Anda di halaman 1dari 8

Kebijakan dan Instrumen Moneter

dalam Ekonomi Makro Islam


Ahsani Taqwiem, S.E.,M.E.
Islamic Banking Department
Faculty of Economic and Business, University of Islam Malang
Email : IB_ahsanitaqwiem@unisma.ac.id

1. DESKRIPSI
2. DEFINISI 5. MANAJEMEN MONETER ISLAM
MODUL
3. SEJARAH KEBIJAKAN 6. INSTRUMEN MONETER
MONETER ISLAM 7. APLIKASI INSTRUMEN MONETER
4. PEMIKIRAN BERBAGAI ISLAM
MAZHAB KEBIJAKAN
MONETER ISLAM

1. DESKRIPSI
Modul ini disusun sebagai materi
11
&*
pembelajaran untuk memberikan
pemahaman kepada mahasiswa
mengenai konsep kebijakan dan
instrumen moneter dalam Ekonomi

KEBIJAKAN DAN INSTRUMEN MONETER


Makro Islam. Sasaran akhir yang
dituju dalam modul ini adalah agar
mahasiswa dapat memahami
tentang sejarah kebijakan moneter
Islam, pemikiran berbagai mazhab
kebijakan moneter Islam, dan
instrumen moneter Islam.

2. DEFINISI
Kebijakan moneter menurut Adiwarman Karim dalam bukunya
ekonomi makro Islami adalah kebijakan pemerintah yang bertujuan
memperbaiki kondisi perekonomian negara secara makro dengan
cara mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Kebijakan moneter pada dasarnya bertujuan untuk mencapai


keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
stabilitas harga, pemerataan pembangunan) serta tercapainya
tujuan ekonomi makro, yaitu menjaga stabilitas ekonomi yang
dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga, serta
neraca pembayaran internasional yang seimbang.

E-Learning UNISMA.ac.id
Mata Kuliah : Ekonomi Makro Islam University of Islam Malang 2019

3. SEJARAH KEBIJAKAN MONETER ISLAM


Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan,
sistem keuangan inilah yang paling banyak dilakukan studi empiris maupun historis
bila dibandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi lainnya. Dalam sejarah Islam,
kebijakan moneter pertama kali diterapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW
dengan digunakannya bimatalic standard yaitu emas dan perak (dirham dan dinar)
karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat
kala itu.

Nilai tukar emas dan perak pada masa Rasulallah ini relatif stabil dengan nilai
kurs dirham-dinar 1:10, namun demikian, stabilitas nilai kurs dalam sejarah Islam
pernah mengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supply dan
demand. Misalkan pada masa Bani Umayyah (41/662-132/750) rasio kurs antara
dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa Abbasiyah (132/750-656/1258) berada
pada kisaran 1:15.

Pada masa yang lain nilai tukar dirham-dinar mengalami fluktuasi dengan nilai
paling rendah pada level 1:35-1:50. Instabilitas dalam nilai tukar yang ini akan
mengakibatkan terjadinya kualitas buruk akan menggantikan uang kualitas baik,
dalam literatur konvensional peristiwa ini disebut hukum Gresham.

Seperi yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Bany Mamluk (1263-
1328), dimana mata uang yang beredar tersebut dari fulus (tembaga) mendesak
keberadaan uang logam emas dan perak. Oleh Ibnu Taimiyah dikatakan bahwa
uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik. Dalam
sejarah Islam, perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami
tiga kali evolusi yaitu:

a. The gold cins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang aktif
dalam peredaran.
b. The gold bullion standard : di mana logam emas sebagai parameter dalam
menentukan nilai tukar uang yang beredar.
c. The gold exchange standard (bretton woods system): di mana otoritas
moneter menentukan nilai tukar domestic currency dengan foreign currency
yang mampu diback-up secara penuh oleh cadangan emas yang dimiliki.
Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat saat itu telah
memunculkan uang fiducier (credit money) yaitu uang yang keberadaannya
tidak diback-up oleh emas dan perak.

4. PEMIKIRAN BERBAGAI MAZHAB KEBIJAKAN


MONETER ISLAM
Beberapa mazhab instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara
lain :

1) Mazhab pertama (Iqtishaduna).

Pada masa awal Islam tidak diperlukan adanya suatu kebijakan moneter
karena system perbankan hampir tidak ada dan penggunaan uang sangat minim.
Jadi, tidak ada alas an yang memadai untuk melakukan perubahan-perubahan
terhadap penawaran akan uang melalui diskresioner.

