Dosen Pengampu:
Indah Juwita Sari, S.Pd., M.Si.
Usman, S.Pd., M.Pd.
Mahrawi Suprapto, S.Pd., M.Pd.
Disusun oleh:
Anis Fitri Wahyuni 2224150067
Awalullya Fath Niatunnisa 2224150017
Handa Sukarya 2224150070
Rizqi Nur Rachmawati 2224150039
Suryaningsih 2224140861
Kelas 7C
Monotremata
(5 spesies)
Monotremata
(324 spesies)
Marasupialia
Mamalia nenek
moyang
Marasupialia
Xenarthra
1. Rodentia
2. Lagomorpha
(51010 spesies)
3. Primate
Euteria
dermoptera (lemur terbang)
scandentia (celurut pohon)
1. Carnivora
2. Catartiodactyia
3. Perissodactyia
4. Chiroptera
5. Eulipotyphla
6. pholidota (tranggiling)
Makanan
terutama terdiri
dari serangga dan
Akuatik; tubuh
berbagai
mirip cerutu;
Cetacea Eulipotyphala invertebrata kecil
tungkai depan
yang lain.
Paus, lumba- serupa sirip dan Insektivora inti;
lumba, julang- tidak ada tungkai beberapa tikus
julang belakang. mondok, beberapa
Lapisan tebal celurut
pengisolasi
panas; karnivor.
Owa
Orangutan
Gorilla
Simpase dan bonobo
60 50 40 30 20 10 0
Catatan fosil mengindikasikan bahwa antropoid mulai berdivergensi dari primata
lain sekitar 50 juta tahun lalu. Monyet dunia baru, monyet dunia lama, dan kera
(klad yang mencakup owa, orangutan, gorila, simpase, dan manusia) telah
berevolusi sebagai garis-garis keturunan yang terpisah selama lebih dari 20 juta
tahun. Garis-garis keturunan yang mengarah kepada manusia memisahkan diri dari
kera-kera yang lain antara 5 dan 7 juta tahun lalu.
Manusia adalah mamalia yang memiliki otak besar dan lokomosi bipedal
Ketika Anda mempertimbangkan bahwa kehidupan telah ada di Bumi
selama setidaknya 3,5 miliar tahun, jelaslah kita merupakan pendatang baru dalam
evolusi makhluk hidup.
Homonin Terawal
Penelitian asal-usul manusia dikenal sebagai paleoantropologi
(paleoanthrophology). Para ahli paleoantropologi telah menggali fosil-fosil dari
sekitar 20 spesies yang telah punah yag berkerabat lebih dekat dengan manusia
dibandingkan dengan simpanse. Spesies-spesies ini dikenal sebagai hominin
(Gambar 1.3) (Walaupun mayoritas antropolog kini menggunakan istilah hominin,
sinonimnya terdahulu, hominid, masih terus digunakan oleh sebagain ahli). Sejak
1994, fosil-fosil dari empat spesies hominin yang berasal lebih dari 4 juta tahunlalu
telah ditemukan. Hominin yang tertua, Sahelanthropus tchadensis, hidup sekitar 6-
7 juta tahun lalu.
Gambar 1.3 Lokasi Penemuan Fosil Hominin
Australopith
Australopith mendapatkan namanya dari penemuan Australopithecus
africanus (‘kera selatan dari Afrika’) pada 1942 di Afrika Selatan, yang hidup
antara 3 dan 2,4 juta tahun lalu. Dengan penemuan lebih banyak fosil, jelaslah
bahwa A. africanus berjalan secara tegak sepenuhnya (bipedal) dan memiliki tangan
dan gigi serupa-manusia. Akan tetapi, otaknya hanya sekitar sepertiga dari ukuran
otak manusia masa kini.
Pada 1974, di wilayah Afar, Etiopia, para ahli
paleontologi menemukan rangka Australopithecus berusia 3,2
juta tahun yang 40% komplit. ‘Lucy’, demikian fosil itu
dinamai, bertubuh pendek, tingginya hanya sekitar 1 m. Lucy
dan fosil-fosil yang serupa dianggap cukup berbeda dari
Australopithecus africanus untuk digolongkan sebagai spesies
yang terpisah, Australopithecus afarensis (berdasarkan nama
Gambar 1.4 Lucy
rangka berumur 3,24 juta tahun
wilayah Afar). Fosil-fosil yang ditemukan pada awal tahun 1990-an menunjukkan
bahwa A. afarenss terdapat sebagai sebuah spesies selama setidaknya 1 juta tahun.
