Anda di halaman 1dari 1

Pembakar Hutan Penjahat Kemanusiaan

Penulis: Media IndonesiaPada: Rabu 18 September 2019, 05:05 WIB

Jangan lagi sebut kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebagai bencana. Yang pantas tersemat ialah kejahatan
besar pada kemanusiaan dan lingkungan kita.Tak ada bahasa lain yang lebih tepat karena kebakaran hebat di
lima provinsi yang ada di Sumatra dan Kalimantan itu ialah buatan manusia. Lebih spesifik lagi, itu buatan
manusia di korporasi-korporasi jahat.

Fakta lama ini, kemarin, kembali kita dengar dari Presiden Joko Widodo. Dalam pemantauan langsung ke
salah satu daerah yang mengalami karhutla, yakni Merbau, Riau, Presiden menyatakan bahwa kebakaran itu
terorganisasi. Meski iklim kering ikut memudahkan kebakaran, otak kejahatan itu tetaplah perusahaan-
perusahaan culas.

Sekali lagi, itu semua memang bukan baru. Hingga 16 September, Kementerian LHK telah melakukan
penyidikan terhadap lima perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana karhutla dan masih melakukan
penyelidikan terhadap 44 perusahaan. Dari karhutla sebelumnya, 11 perusahaan diputus bersalah di
pengadilan dan dijatuhi total denda Rp18,9 triliun. Namun, yang dibayar baru Rp400 miliar.

Sejak dulu, penyebab karhutla tetap sama. Maka, pertanyaan besarnya ialah mengapa praktik bejat membakar
lahan tidak juga putus? Mengapa penyegelan dan denda triliunan itu tidak membuat jera?

Nyatanya memang putusan pengadilan hanya macan ompong tanpa penegakan soal denda ataupun revisi izin
usaha. Di sinilah pekerjaan rumah terbesar pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.

Meski kita sangat mengapresiasi seluruh kerja instansi negara dalam menyeret korporasi jahat ke meja hukum,
juga kerja hidup-mati ribuan petugas lapangan dalam memadamkan titik api, tetap ini semua belum menjadi
jawaban untuk menyelamatkan hutan kita. Tidak ada pilihan lain, kita harus akhiri keberadaan perusahaan
perkebunan yang nakal.

Pemerintah pusat dan daerah harus benar-benar sadar bahwa tiap kali karhutla terjadi, tumbalnya ialah
generasi belia kita. Ini sama sekali bukan hiperbola.

Penelitian Universitas Harvard menyebutkan, jika karhutla terus terjadi, akan berakibat 36 ribu kematian dini.
Petaka yang sudah terjadi pun sudah dijelaskan dalam sebuah studi di jurnal PNAS, bahwa akibat karhutla
1997, anak yang lahir pada masa itu menderita stunting. Mereka lebih pendek sekitar 3,3 sentimeter dari anak
lainnya yang tidak terpapar karhutla.

Kerugian kita masih ditambah lagi triliunan dana untuk rehabilitasi lahan dan bahkan keanekaragaman hayati
yang sudah tidak dapat kembali lagi. Dengan semua fakta ini, sungguh-sungguh tidak layak untuk meminta
masyarakat ikhlas.

Masyarakat memang pantas marah dan pemerintah wajib menjawabnya dengan ketegasan nyata. Langkah
awalnya, segera pailitkan 11 perusahaan yang belum melunasi denda sesuai putusan pengadilan.

Adapun langkah wajib pemerintah, khususnya para gubernur dan wali kota, ialah segera meninjau atau
merevisi izin usaha perusahaan-perusahaan, baik yang lahannya pernah terbakar maupun yang belum.
Perusahaan yang sudah jelas melakukan pembakaran lahan haruslah segera diganjar dengan pencabutan izin
usaha.

Selama ini, berjalannya terus izin usaha telah dijadikan tameng para perusahaan untuk terus beroperasi meski
sesungguhnya terlibat kasus hukum. Lebih jauh lagi, semestinya para pejabat daerah jeli memeriksa
perusahaan itu hingga ke para pejabat ataupun pemiliknya. Karena sudah sering terjadi, mereka hanya berganti
nama perusahaan untuk tetap menjalankan bisnis.

Ketidaktegasan pemerintah daerah pantas kita curigai terkait dengan dugaan adanya keterlibatan dalam
kejahatan kemanusiaan tersebut. Berdasarkan penelitian panjang lembaga internasional kehutanan, ditengarai
adanya korelasi praktik kotor usaha perkebunan dengan kebutuhan proses pemilihan kepala daerah.

Anda mungkin juga menyukai