HUSNI MUBAROK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Husni Mubarok
NIM G352120021
RINGKASAN
Mammalian fauna of Sulawesi are not only rich in species but also high
endemism level. Indonesian rats (Muridae) and bats (Pteropodidae) show highest
endemism in Sulawesi among all islands over 75.7% and 10.7%, respectively.
Both study of chromosome and karyotype data for rats and fruit bats in Indonesia
are poorly known. Only several karyotype data of Indonesian fruits bats and rats
have been studied. At least seven species of rats and four species of fruit bats were
recorded succesfully. It due to karyotype techniques in laboratory are more
applicable than those in the field. Rats and bats have been estimated to have a
high rate of karyotype evolution, therefore the new karyotype information and its
relationship to phylogenetic make karyotype become important.
This study study aimed to analyze karyotype of Sulawesi rats and fruit bats
using bone marrow chromosomes with G-banding (Giemsa) technique; and to
analyze the differences between karyotyping techniques in the laboratory and
field.
Two types of karyotype analysis were conducted, those are karyotyping in
laboratory and in field condition. Laboratory karyotyping using mice were used as
a preliminary study. Some treatments were also conducted in laboratory, including
(1) The differences of mitotic inhibitation using Colchicine 0.005% for 2 and 3
hours; (2) Bone marrow preservation using Phosphate-Buffered Saline (PBS) for
2 until 15 days and (3) Fixation of bone marrow using Carnoy for two days (48
hours) and four days (96 hours). Whereas, all of living specimens that were
trapped in Mt. Bawakaraeng regions are used for karyotype analysis in the field.
Specimens were injected using yeast solution to increase index mitosis and
Colchicine 0.005% to inhibit cellular process in metaphase. Bone marrow fixation
of specimens were conducted by Carnoy solutions. Staining were done using
Giemsa 4% . The best chromosome in metaphase stage were observed. Diploid
number (2n), FN, FNa and its morphology were also determined. Quality of
chromosomes in PBS and Carnoy were observed and determined whether or not
this technique were applicable in field.
This study showed the quality of chromosomes in laboratory are more
optimal than those in the field. Mice has 2n= 40, FN=40, FNa=38 and telocentric
chromosomes. Only one species of rat showed the best karyotype namely female
R. hoffmanni (2n= 44, FN = 61, FNa = 59, telocentric X chromosomes).
Futhermore, two species of fruit bats that showed the best karyotype, including
male B. bidens (2n = 30, FN = 53, FNa = 50, X sub metacentric X chromosome
and telocentric Y chromosome) and female T. suhaniahae (2n = 38, FN = 64,
FNa = 60, metacentric X chromosomes). While, T. nigriscens has 2n=38 and D.
viridis has 2n=34. Karyotypes of four species are described for the first time.
The chromosomes quality of Colchicine 0.005% treatment during 2 hours
showed the best result than 3 hours. Whereas, chromosomes in PBS showed
degradation trend along the preservation times. PBS were not be applicable in the
field. On the other hand, chromosomes in Carnoy showed the better result than
those in PBS. Cell suspension of bone marrow using Carnoy from the field can be
re-analyzed in laboratory. Karyotype techniques are affected by environmental
condition and times. Only one species of rats and two spesies of fruit bats were
showed optimal chromosome preparations result in the field. Mostly chromosome
preparations from the field were not optimal. This result suspected to be due the
low temperature of environment. While, environmental condition in laboratory
can be easily controlled.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARIOTIPE TIKUS (RODENTIA, MURIDAE) DAN KELELAWAR
PEMAKAN BUAH (MEGACHIROPTERA, PTEROPODIDAE)
DARI GUNUNG BAWAKARAENG, SULAWESI SELATAN
HUSNI MUBAROK
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biosains Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
Judul Tesis : Kariotipe Tikus (Rodentia, Muridae) dan Kelelawar Pemakan
Buah (Megachiroptera, Pteropodidae) dari Gunung Bawakaraeng, Sulawesi
Selatan
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam rangkaian penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini yaitu
kromosom, dengan judul Kariotipe Tikus (Rodentia, Muridae) dan Kelelawar
Pemakan Buah (Megachiroptera, Pteropodidae) dari Gunung Bawakaraeng,
Sulawesi Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir R.R. Dyah Perwitasari, MSc
dan Bapak Prof (Ris) Dr Ir Ibnu Maryanto selaku pembimbing, serta Bapak Prof
Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc selaku penguji luar komisi ujian tesis yang telah
memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) untuk Beasiswa Unggulan,
Pemerintah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Balai Konservasi dan Sumber
Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Selatan, Kepala Laboratorium Biologi
Universitas Negeri Makassar, Seluruh staf Bidang Zoologi LIPI, Bu Tini dari
Laboratorium Mikroteknik Biologi IPB, Joe Chun-Chia Huang PhD Candidate of
Biology Texas Tech University yang telah memberikan masukan, Teman-teman
Ellena Yusti, Rizaldy Trias, Agmal Qodri dan keluarga Tata’ yang telah
membantu dalam pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Husni Mubarok
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 4
2 METODE 4
Lokasi dan Waktu Penelitian 4
Koleksi Spesimen 6
Identifikasi Spesimen 8
Analisis Kariotipe 14
Analisis Data 16
3 HASIL 18
Identifikasi dan Pengukuran Morfologi Luar Tikus (Muridae) dan
Kelelawar (Pteropodidae) 18
Analisis Kariotipe Laboratorium 31
Analisis Kariotipe Lapang 36
4 PEMBAHASAN 48
Identifikasi dan Pengukuran Morfologi Luar Tikus (Muridae) dan
Kelelawar (Pteropodidae) 48
Analisis Kariotipe Laboratorium 51
Analisis Kariotipe Lapang 53
Perbandingan Teknik Kariotipe Lapang dan Laboratorium 56
5 SIMPULAN 56
6 SARAN 57
DAFTAR PUSTAKA 57
RIWAYAT HIDUP 63
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
(q), panjang total (pq), posisi sentromer dan rasio lengan kromosom (Gersen dan
Keagle 2005). Jumlah sel diploid (2n) dan Fundamental Number (FN) juga
ditentukan dalam kariotipe. Sel diploid (2n) merupakan jumlah kromosom sel
tubuh yang diperoleh dari pembelahan mitosis (Czepulkowski 2001).
