6.26 7.20
C¹-C¹ (RB) 3 6.15 0.61 5.68 6.84 8 3.771 0.32 3.18 4.05
M³-M³ (RA) 3 11.98 0.18 11.85 12.18 8 13.33 1.01 11.06 14.19
M³-M³ (RB) 3 12.03 0.36 11.69 12.4 8 9.604 0.28 9.33 10.19
C¹-M³ (RA) 3 14.97 0.14 14.83 15.11 8 12.48 0.28 12.08 12.86
C¹-M³ (RB) 3 17.36 0.47 16.93 17.87 8 11.61 0.26 11.34 11.99
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 4
27

Tabel 10 Pengukuran tengkorak (mm) spesimen kelelawar yang tertangkap


(lanjutan)
T. nigrescens S. wallacei D. viridis
Karakter
N Mean N Mean N Mean St.dev Min Maks
GSL 1 34.32 1 48.91 2 51.34 1.55 50.24 52.43
LIW 1 6.64 1 6.82 2 8.33 0.09 8.26 8.39
POW 1 6.25 1 6.00 2 6.92 0.54 6.53 7.30
ZB 1 20.15 1 27.05 2 30.57 0.10 30.50 30.64
BW 1 14.22 1 19.46 2 20.08 0.16 19.96 20.19
MSF 1 4.45 1 6.08 2 6.41 0.39 6.13 6.68
BL 1 3.12 1 4.22 2 5.33 0.11 5.25 5.41
PL 1 16.57 1 25.01 2 25.09 0.58 24.68 25.50
RAP 1 14.33 1 18.26 2 21.35 0.97 20.66 22.03
DL 1 25.56 1 37.33 2 41.70 0.66 41.23 42.17
C¹-C¹ (RA) 1 6.20 1 5.15 2 9.38 0.12 9.29 9.46
C¹-C¹ (RB) 1 2.92 1 5.11 2 5.10 0.41 4.81 5.39
M³-M³ (RA) 1 10.58 1 12.78 2 13.75 2.45 12.02 15.48
M³-M³ (RB) 1 8.95 1 12.93 2 14.70 0.75 14.17 15.23
C¹-M³ (RA) 1 11.36 1 18.87 2 19.82 0.74 19.29 20.34
C¹-M³ (RB) 1 13.25 1 18.87 2 21.31 0.11 21.23 21.38
Singkatan karakter pengukuran dapat dilihat di Tabel 4
28

a1 a2

b1 b2

c1 c2
Gambar 10 Tengkorak spesimen tikus (a) R. hoffmanni dorsal (a1), ventral (a2);
(b) B. heinrichi dorsal (b1), ventral (b2); (c) T. celebensis dorsal
(c1), ventral (c2). Skala bar 10 mm
29

a1 a2

b1 b2
Gambar 11 Tengkorak spesimen tikus (a) R. dommermani dorsal (a1), ventral
(a2); (b) R. exulans dorsal (b1), ventral (b2). Skala bar 10 mm

a1 a2
Gambar 12 Tengkorak spesimen kelelawar B. bidens dorsal (a1), ventral (a2).
Skala bar 10 mm
30

a1 a2

b1 b2

c1 c2
Gambar 13 Tengkorak spesimen kelelawar (a) T. suhaniahae dorsal (a1), ventral
(a2), (b) T. nigriscens dorsal (b1), ventral (b2), (c) S. wallacei dorsal
(c1), ventral (c2). Skala bar 10 mm
31

3.2 Analisis Kariotipe Laboratorium

3.2.1 Kariotipe Mencit (Mus musculus Linnaeus, 1758)

Analisis kariotipe di laboratorium menggunakan mencit (M. musculus)


menunjukkan hasil yang baik. Jumlah kromosom M. musculus yaitu 2n = 40
dengan FN = 40 dan FNa = 38. Autosom berjumlah 40 pasang dan satu pasang
kromosom kelamin X. Spesies ini hanya memiliki satu tipe krosomom yaitu
telosentrik (Gambar 14). Kromosom M.musculus merupakan kromosom yang
didapat dari analisis kariotipe laboratorium. Kedua spesimen yang diuji
menunjukkan hasil yang optimal. Kromosom menyebar dengan baik, lengan
terlihat jelas dan jumlah kromosom yang dapat teridentifikasi dengan mudah.
Kromosom yang muncul pada preparat bervariasi, baik bentuk maupun jumlahnya
(Gambar 15).
Hasil pengukuran kromosom spesies ini menunjukkan keseluruhan
kromosom merupakan tipe kromosom telosentrik dengan panjang lengan panjang
(q) dan panjang total (pq) berkisar 3.48 sampai 1.20% (Tabel 11). Kromosom
telosentrik tidak memiliki lengan pendek (p) sehingga rasio lengan (AR) dan
indeks sentromernya (CI) tidak dapat dihitung.
Pasangan kromosom nomor 19 dan kromosom kelamin menunjukkan
selang nilai panjang lengan panjang yang lebih besar dibandingkan pasangan
kromosom lain, yaitu masing-masing sebesar 0.37% dan 0.22%.

Gambar 14 Kariotipe M.musculus betina perbesaran 1000 kali; Skala bar 2.16 µm
32

Tabel 11 Pengukuran dan tipe kromosom M.musculus betina


Pasangan Panjang Relatif (%) Total CI AR
Morfologi
Kromosom p Min Maks q Min Maks (%) (%) (%)
1 a 0.00 0.00 0.00 3.47±0.19 3.19 3.68 3.48 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 3.47±0.07 3.41 3.59 3.47 0.00 α T
2 a 0.00 0.00 0.00 3.23±0.13 3.04 3.36 3.23 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 3.18±0.09 3.08 3.31 3.18 0.00 α T
3 a 0.00 0.00 0.00 3.06±0.11 2.96 3.22 3.06 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 3.03±0.16 2.81 3.20 3.03 0.00 α T
4 a 0.00 0.00 0.00 2.99±0.13 2.84 3.16 2.99 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.94±0.23 2.69 3.31 2.94 0.00 α T
5 a 0.00 0.00 0.00 2.85±0.09 2.71 2.93 2.85 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.85±0.05 2.78 2.92 2.85 0.00 α T
6 a 0.00 0.00 0.00 2.81±0.15 2.62 2.98 2.81 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.79±0.14 2.58 2.95 2.79 0.00 α T
7 a 0.00 0.00 0.00 2.77±0.08 2.69 2.90 2.77 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.75±0.17 2.61 2.89 2.75 0.00 α T
8 a 0.00 0.00 0.00 2.72±0.10 2.58 2.84 2.72 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.72±0.07 2.60 2.77 2.72 0.00 α T
9 a 0.00 0.00 0.00 2.71±0.09 2.56 2.77 2.71 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.68±0.08 2.58 2.81 2.68 0.00 α T
10 a 0.00 0.00 0.00 2.59±0.15 2.46 2.77 2.59 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.57±0.17 2.38 2.78 2.57 0.00 α T
11 a 0.00 0.00 0.00 2.56±0.15 2.37 2.75 2.56 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.55±0.18 2.30 2.77 2.55 0.00 α T
12 a 0.00 0.00 0.00 2.46±0.07 2.37 2.53 2.46 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.44±0.08 2.32 2.54 2.44 0.00 α T
13 a 0.00 0.00 0.00 2.38±0.10 2.28 2.52 2.38 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.36±0.06 2.29 2.46 2.36 0.00 α T
14 a 0.00 0.00 0.00 2.34±0.18 2.16 2.61 2.34 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.26±0.08 2.14 2.34 2.26 0.00 α T
15 a 0.00 0.00 0.00 2.26±0.11 2.13 2.39 2.26 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.14±0.08 2.07 2.26 2.14 0.00 α T
16 a 0.00 0.00 0.00 2.09±0.04 2.04 2.14 2.09 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.07±0.09 1.95 2.18 2.07 0.00 α T
17 a 0.00 0.00 0.00 2.02±0.07 1.91 2.10 2.02 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.01±0.07 1.92 2.07 2.01 0.00 α T
18 a 0.00 0.00 0.00 1.99±0.09 1.90 2.13 1.99 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.99±0.21 1.79 2.26 1.99 0.00 α T
19 a 0.00 0.00 0.00 1.81±0.12 1.63 1.91 1.81 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.44±0.12 1.25 1.53 1.44 0.00 α T
X 0.00 0.00 0.00 1,42±0,14 1.25 1.63 1.42 0.00 α T
X 0.00 0.00 0.00 1,20±0,11 1.10 1.39 1.20 0.00 α T
p: panjang lengan pendek; q: panjang lengan panjang; CI: indeks sentromer; AR: rasio lengan; a,b
: pasangan kromosom; M : Metasentrik; SM: Sub Metasentrik; ST: Sub Telosentrik;T: Telosentrik
33

Gambar 15 Kromosom pada M. musculus (betina); Perbesaran 100 kali; Skala bar
2.16 µm
34

3.2.2 Perbedaan Inhibitasi Mitosis Mencit dengan Kolkisin 0.005% selama 2


Jam dan 3 Jam

Preparat mencit dengan injeksi kolkisin 0.005% dengan waktu inhibitasi


mitosis 2 jam menunjukkan kromosom pada tahap metafase yang baik (optimal)
(Gambar 16a). Lengan, sentromer dan pita (band) kromosom terlihat jelas. Jumlah
kromosom dapat diketahui. Kromosom metafase memiliki dua warna yaitu
magenta (a1) dan ungu gelap (a2). Kromosom metafase mencit dengan injeksi
kolkisin 0.005% dengan waktu inhibitasi mitosis 3 jam menunjukkan hasil yang
kurang optimal yaitu sedikitnya kromosom metafase yang terlihat dan
kromosomnya mengalami degradasi (Gambar 16b).

3.2.3 Kualitas Kromosom Sumsum Tulang Mencit pada Preservasi PBS


selama 2, 4, 6, 8, 12 dan 15 hari

Keadaan femur mencit setelah preservasi 2 sampai 15 hari yaitu femur


menjadi lunak dengan sumsum merah keputihan. Perlakuan preservasi PBS
selama 2 hari menunjukkan bentuk kromosom relatif jelas tetapi mulai
terdegradasi (lengan terlihat jelas, tetapi sentromer sedikit terlihat dan pita (band)
tidak terlihat). Kromosom sangat jarang ditemukan. Kromosom tidak menyebar
dan menggerombol, tetapi apabila menyebar kromosom masih bersama sitoplasma
sel. Jumlah kromosom masih belum dapat diketahui (Gambar 17a).
Berdasarkan hasil perlakuan 4 hari, pelet sel yang didapatkan pada saat
sentrifugasi relatif sedang hingga sedikit. Kromosom yang didapat tidak memiliki
bentuk yang jelas (lengan, sentromer dan pita (band) tidak jelas) dan terdegradasi;
beberapa tidak menunjukkan adanya kromosom. Kromosom tersebut berbeda
dengan kromosom pada perlakuan 2 hari yang masih menunjukkan bentuk yang
relatif lebih jelas. Kromosom yang tampak cenderung tidak menyebar dan
menggerombol. Preparat yang diamati menunjukkan bahwa sangat jarang ditemui
adanya kromosom (Gambar 17b).
Pada perlakuan 6 sampai 15 hari, kromosom sudah tidak terlihat sama
sekali atau mengalami degradasi. Preservasi kromosom dengan menggunakan
PBS secara garis besar tidak menunjukkan hasil yang optimal. Kromosom yang
didapat cenderung mengalami degradasi.

