Anda di halaman 1dari 15

Sejarah Kewarganegaraan

Berikut Sejarah Kewarganegaraan Secara historis kata Kewarganegaraan (Civics) muncul di Yunani
dengan istilah Civicus, yang berarti penduduk sipil (citizen) yang melaksanakan kegiatan demokrasi
langsung dalam “polis” (negara kota) atau “City State”. Sebagaimana diketahui bahwa negara kota yang
tertua berada di daerah Mesopotamia, diantara sungai Tigris dan Euphrates. Hal ini diungkapkan oleh
Glotz, Gustave dalam The Greek City and Its Institution (Encyclopedia International) : “ The oldest city-
state of which we are well informed grew up in the ancient Near East – in Sumeria, the region of lower
Mesopotamia between the Tigris and Euphrates rivers – sometime betrween 4000 and 3000 B.C “. (1977
: 443).

Negara kota selanjutnya adalah Yunani, yaitu sekitar tahun 1000 – 500 sebelum Masehi. Sebagai contoh
misalnya Athena yang mengembangkan model demokrasi. Praktek demokrasi langsung tersebut
mencerminkan

pelaksanaan demokrasi politik penduduk dari negara kota. Setiap warga negara berperan secara aktif
dalam menentukan nasibnya maupun kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian dapat diungkapkan
bahwa “polis” merupakan suatu organisasi yang berperan dalam memberikan kehidupan yang lebih baik
bagi warga negaranya, sehingga setiap warga negara berusaha untuk mempertahankan “polisnya”.
Dalam kaitannya dengan peranserta warga negara dalam negara kota, Roger H. Soltau dalam bukunya
An Introduction to Politics, menjelaskan sebagai berikut

“ The Greek city-states were indeed democratic in the participation of all citizen, not only in the election of
officials but in the daily routine of administration and justice ; the pushed their belief in equality to the
extreeme of filling many posts by drawing lots, on the assumption that one man was on the whole as
good as another “ (1960 : 162)
baca juga : Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Dari pandangan tersebut terungkap bahwa warga negara kota di Yunani mengembangkan peranserta
warga negara dalam kehidupan demokratis, tidak hanya dalam pemilihan wakil-wakil rakyat secara resmi,
melainkan pula dalam kegiatan yang bersifat rutin sehari-hari baik dalam masalah administrasi maupun
aspek hukum.

Dengan demikian suatu negara kota (polis), memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai negara dan sekaligus
sebagai masyarakat.

Istilah Civicus tersebut kemudian diambil alih oleh Amerika Serikat untuk dipergunakan sebagai
pengajaran demokrasi politik di sekolah-sekolah.

“Sebagaimana diketahui pengetahuan tentang konstitusi di Amerika Serikat dimulai sejak tahun 1790,
yaitu setelah 14 tahun kemerdekaan negara tersebut tahun 1776 dalam rangka meng-Amerika-kan
(theory of Americanization) bangsa Amerika yang datang dari berbagai bangsa yang berbeda yang
beremigrasi ke Amerika Serikat setelah ditemukannya benua Amerika oleh Christoper Colombus pada
tahun 1492” (2001 : 294).

Rendahnya pengetahuan rakyat Amerika mengenai konstitusi menyebabkan dimasukkannya pelajaran


Civics (kewarganegaraan) ke dalam kurikulum sekolah pada abad ke sembilan belas. Sebagaimana
dikemukakan oleh Stuart Gerry Brown dari Syracuse University (Encyclopedia International) :

“Civics was introduced into the school curriculum during the 19 th century when large numbers of people
were immigrating into the United States and their children were often without home instruction in
American affairs. The National Education Association and the United States Office of Education
stimulated Work of the schools and sponsore studies of appropriate methods And materials of instruction
“ ( 1977 : 446)

Salah satu artikel tertua yang membahas Civics muncul dalam majalah The Citizen dan Civics yang terbit
di tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civics sebagai the science of citizenship, the relation of
man, the individual, to man in organized collection, the individual in his relation to the state “. (2001 : 281)
Pentingnya pelajaran Civics diberikan di sekolah-sekolah antara lain dapat dilihat dari beberapa
pengertian civics berikut ini :
1. Stanley Dimond (1970) mengungkapkan arti civic dengan “ Legal status in a country and the activities
closely related to the political function : voting, governmental organizations, holding of public office, and
legal rights and responsibilities” (1970 : 36).
2. Carter Van Good (1972) menjelaskan pengertian civics dengan “The elements of political science or
that branch of political science dealing with the rights and duties of citizens”. (1972 : 71).
3. The New Lexicon Webster International Dictionary (1977) mengungkapkan “Civics (L. Civicus), n., The
political science of the rights and duties of citizens, and of civic affairs”. (1977 : 184).