Kromosom yang digunakan dalam analisis kariotipe dapat diperoleh dari
berbagai jaringan hewan. Beberapa penelitian menggunakan sumsum tulang
(Baker et al. 1982; Daele V et al. 2004; Todehdehghan et al. 2011), jaringan paru-
paru atau ekor (Li et al. 2008) dan darah (Manosroi et al. 2003). Sumber tersebut
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam teknik pembuatan
kromosomnya. Kromosom dari sumsum tulang lebih banyak digunakan dalam
penelitian kariotipe. Hal ini dikarenakan sumsum tulang merupakan jaringan yang
memiliki sel kekebalan (imun) yang aktif membelah sehingga memberikan
banyak mitosis (Dobigny dan Xuereb 2011).
Identifikasi morfologi kromosom kariotipe dapat dilakukan berdasarkan
kromosom yang telah diwarnai. Setiap lengan kromosom memiliki dua daerah
besar berbentuk pita yang disebut Band dan Sub Band (Gersen dan Keagle 2005).
Perwarnaan kedua daerah tersebut disebut dengan Banding. Pola Banding spesifik
pada tiap pasangan kromosom. Beberapa teknik pewarnaan kromosom yaitu Cd
Staining (Centromeric dot/Kinetochore Staining), G-Banding (Giemsa), Q-
Banding (Quinacrine Banding), R-Banding (Reverse Banding), C-Banding
(Constitutive Heterochromatin Banding), T-Banding (Telomere Banding), NOR
Staining (Silver Staining for Nucleolar Organizer Regions), DAPI/DA Staining
dan Fluorescence In Situ Hybridization (FISH) (Gersen dan Keagle 2005). Teknik
kariotipe G-banding merupakan teknik yang lebih banyak dan lebih sering
digunakan untuk mempelajari susunan kromosom mamalia termasuk tikus dan
kelelawar. Koopman (1982) melaporkan data kariotipe setidaknya 190 spesies
kelelawar Amerika Selatan dengan 133 spesies menggunakan teknik G-banding
dan 52 spesies dengan C-banding.
Rodentia dan kelelawar telah diperkirakan memiliki laju evolusi kariotipe
yang tinggi (Wilson et al. 1975). Jumlah informasi kariotipe baru dan kaitannya
dengan filogenetik antar takson Rodentia (Muridae) terus bertambah secara cepat
membuat penelitian kariotipe menjadi penting. Kelelawar menempati posisi yang
sangat penting dalam evolusi mamalia, karena mereka terkait erat dengan
Insektivora yang pada akhirnya berhubungan dengan Primata (Makino 1948).
Oleh karena itu, studi kromosom kelelawar telah banyak dilakukan untuk
mempelajari kajian tersebut. Wilson et al. (1975) menggunakan data kariotipe
kelelawar dan spesies mamalia lain untuk mengembangkan teori evolusi mamalia.
Lebih lanjut, Baker dan Bickham (1980) menggunakan teknik G-banding dan C-
banding pada 78 spesies kelelawar dari 4 famili (Phyllostomatidae, Noctilionidae,
Mormoopidae dan Vespertilionidae) untuk menjelaskan fenomena Megaevolusi
Kariotipe.
Analisis kariotipe tikus (Rodentia, Muridae) dan kelelawar pemakan buah
(Megachiroptera, Pteropodidae) di kawasan Asia Tenggara telah dilakukan pada
beberapa spesies. Harada dan Kobayashi (1980) melakukan studi kromosom
Rattus rattus, Mus musculus (Rodentia, Muridae) dan Pteropus vampyrus,
Cynopterus bachyotis, Aethalops alecto (Pteropodidae) di Sabah, Malaysia Timur.
Penelitian tersebut memberikan sumbangan data terhadap kajian sistematik
mamalia kecil Sabah.
3
Penelitian Li et al. (2008) pada tiga spesies Muridae pulau Hainan Cina
yaitu Niviventer fulvescens, N. lotipes dan Rattus nitidus menunjukkan N.
fulvescens (2n=46, FN=64) memiliki kesamaan kariotipe dengan N. fulvescens
Asia Tenggara sementara N. lotipes (2n=52, FN=66) yang sebelumnya diduga
satu spesies dengan N. tenaster (2n=46, FN=54) dari Burma dan Vietnam ternyata
memiliki kariotipe yang berbeda Hasil penelitian kariotipe tersebut digunakan
untuk menentukan status taksonomi yang jelas dari N. Lotipes.
Hood et al. (1988) telah melakukan studi pada Rousettus amplexicaudatus,
P. lylei, C. sphinx, Megaerops niphanae, Eonycteris spelaea dan Macroglossus
sobrinus di Thailand. Hasil studi tersebut menunjukkan kariotipe P. lylei (2n = 40;
FN = 72) merupakan informasi baru untuk genus Pteropus. Lebih lanjut, kariotipe
M. niphanae (2n = 26; FN = 42) memiliki jumlah yang berbeda dengan M.
niphanae dari semenanjung Malaysia (2n = 24) dan identik dengan spesies
terdekatnya M. ecaudatus. Hal tersebut menunjukkan terdapat variasi kromosom
antar spesies Megaerops dikarenakan terjadinya translokasi Robertsonian.
Translokasi Robertsonian (Robertsonian Translocation) adalah perubahan
susunan kromosom yang dibentuk oleh penggabungan (fusion) atau pembelahan
(fission) lengan panjang dari dua kromosom akrosentrik atau telosentrik (Capanna
dan Castiglia 2004).
