Anda di halaman 1dari 40

PAPER EVOLUSI

“Evolusi pada Manusia”

Dosen Pengampu:
Indah Juwita Sari, S.Pd., M.Si.
Usman, S.Pd., M.Pd.
Mahrawi Suprapto, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh:
Anis Fitri Wahyuni 2224150067
Awalullya Fath Niatunnisa 2224150017
Handa Sukarya 2224150070
Rizqi Nur Rachmawati 2224150039
Suryaningsih 2224140861
Kelas 7C

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018
Primata
Ordo mamalia primata mencakup lemur, tersius, monyet, dan kera. Manusia
adalah anggota kelompok kera.

Karakter turunan primata


Sebagian besar primata memiliki tangan dan kaki yang teradaptasi untuk
memegang. Pada jari-jarinya memiliki kuku yang pipih, bukan cakar sempit seperti
yang dimiliki manusia. Ada pula ciri khas lain pada tangan dan kaki, misalnya
hubungan dengan kulit pada jari (yang menjadi sidik jari manusia). Jika
dibandingkan dengan manusia, primata memiliki otak yang besar dan rahang yang
pendek, sehingga mereka berwajah pipih. Matanya yang menghadap kedepan
berdekatan dibagian depan terletak berdekatan dibagian depan wajah. Primate juga
menunjukan pengasuhan anak yang berkembang cukup baik dan prilaku sosial yang
kompleks.
Primata yang paling awal dikatahui merupakan penghuni pohon, dan
banyak karakteristik primata merupakan adaptasi terhadap kebutuhan-kebutuhan
bagi kehidupan di pohon. Tangan dan kaki yang bisa memegang memungkinkan
primata untuk bergelantungan di cabang pohon. Semua yang masih ada, kecuali
manusia, memiliki jari kaki yang besar yang terpisah jauh dari jari kaki yang lain,
sehingga primata bisa memegang cabang. Bukti banyak sekali fosil dan analisis
molekuler mengindikasikan bahwa menotremata berdivergensi dari mamalia yang
lain sekitar 180 juta tahun lalu dan bahwa marsupialia berdivergensi dari euteria
(mamalia berplasenta) sekitar140 juta tahun lalu. Sistematika molekuler telah
membantu kita mengklasifikasikan hubungan-hubungan evolusioner diantara ordo-
ordo euteria, walaupun masih ada consensus satu pohon tentang satu pohon
filogenik. Salah satu hipotesis terbaru, direpresentasikan oleh pohon yang
ditunjukan dibawah, mengelompokan ordo-ordo euteria kedalam empat klad utama.
1.1 Pohon filogenik mamalia

Monotremata
(5 spesies)
Monotremata

(324 spesies)
Marasupialia
Mamalia nenek
moyang
Marasupialia

Xenarthra
1. Rodentia
2. Lagomorpha

(51010 spesies)
3. Primate

Euteria
 dermoptera (lemur terbang)
 scandentia (celurut pohon)
1. Carnivora
2. Catartiodactyia
3. Perissodactyia
4. Chiroptera
5. Eulipotyphla
6. pholidota (tranggiling)

Tabel 1.1 Konvergensi evolusi marsupilia dan euteria (mamalia berplasenta)

Mamali Marsupilia Mamalia Euteria

Plantigale Mencit rusa


Tikus marsupilia Tikus rhondok

Wombat Marmot tanah

Tasmanian devil wolverine

Kanguru Kavil patagonia

(gambar dibuat tidak berdasarkan skala)


Tabel 1.2 tabel keanekaragaman mamalia

Ordo dan Karakteristik Ordo dan Karakteristik


utama utama
contoh- contoh-
contohnya contohnya

Monocremata Bertelur, tidak Marsupilia Embrio


memiliki putting, menyelesaikan
Platipus, Kanguru, oposum,
anaknya perkembangannya
koala
ekidna mengisap susu, didalam kantong
dari rambut induk betina
induk

Proboscidae Belalai yang Tubulidentata Gigi terdiri atas


panjang dan banyak tabung
Gajah Babi tanah
berotot, kulit tipis yang melekat
(aardvark)
tebal, dan bersama,
longgar, gigi seri memakan semut
atas memanjang dan rayap
menjadi gading

Sirenia Akuatik, tungkai Hyracoidea Kaki pendek; ekor


depan berupa pendek-gemuk;
Manatee, Hiraks
sirip dan tidak herbivora;
duyung ada tungkai lambung beruang
belakang, banyak.
herbivor.

Lagomorpha Gigi seri mirip Rodentia Gigi seri serupa


pahat: kaki pahat, terus-
Kelinci, terwelu, Bajing, berang-
belakang lebih menerus tumbuh
pika berang, tikus,
panjang dari kaki dan terkikis akibat
landak, mencit
depan dan
teradaptasi untuk
Ordo dan Karakteristik Ordo dan Karakteristik
utama utama
contoh- contoh-
contohnya contohnya

berlari dan mengerat;


melompat; herbivora
herbivora

Xenarthra Gigi tereduksi Primata Ibu jari


atau tidak ada dapatdigerakan
Kukang, pemakan Lemut, monyet,
gigi; herbivor kearah yang
semut, armadilo simpase, gorila,
(kukang) atau berlawanan; mata
manusia
karnivor menghadap
(pemakan semut, kedepan; korteks
armadilao) serebral yang
berkembang
dengan baik;
herbivora

Carnivora gigi taring yang Perissodactyla Kuku dengan jari


tajam dan yang berjumlah
Anjing, serigala, Kuda, zebra,
meruncing serta ganjil di setiap
beruang, kucing, tapir, badak
geraham kaki; herbivor
cerpelai, linsang,
belakang untuk
anjing laut, walrus
merobek daging,
Karnivor.

Cetartiodactyla Kuku dan jari- Chiroptera Teradaptasi untuk


jari berjumlah terbanag; lipatan
Artiodactyla Kelalawar
genap pada setiap kelit lebar yang
Domba, babi, sapi, kaki; herbivor. terlentang dari
rusa, jerapah jari-jari yang
memanjang
Ordo dan Karakteristik Ordo dan Karakteristik
utama utama
contoh- contoh-
contohnya contohnya

ketubuh dan kaki;


karnivora dan
herbivora.

Makanan
terutama terdiri
dari serangga dan
Akuatik; tubuh
berbagai
mirip cerutu;
Cetacea Eulipotyphala invertebrata kecil
tungkai depan
yang lain.
Paus, lumba- serupa sirip dan Insektivora inti;
lumba, julang- tidak ada tungkai beberapa tikus
julang belakang. mondok, beberapa
Lapisan tebal celurut
pengisolasi
panas; karnivor.

Semua primata juga memiliki ibu jari


yang relatif bisa digerakan dan terpisahdari jari-jari
yang lain.namun monyet dan kera memiliki ibu jari
tangan yang sepenuhnya oposable (opposable thumb):
artinya, mereka dapat menyentuh permukaan ventral
(sisi bersidik jari) dari ujung keempat jari yang lain
dengan permukaan ventral ibu jari dari tangan yang
sama. Pada monyet dan kera kecuali manusia, ibu jari
Gambar 1.1 safaka coquerel yang oposible berfungsi untuk menggenggam secara
(propithcus verreaux
conqueli) sejenis lemur
ttp://en.m.wikipedia.org/wiki/f
ile:propithecus_verreauxi_00
.jpg
2.jpg
kuat. Pada manusia struktur tulang yang berbeda pada lengan memungkinkan
jempol digumnakan untuk menggenggam lebih presisi. Ketangkasan unik manusia
merepresentasikan penurunan dengan modifikasi dari nenek moyang yang tinggal
di pohon, manuver di atas pepohonan memerlukan koordinasi mata-tangan yang
sangat medan penglihatan yang saling tumpang tindih dari mata yang menghadap
kedepan meningkatkan persamaan tentang kedalaman. Suatu keuntungan yang
digunakan ketika primata melakukan brakiasi (baranchiting, berpindah dengan
berayun dari satu cang pohon kecabang yang lain).

Primata yang masih ada


Ada tiga kelompok utama primata yang masih ada: (1) lemur-lemur
madagaskar serta kukang dan poto dari wilayah tropis afrika dan asia tenggara; (2)
tersus, yang hidup di asia tenggara; dan antropoid (antrhopoid) yang mecakup
monyet dan kera yang ditemukan di seluruh dunia. kelompok pertama lemur,
kukang, dan poto mungkin menyerupai primata arboreal awal. Foto antropoid tertua
yang dikahui di temukan di china. Pada strata mid-eosen dan berusia sekitar 45 juta
tahun yang mengindikasikan tersus berkerabat lebih dekat dengan antropiod
daripada dengan kelompok lemur.
Gambar 1.2 Pohon filogenik primata.

Lemur, kukang dan poto


primata nenek Tarsius
moyang

Monyet dunia baru

Monyet dunia lama

Owa
Orangutan

Gorilla
Simpase dan bonobo

Waktu (jutaan tahun lalu)


Manusia

60 50 40 30 20 10 0
 Catatan fosil mengindikasikan bahwa antropoid mulai berdivergensi dari primata
lain sekitar 50 juta tahun lalu. Monyet dunia baru, monyet dunia lama, dan kera
(klad yang mencakup owa, orangutan, gorila, simpase, dan manusia) telah
berevolusi sebagai garis-garis keturunan yang terpisah selama lebih dari 20 juta
tahun. Garis-garis keturunan yang mengarah kepada manusia memisahkan diri dari
kera-kera yang lain antara 5 dan 7 juta tahun lalu.

Gambar monyet dunia lama dan monyet dunia baru


Bahwa monyet dunia baru pertama kali mengolonisasi. Amerika selatan
sekitar 25 juta tahun lalu. Pada saat itu, amerika selatan dan afrika telah terpisah,
dan monyet mungkin mencapai amerika selatan dengan menyebrang di atas batang
kayu atau puing-puing lain dari afrika. Yang bisa dipastikan adalah bahwa monyet
dunia lama dan monyet dunia baru mengalami radiasi adaptif berpisah selama
pemisahan berjuta-juta tahun. semua spesies monyet dunia baru bersifat arboreal,
sementara monyet dunia lama mencakup spesies penghuni permukaan tanah dan
arboreal. Sebagian besar monyet pada kedua kelompok bersifat diurnal (aktif
selama siang hari) dan biasanya hidup dalam kelompok-kelompok yang
dipersatukan oleh prilaku social.
Kelompok anthropoid yang lain terdiri dari primate yang secara informal
disebut kera. kelompok kera mencakup genus-genus hylobates (owa), pongo (orang
utan), gorilla (gorila), pan (simpase dan bonobo) serta homo (manusia). Kera
berdiveregensi dari monyet dunia lama sekitar 20-25 juta tahun yang lalu. kini, kera
nonmanusia ditemukan hanya di wilayah-wilayah tropis dunia lama. Dengan owa
sebagai pengecualian, kera yang masih ada berukuran lebih besar daripada monyet.