a1 a2 b

Gambar 16 Kromosom perbedaan inhibitasi mitosis kolkisin 0.005% (a)


kromosom mencit perlakuan 2 jam (a1,a2), (b) kromosom mencit
perlakuan 3 jam; Perbesaran 400 kali
35

a1 a2 a3

b1 b2

Gambar 17 Kromosom perlakuan preservasi PBS (a) kromosom mencit


perlakuan 2 hari (a1,a2,a3), (b) kromosom mencit perlakuan 4
hari (b1, b2); perbesaran 400 kali; Skala bar 2,5 µm

3.2.4 Kualitas Kromosom Suspensi Sel Sumsum Tulang Mencit pada


Preservasi Carnoy 2 hari (48 jam) dan 4 hari (96 jam)

Hasil pengamatan kromosom mencit sebelum perlakuan preservasi Carnoy


(preparat fresh) menunjukkan bentuk kromosom yang jelas, ada yang menyebar
dan ada juga yang tidak menyebar. Lengan tampak jelas, sentromer jelas, pita
(band) belum terlihat jelas. Jumlah kromosom dapat teridentifikasi (Gambar 18a).
Berdasarkan perlakuan preservasi Carnoy 2 hari (48 jam), kromosom
menyebar namun beberapa ada yang saling tumpang tindih. Lengan tampak jelas,
sentromer jelas sedangkan pita (band) belum terlihat jelas. Jumlah kromosom
relatif belum bisa teridentifikasi (Gambar 18b). Pada perlakuan ini dilakukan dua
kali sentrifugasi pada saat pembuatan preparat, sehingga kromosom terlihat lebih
menyebar dari kromosom sebelum preservasi Carnoy.
Hasil preservasi Carnoy 4 hari (96 jam) dengan dua kali sentrifugasi
menunjukkan hasil yang optimal. Kromosom menyebar beraturan (dalam satu sel)
dengan sangat baik. Bentuk kromosom jelas, tetapi dengan ukuran yang relatif
lebih kecil. Lengan dan sentromer tampak jelas tetapi pita (band) masih tidak
terlihat (Gambar 18c).
36

a1 a2
c

b1 b2

Gambar 18 Kromosom perlakuan preservasi Carnoy (a) kromosom mencit


perlakuan langsung (fresh) (a1,a2), (b) kromosom mencit
perlakuan 2 hari (48 jam) (b1, b2), (c) kromosom mencit perlakuan
4 hari (96 jam); Perbesaran 400 kali; Skala bar 2,5 µm

3.3 Analisis Kariotipe Lapang

Hasil analisis kariotipe di lapang menunjukkan hanya tiga spesies (satu


spesies tikus dan dua spesies kelelawar) yang menunjukkan hasil kariotipe yang
paling baik yaitu R. hoffmanni dan B. bidens, T. suhaniahae. Sementara itu, D.
viridis dan T. nigrescens menunjukkan hasil yang kurang baik sehingga hanya
jumlah sel diploid (2n) saja yang bisa diamati (Tabel 12). Kromosom spesies lain
(baik tikus dan kelelawar) tidak menunjukkan hasil yang baik yaitu kromosom
masih berada di dalam sel.
Spesimen yang diaklimatisasi pada tahap peningkatan indeks mitosis
seringkali mengalami kematian terutama pada kelelawar, karena kelelawar relatif
rentan terhadap kondisi lingkungan. Penelitian Baker et al. (1982) menunjukkan
adanya kesulitan dalam mengaklimatisasi spesies kelelawar pada tahapan tersebut.
Suhu lingkungan yang rendah (mencapai 10 °C) diduga menyebabkan kelelawar
gagal beradaptasi.
37

Tabel 12 Status kromosom tikus dan kelelawar dari Gunung Bawakaraeng,


Sulawesi Selatan
Spesies N Jantan Betina Lokasi 2n FN FNa X X Y
Muridae
R. hoffmanni 9 5 4 (1), (2) 44 61 59 T T -
M. musculus 2 - 2 Lab 40 40 38 T T -

Pteropodidae
B. bidens 3 3 - (1) 30 53 50 SM - T
T. suhaniahae 8 6 2 (1), (2) 38 64 60 M M -
T. nigrescens 1 - 1 (1) 38 - - - - -
D. viridis 2 1 1 (1) 36 - - - - -
2n : Sel diploid; FNa: Fundamental number autosom; FN: Fundamental number; X : Kromosom
X; Y: Kromosom Y; M : Metasentrik; SM: Sub Metasentrik; ST: Sub Telosentrik; T: Telosentrik;
Lab: Laboratorium

Jumlah dan tipe kromosom berbeda tiap spesimen. R. hoffmanni hanya


memiliki tiga tipe kromosom yaitu sub metasentrik, sub telosentrik dan
telosentrik. Spesimen B. bidens dan T. suhaniahae memiliki yang keempat tipe
kromosom yaitu metasentrik, sub metasentrik, sub telosentrik dan telosentrik.
Jumlah tipe kromosom sub metasentrik cenderung lebih banyak dan paling
banyak pada B. bidens. Tipe kromosom telosentrik lebih banyak pada R.
hoffmanni dan paling sedikit pada kromosom B. bidens. M. musculus pada analisis
laboratorium memiliki jumlah kromosom telosentrik lebih banyak dibandingkan
R. hoffmanni (Gambar 19). Hal tersebut mengindikasi antara tikus dan kelelawar
masing-masing memiliki satu tipe kromosom yang dominan.

Gambar 19 Jumlah tipe kromosom pada spesimen tikus dan kelelawar


38

3.3.1 Spesimen Tikus (Muridae)

Rattus hoffmanni (Matschie, 1901)

Jumlah kromosom R. hoffmanni yaitu 2n = 44 dengan FN = 61 dan Fna =


59. R. hoffmanni memiliki 43 pasang autosom dan satu pasang kromosom
kelamin. Spesies ini memiliki tiga tipe morfologi krosomom yaitu sub
metasentrik, sub telosentrik dan telosentrik. Autosom memiliki 6 pasang
kromosom sub metasentrik, 3 pasang sub telosentrik dan 12 pasang telosentrik.
Kromosom kelamin X keduanya memiliki tipe kromosom telosentrik (Gambar
20). Spesimen yang menunjukkan hasil kariotipe terbaik yaitu satu individu betina
dewasa yang bunting MZB 37043.
Pengukuran kromosom menunjukkan pasangan autosom sub metasentrik
memiliki panjang lengan pendek (p) yang berkisar antara 1.01 sampai 0.65%.
Panjang lengan panjang (q) mencapai 2.54 sampai 1.25% dan panjang total
kromosom mencapai 3.55 sampai 1.90%. Indeks sentromer berkisar antara 35.33
sampai 26.97% dengan rasio lengan 2.74 sampai 1.85% (Tabel 13).
Autosom sub telosentrik memiliki panjang lengan pendek mencapai 0.72
sampai 0.48% dan panjang lengan panjang mencapai 2.20 sampai 1.61%. Panjang
total kromosom berkisar 2.92 sampai 2.09%. Indeks sentromer 24.71 sampai
23.02% dan rasio lengan 3.35 sampai 3.06%. Autosom telosentrik hanya memiliki
satu lengan yaitu lengan panjang dengan panjang antara 2.73 sampai 1.21%.
Panjang total kromosom sama dengan panjang lengan panjang.
Satu pasang kromosom memiliki bentuk yang berbeda yaitu pasangan
kromosom 9. Kromosom 9a berbentuk sub telosentrik (rasio lengan 3.354%)
sedangkan 9b memiliki bentuk telosentrik (rasio lengan α). Hal ini disebabkan dua
pasang kromosom sub telosentrik yang lain telah memiliki pasangan yang panjang
total dan tipe kromosomnya hampir mirip satu dengan yang lain. Penyusunan
kromosom didasarkan pada panjang total kromosom dan rasio lengan. Nilai rasio
lengan menentukan tipe kromosom.
39

Gambar 20 Kariotipe R. hoffmanni betina MZB 37043 perbesaran 1000 kali;


Skala bar 3.26 µm

Gambar 21 Beberapa kromosom R.hoffmanni MZB 37043 yang muncul pada


preparat yang telah dibuat; Perbesaran 1000 kali; Skala bar 3.26 µm
40

Tabel 13 Pengukuran dan tipe kromosom R. hoffmanni betina MZB 37043


Pasangan Panjang Relatif (%) Total CI AR
Morfologi
Kromosom p Min Maks q Min Maks (%) (%) (%)
1 a 1.01±0.07 0.91 1.08 2.54±0.16 2.27 2.68 3.55 28.36 2.54 SM
b 1.09±0.07 0.98 1.17 2.17±0.08 2.04 2.25 3.26 33.42 2.00 SM
2 a 1.13±0.06 1.07 1.21 2.09±0.09 2.00 2.22 3.22 34.99 1.86 SM
b 1.01±0.08 0.92 1.09 2.08±0.09 1.95 2.18 3.10 32.75 2.06 SM
3 a 0.95±0.09 0.80 1.03 2.06±0.12 1.94 2.22 3.02 31.43 2.19 SM
b 0.81±0.13 0.68 0.99 2.11±0.09 2.01 2.24 2.92 27.71 2.66 SM
4 a 0.75±0.04 0.69 0.77 1.93±0.13 1.72 2.09 2.68 27.96 2.57 SM
b 0.88±0.11 0.72 1.00 1.62±0.13 1.49 1.79 2.50 35.33 1.85 SM
5 a 0.68±0.13 0.56 0.87 1.78±0.16 1.66 2.04 2.46 27.81 2.65 SM
b 0.80±0.06 0.77 0.90 1.64±0.12 1.53 1.82 2.44 32.82 2.05 SM
6 a 0.55±0.06 0.49 0.62 1.49±0.16 1.31 1.64 2.03 26.97 2.74 SM
b 0.65±0.16 0.50 0.92 1.25±0.19 0.95 1.47 1.90 34.25 2.05 SM
7 a 0.72±0.05 0.67 0.79 2.20±0.09 2.09 2.28 2.92 24.71 3.06 ST
b 0.57±0.08 0.51 0.68 1.85±0.11 1.71 1.95 2.42 23.64 3.28 ST
8 a 0.54±0.13 0.43 0.69 1.68±0.05 1.62 1.75 2.22 24.46 3.20 ST
b 0.51±0.07 0.41 0.61 1.64±0.16 1.45 1.83 2.15 23.79 3.22 ST
9 a 0.48±0.02 0.44 0.50 1.61±0.11 1.44 1.72 2.09 23.02 3.35 ST
b 0.00 0.00 0.00 2.73±0.13 2.64 2.96 2.73 0.00 α T
10 a 0.00 0.00 0.00 2.60±0.13 2.42 2.78 2.60 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.57±0.07 2.48 2.67 2.57 0.00 α T
11 a 0.00 0.00 0.00 2.56±0.10 2.46 2.70 2.56 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.50±0.08 2.41 2.61 2.50 0.00 α T
12 a 0.00 0.00 0.00 2.43±0.15 2.29 2.68 2.43 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.38±0.08 2.25 2.45 2.38 0.00 α T
13 a 0.00 0.00 0.00 2.36±0.13 2.17 2.47 2.36 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.33±0.08 2.25 2.45 2.33 0.00 α T
14 a 0.00 0.00 0.00 2.16±0.05 2.11 2.22 2.16 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.08±0.04 2.05 2.14 2.08 0.00 α T
15 a 0.00 0.00 0.00 2.04±0.11 1.91 2.21 2.04 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.04±0.05 1.98 2.11 2.04 0.00 α T
16 a 0.00 0.00 0.00 2.01±0.08 1.91 2.11 2.01 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.98±0.07 1.90 2.06 1.98 0.00 α T
17 a 0.00 0.00 0.00 1.95±0.09 1.85 2.04 1.95 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.94±0.07 1.83 2.03 1.94 0.00 α T
18 a 0.00 0.00 0.00 1.89±0.09 1.78 1.98 1.89 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.84±0.08 1.72 1.93 1.84 0.00 α T
19 a 0.00 0.00 0.00 1.84±0.13 1.66 1.98 1.84 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.84±0.06 1.74 1.91 1.84 0.00 α T
20 a 0.00 0.00 0.00 1.67±0.05 1.61 1.73 1.67 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.62±0.09 1.53 1.74 1.62 0.00 α T
21 a 0.00 0.00 0.00 1.59±0.07 1.50 1.67 1.59 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.58±0.07 1.50 1.68 1.58 0.00 α T
22 a 0.00 0.00 0.00 1.31±0.05 1.23 1.38 1.31 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.21±0.12 1.07 1.35 1.21 0.00 α T
p: panjang lengan pendek; q: panjang lengan panjang; CI: indeks sentromer; AR: rasio lengan; a,b:
pasangan kromosom; M : Metasentrik; SM: Sub Metasentrik; ST: Sub Telosentrik;T: Telosentrik
41