Page 2 of 8
Mata Kuliah : Ekonomi Makro Islam University of Islam Malang 2019

Selain itu, peraturan pemerintah tentang surat peminjaman (promissory


notes) dan instrument negosiasi (negotiable instruments) dirancang sedemikian
rupa sehingga tidak memungkinkan penciptaan uang. Promissory notes atau bill
exchange dapat diterbitkan untuk membeli barang dan jasa atau mendapatkan
sejumlah dana segar, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk tujuan kredit.
Aturan-aturan tersebut mempengaruhi keseimbangan antara pasar barang dan
pasar uang berdasarkan transaksi tunai. Dalam nasi‟a atau aturan transaksi
lainnya, uang yang dibayarkan atau diterima bertujuan mendapatkan komoditas
atau jasa.

2) Mazhab Kedua (Mainstream).

Al-Quran melarang praktek penumpukan uang (money hoarding) karena


membuat uang tersebut tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, mazhab ini merancang sebuah
instrumen kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi besar kecilnya
D
permintaan akan uang (M ) agar dapat dialokasikan pada peningkatan
produktivitas perekonomian secara keseluruhan.

3) Mazhab ketiga (alternative).

Sistem kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini adalah syuratiq
process yaitu kebijakan yang diambil berdasarkan musyawarah bersama otoritas
sektor riil. Menurut pemikiran mazhab ini, kebijakan moneter adalah repeated
games in game theory. Dalam hal ini, bentuk kurva penawaran dan permintaan
akan uang mirip tambang yang melilit dengan kemiringan (slope) positif akibat
knowledge induced processs dan informant sharing yang baik.

5. Manajemen Moneter Islam


Dalam Al-Quran maupun Sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan
untuk menggunakan dinar (emas) dan dirham (perak) sebagai standar nilai tukar
uang. Khalifah Umar bin Khattab (23/644) telah mencoba untuk memperkenalkan
jenis uang dari kulit binatang.

Beberapa fuqaha diantaranya Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Hazm dan Ibn Taimiyah
mendukung keberadaan uang fiducier ini, namun Ibn Taimiyah mengingatkan
bahwa penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dan dirham
dari peredaran. Sementara Imam Al-Ghazali memperbolehkan penggunaan uang
yang tidak dikaitkan dengan emas dan perak selama pemerintah mampu menjaga
nilainya.

Hal ini membawa kita kepada dua pertanyaan yang saling berkaitan,
mengenai siapa yang berhak mengeluarkan uang fiducier dan bagaimana stabilitas
nilai uang tersebut dapat dicapai dalam sistem keuangan Islam tanpa bunga.
Secara umum, para fuqaha telah menyepakati bahwa hanya otoritas yang berkuasa
saja yang berhak untuk mengeluarkan uang, dan pemerintah wajib menjamin
terciptanya kestabilan nilai uang tersebut. Dalam hal ini, Al-Ghazali mensyaratkan
pemerintah untuk:

Page 3 of 8
Mata Kuliah : Ekonomi Makro Islam University of Islam Malang 2019

a. Menyatakan uang fiducier yang dicetak sebagai alat pembayaran resmi.


b. Wajib menjaga nilainya dengan mengatur jumlah uang yang beredar sesuai
dengan kebutuhan.
c. Memastikan tidak adanya perdagangan uang.

Keberadaan uang dalam sebuah perekonomian memberikan arti yang sangat


penting. Ketidakadilan dari alat ukur yang diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar
uang, akan mengakibatkan perekonomian tidak berjalan pada titik keseimbangan.
Hal ini akan semakin mempersulit untuk merealisasikan keadilan dalam social
ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Ibnu Khaldun menyatakan bahwa suatu negeri tidak akan mungkin mampu
melakukan pembangunan secara berkesinambungan tanpa adanya keadilan dalam
sistem yang dianutnya. Stabilitas harga berarti terjaminnya keadilan uang dalam
fungsinya, sehingga perekonomian akan relatif berada dalam kondisi yang
memungkinkan sumber daya teralokasi secara merata, pendapatan terdistribusi
dengan baik, optimum growth, full employment, dan stabilitas dalam ekonomi.

6. Instrumen Kebijakan Moneter Islam dan Konven


Dalam ekonomi konvensional terdapat empat instrument utama yang
digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar:

a. Operasi pasar terbuka (Open Market Operation), adalah pemerintah


mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli
surat-surat berharga milik pemerintah (government security).
b. Fasilitas diskonto (Discounto Rate) yang dimaksud dengan tingkat bunga
diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank
umum yang menjamin ke bank sentral.
c. Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio) yaitu penetapan rasio
cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang yang beredar. Jika rasio
cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan
lebih kecil dibanding sebelumnya.
d. Imbauan Moral (Moral Persuasion), dimana dengan adanya imbauan moral,
otoritas moneter mencoba mengarahkan atau mengendalikan jumlah uang
beredar.

Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter Islam tidak berbeda dengan tujuan
kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas mata uang (baik secara
internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang
diharapkan dapat tercapai.

Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari tujuan ketulusan dan
keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia. Hal ini disebutkan pada Al-
Qur’an dalam QS.Al.An‟am:152. Walaupun pencapaian tujuan akhirnya tidak
berbeda, namun dalam pelaksanaannya secara prinsip, moneter syari’ah berbeda
dengan konvensional terutama dalam pemilihan target dan instrumennya.

Perbedaan yang mendasar adalah prinsip syariah tidak membolehkan adanya


jaminan terhadap nilai nominal maupun rate return (suku bunga). Oleh karena itu,
apabila dikaitkan dengan target pelaksanaan kebijakan moneter maka secara
otomatis pelaksanaan kebijakan moneter berbasis syariah tidak memungkinkan
menetapkan suku bunga sebagai target/ sasaran operasionalnya.
Page 4 of 8
Mata Kuliah : Ekonomi Makro Islam University of Islam Malang 2019

Adapun Instrumen moneter syariah adalah hukum syariah. Hampir semua


instrument moneter, pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat
berharga yang menjadi underlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu,
instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates,
discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan
didepan) tidak dapat digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis
Islam.

Tetapi menurut sejumlah pakar ekonomi Islam, instrumen kebijakan moneter


konvensional masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti
Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change
in monetary base. Dalam ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga bank
sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount rate.

Bank Sentral Islam memerlukan instrumen yang bebas bunga untuk


mengontrol kebijakan ekonomi moneter dalam ekonomi Islam. Terdapat beberapa
instrumen bebas bunga yang dapat digunakan untuk meningkatkan atau
menurunkan uang beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk
mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.

Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam


ekonomi Islam diantaranya :

a. Reserve Ratio.
Adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang
oleh bank sentral, misalnya 5%. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang
beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari 5% menjadi 20%, dampaknya sisa
uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, dan begitu sebaliknya.

b. Moral Suassion.
Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan
kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan
depresi. Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam
ekonomi.

c. Lending Ratio.
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio
dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).

d. Refinance Ratio.
Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio
naik, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance ratio turun, bank
komersial harus hati-hati karena mereka tidak didorong untuk memberikan
pinjaman.

e. Profit Sharing Ratio.


Ratio bagi keuntungan harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis. Bank
sentral dapat menggunakannya sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank
sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka rasio keuntungan untuk
nasabah akan ditingkatkan.

Page 5 of 8
Mata Kuliah : Ekonomi Makro Islam University of Islam Malang 2019

f. Islamic Sukuk.
Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan
mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral
dan jumlah uang beredar akan tereduksi.Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk
menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar.

g. Government Investment Certificate.


Penjualan atau pembelian sertifikat bank sentral dalam kerangka komersial,
disebut sebagai Treasury Bills. Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan
dan dijual oleh bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam jangka
pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima dalam
Islam, maka sebagai penggantinya pemerintah menerbitkan sistem bebas bunga,
yang disebut GIC: Government Instrument Certificate.

7. Aplikasi Instrumen Moneter Islam di Indonesia


Peraturan pemerintah pada tahun 1998 mengenai perbankan syari’ah
memungkinkan perkembangan syari’ah berjalan pesat hingga saat ini. Hal ini juga
diperkuat dengan adanya Undang-Undang Perbankan Syariah (UUPS) yang
ditetapkan pada tahun 2008.

Dengan ditetapkannya peraturan pemerintah tersebut telah terjadi


peningkatan jumlah perbankan syari’ah dan jumlah cabang bank syari’ah, baik itu
dari bank umum yang berlandaskan syari’ah maupun divisi syari’ah bank umum
konvensional.

Meningkatnya kemampuan menyerap dana masyarakat terlihat dari dana


simpanan yang tercantum di neraca-neraca bank syari’ah tersebut. Hal ini lantas
menjadi pekerjaan bagi Bank Indonesia, sebagai bank sentral dan bank yang
memiliki otoritas moneter, untuk lebih menaruh perhatian dan juga lebih berhati-
hati dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap bank-bank umum, tanpa
mengganggu momentum pertumbuhan bank-bank syari’ah.