Studi kromosom maupun data kariotipe untuk spesies tikus (Rodentia,
Muridae) dan kelalawar pemakan buah (Pteropodidae) di Indonesia masih sangat
kurang, termasuk untuk spesies baru maupun spesies endemik di Sulawesi.
Beberapa data kariotipe tikus di Indonesia yang telah diteliti yaitu Bunomys
chrysocomus, Maxomys hellwaldi, Rattus argentiventer, Rattus hoffmanni
linduensis, Rattus marmosurus facetus; Margaretamys beccarii dan
Margaretamys elegans (Muridae) (Duncan 1976; Musser 1981); sedangkan
kelelawar pemakan buah meliputi Cynopterus brachyotis javanicus, Cynopterus
sphinx titthaecheilus, Eonycteris spelaea spelaea, Macroglossus minimus minimus
(Ando et al. 1980). Data kariotipe untuk genus tikus dan kelelawar lain seperti
Taeromys, Paruromys, Boneia, Dobsonia, Nyctimene, Styloctenium, Thoopterus,
belum dipelajari. Penelitian ini diharapkan memberikan data kariotipe untuk
spesies tikus dan kelelawar pemakan buah Sulawesi serta teknik pembuatannya.
Preparasi kromosom selama ini lebih banyak dilakukan di laboratorium.
Hal ini disebabkan tekniknya memerlukan alat dan bahan yang tidak
memungkinkan untuk kondisi lapangan. Teknik pembuatan preparat kromosom
dilakukan secara cepat (fresh) dan dalam kondisi yang steril (terutama untuk
kromosom dari darah). Penelitian ini juga mengembangkan teknik pembuatan
kariotipe yang sesuai dengan kondisi lapang berdasarkan penelitian laboratorium
yang meliputi pengujian kualitas kromosom berdasarkan perbedaan waktu injeksi
kolkisin dan preservasi sumber maupun suspensi sel kromosom. Kolkisin
merupakan metabolit sekunder (alkaloid) yang dapat menangkap perakitan
mikrotubulus pada tahap metafase dan menghambat (inhibitasi) fungsi seluler
seperti proses mitosis (Choi et al. 1999; Salai et al. 2001). Setiap organisme
mempunyai respon yang berbeda terhadap pemberian perlakuan kolkisin. Jika
konsentrasi larutan kolkisin dan lamanya waktu perlakuan kurang mencapai
keadaan yang tepat, maka perbanyakan kromosom belum dapat diperoleh.
Konsentrasi yang terlalu tinggi dan waktu perendaman atau injeksi terlalu lama
4
dengan kolkisin akan memperlihatkan pengaruh negatif yaitu banyak sel yang
mati atau terdegradasi (Brues dan Cohen 1936).
Levan (1938) telah melakukan penelitian efek kolkisin pada mitosis ujung
akar bawang bombay (Allium fistulosum) dan bawang merah (A. cepa). Penelitian
tersebut menggunakan berbagai konsentrasi dan waktu perendaman kolkisin.
Perendaman kolkisin selama 7 menit sampai satu jam menghasilkan pembelahan
kromosom yang baik. Sementara itu, perendaman kolkisin 12 sampai 24 jam
menyebabkan benang-benang pembelahan (spindel) beregenerasi dan banyak
menghasilkan kromosom yang abnormal. Perendaman 36 sampai 48 jam
menyebabkan mitosis kembali ke keadaan normal. Penggunaan kolkisin pada
hewan dilakukan penyuntikan. Waktu yang dibutuhkan setelah penyuntikan
(injeksi) kolkisin untuk spesimen hewan rata-rata berkisar antara dua sampai tiga
jam (Baker et al. 1982; Dobigny dan Xuereb 2011). Penelitian ini menganalisis
waktu inhibitasi mitosis dengan kolkisin yang tepat untuk hasil kromosom yang
optimal.
Preservasi sumber kromosom telah dilakukan oleh Pennock et al. (1968).
Sumber kromosom yang diperservasi meliputi tulang tungkai, tulang belakang
(minus spinal cord) dan gonad kadal Genus Uta (Family Iguanidae) dengan
menggunakan larutan Phosphate-Buffered Saline (PBS). Namun, penelitian
tersebut tidak menjelaskan berapa waktu preservasinya. Penelitian tersebut
dilakukan dalam kondisi lapangan dan menghasilkan kualitas preparat kromosom
yang baik. Penelitian ini mengadopsi teknik tersebut dan melakukan serangkaian
pengembangan teknik sehingga didapatkan perbandingan teknik antara kondisi
laboratorium dan lapang.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kariotipe tikus dan kelelawar
pemakan buah Sulawesi menggunakan kromosom sumsum tulang dengan teknik
G-banding (Giemsa); (2) menganalisis perbedaan teknik kariotipe laboratorium
dan lapang.
G.Bawakaraeng
G. Lompobatang
Gambar 3 Penempatan jaring kabut (mist net) pada koridor terbang kelelawar
(Kunz dan Kurta 1988)
8
Spesimen Tikus
Individu jantan dan betina dibedakan dengan melihat organ reproduksi luar
yaitu keberadaan skrotum yang menutupi testis (jantan dewasa) dan vagina
(betina). Identifikasi jenis kelamin dilakukan dengan melihat jarak antara anus dan
organ reproduksi luar (Herbreteau et al. 2011). Betina memiliki jarak antara anus
dan organ reproduksi luar yang lebih dekat dibandingkan dengan jantan.
Kematangan seksual dan tahap perkembangan remaja (juvenile), sub dewasa (sub-
adult) atau dewasa (adult) ditentukan melalui pengamatan organ reproduksi luar
dan atau reproduksi dalam serta perkembangan gigi geraham ketiga (M3) pada
rahang bawah.