Manusia adalah mamalia yang memiliki otak besar dan lokomosi bipedal
Ketika Anda mempertimbangkan bahwa kehidupan telah ada di Bumi
selama setidaknya 3,5 miliar tahun, jelaslah kita merupakan pendatang baru dalam
evolusi makhluk hidup.

Karakter Turunan Manusia


Banyak karakter yang membedakan manusia dari kera lain. Yang paling
jelas, manusia berdiri tegak dan bipedal (berjalan dengan dua kaki). Manusia
memiliki otak yang jauh lebih besar dan mampu berbahasa, berpikir simbolik, serta
membuat dan menggunkaan peralatan yang kompleks. Manusia yang memiliki
tulang-tulang rahang dan otot-otot rahang yang tereduksi, bersama dengan saluran
pencernaan yang lebih pendek.
Pada tingkat molekuler, daftar karakter turunan manusia terus bertambah
seiring para saintis membandingkan genom manusia dan simpanse. Walaupun
kedua genom 99% identik, perbedaan 1% dapat diterjemahkan menjadi banyak
sekali perbedaan di dalam genom yang mengandung 3 miliar pasangan basa.
Terlebih lagi, perubahan-perubahan pada sedikit gen dapat berakibat besar. Hal ini
ditekankan oleh hasil-hasil penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa manusia
dan simpanse berbeda dalam ekspresi 19 gen regulator. Gen-gen ini menyalakan
atau memadamkan gen-gen lalin sehingga dapat menyebabkan banyak perbedaan
antara manusia dan simpanse.
Ingatlah bahwa perbedaan-perbedaan genomik semacam itu dan apa pun ciri
fenotipik turunan yang dikodekan memisahkan manusia dari kera lain yang masih
ada. Namun banyak karakter-karakter baru ini pertama kali muncul pada nenek
moyang kita, jauh sebelum spesies kita sendiri muncul. Kita akan menelaah
beberapa dari nenek moyang ini untuk mengetahui bagaimana karakter-karakter ini
bermula.

Homonin Terawal
Penelitian asal-usul manusia dikenal sebagai paleoantropologi
(paleoanthrophology). Para ahli paleoantropologi telah menggali fosil-fosil dari
sekitar 20 spesies yang telah punah yag berkerabat lebih dekat dengan manusia
dibandingkan dengan simpanse. Spesies-spesies ini dikenal sebagai hominin
(Gambar 1.3) (Walaupun mayoritas antropolog kini menggunakan istilah hominin,
sinonimnya terdahulu, hominid, masih terus digunakan oleh sebagain ahli). Sejak
1994, fosil-fosil dari empat spesies hominin yang berasal lebih dari 4 juta tahunlalu
telah ditemukan. Hominin yang tertua, Sahelanthropus tchadensis, hidup sekitar 6-
7 juta tahun lalu.
Gambar 1.3 Lokasi Penemuan Fosil Hominin

Sahelanthropus dan hominin-hominin awal yang lain memiliki karakter-


karakter turunan mansuia. Misalnya, n=mereka memiliki gigi taring yang tereduksi,
dan beberapa fosil menunjukkan bahwa mereka memiliki wajah yang relatif pipih.
Mereka juga menunjukkan tanda-tanda yang lebih tegak dan bipedal daripada kera-
kera lain. Satu petunjuk tentang postur tegak mereka dapat ditemukan pada foramen
magnum, lubang itu terletak di bawah tengkorak. Posisi ini memungkinkan kita
memegang kepala langsung di atas tubuh, yang sepertinya juga dilakukan dengan
baik oleh hominian awal. Tulang-tulang kaki Australopithecus anamensis, sejenis
hominin yang hidup 4,5-5 juta tahun lalu, juga menunjukkan bahwa hominian awal
lama-kelamaan menjadi bipedal.
Walapun hominin-hominin awal menunjukkan tanda-tanda bipedalusme,
otak mereka tetap kecil, bervolume sekitar 400-450 cm3, dibandingakan dengan
rata-rata 1.300 cm3 pada Homo sapiens. Hominin-hominin paling awal juga kecil
secara keseluruhan (Ardipithecus ramidusnyang berusia 4,5 juta tahun diperkirakan
hanya berbobobot 40 kg) namun memiliki gigi yang relatif besar dan ragang bawah
yang menonjol melebihi bagian atas wajahnya. (manusia, sebaliknya, memiliki
wajah yang relatif pipih; bandingkan wajah Anda sendiri dengan simpanse.
Penting untuk menghindari dua kesalahtafsiran ketika menelaah hominin-
hominin awal ini. Salah satunya adalah menganggap mereka simpanse. Simpanse
merepresentasikan ujung cabang evolusi yang terpisah, dan mereka memperoleh
karakter-karakter turunannya sendiri setelah berdivergensi dari nenek moyang
bersama dengan manusia. Kesalahan lain adalah dengan menganggap evolusi
manusia sebagai tangga yang mengarah langsung dari sejenis kera nenek moyang
ke Homo sapiens. Jika evolusi manusia merupakan suatu parade, maka parade itu
sangat tidak teratur, dengan banyak kelompok yang memisahkan diri untuk
menjelajahi jalur-jalur evolusi yang lain. Terkadang, terdapat beberapa spesies
hominin secara bersamaan. Spesies-spesies ini seringkali berbeda dalam bentuk
tengkorak, ukuran tubuh, dan makanan (seperti yang disimpulkan dari gigi-
giginya). Pada akhirnya, semua garis keturunan kecuali satu yang memunculkan
Homo sapiens berakhir dengan kepunahan. Namun ketika karakteristik-
karakteristik dari semua hominin yang hidup selama 6 juta tahun terakhir
dipertimbangkan, H. sapiens tampak bukan sebagai akhir jalur evolusioner yang
lururs, melainkan sebagai satu-satunya anggota pohon evolusioner bercabang
banyak yang sintas.

Australopith
Australopith mendapatkan namanya dari penemuan Australopithecus
africanus (‘kera selatan dari Afrika’) pada 1942 di Afrika Selatan, yang hidup
antara 3 dan 2,4 juta tahun lalu. Dengan penemuan lebih banyak fosil, jelaslah
bahwa A. africanus berjalan secara tegak sepenuhnya (bipedal) dan memiliki tangan
dan gigi serupa-manusia. Akan tetapi, otaknya hanya sekitar sepertiga dari ukuran
otak manusia masa kini.
Pada 1974, di wilayah Afar, Etiopia, para ahli
paleontologi menemukan rangka Australopithecus berusia 3,2
juta tahun yang 40% komplit. ‘Lucy’, demikian fosil itu
dinamai, bertubuh pendek, tingginya hanya sekitar 1 m. Lucy
dan fosil-fosil yang serupa dianggap cukup berbeda dari
Australopithecus africanus untuk digolongkan sebagai spesies
yang terpisah, Australopithecus afarensis (berdasarkan nama
Gambar 1.4 Lucy
rangka berumur 3,24 juta tahun

wilayah Afar). Fosil-fosil yang ditemukan pada awal tahun 1990-an menunjukkan
bahwa A. afarenss terdapat sebagai sebuah spesies selama setidaknya 1 juta tahun.
Meskipun berisiko terlalu menyederhanakan, seseorang bisa mengatakan
bahwa A. afarensis memiliki karakter turunan manusia yang lebih sedikit di atas
leher daripada di bawah. Kepala Lucy seukuran bola sofbol, mengindikasikan
ukuran otak yang sebesar otak simpanse dengan tubuh seukuran Lucy. Tengkorak
A. afarensis menunjukkan bahwa tampaknya hominin ini mampu melakukan
lokomosi arboreal, dengan proporsi lengan yang relatif panjang daripada ukuran
tubuh (dibandingkan dengan proporsi pada manusia). Akan tetapi, fragmen-
fragmen tulang panggul dan tengkorak mengindikasikan bahwa A. afarensis
berjalan dengan dua kaki. Jejak kaki yang terfosilasi di Laetoli, Tanzania,
mendukung bukti rangka bahwa hominin yang hidup di masa A. afarensis bersifat
bipedal.

Garis keturunan australopith yang


lain terdiri dari australopith yang ‘kekar’
(‘robust’). Hominin-hominin ini , yang
mencakup sejumlah spesies seperti
Paranthropus boisei, memiliki tengkorak
kokoh dengan rahang yang kuat dan gigi
Gambar 1.5 Australopith

yang besar, teradaptasi untuk menggilas danmengunyah makanan keras. Mereka


berbeda dari australopith yang ‘gracile’ (langsing), termasuk A. afarensis dan A.
africanus, yang memiliki perlengkapan makan yang lebih ringan dan teradaptasi
untuk makanan yang lebih lunak.
Dengan mengombinasikan bukti dari hominin-hominin terawal dengan
catatan fosil yang lebih kaya dari australopith yang muncul belakangan
memungkinkan penyusunan hipotesis tentang tren-tren yang signifikan dalam
evolusi hominin.

Bipedalisme
Nenek moyang antropoid kita yang hidup 30-35 juta tahun lalu masih
merupakan penghuni pohon. Namunsekitar 10 juta tahun lalu, wilayah pegunungan
Himalaya telah terbentuk, terdorong ke atas akibat tumbukan lempeng India dengan
lempeng Eurasia. Iklim menjadi lebih kering, dan hutan-hutan di daerah yang kini
merupakan Afrika dan Asia menyusut. Hasilnya adalah peningkatan habitat sabana
(padang rumput), dengan pohon-pohon yang lebih sedikit. Selama beberapa
dekade, para ahli paleontropologi melihat ada hubungan kuat antara perluasan
sabana dan kemunculan hominin bipedal. Menururt salah satu hipotesis, hominin
penghuni pohon tidak bisa lagi berpindah-pindah melalui kanopi, sehingga seleksi
alam menggunakan adaptasi-adaptasi yang membuat pergerakan melintasi tanah
terbuka lebih efisien.