3.3.2 Spesimen Kelalawar (Pteropodidae)

Boneia bidens (Jentink, 1879)

Jumlah kromosom B. bidens yaitu 2n = 30, yang terdiri dari 19 pasang


kromosom tubuh (autosom) dan 1 pasang kromosom kelamin. FN = 53 dan FNa =
50. Spesimen yang menunjukkan hasil kromosom terbaik yaitu satu individu
jantan dewasa MZB 37354. Kebanyakan preparat untuk individu yang lain pada
spesies ini tidak menunjukkan hasil yang optimal.
Kromosom spesies ini memiliki tiga tipe kromosom, yaitu metasentrik
(M), sub metasetrik (SM) dan telosentrik (T) (Gambar 22). Autosom memiliki 4
pasang kromosom metasentrik, 7 pasang sub metasetrik dan 3 pasang telosentrik.
Kromosom kelamin memiliki tipe metasentrik untuk kromosom X, dan telosentrik
untuk kromosom Y. Pada preparat kromosom terdapat satu kromosom tambahan
yang berada di antara dua kromosom (Gambar 22).
Autosom metasentrik memiliki panjang lengan pendek (p) berkisar antara
2.426 sampai 1.152 dan panjang lengan panjang (q) berkisar 2.742 sampai
1.340%. Panjang total kromosom mencapai 5.170 sampai 2.492% dengan indeks
sentromer (CI) 47.934 sampai 45.231% dan rasio lengan 1.220 sampai 1.098%
(Tabel 14).
Autosom sub metasentrik memiliki panjang lengan pendek (p) sebesar
1.90 sampai 0.82%, panjang lengan panjang (q) 3.83 sampai 1.39%. Panjang total
kromosom yaitu 5.73 sampai 2.21% dengan indeks sentromer 39.36 sampai
29.05% dan rasio lengan sebesar 2.41 sampai 1.60%. Autosom telosentrik tidak
memiliki lengan pendek. Panjang lengan panjang (q) mencapai 3.85 sampai
1.67% dengan panjang total kromosom yaitu 3.85 sampai 1.67%.
Kromosom kelamin X memiliki panjang lengan pendek (p) sebesar 0.94%
dan panjang lengan panjang (q) yaitu 2.567%. Panjang total kromosom mencapai
3.51% dengan indeks sentromer yaitu 26.77% dan rasio lengan 2.74%. Panjang
total dan panjang lengan panjang kromosom kelamin Y yaitu sebesar 1.58%.
Beberapa autosom sub metasentrik menunjukkan rasio lengan yang
berbeda dengan pasangannya. Pasangan kromosom 6b memiliki rasio lengan
sebesar 1.60% sehingga morfologi kromosomnya menjadi metasentrik, tetapi
panjang total kromosomnya mendekati pasangannya (pasangan kromosom 6a)
yaitu 4.56%, CI = 38.62%. Pasangan kromosom 8b juga menunjukkan hal yang
sama, rasio lengan mencapai 1.56% dengan panjang total 2.94% (panjang total
kromosom 8a = 3.05%), CI = 39.36%. Pasangan kromosom 9a memiliki rasio
lengan 1.698% dengan panjang total kromosom 2.78% (panjang total kromosom
9b = 2.74%), CI = 37.41% (Tabel 14).
42

Gambar 22 Kariotipe B. bidens jantan MZB 37354 perbesaran 1000 kali; Skala
bar 2.17 µm. Panah menunjukkan kromosom tambahan

Gambar 23 Beberapa kromosom B. bidens MZB 3754 yang muncul pada preparat
yang telah dibuat; Perbesaran 1000 kali; Skala bar 2.17 µm
43

Tabel 14 Pengukuran dan tipe kromosom B. bidens jantan MZB 37354


Pasangan Panjang Relatif (%) Total CI AR
Morfologi
Kromosom p Min Maks q Min Maks (%) (%) (%)
1 a 2.43±0.28 2.13 2.77 2.74±0.13 2.62 2.92 5.17 46.93 1.14 M
b 2.26±0.11 2.06 2.33 2.48±0.15 2.23 2.64 4.73 47.66 1.10 M
2 a 2.07±0.13 1.93 2.20 2.44±0.05 2.38 2.49 4.51 45.85 1.18 M
b 2.16±0.22 1.80 2.38 2.34±0.12 2.24 2.55 4.50 47.93 1.09 M
3 a 1.57±0.07 1.48 1.66 1.82±0.17 1.64 2.04 3.40 46.32 1.16 M
b 1.43±0.12 1.27 1.59 1.73±0.18 1.49 1.98 3.17 45.23 1.22 M
4 a 1.35±0.10 1.24 1.50 1.54±0.09 1.46 1.66 2.90 46.75 1.14 M
b 1.15±0.13 1.05 1.36 1.34±0.08 1.20 1.41 2.49 46.23 1.17 M
5 a 1.90±0.24 1.68 2.29 3.83±0.28 3.59 4.28 5.73 33.11 2.05 SM
b 1.53±0.12 1.39 1.68 3.68±0.14 3.53 3.84 5.21 29.41 2.41 SM
6 a 1.59±0.22 1.30 1.92 3.13±0.07 3.01 3.20 4.71 33.70 2.00 SM
b 1.76±0.07 1.67 1.84 2.80±0.27 2.52 3.21 4.56 38.62 1.60 M/ SM
7 a 1.22±0.17 0.98 1.42 2.12±0.20 1.84 2.36 3.33 36.47 1.78 SM
b 1.17±0.10 1.05 1.26 2.01±0.37 1.51 2.50 3.17 36.74 1.73 SM
8 a 1.11±0.10 1.02 1.28 1.94±0.13 1.74 2.08 3.05 36.41 1.76 SM
b 1.16±0.12 0.96 1.24 1.78±0.16 1.60 1.98 2.94 39.36 1.56 M/ SM
9 a 1.04±0.17 0.86 1.31 1.74±0.17 1.58 1.96 2.78 37.41 1.70 M/SM
b 0.95±0.12 0.88 1.16 1.79±0.22 1.59 2.12 2.74 34.80 1.88 SM
10 a 0.87±0.09 0.74 0.98 1.80±0.09 1.65 1.90 2.67 32.56 2.09 SM
b 0.87±0.16 0.68 1.11 1.68±0.03 1.65 1.71 2.55 34.14 1.98 SM
11 a 0.85±0.08 0.73 0.94 1.60±0.05 1.53 1.68 2.45 34.72 1.89 SM
b 0.82±0.16 0.65 1.08 1.39±0.17 1.14 1.56 2.21 37.07 1.76 SM
12 a 0.00 0.00 0.00 3.85±0.12 3.74 4.04 3.85 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 3.28±0.12 3.17 3.43 3.28 0.00 α T
13 a 0.00 0.00 0.00 2.54±0.15 2.37 2.78 2.54 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 2.74±0.22 2.56 3.02 2.74 0.00 α T
14 a 0.00 0.00 0.00 1.86±0.09 1.71 1.93 1.86 0.00 α T
b 0.00 0.00 0.00 1.67±0.05 1.63 1.76 1.67 0.00 α T
X 0.94±0.08 0.84 1.00 2.57±0.10 2.45 2.69 3.51 26.77 2.74 SM
Y 0.00 0.00 0.00 1.58±0.17 1.34 1.8 1.58 0.00 α T
p: panjang lengan pendek ; q: panjang lengan panjang; CI: indeks sentromer; AR: rasio lengan;a,b:
pasangan kromosom; M : Metasentrik; SM: Sub Metasentrik; ST: Sub Telosentrik;T: Telosentrik
44

Thoopterus suhaniahae Maryanto et al, 2012

Jumlah kromosom T. suhaniahae yaitu 2n = 38 terdiri dari 18 pasang


autosom dan 1 pasang kromosom kelamin. FN = 64 dan FNa = 60. Spesies ini
memiliki empat tipe morfologi kromosom yaitu metasentrik, sub metasentrik, sub
telosentrik dan telosentik (Gambar 24). Tipe kromosom meliputi 2 pasang
kromosom metasentrik, 6 pasang sub metasentrik, 4 pasang sub telosentrik dan 6
pasang telosentrik. Kromosom kelamin memiliki tipe metasentrik untuk kedua
kromosom X. Spesimen yang menunjukkan hasil yang paling baik yaitu satu
betina dewasa MZB 37355.
Autosom metasentrik memiliki panjang lengan pendek (p) berkisar antara
1.30 sampai 1.24% dan panjang lengan panjang (q) berkisar antara 2.18 sampai
1.56%. Panjang total kromosom yaitu 3.48 sampai 2.80% dengan indeks
sentromer 44.25 sampai 37.41%. Rasio lengan berkisar antara 1.34 sampai 1.70%
yang menunjukkan kromosom metasentrik (Tabel 15).
Autosom sub metasentrik memiliki panjang lengan pendek (p) berkisar
antara 1.04 sampai 0.45% dan panjang lengan panjang (q) berkisar antara 2.14
sampai 1.13%. Panjang total kromosom mencapai 3.18 sampai 1.58% dengan
indeks sentromer 34.45 sampai 25.84% dan rasio lengan berkisar antara 2.93
sampai 1.98%. Autosom sub metasentrik mencakup pasangan kromosom 3
sampai 8.
Autosom sub telosentrik memiliki panjang lengan pendek (p) yaitu 1.00
sampai 0.38% dan panjang lengan panjang (q) berkisar antara 3.91 sampai 1.49%.
Panjang total kromosom mencapai 4.91 sampai 1.87%. Indeks sentromer berkisar
antara 24.60 sampai 18.06% dengan rasio lengan 4.56 sampai 3.13%. Autosom
telosentrik hanya memiliki panjang lengan panjang (q) dan panjang total
kromosom dengan kisaran 2.63 sampai 1.16%. Kedua kromosom kelamin X
memliki panjang lengan pendek (p) masing-masing 1.67% dan 1.59%, sementara
panjang lengan panjangnya (q) yaitu 2.38% dan 2.00%. Indeks sentromernya
mencapai 41.29% dan 44.23% dengan rasio lengan 1.43% dan 1.27%.
45

Gambar 24 Kariotipe T. suhaniahae betina MZB 37355 perbesaran 1000 kali;


Skala bar 3.16 µm

Gambar 25 Kromosom T. suhaniahae MZB 37355 yang muncul pada preparat;