Meskipun berisiko terlalu menyederhanakan, seseorang bisa mengatakan
bahwa A. afarensis memiliki karakter turunan manusia yang lebih sedikit di atas
leher daripada di bawah. Kepala Lucy seukuran bola sofbol, mengindikasikan
ukuran otak yang sebesar otak simpanse dengan tubuh seukuran Lucy. Tengkorak
A. afarensis menunjukkan bahwa tampaknya hominin ini mampu melakukan
lokomosi arboreal, dengan proporsi lengan yang relatif panjang daripada ukuran
tubuh (dibandingkan dengan proporsi pada manusia). Akan tetapi, fragmen-
fragmen tulang panggul dan tengkorak mengindikasikan bahwa A. afarensis
berjalan dengan dua kaki. Jejak kaki yang terfosilasi di Laetoli, Tanzania,
mendukung bukti rangka bahwa hominin yang hidup di masa A. afarensis bersifat
bipedal.
Bipedalisme
Nenek moyang antropoid kita yang hidup 30-35 juta tahun lalu masih
merupakan penghuni pohon. Namunsekitar 10 juta tahun lalu, wilayah pegunungan
Himalaya telah terbentuk, terdorong ke atas akibat tumbukan lempeng India dengan
lempeng Eurasia. Iklim menjadi lebih kering, dan hutan-hutan di daerah yang kini
merupakan Afrika dan Asia menyusut. Hasilnya adalah peningkatan habitat sabana
(padang rumput), dengan pohon-pohon yang lebih sedikit. Selama beberapa
dekade, para ahli paleontropologi melihat ada hubungan kuat antara perluasan
sabana dan kemunculan hominin bipedal. Menururt salah satu hipotesis, hominin
penghuni pohon tidak bisa lagi berpindah-pindah melalui kanopi, sehingga seleksi
alam menggunakan adaptasi-adaptasi yang membuat pergerakan melintasi tanah
terbuka lebih efisien.
Penggunaan Alat
Pembuatan dan penggunaan alat-alat kompleks merupakan karakter
perilaku turunan manusia. Menentukan asal usul penggunaan alat dalam evolusi
manusia merupakan salah satu tantangan terbesar ahli paleoantropologi. Kera-kera
lain mampu menggunkaan peralatan yang rumit secara mengejutkan. Orangutan,
misalnya, dapat membentuk tongkat kayu menjadi alat pencolok untuk mengambil
serangga dari sarang. Simpanse bahkan lebih mahir lagi, menggunkaan bebatuan
untuk membuka makanan dan meletakkan dedaunan di kaki untuk berjlaan
melintasi duri-duri. Ada kemungkinan bahwa hominin awal mampu menggunkan
alat sederhana semacam ini, namun menemukan fosil tongkat yang dimodifikasi
atau dedaunan yang digunakan sebagai sepatu bisa dianggap mustahil.
Bukti tertua penggunaan alat oleh hominin yang diterima secara luas adalah
bekas-bekas pemotongan pada tulang-tulang hewan berusia 2,5 juta tahun yang
ditemukan di Etiopia. Tanda-tanda ini menunjukkan bahwa hominin memotong
daging dari tulang-tulang hewan menggunakan alat-alat batu. Yang menarik,
hominin yang fosilnya ditemukan di dekat tempat penemuan tulang-tulang itu
memiliki otak yang relatif kecil. Jika hominin-hominin ini, yang dinamai
Australopithecus garhi, benar merupakan pencipta alat-alat batu yang digunakan
pada tulang-tulang tersebut, maka itu berarti penggunaan alat-alat batu bermula
sebelum evolusi otak yang berukuran besar pada hominin.
Homo Awal
Fosil-fosil terawal yang ditemapatkan oleh para ahli paleoantropologi ke
dalam genus kita, Homo, adalah fosil-fosil dari spesies Homo habilis. Fosil-fosil
ini, yang usianya berkisar dari sekitar 2,4 hingga 1,6 juta tahun, menunjukkan
tanda-tanda yang jelas dari sejumlah karakter turunan hominin tertentu di atas leher.
