Fisiologi Rod and Cone PDF
Fisiologi Rod and Cone PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.2. Etiopatogenesis
Ketiga macam pigmen warna pada retina membuat kita dapat
membedakan warna. Untuk dapat melihat normal, ketiga pigmen sel kerucut harus
bekerja dengan baik. Jika salah satu pigmen mengalami kelainan atau tidak ada,
maka terjadi buta warna (Ilyas, 2008). Kekurangan penglihatan warna terjadi
ketika salah satu atau lebih sel kerucut pada retina kurang berfungsi daripada
keadaan normal, atau tidak berfungsi sama sekali (Jang et al., 2010).
Buta warna merupakan penyakit keturunan yang terekspresi hampir
hanya pada para pria (Indrawan, 2008). Wanita secara genetik hanya sebagai
carrier buta warna yang diturunkan ke anak laki-lakinya (Guyton dan Hall, 2010).
Kelainan ini terjadi akibat defisiensi kongenital terkait-X kromosom pada salah
satu jenis fotoreseptor retina yang spesifik yaitu sel kerucut. Akibat faktor genetik
ini sel kerucut penderita buta warna tidak mampu untuk menangkap spektrum
warna tertentu (Riordan-eva dan Witcher, 2010).
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linkedgenes) ini
memungkinkan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna
secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena
buta warna. Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita
disebut carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-
anaknya. Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta
warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan
deuteranopia (Situmorang, 2010).
Dengan adanya penemuan gen pada opsin sel kerucut manusia yang
mengkode panjang gelombang pendek (S), panjang gelombang menengah (M)
dan yang panjang (L), maka dihubungkanlah dengan dua hipotesis yang
menyatakan bahwa: (1) komposisi dan variasi dalam urutan rangkaian asam
amino dari opsin sel kerucut bertanggung jawab untuk perbedaan spektral antara
photopigments (2) perubahan gen pada opsin sel kerucut mendasari kekurangan
penglihatan warna diturunkan (Neitz, 2010).
Pola gen turunan untuk kelainan penglihatan warna, dari merah-hijau
dan biru-kuning untuk manusia, yaitu panjang gelombang yang panjang (L) dan
menengah (M) pada opsin sel kerucut yang diterjemahkan ke X-kromosom di
Xq28, dan gen untuk panjang gelombang pendek (S) pada opsin sel kerucut untuk
autosom, kromosom 7 pada 7q32. Sebutan untuk gen opsin L, M dan S masing-
masing adalah OPN1LW (Opsin 1 Long Wave), OPN1MW (Opsin 1 Middle
Wave), dan OPN1SW (Opsin 1 Short Wave) (Neitz, 2010).
Dua gen yang paling sering berhubungan dengan munculnya buta warna
adalah OPN1LW yang mengkode pigmen merah dan OPN1MW yang mengkode
pigmen hijau (Deeb dan Motulsky, 2005). Hal ini dikarenakan OPN1LW dan
OPN1MW hampir identik satu sama lain, keduanya berbagi lebih dari 98%
identitas urutan nukleotida, sedangkan mereka hanya berbagi sekitar 40%
nukleotida dengan OPN1SW. Karena kesamaan OPN1LW dan OPN1MW
mengakibatkan mereka rentan terhadap rekombinasi homolog yang tidak sama,
dan hal ini memiliki keterlibatan yang mendalam untuk fungsi visual (Neitz,
2010).
2.2.3. Klasifikasi Buta Warna.
Defek penglihatan warna atau buta warna dapat dikenal dalam bentuk :
2.2.3.1. Monochromacy
Monochromacy adalah keadaan dimana seseorang hanya memiliki sebuah
sel pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones (Kurnia, 2009).
Seseorang yang menderita monochromacy disebut monokromat (Indrawan, 2008).
Monochromacy ada dua jenis, yaitu :
a) Rod monochromacy (typical) adalah jenis buta warna yang sangat
jarang terjadi, yaitu ketidakmampuan dalam membedakan warna
sebagai akibat dari tidak berfungsinya semua sel kerucut retina.
Penderita rod monochromacy tidak dapat membedakan warna
sehingga yang terlihat hanya hitam, putih dan abu-abu,
b) Cone monochromacy (atypical) adalah tipe monochromacy yang
sangat jarang terjadi yang disebabkan oleh tidak berfungsinya dua
sel kerucut. Penderita nya masih dapat melihat warna tertentu, karena
masih memiliki satu sel kerucut yang berfungsi (Kurnia, 2009).