Spesimen Kelelawar
Kelelawar jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat alat
reproduksi luarnya yaitu penis dan testis pada jantan, vagina dan kelenjar susu
pada betina (Racey 1988). Penis yang ereksi dan ukuran testis yang besar
menunjukkan jantan yang sudah mampu bereproduksi (dewasa). Abdomen yang
penuh dan menonjol pada betina menunjukkan kebuntingan. Betina yang
menyusui dilihat dari kelenjar susu yang membesar dan apabila ditekan akan
mengeluarkan air susu (Racey 1988). Kelelawar remaja dapat dibedakan dari
dewasa dengan melihat adanya tulang rawan lempeng epifisis (cartilaginous
epiphyseal plates) pada tulang jari. Hal tersebut membuat persendian jari lebih
menonjol (Anthony 1988).
Spesimen Tikus
Pengukuran morfologi luar dilakukan berdasarkan Herbreteau et al.
(2011). Pengukuran mencakup empat karakter pengukuran yang disajikan Tabel 1
dan Gambar 4.
9
Spesimen Kelalawar
Pengukuran dilakukan sebagai acuan identifikasi berdasarkan Rahman dan
Abdullah (2010). Pengukuran morfologi luar meliputi 16 karakter pengukuran
yang disajikan Tabel 2 dan Gambar 5.
a b
c
d
Gambar 4 Karakter pengukuran morfologi luar spesimen tikus (a) panjang kepala
dan badan (HBL); (b) panjang ekor (T); (c) panjang telapak kaki
belakang (HF); (d) panjang telinga (E) (Herbreteau et al. 2011)
HBL
Spesimen Tikus
Pengukuran tengkorak spesimen tikus dilakukan berdasarkan Musser dan
Durden (2002). Pengukuran mencakup 15 karakter pengukuran yang disajikan
Tabel 3 dan Gambar 6.
Spesimen Kelalawar
Pengukuran tengkorak spesimen kelelawar dilakukan menurut
Maharadatunkamsi dan Maryanto (2002). Pengukuran tengkorak meliputi 16
karakter pengukuran yang disajikan Tabel 4 dan Gambar 7.
Dua jenis analisis kariotipe dilakukan pada penelitian ini yaitu analisis
kariotipe laboratorium dan lapang. Analisis laboratorium digunakan sebagai
penelitian uji coba sebelum ke lapang. Analisis laboratorium menggunakan
spesimen mencit (M. musculus) dengan berbagai perlakuan yang mencakup (1)
perbedaan pengaruh pemberian kolkisin 0.005% dengan waktu 2 dan 3 jam; (2)
preservasi sumsum tulang pada larutan Phosphate-Buffered Saline (PBS) dan (3)
preservasi suspensi sel sumsum tulang pada larutan Carnoy. Analisis kariotipe
lapang dilakukan pada spesimen yang tertangkap di kawasan Gunung
Bawakaraeng.
Aklimatisasi Spesimen
Spesimen yang akan digunakan diaklimatisasi terlebih dahulu.
Aklimatisasi dilakukan dengan cara meletakkan spesimen pada kandang yang
telah diberi pakan dan air minum. Spesimen yang digunakan pada analisis
kariotipe laboratorium yaitu dua mencit betina dewasa. Analisis kariotipe lapang
menggunakan spesimen kelelawar dan tikus yang didapatkan dari perangkap cage
trap.
Fiksasi Sel
Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan pelet sel direndam dalam larutan
fiksatif Carnoy selama 15 menit. Larutan fiksatif Carnoy dibuat dari metanol yang
dicampurkan dengan asam asetat glasial dengan perbandingan 3:1 (Dobigny dan
Xuereb 2011). Campuran pelet sel dengan larutan fiksatif Carnoy disentrifugasi
kembali dengan kecepatan 1200 rpm selama 10 menit. Larutan Carnoy dibuang
dan diganti dengan yang baru sebanyak 0.5 ml, selanjutnya dikocok perlahan
sehingga terbentuk suspensi sel (Baker et al. 1982).
Persiapan Preparat
Suspensi sel yang terbentuk pada langkah sebelumnya dihisap dengan
pipet Pasteur dan diteteskan pada gelas objek yang telah dibersihkan dengan
alkohol 70%. Jarak penetesan antara pipet dengan gelas objek yaitu sekitar 10 cm,
dilakukan dengan cara satu kali tetes dan dibiarkan menyebar merata (Baker et al.
1982). Selanjutnya preparat dikeringkan di atas api bunsen hingga kering.
Pewarnaan
Pewarnaan preparat dengan menggunakan Giemsa 4% selama 30 menit
(Baker et al. 1982; Dobigny dan Xuereb 2011). Preparat dibilas dengan air
mengalir dan dikeringkan pada suhu ruangan.
Spesimen yang digunakan yaitu empat mencit jantan dan empat mencit
betina dewasa. Keseluruhan sampel diambil dari kandang pemuliaan hewan,
Fakultas Peternakan IPB. Tulang femur yang telah diambil dan dibersihkan,
disimpan dalam larutan PBS sampai terendam seluruhnya. Kedua ujung tulang
dipotong sehingga larutan PBS dapat masuk sampai sumsum tulang. Preservasi
dilakukan selama 2, 4, 6, 8, 12 dan 15 hari. Preparat kromosom dibuat dengan
terlebih dahulu mensentrifugasi sumsum tulang yang dipreservasi dengan
kecepatan 1200 rpm selama 10 menit.
Suspensi sel yang telah dibuat pada tahap fiksasi sel analisis kariotipe
laboratorium disimpan selama 2 hari (48 jam) sampai 4 hari (96 jam). Tahapan
yang sama seperti tahap fiksasi sel juga dilakukan dan selanjutnya suspensi
terlebih dulu disentrifugasi dengan kecepatan 1200 rpm selama 10 menit sebelum
dibuat preparatnya.