Dibandingkan dengan australopith, H. habilis memiliki rahang yang lebih pendek
dan volume otak yang lebih besar, sekitar 600-750 cm3.
Alat-alat batu yang tajam juga telah ditemukan bersama
sejumlah fosil H. habilis (yang naanya berarti ‘manusia
cekatan’).
Fosil-fosil dari 1,9 hingga 1,5 juta tahun lalu
menandai tahap baru dalam evolusi hominin. Sejumlah
ahli paleoantropologi mengenali fosil-fosil ini sebagai
spesies yang terpisah, Homo ergaster. Homo ergaster
Gambar 1.7 H. ergaster & H. erectus
memiliki otak yang jauh lebih besar daripada H. habilis (lebih dari 900 cm3), serta
kaki yang panjang dan langsing dengan persendian panggul yang terasaptasi dengan
baik untuk berjalan jarak jauh. Jari-jarinya relatif pendek dan lurus, menunjukkan
bahawa H. ergaster tidak memanjat pohon seperti hominin-hominin terdahulu.
Homo ergaster menandai pergeseran yang penting dalam ukuran relatif dari
kedua jenis kelamin. Pada primata, perbedaan ukuran antara jantan dan betina
merupakan komponen utama dimorfisme seksual. Rata-rata, gorila dan orangutan
jantan berbobot sekitar dua kali bobot betina dari spesiesnya. Pada simpanse dan
bonobo, jantan rata-rata hanya sekitar 1,35 kali lebih berat daripada betina. Pada
Australopithecus afarensis, jantan 1,5 kali lebih berat daripada betina. Namun pada
homo awal, dimorfisme seksual sangat tereduksi, dan tren ini terus berlanjut hingga
spesies kita sendiri: manusia laki-laki rata-rata sekitar 1,2 kali lebih berat daripada
perempuan.
Dimorfisme seksual yang tereduksi dapat memberikan sejumlah petunjuk
tentang sostem sosial hominin yang sudah punah. Pada primata yang masih ada,
dimorfisme seksual yang ekstem diasosiasikan dengankompetisi jantan-jantan yang
keras untuk memperebutkan banyak betina. Pada spesies-spesies yang menjalankan
ikatan pasangan (termasuk spesies kita sendiri), dimorfisme seksual tidak
sedemikian drastis. Dengan demikian laki-laki dan perempuan H. ergaster telah
menjalin lebih banyak ikatan pasangan daripada hominn terdahulu. Pergeseran ini
mungkin telah berasosiasi dengan pengasuh anak yang lebih lama oleh kedua orang
tua. Bayi manusia bergantung pada orang tuanya untuk memperoleh makanan dan
perlindungan dalam jangka waktu yang lebih lama daripada anak kera yang lain.
Fosil-fosil yang kini dikenal sebagai H. ergaster pada awalnya dianggap
anggota-anggota awal spesies yang lain, Homo erectus, dan sejumlah ahli
paleoantropologi masih meyakini hal ini. Homo erectus bermula di Afrika dan
merupakan hominin pertama yang bermigrasi keluar dari Afrika. Fosil-fosil
hominin tertua di luar Afrika, berusia 1,8 juta tahun, ditemukan pada tahun 2000 di
bekas Republik Soviet, Georgia. Homo erectus akhirnya bermigrasi hingga sejauh
kepulauan Indonesia. Pembandingan fosil-fosil H. erectus dengan manusia dan
penelitian DNA manusia mengindikasikan bahwa H. erectus punah pada suatu
waktu setelah 200.000 tahun lalu.
Neanderthal
Pada 1856, para penambang menemukan sejumlah fosil-fosil manusia
misterius di sebuah gua di Lembah Neande, Jerman. Fosil-fosil berusia 40.000
tahun itu milik sejenis hominin bertulang tebal dengan dahi yang menonjol.