2.2.3.2. Dichromacy
Dichromacy adalah jenis buta warna dimana salah satu dari tiga sel
kerucut tidak ada atau tidak berfungsi. Akibatnya, seseorang yang menderita
dikromat akan mengalami gangguan penglihatan terhadap warna-warna tertentu
(Kurnia, 2009). Seseorang yang menderita dichromacy disebut juga dengan
dikromat (Indrawan, 2008). Dichromacy dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan sel
pigmen yang rusak, yaitu:
a. Protanopia adalah gangguan penglihatan warna yang disebabkan
tidak adanya photoreseptor retina merah, mengakibatkan tidak
adanya penglihatan warna merah (Kurnia, 2009). Protanopia hanya
memiliki sel kerucut biru dan hijau saja (Dichromacy tipe ini terjadi
pada 1% dari seluruh pria) (Gambar 2.4.a.) (Deeb dan Motulsky,
2011). Orang yang menderita protanopia disebut protanope
(Indrawan, 2008),
b. Deutanopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang
disebabkan ketiadaan photoreseptor retina hijau. Hal ini
menimbulkan kesulitan dalam membedakan warna merah dan hijau
(red-green hue discrimination) (Kurnia, 2009). Pada Deuteranopia
hanya memiliki sel kerucut biru dan merah saja, tetapi tidak ada sel
kerucut hijau yang fungsional (terjadi pada 1 % dari laki-laki putih)
(Gambar 2.4.b.) (Deeb dan Motulsky, 2011). Orang yang menderita
deuteranopia disebut deuteranope (Indrawan, 2008),
c. Tritanopia adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki short-
wavelength cone yaitu warna biru, akibatnya penderita akan
kesulitan membedakan warna biru dan kuning dari spektrum cahaya
tampak. Tritanopia disebut juga buta warna biru-kuning dan
merupakan tipe dichromacy yang sangat jarang dijumpai. (Kurnia,
2009). Orang yang menderita tritanopia disebut tritanope (Indrawan,
2008).
2.2.4. Diagnosis
Para peneliti menyimpulkan bahwa skrining untuk buta warna dapat
dimulai pada usia 4 tahun. Pengujian pada usia dini sangat penting karena anak-
anak dengan buta warna sering melakukan hal buruk pada tes atau tugas yang
menampilkan warna-warna. Anak-anak dengan buta warna membutuhkan
berbagai jenis rencana pelajaran yang tidak memerlukan kemampuan untuk
melihat warna dengan benar. Pemeriksaan harus dimulai sejak dini karena label
anak tidak pintar adalah stigma besar bagi anak dan menyebabkan kecemasan
yang signifikan bagi orang tua dan keluarga (Thai News Service Group, 2014).
Tes buta warna saat ini juga sangat dibutuhkan bagi dunia industri,
pendidikan, maupun pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan
manusia dalam pekerjaan atau pendidikan yang erat sekali berhubungan dengan
warna (Agusta et al., 2012).
Pemeriksaan buta warna ini dilakukan sebagian besar untuk tiga tujuan :
pertama untuk skrining apakah cacat bawaan atau yang diperoleh, yang kedua
untuk mendiagnosis jenis dan tingkat keparahan cacat dan yang ketiga untuk
menilai dampak dari cacat pada profesi atau pekerjaan tertentu. Secara umum, tes
yang efektif adalah test yang tepat, mudah, dan biaya yang dibutuhkan untuk
mendiagnosa kelainan penglihatan warna yang akurat (Heidary et al., 2013).
Diagnosis buta warna dibuat berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis yang sesuai adalah terdapat riwayat buta warna di dalam
keluarga atau terdapat riwayat trauma kranial yang menyebabkan kelainan saraf
atau makula (Riordan-eva dan Witcher, 2010). Banyak tes untuk pemeriksaan
penunjang yang digunakan secara klinis untuk mendiagnosa kelainan penglihatan
warna, tes ini berkisar dari yang sederhana dengan buku Ishihara dan tes penilaian
yang lebih kompleks termasuk tes Farnsworth-Munsell 100-Hue (FM 100-Hue),
D-15 Farnsworth-Munsell (D-15), dan anomaloscope untuk diagnosis yang lebih
tepat dan akurat (Heidary et al., 2013).
