Sebuah perusahaan bisnis yang baik harus memiliki etika dan tanggung jawab sosial
yang baik. Kata “etika” berasal dari kata Yunani ethos yang mengandung arti yang cukup
luas yaitu, tempat yang biasa ditinggali, kebiasaan, adaptasi, akhlak, watak, perasaan,
sikap dan cara berpikir. Kata “moralitas” dari kata lain “moralis” dan merupakan kata
abstrak dari “moral” yang menunjuk kepada baik dan buruknya suatu perbuatan.
Sedangkan definisi dari etika bisnis adalah pengetahuan tentang tata cara ideal
pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang
berlaku secara ekonomi/sosial, dan penerapan norma dan moralitas ini menunjang
maksud dan tujuan kegiatan bisnis. Apalagi akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan
perlunya tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas.
Dalam mekanisme pasar bebas diberikan kebebasan luas kepada seluruh pelaku bisnis
untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Hal
ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan
semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis. Bahkan, pelanggaran etika
bisnis dan persaingan tidak sehat dalam upaya penguasaan pasar terasa semakin
memberatkan para pengusaha menengah kebawah yang kurang memiliki kemampuan
bersaing. Oleh karena itu, perlu adanya sanksi yang tegas mengenai larangan praktik
monopoli dan usaha yang tidak sehat agar dapat mengurangi terjadinya pelanggaran
etika bisnis dalam dunia usaha.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya teori etika bisnis terbagi atas tiga macam, yaitu:
a. Etika Deontologi
Istilah ‘deontologi’ berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban.
Karena itu, etika deontologi ini menekankan kewajiban manusia untuk bertindak
secara baik. Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika
deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya,
melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku. Seperti,
memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen, dan sebagainya. Atas
dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak
yang kuat dari pelaku.
b. Etika Teleologi
Etika Teleologi, dari kata Yunani, telos yang berarti tujuan, yaitu
mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai
dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Misalnya, mencuri bagi teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan
tindakan, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya
baik, maka tindakan itu dinilai baik. Seperti, seorang anak kecil yang mencuri
demi biaya pengobatan ibunya yang sedang sakit. Atas dasar ini, dapat dikatakan
bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan
bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.
c. Utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori
ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus
menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai
keseluruhan.
a. Karakter yaitu sifat tidak ingin bertanggung jawab dan ikut campur
ataskerugian orang lain demi memperkecilkerugian yang di alami. Teori
psikoanalitik yang dikemukakan Sigmund Freud dalamUmam (2010:44)
menjelaskan bahwa dalam diri setiap orang terdapat dua sisi yaitu yang
selalu berusaha mencari kepuasan bagi dirinya sendiri dan yang
mengandung unsur ideal dan pikiran yang baik. Manusia memiliki sifat
yang cenderung tidak pernah merasa puas terhadap apa yang diperoleh
dan selalu merasa kurang dan terus mencari.
b. Kurangnya modal dan pengetahuan yaitu kekhawatiran akan modal dan
keuntungan yang turun drastis karena kerugian yang harus ditanggung,
dan kurangnya pemahaman atas peraturan-peraturan perlindungan
konsumen. Salah satunya dilema antara kerugian yang dapat dikurangi
dengan adanya beberapa konsumen yang mungkin dirugikan. Selain itu,
dilema etis bisa terjadi ketika ada kesempatan, ada pilihan, dan ada
ajakan. Kegagalan seseorang mengambil keputusan yang etis disebabkan
terbatasnya modal dan pengetahuan. Bisnis lebih mudah terfokus pada
aspek finansial daripada aspek etis kondisi ini disebut.
c. Kontrol pihak berwenang yang masih lemah yaitu penerapan sanksi yang
belum memberi efek jera, kurangnya sosialisasiatas peraturan-peraturan
perlindungan konsumen, dan sosialisasi atas pengetahuan kualitas
makanan khususnya telur dari aparat penegak hukum dan lembaga-
lembaga swadayaserta pemberdayaan masyarakat
BAB III
A. Penyajian Kasus
Tomat ini dipercaya hanya untuk menambah aroma dan cita rasa dari saus
tersebut. Namun yang paling mengejutkan, produsen saus tomat abal ini dengan
percaya diri menggunakan kaki untuk menghaluskan semua bahan tersebut.