Adapun mengenai bank-bank yang berjalan berlandaskan pada syari’ah Islam,


Bank Indonesia menjalankan fungsinya sebagai bank sentral dengan instrumen-
instrumen berikut :

a. Giro Wajib Minimum (GWM)

Giro Wajib Minimum (GWM) atau dinamakan juga dengan statutory reserve
requirement adalah simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada
BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan persentase tertentu dari dana
pihak ketiga. GWM adalah kewajiban bank untuk mendukung pelaksanaan prinsip
kehati-hatian perbankan (prudential banking) serta berperan sebagai instrumen
moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang.

Besaran GWM adalah 5% dari dana pihak ketiga yang berbentuk IDR (rupiah)
dan 3% dari dana pihak ketiga yang berbentuk mata uang asing. Jumlah terebut
dihitung dari rata-rata harian dalam satu masa laporan untuk periode masa laporan
sebelumnya. Dana pihak ketiga yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Page 6 of 8
Mata Kuliah : Ekonomi Makro Islam University of Islam Malang 2019

1) Giro Wadi’ah
2) Tabungan Mudharabah
3) Deposito Investasi Mudharabah
4) Kewajiban lainnya.

Dana pihak ketiga dalam IDR tidak termasuk dana yang diterima oleh bank
dari Bank Indonesia dan BPR, sedangkan dana pihak ketiga dalam mata uang asing
meliputi kewajiban kepada pihak ketiga, termasuk bank dan Bank Indonesia yang
terdiri dari atas :

1) Giro Wadi’ah
2) Deposito Investasi Mudharabah
3) Kewajiban lainnya.

Bank Indonesia dapat mengenakan denda terhadap kesalahan dan


keterlambatan penyampaian laporan mingguan yang digunakan untuk menentukan
GWM. Bank yang melakukan pelanggaran dapat dikenai sanksi.

b. Sertifikat Investasi Mudharabah antar Bank Syari’ah (Sertifikat IMA)

Sertifikat Investasi Mudharabah antar bank syari’ah (Sertifikat IMA), adalah


instrumen yang digunakan oleh bank-bank syari’ah yang memiliki kelebihan dana
untuk mendapatkan keuntungan dan merupakan sarana penyedia dana jangka
pendek bagi bank-bank syari’ah yang memiliki kekurangan dana.

Sertifikat ini umumnya berjangka waktu 90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat
bank syari’ah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia. Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank
penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak
diperkenankan memindahtangankannya kepada pihak lain sampai berakhirnya
jangka waktu.

Pembayaran dilakukan oleh bank syari’ah penerbit sebesar nilai nominal


ditambah imbalan bagi hasil (yang dibayarkan awal bulan berikutnya dengan nota
kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia, atau transfer elektronik).

c. Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI)

Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI) yaitu instrumen Bank Indonesia


sesuai dengan syari’ah Islam. SWBI juga dapat digunakan oleh bank-bank syari’ah
yang kelebihan liquiditas sebagai sarana penitipan dana jangka pendek.

Dalam operasionalnya, SWBI mempunyai nilai nominal minimum Rp 500 juta


dengan jangka waktu yang dinyatakan dalam hari (misalnya : 7hari, 14hari,
30hari). Pembayaran atau pelunasan SWBI dilakukan melalui debet/kredit rekening
giro di Bank Indonesia. Jika jatuh tempo, dana akan dikembalikan bersama bonus
yang ditentukan berdasarkan parameter sertifikat IMA.

Page 7 of 8
Mata Kuliah : Ekonomi Makro Islam University of Islam Malang 2019

KESIMPULAN
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan
perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Kebijakan moneter dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu: Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive
policy) dan Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy).

Ada empat instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang
yang beredar: Operasi pasar terbuka (Open Market Operation), Fasilitas diskonto
(Discounto Rate), Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio), Imbauan
Moral (Moral Persuasion).

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan


nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7
tentang Bank Indonesia. Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan
moneter dalam ekonomi Islam, antara lain : Reserve Ratio. Moral Suassion,
Lending Ratio, Refinance Ratio, Profit Sharing Ratio, Islamic Sukuk, Government
Investment Certificate, Reksadana

REFERENSI
Chapra, M. Umer. 2010. Sistem Moneter Islam. Jakarta : Gema Insani.
Huda, Nurul. 2008. Ekonomi Makro Islam, Pendekatan Teoritis. Jakarta: Kencana.
Karim, Adiwarman. 2012. Ekonomi Makro Islami. Jakarta : Raja Grafindo.
Mannan, Muhammad Abdul. 2007. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta : Dana
Bhakti Wakaf
Sadono, Sukirno. 2006. Makro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo.

Page 8 of 8

Anda mungkin juga menyukai