Anda di halaman 1dari 5

2.

4         Moralitas dan Bisnis


Bisnis tidak boleh di bangun berlandaskan pada keinginan mendapatkan materialitas
Semata, atau mengejar kekayaan semata. Bisnis dan moralitas pada perinsipnya memiliki
hubungan yang kuat. Keputusan membangun bisnis di dasarkan pada rasaa moralitas ingin
memiliki hidup yang lebih layak, serta mampu memperkerjakan orang lain dan maemberi gaji
yang banyak.
Keinginan untuk membantu orang lain dengan memberi pekerjaan yang layak telah
menempatkan perasaan moral untuk bertanggung jawab terhadap sesama manusia. Bahwa
manusia berhak mendapatkan penghidupan yang layak. Kelayakan kehidupan akan diperoleh
jika ia memperoleh penghasilan yang mencukupi, dan kecukupan penghasilan akan di peroleh
jika ia mendapatkan pekerjaan yang layak. Secara lebih jauh perusahaan di tuntut untuk ikut
serta menuntaskan kemiskinan.
Ini sebagai mana di katakan oleh Dody Prayogo5) bahwa , “perkembangan masyarakat,
dengan demikian, akan memaksa dunia bisnis beradaptasi dan mengubah perspektif
bisnisnya, tidak hanya fokus menciptakan profit semata melainkan secara sosial turut
bertanggung jawab atas fakta sosial adanya kemiskinan, keterbelakangan dan ketimpangan di
sekitar mereka.”
Ada banyak alasan mengapa sebuah perusahaan harus bertanggung jawab pada
lingkungan sekitar. Slah satu alasan yang paling logis adalah sebuah perusahaan harus
berterima kasih pada masyarakat sekeliling. Rasa berterima kasih harus dilakukan dalam
bentuk nyata, yaitu pemberdayaan masyarakat sekeliling untuk ikut terlibat dalam
membangun perusahaan. Seperti dipakainya sejumlah karyawan yang berasal dari masyarakat
sekeliling, di berikan pelatihan dan pendidikan kepada masyarakat untuk suatu saat di terima
menjadi karyawan, pemberian beasiswa kepada sejumlah anak yang kurang mampu namun
memiliki kemampuan akademik yang baik, bantuan pendirian puskesmas, pemberian
pengobatan gratis, sunatan masal dll.
Pemberian bantuan seperti itu bertujuan untuk ikut memperlihatkan sisi moralitas
perusahaan tehadap masyarakat sekeliling.
Dalam kontekes ilmu manajemen ini sering di sebut dengan bagian sikap (corporate
social responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan.
Dalam bisnis dikenal dengan namanya untung rugi. Setiap keputusan bisnis ditekankan
sekali pada perolehan keuntungan yang maksimal, termasuk mampu memberikan kepuasan
kepada para pemegang saham. Para pemegang saham adalah mereka yang di sebut dengan
pemilik (ouner) perusahaan . dan manajemen perusahaan adalah mereka yang berkerja untuk
memberikan kepuasan maksimal kepada para pemegang saham.
Dengan kata lain manajemen perusahaan bertugas untuk mencapai target-target yang
ingin di inginkanoleh pemegang saham. Dimana slah satu target yang paling dominan untuk
dicapai dalam bentuk kemampuan meningkatkan perolehan keuntungan dalam bentuk
penerimaan deviden yang di terima secara stabil terusmeningkat. Di sisi lain manajemen
perusahaan juga memiliki tanggung jawab moralitas dalam menjalankan perusahaan.
Karena jika moralitas diabaikan banyak perusahaan yang akan mendapatkan
keuntungan , namun dampak kerusakan lingkungan akan semakin terasa. Contoh ini dapat
kita lihat pada perusahaan tekstil yang membuang limbah pabrik ke sungai, danau dan lauut.
Dimana limbah pabrik tersebut dalam ketentuan dan peraturan lingkungan hidup uarus di
lakukan pengolahan ulang atau tindakan sterilisasi, sehingga tingkat keracunan dapat di
turunkan. Namun jika pengolahan dilakukan maka biaya pengolahan harus di perhitungkan,
dan dengan tidak melakukan pengolahan berati perusahaan melakukan penghematan biaya.
Dengan kata lain biaya tersbut dapat di alokasikan ke tempat lain yang di anggap lebih
efektif.
Setiap manajer di berbagai perusahaan berkeinginan untuk tampil sebagai seorang
yang profesional, artinya menghasilkan pekerjaan dengan kualitas profesional. Mereka yang
disebut profesional umumnya memliki keahlian tinggi dalam bidangnya. Namun kita perlu
mempertanyakan seseorang yang memiliki profesional dengan moralitas, sebab ada hubungan
kuat antara profesional dan moralitas. Seorang tidak dapat di sebut profesional jika
mengabaikan nilai-nilai moralitas dalam melaksanakan pekerjaan, bukan berarti manajer
yang profesional adalah semata-mata mampu memberikan dan menaikan profit bagi
perusahaan.
Ini sebagaimana dikatakan oleh A. Sonny Keraf6) bahwa, “dengan kode etik atau
komitmen moral pada umumnya ini, menjadi jelas bagi kita bahwa bagi kita bahwa keahlian
saja tidak cukup untuk menyebut orang sebagai orang yang profesional. Karena, keahlian bisa
saja merugikan manusia. Karna ahli dan terampil dalam bidang tertentu, seseorang bisa saja
menggunakan keahliannya untuk menghancurkan hidup orang lain. Seperti orang yang ahli
dalam bidang hukum bisa sanya menggunakan keahliaannya untuk menghukum orang yang
tidak bersalah.”
Realita dalam bidang hukum dapat kita lihat tentang kasus mafia peradilan, atau
adanya calo jual beli perkara di pengadilan. Informasi ini sering kita dengar ketika pihak
pengadilan dan perngkatnya tidak melakukan tindak tegas dalam menuntaskan berbagai kasus
secara berkeadilan. Peluang ini dimanfaatkan oleh pihak ke tiga untuk mengambil menfaat,
yaitu untuk menjadi makelar penghubung kasus antara terdakwa dengan hakim, jaksa, dan
sebagainya. Tentunya perktik ini sangatlah memalukan. Namun praktik ini tidak hanya terjadi
bidang hukum namun di bidang lainnya juga, seperti kedokteran, universitas, pemerintahan
dan lain sebagainya.
Bisnis memiliki ikatan yang sangat kuat di bidang financial, karena memang tujuan
bisnis yang paling utama untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk financial, sehingga
sering aktivitas bisnis menimbulkan dampak pelanggaran dalam nilai moralitas. Pelanggaran
dalam nilai-nilai moralitas terjadi karena keinginan untuk meraih keuntungan yang lebih
tinggi atau secara tidak wajar dalam waktu yang cepat.
Untuk membuat moralitas tetap hidup dalam dunia bisnis, maka di sahkannya
beberapa aturan untuk membahas tentang etika bisnis. Etika bisnis berisi tentang pandangan-
pandangan yang dalam nafasnya menggandung muatan moralitas, pelanggaran dari peraturan
tersebut nantinya akan mendapatkan sngsi, dan salah satu tujuannya ingin agar para
pembisnis menghargai posisi para pekerjaanya sebagai sebuah profesi yang harus di tekuni
secara dengan profesional dan mulia. Karena ini sebagai mana ditegaskan oleh A. Sony
Keraf7) bahwa , “ suatu pekerjaan yang bisa di anggap sebagai profesi dalam pengertian
sebenarnya kalu pekerjaan itu melibatkan komitmen moral yang tinggi dari pelakunya.
Karena itu, pekerjaan yang bertentangan dengan morallitas dan yang melibatkan praktik-
praktik yang curang tidak bisa di sebut sebagai profesi dalam pengertian sebenarnyas.”
Tidak dapat di pungkiri jika karakter dari para pembisnis memiliki peran tinggi dalam
mendorong tinggi dan rendahnyamoralita seseorang. Mereka yang memiliki karakteristik
menghargai proses dan sabar dalam menjalani kehidupan di anggap di anggap sebagai salah
satu tanda mereka yang memiliki karakteristik menempatkan nilai-nilai moral dalam dirinya
secarakuat. Artinya ia tidak gegabah dalam mengamil segala sikap dalam hidupnya, termasuk
mensyukuri berbagai rizeki yang di peroleh selama ini sebagai pemberian dari yang maha
kuasa. Pada saat ia menempatkan nama yang amaha kuasa dalam dirinya maka artinya
prinsip-perinsip moralitas menjadi suatu yang di hargai dengan tinggi.