Walaupun sejumlah unsur hipotesis ini


masih sintas, gambaran evolusi hominin bipedal
ini menjadi lebih kompleks. Walaupun semua
fosil hominin awal baru ini ditemukan
menunjukkan sejumlah indikasi bipedalisme,
tiadk satu pun dari hominin-hominin ini yang
hidup di sabana.

Gambar 1.6 Lokomosi Bipedal

Sebagai gantinya, mereka hidup di habitat campuran mulai dari hutan


sampai wilayah terbuka berpohon. Terlebih lagi, tekanan selektif apapun yang
menyebabkan bipedalisme, hominin tidak menjadi lebih bipedal secara sederhana
dan linier. Australopith tampaknya memiliki berbagai gaya lokomotor, dan
sejumlah spesies menghabiskan lebih banyak waktu di tanah daripada spesies-
spesies yang lain.baru sekitar 1,9 juta tahun lalu hominin mulai berjalan jauh
dengan dua kaki. Hominin-hominin ini hidup di lingkungan-lingkungan yang lebih
kering, tempat bipedalisme membutuhkan energi yang lebih sedikit daripada
berjalan dengan berjalan empat kaki.

Penggunaan Alat
Pembuatan dan penggunaan alat-alat kompleks merupakan karakter
perilaku turunan manusia. Menentukan asal usul penggunaan alat dalam evolusi
manusia merupakan salah satu tantangan terbesar ahli paleoantropologi. Kera-kera
lain mampu menggunkaan peralatan yang rumit secara mengejutkan. Orangutan,
misalnya, dapat membentuk tongkat kayu menjadi alat pencolok untuk mengambil
serangga dari sarang. Simpanse bahkan lebih mahir lagi, menggunkaan bebatuan
untuk membuka makanan dan meletakkan dedaunan di kaki untuk berjlaan
melintasi duri-duri. Ada kemungkinan bahwa hominin awal mampu menggunkan
alat sederhana semacam ini, namun menemukan fosil tongkat yang dimodifikasi
atau dedaunan yang digunakan sebagai sepatu bisa dianggap mustahil.
Bukti tertua penggunaan alat oleh hominin yang diterima secara luas adalah
bekas-bekas pemotongan pada tulang-tulang hewan berusia 2,5 juta tahun yang
ditemukan di Etiopia. Tanda-tanda ini menunjukkan bahwa hominin memotong
daging dari tulang-tulang hewan menggunakan alat-alat batu. Yang menarik,
hominin yang fosilnya ditemukan di dekat tempat penemuan tulang-tulang itu
memiliki otak yang relatif kecil. Jika hominin-hominin ini, yang dinamai
Australopithecus garhi, benar merupakan pencipta alat-alat batu yang digunakan
pada tulang-tulang tersebut, maka itu berarti penggunaan alat-alat batu bermula
sebelum evolusi otak yang berukuran besar pada hominin.

Homo Awal
Fosil-fosil terawal yang ditemapatkan oleh para ahli paleoantropologi ke
dalam genus kita, Homo, adalah fosil-fosil dari spesies Homo habilis. Fosil-fosil
ini, yang usianya berkisar dari sekitar 2,4 hingga 1,6 juta tahun, menunjukkan
tanda-tanda yang jelas dari sejumlah karakter turunan hominin tertentu di atas leher.
Dibandingkan dengan australopith, H. habilis memiliki rahang yang lebih pendek
dan volume otak yang lebih besar, sekitar 600-750 cm3.
Alat-alat batu yang tajam juga telah ditemukan bersama
sejumlah fosil H. habilis (yang naanya berarti ‘manusia
cekatan’).
Fosil-fosil dari 1,9 hingga 1,5 juta tahun lalu
menandai tahap baru dalam evolusi hominin. Sejumlah
ahli paleoantropologi mengenali fosil-fosil ini sebagai
spesies yang terpisah, Homo ergaster. Homo ergaster
Gambar 1.7 H. ergaster & H. erectus
memiliki otak yang jauh lebih besar daripada H. habilis (lebih dari 900 cm3), serta
kaki yang panjang dan langsing dengan persendian panggul yang terasaptasi dengan
baik untuk berjalan jarak jauh. Jari-jarinya relatif pendek dan lurus, menunjukkan
bahawa H. ergaster tidak memanjat pohon seperti hominin-hominin terdahulu.

Fosil-fosil H. ergaster telah ditemukan di


lingkungan yang jauh lebih kering daripada hominin-
hominin terdahulu dan telah diasosiasikan dengan alt-
alat batu yang lebih canggih. Giginya yang lebih kecil
juga menunjukkan bahwa H. ergaster menyantap
makanan yang berbeda dari australopith (lebih
banyak daging dan lebih sedikit tumbuhan) atau
mempersiapkan sebagian makanannya sebelum
dikunyah, mungkin dengan dimasak atau ditumbuk.
Gambar 1.8 H. habilis & H. erectus

Homo ergaster menandai pergeseran yang penting dalam ukuran relatif dari
kedua jenis kelamin. Pada primata, perbedaan ukuran antara jantan dan betina
merupakan komponen utama dimorfisme seksual. Rata-rata, gorila dan orangutan
jantan berbobot sekitar dua kali bobot betina dari spesiesnya. Pada simpanse dan
bonobo, jantan rata-rata hanya sekitar 1,35 kali lebih berat daripada betina. Pada
Australopithecus afarensis, jantan 1,5 kali lebih berat daripada betina. Namun pada
homo awal, dimorfisme seksual sangat tereduksi, dan tren ini terus berlanjut hingga
spesies kita sendiri: manusia laki-laki rata-rata sekitar 1,2 kali lebih berat daripada
perempuan.
Dimorfisme seksual yang tereduksi dapat memberikan sejumlah petunjuk
tentang sostem sosial hominin yang sudah punah. Pada primata yang masih ada,
dimorfisme seksual yang ekstem diasosiasikan dengankompetisi jantan-jantan yang
keras untuk memperebutkan banyak betina. Pada spesies-spesies yang menjalankan
ikatan pasangan (termasuk spesies kita sendiri), dimorfisme seksual tidak
sedemikian drastis. Dengan demikian laki-laki dan perempuan H. ergaster telah
menjalin lebih banyak ikatan pasangan daripada hominn terdahulu. Pergeseran ini
mungkin telah berasosiasi dengan pengasuh anak yang lebih lama oleh kedua orang
tua. Bayi manusia bergantung pada orang tuanya untuk memperoleh makanan dan
perlindungan dalam jangka waktu yang lebih lama daripada anak kera yang lain.
Fosil-fosil yang kini dikenal sebagai H. ergaster pada awalnya dianggap
anggota-anggota awal spesies yang lain, Homo erectus, dan sejumlah ahli
paleoantropologi masih meyakini hal ini. Homo erectus bermula di Afrika dan
merupakan hominin pertama yang bermigrasi keluar dari Afrika. Fosil-fosil
hominin tertua di luar Afrika, berusia 1,8 juta tahun, ditemukan pada tahun 2000 di
bekas Republik Soviet, Georgia. Homo erectus akhirnya bermigrasi hingga sejauh
kepulauan Indonesia. Pembandingan fosil-fosil H. erectus dengan manusia dan
penelitian DNA manusia mengindikasikan bahwa H. erectus punah pada suatu
waktu setelah 200.000 tahun lalu.

Neanderthal
Pada 1856, para penambang menemukan sejumlah fosil-fosil manusia
misterius di sebuah gua di Lembah Neande, Jerman. Fosil-fosil berusia 40.000
tahun itu milik sejenis hominin bertulang tebal dengan dahi yang menonjol.
Hominin tersebut diberi nama Homo neanderthalenis dan biasa disebut
Neanderthal. Neanderthal hidup di Eropa dan Timur Dekat sekitar 200.000 tahun
lalu, namun tidak pernah menyebar keluar dari wilayah itu. Mereka mempunyai
otak yang besarnya sama dengan manusia masa kini, menguburkan jenazah, dan
membuat peralatan berburu dari batu dan kayu. Meskipun memiliki berbagai
adaptasi dan kebudayaan itu, Neanderthal tampaknya punah sekitar 28.000 tahun
lalu.
Banyak ahli paleontropologi pernah menganggap Neanderthal sebagai
suatu tahap dalam evolusi Homo erectus menjadi Homo sapiens. Kini sebagian
besar ahli telah menggugurkan pandangan ini. Salah satu alasan untuk perubahan
ini berkaitan dengan bukti dari analisis DNA mitokondria. Hasil-hasil itu
menunjukkan bahwa Neanderthal mungkin telah menyumbang sedikit ke lungkang
gen (gen pool) H. sapiens. Akan tetapi, hasil-hasil awal dari sebuah penelitian tahun
2006 yang membandingkan DNA nucleus Neanderthal dan manusia tampaknya
konsisten dengan aliran gen terbatas di antara kedua spesies. Selain itu, sejumlah
peneliti berargumentasi bahwa bukti aliran gen dapat ditemukan pada fosil-fosil
yang menunjukkan campuran karakteristik H. sapiens dan Neanderthal. Analisis
genetik dan penemuan fosil lebih lanjut akan diperukan untuk menyudahi debat
yang terus berlangsung tentang pertukaran genetik di anatara kedua spesies.

Homo sapiens
Bukti-bukti dari fosil, arkeologi, dan penelitian DNA telah mengarahkan
kita pada hipotesis yang meyakinkan tentang bagaimana spesies kita sendiri. Homo
sapiens, muncul dan menyebar keseluruh dunia.
Bukti fosil mengindikasi bahwa nenek moyang manusia bermula di Afrika.
Spesie-spesies yang lebih tua (mungkin H. ergaster atau H. erectus) memunculkan
spesies-spesies yang lebih baru, pada akhirnya mencakup H. sapiens. Terlebih lagi,
fosil-fosil tertua yang telah diketahui dari spesies kita sendiri telat ditemukan di dua
situs berbeda di Etiopia dan mencakup specimen-spesimen berusia 195.000 dan
160.000 tahun. Manusia-manusia ini tidak memiliki tonjolan dahi berat seperti H.
erectus dan Neanderthal serta lebih langsing daripada hominin yang lain.
Fosil-fosil Etiopia tersebut mendukung kesimpulan tentang asal usul
manusia dari bukti molekuler. Seperti yang anda lihat pada, analisis DNA
mengindikasi bahwa semua manusia masa kini berkerabat lebih dekat satu sama
lain dibandingkan dengan Neanderthal. Penelitian-penelitian lain terhadap DNA
manusia menunjukkn bahwa orang-orang Eropa dan Asia memiliki nenek moyang
bersama yang relatif baru dan bahwa banyak garis keturunan Afrika bercabang pada
posisi-posisi yang lebih tua pada pohon family manusia. Temuan-temuan ini sangat
mendukung bahwa semua manusia masa kini memiliki nenek moyang bersama
yang bermula sebagai H. sapiens di Afrika, yang didukung lebih lanjut oleh analisis
DNA mitokondria dan kromosom Y dari anggota-anggota berbagai populasi
manusia.
Fosil tertua H. sapiens di luar Afrika berasal dari Timur Tengah dan berusia
sekitar 115.000 tahun. Penelitian-penelitian terhadap kromosom Y manusia
menunjukkan bahwa manusia menyebar keluar Afrika dalam satu atau lebih
gelombang, perta,a-tama ke Asia dan kemudian ke Eropa dan Australia. Waktu
kedatangan pertama manusia di Dunia Baru belum bisa dipastikan, walaupun bukti
tertua yang diterima secara luas menunjukkan bahwa itu terjadi sebelum 150.000
tahun lalu.

Temuan-temuan baru terus memperbaharui pemahaman kita tentang evolusi


H. sapiens. Sebagai contoh, pada 2004, para peneliti melaporkan temuan yang

Gambar 1.9 Evolusi Manusia

mengagumkan sisa-sisa rangka hominin dewasa yang berasal dari 18.000 tahun lalu
dan merepresentasikan sebuah spesies yang sebelumnya tidak dikenal yang mereka
namai Homo floresiensis. Ditemukan di sebuah gua gamping di Pulau Flores,
Indonesia, individu-individu tersebut jauh lebih pendek dan mempunyai volume
otak yang lebih kecil daripada H. sapiens- bahkan lebih mirip dengan australopith.
Para peneliti yang menmukan fosil-fosil ini berargumentasi bahwa rangka-rangka
tersebut juga menunjukkan banyak cirri turunan, termasuk ketebalan tengkorak dan
proporsi serta bentuk gigi, yang menunjukkan bahwa spesies tersebut diturunkan
dari H. erectus yang lebih besar. Sejumlah peneliti yang tidak meyakini hal baru itu
berargumen bahwa fosil-fosil itu merepresentasikan H. sapiens kecil yang memiliki
otak cacat berukuran mungil, suatu kondisi yang dikenal sebagai mikrosefali
(microcephaly).
Akan tetapi, sebuah penelitian tahun 2007 menemukan bahwa tulang
pergelangan tangan fosil-fosil Flores mirip dengan pergelangan keran nonmanusia
dan hominin awal, namun berbeda dari pergelangan tangan Neanderthal dan H.
sapiens. Para peneliti menyimpulkan bahwa fosil-fosil Flores mempresentasikan
sebuah spesies yang garis keturunannya bercabang sebelum kemunculan klad yang
mencakp Neanderthal dan manusia.
Ekspansi spesies kita yang cepat (dan penggantian Neanderthal) mungkin
telah didorong oleh perubahan-perubahan pada kognisi manusia ketika H. sapiens
berevolusi di Afrika. Bukti pemikiran yang canggih pada H. sapiens mencakupu
penemuan seni berusia 77.000 tahun, tanda-tanda geometrik yang dibuat di atas
potongan-potongan oker, sejenis bijih besi tak murni, di Afrika Selatan pada tahun
2002. Pada tahun 2004, para arkeolog yang bekerja di Afrika Selatan dan Timur
menemukan telur burung onta dan cangkang siput yang berusia 75.000 tahun
dengan lubang-lubang yang dibor dengan rapi. Sekitar 36.000 tahun lalu, manusia
telah menghasilkan lukisan-luksian gua yang spektakular.
Petunjuk-petunjuk transformasi kognisi manusia juga dapat ditemukan
dalam genom manusia. Misalnya, gen FOXP2 diduga memainkan peran penting
dalam bahasa manusia. Orang-orang yang mewarisi versi termutasi dari gen
tersebut menderita gangguan berbahasa dan memiliki aktivitas yang tereduksi pada
area Broca di otak.. pada 2002, parah ahli genetika membandingkan gen FOXP2
pada manusia dengan gen homolog pada mamalia lain. Mereka menyimpulkan
bahwa gen tersebut mengalami seleksi alam yang kuat setelah nenek moyang
manusia dan simpanse berdiverhensi. Dengan membandinganberbagai mutasi pada
wilayah-wilayah yang mengapit gen tersebut, para peniliti memperkirakan bahwa
rangkaian seleksi alam ini terjadi selama 200.000 tahun terakhir. Tentu saja,
kapasitas manusia untuk berbahasa melibatkan banyak wilayah otak, dan hampir
pasti bahwa banyak gen lain juga penting bagi bahasa.

Perkembangan Penelitian Prasejarah Indonesia

Penelitian tentang prasejarah Indoensia telah berlangsung lama. Sejak


zaman Hindia Belanda upaya penelitian untuk menguak masa lalu bangsa-bangsa
telah dilakukan terutama oleh pakar dari luar negeri (Belanda) seperti: E Dubois, V
Koenigswald, Van Heekeren, dan lain-lain. Mereka banyak melakukan penelitian
untuk merekonstuksi prasejarah di Indonesia. Penelitian yang dilakukan
menunjukkan hasil yang luar biasa yang dapat dilihat dari penemuan-penemuan
yang hebat yaitu penemuan situs diberbagai tempat seperti Situs Sangiran di Jawa
Tengah, Situs Pati Ayam, Situs Sambung Macan, dan lain-lain. Di samping itu
penelitian-penelitian para arkelolog ini juga menghasilkan temuan yang
mencengangkan dunia yaitu penemuan fosil manusia prasejarah Indpnesia seperti
akan disebutkan nanti.

Sangiran Sebagai Laboratorium Penelitian Prasejarah Indonesia

Sangiran merupakan daerah yang selama ini banyak ditemukan fosil


hominid yaitu Jawa Timur, meliputi Trinil, Ngandong dan Mojokerto, dan Jawa
Tengah, meliputi Sangiran dan Sambungmacan. Penemuan hominid fosil yang
diberitakan pada tahun 1930an hingga 1941, diawali dengan penemuan tujuh
tengkorak dari Homo soloensis yang diperoleh dari Ngandong, Jawa Timur, pada
tahun 1931, yang kemudian diikuti oleh penemuan sebuah tengkorak anak-anak
dari Homo modjokertensis di Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 1936. Dari tahun
1936 hingga 1941 beberapa fosil hominid ditemukan di kubah Sangiran, berupa dua
tengkorak Pithecanthropus II dan III dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus B
pada tahun 1936 hingga 1938, sebuah tengkorak Pithecanthropus IV berbadan
kekar yang ditemukan pada tahun 1938 hingga 1939 (Pithecanthropus IV
merupakan contoh fosil yang paling lengkap yang ditemukan dalam Formasi
Pucangan), sebuah rahang bawah raksasa Meganthropus pada tahun 1941, dan
sebuah rahang bawah Pithecanthropus dubuis pada tahun 1939. Spesimen
Pithecanthropus, Meganthropus dan Homo modjokertensis di Jawa dan
Sinanthropus dan Giganto-phithecus dari Cina merupakan bukti adanya evolusi
manusia dan merupakan tempat terpenting tempat kelahiran manusia. Daerah yang
selama ini banyak ditemukan fosil hominid yaitu Jawa Timur, meliputi Trinil,
Ngandong dan Mojokerto, dan Jawa Tengah, meliputi Sangiran dan
Sambungmacan. Penemuan hominid fosil yang diberitakan pada tahun 1930an
hingga 1941, diawali dengan penemuan tujuh tengkorak dari Homo soloensis yang
diperoleh dari Ngandong, Jawa Timur, pada tahun 1931, yang kemudian diikuti
oleh penemuan sebuah tengkorak anak-anak dari Homo modjokertensis di
Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 1936. Dari tahun 1936 hingga 1941 beberapa
fosil hominid ditemukan di kubah Sangiran, berupa dua tengkorak Pithecanthropus
II dan III dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus B pada tahun 1936 hingga
1938, sebuah tengkorak Pithecanthropus IV berbadan kekar yang ditemukan pada
tahun 1938 hingga 1939 (Pithecanthropus IV merupakan contoh fosil yang paling
lengkap yang ditemukan dalam Formasi Pucangan), sebuah rahang bawah raksasa
Meganthropus pada tahun 1941, dan sebuah rahang bawah Pithecanthropus dubuis
pada tahun 1939. Spesimen Pithecanthropus, Meganthropus dan Homo
modjokertensis di Jawa dan Sinanthropus dan Gigantophithecus dari Cina
merupakan bukti adanya evolusi manusia dan merupakan tempat terpenting tempat
kelahiran manusia.

Evolusi manusia Purba

Menurut pakar anthropologi ragawi dari Universitas Gajah Mada


Yogyakarta yaitu Prof. Dr. Teuku Jacob, yang dinamakan manusia prasejarah atau
manusia fosil adalah manusia yang telah memfosil (membatu). Meskipun masih
memiliki kemiripan dengan binatang, namun yang menjadi ciri pokok untuk dapat
dikatakan manusia adalah ia berdiri tegak dan memiliki volume otak yang besar.

Di Indonesia fosil manusia prasejarah ditemukan di Jawa yang memiliki arti


penting karena berasal dari segala zaman atau lapisan pleistosen. Jenis-jenis
manusia prasejarah yang ditemukan di Indonesia antara lain:

Jenis- jenis manusia praaksara

1. Meganthropus
Meganthropus (mega:besar, antropo: manusia) atau manusia raksasa
merupakan jenis manusia prasejarah paling primitif. Fosil dari jenis ini
ditemukan di Sangiran (Jawa Tengah) oleh Von Koenigswald pada tahun
1936 dan 1941. Meganthropus paleojavanicus dianggap sebagai genus yang
hidup pada kala plestosen bawah, dan merupakan pendahulu dari
Pithecanthropus erectus dari kala plestosen tengah (Widianto 1980). Von
Koeningswald menamakan fosil temuannya ini dengan sebutan
mengathropus palaeojavanicus (raksasa dari Jawa). Fosil yang ditemukan
adalah sebuah rahang bawah dan 3 buah gigi (1 gigi taring dan 2 gigi
geraham) berasal dari lapisan pleistosen bawah (fauna Jetis). Meganthropus
diperkirakan hidup antara 2-1 juta tahun yang lalu. Dari rahang dan gigi
yang ditemukan terlihat bahwa makhluk ini adalah pemakan tumbuhan yang
tidak dimasak terlebih dahulu (rahang dan giginya besar dan kuat). Belum
ditemukan perkakas atau alat di dalam lapisan ini sehingga diperkirakan
manusia jenis ini belum memiliki kebudayaan.

2. Pithecanthropus
Manusia Pithecanthropus yang lebih banyak terdapat dan lebih luas
penyebarannya adalah Pithecanthropus erectus. Temuan fosil yang
terpenting dan terkenal adalah atap tengkorak dan tulang paha dari Trinil
pada tahun 1891. Berdasarkan temuan ini Eugene Dubois memberi nama
Pithecanthropus erectus. Dubois memandang Pithecanthropus sebagai
missing link, yaitu manusia perantara yang menghubungkan antara kera dan
evolusi manusia (Howell 1980, Sartono 1983).

Pithecanthropus merupakan jenis manusia praaksara yang


jumlahnya paling banyak. Pada tahun 1890-1891 dalam penelitian di Trinil
(Ngawi) seorang dokter tentara Belanda berkebangsaan Perancis Dr.
Eugene Dubois menemukan rahang bawah, tempurung kepala, tulang paha,
serta geraham atas dan bawah. Dr. Eugene Dubois menamakannya
Pithecanthropus Erectus (manusia kera berdiri tegak) dengan volume otak
kira-kira 900 cc serta memiliki tinggi badan kurang lebih 165 cm. Jenis
pithecanthropus yang lain adalah pithecanthropus robustus atau
pithecanthropus mojokertenis yang ditemukan di Sangiran oleh
Weidenreich dan Von Koeningswald pada tahun 1939. Jenis lainnya adalah
pithecanthropus dubius yang ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun
1939 di Sangiran. Kedua fosil ini berasal dari lapisan pleistosen bawah.
Pithecanthropus yang hidup sampai awal plestosen atas adalah
Pithecanthropus soloensis, dan sisanya ditemukan dalam formasi Kabuh di
Sangiran, Sambungmacan (Sragen), dan Ngandong (Blora). Berdasarkan
hasil pertanggalan sementara Pithecanthropus soloensis hidupnya ditaksir
antara 900.000 hingga 300.000 tahun yang lalu (Soejono, 2010).
3. Homo
Manusia yang hidup pada kala plestosen akhir adalah manusia dari
genus Homo. Manusia ini di Indonesia diwakili oleh Homo wajakensis yang
ditemukan di Wajak (Tulungagung) dan mungkin juga beberapa tulang paha
dari Trinil dan tulang tengkorak dari Sangiran. Genus Homo mempunyai
karakteristik yang lebih progesif dari manusia Pithecanthropus. Dari
beberapa spesies tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa di Indonesia,
terutama di Jawa pada kala plestosen telah dihuni paling sedikit oleh empat
genus species manusia prasejarah, yaitu Megantropus paleojavanicus dan
Pithecanthropus modjokertensis (kala plestosen bawah), Pithecantrhopus
erectus dan Pithecantrhopus soloensis (kala plestosen tengah-atas), serta
Homo wajakensis (kala plestosen atas-holosen awal) (Sujud, 2013: 23).

Manusia jenis homo merupakan manusia paling maju bila


dibandingkan dengan manusia prasejarah sebelumnya. Penemuan manusia
jenis ini diawali oleh Von Rietschotten yang berhasil menemukan sebuah
tengkorak dan rangka di Tulung Agung (Jawa Timur). Setelah diteliti oleh
Dr. Eugene Dubois fosil manusia jenis ini dinamai Homo Wajakensis.
Sementara itu Ter Harr dan Openoorth dalam penelitian di Ngondong
berhasil menemukan tengkoran dan tulang betis dari lapisan pleisosen atas
yang kemudian diberi nama Homo Soloensis. Homo merupakan jenis
manusia yang paling maju dengan volume otak yang lebih besar dari jenis
sebelumnya. Homo merupakan pendukung kebudayaan neolithikum yang
berhasil dalam revolusi kehidupan. Von Koenigswald 25 menyebutkan
barangkali Homo Wajakensis termasuk jenis homo sapiens (manusia cerdas)
karena telah mengenal teknik penguburan. Diperkirakan jenis ini
merupakan nenek moyang dari ras Austroloid dan menurunkan penduduk
asli Asutralia yang sekarang ini.

Manusia Purba Kala Holosen

Sejak sekitar 10.000 tahun yang lalu ras manusia seperti yang
dikenal sekarang sudah mulai ada di Indonesia dan sekitarnya. Dua ras yang
terdapat di Indonesia pada permulaan kala holosen, yaitu Australomelanesid
dan Monggolid.

Ras Austrlomelanesid berbadan lebih tinggi, tengkorak relatif kecil,


dahi agak miring, dan pelipis tidak membulat benar. Tengkoraknya lonjong
atau sedang dengan bagian belakang kepalanya menonjol, dan bagian
tengah atas tengkorak meninggi. Lebar mukanya sedang dengan bagian
busur keningnya nyata. Alat pengunyah relatif kuat dengan geraham-
gerahamnya belum mengalami reduksi yang lanjut. Sebaliknya ras
Monggolid tinggi badannya rata-rata lebih sedikit. Tengkoraknya bundar
atau sedang, dengan isi tengkorak rata-rata lebih besar. Dahinya lebih
membulat dan rongga matanya biasanya tinggi dan persegi. Mukanya lebar
dan datar dengan hidung yang sedang atau lebar. Tempat perlekatan otot-
otot lain mulai kurang nyata. Demikian pula reduksi alat pengunyah telah
melanjut, dengan gigi seri dan taringnya menembilang. Jika ditinjau
populasi manusia di Indonesia di masa mesolitik, maka nyatalah bahwa
kedua ras pokok ini jelas sekali kehadirannya. Di bagian barat dan utara
dapat dilihat sekelompok populasi dengan ciri-ciri utama
Australomelanesid dan hanya sedikit campuran Monggolid. Di Nusa
Tenggara hidup Australomelanesid yang tidak banyak berbeda dengan
populasi di sana sekarang tetapi masih primitif dalam beberapa ciri.
Keadaannya berlainan di Sulawesi dimana populasinya lebih banyak
memperlihatkan ciri Monggolid.

Sementara ini penduduk masa neolitik di Indonesia barat sudah


banyak memperlihatkan ciri Monggolid, meskipun ciri Australomelanesid
masih terdapat sedikit. Indonesia timur terutama bagian selatan dan timur
lebih dipengaruhi oleh unsur Australomelanesid, bahkan sampai sekarang.
Sulawesi keadaanya khas, karena pengaruh Monggolid lebih kuat dan lebih
awal di sini.

Masa Paleometalik, manusia yang mendiami Indonesia dapat


diketahui melalui sisa rangka yang antara lain ditemukan di Anyer Lor
(Banten), Puger (Jatim), Gilimanuk (Bali), Ulu Leang (Sulawesi), Melolo
(Sumba), dan Liang Bua (Flores). Pada temuan tersebut terlihat pembauran
antara ras Australomelanesid dan Monggolid dalam perbandingan yang
berbeda.

1. Paleolitik
Kehidupan manusia prasejarah masa paleolitik berlangsung sekitar 1,9
juta-10.000 tahun yang lalu. Bukti-bukti peninggalan masa ini terekam
dalam sisa-sisa peralatan yang sering disebut artefak. Di Indonesia tradisi
pembuatan alat pada masa Paleolitik dikenal 3 macam bentuk pokok, yaitu
tradisi kapak perimbas-penetak (chopper chopingtool complex), tradisi
serpih-bilah (flakeblade), dan alat tulang-tanduk (Ngandong Culture)
(Heekeren 1972). Tradisi kapak perimbas-penetak yang ditemukan di
Indonesia kemudian terkenal dengan nama budaya Pacitan, dan dipandang
sebagai tingkat perkembangan budaya batu yang terawal di Indonesia. Alat
budaya Pacitan dapat digolongkan dalam beberapa jenis utama yaitu kapak
perimbas (chopper), kapak penetak (chopping-tool), pahat genggam (proto
hand-adze), kapak genggam awal (proto hand-axe), kapak genggam (hand-
axe), dan serut genggam (scraper) (Movius, 1948).

Tradisi kapak perimbas, di dalam konteks perkembangan alat-alat batu


seringkali ditemukan bersama-sama dengan tradisi alat serpih. Bentuk alat
serpih tergolong sederhana dengan kerucut pukul (bulbus) yang jelas
menonjol dan dataran pukul (striking platform) yang lebar dan rata. Seperti
diketahui bahwa hakikat data paleolitik di Indonesia kebanyakan ditemukan
di permukaan tanah. Hal ini menyebabkan belum ada yang dapat
menjelaskan tentang siapa pendukung dan apa fungsi alat-atal batu itu
secara menyakinkan. Meksipun demikian menurut Movius, manusia yang
diduga sebagai pencipta dan pendukung alat-alat batu ini adalah manusia
Pithecanthropus, yang buktibuktinya ditemukan dalam satu konteks dengan
lapisan yang mengandung fosil-fosil Pithecanthropus pekinensis di gua
Chou-koutien di Cina (Movius 1948, Soejono 2010).