Perbesaran 1000 kali; Skala bar 3.16 µm
46

Tabel 15 Pengukuran dan tipe kromosom T. suhaniahae betina MZB 37355


Pasangan Panjang Relatif (%) Total CI AR
Morfologi
Kromosom p Min Maks q Min Maks (%) (%) (%)
a 1.30±0.17 1.03 1.49 2.18±0.16 1.98 2.38 3.48 37.42 1.70 M
1
b 1.28±0.12 1.15 1.43 2.02±0.18 1.81 2.23 3.30 38.80 1.57 M
a 1.27±0.08 1.19 1.40 1.70±0.22 1.38 1.92 2.97 42.82 1.34 M
2
b 1.24±0.09 1.13 1.33 1.56±0.11 1.42 1.68 2.80 44.25 1.27 M
a 1.04±0.15 0.80 1.16 2.14±0.07 2.05 2.21 3.18 32.58 2.10 SM
3
b 0.88±0.15 0.71 1.04 2.16±0.10 2.02 2.28 3.04 28.97 2.52 SM
a 0.86±0.05 0.78 0.91 2.12±0.15 1.91 2.25 2.98 28.77 2.48 SM
4
b 0.82±0.08 0.69 0.88 2.10±0.09 1.99 2.20 2.91 28.04 2.59 SM
a 0.86±0.18 0.62 1.07 1.88±0.30 1.51 2.24 2.75 31.47 2.31 SM
5
b 0.70±0.08 0.61 0.83 2.02±0.06 1.96 2.11 2.71 25.65 2.92 SM
a 0.81±0.14 0.67 1.00 1.72±0.13 1.60 1.87 2.54  2.18 SM
6
b 0.68±0.08 0.59 0.78 1.49±0.09 1.38 1.59 2.17 31.37 2.20 SM
a 0.68±0.10 0.60 0.85 1.46±0.10 1.29 1.55 2.14 31.84 2.18 SM
7
b 0.66±0.12 0.56 0.83 1.26±0.19 0.94 1.40 1.92 34.45 1.98 SM
a 0.49±0.06 0.41 0.56 1.41±0.09 1.34 1.55 1.90 25.84 2.93 SM
8
b 0.45±0.05 0.39 0.50 1.13±0.01 1.12 1.15 1.58 28.73 2.53 SM
a 1.00±0.11 0.88 1.17 3.91±0.15 3.78 4.08 4.91 20.30 3.97 ST
9
b 0.73±0.05 0.67 0.78 3.29±0.16 3.13 3.51 4.02 18.06 4.56 ST
a 0.93±0.12 0.74 1.03 2.84±0.19 2.62 3.00 3.77 24.60 3.13 ST
10
b 0.74±0.08 0.62 0.83 2.78±0.13 2.65 2.97 3.52 21.02 3.80 ST
a 0.82±0.16 0.58 1.02 2.52±0.11 2.40 2.61 3.34 24.43 3.20 ST
11
b 0.62±0.09 0.49 0.73 2.23±0.20 1.95 2.44 2.85 21.72 3.69 ST
a 0.61±0.06 0.54 0.68 2.10±0.08 1.97 2.19 2.71 22.47 3.47 ST
12
b 0.38±0.06 0.33 0.48 1.49±0.05 1.44 1.55 1.87 20.49 3.94 ST
a 0.00 0.00 0.00 2.63±0.06 2.55 2.71 2.63 0.00 α T
13
b 0.00 0.00 0.00 2.58±0.13 2.43 2.78 2.58 0.00 α T
a 0.00 0.00 0.00 2.37±0.05 2.32 2.43 2.37 0.00 α T
14
b 0.00 0.00 0.00 2.26±0.07 2.17 2.37 2.26 0.00 α T
a 0.00 0.00 0.00 2.15±0.15 1.95 2.38 2.15 0.00 α T
15
b 0.00 0.00 0.00 2.13±0.12 2.02 2.29 2.13 0.00 α T
a 0.00 0.00 0.00 1.10±0.11 1.88 2.16 1.10 0.00 α T
16
b 0.00 0.00 0.00 1.56±0.03 1.53 1.60 1.56 0.00 α T
a 0.00 0.00 0.00 1.44±0.10 1.36 1.60 1.44 0.00 α T
17
b 0.00 0.00 0.00 1.42±0.09 1.34 1.55 1.42 0.00 α T
a 0.00 0.00 0.00 1.30±0.06 1.24 1.38 1.30 0.00 α T
18
b 0.00 0.00 0.00 1.16±0.14 0.95 1.34 1.16 0.00 α T
X 1.67±0.12 1.55 1.84 2.38±0.12 2.17 2.46 4.05 41.29 1.43 M
X 1.59±0.09 1.46 1.67 2.00±0.16 1.84 2.24 3.59 44.23 1.27 M
p: panjang lengan pendek; q: panjang lengan panjang; CI: indeks sentromer; AR: rasio lengan;a,b:
pasangan kromosom; M : Metasentrik; SM: Sub Metasentrik; ST: Sub Telosentrik;T: Telosentrik
47

Thoopterus nigrescens (Gray, 1870)

Jumlah kromosom T. nigrescens yaitu 2n = 38. Jumlah kromosom sama


dengan T. suhaniahae. FN, Fna dan tipe kromosom tidak diketahui karena hanya
satu individu yang didapat untuk analisis kariotipe yaitu betina dewasa MZB
37315 dan preparat yang dihasilkan tidak menunjukkan hasil yang optimal. Data
kariotipe T. nigrescens belum terpublikasi sebelumnya.

Dobsonia viridis (Heude, 1897)

Jumlah kromosom D. viridis yaitu 2n = 36. FN, Fna dan tipe kromosom
tidak diketahui. Berdasarkan dua individu MZB 37311 dan MZB 37312 yang
didapat untuk analisis kariotipe, keduanya menunjukkan hasil preparat yang
kurang baik.
48

4 PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi dan Pengukuran Morfologi Luar Tikus (Muridae) dan


Kelelawar (Pteropodidae)

Spesimen Tikus (Muridae)

Kebanyakan spesimen tikus lebih banyak didapatkan di perkebunan warga.


Kitchener et al. (1987) menunjukkan keanekaragaman spesies Rodentia
dipengaruhi oleh tipe habitat dan vegetasi. Populasi tikus dipengaruhi
ketersediaan makanan seperti buah dan biji (Chauhan 2002). Hal ini sesuai dengan
karakter perkebunan yang banyak terdapat buah. Selain di perkebunan, R.
hoffmanni juga ditemukan di hutan pinus. R. hoffmanni merupakan spesies tikus
yang dapat menyebar luas di berbagai tipe hutan (Musser 1991). Lebih lanjut,
spesies ini ditemukan menyebar di semua tipe habitat di TN Lore Lindu dengan
ketinggian 900 - 1200 m (Maryanto et al. 2009). Maryanto et al. (2009) juga
menjelaskan B. chrysocomus dan Paruromys lebih menyukai hutan pegunungan
bawah (lowland forest), dan ditemukan pada ketinggian 600 sampai 1800 m dpl.
Pada penelitian ini kedua spesies tersebut ditemukan pada ketinggian 2000 mdpl.
Genus Paruromys memiliki karakter morfologi luar yang relatif lebih
besar dibandingkan genus Rattus, Taeromys dan Bunomys. Ukuran tubuh
Paruromys berkisar antara 220 sampai 260 mm (Rattus = 140 sampai 250 mm;
Taeromys = 180 sampai 250 mm dan Bunomys = 145 sampai 200 mm) (Corbet
dan Hill 1992). Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini, Paruromys sp. memiliki
ukuran tubuh yang paling besar diantara spesimen tikus yang lain (HBL = 187.20
mm; Rattus = 89.40 sampai 141.64 mm; Taeromys = 135.05 mm dan Bunomys =
125.80 sampai 141.64 mm).
R. dommermani penelitian ini memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari
R. hoffmanni dan R. exulans (HBL = 141.64 mm, T = 173.98 mm). R. hoffmanni
dan R. exulans memiliki ukuran tubuh masing-masing berkisar antara 140 sampai
210 mm dan 110 sampai 125 mm (Corbet dan Hill 1992). Pada penelitian ini R.
hoffmanni dan R. exulans memiliki kisaran ukuran tubuh yang lebih kecil yaitu
110.41 sampai 180.31 mm dan 89.40 mm. R. hoffmanni penelitian ini memiliki
panjang telapak kaki belakang (HF) yang lebih kecil dari sub spesiesnya R. h
linduensis dari TN Lore Lindu, Sulawesi Tengah (Musser 1971). R. h linduensis
memiliki panjang HF antara 37 sampai 39 mm, 2 mm lebih besar HF R.
hoffmanni.
Hasil pengukuran menunjukkan B. andrewsi memiliki ukuran morfologi
luar yang lebih besar dari B. chrysocomus dan B. heinrichi kecuali pada karakter
panjang ekornya (T). B. andrewsi memiliki ukuran tubuh berkisar antara 155
sampai 175 mm dengan panjang ekor mencapai 85% dari panjang tubuh (Corbet
dan Hill 1992). Ukuran tubuh B. andrewsi hampir sama dengan B. chrysocomus
yang berkisar 147 sampai 173 mm dengan panjang ekor yang sama (85% dari
panjang tubuh) (Corbet dan Hill 1992). B. heinrichi memiliki ekor yang relatif
lebih panjang yaitu 95% dari panjang tubuh (Corbet dan Hill 1992); pada
penelitian panjang ekor 131.80 mm, lebih pendek dibandingkan dengan B.
chrysocomus yang panjang ekor 134.20 mm.
49

T. celebensis pada penelitian ini cenderung memiliki ekor yang


panjangnya dua kali lipat panjang tubuhnya. Ukuran tubuh T. celebensis berkisar
antara 220 sampai 250 mm (penelitian ini 135.05 mm) dengan panjang ekor 255
sampai 305 mm (penelitian ini 201.65 mm) (Corbet dan Hill 1992). Hal tersebut
menunjukkan adanya perbedaan rasio panjang ekor dibandingkan dengan ukuran
tubuh.
Karakter panjang tengkorak terbesar (ONL) dan panjang baris geraham
rahang atas (CLM1-3) Paruromys sp. menunjukkan nilai yang paling besar
diantara spesimen lain. Genus Paruromys memiliki panjang tengkorak terbesar
yang berkisar antara 56 sampai 63 mm dan panjang baris geraham rahang atas
berkisar 9.6 sampai 11.0 mm, lebih besar dibanding genus Taeromys, Bunomys
dan Rattus (Corbet dan Hill 1992). Lebih lanjut, genus Taeromys memiliki ukuran
tengkorak yang mendekati Paruromys (Corbet dan Hill 1992). Hal tersebut sesuai
dengan penelitian ini bahwa Paruromys sp. dapat dibedakan dengan spesimen lain
berdasarkan karakter panjang tengkorak terbesar dan panjang baris geraham
rahang atas. Ukuran tengkorak T. celebensis juga mendekati ukuran Paruromys
sp.
Spesimen antar genus Rattus dan Bunomys juga dapat dibedakan
berdasarkan panjang tengkorak dan panjang baris geraham rahang atas.
Berdasarkan hasil pengukuran R. dommermani berbeda pada ukuran tengkorak
yang lebih besar dibandingkan R. hoffmanni dan R. exulans. B. andrewsi juga
memiliki ukuran tengkorak terbesar dari B. chrysocomus dan B. heinrichi.
Karakter panjang tengkorak terbesar, panjang baris geraham rahang atas dapat
digunakan untuk membedakan genus (Corbet dan Hill 1992). Lebih lanjut
karakter lebar lempeng zigomatik (BZP) dapat digunakan untuk mengidentifikasi
spesies dalam genus Rattus (Suyanto 2006). Pada penelitian ini nilai BZP R.
dommermani dengan R. hoffmanni tidak terlalu berbeda dengan selang nilai
sekitar 0.6 mm namun keduanya berbeda 3 sampai 4 mm dengan R. exulans. R.
hoffmanni penelitian ini memiliki panjang postpalatal (PPL) yang lebih kecil dari
sub spesies R. h linduensis yang berkisar antara 16 sampai 24 mm (HF R.
hoffmanni = 12.93 mm).