Pada penelitian ini pemeriksaan dilakukan dengan test ishihara yang
paling populer dan digunakan secara luas untuk tujuan skrining. Penggunaan buku
ishihara juga dikarenakan tes ini harus dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan
murah untuk menilai jenis dan tingkat keparahan cacat penglihatan warna
(Heidary et al., 2013). Metode ini dikembangkan menjadi Tes Buta Warna
Ishihara oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi pada tahun
1917 di Jepang dan terus digunakan di seluruh dunia (Widianingsih et al., 2010).
Test Ishihara didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik yang
mempunyai bermacam-macam warna dan ukuran yang disusun dengan
menyatukan titik-titik yang berbeda tersebut (Guyton dan Hall, 2010). Warna-
warnanya dibuat sedemikian rupa membentuk pola titik-titik berbeda yang
disusun hingga membentuk lingkaran. Untuk orang yang defisiensi warna, semua
titik dalam satu atau lebih dari lempeng akan muncul mirip atau sama
"isokromatik". Untuk seseorang tanpa kekurangan warna, beberapa titik akan
muncul cukup berbeda dari titik-titik lain untuk membentuk sosok yang berbeda
pada masing-masing piring "Pseudoisochromatic" (Wagner, 2013).
Buku ishihara dapat mendiagnosa defek penglihatan warna dengan
klasifikasi, yaitu: orang dengan penglihatan normal/trikromat, buta warna Merah-
Hijau (red-green deficiency) [buta warna merah (protanopia/protanomalia) dan
buta warna hijau (deuteranopia/deuteranomalia)] dan buta warna
total/akromatopsia. Kelainan tritanomaly tidak dapat dilihat disini. Tes Ishihara
digunakan untuk mendiagnosis defek penglihatan warna kongenital, untuk
mengetahui penyebab yang didapat (saraf, kelainan macula, trauma kranial) perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Riordan-eva dan Witcher, 2010).
Tes Ishihara ini mempunyai kelemahan yaitu berupa media tes. Media
yang digunakan adalah lembaran kertas bagi Ishihara. Media tes ini sendiri hanya
dapat dilakukan pada ruangan bercahaya putih dengan intensitas penerangan yang
cukup, sehingga melakukan tes buta warna ini tidak bisa di sembarang
tempat/ruangan dengan bercahaya redup dan menggunakan cahaya kemerahan
atau lampu pijar. Hal ini merupakan salah satu dari kelemahan tes konvensional,
karena jika penerangan ruangan tidak sesuai dengan ketentuan standar, maka
warna pada media tes pun akan berubah. Tes Ishihara pun mempunyai kelemahan
berupa pemudaran warna, mudah robek, dan bisa saja salah satu dari lembaran tes
terselip ataupun hilang (Agusta et al., 2012).
Tahapan dalam pemeriksaan buta warna dengan metode ishihara, yaitu :
1. Menggunakan buku Ishihara 14 plate
2. Dalam pemeriksaan buta warna hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Ruangan pemeriksaan harus cukup pencahayaannya
Tes Ishihara didesain agar dapat dilihat dengan jelas dengan cahaya
ruangan. Sinar matahari langsung atau penggunaan cahaya lampu
mengakibatkan ketidaksesuaian hasil karena perubahan pada
bayangan warna yang nampak. Namun, bila mudah nyaman hanya
dengan menggunakan cahaya lampu, maka dapat ditambahakan
cahaya lampu tersebut sampai menghasilkan efek cahaya seperti
cahaya alami. Kartu diletakkan pada jarak 75 cm dari pasien
sehingga bidang kertasnya pada sudut yang tepat dengan garis
penglihatan.
b. Angka-angka yang terlihat pada kartu disebutkan, dan setiap
jawaban diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 detik
(Widianingsih et al. 2010).
3. Penjelasan pada tiap lembar gambar :
No.1. Setiap subjek, baik dengan penglihatan warna normal atau cacat
penglihatan warna akan membaca dengan benar angka "12". Plate ini
digunakan terutama untuk penjelasan awal dari proses tes untuk mata
pelajaran.
No.2. Subyek normal akan membaca "8" dan mereka dengan
defisiensi warna merah-hijau melihat angka "3".
No.3. Subyek normal akan membaca "5" dan mereka dengan defisiensi
warna merah-hijau melihat angka "2".
No.4. Subyek normal akan membaca "29" dan mereka dengan
defisiensi warna merah-hijau melihat angka "70".
No.5. Subyek normal akan membaca "74" dan mereka dengan
defisiensi warna merah-hijau melihat angka "21".