Dalam prakteknya para siswa mempelajari konstitusi, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi
manusia, tugas-tugas lembaga negara dan lain-lain hanya bersifat hafalan (by product) dan kurang
melibatkan perubahan terhadap perilaku untuk menjadi warga negara yang baik (by process).

Arti Civics dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi “masalah hak dan kewajiban” serta
“pemerintahan” saja, akan tetapi berkembang menjadi “Community Civics”, “Economic Civics”, serta
“Vocational Civics”.

Nu’manSomantri antara lain mengutip pandangan Van Good, (1945 : 71-72) mengungkapkan : “Gerakan
‘Community Civics’ pada tahun 1907 yang dipelopori oleh W.A. Dunn adalah permulaan dari ingin lebih
fungsionalnya pelajaran tersebut bagi para siswa dengan menghadapkan mereka kepada lingkungan
atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun
internasional. Gerakan “Community Civics” ini disebabkan pula karena pelajaran Civics pada ketika itu
hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah dengan kurang memperhatikan lingkungan sosial. Dengan
“Community Civics” ini dimaksudkan pula bahwa Civics membicarakan pula prinsip-prinsip ekonomi
dalam pemerintahan, usaha-usaha swasta, maupun masalah pekerjaan warga negara” (2001 : 282)

Hampir bersamaan dengan timbulnya gerakan “Community Civics” yang dipelopori oleh W.A. Dunn
tersebut di atas, ada lagi gerakan yang mirip dengan gerakan tersebut, yaitu “Civic Education” atau
banyak pula yang menyebut dengan “Citizenship Education ”.

https://biasamembaca.blogspot.com/2015/05/sejarah-kewarganegaraan.html
Pengertian Kewarganegaraan Secara
Umum Menurut Para Ahli
17 Desember 2017 Oleh Zakky

Pengertian kewarganegaraan – Kewarganegaraan adalah hal-hal berkaitan


dengan warga negara, politik dan hukum. Meski begitu tentu makna dan
definisi kewarganegaraan lebih luas. Apa itu kewarganegaraan? Apa pula
ruang lingkun dan asas asas kewarganegaraan? Kali ini akan kami jelaskan
pengertian kewarganegaraan secara umum dan pengertian kewarganegaraan
menurut para ahli beserta penjelasan lengkapnya.
Pengertian Kewarganegaraan
Apa yang dimaksud kewarganegaraan? Terdapat banyak arti, tafsir dan makna
dari kata kewarganegaraan. Sebagai warga negara Indonesia tentu kita juga
termasuk sebagai warga negara, namun apa sebenarnya definisi dan
pengertian kewarganegaraan secara umum? Berikut akan kami tampilkan
pembahasan pengertian kewarganegaraan secara umum, baik definisi
kewarganegaraan menurut KBBI atau pun pengertian kewarganegaraan
menurut para ahli dan penjelasannya.

Definisi Kewarganegaraan

Kewarganegaraan berasal dari dua kata yaitu ‘warga’ dan ‘negara’.


Berdasarkaan KBBI, pengertian warga adalah tingkatan dalam masyarakat.
Sedangkan definisi negara adalah organisasi dalam suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Sementara
pengertian warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa
berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai
kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara itu.
Pengertian Kewarganegaraan Menurut Para Ahli

Berikut merupakan beberapa definisi dan pengertian kewarganegaraan


menurut para ahli, baik peneliti Indonesia atau pun peneliti luar negeri beserta
penjelasan lengkapnya.

Graham Murdock
Menurut Graham Murdock pada tahun 1994, kewarganegaraan adalah suatu
hak agar dapat ikut serta maupun berpartisipasi secara utuh didalam berbagai
pola stuktur sosial, politik dan juga kehidupan kultural agar dapat
menciptakan seseuatu hal yang baru selanjutnya karena dengan begitu akan
membentuk ide-ide yang besar.

Soemantri
Menurut Soemantri, pengertian kewarganegaraan ialah sesuatu yang memiliki
keterkaitan atau hubungan antara manusia sebagai individu di dalam suatu
perkumpulan yang tertata dan terorganisir dalam hubungannya dengan
negara yang bersangkutan.

Stanley E. Ptnord dan Etner F. Peliger


Definisi kewarganegaraan merupakan sebuah ilmu atau studi mengenai tugas
dan kewajiban pemerintahan serta hak dan kewajiban seorang warga negara.

Wiyanto Dwijo Hardjono, S.Pd.


Menurut Wiyanto Dwijo Hardjono, pengertian pendidikan kewarganegaraan
ialah keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus
negara) yang dengannya membawa hak untuk dapat berprestasi dalam suatu
kegiatan politik di negara tersebut.