Spesimen Kelelawar (Pteropodidae)

Spesimen kelelawar juga lebih banyak didapat di perkebunan. Kelimpahan


kelelawar dipengaruhi oleh tipe habitat dan ketersediaan makanan (pohon buah);
Sementara keanekaragaman pohon buah menurun seiring bertambahnya
ketinggian habitat (Whitmore 1984; Maryanto et al. 2011). Perkebunan warga
memiliki pohon buah yang lebih beragam dibandingkan habitat yang lain pada
penelitian ini. Maryanto et al. (2011) menemukan B. bidens dan T. nigrescens
pada kisaran ketinggian 1800 sampai 2100 m dpl (habitat hutan pengunungan
atas) dan S. wallacei pada 600 sampai 1800 m dpl (habitat hutan pegunungan
bawah) TN Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Pada penelitian ini B. bidens dan T.
nigrescens ditemukan pada ketinggian 1400 m dpl. Hal ini dikarenakan kedua
spesies tersebut merupakan spesies euritopik, yaitu spesies yang memiliki
toleransi tinggi untuk hidup di daerah penyebaran geografik yang luas (Maryanto
et al. 2011).
50

T. suhaniahae penelitian ini ditemukan di perkebunan dan hutan pinus.


Spesies ini secara umum dapat ditemukan pada ketinggian 600 sampai 1000 m dpl
di Sulawesi Tengah dan 1930 m dpl di TN Lore Lindu, namun ada yang
ditemukan pada ketinggian 60 m dpl di pulau Wowoni, Sulawesi Tenggara
(Maryanto et al. 2012). Hal tersebut sesuai dengan ketinggian perkebunan dan
hutan pinus yang berkisar antara 1400 sampai 1500 m dpl. T. suhaniahae
merupakan spesies euritopik seperti T. nigrescens sehingga T. suhaniahae juga
ditemukan satu habitat dengan T. nigrescens, yaitu perkebunan.
Genus Boneia terkait erat dengan genus Rousettus yaitu memiliki
kemiripan yang mencolok secara morfologi luar (Bergmans dan Rozendaal 1988).
B. bidens awalnya diklasifikasikan sebagai R. bidens. Perbedaan morfologi luar
Boneia dengan Rousettus terdapat pada panjang lengan atas (FA). Boneia
memiliki panjang lengan atas lebih dari 90 mm sedangkan Rousettus memiliki
panjang lengan atas kurang dari 90 mm (Corbet dan Hill 1992). Berdasarkan hasil
penelitian ini rata-rata panjang lengan atas B. bidens jantan mencapai 100.90 mm
(n = 3). Andersen (1912) menjelaskan Boneia jantan hanya memiliki panjang
lengan atas berkisar antara 95 sampai 95.5 mm, yang dapat memanjang hingga
94.3 sampai 103.5 (n = 5, mean 97.9).
Hasil pengukuran menunjukkan rata-rata ukuran tubuh B. bidens relatif
lebih besar daripada spesimen yang lain. Hal tersebut ditunjukkan dengan panjang
kepala dan badan (HBL) yang mencapai 122.36 mm. Boneia memiliki ukuran
tubuh yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan spesies simpatrik
Rousettus amplexicaudatus dan Rousettus celebensis (Bergmans dan Rozendaal
1988). Ukuran tengkorak terbesar (GSL) dan lebar zigomatik (ZB) B. bidens pada
penelitian ini yaitu 46.77 dan 26.77. Hasil ini sesuai dengan spesimen B. bidens
Bergmans dan Rozendaal (1988) yang memiliki nilai GSL antara 43.9 sampai
46.3 mm (n = 5) dan nilai ZB antara 25.3 sampai 27.8 mm (n = 5).
T. suhaniahae merupakan spesies kelelawar baru dari genus Thoopterus.
Spesies ini merupakan spesies simpatrik dengan T. nigrescens yang tersebar di
Sulawesi, Talaud dan pulau Wowoni. T. suhaniahae memiliki karakter morfologi
luar dan tengkorak yang lebih lebar yaitu pada bagian digit pertama phalange
keempat, tulang zigomatik dan palatal jika dibandingkan T. nigrescens (Maryanto
et al. 2012).
Berdasarkan hasil pengukuran T. suhaniahae memiliki perbedaan ukuran
tubuh, lengan atas dan panjang digit metacarpal kedua yang mencolok dengan T.
nigrescens. Ukuran tubuh T. suhaniahae rata-rata 96.85 mm dengan lengan atas
74.21 mm (n = 8). Penelitian Maryanto et al. (2012) menunjukkan ukuran T.
suhaniahae rata-rata 94.91 mm dengan panjang lengan atas 76.44 mm (n = 14).
Apabila dibanding dengan spesimen penelitian ini, terdapat selang nilai 1.94 dan
2.23 untuk karakter ukuran dan panjang lengan atas spesimen Maryanto et al.
(2012).
T. nigrescens penelitian ini memiliki ukuran tubuh 98.63 mm dengan
lengan atas 72.32 mm (n = 1). Spesimen tersebut lebih besar dari spesimen
Maryanto et al. (2012) yang ukuran tubuh berkisar antara 78.98 sampai 97.76 mm
(n = 31); tetapi panjang lengan atas relatif sama (n = 31). T. nigrescens memiliki
panjang metacarpal ketiga sampai metacarpal empat phalange pertama yang
lebih pendek dari T. suhaniahae (Maryanto et al. 2012). Penelitian ini
51

menunjukkan perbedaan terlihat mulai panjang digit metacarpal kedua sampai


metacarpal empat phalange pertama.
T. suhaniahae memiliki ukuran GSL, POW, ZB dan PL yang lebih besar
dibandingkan T. nigrescens pada penelitian ini dengan selang nilai masing-masing
mencapai 0.87, 0.7, 2.14 dan 2.01. Selang nilai terbesar yaitu pada karakter ZB
dan PL. Karakter ZB merupakan salah satu karakter penting untuk
mengidentifikasi spesies kelalawar (Suyanto 2002).
S. wallacei pada penelitian ini memiliki ukuran tubuh yang relatif paling
besar diantara spesimen yang lain (ditandai dengan HBL = 145.22 mm) dengan
panjang lengan atas 94.55 mm. Bergmans dan Rozendaal (1988) menjelaskan
lengan atas S. wallacei jantan berkisar antara 96.3 sampai 103.2 mm (n = 8), 2
mm lebih besar dari spesimen penelitian ini. D. viridis merupakan spesies
Dobsonia yang tersebar di Sulawesi dan Maluku (Corbet dan Hill 1992). D. viridis
memiliki rata-rata ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan spesies Dobsonia
yang lain (Bergmans dan Rozendaal 1988). Ukuran tubuh D. viridis penelitian ini
rata-rata yaitu 139.59 mm dengan lengan atas 118.04 mm. Lengan atas relatif
lebih panjang dibandingkan dengan D. exoleta (114.00 mm) dan hampir sama
dengan D. crenulata ( 113.5 sampai 125.4 mm) yang ditemukan di TN Dumoga
Bone, Sulawesi Utara (Bergmans dan Rozendaal 1988).
Panjang gigi taring ke geraham (C¹-M³) S. wallacei memiliki ukuran yang
mendekati D. viridis, namun relatif lebih kecil dengan selang nilai 0.95 mm.
Ukuran GSL dan C¹-M³ D. viridis pada penelitian ini cenderung mendekati
ukuran spesimen S. wallacei Bergmans dan Rozendaal (1988) dengan selang nilai
masing-masing 0.2 mm, D. viridis memiliki ukuran yang lebih besar.

4.2 Analisis Kariotipe Laboratorium

4.2.1 Kariotipe Mencit (Mus musculus Linnaeus, 1758)

Kromosom M. musculus dengan jumlah 2n = 40 dan tipe kromosom


telosentrik telah banyak dipelajari (Committee on Standardized Genetic
Nomenclature for Mice 1971; Todehdehghan et al. 2011; O’Brien et al. 2006;
Harada dan Kobayashi 1980). Beberapa spesies Mus ada yang memiliki jumlah
yang sama dan berbeda. M. macedonicus memiliki jumlah diploid yang sama
dengan M. musculus yaitu 2n = 40; sementara itu M. mahomet memiliki 2n = 36
(O’Brien et al. 2006). Apabila M. musculus dibandingkan dengan M. mahomet
maka telah terjadi penambahan kromosom sebanyak 2 pasang.

4.2.2 Perbedaan Inhibitasi Mitosis Mencit dengan Kolkisin 0.005% selama 2


Jam dan 3 Jam

Injeksi kolkisin 0.005% dengan waktu inhibitasi mitosis 2 jam


memberikan tampilan kromosom yang lebih optimal dibandingkan waktu 3 jam.
Hasil menunjukkan dua jenis tampilan warna kromosom yaitu magenta dan ungu.
Warna magenta sampai ungu gelap merupakan karakter warna kromosom rodentia
dengan teknik pewarnaan Giemsa, sedangkan kromosom mamalia lain seperti
manusia berwarna ungu pucat (Gersen dan Keagle 2005).
52

Brues dan Cohen (1936) menjelaskan injeksi kolkisin pada tikus lebih dari
8 jam akan menyebabkan kematian, sedangkan waktu optimal yang digunakan
yaitu 2 jam. Hal ini terjadi karena kolkisin merupakan zat yang bersifat toksik
terhadap organisme sehingga penggunaannya harus diperhatikan. Baker et al.
(2003) menjelaskan rodentia, kelelawar phyllostomid, shrew dan spesies yang
memiliki temperatur tubuh yang stabil membutuhkan waktu injeksi kolkisin yang
paling baik antara 45 menit sampai satu jam. Sedangkan waktu 30 menit sampai 2
jam tetap diperbolehkan.
Kromosom hasil perlakuan kolkisin 0.05% selama 2 jam cenderung
mengumpul dan beberapa terlihat tumpang tindih. Hal tersebut disebabkan proses
sentrifugasi dan pergantian larutan fiksatif Carnoy yang sedikit. Baker et al.
(2003) menjelaskan agar kromosom dapat menyebar dan tidak saling tumpang
tindih perlu dilakukan sentrifugasi sebanyak 2 sampai 3 kali dengan pergantian
larutan fiksatif.