Hominin tersebut diberi nama Homo neanderthalenis dan biasa disebut
Neanderthal. Neanderthal hidup di Eropa dan Timur Dekat sekitar 200.000 tahun
lalu, namun tidak pernah menyebar keluar dari wilayah itu. Mereka mempunyai
otak yang besarnya sama dengan manusia masa kini, menguburkan jenazah, dan
membuat peralatan berburu dari batu dan kayu. Meskipun memiliki berbagai
adaptasi dan kebudayaan itu, Neanderthal tampaknya punah sekitar 28.000 tahun
lalu.
Banyak ahli paleontropologi pernah menganggap Neanderthal sebagai
suatu tahap dalam evolusi Homo erectus menjadi Homo sapiens. Kini sebagian
besar ahli telah menggugurkan pandangan ini. Salah satu alasan untuk perubahan
ini berkaitan dengan bukti dari analisis DNA mitokondria. Hasil-hasil itu
menunjukkan bahwa Neanderthal mungkin telah menyumbang sedikit ke lungkang
gen (gen pool) H. sapiens. Akan tetapi, hasil-hasil awal dari sebuah penelitian tahun
2006 yang membandingkan DNA nucleus Neanderthal dan manusia tampaknya
konsisten dengan aliran gen terbatas di antara kedua spesies. Selain itu, sejumlah
peneliti berargumentasi bahwa bukti aliran gen dapat ditemukan pada fosil-fosil
yang menunjukkan campuran karakteristik H. sapiens dan Neanderthal. Analisis
genetik dan penemuan fosil lebih lanjut akan diperukan untuk menyudahi debat
yang terus berlangsung tentang pertukaran genetik di anatara kedua spesies.
Homo sapiens
Bukti-bukti dari fosil, arkeologi, dan penelitian DNA telah mengarahkan
kita pada hipotesis yang meyakinkan tentang bagaimana spesies kita sendiri. Homo
sapiens, muncul dan menyebar keseluruh dunia.
Bukti fosil mengindikasi bahwa nenek moyang manusia bermula di Afrika.
Spesie-spesies yang lebih tua (mungkin H. ergaster atau H. erectus) memunculkan
spesies-spesies yang lebih baru, pada akhirnya mencakup H. sapiens. Terlebih lagi,
fosil-fosil tertua yang telah diketahui dari spesies kita sendiri telat ditemukan di dua
situs berbeda di Etiopia dan mencakup specimen-spesimen berusia 195.000 dan
160.000 tahun. Manusia-manusia ini tidak memiliki tonjolan dahi berat seperti H.
erectus dan Neanderthal serta lebih langsing daripada hominin yang lain.
Fosil-fosil Etiopia tersebut mendukung kesimpulan tentang asal usul
manusia dari bukti molekuler. Seperti yang anda lihat pada, analisis DNA
mengindikasi bahwa semua manusia masa kini berkerabat lebih dekat satu sama
lain dibandingkan dengan Neanderthal. Penelitian-penelitian lain terhadap DNA
manusia menunjukkn bahwa orang-orang Eropa dan Asia memiliki nenek moyang
bersama yang relatif baru dan bahwa banyak garis keturunan Afrika bercabang pada
posisi-posisi yang lebih tua pada pohon family manusia. Temuan-temuan ini sangat
mendukung bahwa semua manusia masa kini memiliki nenek moyang bersama
yang bermula sebagai H. sapiens di Afrika, yang didukung lebih lanjut oleh analisis
DNA mitokondria dan kromosom Y dari anggota-anggota berbagai populasi
manusia.
Fosil tertua H. sapiens di luar Afrika berasal dari Timur Tengah dan berusia
sekitar 115.000 tahun. Penelitian-penelitian terhadap kromosom Y manusia
menunjukkan bahwa manusia menyebar keluar Afrika dalam satu atau lebih
gelombang, perta,a-tama ke Asia dan kemudian ke Eropa dan Australia. Waktu
kedatangan pertama manusia di Dunia Baru belum bisa dipastikan, walaupun bukti
tertua yang diterima secara luas menunjukkan bahwa itu terjadi sebelum 150.000
tahun lalu.
mengagumkan sisa-sisa rangka hominin dewasa yang berasal dari 18.000 tahun lalu
dan merepresentasikan sebuah spesies yang sebelumnya tidak dikenal yang mereka
namai Homo floresiensis. Ditemukan di sebuah gua gamping di Pulau Flores,
Indonesia, individu-individu tersebut jauh lebih pendek dan mempunyai volume
otak yang lebih kecil daripada H. sapiens- bahkan lebih mirip dengan australopith.