Ko Swaw Sik
Pengertian kewarganegaraan menurut Ko Swaw Sik adalah ikatan hukum
diantara negara beserta seseorang yang disebut warga negara. Ikatan atau
hubungan tersebut menjadi suatu kontrak politik yang mana sebuah negara
tersebut memiliki hukum tata negara dan kedaulatan yang diakui masyarakat
dunia. kewarganegaraan disini merupakan bagian dalam konsep kewargaan.
R. Daman
Pengertian kewarganegaraan menurut R. Daman adalah istilah hal-hal yang
berhubungan dan berkaitan dengan penduduk dalam suatu bangsa.

Wolhoff
Arti kewarganegaraan menurut Wolhoff adalah keanggotaan suatu bangsa
tertentu, yakni sejumlah manusia yang terikat dengan yang lainnya
dikarenakan suatu sebab yaitu kesamaan bahasa, kehidupan dalam sosial dan
berbudaya serta kesadaran nasionalnya. Maka dari itu kewarganegaraan
memiliki suatu kesamaan dengan hal kebangsaan, perbedaannya terletak
pada hak-hak yang dimiliki seseorang tersebut untuk berperan aktif dalm hal
perpolitikan di dalam negara tersebut.

Daryono
Menurut Daryono, kewarganegaraan merupakan pokok-pokok yang
mencakup isi tentang hak dan kewajiban warga negara. Sebab
kewargangaraan menrupakan keanggotaan seseorang di dalam satuan politik
tertentu (dalam hal ini negara) yang berkenaan dengan hal tersebut maka
timbulah suatu hak untuk berpartisipasi di dalam kehidupan politik di negara
tersebut. Dan seseorang tersebut dinamakan warga negara.

https://www.zonareferensi.com/pengertian-kewarganegaraan/

A. Kewarganegaraan dalam Arti Sosiologis

Kewarganegaraan dalam arti sosiologis adalah kewarga-negaraan yang terikat kepada


suatu negara oleh karena ada-nya suatu perasaan kesatuan ikatan, seperti satu
keturunan, kebersamaan sejarah, daerah (tanah/wilayah) dan penguasa (pemerintah)
atau dengan kata lain penghayatan kultur yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
persekutuan daerah atau negara tempat ia tinggal.

B. Kewarganegaraan dalam Arti Yuridis

Kewarganegaraan dalam arti yuridis adalah ikatan hukum antara negara dengan orang-
orang pribadi yang karena ikatan itu menimbulkan akibat, bahwa orang-orang,tersebut
jatuh di bawah lingkungan kuasa pribadi dari negara yang bersangkutan atau dengan
kata lain warga dari negara itu.
Jadi yang penting dari pengertian kewarganegaraan secara yuridis adalah adanya
ikatan dengan negara dan tanda adanya ikatan tersebut antara lain dalam bentuk
pernyataan secara tegas seorang individu untuk menjadi anggota suatu negara atau
warga negara dari negara tersebut atau dalam bentuk konkretnya dapat dinyatakan
dalam bentuk surat-surat, baik keterangan maupun keputusan sebagai bukti adanya
keanggotaan dalam negara itu.

Pada masa sekarang, kewarganegaraan seseorang diharapkan memenuhi status


kewarganegaraan sosiologis dan yuridis. Secara sosiologis ia memang mernilild
penghayatan kultur dengan warga lain dan negaranya dan secara yuridis ia memiliki
bukti atas kewarganegaraan tersebut. Apakah kalian merasa telah memenuhi
kewar.ganegaraan Indonesia baik secara sosiologis dan yuridis?

C. Penentuan Warga Negara

Siapa sajakah yang dapat menjadi warga negara dari suatu negara? Setiap negara
berwenang menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negaranya. Dalam hal ini
setiap negara memiliki kedaulatan atau kekuasaan untuk menentukan.

Negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan kewarganegaraan. Negara lain
juga tidak berhak menentukan atau turut campur dalam penentuan kewarganegaraan
suatu negara. Namun demikian, dalam menentukan kewarganegaraan seseorang,
negara tidak boleh melanggar “general principles” atau asas-asas umum hukum
internasional tentang kewarganegaraan.

1. Suatu negara tidak boleh memasukkan orang-orang yang sama sekali “tidak ada
hubungan sedikitpun” dengan negara yang bersangkutan sebagai warga negaranya.
Misal, Indonesia bebas menentukan siapa yang akan menjadi warga negara, tapi
Indonesia tidak dapat menyatakan bahwa semua orang yang ada di kutub selatan
adalah juga warga negaranya.

2. Suatu negara tidak boleh menentukan kewarganegaraan berda-sarkan unsur-unsur


primordial yang dirasakan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum (general
principles) tadi. Misal, Indonesia tidak dapat menyatakan bahwa yang dapat menjadi
warga negara Indonesia adalah orang yang beragama Islam saja atau orang dari suku
Jawa saja.

Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal adanya asas


kewarganegaraan berdasar kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan
perkawinan. Penentuan kewarganegaraan didasarkan pada sisi kelahiran dikenal dua
asas, yaitu asas ius soli dan asas ius sanguinis. Ius, artinya hukum atau dalil. Soli
berasal dari kata solum yang artinya negeri atau tanah. Sanguinis berasal dari kata
sanguis yang artinya darah.
https://tugassekolah.co.id/2019/07/pengertian-kewarganegaraan-dalam-sosiologis-dan-yuridis.html

Nasionalisme adalah energi vital perjuangan melawan dominasi asing yang menghambat
kemandirian politik dan ekonomi bangsa. Tenun kebangsaan beraneka corak identitas politik
berbasis (keyakinan) agama, suku, ras, kasta, profesi, jender, dan lainnya. Kaum nasionalis
berutang, antara lain, kepada ide-ide kritis sosialisme untuk mematahkan kekuatan narasi
kapitalisme kaum kolonial. Dengan politik kebangsaan, Indonesia meraih kemerdekaan dan tegak
sampai sekarang. Nasionalisme kehilangan karakter inklusifnya ketika didefinisikan secara eksklusif
di luar identitas kewarganegaraan. Hitler membangun nasionalisme Jerman (nazisme) di atas basis
ras Arya. Negara memperlakukan kaum keturunan Yahudi, yang notabene warga negara turun-
temurun, seperti warga yang kehilangan hak-hak konstitusionalnya. Hal serupa terjadi terhadap
kelompok etnis Rohingya di Myanmar. Diskriminasi adalah memperlakukan warga berdasarkan
identitas tunggal yang tak ada kaitannya dengan kewarganegaraan. Warga didorong ke tepi
kehidupan berbangsa. Diskriminasi horizontal di antara sesama warga bangsa diperkuat oleh
diskriminasi vertikal dengan negara gagal mengoreksi penyelewengan berbangsa itu. Menyadari
anakronisme pencantuman kata "pribumi" dalam UUD 1945 untuk masa kini, dihentikanlah
diskriminasi konstitusional yang berlangsung sejak Indonesia merdeka. Amandemen konstitusi
mengafirmasi kebangsaan Indonesia yang multietnis dan multikultural. Paradoks nasionalisme
Sejarah perjuangan Indonesia tak bisa dipisahkan dari semangat keagamaan. Sebagai bagian dari
jati diri mayoritas bangsa, agama tidak dalam posisi diametral dengan kebangsaan. Jalan Indonesia
untuk menjadi modern bukan sekularisme yang mengisolasi agama di ruang privat, juga bukan
mencurigai agama sebagai penghambat modernitas. Kepublikan agama dirayakan dan diamalkan.
Nasionalisme religius merupakan jalan tengah untuk Indonesia yang bukan negara agama, juga
bukan negara sekuler. Namun, nilai-nilai universal agama tidak menghilangkan partikularisme
agama dalam praktik. Agama membentuk demarkasi sosial pemisah antara yang beragama dan
yang tak beragama, yang religius dan yang sekuler, kelompok umat yang satu dan kelompok umat
yang lain. Ada paradoks terselubung dengan nasionalisme religius ketika agama secara eksklusif
menentukan corak kebangsaan. Fakta dan kemungkinan nasionalisme sekuler dinafikan. Corak
inklusif kebangsaan diingkari. Sebaliknya, superioritas nasionalisme umat di atas nasionalisme
sekuler atau yang kurang religius atau yang dari afiliasi religius minoritas. Padahal, rahim Ibu Pertiwi
telah melahirkan seorang Tan Malaka yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia seratus
persen tanpa kompromi. Tak ada korelasi langsung antara nasionalisme dan agama. Nasionalisme
tumbuh subur di sanubari anak-anak bangsa yang merasa senasib dalam sejarah ketertindasan dan
sejarah perjuangan bersama. Paradoks nasionalisme religius coba diselesaikan oleh rezim Orde
Lama dengan proyek ideologis Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Proyek ambisius
itu gagal. Rezim Orde Baru tak memberi tempat bagi komunisme. Penguatan nasionalisme
dilakukan dengan memunculkan identitas tunggal tandingan: komunisme (terkait nasionalisme
religius) atau pribumi (terkait nasionalisme ekonomi). Agama dalam kontrol negara untuk
menyukseskan pembangunan. Orde Reformasi membuka babak baru nasionalisme religius dengan