4.2.3 Kualitas Kromosom Sumsum Tulang Mencit pada Preservasi PBS


selama 2, 4, 6, 8, 12 dan 15 hari

Keseluruhan kromosom yang berasal dari sumsum tulang pada preservasi


PBS selama 2 sampai 15 hari tidak menunjukkan hasil yang optimal. Kromosom
yang didapat cenderung mengalami degradasi. Perlakuan 2 hari menunjukkan
hasil yang relatif lebih baik dari perlakuan 4 sampai 15 hari, sehingga batas waktu
preservasi yang lebih baik yaitu 4 hari. PBS merupakan larutan garam tak beracun
yang mengandung sodium klorida, sodium fosfat dan pottasium fosfat. Fungsi
PBS yaitu menyeimbangkan konsentrasi garam di sekitar sel, sehingga mencegah
terjadinya osmosis dan pecahnya sel (Martin et. al 2001; Martin et. al 2003). PBS
dan larutan bufer lainnya secara rutin digunakan untuk pencucian sel,
immunohistochemistry dan teknik seluler lainnya.
Martin et. al (2006) menggunakan PBS sebagai pengganti air dalam
ekstraksi spermatozoa dan sel-sel apusan dengan membandingkan penampilan dan
jumlah sel utuhnya dengan ekstraksi air. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
PBS tidak memiliki efek yang merugikan pada profil DNA; dilihat dari tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam jumlah sel spermatozoa yang utuh dari usap
vagina atau usap sperma sampel ketika diekstraksi menggunakan PBS atau air.
Oleh karena itu, PBS seharusnya dapat digunakan untuk preservasi kromosom.
Penelitian Martin et. al (2006) juga menunjukkan terdapat sedikit
peningkatan jumlah sel utuh spermatozoa saat diekstraksi dengan PBS, meskipun
tidak signifikan. Hasil penelitian ini menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu
penurunan jumlah kromosom utuh yang relatif signifikan (jumlah kromosom
terdegradasi lebih banyak). Respon sel yang mengalami diferensiasi seperti sel
spermatozoa dan sel yang membelah (didalamnya terdapat kromosom) terhadap
PBS kemungkinan berbeda, karena proses fisiologis antar keduanya juga berbeda.
53

4.2.4 Kualitas Kromosom Suspensi Sel Sumsum Tulang Mencit pada


Preservasi Carnoy 2 hari (48 jam) dan 4 hari (96 jam)

Perlakuan preservasi Carnoy selama 2 dan 4 hari menunjukkan tren


kualitas kromosom yang berbeda dengan preservasi PBS. Kromosom tetap
menunjukkan hasil yang baik sampai pada preservasi 4 hari (96 Jam). Larutan
Carnoy merupakan fiksasi inti (nukleus) dengan komponen yang berupa metanol
dan asam asetat; metanol dan asam asetat dapat berinteraksi dengan melakukan
pembentukan ikatan hidrogen dalam jaringan. Senyawa asosiasi tersebut
menstabilkan struktur jaringan dan mencegah atau meminimalkan penyusutan
(Puchtler et al. 1968). Metanol menyebabkan runtuhnya struktur protein, sehingga
waktu pemakaian harus dibatasi sampai 8 jam atau kurang. Larutan fiksatif
Carnoy merupakan fiksasi yang tepat untuk studi protein berserat (termasuk
kromosom) dan karbohidrat yang terkait dengan teknik pewarnaan (Puchtler et al.
1968).
Berdasarkan hasil penelitian preservasi Carnoy selama 2 dan 4 hari,
penggunaan preservasi suspensi sel sumsum tulang dengan larutan fiksatif Carnoy
dapat digunakan hingga 96 jam (ditandai dengan hasil yang optimal). Hal tersebut
memungkinkan suspensi yang telah dibuat di lapang dapat dianalisis kembali di
kondisi laboratorium. Jangka waktu tersebut merupakan jangka waktu maksimal
yang peneliti sarankan.

4.3 Analisis Kariotipe Lapang

4.3.1 Kariotipe Tikus (Muridae)

R. hoffmanni merupakan Rattus endemik Sulawesi yang bersinonim


dengan R. tatei. R. hoffmanni memiliki subspesies yaitu R.h linduensis, subditivus,
mengkoka, palelae dan mollicomus (Laurie dan Hill 1954). Peneliti kesulitan
untuk mengidentifikasi kromosom kelamin R. hoffmanni. Peneliti menduga bahwa
pasangan kromosom 13 merupakan kromosom kelamin dilihat dari bentuk
kromosom.
Berdasarkan Atlas of Mammalian Chromosomes, beberapa spesies genus
Rattus memiliki jumlah kromosom 2n berkisar antara 38 sampai 46. R. rattus
memiliki jumlah 2n= 38, R. norvegicus 2n = 42, R. flavipectus 2n = 46 dan R.
nitidus 2n = 42 (O’Brien et al. 2006; Li et al. 2008). Apabila status R. hoffmanni
dibandingkan dengan R. rattus dan R. norvegicus maka terjadi penambahan
kromosom masing masing 6 dan 2 kromosom atau sama dengan tiga dan dua
pasang. Tipe kromosom Rattus cenderung banyak memiliki tipe telosentrik
(O’Brien et al. 2006). Hal tersebut juga berlaku untuk R. hoffmanni yang tipe
kromosom telosentrik paling banyak yaitu 13 pasang.
R. hoffmanni awalnya merupakan M. hoffmanni Matschie, 1901 (Corbet
dan Hill 1992); apabila kromosom R. hoffmanni (2n = 44) dibandingkan dengan
M. musculus (2n = 40) maka terjadi penambahan kromosom sebanyak 2 pasang.
Bentuk telosentrik diduga menjadi karakter kromosom dari genus Rattus dan Mus
(sub famili Murinae). Berbeda dengan kromosom sub spesiesnya yaitu R.h
linduensis (2n = 42, FN = 58) dari Sulawesi (Duncan 1976), R. hoffmanni pada
penelitian ini mengalami penambahan satu pasang kromosom. Perbedaan tersebut
54

diduga akibat translokasi Robertsonian yang juga terjadi pada M. musculus


domesticus dari Italia (Capanna dan Castiglia 2004) dan beberapa genus Muridae
seperti Phloeomys, Batomys, Chrotomys, Rhynchomys, Apomys (Rickart dan
Musser 1993). Sementara kelelawar M. niphanae dari Thailand dan semenanjung
Malaysia (Hood et al. 1988; Yong 1984; Harada et al. 1982) juga menunjukkan
hal yang sama.

4.3.2 Kariotipe Kelelawar (Pteropodidae)

Jumlah kromosom B. bidens (2n = 30) menunjukkan B. bidens memiliki


perbedaan jumlah kromosom sebanyak tiga pasang kromosom dengan spesies
Rousettus yang merupakan genus terdekatnya. Berdasarkan Atlas of Mammalian
Chromosomes, beberapa spesies Rousettus seperti R. aegyptiacus, R. leschenaulti,
R. lanosus dan R. angolensis memiliki jumlah 2n = 36 (O’brien et al. 2006). Tipe
kromosom B. bidens menunjukkan bentuk yang sama dengan autosom maupun
kromosom kelamin spesies Rousettus yaitu metasentrik, sub metasentrik dan
telosentrik. Bentuk kromosom kelamin XY B. bidens memiliki kesamaan dengan
kromosom kelamin XY pada R. lanosus (kromosom X sub metasenrik dan Y
telosentrik).
Kromosom tambahan yang ada pada B. bidens diduga merupakan
supernumery chromosome atau kromosom B yang terdapat pada Rattus rattus
(Black Rats) (Harada dan Kobayashi 1980). Tidak menutup kemungkinan hal
tersebut disebabkan aberasi kromosom yang berupa chromatid break yaitu
fragmen yang terpisah dan tanpa asal usul yang jelas (Bakare et al. 2011).
Kromosom tambahan pada kelelawar juga terjadi pada D. praedatrix (Haiduk
1983).
Rousettus dianggap sebagai kondisi primitif famili Pteropodidae
(Andersen 1921). Haiduk (1983) telah menyusun pohon evolusi kariotipe
Pteropodidae berdasarkan struktur daerah pita (band). Pteropus dan Dobsonia
saling berbagi penambahan kromosom pada pasangan kromosom 18. Dobsonia
kehilangan pita (band) ke-4 dari Rousettus sebagai pusat pohon, sedangkan
kehilangan Pteropus kehilangan pita (band) ke-6. Penelitian ini tidak
menghasilkan struktur pita (band) yang jelas sehingga analisis bands tidak dapat
dilakukan.
Jumlah sel diploid T. suhaniahae dan T. nigrescens yaitu 2n = 38. Hal
tersebut menunjukkan tidak terjadi perubahan kromosom antar spesies dalam satu
genus. Jumlah kromosom yang sama antar spesies dalam satu genus juga banyak
terjadi pada genus Rousettus (R. aegyptiacus, R. leschenaulti, R. lanosus, R.
angolensis; 2n = 36) dan Pteropus (P. rodricensis, P.giganteus, P.vampyrus;
2n=38) (O’brien et al. 2006; Harada dan Kobayashi 1980). Hasil kromosom T.
nigrescens yang kurang optimal menyebabkan bentuk kromosomnya tidak
terindentifikasi, apakah sama atau berbeda dengan T. suhaniahae.
Matschie (1899) pertama kali mengajukan status genus Thoopterus
merupakan subgenus dari Cynopterus. Andersen (1912) menjelaskan genus
Thoopterus sebagai genus monotipik valid dari Cynopterus didasarkan beberapa
kriteria pengukuran morfologi. Penelitian kromosom C. brachyotis di Sabah,
Malaysia Timur memiliki jumlah kromosom 2n = 34. Kromosom tersebut terdiri
dari 12 pasangan kromosom metasentrik dan sub metasentrik, dua pasang sub
55

telosentrik dan tiga pasang akrosentrik (Harada dan Kobayashi 1980).


Berdasarkan penelitian Harada dan Kobayashi (1980), kromosom T. suhaniahae
dan T. nigrescens sebagai genus monotipik Cynopterus, berbeda dua pasang
kromosom. Berdasarkan tipe kromosom, T. suhaniahae menunjukkan kesamaan
tipe yaitu metasentrik, sub metasentrik dan sub telosentrik tetapi dengan jumlah
pasangan kromosom yang berbeda.
Kromosom beberapa spesies Dobsonia telah diteliti seperti Dobsonia
praedatrix yang memiliki 2n = 38, FN = 66 dan Dobsonia molluccensis dari New
Guinea yang memiliki 2n = 38, FN = 68 dengan kromosom X identik dengan
Rousettus (Haiduk 1983). Berdasarkan hasil penelitian jumlah kromosom D.
viridis (2n = 36) menunjukkan D. viridis berbeda satu pasang kromosom dari D.
praedatrix dan D. molluccensis. Tipe kromosom D. praedatrix kebanyakan adalah
metasentrik dan sub metasentrik (Haiduk 1983); sedangkan tipe kromosom D.
viridis tidak dapat ditentukan pada penelitian ini.
Kebanyakan Pteropodidae menunjukkan kecenderungan (trend) jumlah
diploid sebanyak 34, 36 dan 38 (Haiduk et al. 1980); Namun, beberapa spesies
seperti M. niphanae dan Balionycteris memiliki jumlah diploid berkisar antara 24
sampai 28 (Hood et al. 1988). Berdasarkan penelitian ini, B. bidens tidak berada
dalam trend tersebut; Sedangkan T. suhaniahae, T. nigriscens dan D. viridis
masuk dalam trend tersebut.
Perbedaan jumlah kromosom yang terjadi pada spesimen penelitian ini
diduga karena adanya beberapa faktor. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
penambahan dan pengurangan jumlah kromosom meliputi translokasi
Robertsonian, tendem fusion, periantric inversion, heterocromatin change dan
supernumeries (Gibson 1984; Zima 2000). B. bidens pada penelitian ini memiliki
jumlah kromosom yang berbeda dengan Rousettus diduga akibat faktor
supernumeries yang ditunjukkan dengan adanya kromosom tambahan. Sementara
itu, perbedaan komosom T. suhaniahae dan T. nigrescens dengan Cynopterus dan
D. viridis dengan beberapa spesies Dobsonia yang lain masih belum diketahui
penyebabnya.
Studi komparatif jumlah, panjang relatif dan struktur yang terdapat pada
kromosom dapat digunakan untuk mengkaji hubungan taksonomi antar spesies
mamalia (Feldhamer et al. 1999). Pada penelitian ini status taksonomi masing-
masing spesimen tikus dan kelelawar telah jelas, yang berarti spesimen tersebut
merupakan spesies yang berbeda berdasarkan morfologi dan kromosom. R.
hoffmanni berbeda dengan sub spesiesnya yaitu R.h linduensis. B. bidens telah
jelas berbeda dengan Rousettus berdasarkan morfologi dan kariotipe, T.
suhaniahae dan T. nigrescens telah berbeda dengan Cynopterus dan D. viridis
berbeda secara morfologi dan kariotipe dengan spesies satu genusnya.
Tikus dan kelelawar pemakan buah telah mengalami evolusi morfologi
luar dan tengkorak yang berbeda. Karakter morfologi luar dan tengkorak primif
(basal) mamalia yaitu insektivora darat (Feldhamer et al. 1999). Lebih lanjut,
tikus mengalami evolusi menjadi omnivora terestrial dan kelelawar menjadi
frugivora aerial. Evolusi kromosom tikus dan kelelawar dari insectivora masih
belum diketahui secara pasti (Zima 2000). Penelitian ini menunjukkan tikus dan
kelelawar memiliki jumlah dan tipe kromosom yang berbeda. Namun, terlihat
adanya trend tipe kromosom. Jumlah kromosom telosentrik tikus cenderung lebih
56