Kromosom yang dibuat kariotipe diambil dari lima tahap metafase yang
paling baik per spesimen seperti yang dilakukan oleh Daele et al. (2004).
Kromosom disusun berdasarkan lokasi sentromer menurut Levan et al. (1964).
Lokasi sentromer meliputi median, sub median, sub terminal, dan terminal. Lokasi
sentromer didapatkan dengan menghitung rasio lengan (AR) dan panjang total
kromosom (pq) sesuai morfologi kromosom.
(2n), indeks sentromer (CI), fundamental number (FN) dan fundamental number
autosom (FNa) juga dihitung.
Indeks sentromer (CI) merupakan rasio panjang lengan pendek dan
panjang total lengan kromosom (Loganathan et al. 2012). Lebih lanjut indeks
sentromer sangat penting dalam bidang geometri klasifikasi kromosom, selain tipe
banding. Indeks sentromer dihitung dengan perhitungan sebagai berikut:
3 HASIL
Delapan spesies (24 individu) tikus dan lima spesies (15 individu)
kelelawar didapatkan untuk analisis kariotipe lapang. Spesies tikus yang didapat
meliputi Rattus hoffmanni (Matschie, 1897), Bunomys andrewsi (Allen JA, 1911),
Bunomys chrysocomus (Hoffman, 1887), Paruromys sp., Bunomys heinrichi (Tate
& Archbold, 1935), Taeromys celebensis (Gray, 1867), Rattus dommermani
(Thomas, 1921) dan Rattus exulans (Peale, 1848). Spesies kelelawar yang didapat
meliputi Boneia bidens (Jentink, 1879), Thoopterus suhaniahae Maryanto et al.
2012, Thoopterus nigrescens (Gray, 1870), Styloctenium wallacei (Gray, 1866)
dan Dobsonia viridis (Heude, 1897) (Tabel 6).
Kebanyakan spesies yang didapat merupakan spesies endemik Sulawesi,
termasuk spesies yang baru ditemukan seperti T. suhaniahae. Keseluruhan
spesimen tikus dan kelelawar untuk analisis kariotipe lebih banyak didapat di
perkebunan warga kecuali R. hoffmanni dan T. suhaniahae yang juga didapat di
hutan pinus. Selanjutnya, Bunomys chrysocomus dan Paruromys sp. hanya
didapat di hutan primer. Spesimen kelelawar tidak didapat di hutan peralihan dan
hutan primer.
Tabel 6 Jumlah spesies, individu dan jenis kelamin tikus dan kelelawar yang
tertangkap dan digunakan dalam analisis kariotipe di Gunung
Bawakaraeng
Spesies Jumlah Individu Jantan Betina Lokasi
Famili Muridae
R. hoffmanni 9 5 4 (1),(2)
B. andrewsi 1 1 - (1)
B. chrysocomus 1 - 1 (4)
Paruromys sp. 1 - 1 (4)
B. heinrichi 1 - 1 (1)
T. celebensis 2 1 1 (1)
R. dommermani 8 1 7 (1)
R. exulans 1 1 - (1)
Famili Pteropodidae
B. bidens
T. suhaniahae 3 3 - (1)
T. nigrescens 8 6 2 (1), (2)
S. wallacei 1 - 1 (1)
D. viridis 1 1 - (1)
2 1 1 (1)
(1)
Perkebunan Warga; (2) Hutan Pinus; (3) Hutan Transisi (sekunder ke primer);(4) Hutan Primer
Spesimen katalog meliputi MZB 37043; MZB 37044; MZB 37045; MZB
37046; MZB 37047; MZB 37048; MZB 37049; MZB 37050; MZB 37051; MZB
37052; MZB 37286; MZB 37287; MZB 37089; MZB 37226; MZB 37235; MZB
37212; MZB 37213; MZB 37214; MZB 37215; MZB 37216; MZB 37217; MZB
19
37122; MZB 37354; MZB 37355; MZB 37297; MZB 37356; MZB 37357; MZB
37358; MZB 37359; MZB 37360; MZB 37315; MZB 37318; MZB 37311; MZB
37312.
Paruromys sp. memiliki ukuran tubuh yang lebih besar diantara spesimen
yang tertangkap. R. dommermani memiliki rata-rata ukuran tubuh yang lebih
besar dan ekor yang lebih panjang diantara spesimen Rattus (R. hoffmanni dan R.
exulans). B. andrewsi memiliki ukuran morfologi luar yang lebih besar dari B.
chrysocomus dan B. heinrichi kecuali pada karakter panjang ekor (T). T.
celebensis cenderung memiliki ekor yang panjangnya dua kali lipat panjang
tubuhnya (Tabel 7). Beberapa spesimen tikus ditunjukkan Gambar 8.
a b
c d
e
Gambar 9 Spesimen kelelawar (a) B. bidens, (b) T. nigriscens, (c) S. wallacei, (d)
D. viridis, (e) T. suhaniahae. Skala bar 10 mm
24
Pengukuran Tengkorak
a1 a2
b1 b2
c1 c2
Gambar 10 Tengkorak spesimen tikus (a) R. hoffmanni dorsal (a1), ventral (a2);
(b) B. heinrichi dorsal (b1), ventral (b2); (c) T. celebensis dorsal
(c1), ventral (c2). Skala bar 10 mm
29
a1 a2
b1 b2
Gambar 11 Tengkorak spesimen tikus (a) R. dommermani dorsal (a1), ventral
(a2); (b) R. exulans dorsal (b1), ventral (b2). Skala bar 10 mm
a1 a2
Gambar 12 Tengkorak spesimen kelelawar B. bidens dorsal (a1), ventral (a2).