kemungkinan agama tanpa Pancasila sebagai ideologi organisasi politik. Dengan begitu, agama
yang dalam praktiknya menyangkut satu kelompok masyarakat, ketika menjadi ideologis, berpotensi
merusak tenun kebangsaan. Fundamentalisme agama menyubordinasi Pancasila dan negara.
Hukum agama, kalau perlu, menyubordinasi hukum negara dan ketertiban umum. Dalam paradigma
keumatan yang melampaui kewarganegaraan, warga yang baik tidak terutama dinilai dari ketaatan
warga kepada hukum, membayar pajak, bersih dari korupsi, mengabdi kepada masyarakat,
mengharumkan nama bangsa dengan prestasi ilmiah atau olahraga. Baik buruknya warga dinilai
dari keterlibatannya dengan agama. Agama pun terlalu jauh memasuki ruang publik. Eksesnya
adalah penguatan intoleransi. Pendiskreditan hak-hak sipil dianggap wajar bagi yang tak memenuhi
kriteria warga yang baik itu. Imperatif kewarganegaraan Faktanya, kehidupan sehari-hari warga
dijalani dalam kemajemukan identitas tanpa perlu membenturkannya satu sama lain. Aktivasi
identitas tertentu (deaktivasi identitas lain untuk sementara) sesuai dengan tuntutan aktivitas
keseharian. Identitas tunggal yang berlaku untuk segala situasi tidak hanya ilusi, tetapi juga
mereduksi kemajemukan identitas warga negara (Sen 2006). Betapapun pentingnya, agama hanya
salah satu identitas warga, itu pun bagi yang meyakininya. Banyak urusan dan persoalan hidup di
dunia secara teknis ditangani negara. Titik temu agama dan negara bukan pada tataran teknis,
melainkan pada tataran nilai-nilai yang menguatkan negara-bangsa dalam kebinekaannya.
Pancasila menjadi ideologi negara yang mengatasi kebinekaan warga. Politik identitas (politics of
identity, identity politics) harus dibedakan dari identitas politik (political identity) yang berbasis afiliasi
atau pilihan politik. Politik identitas adalah gerakan politik yang relatif baru berkembang pada paruh
kedua abad ke-20 di lingkungan kaum minoritas tertindas yang mengalami diskriminasi. Dalam
perkembangannya, politik identitas juga dipakai untuk gerakan politik berbasis identitas tunggal
meski tanpa prakondisi ketertindasan kaum minoritas. Residu politik identitas tunggal (pribumi,
religius) masih kuat. Pilihan politik warga semasa pemilu dikaitkan dengan identitas tunggal.
Nasionalisme dimaknai monolit dan antikebinekaan. Nasionalisme tidak memiliki daya korektif dari
dirinya. Untuk itu, politik kewarganegaraan hadir memberi tempat bagi berbagai corak nasionalisme
warga. Kewarganegaraan tidak hanya identitas kependudukan atau sebatas kurikulum pendidikan.
Warga maupun negara berkepentingan dengan politik kewarganegaraan. Secara horizontal, semua
warga terhubung dalam interaksi sosial di ruang publik yang demokratis. Rasa tanggung jawab
sebagai warga negara melampaui rasa tanggung jawab dari afiliasi primordial. Kesadaran sebagai
warga negara memayungi kesadaran sebagai umat. Keumatan tidak dalam posisi bersaing dengan
kebangsaan. Secara vertikal, status kewarganegaraan menyatukan semua warga berhadapan
dengan pemerintah yang wajib menjamin hak-hak warga tanpa diskriminasi. Sistem demokrasi
secara normatif tidak memberikan toleransi bagi diskriminasi dalam bentuk apa pun selama warga
tak melawan hukum. Negara demokrasi tidak boleh menjadi alat yang mengesahkan diskriminasi.
Penguasa di tingkat nasional dan daerah harus menjamin kesamaan warga negara di depan hukum,
tidak tebang pilih dalam penegakan hukum. Tingkat demokratis suatu bangsa tidak hanya diukur
dari tingginya partisipasi pemilih dalam pemilu, tetapi juga dari politik kewarganegaraan dalam
praktik. Kewarganegaraan terberi sebagai identitas politik, tetapi politik kewarganegaraan harus
direkayasa secara sosial melalui instrumen kultural dan hukum positif. Hanya dengan cara itu,
terbangun nasionalisme dengan karakter yang melampaui primordialisme (nation and character
building).