banyak dibandingkan kelelawar. Sebaliknya, jumlah kromosom metasentrik hanya


terdapat di kelelawar.
Shrew yang merupakan insektvora, memiliki kariotipe nenek moyang
(ancestral karyotype) dengan tipe akrosentrik dan autosom yang tidak mengalami
penggabungan (unfused autosome) (Zima 2000). Rickart dan Musser (1993)
menduga tipe telosentrik merupakan tipe kromosom primitif (basal) dari spesies
tikus. Hal tersebut ditunjukkan dengan kariotipe yang mirip antar spesies Muridae
Australia, Indocina dan semenanjung India. Berdasarkan temuan trend tipe
kromosom penelitian ini, peneliti menduga kromosom telosentrik pada tikus telah
mengalami pengurangan jumlah kromosom dikarenakan beberapa faktor seperti
translokasi Robertsonian, tendem fusion dan supernumeries yang sering terjadi
pada spesies tikus. Translokasi Robertsonian akan menghasilkan kromosom
metasentrik dan mengurangi jumlah kromosom. Hal ini ditunjukkan trend jumlah
kromosom kelelawar Pteropodidae yang lebih sedikit dibandingkan tikus. Lebih
lanjut, populasi dengan jumlah kromosom yang lebih besar dianggap lebih
primitif dibandingkan populasi dengan jumlah kromosom yang lebih kecil (Zima
2000).

4.4 Perbandingan Teknik Kariotipe Lapang dan Laboratorium

Hasil analisis kariotipe laboratorium dengan spesimen mencit


menunjukkan hasil yang lebih optimal daripada analisis lapang. Teknik kariotipe
merupakan teknik yang rentan terhadap kondisi lingkungan dan waktu. Hasil
preparat kromosom spesimen lapang yang kebanyakan tidak menunjukkan hasil
yang optimal diduga karena suhu lingkungan yang rendah (mencapai 10 °C). Suhu
rendah berpengaruh pada tahap larutan hipotonis. Baker et al. (2003) menjelaskan
proses perlakuan larutan hipotonis merupakan tahap yang kritis. Sumsum tulang
pada saat perendaman pada larutan hipotonis harus mendekati suhu tubuh manusia
(sekitar 37 °C). Oleh karena itu, peneliti melakukan hal yang sama seperti metode
Baker et al. (2003) yaitu meletakkan larutan tersebut dekat ke tubuh peneliti,
tetapi masih tidak mampu menghasilkan tampilan kromosom yang baik. Kondisi
laboratorium terutama suhu dapat secara mudah diatur daripada lapang.

5 SIMPULAN

Delapan spesies (24 individu) tikus dan lima spesies (15 individu)
kelelawar telah diuji untuk analisis kariotipe di lapang dan satu spesies (10
individu) mencit untuk kariotipe di laboratorium. Spesimen tikus dan kelelawar
masing-masing memiliki perbedaan ukuran tubuh dan karakter morfologi luar.
Satu spesies tikus menunjukkan hasil kariotipe yang paling baik yaitu R.
hoffmanni betina (2n= 44, FN = 61, FNa = 59, bentuk kromosom X telosentrik).
M. musculus memiliki 2n=40, FN=40, FNa=38 dan bentuk keseluruhan
kromosom telosentrik. Dua spesies kelelawar menunjukkan hasil kariotipe yang
paling baik yaitu B. bidens jantan (2n = 30, FN = 53, FNa = 50, bentuk kromosom
X sub metasentrik dan Y telosentrik) dan T. suhaniahae betina (2n = 38, FN = 64,
FNa = 60, bentuk kromosom X metasentrik). T. nigriscens memiliki 2n=38 dan D.
viridis 2n=34.
57

Injeksi kolkisin 0.005% dengan waktu inhibitasi mitosis 2 jam dapat


menghasilkan tampilan kromosom yang optimal. Kromosom sumsum tulang pada
preservasi PBS selama 2 sampai 15 hari menunjukkan tren kualitas kromosom
yang terdegradasi. Preservasi PBS selama 2 hari menunjukkan hasil yang lebih
optimal. Preservasi stok suspensi sel pada larutan Carnoy 4 hari (96 jam)
menunjukkan hasil yang optimal dibandingkan preservasi 2 hari (48 jam).
Analisis kariotipe di laboratorium menunjukkan hasil kromosom yang lebih
optimal dibandingkan analisis kariotipe di lapang.

6 SARAN
Saran penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
menggunakan jaringan paru, ekor atau darah, jumlah sampel yang lebih banyak
dan metode pewarnaan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Abramoff MD, Magelhaes PJ, Ram SJ. 2004. Image Processing with ImageJ.
Biophotonics International. 11:36-42.
Andersen K. 1912. Catalogue of the Chiroptera in the collection of the British
Museum. Vol 1. Megachiroptera. 2nd edition. London (UK): British Museum
(Natural History)
Ando K, Tagawa K, Uchida TA. 1980. A karyotype study on four species of the
Indonesian fruit-eating bats, belonging to Cynopterus, Eonycteris and
Macroglossus (Chiroptera: Pteropidae). Journal of Cytology, Cytosystematics
and Cytogenetics. 33: 41-53.
Anthony ELP. 1988. Age determination in bats. In Ecological and behavioural
methods for the study of bats (Kunz TH ed.). Washington DC (US):
Smithsonian Institution Press.
Bakare AA, Ademeso MM, Adetunji OA, Alabi OA. 2011. Pharmaceutical
effluent induced chromosome aberration in rat bone marrow cells. Archives of
Applied Science Research 3:345-352.
Baker RJ, Biickham JW. 1980. Karyotypic evolution in bats: Evidence of
extensive and conservative chromosomal evolution in closely related taxa.
Systematic Zool 29:239-253.
Baker RJ, Haiduk MW, Robbins LW, Cadena A, Koop BF. 1982. Chromosomal
studies of South American bats and their systematic implications. Special
Publication Pymatuning Laboratory of Ecology. 6: 303–327.
Baker RJ, Patton JL. 1967. Karyotypes and karyotypic variation of North
American vespertilionid bats. Journal of Mammal. 48: 270–86.
Baker RJ, Hamilton M, Parish DA. 2003. Preparations of mammalian karyotypes
underfield conditions. Occasional Papers, Museum of Texas Tech University.
228: i+1-8.
Bergmans W, Rozendaal FG. 1988. Notes on collections of fruit bats from
Sulawesi and some off-lying islands (Mammalia, Megachiroptera).
Zoologische Verhandelingen 248: 1–74.
58

Brues AM, Cohen A. 1936. PMCID: Effects of colchicine and related substances
on cell division. Biochemistry Journal. 30: 1363-1368.
Capanna E, Castiglia R. 2004. Chromosomes and speciation in Mus musculus
domesticus. Cytogenet Genome Res. 105: 375–384.
Chauhan NPS. 2002. Observation of bamboo flowering and associated increases
in rodent populations in the north-eastern region of India in Rats, mice and
people: Rodent biology and management Canberra. Eds. Singleton GR, Hinds
LA, Krebs CJ,Spratt DM. Canberra (AU): ACIAR.
Chaval Y, Waengsothom S, Claude J, Saksiri S, Herbreteau V. 2011. Preparing
rodent specimens for collections in Protocols for Field and Laboratory Rodent
Studies. Eds. Herbreteau V. Jittapalapong S. Rerkamnuaychoke W. Chaval Y.
Cosson JF. Morand S. Bangkok (TH): Kasetsart University Press.
Choi SS, Chan KF, Ng HK, Mak WP. 1999. Colchicine-induced myopathy and
neuropathy. Hong Kong Medical Journal. 5: 204 - 207.
Committee on Standardized Genetic Nomenclature for Mice. 1971. Standard
karyotype of the mouse, Mus musculus. Journal of Heredity. 63:69-72.
Corbet GB, Hill JE. 1992. The Mammals of The Indo-Malayan Region: A
Systematic Review. London (UK): British Museum (Natural History).
Daele V, Dammann P, Meier JL, Kawalika M, Van De Woestijne C, Burda H.
2004. Chromosomal diversity in mole-rats of the genus Cryptomys (Rodentia:
Bathyergidae) from the Zambezian region: with descriptions of new
karyotypes. Journal of Zoology London. 264: 317–326.
Dobigny G, Ducroz JF, Robinson TJ, Volobouev V. 2004. Cytogenetics and
cladistics. Systematic Biology. 53:470-484.
Dobigny G, Xuereb A. 2011. Cytogenetics: karyotyping and tissue sampling for
fibroblast cell culture in Protocols for Field and Laboratory Rodent Studies.
Eds. Herbreteau V, Jittapalapong S, Rerkamnuaychoke W, Chaval Y, Cosson
JF, Morand S. Bangkok (TH): Kasetsart University Press.
Dulbecco R, Vogt M. 1954. Plaque formation and isolation of pure lines with
poliomyelitis viruses. Journal of Experimental Medicine. 99:167-182.
Duncan JF. 1976. Karyotypes of four rats (Rodentia: Muridae) from Sulawesi
(Celebes), Indonesia. Cytologia. 41: 481-486.
Eldridge FE. 1985. Cytognetic of Livestock. USA: Avi Publishing Company Inc.
Westport Connecticut.
Esselstyn JA, Achmadi AA , Rowe. 2012. Evolutionary novelty in a rat with no
molars : A new genus of shrew-rat. Biol. Lett. (doi: 10.1098/rsbl.2012.0574)
Published online.
Feldhamer GA, Drickamer LC, Vessey SH, Merritt JF, Krajewski C. 1999.
Mammalogy: Adaptation, Diversity, Ecology 3rd ed. Boston, Massachusetts
(US): McGraw-Hill Co.
Gersen SL, Keagle BM. 2005. The Principles of Clinical Cytogenetics, 2nd Ed.
Humana Press.
Gibson LJ. 1984. Chromosomal changes in mammalian speciation: A literature
review. Origins 11:67-89.
Haiduk MW. 1983. Evolution in The Family Pteropodidae (Chiroptera:
Megachiroptera) as Indicated by Chromosomal and Immunoelectrophoretic
Analyses. [Dissertation]. Texas (US): Graduate Faculty of Texas Tech
University.
59