Para peneliti yang menmukan fosil-fosil ini berargumentasi bahwa rangka-rangka
tersebut juga menunjukkan banyak cirri turunan, termasuk ketebalan tengkorak dan
proporsi serta bentuk gigi, yang menunjukkan bahwa spesies tersebut diturunkan
dari H. erectus yang lebih besar. Sejumlah peneliti yang tidak meyakini hal baru itu
berargumen bahwa fosil-fosil itu merepresentasikan H. sapiens kecil yang memiliki
otak cacat berukuran mungil, suatu kondisi yang dikenal sebagai mikrosefali
(microcephaly).
Akan tetapi, sebuah penelitian tahun 2007 menemukan bahwa tulang
pergelangan tangan fosil-fosil Flores mirip dengan pergelangan keran nonmanusia
dan hominin awal, namun berbeda dari pergelangan tangan Neanderthal dan H.
sapiens. Para peneliti menyimpulkan bahwa fosil-fosil Flores mempresentasikan
sebuah spesies yang garis keturunannya bercabang sebelum kemunculan klad yang
mencakp Neanderthal dan manusia.
Ekspansi spesies kita yang cepat (dan penggantian Neanderthal) mungkin
telah didorong oleh perubahan-perubahan pada kognisi manusia ketika H. sapiens
berevolusi di Afrika. Bukti pemikiran yang canggih pada H. sapiens mencakupu
penemuan seni berusia 77.000 tahun, tanda-tanda geometrik yang dibuat di atas
potongan-potongan oker, sejenis bijih besi tak murni, di Afrika Selatan pada tahun
2002. Pada tahun 2004, para arkeolog yang bekerja di Afrika Selatan dan Timur
menemukan telur burung onta dan cangkang siput yang berusia 75.000 tahun
dengan lubang-lubang yang dibor dengan rapi. Sekitar 36.000 tahun lalu, manusia
telah menghasilkan lukisan-luksian gua yang spektakular.
Petunjuk-petunjuk transformasi kognisi manusia juga dapat ditemukan
dalam genom manusia. Misalnya, gen FOXP2 diduga memainkan peran penting
dalam bahasa manusia. Orang-orang yang mewarisi versi termutasi dari gen
tersebut menderita gangguan berbahasa dan memiliki aktivitas yang tereduksi pada
area Broca di otak.. pada 2002, parah ahli genetika membandingkan gen FOXP2
pada manusia dengan gen homolog pada mamalia lain. Mereka menyimpulkan
bahwa gen tersebut mengalami seleksi alam yang kuat setelah nenek moyang
manusia dan simpanse berdiverhensi. Dengan membandinganberbagai mutasi pada
wilayah-wilayah yang mengapit gen tersebut, para peniliti memperkirakan bahwa
rangkaian seleksi alam ini terjadi selama 200.000 tahun terakhir. Tentu saja,
kapasitas manusia untuk berbahasa melibatkan banyak wilayah otak, dan hampir
pasti bahwa banyak gen lain juga penting bagi bahasa.
1. Meganthropus
Meganthropus (mega:besar, antropo: manusia) atau manusia raksasa
merupakan jenis manusia prasejarah paling primitif. Fosil dari jenis ini
ditemukan di Sangiran (Jawa Tengah) oleh Von Koenigswald pada tahun
1936 dan 1941. Meganthropus paleojavanicus dianggap sebagai genus yang
hidup pada kala plestosen bawah, dan merupakan pendahulu dari
Pithecanthropus erectus dari kala plestosen tengah (Widianto 1980). Von
Koeningswald menamakan fosil temuannya ini dengan sebutan
mengathropus palaeojavanicus (raksasa dari Jawa). Fosil yang ditemukan
adalah sebuah rahang bawah dan 3 buah gigi (1 gigi taring dan 2 gigi
geraham) berasal dari lapisan pleistosen bawah (fauna Jetis). Meganthropus
diperkirakan hidup antara 2-1 juta tahun yang lalu. Dari rahang dan gigi
yang ditemukan terlihat bahwa makhluk ini adalah pemakan tumbuhan yang
tidak dimasak terlebih dahulu (rahang dan giginya besar dan kuat). Belum
ditemukan perkakas atau alat di dalam lapisan ini sehingga diperkirakan
manusia jenis ini belum memiliki kebudayaan.
2. Pithecanthropus
Manusia Pithecanthropus yang lebih banyak terdapat dan lebih luas
penyebarannya adalah Pithecanthropus erectus. Temuan fosil yang
terpenting dan terkenal adalah atap tengkorak dan tulang paha dari Trinil
pada tahun 1891. Berdasarkan temuan ini Eugene Dubois memberi nama
Pithecanthropus erectus. Dubois memandang Pithecanthropus sebagai
missing link, yaitu manusia perantara yang menghubungkan antara kera dan
evolusi manusia (Howell 1980, Sartono 1983).
Sejak sekitar 10.000 tahun yang lalu ras manusia seperti yang
dikenal sekarang sudah mulai ada di Indonesia dan sekitarnya. Dua ras yang
terdapat di Indonesia pada permulaan kala holosen, yaitu Australomelanesid
dan Monggolid.
1. Paleolitik
Kehidupan manusia prasejarah masa paleolitik berlangsung sekitar 1,9
juta-10.000 tahun yang lalu. Bukti-bukti peninggalan masa ini terekam
dalam sisa-sisa peralatan yang sering disebut artefak. Di Indonesia tradisi
pembuatan alat pada masa Paleolitik dikenal 3 macam bentuk pokok, yaitu
tradisi kapak perimbas-penetak (chopper chopingtool complex), tradisi
serpih-bilah (flakeblade), dan alat tulang-tanduk (Ngandong Culture)
(Heekeren 1972). Tradisi kapak perimbas-penetak yang ditemukan di
Indonesia kemudian terkenal dengan nama budaya Pacitan, dan dipandang
sebagai tingkat perkembangan budaya batu yang terawal di Indonesia. Alat
budaya Pacitan dapat digolongkan dalam beberapa jenis utama yaitu kapak
perimbas (chopper), kapak penetak (chopping-tool), pahat genggam (proto
hand-adze), kapak genggam awal (proto hand-axe), kapak genggam (hand-
axe), dan serut genggam (scraper) (Movius, 1948).
2. Mesolitik
Kehidupan manusia prasejarah masa mesolitik diperkirakan
berlangsung sejak akhir plestosen atau sekitar 10.000 tahun yang lalu. Pada
masa ini berkembang 3 tradisi pokok pembuatan alat di Indonesia yaitu
tradisi serpih-bilah (Toala Culture), tradisi alat tulang (Sampung Bone
Culture), dan tradisi kapak genggam Sumatera (Sumatralith). Ketiga tradisi
alat ini di temukan tidak berdiri sendiri, melainkan seringkali unsur-
unsurnya bercampur dengan salah satu jenis alat lebih dominan daripada
lainnya. Tradisi serpih-bilah secara tipologis dapat dibedakan menjadi
pisau, serut, lancipan, mata panah, dan mikrolit. Tradisi serpih terutama
berlangsung dalam kehidupan di gua-gua Sulawesi Selatan, yang sebagian
pada masa tidak lama berselang masih didiami oleh suku bangsa Toala,
sehingga dikenal sebagai budaya Toala (Heekeren 1972).
Sementara industri tulang Sampung tersebar di situs-situs gua di Jawa
Timur. Kelompok budaya ini memperlihatkan dominasi alat tulang berupa
sudip dan lancipan. Temuan lain berupa alat-alat batu seperti serpih-bilah,
batu pipisan atau batu giling, mata panah, serta sisa-sisa binatang.
Sedangkan tradisi Sumatralith banyak ditemukan di daerah Sumatera,
khususnya pantai timur Sumatera Utara. Situs-situs di daerah ini berupa
bukit-bukit kerang.
3. Neolitik
Masa neolitik merupakan masa yang amat penting dalam sejarah
perkembangan masyarakat dan peradaban. Masa Neolitik ini beberapa
penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat.
Bukti yang didapat dari masa neolitik terutama berupa berbagai jenis batu
yang telah dipersiapkan dengan baik. Kemahiran mengupam alat batu telah
melahirkan jenis alat seperti beliung persegi, kapak lonjong, alat obsidian,
mata panah, pemukul kulit kayu, gerabah, serta perhiasan berupa gelang dari
batu dan kerang.
1. Kebudayaan Pacitan
Von Koenigswald dalam penelitian pada tahun 1935 di Pacitan tepatnya
di desa Punung menemukan alat palaeolithik berupa kapak genggam
atau kapak perimbas, serta alat serpih. Dilihat dari teknologinya alat ini
dibuat dengan cara sederhana dan masih kasar. Alat ini ditemukan
dipermukaan tanah sehingga sulit untuk menentukan siapa pendukung
kebudayaan ini. Meskipun ditemukan di atas permukaan tanah, namun
setelah diteliti alat ini berasal dari lapisan pleistosen tengah. Kapak
perimbas juga ditemukan di Sukabumi, Ciamis,Gombong, Bengkulu,
Bali, Flores dan Timor. Pendukung kebudayaan ini diperkirakan
manusia prasejarah dari jenis Pithecanthropus erectus.
2. Kebudayaan Ngandong
Von Koeningswald pada tahun 1934 dalam penelitian di Ngandong dan
Sidorejo (Madiun) menemukan alat-alat tulang, tanduk dan alat batu
yaitu kapak genggam. Karena ditemukan di Ngandong maka Von
Koenigswald menamakannya kebudayaan Ngandong. Termasuk
kebudayaan Ngandong adalah alat-alat serpih yang ditemukan di
Sangiran. Alat serpih ini berfungsi sebagai pisau, belati dan alat
penusuk. Alat serpih juga ditemukan di Sulawesi Selatan, Flores dan
Timor. Alatlat tersebut seperti penemuan di Pacitan yaitu ditemukan di
permukaan tanah sehingga sulit untuk mengidentifikasi manusia tipe
apa yang mempergunakan alat tersebut. Akan tetapi dari hasil
penyelidikan dapat dipastikan bahwa alat tersebut berasal dari zaman
pleistocen atas (Soekmono, 1973: 32). Dari penemuan alat-alat
tersebut, maka dapat analisis tentang kehidupan manusia pada zaman
itu. Analisis yang muncul adalah kehidupan manusia zaman itu masih
mengumpulkan bahan makanan yang disediakan oleh alam (food
gathering). Kehidupan kerohanian mereka juga belum dapat
diidentifikasi karena memang tidak ditemukan alat-alat yang
dipergunakan sebagai upacara keagamaan.
3. Kebudayaan Sampung
Pada tahun 1928 sampai 1931 Van Stein Callenfels mengadakan
penelitian di Gua Lawa di dekat Sampung (Ponorogo). Penelitian yang
dilakukan oleh Van Stein Callenfels membuahkan hasil dengan
ditemukannya alat-alat yang berupa alat tulang sehingga Van Stein
Callenfels menyebutnya dengan kebudayaan Sampung Bone Culture.
Alat-alat yang ditemukan antara lain jarum, pisau, mata panah dan
sudip. Lingkungan kebudayaan samping meliputi sebuah rock shelter
yaitu lapisan tanah yang mengandung beberapa benda-benda yang
mencerminkan kebudayaan tertentu. Di tempat tersebut juga ditemukan
tulang-tulang binatang yang dibor, diperkirakan tulang-tulang tersebut
dimanfaatkan sebagai barang perhiasan atau jimat. Binatang perburuan
juga ditemukan seperti gajah, macan tutul, rusa, dan lain-lain. Masih
sulit untuk menganalisis bagaimanakah kebudayaan di daerah ini
berkembang dan dari jenis kebudayaan apa, yang disebabkan oleh
bercampurnya. Namun diperkirakan kebudayaan ini berkembang dari
zaman post glacial dan berkembang di daerah terpencil (Sudrajat).