No.6-7. Dengan baik dipahami oleh subyek normal, tapi tidak atau
sulit untuk dibaca bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.
No.8. Subjek normal dengan jelas melihat angka "2" untuk tetapi tidak
jelas bagi mereka dengan defisiensi merah-hijau.
No.9. Subyek normal bisa sukar membacanya, tapi kebanyakan dari
mereka dengan kekurangan merah-hijau melihat angka "2" di
dalamnya.
No.10. Subyek normal biasanya dapat membaca angka "16", tapi
kebanyakan dari mereka dengan kekurangan merah-hijau tidak bisa,
No.11. Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x tersebut,
orang yang normal melihat garis hijau kebiruan, namun sebagian besar
dari mereka dengan kekurangan penglihatan warna tidak dapat
mengikuti garis atau mengikuti garis yang berbeda dari yang normal.
No.12. Subyek normal dan orang-orang dengan kekurangan merah-
hijau ringan melihat angka-angka "35" tapi protanopia dan
protanomalia kuat akan membaca "5" saja, dan deuteranopia dan
deuteranomalia kuat "3" saja.
No.13. Subyek normal dan orang-orang dengan kekurangan merah-
hijau ringan melihat angka-angka "96" tapi protanopia dan
protanomalia kuat akan membaca "6" saja, dan deuteranopia dan
deuteranomalia kuat "9" saja.
No.14. Dalam menelusuri garis berkelok-kelok antara dua x itu, jejak
yang normal yaitu sepanjang garis ungu dan merah. Dalam protanopia
dan protanomalia kuat hanya garis ungu ditelusuri, dan dalam hal
protanomalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis ungu
adalah lebih mudah untuk mengikuti. Dalam deuteranopia dan
deuteranomalia kuat hanya garis merah ditelusuri dan dalam hal
deuteranmalia ringan kedua baris adalah ditelusuri tetapi garis merah
lebih mudah untuk mengikuti (Ishihara, 1994).
2.2.5. Manajemen
Deteksi dini cacat visi warna merah-hijau yang parah pada usia sekolah
menengah harus dikomunikasikan kepada orang tua dan anak-anak yang
terkena dampak karena temuan ini mungkin relevan untuk pilihan pekerjaan
tertentu. Konseling genetik juga diperlukan untuk mengurangi resiko dan
mengevaluasi kemungkinan resiko terkena buta warna yang terdiri dari:
evaluasi untuk mengkonfirmasi, mendiagnosa, atau mengecualikan kondisi
genetik pasien, sindrom malformasi, atau cacat lahir terisolasi seperti peran
hereditas, komunikasi risiko genetik, dan penyediaan atau rujukan untuk
dukungan psikososial (Deeb dan Motulsky, 2011).
Tidak ada obat untuk penyakit buta warna yang herediter. Meskipun
sebagian besar buta warna tidak dapat disembuhkan atau diobati, penderita
dapat mempelajari cara-cara sederhana untuk mengelola kesulitan anda melihat
perbedaan warna. Beberapa kasus buta warna dapat menunjukkan penyakit lain
yang akan membutuhkan pengobatan (Stresing, 2010).
Kebanyakan orang dengan buta warna belajar untuk membedakan
antara warna. Beberapa cara yang dapat digunakan sebagai alat bantu
penglihatan warna dalam beberapa kasus, yaitu :
• Lensa kontak dan kacamata specially tinted, yang dapat membantu uji
warna namun tidak memperbaiki penglihatan warna.
• Kacamata yang memblokade glare, karena orang dengan masalah
penglihatan warna masih dapat membedakan sedikit warna saat tidak
terlalu terang (Kartika et al., 2014).
Lensa kontak bernama Chromagen ™, yang dirancang oleh David
Harris dari Liverpool Laser Treatment Centre. Ia menjelaskan bahwa lapisan
pigmen di tengah lensa akan dipilih sesuai dengan setiap pasien, nantinya akan
mengeset otak untuk melihat warna berbeda. Biasanya pigmen yang dibutuhkan
hanya pada satu lensa agar otak membuat gambar yang benar dari gambar yang
diterima oleh kedua mata. Meskipun tidak untuk mengubah cacat di retina,
memungkinkan penderita untuk melihat warna yang lebih hidup. Uji klinis pada
275 orang meningkatkan penglihatan warna mereka di 96,7% dari subyek
(Roger, 1997).