Haiduk MW, Robbins LW, Robbins RL, Schlitter DA. 1980. Karyotype studies of
seven species of African megachiropterans (Mammalia: Pteropodidae). Annals
of Carnegie Museum. 49:181-191.
Harada M, Kobayashi T. 1980. Studies on the small mammal fauna of Sabah, East
Malaysia II. Karyological analysis of some Sabahan mammals (Primates,
Rodentia, Chiroptera). Contributions from the Biological Laboratory, Kyoto
University 26: 83–95.
Harada M, Minezawa M, Takada S, Yenbutra S, Nunpakdee P, Othani S. 1982.
Karyological analysis of 12 species of bats from Thailand. Caryologia. 35:269-
278.
Herbreteau V, Chaval Y, Cosson JF, Morand S. 2011. External Identification in
Protocols for Field and Laboratory Rodent Studies. Eds. Herbreteau V,
Jittapalapong S, Rerkamnuaychoke W, Chaval Y, Cosson JF, Morand S.
Bangkok (TH): Kasetsart University Press.
Hodgkison R, Balding ST, Zubaid A, Kunz TH. 2004. Habitat structure. wing
morphology and the vertical stratification of Malaysian fruit bats
(Megachiroptera: Pteropodidae). Journal of Tropical Ecology. 20: 667–673.
Hood CS, Schlitter DA, Georgudaki JI, Yenbutra S, Baker RJ. 1988.
Chromosome studies of bats (Mammalia: Chiroptera) from Thailand. Ann
Carnegie Mus. 55:99-109.
Kitchener DJ, Maharadatunkamsi. 1991. Description of new species of
Cynopterus (Chiroptera: Pteropodidae) from Nusa Tenggara, Indonesia.
West.Aus.Mus. 15: 119-173.
Kitchener DJ, Wang YX, Gradley A, How RA, Dell J. 1987. Small mammals and
habitat disturbance near Kunming, Sout-West China. Indo-Malayan Zoology.
4: 161-186.
Kunz TH, Kurta A. 1988. Capture methods and holding device in Ecological and
behavioural methods in the study of bats. Eds. Kunz TH. Washington DC
(US): Smithsonian Institution Press.
Laurie MO, Hill JE. 1954. List of land mammals of New Guinea, Celebes and
adjacent islands 1758-1952. London (UK): British Museum (Natural History).
Lee MR, Elder FFB. 1980. Yeast stimulation of bone marrow mitosis for
cytogenetic investigations. Cytogenetics and Cell Genetics. 26:36–40.
Levan A. 1938. The effect of colchicine on root mitoses in Allium. Hereditas. 24:
471–486.
Levan A, Fredga K, Sandberg AA. 1964. Nomenclature for centromeric position
on chromosomes. Hereditas. 52: 201–220.
LIPI, Bappenas KLH. 2014. Buku Kekinian Keanekaragaman Hayati. Bogor (ID):
LIPI (in press).
Li Y, Wu Y, Harada M, Lin LK, Motokawa M. 2008. Karyotypes of three rat
species (Mammalia: Rodentia: Muridae) from Hainan Island, China, and the
valid specific status of Niviventer lotipes. Zoological Science. 25: 686-692.
Loganathan E, Anuja MR, Nirmala M. 2012. Automated identification to the
centromere position and the centromer index (CI) of human chromosomes in
G-banded images. International Journal of Advanced Technology &
Engineering Research (IJATER). 2: 2250-3536.
60

Luciani JM, Devictor VM, Stahl A. 1971. Hypotonic KCl: An improved method
of processing human testicular tissue for meiotic chromosomes. Clinical
Genetics. 2: 32–36.
Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morphological Variation of The Three
Species Fruit Bat Genus Megaerops. Treubia. 32: 63-85.
Makino S. 1948. The chromosomes of Dall’s porpoise, Phocoenoides dalli (True),
with remaks on the phylogenetic relation of the Cetacea. Chromosoma. 3: 220-
231.
Manosroi J, Meng-Umphan K, Meevatee, Manosroi A. 2003. Chromosomal
karyotyping from peripheral blood lymphocytes of the Mekong giant catfish
(Pangasianodon gigas, Chevey). Asian Fisheries Science. 241-246.
Martin NC, McGregor AH, Sansom N, Gould S and Harrison DJ. 2001.
Phenobarbitoneinduced ploidy changes in liver occur independently of p53.
Toxicology Letters. 119: 109-115.
Martin NC, McCullough CT, Bush PG, Sharp L, Hall AC and Harrison DJ. 2002.
Functional analysis of mouse hepatocytes differing in DNA content: Volume,
receptor expression, and effect of IFNg. Journal of Cellular Physiology. 191:
138-144.
Martin NC, Pirie AA, Ford LV, Callaghan CL, McTurk K, Lucy D, Scrimger DG.
2006. The use of phosphate buffered saline for the recovery of cells and
spermatozoa from swabs. Science & Justice. 46: 179-184.
Maryanto I, Higashi S. 2011. Comparison of zoogeography among rats. fruit bats
and insectivorous bats on indonesian islands. Treubia. 38 : 33-52.
Maryanto I, Prijono SN, and Yani M. 2009. Distribution of rats at Lore Lindu
National Park, Central Sulawesi, Indonesia. Journal of Tropical Biology and
Conservation. 5: 43 – 52.
Maryanto I, Yani M. 2003. The new species of the Rousettus bat from Lore Lindu
National Park Central Sulawesi, Indonesia. Mammal Study. 28: 111-120.
Maryanto I, Yani M, Nuramaliati PS, Wiantoro S. 2011. Altitudinal distribution of
fruit bats in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. J. Mamm.
22(1): 167-177.
Maryanto I, Yani M, Prijono SN, Wiantoro S. 2012. A new species of fruit bat
(Megachiroptera: Pteropodidae: Thoopterus) from Sulawesi and adjacent
islands, Indonesia. Records Of The Western Australian Museum 27: 068–084.
Matschie P. 1899. Die Fledermause des Berliner Museum fur Naturkunde I. Die
Megachiroptera des Berliner Museum fur Naturkunde. Berlin: Riemer.
Musser GG. 1981. Results of the Archbold expeditions. No. 105. Notes on
systematics of Indo-Malayan murid rodents, and description of new genera and
species in Ceylon, Sulawesi, and the Philippines. Bull. Amer. Mus. Nat. Hist.
168: 229-334.
Musser GG. 1991. Sulawesi Rodents: Descriptions of new species of Bunomys
and Maxomys (Muridae, Murinae). American Museum Novitates. 3001: 1-41.
Musser GG. 1971. Results of the Archbold Expeditions. No. 94 Taxonomic Status
of Rattus tatei and Rattus frosti, Two Taxa of Murid Rodents Known from
Middle Celebes. American Museum Novitates. 2454: 1-19.
Musser GG, Durden LA. 2002. Sulawesi Rodents: Description of New genus and
Species of Murinae (Muridae, Rodentia) and Its Parasitic New Species of
61

Sucking Louse (Insecta, Anoplura). New York (US): American Museum of


Natural History.
Neuweilier G. 2000. The Biology of Bats. New York (US): Oxford University
Press.
O’Brien SJ, Menninger JC, Nash WG. 2006. Atlas of Mammalian Chromosomes.
US: Jhon Wiley & Sons.
Pennock LA, Tinkle DW, Shaw MW. 1968. Chromosome number in the lizard
genus Uta (family Iguanidae). Chromosoma. 24:467-476.
Puchtler H, Waldrop FS, Conner HM, Terry MS. 1968. Carnoy fixation: practical
and theoretical considerations. Histochemie. 16:361–371.
Racey PA. 1988. Reproductive assessment in bats In Ecological and Behavioural
Methods for the Study of Bats (Thomas H. Kunz ed.). Washington DC (US): .
Smithsonian Institution Press.
Rahman MRA, Abdullah MT. 2010. Morphological Variation in the Dusky Fruit
Bat, Penthetor lucasi, in Sarawak, Malaysia. Tropical Natural History. 10:
141-158.
Rickart EA, Musser GG. 1993. Philippine rodents: chromosomal characteristics
and their significance for phylogenetic inference among 13 species (Rodentia:
Muridae: Murinae). American Museum Novitates 3064: 1-34.
Romanenko SA, Volobouev VT, Perelman PL, Lebedev VS, Serdukova NA,
Trifonov VA et al. 2007. Karyotype evolution and phylogenetic relationships
of hamsters (Cricetidae, Muroidea, Rodentia) inferred from chromosomal
painting and banding comparison. Chromosome Res. 15: 283–297.
Romanenko SA, Perelman PL, Trifonov VA, Graphodatsky AS. 2012.
Chromosomal evolution in Rodentia. Heredity. 108: 4–16.
Sakamoto Y, Zacaro AA. 2009. LEVAN an ImajeJ plugin for morphological
cytogenetic analysis of mitotic and meiotic chromosomes. Initial version. An
open source Java plugin distributed over the Internet from
http://rsbweb.nih.gov/ij/.
Salai M, Segal E, Cohen I, Dudkiewicz I, Farzame N, Pitaru S, Savion N. 2001.
The inhibitory effects of colchicine on cell proliferation and mineralisation in
culture. J Bone Joint Surg [Br]. 83-B: 912-15.
Sotero-Caio CG. Volleth M, Gollahon LS. Fu B, Cheng W. Ng BL. Yang F.
Baker RJ. 2013. Chromosomal evidence among leaf-nosed nectarivorous bats-
evidence from cross-species chromosome painting (Phyllostomidae,
Chiroptera). BMC Evolutionary Biology 13:276.
Suryo. 2007. Sitogenetika. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Bogor (ID): LIPI.
Suyanto A. 2006. Rodent di Jawa. Bogor (ID): LIPI.
Todehdehghan F, Motedayen MH, Teimorzadeh SH, Shafaei K. 2011. Karyotype
of NIH, C57BL/6 and Razi strains of laboratory mice (Mus musculus).
International Journal of Veterinary Research. 2: 81-83.
Wilson AC, Bush GL, Case SM, King MC. 1975. Social structuring of
mammalian populations and rate of chromosomal evolution. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of America. 72: 5061–5065.
Wilson DE, Reeder DM. 2005. Mammal Species of The World a Taxonomic and
Geographic Reference. Baltimore (US): The Johns Hopkins University Press.
62

Whitmore TC. 1984. Tropical rain forest of the Far East. Oxford (UK): Claredon
Press.
Yong HS. 1984. Robertsonian translocation, pericentric inversion and
heterochromatic block in the evolution of the tailless fruit bat. Experientia. 40:
875-876.
Zima J. 2000. Chromosomal evolution in small mammals (Insectivora,
Chiroptera, Rodentia). Hystrix. 11: 5-15.
63

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 16 September 1988 dari ayah


Samsul Anam dan ibu Munawaroh. Penulis adalah putra pertama dari tiga
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi
Universitas Jember, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2012 penulis diterima di
Program Studi Biosains Hewan pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Unggulan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (DIKTI).
Penulis pernah bekerja sebagai asisten ahli di Program Studi Pendidikan
Biologi, Universitas Islam Jember sejak tahun 2011. Matakuliah yang menjadi
tanggung jawab penulis ialah Media Pembelajaran, Anatomi dan Fisiologi
Manusia serta Biologi Dasar. Selama mengikuti pendidikan sarjana, penulis
pernah menjadi asisten praktikum Struktur Hewan, Perkembangan Hewan,
Ekologi Hewan dan Anatomi Fisiologi Manusia.
Selama mengikuti program S-2, penulis menjadi asisten praktikum
Vertebrata untuk mahasiswa Departemen Biologi, IPB pada tahun ajaran
2014/2015. Penulis juga secara aktif mengikuti beberapa seminar nasional
maupun internasional. Penulis telah menyusun artikel yang berjudul Karyotypes of
Rats (Rodentia, Muridae) and Fruit Bats (Chiroptera, Pteropodidae) from Mt.
Bawakaraeng, South Sulawesi pada jurnal Chromosome Science yang masih
dalam tahap review dan tulisan pendek berjudul Pengembangan Teknik Kariotipe
Mencit yang akan diterbitkan pada Jurnal Biologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai