Anda di halaman 1dari 27

STATUS

KEDOKTERAN KELUARGA

Disusun oleh:

Tri Unika Rizka Ramadhani

201610401011042

Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang
2018

1
I. IDENTITAS
A. PENDERITA

1. Nama (Inisial) : Nn. A.F.R


2. Umur : 24 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Guru
6. Status Perkawinan : Belum Menikah
7. Pendidikan terakhir : S1
8. Alamat lengkap : Balongsari VIII / 11 RT 3 RW 3 Magersari Mojokerto

2
C. GENOGRAM(minimal 3 generasi)

Ny E/ IRT/ Tn S/Guru
SMA SMP/S1

56 57

32 34 28 27 27 26 24

Sdri A.F / 24/ Guru


/ S1
2 2.5 1
8 5 4

Ny An/ 32/ IRT/ S1 Tn. Af/ 28/ Tn. Al/ 27/


Pegawai bank/ S1 Pegawai PLN / S1

Tn I/ teknisi / S1 Ny. V/ 27 / Guru Ny. H/26 / Pegawai


SD / S1 Pabrik / D3

An. Nas / 8/ An. Ak / 4/ An. Fat / 2,5


pelajar/ SD playgroup

An. Nay/ 5/ pelajar An. Az/ 2 3 An. Far/ 1


/ TK
D. INTERAKSI DALAM KELUARGA

Keterangan
Hubungan Status
Nama Usia Pekerjaan Domisili
No Sex Keluarga (S, I, AK, Perkawinan
(Inisial) (Thn) (deskripsi lengkap) Serumah
AA) (TK, K, J, D)
Ya Tdk
1 Tn. S Laki-laki 57 Guru SMP Ayah Menikah 
2 Ny. E Perempuan 56 Ibu rumah tangga Ibu Menikah 
3 Ny. A Perempuan 32 Ibu rumah tangga Saudara kandung Menikah 
4 Tn. I Laki-laki 34 Teknisi Mesin Saudara ipar Menikah 
5 An. Nas Perempuan 8 Pelajar SD Keponakan Belum menikah 
6 An. Nay Perempuan 5 Pelajar TK Keponakan Belum menikah 
7 Tn. A Laki-laki 28 Pegawai bank Saudara kandung Menikah 
8 Ny. V Perempuan 27 Guru SD Saudara Ipar Menikah 
9 An. Ak Laki-laki 4 playgroup Keponakan Belum menikah 
10 An. Az Laki-laki 2 - Keponakan Belum menikah 
11. Tn. A Laki-laki 27 Pegawai PLN Saudara Kandung Menikah 
12. Ny. H Perempuan 26 Pegawai pabrik Saudara Ipar Menikah 
13. An. Fat Laki-laki 2,5 - Keponakan Belum menikah 
14. An. Far Laki-laki 1 - Keponakan Belum menikah 

4
II. DATA DASAR KESEHATAN
STATUS MEDIS (Klinis)

Keluhan Utama : Demam

Anamnesis : Pasien mengeluh demam sejak 10 hari SMRS. Demam awalnya dirasa sumer, lama-kelamaan meningkat terutama

malam hari, sedangkan siang dan pagi hari tidak terlalu panas. Keluhan disertai pusing dan nafsu makan mulai turun.

Kurang lebih 3 hari SMRS pasien merasa mual dan muntah. Muntah 2x. Muntah berisi makanan yang dikonsumsi dan

cairan, darah (-). Keluhan juga disertai nyeri di ulu hati. Kemudian pasien pergi ke dokter dan diberi obat penurun panas

serta obat anti muntah. 1 hari SMRS pasien mengeluh mencret sebanyak 5x, @ 50-100 cc, mencret cair disertai ampas ,

lendir (-), darah (-) . Keluhan demam belum membaik dan muntah tiap kali makan disertai rasa lemas. Pasien pergi ke

dokter dan cek lab dengan hasil tes widal positip. Buang air kecil normal seperti biasa, tidak ada keluhan nyeri otot serta

tidak ada riwayat bepergian keluar kota/pulau. Tidak ada keluhan batuk / pilek. Pasien belum sempat minum obat lagi

karena muntah.

RPD : alergi (-), keluhan serupa disangkal.

RPK : Tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : tampak lemah

5
Kesadaran : Compos mentis

Vital Sign :

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi : 82x/menit , regular, isi cukup

RR : 18x/menit

t : 36,7oC

Status Generalisata :

Kepala/Leher: A/I/C/D -/-/-/- , pembesaran KGB (-)

Thoraks:

Pulmo : Inspeksi: Bentuk dada simetris

Palpasi: Gerak nafas simetris

Perkusi: Sonor +/+

Auskultasi: vesikular +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Cor : Inspeksi: iktus kordis tak tampak

Palpasi: iktus kordis tak teraba

Perkusi: batas jantung dalam batas normal

Auskultasi: S1S2 tunggal,regular, mur-mur (-), gallop (-)

6
Abdomen : Inspeksi: Bentuk datar

Palpasi: soefl, hepar lien tak teraba, Nyeri tekan epigastrium (+), turgor baik

Perkusi: Timpani

Auskultasi: Bising usus (+) normal

Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, petekie (-)

Pem Penunjang : - DL

7
UPAYA & PERILAKU KESEHATAN
KETERANGAN
NO KOMPONEN URAIAN UPAYA & PERILAKU (RASIONAL /
IRRASIONAL)
1 Promotif - -
Menjaga kesehatan dengan makan teratur 3 kali sehari dengan makanan higienis dan bergizi, tidak
2 Preventif Rasional
membeli makanan di warung yang kurang terjaga kebersihannya
Segera pergi berobat ke faskes terdekat dan minum obat secara teratur dan apabila keluhan
3 Kuratif Rasional
bertambah segera memeriksakan diri ke RSI Hasanah untuk diperiksa lebih lanjut
Menjaga kebersihan lingkungan terutama makanan yang dikonsumsi dan istirahat total untuk
4 Rehabilitatif Rasional
beberapa hari

8
STATUS SOSIAL
NO KOMPONEN KETERANGAN (Deskripsikan dengan lengkap dan jelas)
 Pasien bekerja sebagai guru dari jam 07.00 s.d 14.30 WIB
 Beribadah di rumah, terkadang sholat berjamaah di masjid dekat rumah
 Jarang berolahraga, kadang hanya 1 bulan 2x di hari minggu
1 Aktifitas sehari-hari
 Jarang mengikuti perkumpulan di lingkungan sekitar, jarang mendatangi rumah tetangga jika tidak
ada keperluan, tidak mengikuti kerja bakti
 Seminggu 2-3 kali keluar jalan-jalan bersama teman-temannya untuk refreshing
 Makan 3x/hari, kualitas cukup, makan sesuai waktu, menu: nasi, sayur,
tahu/tempe/telur/ayam/ikan/daging , buah dan susu
 Sering membeli makanan diluar
2 Status Gizi
 Minum air yang dibeli per-galon, sering minum es
 Alergi makanan (-)
 Senang makan makanan pedas dan asin serta junkfood dan makanan siap saji

3 Pekerjaan Guru

4 Jaminan Kesehatan BPJS kelas II

9
FAKTOR RESIKO LINGKUNGAN
KOMPONEN
NO KETERANGAN
LINGKUNGAN
 Rumah di kawasan perkotaan padat penduduk. Rumah milik pribadi ukuran 6x12 m2, berdinding
tembok, lantai berkeramik, ventilasi kurang
 Sumber penerangan listrik, pencahayaan cukup
1 Fisik  MCK 2 buah, milik pribadi, Septic tank ditanam dibawah bangunan rumah jarak 4 meter dari sumur
bor yang juga ditanam dibawah bangunan.
 Dapur bersebelahan dengan tempat mencuci pakaian dan kamar mandi, tempat menjemur pakaian di
lantai 2
 Menanam tumbuhan di dalam pot yang diletakkan di samping dan depan rumah
2 Biologi
 Tidak memelihara hewan
 SPAL melalui selokan kecil yang berada di belakang dialirkan ke sungai
3 Kimia
 Sumber air minum dari air PDAM
4 Sosial  Hubungan antar keluarga maupun dengan tetangga sekitar baik
 Tidak mengikuti kegiatan di lingkungan sekitar
5 Budaya
 Jarang berkunjung ke rumah tetangga jika tidak ada keperluan
6 Psikologi  Pasien dengan keluarga maupun dengan masyarakat tidak memiliki masalah yang serius
 Tanah dan rumah milik pribadi luas 6x12 m2
7 Ekonomi  Perabot rumah tangga milik pribadi
 Sumber penghasilan dari pekerjaanya sebagai guru
 Pasien berangkat kerja dengan sepeda motor dengan menggunakan helm, jarang menggunakan jaket
8 Ergonomi
dan penutup tangan.

10
III. DIAGNOSIS HOLISTIK (Lima ASPEK)
Aspek 1:
Chief complain: demam 10 hari
Fear: keluhan berkepanjangan
Hope: berharap sembuh dan tidak kambuh lagi
Aspek 2:
Demam tifoid
Aspek 3:
Sadar kesehatan, segera memeriksakan diri jika ada keluhan
jarang olahraga
setiap hari membeli makan di luar
Aspek 4:
Hubungan antar anggota keluarga maupun dengan masyarakat baik
Pekerjaan sebagai guru
Rumah daerah perkotaan padat peduduk, ventilasi kurang
Aspek 5:
Social function scale 1

11
IV. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF:

No Aspek Dx Uraian permasalahan/penyebab maslah kesehatan Penatalaksanaan Komprehenship yang dapat


Holistik berdasarkan tiap aspek dilakukan oleh penderita (Langkah Operasional)
1 Personal - Demam 10 hari disertai muntah dan mencret Promotif:
- Keluhan seperti ini dirasakan pertama kali - Edukasi faktor risiko kekambuhan demam tifoid dan
- Ia ingin keluhan ini sembuh dan tidak kambuh lagi risiko penularannya
- Menjelaskan bahwa demam tifoid masih mungkin
2 Klinis Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan bahwa pasien
kambuh lagi, untuk mengurangi angka kekambuhannya
menderita demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri Salmonella pasien harap menjaga kesehatan untuk daya tahan tubuh
typhi dan Salmonella parathypi dan menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi. Jika
3 Internal - Pasien jarang berolahraga kambuh harus segra memeriksakan diri ke faskes
- Pasien selalu membeli makanan di luar terdekat
- Edukasi untuk mengurangi membeli makanan di luar
4 Eksternal Rumah berada di daerah perkotaan yang padat peduduk, jarak antar dan mengurangi konsumsi junkfood
rumah dekat sehingga ventilasi kurang - Edukasi untuk olah raga secara teratur untuk
meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit
5 Fungsi Sosial Perawatan diri mandiri, tidak memiliki ketergantungan
Preventif:
- Higienitas makanan
- Refreshing untuk management strees
- Olah raga teratur

Kuratif:
- po paracetamol 3 x 500mg
- po Asam Mefenamat 3x500mg jika nyeri

Rehabilitatif:
- Vaksin tiphoid
- Menjaga kebersihan makanan dan lingkungan
- Bedrest total beberapa hari
- Mengurangi makanan kasar, asam dan pedas.

12
Lampiran:

13
14
15
Resume Kasus

I. Definisi

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh

bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C. penularan demam

tifoid melalui fecal dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan

dan minuman yang terkontaminasi (Nuruzzaman & Syahrul, 2016) .

II. Epidemiologi

Demam Tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai

Negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di

dunia ini sangat sukar ditentukan sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala

dengan spectrum klinisnya sangat luas (Widoyono, 2011).

Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2009, memperkirakan

terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000

kasus kematian tiap tahun Case Fatality Rate (CFR) = 3,5%. Berdasarkan Laporan

Ditjen Pelayanan Medis Departemen Kesehatan RI tahun 2008, demam tifoid

menempati urutan ke 2 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di Rumah

Sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15% (Depkes

RI, 2009)

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit terbanyak di Rumah Sakit dan

Puskesmas di Jawa Timur pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Pada data Riskesdas

2007 menyatakan bahwa Kabupaten Situbondo menempati posisi ke 2 yang

mempunyai prevalensi demam tifoid terbesar di Provinsi Jawa Timur dengan

prevalensi sebesar 1,59% diagnosis dan 2,53% diagnosis dan gejala.

16
Data RSUD dr. Abdoer Rahem pada tahun 2013 menyatakan bahwa demam

tifoid termasuk posisi ke 3 penyakit rawat inap pada tahun 2012. Kelompok usia

5–14 tahun merupakan kelompok usia terbanyak yang terkena demam tifoid yakni

sebanyak 136 kasus dari 406 kasus. Berdasarkan laporan dari RSUD dr. Abdoer

Rahem Situbondo pada tahun 2014 menyatakan bahwa angka kejadian demam

tifoid mengalami kenaikan dari tahun 2011 hingga 2013 (Nuruzzaman & Syahrul,

2016).

Gambar 2.1 Jumlah Kejadian Demam Tifoid di RSUD dr. Abdoer Rahem

Situbondi Tahun 2011–2013 (Sumber: Laporan Tahunan RSUD dr.Abdoer Rahem

tahun 2014)

III. Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,

tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak

dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam

bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan

17
pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan

khlorinisasi (Rahayu, 2013).

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu:

1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini

mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini

tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari

kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan

terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi

kuman terhadap fagositosis. Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan

menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut

agglutinin (Chin, 2016).

IV. Penyebaran

1. Salmonella typhi dilewatkan dalam feses atau urin dari orang yang

terinfeksi.

2. Orang menjadi terinfeksi dengan menelan makanan atau minuman yang

telah ditangani oleh orang yang terinfeksi atau terkontaminasi oleh limbah

yang mengandung bakteri.

3. Di negara-negara industri kurang, transmisi umumnya terjadi di mana ada

pembuangan limbah yang tidak memadai dan banjir, atau air minum yang

tidak aman.

18
4. Ketika kualitas air tinggi, transmisi lebih mungkin terjadi melalui makanan

yang terkontaminasi oleh pembawa Salmonella typhi yang sehat (WHO,

2014).

V. Patogenesis

Melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi, S. Typhi akan masuk ke

lambung. Kuman yang masih bertahan selanjutnya mencapai usus halus (ileum),

kemudian menembus dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus

(plaque Peyeri). Kemudian melalui saluran limfe mesenterik, kuman selanjutnya

masuk ke aliran darah sistemik (disebut bakteremia ke-1) lalu mencapai retikulo

endothelial dan jaringan tubuh. Kemudian kuman akan dilepas ke sirkulasi

sistemik (disebut bakteremia ke-2) mencapai organ tubuh dan mampu

menyebabkan komplikasi. Endotoksin SalmonellaTyph i turut berperan dalam

patogenesis terjadinya tanda dan gejala klinis, komplikasi pada demam tifoid.

Kuman S. Typhi yang mampu bertahan di kandung empedu dan saluran kemih

akan menyebabkan tifoid karier, selanjutnya menjadi sumber penularan melalui

feses atau urinnya. Pada umumnya tifoid karier terjadi pada pasien dewasa

(KEMENKES, 2013).

19
Sumber : (Brusch, 2018).

Gejala Klinis :

Penyakit bakteria sistemik dengan onset bertahap demam berkelanjutan, gejala

konstitusional (misalnya, sakit kepala, malaise, anoreksia dan letargi), bradikardia

relatif, nyeri perut dan nyeri tekan, hepatomegali, splenomegali, batuk tidak

produktif pada tahap awal penyakit dan naik bintik-bintik (di punggung, lengan

dan kaki) (Heymann, 2008). Sembelit lebih mungkin dengan tifoid dan diare

dengan paratifoid. Gejala demam tifoid yang tidak spesifik dapat menyerupai

20
gejala malaria, demam berdarah, influenza, atau penyakit demam lainnya (WHO

W. , 2008), (Baydack, 2015).

Pada minggu pertama demam tifoid, ciri-ciri tidak spesifik dengan sakit kepala

(80%), malaise dan demam remiten meningkat. Pasien mungkin mengalami

konstipasi (16%) atau diare (28%). Konstipasi lebih sering terjadi pada orang

dewasa sedangkan diare lebih menonjol pada kasus anak-anak. Bintik-bintik

merah adalah ruam makulo-papular berwarna kuning, berwarna salmon, memucat,

terutama pada batang dan dada, jelas pada 30% pasien pada akhir minggu pertama

dan menghilang setelah 2-5 hari (sulit untuk dideteksi dalam gelap orang berkulit).

Pasien dapat memiliki dua atau tiga tanaman lesi, dan Salmonella dapat dibiakkan

dari biopsi punch lesi ini (Paul, 2017).

Selama minggu kedua penyakit, pasien terlihat lebih beracun dengan suhu

yang berkelanjutan, distensi abdomen dan splenomegali dapat ditemukan. Pada

minggu ketiga, perkembangan demam tinggi terus menerus dan keadaan bingung

mengigau dengan distensi abdomen diucapkan, ileus, atau diare dapat terjadi,

dengan kotoran cair, busuk, hijau-kuning. Pasien kemungkinan menjadi obtunded

dan hipotensi dan ronki dapat berkembang di atas dasar paru-paru. Kematian

dapat terjadi pada tahap ini dari toksemia yang luar biasa, miokarditis, perdarahan

usus atau perforasi (Paul, 2017).

VI. Diagnosis dan Penatalaksanaan

- Diagnosis

Review terbaru diagnosis dan pengobatan demam tifoid menjelaskan bahwa

diagnosis laboratorium demam tifoid sangat tergantung pada deteksi organisme dalam

darah oleh PCR (paling cocok untuk survei epidemiologi) atau budaya (meskipun

21
sensitivitas tetap menjadi batasan). tes untuk produksi antibodi tidak dapat diandalkan

dan tes serologi generasi baru seperti typhidot dan tubex belum terbukti dapat

diandalkan di Afrika atau Asia (Wain, Mikoleit, Keddy, & Ochiai, 2014).

Satu format tes baru yang menunjukkan janji adalah tes diagnostik tipus-paratifoid,

yang mendeteksi IgA. Metode ini memiliki kota khusus untuk mendeteksi IgA yang

bersirkulasi untuk diagnosis demam tifoid dengan menggunakan ELISA dan

meningkatkan sensitivitas (hingga 100%) melalui amplifikasi sinyal dengan isolasi

dan inkubasi limfosit darah perifer (Wain, Mikoleit, Keddy, & Ochiai, 2014).

- Penatalaksanaan

- Non- farmakologi

1. Istirahat dan perawatan : tirah baring dan perawatan professional bertujuan

untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya

di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, buang air besar

akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan

perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan

yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan

pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan

dan dijaga (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2009).

2. Diet : Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses

penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan

menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan

proses penyembuhan akan semakin lama. Pendertita demam tifoid diberi

diet bubur saring, kemidian ditingkatkan menjadi bubur kasardan akhirnya

diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat

kesembuhan pasien dengan tujuan menghindari komplikasi perdarahan

22
saluran cerna atau perforasi usus (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata,

& Setiati, 2009).

- Farmakologi

Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti

demam, diare, obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3

hari, perlu dibantu dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat

laksansia atau enema tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan perdarahan

maupun perforasi usus (Alan, 2013).

Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita

seperti pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan keseimbangan

cairan. Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid

(disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil

pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau demam tifoid yang mengalami

syok septik. Regimen yang digunakan adalah deksametason dengan dosis 3 x

5 mg. Pada anak digunakan deksametason intravena dengan dosis 3 mg/kg BB

dalam 30 menit sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam

hingga 48 jam (PABDI, 2016).

Pengobatan dengan fluoroquinolon, azitromisin, dan obat

cephalosporin generasi ketiga adalah pengobatan utama, dengan kloramfenikol

digunakan di daerah di mana strain rentan hadir (Wain, Mikoleit, Keddy, &

Ochiai, 2014).

23
Sumber : (Upadhyay, et al., 2015) .

VII. Komplikasi

Komplikasi paling penting yang ditemui dalam praktek klinis yaitu perdarahan

gastrointestinal, perforasi usus, bronkitis, ensefalopati dengan kebingungan

sebagai akibat dari toksemia, dan miokarditis beracun (Upadhyay, et al., 2015).

a. Perdarahan usus

Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk tukak.

Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah, terjadi

perdarahan. Jika tukak menembus dinding usus, terjadi perforasi. Perdarahan juga

dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC). Sekitar 25% penderita

mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun,

perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Jika transfuse

24
dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, biasanya perdarahan ini merupakan

suatu proses self limiting yang tidak perlu bedah (Cammie & Samuel, 2015).

VIII. Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan kesehatan

sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi

antibiotic yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di Negara berkembang, angka

mortalitas > 10% biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan

pengobatan (Soedarmo, 2012).

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan

bakteri Salmonella typhi ≥3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier

kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuaiusia.

Karier kronisterjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid (Lethneck,

2017).

25
Daftar Pustaka

Alan, R. T. (2013). Diagnosis dan Tatalaksana Demem Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta :
Ikatan Dokter Anak Indonesia .

Baydack, R. (2015). Typhoid and Parathypoid Fever (Enteric Fever). Communicable Disease
Management Protocol .

Brusch, J. L. (2018). Typhoid Fever. Medscape .

Cammie, F. L., & Samuel, I. M. (2015). Salmonellosis : Principles of Internal Medicine. 897-
900.

Chin, J. (2016). Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: Infomedika.

Depkes RI, R. (2009). Sistem Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Heymann, D. (2008). Typhoid Fever. In : Control of Communicable Diseases Manual 19th


ed,American Public Health Association, Washington , 664-671.

KEMENKES. (2013). Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. Jakarta:


Bakti Husada.

Lethneck, A. (2017). Typhoid Fever. Division of Infection Disease .

Nuruzzaman, H., & Syahrul, F. (2016). Analisis Risiko Kejadian Demam Tifoid berdasarkan
kebersihan diri dan kebiasaan jajan dirumah. Jurnal Berkala Epidemiologi , vol 4.
74-86.

PABDI. (2016). Standar Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia .

Paul, U. K. (2017). Typhoid Fever - Recent Management. Journal of Infection , chapter 15.

Rahayu, E. (2013). Sensitivitas Uji Widal dan Tubex untuk Diagnosis Demam Tifoid
Berdasarkan Kultur Darah. Jurnal Penelitian Universitas Muhammadiyah
Semarang .

Soedarmo, S. (2012). Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2009). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: Interna Publishing.

26
Upadhyay, R., Nadkar, M. Y., Muruganathan, A., Tiwaskar, M., Amarapurkar, D., Banka, N.,
et al. (2015). API Recommendations for the management of Typhoid Fever.
Journal of The Association if Physicians of India , vol 63.

Wain, J., Mikoleit, M. L., Keddy, K. H., & Ochiai, R. L. (2014). Typhoid Fever.
www.thelancet.com , 6736 (13).

WHO. (2014). Focus on Typhoid Fever. Phillipines: EWARN weekly summary.

WHO, W. (2008). Typhoid vaccines. Weekly Epidemiological Record , 83 : 49-60.

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan,


Pemberantasannya. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

27

Anda mungkin juga menyukai