Anda di halaman 1dari 2

Mengawal Kabinet

Penulis: Media IndonesiaPada: Kamis 24 Oktober 2019, 05:05 WIB EDITORIAL MI

KABINET Indonesia Maju pimpinan Presiden Joko Widodo resmi terbentuk. Sebanyak 34 menteri plus empat pejabat
setingkat menteri dilantik di Istana Negara, Jakarta, kemarin, untuk membantu Presiden merealisasikan janji-janji yang dia
tebar saat kampanye Pilpres 2019.

Pelantikan Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Jokowi ialah awal dari tugas panjang mereka untuk memajukan Indonesia.
Tugas itu jelas tidak mudah, sangat tidak mudah, untuk ditunaikan karena begitu banyak tantangan dan rintangan yang siap
menghadang.

Begitu dahsyat rakyat berharap kepada orang-orang terpilih itu. Begitu besar kepercayaan yang diberikan Presiden sehingga
sudah semestinya seluruh anggota kabinet pantang menyia-nyiakannya. Tujuh perintah Jokowi mulai jangan korupsi hingga
harus bekerja sungguh-sungguh ialah rambu-rambu yang wajib dipatuhi.

Pelantikan Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Jokowi bisa juga kita posisikan sebagai akhir dari spekulasi tentang siapa saja
yang bakal mengisi pos-pos kementerian. Spekulasi itu mencuat akhir-akhir ini dan kian menarik atensi karena keberadaan dua
petinggi Partai Gerindra, yakni Ketua Umum Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Edhy Prabowo.

Prabowo Subianto menjadi sorotan karena dia merupakan rival Jokowi di dua pilpres.

Kalau dia kemudian menjadi pembantu Jokowi sebagai menteri pertahanan, hal itu pantas memantik banyak pertanyaan.
Namun, karena politik menganut prinsip impossible is nothing, tidak ada yang tidak mungkin, kita harus menerima realitas
yang ada.

Yang pasti, bergabungnya Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo dalam kabinet serta-merta mengubah konstelasi politik. Di
satu sisi, koalisi partai politik pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin mendapatkan tambahan amunisi. Di sisi lain,
barisan partai oposisi berkurang.

Setelah ditinggalkan Gerindra, praktis kini tinggal PKS, PAN, dan Partai Demokrat yang menjadi oposan. Kekuatan mereka di
parlemen pun hanya 22,82%, yang boleh dibilang tak sebanding dengan kekuatan koalisi pemerintah.
Perimbangan seperti itu memang bagus buat pemerintah. Dengan tambahan dukungan dari Partai Gerindra, mereka dapat jauh
lebih kuat dan lebih cepat memutar roda pembangunan. Stabilitas politik juga bisa lebih terjaga sebagai bekal berharga untuk
melewati jalan terjal menuju Indonesia maju.

Akan tetapi, kekuatan yang begitu timpang buruk buat demokrasi. Demokrasi hanya akan sehat jika ada oposisi yang kuat.
Sebaliknya, demokrasi akan sakit, bahkan bisa sekarat, jika oposisi lemah, apalagi jika sengaja dilemahkan.
Oposisi yang kuat kita butuhkan sebagai pengontrol agar pemerintah tak terjerumus menjadi diktator. Oposisi yang tangguh
kita perlukan sebagai penyeimbang supaya pemerintah tak gemar menyimpang.
Sebaik apa pun pemerintah, suatu saat pasti berbuat salah. Karena itu, ia butuh oposisi sebagai advocatus diaboli
atau setan yang menyelamatkan kita dengan gangguan terus-menerus.

Kita sadar, amat sadar, bahwa kekuatan oposisi saat ini terlalu lemah, terlebih jika nantinya ada lagi partai yang menyeberang
ke pusat kekuasaan. Karena itu, kita perlu mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati bekerja, bukan malah seenaknya
melangkah. Meski kekuatan mereka tak seberapa, kita juga meminta barisan oposan di parlemen tetap lantang bersuara.
Ingatkan terus agar pemerintah konsisten berjalan di jalan yang lurus. Jadilah oposisi yang loyal kepada kebaikan bangsa,
bukan oposisi yang penting asal beda dengan kebijakan negara.

Yang tak kalah penting, seiring dengan perubahan konstelasi kekuatan, peran aktif rakyat untuk mengawal jalannya
pemerintahan amat diperlukan. Kabinet sudah terbentuk dan akan langsung bekerja. Mereka butuh dukungan, termasuk
dukungan dari oposisi baik di parlemen maupun ekstraparlementer berupa gangguan-gangguan yang konstruktif.
Kabinet Pendobrak
Penulis: Media IndonesiaPada: Jumat 25 Oktober 2019, 05:05 WIB EDITORIAL MI

PESAN Presiden Joko Widodo di sidang kabinet paripurna perdana, kemarin, merupakan pernyataan yang kuat. Bahkan,
sebagian orang juga menyatakan itu pedas.