Tradisi Prasejarah
Seperti diketahui bahwa masa prasejarah di Indonesia telah berakhir sejak
ditemukannya tulisan pertama sekitar abad ke 4-5 M, akan tetapi beberapa tradisi
prasejarah masih bertahan jauh memasuki masa sejarah, bahkan hingga masa kini
di beberapa tempat di Indonesia. Di antara tradisi prasejarah yang berlanjut hingga
masa kini antara lain: tradisi hidup bercocok tanam sederhana dengan sistem slash
and burn, tradisi pembuatan kapak batu, tradisi pembuatan gerabah, tradisi
pembuatan pakaian dengan alat pemukul kulit kayu, tradisi pembuatan alat-alat
logam, dan tradisi pemujaan nenek moyang (tradisi megalitik), serta masih banyak
lagi tradisi prasejarah yang masih hidup, tetapi mengendap, bertahan, dan
berlangsung sampai saat ini di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Etnis
Kata etnik berasal dari bahasa Inggris atau "ethnic“ yang mendefinisikannya
sebagai ras. Kajian berkaitan dengan etnik dikenal sebagai Ethnology
“Mengkalasifikasikan manusia berdasarkan faktor sosial dan kebudayaan”. Kajian
berkaitan dengan hubungan etnik dengan faktor geografis dan kependudukan
dikenal sebagai "ethnography” (Iskandar, 1970: 272).
Kemunculan etnik Teori evolusi asal usul manusia menjelaskan bahawa
jenis Homo Sapiensa berkembang menjadi tiga etnik utama yaitu Etnik Caucasoid,
Etnik Mongoloid, dan Etnik Negroid. Bentuk tubuh badan dan warna kulit yang
berlainan yang disebabkan oleh faktor mutasi, seleksi, dan Random genetic drift
(Yusof, 2003: 38).
1. Caucasoid yang terdiri dari Nordik(Eropa Utara sekitar Laut Baltik),
Alpine(Eropa Tengah dan Timur), Meditterranean (Sekitar Laut Tengah,
Afrika Utara), Armenia, Arab, Iran dan India.
2. Mongoloid yang terdiri dari Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah,
Asia Timur), Malayan Mongoloid (Asia Tengah, Kepulauan Indonesia,
Malaysia, Filipina), American Mongoloid (Eskimo di Amerika Utara
hingga Penduduk Terra Del Fuego di Amerika Selatan).
3. Negroid yang terdiri dari African Negroid (Benua Afrika), Negrito (Afrika
Tengah, Semenanjung Tanah Melayu, Filipina, Malanesian, (Irian,
Malanesia).
4. Etnik-etnik yang tidak dapat diklasifikasikan seperti Bushman (di daerah
gurun Kalahari di Afrika Selatan), Veddoid (pedalaman Srilanka, Sulawesi
Selatan), Austroloid (penduduk asli Australia), Polenesia (Kepulauan
Mikronesia dan Polenesia), dan Ainu (Pulau-Pulau Karafuto, Hokkaido di
Jepang Utara).
Klasifikasi etnik berdasarkan kepada pembahagian geografi dipelopori oleh
Garn (1961) dan Coon (1962) yang membahagikan manusia kepada beberapa
kategori etnik:
1. Amerindian: penduduk asli di Amerika sebelum kedatangan orang Eropah
dan Afrika.
2. Mcronesia: penduduk di kepulauan Mikronsia dan sebadian dari Pasifik
Barat
3. Malanesian-Papuan: penduduk New Guinea, Fiji dan pulau-pulau lain di
Pasifik Barat
4. Australian: peduduk asli di Australia sebelum kedatanganEropah.
5. Asiatik: penduduk di Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah, dan Siberia.
6. India: penduduk India.
7. European: penduduk di Eropa, Afrika Utara dan Barat-Daya Asia
8. African: penduduk Afrika di bahagian selatan padang pasir Sahara
Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia Vol. I. The Hague :
Martinus Nijhoff.
Heekeren, H.R. van. 1972. The Stone Age of Indonesia. VKI, LXI, second rev.ed.
The Hague : Martinus Nijhoff.
Jacob, T. 1969. Kesehatan di Kalangan Manusia Purba. B.I. Ked. Gadjah Mada 1
(2) : 143-157. Leaky, L.S.B. 1960. Adam’s Ancestors. Harper Torch Book.
Movius Jr, H.L. 1948. The Lower Paleolithic Cultures of Southern and Eastern
Asia. Transaction of American Philosophical Society 38 (4) : 329- 340.
Philadelphia: The American Philosophical Society.