Bukti peninggalan alat paleolitik menggambarkan bahwa kehidupan


manusia pada masa ini sangat bergantung kepada alam lingkungannya.
Daerah yang diduduki manusia itu harus dapat memberikan cukup
persediaan untuk kelangsungan hidupnya. Mereka hidup secara berpindah-
pindah (nomaden) sesuai dengan batas-batas kemungkinan memperoleh
makanan. Suatu upaya penting yang mendominasi aktivitas hidupnya
adalah subsistensi. Segala daya manusia ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan makan. Manusia masa paleolitik hidup dalam kelompok-
kelompok kecil. Besarnya kelompok ditentukan oleh besarnya daerah dan
hasil perburuan. Jika penduduk suatu daerah melebihi jumlah optimal, maka
sebagian dari kelompok ini memisahkan diri dengan cara migrasi ataupun
mungkin dilakukan infantisida untuk membatasi besarnya populasi (Jacob
1969). Dalam kehidupan masa paleolitik ini secara tidak langsung terjadi
pembagian kerja berdasarkan perbedaan seks atau umur. Kaum lelaki
bertugas mencari makan dengan berburu binatang, sedang kaum perempuan
tinggal di rumah mengasuh anak sembari meramu makanan. Bahkan setelah
api ditemukan, maka peramu menemukan cara memanasi makanan.
Sementara itu pada masa ini belum ditemukan bukti adanya kepercayaan
atau religi dari manusia pendukungnya.

2. Mesolitik
Kehidupan manusia prasejarah masa mesolitik diperkirakan
berlangsung sejak akhir plestosen atau sekitar 10.000 tahun yang lalu. Pada
masa ini berkembang 3 tradisi pokok pembuatan alat di Indonesia yaitu
tradisi serpih-bilah (Toala Culture), tradisi alat tulang (Sampung Bone
Culture), dan tradisi kapak genggam Sumatera (Sumatralith). Ketiga tradisi
alat ini di temukan tidak berdiri sendiri, melainkan seringkali unsur-
unsurnya bercampur dengan salah satu jenis alat lebih dominan daripada
lainnya. Tradisi serpih-bilah secara tipologis dapat dibedakan menjadi
pisau, serut, lancipan, mata panah, dan mikrolit. Tradisi serpih terutama
berlangsung dalam kehidupan di gua-gua Sulawesi Selatan, yang sebagian
pada masa tidak lama berselang masih didiami oleh suku bangsa Toala,
sehingga dikenal sebagai budaya Toala (Heekeren 1972).
Sementara industri tulang Sampung tersebar di situs-situs gua di Jawa
Timur. Kelompok budaya ini memperlihatkan dominasi alat tulang berupa
sudip dan lancipan. Temuan lain berupa alat-alat batu seperti serpih-bilah,
batu pipisan atau batu giling, mata panah, serta sisa-sisa binatang.
Sedangkan tradisi Sumatralith banyak ditemukan di daerah Sumatera,
khususnya pantai timur Sumatera Utara. Situs-situs di daerah ini berupa
bukit-bukit kerang.

Bukti peninggalan alat mesolitik menggambarkan bahwa corak


penghidupan yang menggantungkan diri kepada alam masih berlanjut.
Hidup berburu dan mengumpul makanan masih ditemukan, namun sudah
ada upaya pengenalan awal tentang hortikultur yang dilakukan secara
berpindah (Clark & Piggot 1967). Masyarakat mulai mengenal pola
kehidupan yang berlangsung di gua-gua alam (abris sous roche) dan di
pantai (kjokkenmoddinger) yang tidak jauh dari sumber bahan makanan.
Suatu sistem penguburan di dalam gua (antara lain budaya Sampung) dan
bukit Kerang (Sumatera Utara) sebagai bukti awal penguburan manusia di
Indonesia, serta lukisan dinding gua dan dinding karang (Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua) yang merupakan ekspresi rasa
estetik dan religius, melengkapi bukti kegiatan manusia pada masa ini.
Bahan zat pewarna merah, hitam, putih, dan kuning digunakan untuk bahan
melukis cap-cap tangan, manusia, manusia, binatang, perahu, matahari, dan
lambang-lambang. Arti dan maksud lukisan dinding gua ini masih belum
jelas pada umumnya tulisan itu menggambarkan suatu pengalaman,
perjuangan dan harapan hidup. Lukisan tersebut bukanlah sekedar dekorasi
atau kegemaran seni semata-mata melainkan bermakna lebih mendalam lagi
yaitu menyangkut aspek kehidupan berdasarkan kepercayaan terhadap
kekuatan gaib yang ada di alam sekitarnya. Adanya penguburan dan lukisan
dinding gua merupakan bukti berkembangnya corak kepercayaan di
kalangan masyarakat prasejarah.

3. Neolitik
Masa neolitik merupakan masa yang amat penting dalam sejarah
perkembangan masyarakat dan peradaban. Masa Neolitik ini beberapa
penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat.
Bukti yang didapat dari masa neolitik terutama berupa berbagai jenis batu
yang telah dipersiapkan dengan baik. Kemahiran mengupam alat batu telah
melahirkan jenis alat seperti beliung persegi, kapak lonjong, alat obsidian,
mata panah, pemukul kulit kayu, gerabah, serta perhiasan berupa gelang dari
batu dan kerang.

Beliung persegi mempunyai bentuk yang bervariasi dan persebaran


yang luas terutama di Indonesia bagian barat. Beliung tersebut terbuat dari
batu rijang, kalsedon, agat, dan jaspis. Sementara kapak lonjong tersebar di
Indonesia bagian timur dan diduga lebih tua dari beliung persegi (Heekeren
1972). Gerabah yang merupakan unsur paling banyak ditemukan pada situs-
situs neolitik memerlihatkan pembuatan teknik tatap Bentuk gerabah antara
lain berupa periuk dan cawan yang memiliki slip merah dengan hias gores
dan tera bermotifkan garis lurus dan tumpal. Sedangkan alat pemukul kulit
kayu banyak ditemukan di Sulawesi dan Kalimantan. Demikian pula mata
panah yang sering dihubungkan dengan budaya neolitik, terutama
ditemukan di Jawa Timur dan Sulawesi.

Manusia masa neolitik sudah tidak lagi menggantungkan hidupnya


pada alam, tetapi sudah menguasai alam lingkungan sekitarnya serta aktif
membuat perubahan. Masyarakat mulai mengembangkan penghidupan baru
berupa kegiatan bercocok tanam sederhana dengan sistem slash and burn,
atau terjadi perubahan dari food gathering ke food producing. Berbagai
macam tumbuhan dan hewan mulai dijinakkan dan dipelihara untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani, kegiatan berburu, dan menangkap
ikan masih terus dilakukan. Masyarakat masa neolitik mulai menunjukkan
tanda-tanda cara hidup menetap di suatu tempat, berkelompok membentuk
perkampungan-perkampungan kecil. Di masa ini kelompok manusia sudah
lebih besar, karena pertanian dan peternakan dapat memberi makan
penduduk dalam jumlah yang lebih besar.
Pada masa ini diperkirakan telah muncul bentuk perdagangan yang
bersifat barter. Barang yang dipertukarkan adalah hasil pertanian ataupun
kerajinan tangan. Adanya penemuanpenemuan baru ini menyebabkan masa
ini oleh v. Gordon Childe (1958) sering disebut sebagai masa Revolusi
Neolitik, karena kegiatan ini menunjukkan kepada kita adanya perubahan
cara hidup yang kemudian mempengaruhi perkembangan sosial, ekonomi,
dan budaya manusia. Pengembangan konsep kepercayaan pada masa
neolitik mulai memainkan peranan penting. Konsep kepercayaan ini
kemudian diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Kegiatan
kepercayaan seperti ini dikenal dengan nama tradisi megalitik. R. Von
Heine Geldern (1945) menggolongkan tradisi megalitik dalam 2 tradisi,
yaitu megalitik tua yang berkembang pada masa neolitik (2500-1500 SM)
dan megalitik muda yang berkembang dalam masa paleometalik (1000 SM
– abad I M). Megalitik tua menghasilkan bangunan yang disusun dari batu
besar seperti menhir, dolmen, undak batu, limas berundak, pelinggih,
patung simbolik, tembok batu, dan jalan batu.

Pengertian tentang bangunan megalitik tidak selalu diartikan


sebagai suatu bangunan yang dibuat dari batu besar dan berasal dari masa
prasejarah. Pengertian di atas tidak terlalu mutlak. Bahkan F.A. Wagner
(1962) dalam Soejono (2010) mengatakan bahwa pengertian monumen
besar (megalitik) tidak mesti diartikan sebagai ” batu besar”, akan tetapi
objek-objek batu lebih kecil dan bahan-bahan lain seperti kayu, bahkan
tanpa monumen atau objek sama sekalipun dapat dimasukkan ke dalam
klasifikasi megalitik bila benda-benda itu jelas dipergunakan untuk tujuan
sakral tertentu yakni pemujaan arwah nenek moyang. Dengan demikian
maksud utama dari pendirian bangunan megalitik tersebut tidak luput dari
latar belakang pemujaan nenek moyang, pengharapan kesejahteraan bagi
yang masih hidup, dan kesempurnaan bagi si mati. Segi kepercayaan dan
nilai-nilai hidup masyarakat ini kemudian berlanjut dan berkembang pada
masa paleometalik.
4. Paleometalik

Masa paleometalik merupakan masa yang mengandung


kompleksitas, baik dari segi materi maupun alam pikiran yang tercermin
dari benda buatannya. Perbendaharaan masa paleometalik memberikan
gambaran tentang kemajuan yang dicapai manusia pada masa itu, terutama
kemajuan di bidang teknologi. Dalam masa paleometalik teknologi
berkembang lebih pesat sebagai akibat dari tersusunnya golongan-golongan
dalam masyarakat yang dibebani pekerjaan tertentu. Pada masa ini
teknologi pembuatan alat jauh lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan
masa sebelumnya. Hal tersebut dimulai dengan penemuan baru berupa
teknik peleburan, pencampuran, penempaan, dan pencetakan jenis-jenis
logam. Penemuan logam merupakan bukti kemajuan pyrotechnology karena
manusia telah mampu menghasilkan temperatur yang tinggi untuk dapat
melebur bijih logam (Wertime 1973).

Atas dasar temuan arkeologis, Indonesia mengenal alat-alat yang


dibuat dari perunggu, besi, dan emas. Benda-benda perunggu di Indonesia
ditemukan tersebar di bagian barat dan timur. Hasil utama benda perungu
pada masa paleometalik ini meliputi nekara perunggu, kapak perunggu,
bejana perunggu, patung perunggu, perhiasan perunggu, dan benda
perunggu lainnya. Sedangkan benda-benda besi yang ditemukan antara lain
mata kapak, mata pisau, mata sabit, mata tembilang, mata pedang, mata
tombak, dan gelang besi. Pada prinsipnya teknik pengerjaan artefak logam
ini ada dua macam, yakni teknik tempa dan teknik cetak.

Proses pencetakannya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu


secara langsung ialah dengan menuang logam yang sudah mencair langsung
ke dalam cetakan, dan secara tidak langsung ialah dengan membuat model
terlebih dahulu, dari model ini kemudian dibuat cetakannya. Cara yang
kedua ini disebut dengan a cire perdue atau lilin hilang, sementara itu tipe-
tipe cetakan yang digunakan dapat berupa cetakan tunggal atau cetakan
terbuka, cetakan setangkup (bivalve mould), dan cetakan ganda (piece
mould). Pada masa ini dihasilkan pula gerabah yang menunjukkan
perkembangan yang lebih meningkat. Gerabah tidak hanya untuk kebutuhan
sehari-hari, tetapi juga diperlukan dalam upacara penguburan baik sebagai
bekal kubur maupun tempayan kubur. Sementara itu benda-benda temuan
lainnya berupa perhiasan seperti hiasan dari kulit kerang, tulang, dan manik-
manik. Kemahiran teknik yang dimiliki manusia masa paleometalik ini
berhubungan dengan tersusunnya masyarakat yang menjadi makin
kompleks, dimana perkampungan sudah lebih besar. Pembagian kerja
makin ketat dengan munculnya golongan yang melakukan pekerjaan khusus
(undagi).

Pertanian dengan sistem persawahan mulai dikembangkan dengan


menyempurnakan alat pertanian dari logam, pengolahan tanah, dan
pengaturan air sawah. Hasil pertanian ini selain disimpan juga
diperdagangkan ke tempat lain bersama nekara perunggu, moko, perhiasan,
dan sebagainya. Peranan kepercayaan dan upacara-upacara religius sangat
penting pada masa paleometalik. Kegiatan-kegiatan dalam masyarakat di
lakukan terpimpin, dan ketrampilan dalam pelaksanaannya makin
ditingkatkan. Pada masa ini kehidupan spiritual yang berpusat kepada
pemujaan nenek moyang berkembang secara luas.

Demikian pula kepada orang yang meninggal diberikan


penghormatan melalui upacara penguburan dengan disertai bekal kubur.
Penguburan dapat dilakukan dalam tempayan, tanpa wadah dalam tanah,
atau dengan berbagai kubur batu melalui upacara tertentu yang mencapai
puncaknya dengan mendirikan bangunan batu besar. Tradisi inilah yang
kemudian dikenal sebagai tradisi megalitik muda. Tradisi megalitik muda
yang berkembang dalam masa paleometalik telah menghasilkan bangunan
batu besar berupa peti kubur batu, kubur dolmen, sarkofagus, kalamba,
waruga, dan batu kandang. Di tempat kuburan semacam itu biasanya
terdapat beberapa batu besar lainnya sebagai pelengkap pemujaan nenek
moyang seperti menhir, patung nenek moyang, batu saji, lumpang batu,
ataupun batu dakon. Pada akhirnya kedua tradisi megalitik tua dan muda
tersebut bercampur, tumpang tindih membentuk variasi lokal, bahkan pada
perkembangan selanjutnya bercampur dengan unsur budaya Hindu, Islam,
dan kolonial.

Jenis Kebudayaan Manusia

Jenis Kebudayaan Manusia adalah makhluk yang dikarunia dengan


akal dan pikiran sehingga ia mampu mengembangkan benda-benda di
sekitarnya sehingga berkembanglah teknologi manusia prasejarah.
Teknologi adalah usaha-usaha manusia dengan berbagai cara untuk
mengubah keadaan alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perkembangan teknologi dan budaya masyarakat prasejarah akan dijelaskan
sebagai berikut:

1. Kebudayaan Pacitan
Von Koenigswald dalam penelitian pada tahun 1935 di Pacitan tepatnya
di desa Punung menemukan alat palaeolithik berupa kapak genggam
atau kapak perimbas, serta alat serpih. Dilihat dari teknologinya alat ini
dibuat dengan cara sederhana dan masih kasar. Alat ini ditemukan
dipermukaan tanah sehingga sulit untuk menentukan siapa pendukung
kebudayaan ini. Meskipun ditemukan di atas permukaan tanah, namun
setelah diteliti alat ini berasal dari lapisan pleistosen tengah. Kapak
perimbas juga ditemukan di Sukabumi, Ciamis,Gombong, Bengkulu,
Bali, Flores dan Timor. Pendukung kebudayaan ini diperkirakan
manusia prasejarah dari jenis Pithecanthropus erectus.

2. Kebudayaan Ngandong
Von Koeningswald pada tahun 1934 dalam penelitian di Ngandong dan
Sidorejo (Madiun) menemukan alat-alat tulang, tanduk dan alat batu
yaitu kapak genggam. Karena ditemukan di Ngandong maka Von
Koenigswald menamakannya kebudayaan Ngandong. Termasuk
kebudayaan Ngandong adalah alat-alat serpih yang ditemukan di
Sangiran. Alat serpih ini berfungsi sebagai pisau, belati dan alat
penusuk. Alat serpih juga ditemukan di Sulawesi Selatan, Flores dan
Timor. Alatlat tersebut seperti penemuan di Pacitan yaitu ditemukan di
permukaan tanah sehingga sulit untuk mengidentifikasi manusia tipe
apa yang mempergunakan alat tersebut. Akan tetapi dari hasil
penyelidikan dapat dipastikan bahwa alat tersebut berasal dari zaman
pleistocen atas (Soekmono, 1973: 32). Dari penemuan alat-alat
tersebut, maka dapat analisis tentang kehidupan manusia pada zaman
itu. Analisis yang muncul adalah kehidupan manusia zaman itu masih
mengumpulkan bahan makanan yang disediakan oleh alam (food
gathering). Kehidupan kerohanian mereka juga belum dapat
diidentifikasi karena memang tidak ditemukan alat-alat yang
dipergunakan sebagai upacara keagamaan.

3. Kebudayaan Sampung
Pada tahun 1928 sampai 1931 Van Stein Callenfels mengadakan
penelitian di Gua Lawa di dekat Sampung (Ponorogo). Penelitian yang
dilakukan oleh Van Stein Callenfels membuahkan hasil dengan
ditemukannya alat-alat yang berupa alat tulang sehingga Van Stein
Callenfels menyebutnya dengan kebudayaan Sampung Bone Culture.
Alat-alat yang ditemukan antara lain jarum, pisau, mata panah dan
sudip. Lingkungan kebudayaan samping meliputi sebuah rock shelter
yaitu lapisan tanah yang mengandung beberapa benda-benda yang
mencerminkan kebudayaan tertentu. Di tempat tersebut juga ditemukan
tulang-tulang binatang yang dibor, diperkirakan tulang-tulang tersebut
dimanfaatkan sebagai barang perhiasan atau jimat. Binatang perburuan
juga ditemukan seperti gajah, macan tutul, rusa, dan lain-lain. Masih
sulit untuk menganalisis bagaimanakah kebudayaan di daerah ini
berkembang dan dari jenis kebudayaan apa, yang disebabkan oleh
bercampurnya. Namun diperkirakan kebudayaan ini berkembang dari
zaman post glacial dan berkembang di daerah terpencil (Sudrajat).
Tradisi Prasejarah
Seperti diketahui bahwa masa prasejarah di Indonesia telah berakhir sejak
ditemukannya tulisan pertama sekitar abad ke 4-5 M, akan tetapi beberapa tradisi
prasejarah masih bertahan jauh memasuki masa sejarah, bahkan hingga masa kini
di beberapa tempat di Indonesia. Di antara tradisi prasejarah yang berlanjut hingga
masa kini antara lain: tradisi hidup bercocok tanam sederhana dengan sistem slash
and burn, tradisi pembuatan kapak batu, tradisi pembuatan gerabah, tradisi
pembuatan pakaian dengan alat pemukul kulit kayu, tradisi pembuatan alat-alat
logam, dan tradisi pemujaan nenek moyang (tradisi megalitik), serta masih banyak
lagi tradisi prasejarah yang masih hidup, tetapi mengendap, bertahan, dan
berlangsung sampai saat ini di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Etnis
Kata etnik berasal dari bahasa Inggris atau "ethnic“ yang mendefinisikannya
sebagai ras. Kajian berkaitan dengan etnik dikenal sebagai Ethnology
“Mengkalasifikasikan manusia berdasarkan faktor sosial dan kebudayaan”. Kajian
berkaitan dengan hubungan etnik dengan faktor geografis dan kependudukan
dikenal sebagai "ethnography” (Iskandar, 1970: 272).
Kemunculan etnik Teori evolusi asal usul manusia menjelaskan bahawa
jenis Homo Sapiensa berkembang menjadi tiga etnik utama yaitu Etnik Caucasoid,
Etnik Mongoloid, dan Etnik Negroid. Bentuk tubuh badan dan warna kulit yang
berlainan yang disebabkan oleh faktor mutasi, seleksi, dan Random genetic drift
(Yusof, 2003: 38).
1. Caucasoid yang terdiri dari Nordik(Eropa Utara sekitar Laut Baltik),
Alpine(Eropa Tengah dan Timur), Meditterranean (Sekitar Laut Tengah,
Afrika Utara), Armenia, Arab, Iran dan India.
2. Mongoloid yang terdiri dari Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah,
Asia Timur), Malayan Mongoloid (Asia Tengah, Kepulauan Indonesia,
Malaysia, Filipina), American Mongoloid (Eskimo di Amerika Utara
hingga Penduduk Terra Del Fuego di Amerika Selatan).
3. Negroid yang terdiri dari African Negroid (Benua Afrika), Negrito (Afrika
Tengah, Semenanjung Tanah Melayu, Filipina, Malanesian, (Irian,
Malanesia).
4. Etnik-etnik yang tidak dapat diklasifikasikan seperti Bushman (di daerah
gurun Kalahari di Afrika Selatan), Veddoid (pedalaman Srilanka, Sulawesi
Selatan), Austroloid (penduduk asli Australia), Polenesia (Kepulauan
Mikronesia dan Polenesia), dan Ainu (Pulau-Pulau Karafuto, Hokkaido di
Jepang Utara).
Klasifikasi etnik berdasarkan kepada pembahagian geografi dipelopori oleh
Garn (1961) dan Coon (1962) yang membahagikan manusia kepada beberapa
kategori etnik:
1. Amerindian: penduduk asli di Amerika sebelum kedatangan orang Eropah
dan Afrika.
2. Mcronesia: penduduk di kepulauan Mikronsia dan sebadian dari Pasifik
Barat
3. Malanesian-Papuan: penduduk New Guinea, Fiji dan pulau-pulau lain di
Pasifik Barat
4. Australian: peduduk asli di Australia sebelum kedatanganEropah.
5. Asiatik: penduduk di Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, dan Siberia.
6. India: penduduk India.
7. European: penduduk di Eropa, Afrika Utara dan Barat-Daya Asia
8. African: penduduk Afrika di bahagian selatan padang pasir Sahara

Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna di


muka bumi ini. Perbedaan-perbedaan fisik dapat kita lihat secara nyata dalam
kehidupan ini telah mengakibatkan pengklasifikasian terhadap manusia. Istilah ras
dan etnis sering sekali didengar dan dibicarakan apabila berhubungan dengan
kelompok-kelompok manusia baik secara mayoritas maupun minoritas. Kategori
manusia yang didasarkan atas perbedaan-perbedaan fisik maupun karakteristik
berakibat pula pada adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas
tertentu yang mendiami suatu negara. Sedangkan kelompok-kelompok mayoritas
menjadi lebih berkuasa terhadap kelompok-kelompok minoritas. Sebagai contoh,
secara historis di Amerika telah terjadi berbagai permasalahan terhadap perbedaan
Ras orang kulit putih dan kulit hitam. Orang kulit putih menganggap dirinya yang
paling berkuasa sehingga berbuat diskriminatif terhadap kaum kulit hitam.
Begitupun juga dengan orang kulit hitam yang merasa dirinya minoritas merasa
perlu unuk melakukan perlawanan agar mereka mendapatkan hak dan kewajiban
yang sama di negara tersebut. Sejak Amerika dipimpin oleh Abraham Lincoln,
orang kulit hitam lebih dihargai dan dihormati oleh orang kulit putih meskipun
sampai sekarang diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam masih terjadi
diberbagai bidang termasuk dalam olahraga.
Etnis berbeda dengan pengertian ras. Seperti yang diungkap oleh Coakley
(2001:243) “...it refers to the cultural heritage of particular group of people”. Jadi,
etnis mengacu pada warisan budaya dari kelompok orang tertentu. Maguire, et al
(2002: 140) menjelaskan juga bahwa “the term ethnic become a precise word to use
regarding people of varying origins”. Jadi, istilah etnis menjadi sebuah kata yang
tepat untuk memandang orang dari berbagai asal-usul. Lebih lanjut diungkapkan
pula bahwa etnis mungkin dipertimbangkan dalam istilah kelompok apapun yang
didefinisikan atau disusun oleh asal-usul budaya, agama, nasional atau beberapa
kombinasi dari kategori-kategori tersebut (Maguire, et al, 2002:134). Pengertian-
pengertian etnis membentuk pengertian kelompok etnis. Kelompok etnis
merupakan sebuah kategori orang yang berbeda secara sosial karena mereka
membagi sebuah jalan kehidupan dan komitmen pada segala sesuatu cita-cita,
norma-norma, dan meteril yang terdapat pada jalan kehidupan itu (Coakley,
2001:143). Greely dan McCready dalam Maguire, et al (2002:135) berpendapat
bahwa kelompok etnis adalah sebuah kolektivitas yang didasarkan pada dugaan
asal-usul yang lazim dengan sebuah sifat menarik yang menandai mereka diluar
atau yang tetap menanamkan mereka pada keanehan dengan populasi asli dalam
kampung pedalaman. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas, maka
terdapat dua istilah yaitu etnis dan kelompok etnis. Etnis mengacu pada orang yang
didasarkan pada asal-usul sebagai warisan budaya. kelompok orang tertentu.
Kelompok etnis merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki jalan
kehidupan dan memiliki sifat serta karakteritik yang menarik.

Penyebab Terciptanya Multikultural


Pada dasarnya semua bangsa di dunia bersifat multikultural. Adanya
masyarakat multikultural memberikan nilai tambah bagi bangsa tersebut.
Keragaman ras, etnis, suku, ataupun agama menjadi karakteristik tersendiri,
sebagaimana bangsa Indonesia yang unik dan rumit karena kemajemukan suku
bangsa, agama, bangsa, maupun ras. Masyarakat multikultural Indonesia adalah
sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau
Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur
masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal. Berkaca dari masyarakat
multikultural bangsa Indonesia, kita akan mempelajari penyebab terbentuknya
masyarakat multikultural. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika bisa jadi merupakan
sebuah ”monumen” betapa bangsa yang mendiami wilayah dari Sabang sampai
Merauke ini memang merupakan bangsa yang majemuk, plural, dan beragam.
Majemuk artinya terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan, plural
artinya lebih dari satu, sedangkan beragam artinya berwarna-warni. Bisa
dibayangkan bagaimana wujud bangsa Indonesia. Mungkin dapat diibaratkan
sebagai sebuah pelangi. Pelangi itu akan kelihatan indah apabila beragam unsur
warnanya bisa bersatu begitu pula dengan bangsa kita. Indonesia akan menjadi
bangsa yang damai dan sejahtera apabila suku bangsa dan semua unsur
kebudayaannya mau bertenggang rasa membentuk satu kesatuan. Kita mencita-
citakan keanekaragaman suku bangsa dan perbedaan kebudayaan bukan menjadi
penghambat tetapi perekat tercapainya persatuan Indonesia. Namun, kenyataan
membuktikan bahwa tidak selamanya keanekaragaman budaya dan masyarakat itu
bisa menjadikannya pelangi. Keanekaragaman budaya dan masyarakat dianggap
pendorong utama munculnya persoalan-persoalan baru bagi bangsa Indonesia.
Keanekaragaman yang berpotensi menimbulkan permasalahan baru (Nurdin Hasan
(2011) sebagai berikut. (1) Keanekaragaman Suku Bangsa. Indonesia adalah salah
satu negara di dunia yang memiliki 6 kekayaan budaya yang luar biasa banyaknya.
Yang menjadi sebab adalah keberadaan ratusan suku bangsa yang hidup dan
berkembang di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Kita bisa membayangkan apa
jadinya apabila masing-masing suku bangsa itu mempunyai karakter, adat istiadat,
bahasa, kebiasaan, dan lain-lain. Kompleksitas nilai, norma, dan kebiasaan itu bagi
warga suku bangsa yang bersangkutan mungkin tidak menjadi masalah.
Permasalahan baru muncul ketika suku bangsa itu harus berinteraksi sosial dengan
suku bangsa yang lain. (2) Keanekaragaman Agama. Letak kepulauan Nusantara
pada posisi silang di antara dua Samudra dan Benua, jelas mempunyai pengaruh
yang penting bagi munculnya keanekaragaman masyarakat dan budaya. Dengan
didukung oleh potensi sumber alam yang melimpah, maka Indonesia menjadi
sasaran pelayaran dan perdagangan dunia. Agama-agama besar pun muncul dan
berkembang di Indonesia, dengan jumlah penganut yang berbeda-beda. Kerukunan
antarumat beragama menjadi idam-idaman hampir semua orang, karena tidak satu
agama pun yang mengajarkan permusuhan. (3) Keanekaragaman Ras. Salah satu
dampak terbukanya letak geografis Indonesia, banyak bangsa luar yang bisa masuk
dan berinteraksi dengan bangsa Indonesia. Misalnya, keturunan Arab, India, Korea,
Cina, Amerika dan lain-lain. Dengan sejarah, kita bisa mercari bagaimana asal
usulnya. Bangsa-bangsa asing itu tidak saja hidup dan tinggal di Indonesia, tetapi
juga mampu berkembang secara turun-temurun membentuk golongan sosial dalam
masyarakat kita. Mereka saling berinteraksi dengan penduduk pribumi dari waktu
ke waktu.
DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia Vol. I. The Hague :
Martinus Nijhoff.

Campbell, N. A dan J. B. Reece. 2008. Biology Eighth edition. Pearson Education


Inc, New York.

Childe, V.G. 1958. The Prehistory of Euoropean Society. Penguin Books.

Clark, G & Piggot, S. 1967. Prehistoric Society. New York.

Heekeren, H.R. van. 1972. The Stone Age of Indonesia. VKI, LXI, second rev.ed.
The Hague : Martinus Nijhoff.

Heine Geldern, R. Von. 1945. Prehistoric Research in Netherlands Indies. Science


and Scientist in The Netherlands Indies : 129-167. New York.

Howell, F.C. 1980. Manusia Purba. Jakarta: Tira Pustaka.

Jacob, T. 1969. Kesehatan di Kalangan Manusia Purba. B.I. Ked. Gadjah Mada 1
(2) : 143-157. Leaky, L.S.B. 1960. Adam’s Ancestors. Harper Torch Book.

Movius Jr, H.L. 1948. The Lower Paleolithic Cultures of Southern and Eastern
Asia. Transaction of American Philosophical Society 38 (4) : 329- 340.
Philadelphia: The American Philosophical Society.

Sujud, S. 2013. PRASEJARAH INDONESIA: Tinjauan Kronologi dan Morfologi.


Sejarah dan budaya 7(2). 9 hlm

Soejono, R.P. 2010. Zaman Prasejarah di Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia


I. Jakarta : Balai Pustaka

Widianto, H. 1980. Hubungan antara Pithecanthropus erectus dan Meganthropus


paleojavanicus Ditinjau dari Segi Fisik dan Kulturilnya. Yogyakarta: Jur
Arkeologi FS-UGM.

Anda mungkin juga menyukai