Skala bar 10 mm
30
a1 a2
b1 b2
c1 c2
Gambar 13 Tengkorak spesimen kelelawar (a) T. suhaniahae dorsal (a1), ventral
(a2), (b) T. nigriscens dorsal (b1), ventral (b2), (c) S. wallacei dorsal
(c1), ventral (c2). Skala bar 10 mm
31
Gambar 14 Kariotipe M.musculus betina perbesaran 1000 kali; Skala bar 2.16 µm
32
Gambar 15 Kromosom pada M. musculus (betina); Perbesaran 100 kali; Skala bar
2.16 µm
34
a1 a2 b
a1 a2 a3
b1 b2
a1 a2
c
b1 b2
Pteropodidae
B. bidens 3 3 - (1) 30 53 50 SM - T
T. suhaniahae 8 6 2 (1), (2) 38 64 60 M M -
T. nigrescens 1 - 1 (1) 38 - - - - -
D. viridis 2 1 1 (1) 36 - - - - -
2n : Sel diploid; FNa: Fundamental number autosom; FN: Fundamental number; X : Kromosom
X; Y: Kromosom Y; M : Metasentrik; SM: Sub Metasentrik; ST: Sub Telosentrik; T: Telosentrik;
Lab: Laboratorium
Gambar 22 Kariotipe B. bidens jantan MZB 37354 perbesaran 1000 kali; Skala
bar 2.17 µm. Panah menunjukkan kromosom tambahan
Gambar 23 Beberapa kromosom B. bidens MZB 3754 yang muncul pada preparat
yang telah dibuat; Perbesaran 1000 kali; Skala bar 2.17 µm
43
Jumlah kromosom D. viridis yaitu 2n = 36. FN, Fna dan tipe kromosom
tidak diketahui. Berdasarkan dua individu MZB 37311 dan MZB 37312 yang
didapat untuk analisis kariotipe, keduanya menunjukkan hasil preparat yang
kurang baik.
48
4 PEMBAHASAN
Brues dan Cohen (1936) menjelaskan injeksi kolkisin pada tikus lebih dari
8 jam akan menyebabkan kematian, sedangkan waktu optimal yang digunakan
yaitu 2 jam. Hal ini terjadi karena kolkisin merupakan zat yang bersifat toksik
terhadap organisme sehingga penggunaannya harus diperhatikan. Baker et al.
(2003) menjelaskan rodentia, kelelawar phyllostomid, shrew dan spesies yang
memiliki temperatur tubuh yang stabil membutuhkan waktu injeksi kolkisin yang
paling baik antara 45 menit sampai satu jam. Sedangkan waktu 30 menit sampai 2
jam tetap diperbolehkan.
Kromosom hasil perlakuan kolkisin 0.05% selama 2 jam cenderung
mengumpul dan beberapa terlihat tumpang tindih. Hal tersebut disebabkan proses
sentrifugasi dan pergantian larutan fiksatif Carnoy yang sedikit. Baker et al.
(2003) menjelaskan agar kromosom dapat menyebar dan tidak saling tumpang
tindih perlu dilakukan sentrifugasi sebanyak 2 sampai 3 kali dengan pergantian
larutan fiksatif.
5 SIMPULAN
Delapan spesies (24 individu) tikus dan lima spesies (15 individu)
kelelawar telah diuji untuk analisis kariotipe di lapang dan satu spesies (10
individu) mencit untuk kariotipe di laboratorium. Spesimen tikus dan kelelawar
masing-masing memiliki perbedaan ukuran tubuh dan karakter morfologi luar.
Satu spesies tikus menunjukkan hasil kariotipe yang paling baik yaitu R.
hoffmanni betina (2n= 44, FN = 61, FNa = 59, bentuk kromosom X telosentrik).
M. musculus memiliki 2n=40, FN=40, FNa=38 dan bentuk keseluruhan
kromosom telosentrik. Dua spesies kelelawar menunjukkan hasil kariotipe yang
paling baik yaitu B. bidens jantan (2n = 30, FN = 53, FNa = 50, bentuk kromosom
X sub metasentrik dan Y telosentrik) dan T. suhaniahae betina (2n = 38, FN = 64,
FNa = 60, bentuk kromosom X metasentrik). T. nigriscens memiliki 2n=38 dan D.
viridis 2n=34.
57
6 SARAN
Saran penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
menggunakan jaringan paru, ekor atau darah, jumlah sampel yang lebih banyak
dan metode pewarnaan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Abramoff MD, Magelhaes PJ, Ram SJ. 2004. Image Processing with ImageJ.
Biophotonics International. 11:36-42.
Andersen K. 1912. Catalogue of the Chiroptera in the collection of the British
Museum. Vol 1. Megachiroptera. 2nd edition. London (UK): British Museum
(Natural History)
Ando K, Tagawa K, Uchida TA. 1980. A karyotype study on four species of the
Indonesian fruit-eating bats, belonging to Cynopterus, Eonycteris and
Macroglossus (Chiroptera: Pteropidae). Journal of Cytology, Cytosystematics
and Cytogenetics. 33: 41-53.
Anthony ELP. 1988. Age determination in bats. In Ecological and behavioural
methods for the study of bats (Kunz TH ed.). Washington DC (US):
Smithsonian Institution Press.
Bakare AA, Ademeso MM, Adetunji OA, Alabi OA. 2011. Pharmaceutical
effluent induced chromosome aberration in rat bone marrow cells. Archives of
Applied Science Research 3:345-352.
Baker RJ, Biickham JW. 1980. Karyotypic evolution in bats: Evidence of
extensive and conservative chromosomal evolution in closely related taxa.
Systematic Zool 29:239-253.
Baker RJ, Haiduk MW, Robbins LW, Cadena A, Koop BF. 1982. Chromosomal
studies of South American bats and their systematic implications. Special
Publication Pymatuning Laboratory of Ecology. 6: 303–327.
Baker RJ, Patton JL. 1967. Karyotypes and karyotypic variation of North
American vespertilionid bats. Journal of Mammal. 48: 270–86.