https://nasional.kompas.com/read/2017/04/10/15230451/politik.kewarganegaraan?page=all

Pendahuluan Memasuki era globalisasi, ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi. Negara-negara disibukan dengan mengatur kondisi politik, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan masing-masing. Menjadi semacam tuntutan bagi Pendidikan Kewarganegaraan dalam
mengembangkan kompetensi kewarganegaraan di era global. A growing sense of interdependency and
interconnection within “the global” coupled with increasing diversity within the nation state places
particular demands on extant notions of citizenship and schooling (Karen Pashby, 2016:9). Dalam
konteks berbangsa, menghadapi era globalisasi dibutuhkan usaha untuk mempelajari, menghayati, dan
mengamalkan dasar negara dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia sebagai satu negara yang tidak
terlepas dari pengaruh globalisasi harus memiliki andil dalam proses ini. Karena akan muncul kerja
samakerja sama yang dapat meningkatkan perekonomian negara, mempererat, dan memperkukuh
hubungan antar bangsa Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) tidak dapat
dipisahkan dari kecenderungan global yang mempengaruhi kehidupan manusia, karena Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan pendidikan tentang kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara.
Globalisasi dalam terminologi merupakan perubahan sosial memberikan perubahan besar pada tatanan
kehidupan secara menyeluruh. Melalui Pendidikan Kewraganegaraan diharapkan dapat membentuk
watak kewarganegaraan (civic disposition) yang dapat menjebatani karakter publik bagi pemeliharaan
dan pengembangan demokrasi. Landasan urgensi pendidikan kewarganegaraan di era globalisasi dapat
dibedakan menjadi dua sudut pandang dalam memandang globalisasi, yaitu sebagai tantangan, ketika
banyaknya ancaman budaya yang akan budaya lokal dan nasional dan sebagai peluang karena begitu
mudahnya akses dan ruang untuk bergerak akan turut mempengaruhi pola persiapan “amunisi” di era
globalisasi. Selain itu, dalam menghadapi tantangan Indonesia kini, juga harus memperhatikan dari
sudut pandang sosilogis bahwa, terdapat unsur-unsur sosiologi global dalam perkembangan globalisasi
yang berdampak pada perkembangan sosial budaya masyarakat. Pola perkembangan ketatanegaraan
pada sistem pemerintahaan memberi hasil secara berkesinambungan mulai dari aspek sosial budaya
kemasyarakatan sampai pada perkembangan suatu bangsa (Saskia, Sasen, 2007) Berdasarkan
pendahuluan inilah, maka perlu diadakan suatu kajian megenai urgensi Pendidikan Kewarganegaraan di
era global.

http://eprints.uad.ac.id/9793/1/284-288%20Muhamad%20Saleh%20%26%20Yayuk%20Hidayah.pdf

Dinamika dan Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan

Suatu kenyataan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) telah mengalami


beberapa kali perubahan, baik tujuan, orientasi, substansi materi, metode pembelajaran
bahkan sistem evaluasi.

Semua perubahan tersebut dapat teridentifikasi dari dokumen kurikulum yang pernah
berlaku di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat ini

Mengapa pendidikan kewarganegaraan selalu mengalami perubahan?Apa dinamika


dan tantangan yang pernah dihadapi oleh PKn Indonesia dari masa ke masa?

Praktik kenegaraan/pemerintahan Republik Indonesia (RI) sejak periode Negara


Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai negara merdeka
sampai dengan periode saat ini yang dikenal Indonesia era reformasi.

Mengapa dinamika dan tantangan PKn sangat erat dengan perjalanan sejarah praktik
kenegaraan/pemerintahan RI?

Inilah ciri khas PKn sebagai mata kuliah dibandingkan dengan mata kuliah lain.
Ontologi PKn adalah sikap dan perilaku warga negara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Status warga negara dapat meliputi penduduk yang berkedudukan sebagai pejabat
negara sampai dengan rakyat biasa. Tentu peran dan fungsi warga negara berbeda-
beda, sehingga sikap dan perilaku mereka sangat dinamis.

Oleh karena itu, mata kuliah PKn harus selalu menyesuaikan/sejalan dengan dinamika
dan tantangan sikap serta perilaku warga negara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Apa saja dinamika perubahan dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang
telah mempengaruhi PKn?
Untuk mengerti dinamika perubahan dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan
serta tantangan kehidupan yang telah mempengaruhi PKn di Indonesia, Coba lihat
kembali perkembangan praktik ketatanegaraan dan sistem pemerintahan RI menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yakni:

(1) Periode I (1945 s.d. 1949);

(2) Periode II (1949 s.d. 1950);

(3) Periode III (1950 s.d. 1959);

(4) Periode IV (1959 s.d. 1966);

(5) Periode V (1966 s.d. 1998);

(6) Periode VI (1998 s.d. sekarang).

Mengapa dinamika dan tantangan PKn mengikuti periodisasi pelaksanaan UUD


(konstitusi)?

Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya didasarkan pada konstitusi negara yang


bersangkutan, tetapi juga tergantung pada tuntutan perkembangan zaman dan masa
depan.

Misalnya, kecenderungan masa depan bangsa meliputi isu tentang HAM, pelaksanaan
demokrasi, dan lingkungan hidup. Sebagai warga negara muda, mahasiswa perlu
memahami, memiliki kesadaran dan partisipatif terhadap gejala demikian.

Apa saja dinamika perubahan dalam kehidupan masyarakat baik berupa tuntutan
maupun kebutuhan?

Pendidikan Kewarganegaraan yang berlaku di suatu negara perlu memperhatikan


kondisi masyarakat. Walaupun tuntutan dan kebutuhan masyarakat telah diakomodasi
melalui peraturan perundangan, namun perkembangan masyarakat akan bergerak dan
berubah lebih cepat

Apa saja dinamika perubahan dalam perkembangan IPTEK yang mempengaruhi PKn?