"Campur kaki biar nambah vitamin, vitamin E," ucap sang produsen nakal
tersebut.
Sang produsen mengaku jika ada rasa yang berbeda dengan saus tomat
tersebut berasal dari buahnya yang bermasalah. Padahal dalam jangka pendek,
mengonsumsi saus tomat busuk rasa kaki ini dapat menimbulkan diare bahkan
yang lebih parahnya mengganggu proses metabolisme tubuh. Tak usai sampai situ
saja, sang produsen nakal itu pun kembali menambahkan sejumput boraks sebagai
bahan pengawet dan pewarna tekstil sebagai bahan perawarna.
Dalam kasus ini saus tomat yang dibuat oleh produsen tidak diikuti dengan
perbuatan atau tindakan yang baik, karena produsen saus tersebut tidak mampu
menggunakan bahan baku yang sesuai dalam pembuatan saus diantaranya tomat
busuk dan pepaya busuk. Dan juga terdapat bahan baku yang berbahaya
didalamnya seperti boraks sebagai bahan pengawet dan pewarna tekstil sebagai
bahan perawarna. Selain itu dalam proses pembuatannya mereka mencampurkan
bahan baku dalam satu wadah tanpa mencuci kaki untuk menghaluskan bahan
bakunya. Jadi menurut teori etika deontologi produsen ini tidak etis dalam
kegiatan usahanya.
Jika dilihat dari teori etika teologi (tujuannya baik atau tidak)
Dalam kasus ini produsen memiliki tujuan baik hanya untuk dirinya
sendiri yaitu mendapatkan keuntungan dari penjualan saus tersebut. Memang
dalam bisnis itu tujuannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,
namun jangan sampai mengabaikan etika bisnis. Karena dengan kita menerapkan
etis dalam berbisnis dapat menciptakan reputasi yang baik sehingga memperluas
kesempatan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Maka dari itu tujuan
bisnis dalam teori ini haruslah baik dan bermanfaat.
Jika dilihat dari teori Utilitarisme (manfaatnya harus baik atau bermoral dan
menguntungkan orang lain)
Produsen yang membuat saus tersebut dinilai tidak etis menurut teori
utilitarisme secara moral tidak dapat dibenarkan yaitu merugikan dan hanya
mementingkan dirinya sendiri. Karena konsumen yang membeli dan
mengkonsumsi saus tersebut berdampak buruk. Seperti yang disebutkan dalam
kasus dapat menimbulkan efek samping seperti demam, muntah, mual, mata
merah, batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, diare, sesak napas, hingga
pendarahan dari hidung. Bahkan menurut laman Environmental Working Group,
boraks dapat mengganggu hormon dan merusak sistem reproduksi pria. Pria
yang terpapar asam borat memiliki risiko penurunan jumlah sperma dan libido
yang lebih besar. Sedangkan bahan pewarna tekstil yang tertelan dapat
menimbulkan efek samping seperti tumor hati, kanker kandung kemih, asma,
hingga kematian.
1. Karakter.
2. Kurangnya modal.
3. Kurangnya pengetahuan.
4. Lemahnya kontrol pihak berwenang.
Penyelesaian kasus
1. BPOM lebih aktif lagi dalam memeriksa produk makanan yang beredar
dipasaran.
2. Adanya sosialisasi yang dilakukan pemerintah tentang kesehatan, bahaya
zat-zat kimia dalam penggunaan bahan makanan dan lain-lain
3. Pemerintah mengadakan sosialisasi modal untuk UMKM
4. Konsumen harus lebih teliti dalam membeli produk, seperti produk
tersebut sudah terdaftar di BPOM, komposisi yang ada di kemasan, ada
label halal apa tidaknya dan lain-lain.
5. Peran masyarakat sekitar dalam pengawasan terhadap produsen rumahan.
Jadi ketika masyarakat mengetahui adanya produsen nakal langsung
laporkan kepada pihak berwajib.
Pandangan kelompok
Bagaimana cara mencegahnya agar tidak salah membeli saos sambel? Berikut
cara membedakan saos sambel asli dan palsu
Pastikan terdapat logo Departemen Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) pada kemasan saus sambal yang akan kalian beli. Karena jika
sudah ada logo tersebut,berarti sudah diuji dan aman untuk dikonsumsi.