Baker RJ, Hamilton M, Parish DA. 2003. Preparations of mammalian karyotypes
underfield conditions. Occasional Papers, Museum of Texas Tech University.
228: i+1-8.
Bergmans W, Rozendaal FG. 1988. Notes on collections of fruit bats from
Sulawesi and some off-lying islands (Mammalia, Megachiroptera).
Zoologische Verhandelingen 248: 1–74.
58
Brues AM, Cohen A. 1936. PMCID: Effects of colchicine and related substances
on cell division. Biochemistry Journal. 30: 1363-1368.
Capanna E, Castiglia R. 2004. Chromosomes and speciation in Mus musculus
domesticus. Cytogenet Genome Res. 105: 375–384.
Chauhan NPS. 2002. Observation of bamboo flowering and associated increases
in rodent populations in the north-eastern region of India in Rats, mice and
people: Rodent biology and management Canberra. Eds. Singleton GR, Hinds
LA, Krebs CJ,Spratt DM. Canberra (AU): ACIAR.
Chaval Y, Waengsothom S, Claude J, Saksiri S, Herbreteau V. 2011. Preparing
rodent specimens for collections in Protocols for Field and Laboratory Rodent
Studies. Eds. Herbreteau V. Jittapalapong S. Rerkamnuaychoke W. Chaval Y.
Cosson JF. Morand S. Bangkok (TH): Kasetsart University Press.
Choi SS, Chan KF, Ng HK, Mak WP. 1999. Colchicine-induced myopathy and
neuropathy. Hong Kong Medical Journal. 5: 204 - 207.
Committee on Standardized Genetic Nomenclature for Mice. 1971. Standard
karyotype of the mouse, Mus musculus. Journal of Heredity. 63:69-72.
Corbet GB, Hill JE. 1992. The Mammals of The Indo-Malayan Region: A
Systematic Review. London (UK): British Museum (Natural History).
Daele V, Dammann P, Meier JL, Kawalika M, Van De Woestijne C, Burda H.
2004. Chromosomal diversity in mole-rats of the genus Cryptomys (Rodentia:
Bathyergidae) from the Zambezian region: with descriptions of new
karyotypes. Journal of Zoology London. 264: 317–326.
Dobigny G, Ducroz JF, Robinson TJ, Volobouev V. 2004. Cytogenetics and
cladistics. Systematic Biology. 53:470-484.
Dobigny G, Xuereb A. 2011. Cytogenetics: karyotyping and tissue sampling for
fibroblast cell culture in Protocols for Field and Laboratory Rodent Studies.
Eds. Herbreteau V, Jittapalapong S, Rerkamnuaychoke W, Chaval Y, Cosson
JF, Morand S. Bangkok (TH): Kasetsart University Press.
Dulbecco R, Vogt M. 1954. Plaque formation and isolation of pure lines with
poliomyelitis viruses. Journal of Experimental Medicine. 99:167-182.
Duncan JF. 1976. Karyotypes of four rats (Rodentia: Muridae) from Sulawesi
(Celebes), Indonesia. Cytologia. 41: 481-486.
Eldridge FE. 1985. Cytognetic of Livestock. USA: Avi Publishing Company Inc.
Westport Connecticut.
Esselstyn JA, Achmadi AA , Rowe. 2012. Evolutionary novelty in a rat with no
molars : A new genus of shrew-rat. Biol. Lett. (doi: 10.1098/rsbl.2012.0574)
Published online.
Feldhamer GA, Drickamer LC, Vessey SH, Merritt JF, Krajewski C. 1999.
Mammalogy: Adaptation, Diversity, Ecology 3rd ed. Boston, Massachusetts
(US): McGraw-Hill Co.
Gersen SL, Keagle BM. 2005. The Principles of Clinical Cytogenetics, 2nd Ed.
Humana Press.
Gibson LJ. 1984. Chromosomal changes in mammalian speciation: A literature
review. Origins 11:67-89.
Haiduk MW. 1983. Evolution in The Family Pteropodidae (Chiroptera:
Megachiroptera) as Indicated by Chromosomal and Immunoelectrophoretic
Analyses. [Dissertation]. Texas (US): Graduate Faculty of Texas Tech
University.
59
Haiduk MW, Robbins LW, Robbins RL, Schlitter DA. 1980. Karyotype studies of
seven species of African megachiropterans (Mammalia: Pteropodidae). Annals
of Carnegie Museum. 49:181-191.
Harada M, Kobayashi T. 1980. Studies on the small mammal fauna of Sabah, East
Malaysia II. Karyological analysis of some Sabahan mammals (Primates,
Rodentia, Chiroptera). Contributions from the Biological Laboratory, Kyoto
University 26: 83–95.
Harada M, Minezawa M, Takada S, Yenbutra S, Nunpakdee P, Othani S. 1982.
Karyological analysis of 12 species of bats from Thailand. Caryologia. 35:269-
278.
Herbreteau V, Chaval Y, Cosson JF, Morand S. 2011. External Identification in
Protocols for Field and Laboratory Rodent Studies. Eds. Herbreteau V,
Jittapalapong S, Rerkamnuaychoke W, Chaval Y, Cosson JF, Morand S.
Bangkok (TH): Kasetsart University Press.
Hodgkison R, Balding ST, Zubaid A, Kunz TH. 2004. Habitat structure. wing
morphology and the vertical stratification of Malaysian fruit bats
(Megachiroptera: Pteropodidae). Journal of Tropical Ecology. 20: 667–673.
Hood CS, Schlitter DA, Georgudaki JI, Yenbutra S, Baker RJ. 1988.
Chromosome studies of bats (Mammalia: Chiroptera) from Thailand. Ann
Carnegie Mus. 55:99-109.
Kitchener DJ, Maharadatunkamsi. 1991. Description of new species of
Cynopterus (Chiroptera: Pteropodidae) from Nusa Tenggara, Indonesia.