Era globalisasi yang ditandai oleh perkembangan yang begitu cepat dalam bidang
teknologi informasi mengakibatkan perubahan dalam semua tatanan kehidupan
termasuk perilaku warga negara, utamanya peserta didik. Kecenderungan perilaku
warga negara ada dua, yakni perilaku positif dan negatif.

PKn perlu mendorong warga negara agar mampu memanfaatkan pengaruh positif
perkembangan iptek untuk membangun negara-bangsa. Sebaliknya PKn perlu
melakukan intervensi terhadap perilaku negatif warga negara yang cenderung negatif.
Oleh karena itu, kurikulum PKn termasuk materi, metode, dan sistem evaluasinya harus
selalu disesuaikan dengan perkembangan IPTEK.

https://brainly.co.id/tugas/22181644

Sumber Historis, Sosiologis, dan Politis tentang Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Secara historis, PKn di Indonesia awalnya diselenggarakan oleh organisasi pergerakan


yang bertujuan untuk membangun rasa kebangsaaan dan cita-cita Indonesia merdeka. Secara
sosiologis, PKn Indonesia dilakukan pada tataraan sosial kultural oleh para pemimpin di
masyarakat yang mengajak untuk mencintai tanah air dan bangsa Indonesia. Secara politis, PKn
Indonesia lahir karena tuntutan konstitusi atau UUD 1945 dan sejumlah kebijakan Pemerintah
yang berkuasa sesuai dengan masanya.

http://defviwahyuningtias25.blogspot.com/

Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang


Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
- Oktober 18, 2018

Masih ingatkah sejak kapan Anda mulai mengenal istilah pendidikan kewarganegaraan (PKn)? Bila
pertanyaan ini diajukan kepada generasi yang berbeda maka jawabannya akan sangat beragam.
Mungkin ada yang tidak mengenal istilah PKn terutama generasi yang mendapat mata pelajaran dalam
Kurikulum 1975. Mengapa demikian? Karena pada kurikulum 1975 pendidikan kewarganegaraan
dimunculkan dengan nama mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila disingkat PMP. Demikian pula
bagi generasi tahun 1960 awal, istilah pendidikan kewarganegaraan lebih dikenal Civics. Adapun
sekarang ini, berdasar Kurikulum 2013, pendidikan kewarganegaraan jenjang pendidikan dasar dan
menengah menggunakan nama mata pelajaran PPKn. Perguruan tinggi menyelenggarakan mata kuliah
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Buku pelajaran dapat menunjang pendidikan kewarganegaraan suatu negara, mengapa?

Untuk memahami pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, pengkajian dapat dilakukan secara


historis, sosiologis, dan politis. Secara historis, pendidikan kewarganegaraan dalam arti substansi telah
dimulai jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka.

PKn pada saat permulaan atau awal kemerdekaan lebih banyak dilakukan pada tataran sosial kultural
dan dilakukan oleh para pemimpin negarabangsa. Dalam pidato-pidatonya, para pemimpin mengajak
seluruh rakyat untuk mencintai tanah air dan bangsa Indonesia. Seluruh pemimpin bangsa membakar
semangat rakyat untuk mengusir penjajah yang hendak kembali menguasai dan menduduki Indonesia
yang telah dinyatakan merdeka. Pidato-pidato dan ceramah-ceramah yang dilakukan oleh para pejuang,
serta kyai-kyai di pondok pesantren yang mengajak umat berjuang mempertahankan tanah air
merupakan PKn dalam dimensi sosial kultural. Inilah sumber PKn dari aspek sosiologis. PKn dalam
dimensi sosiologis sangat diperlukan oleh masyarakat dan akhirnya negara-bangsa untuk menjaga,
memelihara, dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa.

Upaya pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun 1945 belum dilaksanakan di sekolah-
sekolah hingga terbitnya buku Civics pertama di Indonesia yang berjudul Manusia dan Masjarakat Baru
Indonesia (Civics) yang disusun bersama oleh Mr. Soepardo, Mr. M. Hoetaoeroek, Soeroyo Warsid,
Soemardjo, Chalid Rasjidi, Soekarno, dan Mr. J.C.T. Simorangkir. Pada cetakan kedua, Menteri
Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, Prijono (1960), dalam sambutannya menyatakan bahwa
setelah keluarnya dekrit Presiden kembali kepada UUD 1945 sudah sewajarnya dilakukan pembaharuan
pendidikan nasional. Tim Penulis diberi tugas membuat buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban
dan hakhak warga negara Indonesia dan sebab-sebab sejarah serta tujuan Revolusi Kemerdekaan
Republik Indonesia. Menurut Prijono, buku Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia identik dengan
istilah “Staatsburgerkunde” (Jerman), “Civics” (Inggris), atau “Kewarganegaraan” (Indonesia).