Presiden blak-blakan menekankan agar para pembantunya setia pada satu visi dan misi, yakni visi dan misi presiden dan wakil
presiden. Tidak ada visi-misi perorangan ataupun sektoral.

Peringatan ini sangatlah wajar, bahkan memang perlu. Masyarakat mudah berkaca dari ketidakkompakan yang pernah muncul
di kabinet sebelumnya. Bahkan, bukan sekali, ada menteri yang bersilang pendapat dan bertolak belakang dengan kerja rekan
sekabinet.

Akibatnya memang bukan sekadar citra berbeda arah. Yang krusial ialah dampaknya pada pencapaian program-program kerja.

Ketidakkompakan itu pun bisa saja terjadi di Kabinet Indonesia Maju ini. Strategi politik yang dipilih Jokowi membuatnya
memiliki kabinet yang sangat berwarna, kalau tidak mau disebut berisiko.

Jangan salah, risiko itu bukan hanya dari lawan yang digandeng menjadi kawan, melainkan juga dari orang-orang dengan latar
belakang yang cukup awam dari bidang yang dipimpinnya.

Namun, itulah hak prerogatif yang dimiliki Presiden. Kita harus menghormati hak itu walaupun tidak kurang pula hak kita
untuk mengkritik dan menagih bukti pencapaian.

Di awal kerja kabinet ini, bentuk kerja tim itu pun sesungguhnya sudah bisa dicanangkan. Terlebih ada pekerjaan besar yang
sudah menanti lama dan sesungguhnya tidak membutuhkan koordinasi rumit. Hanya kesungguhan sang menteri untuk
melakukan sinkronisasi hal teknis.

Itulah yang terletak pada sinkronisasi data beberapa komoditas pangan.

Perbedaan data beras bahkan sudah berlangsung tahunan tanpa ada pula perbaikan. Data Kementerian Pertanian yang kerap
tidak sinkron dengan data riil stok beras membuat kisruh impor beras.

Lebih jauh lagi, kekacauan data menunjukkan jauh dari panggangnya cita-cita swasembada pangan. Pada akhirnya bahkan bisa
mengancam ketahanan pangan kita.

Sudah bukan zamannya menteri hanya menyampaikan janji muluk atau sekadar menyenangkan hati presiden dengan
optimisme-optimisme. Keterbukaan dan keakuratan data ialah pilar utama untuk keberhasilan kerja.

Karena itu, menjadi tugas utama Menteri Pertanian yang baru, Syahrul Yasin Limpo, untuk menunjukkan komitmen pada kerja
tim di kabinet ini. Sebagai kepala daerah yang berhasil membawa Sulawesi Selatan surplus jagung, tentunya Syahrul paham
pentingnya keakuratan data dalam mencapai proyeksi pangan.

Kita mengapresiasi komitmen penyeragaman data yang disampaikan Syahrul begitu dilantik Presiden pada Rabu (23/10).
Sebagaimana pernyataannya, kita menunggu pembuktian itu dalam 100 hari.

Tidak hanya dalam sektor pertanian, kinerja juga sudah dinanti dari Menteri Agama dan Menteri Pendidikan. Pemberian
kepercayaan terhadap sosok-sosok yang bukan berlatar belakang kedua bidang itu tentunya harus dijawab dengan dobrakan
kepada masyarakat.

Kita mengapresiasi seraya menunggu bukti pernyataan Menteri Agama Fahrur Razi yang mengatakan dirinya bukan menteri
agama Islam. Dalam pernyataan itu terkandung semangat Menteri Agama untuk menaruh perhatian secara relatif setara kepada
semua agama.

Kita membayangkan Mendikbud Nadiem Makarim membangun sistem, institusi, dan infrastruktur pendidikan yang betul-betul
meningkatkan kualitas sumber daya manusia di era digital ini. Kita membayangkan Mendikbud membangun semacam Silicom
Valley di Indonesia.

Dobrakan-dobrakan lain terhadap berbagai isu yang selama ini telah menjadi polemik sangat dinantikan publik. Dobrakan-
dobrakan itu bukan sekadar gimik, tetapi juga untuk menyempurnakan program-program yang telah baik selama ini.

Anda mungkin juga menyukai