West.Aus.Mus. 15: 119-173.
Kitchener DJ, Wang YX, Gradley A, How RA, Dell J. 1987. Small mammals and
habitat disturbance near Kunming, Sout-West China. Indo-Malayan Zoology.
4: 161-186.
Kunz TH, Kurta A. 1988. Capture methods and holding device in Ecological and
behavioural methods in the study of bats. Eds. Kunz TH. Washington DC
(US): Smithsonian Institution Press.
Laurie MO, Hill JE. 1954. List of land mammals of New Guinea, Celebes and
adjacent islands 1758-1952. London (UK): British Museum (Natural History).
Lee MR, Elder FFB. 1980. Yeast stimulation of bone marrow mitosis for
cytogenetic investigations. Cytogenetics and Cell Genetics. 26:36–40.
Levan A. 1938. The effect of colchicine on root mitoses in Allium. Hereditas. 24:
471–486.
Levan A, Fredga K, Sandberg AA. 1964. Nomenclature for centromeric position
on chromosomes. Hereditas. 52: 201–220.
LIPI, Bappenas KLH. 2014. Buku Kekinian Keanekaragaman Hayati. Bogor (ID):
LIPI (in press).
Li Y, Wu Y, Harada M, Lin LK, Motokawa M. 2008. Karyotypes of three rat
species (Mammalia: Rodentia: Muridae) from Hainan Island, China, and the
valid specific status of Niviventer lotipes. Zoological Science. 25: 686-692.
Loganathan E, Anuja MR, Nirmala M. 2012. Automated identification to the
centromere position and the centromer index (CI) of human chromosomes in
G-banded images. International Journal of Advanced Technology &
Engineering Research (IJATER). 2: 2250-3536.
60
Luciani JM, Devictor VM, Stahl A. 1971. Hypotonic KCl: An improved method
of processing human testicular tissue for meiotic chromosomes. Clinical
Genetics. 2: 32–36.
Maharadatunkamsi, Maryanto I. 2002. Morphological Variation of The Three
Species Fruit Bat Genus Megaerops. Treubia. 32: 63-85.
Makino S. 1948. The chromosomes of Dall’s porpoise, Phocoenoides dalli (True),
with remaks on the phylogenetic relation of the Cetacea. Chromosoma. 3: 220-
231.
Manosroi J, Meng-Umphan K, Meevatee, Manosroi A. 2003. Chromosomal
karyotyping from peripheral blood lymphocytes of the Mekong giant catfish
(Pangasianodon gigas, Chevey). Asian Fisheries Science. 241-246.
Martin NC, McGregor AH, Sansom N, Gould S and Harrison DJ. 2001.
Phenobarbitoneinduced ploidy changes in liver occur independently of p53.
Toxicology Letters. 119: 109-115.
Martin NC, McCullough CT, Bush PG, Sharp L, Hall AC and Harrison DJ. 2002.
Functional analysis of mouse hepatocytes differing in DNA content: Volume,
receptor expression, and effect of IFNg. Journal of Cellular Physiology. 191:
138-144.
Martin NC, Pirie AA, Ford LV, Callaghan CL, McTurk K, Lucy D, Scrimger DG.
2006. The use of phosphate buffered saline for the recovery of cells and
spermatozoa from swabs. Science & Justice. 46: 179-184.
Maryanto I, Higashi S. 2011. Comparison of zoogeography among rats. fruit bats
and insectivorous bats on indonesian islands. Treubia. 38 : 33-52.
Maryanto I, Prijono SN, and Yani M. 2009. Distribution of rats at Lore Lindu
National Park, Central Sulawesi, Indonesia. Journal of Tropical Biology and
Conservation. 5: 43 – 52.
Maryanto I, Yani M. 2003. The new species of the Rousettus bat from Lore Lindu
National Park Central Sulawesi, Indonesia. Mammal Study. 28: 111-120.
Maryanto I, Yani M, Nuramaliati PS, Wiantoro S. 2011. Altitudinal distribution of
fruit bats in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. J. Mamm.
22(1): 167-177.
Maryanto I, Yani M, Prijono SN, Wiantoro S. 2012. A new species of fruit bat
(Megachiroptera: Pteropodidae: Thoopterus) from Sulawesi and adjacent
islands, Indonesia. Records Of The Western Australian Museum 27: 068–084.
Matschie P. 1899. Die Fledermause des Berliner Museum fur Naturkunde I. Die
Megachiroptera des Berliner Museum fur Naturkunde. Berlin: Riemer.
Musser GG. 1981. Results of the Archbold expeditions. No. 105. Notes on
systematics of Indo-Malayan murid rodents, and description of new genera and
species in Ceylon, Sulawesi, and the Philippines. Bull. Amer. Mus. Nat. Hist.
168: 229-334.
Musser GG. 1991. Sulawesi Rodents: Descriptions of new species of Bunomys
and Maxomys (Muridae, Murinae). American Museum Novitates. 3001: 1-41.
Musser GG. 1971. Results of the Archbold Expeditions. No. 94 Taxonomic Status
of Rattus tatei and Rattus frosti, Two Taxa of Murid Rodents Known from
Middle Celebes. American Museum Novitates. 2454: 1-19.
Musser GG, Durden LA. 2002. Sulawesi Rodents: Description of New genus and
Species of Murinae (Muridae, Rodentia) and Its Parasitic New Species of
61
Whitmore TC. 1984. Tropical rain forest of the Far East. Oxford (UK): Claredon
Press.
Yong HS. 1984. Robertsonian translocation, pericentric inversion and
heterochromatic block in the evolution of the tailless fruit bat. Experientia. 40:
875-876.
Zima J. 2000. Chromosomal evolution in small mammals (Insectivora,
Chiroptera, Rodentia). Hystrix. 11: 5-15.
63
RIWAYAT HIDUP