Secara politis, pendidikan kewarganegaraan mulai dikenal dalam pendidikan sekolah dapat digali dari
dokumen kurikulum sejak tahun 1957 sebagaimana dapat diidentifikasi dari pernyataan Somantri (1972)
bahwa pada masa Orde Lama mulai dikenal istilah: (1) Kewarganegaraan (1957); (2) Civics (1962); dan
(3) Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Pada masa awal Orde Lama sekitar tahun 1957, isi mata
pelajaran PKn membahas cara pemerolehan dan kehilangan kewarganegaraan, sedangkan dalam Civics
(1961) lebih banyak membahas tentang sejarah Kebangkitan Nasional, UUD, pidato-pidato politik
kenegaraan yang terutama diarahkan untuk "nation and character building” bangsa Indonesia.

Bagaimana sumber politis PKn pada saat Indonesia memasuki era baru, yang disebut Orde Baru?

Pada awal pemerintahan Orde Baru, Kurikulum sekolah yang berlaku dinamakan Kurikulum 1968.
Dalam kurikulum tersebut di dalamnya tercantum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara. Dalam
mata pelajaran tersebut materi maupun metode yang bersifat indoktrinatif dihilangkan dan diubah
dengan materi dan metode pembelajaran baru yang dikelompokkan menjadi Kelompok Pembinaan Jiwa
Pancasila.

Dalam Kurikulum 1968 untuk jenjang SMA, mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara termasuk
dalam kelompok pembina Jiwa Pancasila bersama Pendidikan Agama, bahasa Indonesia dan Pendidikan
Olah Raga. Mata pelajaran Kewargaan Negara di SMA berintikan: (1) Pancasila dan UUD 1945; (2)
Ketetapan-ketetapan MPRS 1966 dan selanjutnya; dan (3) Pengetahuan umum tentang PBB.
Dalam Kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib untuk SMA. Pendekatan
pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan korelasi, artinya mata pelajaran PKn dikorelasikan
dengan mata pelajaran lain, seperti Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan
Ekonomi, sehingga mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara menjadi lebih hidup, menantang, dan
bermakna.

Kurikulum Sekolah tahun l968 akhirnya mengalami perubahan menjadi Kurikulum Sekolah Tahun 1975.
Nama mata pelajaran pun berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila dengan kajian materi secara
khusus yakni menyangkut Pancasila dan UUD 1945 yang dipisahkan dari mata pelajaran sejarah, ilmu
bumi, dan ekonomi. Hal-hal yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri dengan nama
Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran Sejarah, Ilmu Bumi dan
Ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (lPS).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP ditujukan untuk membentuk manusia
Pancasilais. Tujuan ini bukan hanya tanggung jawab mata pelajaran PMP semata. Sesuai dengan
Ketetapan MPR, Pemerintah telah menyatakan bahwa P4 bertujuan membentuk Manusia Indonesia
Pancasilais. Pada saat itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) telah mengeluarkan
Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (Depdikbud, 1982) yang dapat disimpulkan
bahwa: (l) P4 merupakan sumber dan tempat berpijak, baik isi maupun cara evaluasi mata pelajaran
PMP melalui pembakuan kurikulum 1975; (2) melalui Buku Paket PMP untuk semua jenjang pendidikan
di sekolah maka Buku Pedoman Pendidikan Kewargaan Negara yang berjudul Manusia dan Masyarakat
Baru lndonesia (Civics) dinyatakan tidak berlaku lagi; dan (3) bahwa P4 tidak hanya diberlakukan untuk
sekolah-sekolah tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya melalui berbagai penataran P4.

Sesuai dengan perkembangan iptek dan tuntutan serta kebutuhan masyarakat, kurikulum sekolah
mengalami perubahan menjadi Kurikulum 1994. Selanjutnya nama mata pelajaran PMP pun mengalami
perubahan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang terutama didasarkan pada
ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pada ayat 2 undangundang tersebut dikemukakan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan wajib memuat: (1) Pendidikan Pancasila; (2) Pendidikan Agama; dan (3) Pendidikan
Kewarganegaraan.

Pasca Orde Baru sampai saat ini, nama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan kembali mengalami
perubahan. Perubahan tersebut dapat diidentifikasi dari dokumen mata pelajaran PKn (2006) menjadi
mata pelajaran PPKn (2013).

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa secara historis, PKn di Indonesia senantiasa mengalami
perubahan baik istilah maupun substansi sesuai dengan perkembangan peraturan perundangan, iptek,
perubahan masyarakat, dan tantangan global. Secara sosiologis, PKn Indonesia sudah sewajarnya
mengalami perubahan mengikuti perubahan yang terjadi di masyarakat. Secara politis, PKn Indonesia
akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan,
terutama perubahan konstitusi.

http://revianasitimardiah.blogspot.com/2018/10/menggali-sumber-historis-sosiologis-dan.html.

Anda mungkin juga menyukai