Karena para oknum nakal bisa saja menggunakan merek-merek yang sudah
terkenal pada saos sambel palsu mereka dan menawarkan kepada para pedagang
untuk menjualnya.
3. Perhatikan Warnanya
Jika menemukan saos sambel yang warnanya terlalu mencolok bisa diindikasi
bahwa itu menggunakan pewarna yang terlalu berlebihan dan tak sedikit para
oknum nakal menggunakan pewarna tekstil.
4. Ukur Kekentalannya
Saus sambal yang baik untuk dikonsumsi biasanya lebih cair dan rata. Sedangkan
jika lebih kental dan terdapat buih tepung, tidak disarankan untuk dikonsumsi
karena akan berpengaruh buruk untuk kesehatan.
5. Cium Aromanya
Biasanya saos sambel palsu tidak akan mengeluarkan aroma cabe atapun tomat
karena bahan yang digunakan lebih banyak bahan-bahan kimia yang berbahaya
untuk dikonsumsi
http://inputbali.com/berita-bali/videosaos-sambal-palsuberformalin-tips-
membedakannya
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/06/14/o8rnhn284-
pedagang-makanan-gunakan-boraks-dapat-dipidana
https://health.grid.id/read/351877920/viral-video-pembuatan-saus-tomat-
menggunakan-kaki-produsen-sebut-ada-kandungan-vitamin-e-padahal-bisa-
mengancam-nyawa?page=3
https://www.academia.edu/31499161/FAKTOR_YANG_MEMPENGARUHI_PELANGGARA
N_ETIKA_BISNIS
1. Prinsip Otonomi
Produsen saus memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur bisnisnya,
berkaitan dengan resep pembuatan dan cara pengolahan produk. Tapi dari
kasus yang dibahas kelompok kami perusahaan saus menyalahgunakan
wewenangnya, dilihat dari pemilihan bahan baku menggunakan bahan
yang tidak layak dan ditinjau dari proses pembuatan tidak menggunakan
standar kekebersihan yang layak.
2. Prinsip Kejujuran
Tidak mencantumkan informasi mengenai produk tersebut. Seperti
komposisi, tanggal pembuatan, tanggal kadaluarsa dan tidak adanya izin
produk resmi dari dinas kesehatan.
3. Prinsip Keadilan
Seharusnya produk ini tidak layak beredar di pasaran, karena dapat
memicu berbagai penyakit. Karena di dalamnya mengandung bahan-bahan
berbahaya bagi tubuh.
4. Prinsip saling menguntungkan
Produsen dalam hal ini sangat diuntungkan. Mulai dari pemilihan bahan
baku dengan menggunakan tomat busuk dan pepaya busuk yang dinilai
tidak layak konsumsi sehingga dapat menekan biaya bahan baku, lalu dari
proses pembuatan tidak menggunakan alat yang seharusnya. Jadi terdapat
pengurangan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Dan dilihat di sisi
unsur manajemen (6M) sangat diabaikan oleh produsen saus nakal
tersebut.
Dari segi Man (Manusia): Manusianya dinilai tidak beretika, tidak
mementingkan standarisasi kesehatan konsumennya.
Dari segi Money (Modal): Produsen tidak menggunakan modal
yang besar karena hanya mementingkan keuntungan yang besar.
Dari segi Materials (Bahan): Memilih bahan dengan kualitas buruk
untuk menekan biaya bahan baku dan penggunaan zat kimia
berbahaya seharusnya tidak seharusnya dicampurkan untuk
makanan.
Dari segi Methode (Metode): Produsen menggunakan SOP yang
baik dan benar.
Dari segi Machine (Mesin): Tidak menggunakan mesin, hanya
menggunakan teknik manual yaitu memanfaatkan kekuatan kaki.
Dari segi Market (Pasar): mendistribusikan produknya ke warung-
warung kecil dan pedagang kaki lima yang tentu saja tidak ada
pengawasan terhadap produk yang beredar.
5. Prinsip Integritas Moral
Karena masyarakat sebelum mengetahui cara pembuatan dan bahan baku
saus tomat tersebut, tentu saja masyarakat percaya dan membeli kepada
produsen itu. Namun setelah mengetahui maka masyarakat resah dan
enggan untuk membeli saus tanpa merek yang jelas.