2.5 Contoh kasus moralitas dan etika bisnis


a. Kasus
Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran perusahaan besarpun berani untuk
mmengambil tindakan kecurangan untuk menekan biaya produksi produk. Contoh
kasus diperusahaan yang ada lingkungan kita salah satunya terjadi di pabrik teh
(perkebunan) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perusahaan tidak
menerapkan etika dalam bisnis yaitu :
 Mementingkan keperluan pribadi
 Pencurian
 Penyuapan

b. Penyelesaian
Penyelesaian masalah yang dilakukan Pabrik The (Perkebunan) Cara mengatasinya :
• Agar pelanggaran tersebut berkurang dan tidak terjadi lagi,cara yang tepat
mengatasinya adalah memberikan sanksi yang memberatkan para pelanggar untuk
memberikan efek jera yang tinggi
• Memperketat aturan dan keamanan yang ada di perusahaan
• Lebih selektif dalam perekrutan karyawan

BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Di dalam persaingan dunia usaha yang sangat ketat ini, etika bisnis merupakan sebuah
harga mati, yang tidak dapat ditawar lagi. Dalam zaman keterbukaan dan luasnya  informasi 
saat ini, baik-buruknya sebuah dunia usaha dapat tersebar dengan cepat dan luas.
Memposisikan karyawan, konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat umum secara etis
dan jujur adalah satu-satunya cara supaya dapat bertahan di dalam dunia bisnis saat ini.
Ketatnya persaingan bisnis menyebabkan beberapa pelaku bisnisnya kurang memperhatikan
etika dalam bisnis. Etika bisnis mempengaruhi tingkat kepercayaan atau trust dari masing-
masing elemen dalam lingkaran bisnis. Pemasok (supplier), perusahaan, dan konsumen,
adalah elemen yang saling mempengaruhi. Masing-masing elemen tersebut harus menjaga
etika, sehingga kepercayaan yang menjadi prinsip kerja dapat terjaga dengan baik. Etika
berbisnis ini bisa dilakukan dalam segala aspek. Saling menjaga kepercayaan dalam
kerjasama akan berpengaruh besar terhadap reputasi perusahaan tersebut, baik dalam lingkup
mikro maupun makro. Tentunya ini  tidak akan memberikan keuntungan segera, namun ini
adalah wujud investasi jangka panjang bagi seluruh elemen dalam lingkaran bisnis. Oleh
karena itu, etika dalam berbisnis sangatlah penting.
Pelanggaran etika bisnis itu dapat melemahkan daya saing hasil industry di pasar
internasional. Ini bias terjadi sikap para pengusaha kita. Lebih extreme bila pengusahan
Indonesia menganggap remeh etika bisnis yang berlaku secara umum dan tidak mengikat itu.
Kencendrungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak
pihak. Pengabdian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat,
tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak
memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan Negara.

Anda mungkin juga menyukai